Anda di halaman 1dari 57

2000

http. www.kalbe.co.id/cdk

127.
Kanker
Dan Antioksidan

International Standard Serial Number: 0125 913X

Daftar isi :
2. Editorial
4. English Summary
Artikel
5. Terapi Kanker pada Tingkat Molekuler Rochestry Sofyan
11. Penelitian Aktivitas Biologik Infus Benalu Teh (Scurulla atropurpurea Bl. Danser) terhadap Aktivitas Sistim Imun Mencit - M.
Wien Winarno, Dian Sundari, Budi Nuratmi
15. Daya Hambat Benalu Teh (Scurulla atropurpurea Bl. Danser)
terhadap Proliferasi Sel Tumor Kelenjar Susu Mencit (Mus
musculus L.) C3H Yun Astuti Nugroho, Budi Nuratmi, Suhardi
18. Aktivitas Antimutagenik dan Antioksidan Daun Puspa (Schima
wallichii Kort.) Didi Jauhari Purwadiwarsa, Anas Subarnas,
Cucu Hadiansyah, Supriyatna
22. Pengaruh Perasan Daun Ngokilo (Gynura procumbens Lour. Merr.)
terhadap Aktivitas Sistim Imun Mencit Putih Djoko Hargono, M.
Wien Winarno, Ayu Werawati
30. Radikal Bebas sebagai Prediktor Aterosklerosis pada Tikus Wistar
Diabetes Melitus Zainal Musthafa, Gatot S. Lawrence, Arifin
Seweang
32. Peran Antioksidan dalam Penghambatan Aterosklerosis pada Tikus
Wistar Diabetes Melitus Zainal Musthafa, Gatot S. Lawrence
34. Endotelin dan Penyakit Kardiovaskuler Muhammad Natsir Akil
37. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang Baru
John MF Adam
41. Hubungan antara Waktu Kadaluwarsa Ampisilina dengan Daya
Hambat Pertumbuhan E. coli secara in vitro Raharni, Sugeng
Riyanto, Koesniyo
45. Disolusi dan Penetapan Kadar Alopurinol Sediaan Generik dan
Sediaan dengan Nama Dagang Sukmayati Alegantina, Ani
Isnawati, Kelik M. Arifin
49. Resistensi M. tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis Bahan
Baku dan Obat Generik di Bagian Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung Hotman Sinaga, Idaningroem Sjahid, Monang
Siahaan, Ida Parwati Santoso

54. Abstrak
56. RPPIK

Kanker merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih akan


berkembang, antara lain karena patofisiologinya yang masih belum
banyak dipahami dan penanggulangannya yang masih belum optimal.
Artikel dalam edisi ini membahas masalah kanker pada tingkat dasar
disertai dengan beberapa penelitian dasar beberapa tumbuhan obat yang
mungkin dapat bermanfaat, dengan harapan dapat ditindaklanjuti
sehingga dapat dimanfaatkan secara klinis.
Masalah antioksidan juga disinggung dalam hubungannya dengan
proses degenerasi, dalam hal ini penyakit kardiovaskuler.
Artikel yang juga dapat dibaca di sini ialah beberapa penelitian
mengenai farmakokinetik beberapa obat, dan ternyata obat generik tidak
kalah mutunya dibandingkan dengan sediaan nama dagang.
Selamat membaca
Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

2000

International Standard Serial Number: 0125 913X

KETUA PENGARAH
Prof. Dr Oen L.H. MSc
KETUA PENYUNTING
Dr Budi Riyanto W
PELAKSANA
Sriwidodo WS

REDAKSI KEHORMATAN

Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro

Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo

ALAMAT REDAKSI

Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung


Enseval,
Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta
10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. (021)4208171

Prof. DR. B. Chandra


Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Surabaya.

NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976

Prof. Dr. R. Budhi Darmojo


Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang.

PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma

Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo


Staf Ahli Menteri Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.

Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno

SKM, MScD, PhD.

Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

TATA USAHA
Sigit Hardiantoro

PENCETAK
PT Temprint

Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

Bagian Periodontologi,Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Indonesia, Jakarta

Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort


Laboratorium Ortodonti
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti,
Jakarta

DR. Arini Setiawati


Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta,

DEWAN REDAKSI

Dr. B. Setiawan Ph.D

Prof.
Dr.
Zahir MSc.

Sjahbanar

Soebianto

PETUNJUK UNTUK PENULIS


Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut.
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau
dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi
berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah
harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan
para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga
dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat
sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi
nomor sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai

keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai
untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut
sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan
dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).
Contoh:
Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau
lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran,
Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta
10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Telp. 4208171/4216223
Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
secara tertulis.
Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian
tempat kerja si penulis.
Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

English Summary
THE INVESTIGATION ON ANTIMUTAGENIC AND ANTIOXIDANT
ACTIVITY OF SCHIMA WALLICHII
KORT. LEAVES
Didi Jauhari Purwadiwarsa, Anas
Subarnas,
Cucu
Hadiansyah,
Supriyatna
Department of Pharmacy and Biology,
Faculty of Mathematics and Physics,
Padjadjoran University, Bandung,
Indonesia

An investigation on antimutagenic and antioxidant activity of


the butanol fraction of Schima
wallichii Korth leaves has been
carried out. The experiment of an
in vivo antimutagenic activity using
a micronucleus test showed that
butanol fraction used orally decreased the frequency of micronucleated polychromatic cell
erythrocytes (MNPCE) from the
bonemarrow smears of SwissWebster male mice elevated by
cyclophosphamide at a dose of
50 mg/kg intraperitoneally. The
butanol fraction at a dose of
300 mg/kg decreased the
frequency of MNPCE by 10,5%
while at a dose of 600 mg/kg
decreased by 38,27%.
An in vitro antioxidant activity
using nitroblue tetrazolium (NBT)
method showed that butanol fraction inhibited the reduction of NBT
by superoxide generated by the
xanthine oxidase system. The inhibition by butanol fraction at a
concentration of 200 g/ml was
68,66% while at a concentration
of 400 g/ml was 94,37%.
The result indicated that the
bu-tanol fraction had antimutagenic and antioxidant activities.
Cermin Dunia Kedokt. 2000; 127: 18-21

djp, as, ch, s

EFFECTS OF EXPIRED AMPICILLIN


PRODUCT ON THE GROWTH OF E.
COLI IN VITRO
Raharni*,
Sugeng
Koesniyo***

Riyanto**,

Pharmacy
Research
and
Development Centre Health Research and Development Centre, Department of Health,
Jakarta, Indonesia
** Faculty of Pharmacy, Gajah
Mada University, Yogyakarta
Indonesia
*** Faculty of Medicine. Gajah
Mada University, Yogyakarta,
Indonesia

The purpose of the study is to


determine the correlation between
the length of expiration date of
ampicillin products and the potency to inhibit E. coli growth, compared to the standard ampicillin.
Using dilution method, Minimal
Inhibition Concentration (MIC) and
Minimal Bactericidal Concentration (MBC) of several different
expired
ampicillin
products
against E. coli are determined.
The results indicate that MIC
and MBC of the expired ampicillins
are lower than the standard ampicillin.The longer the expiration date
of ampicillin have been passed
the smaller the potential against
the growth of E. coli.
Cermin Dunla Kedokt. 2000; 127: 41-4

rh, sr, ko

RESISTANCE OF M. TUBERCULOSIS
TO THE PURE AND THE GENERIC
ANTITUBERCULOSIS DRUGS IN THE
DEPARTMENT OF CLINICAL PATHOLOGY, FACULTY OF MEDICINE
PADJADJARAN UNIVERSITY/ DR.
HASAN SADIKIN GENERAL HOSPITAL, BANDUNG

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

Hotman Sinaga, Idaningroem


Sjahid, Monang Siahaan, Ida
Parwati Santoso
Department of Clinical Pathology,
Faculty of Medicine, Padjadjaran
University, Dr. Hasan Sadikin General
Hospital, Bandung, Indonesia

The inappropriate treatment of


tuberculosis may result in drug resistance that is more difficult to
treat. Proper treatment should be
based on susceptibility test; but this
test is not easily performed and
also expensive. So it is necessary
to find cheaper and easier obtainable reagent and method.
A comparative study on the susceptibility test on 50 isolated of M.
tuberculosis using pure and generic antituberculosis drugs as media
was carried out in the Department
of Clinical Pathology, Faculty of
Medicine, Padjadjaran University/
Hasan Sadikin General Hospital.
This study revealed that the
result was not significantly different
(p > 0,05) and both methods
have a 100% accuracy.
Generic antituberculosis drugs
can be used for the susceptibility
test of M. tuberculosis.
Cermln Dunla Kedokt. 2000; 127: 49-53

hs, is, ms, ips

Artikel
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Terapi Kanker
pada Tingkat Molekuler
Rochestry Sofyan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknik Nuklir - Batan, Jakarta

ABSTRAK
Dalam terapi kanker pada tingkat molekular, dikenal tiga kategori gen sebagai
target yaitu onkogen, gen supresor tumor dan gen yang mengatur replikasi dan repair
dari DNA. Kebanyakan kanker disebabkan oleh mutasi pada satu atau lebih dari ketiga
kategori gen tersebut. Tinjauan ini membahas masing-masing kategori gen dan aspek
biokimianya, serta menerangkan bagaimana obat anti kanker dapat diteruskan pada sel
dan bagaimana obat tersebut dapat menghentikan perkembangan sel kanker.

PENDAHULUAN
Sel kanker merupakan the outlaw cell karena tumbuh
secara tidak teratur, melanggar semua kaidah normal, tidak
peduli akan kontrol dalam perbanyakan, dan menggunakan
agendanya sendiri. Sifat lainnya adalah mempunyai kemampuan untuk bermigrasi dari tempatnya tumbuh ke jaringan di
dekatnya dan membentuk massa pada daerah baru di dalam
tubuh. Kanker terdiri atas sel ganas, menjadi lebih agresif dari
waktu ke waktu, dan menjadi letal apabila jaringan atau organ
yang diperlukannya untuk bertahan hidup, mengalami
gangguan. (Gambar 1).
Pada awalnya pengetahuan para ahli hanya terbatas pada
pengertian bahwa sifat yang membahayakan dari sel tumor
adalah dapat tumbuh dan menyebar secara tidak terkendali.
Khasiat suatu obat hanya dilihat dari dapat tidaknya menghambat pembelahan sel, atau dengan cara menginjeksikan
senyawa kimia tersebut pada sel kanker hewan dan mengamati
terjadinya penciutan. Ternyata, beberapa senyawa yang menyerang sel kanker juga dapat merusak jaringan sehat,
sehingga terjadi efek samping yang membahayakan kesehatan
penderita.
Dewasa ini, kelainan atau kerusakan secara molekular
yang mengubah sel normal menjadi sel ganas mulai jelas.
Beberapa kelainan disebabkan oleh terjadinya mutasi pada
kunci utama dari gen yang bertanggung jawab dalam
reproduksi sel. Mutasi tersebut mengubah kuantitas atau sifat
protein yang dikode oleh gen pengatur tumbuh dan selanjutnya
mengganggu fungsi pengontrol pembelahan sel. Melalui pe-

ngetahuan tentang adanya gen yang mengalami mutasi,


memungkinkan para peneliti di bidang farmasi dapat merancang obat baru yang secara spesifik mampu menghambat
kerja gen yang mengalami mutasi. Obat semacam ini diharapkan akan dapat memulihkan sel dari keganasan menjadi
normal kembali, atau memutuskan rantai keganasan tanpa
membahayakan sel sehat. Sekalipun kebanyakan obat tersebut
baru dalam tahap uji awal, hasilnya memperlihatkan harapan
yang cukup menggembirakan.

Gambar 1.

Pengendalian kanker pada tingkat molekular meliputi


repair dari DNA yang rusak, penghambatan dari protein
kunci pertumbuhan dan meningkatkan sensitivitas tumor
terhadap terapi konvensional seperti iradiasi (diambil dari
pustaka 1).

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

Dalam terapi kanker pada tingkat molekular, dikenal tiga


kategori gen sebagai target. Kategori pertama adalah onkogen,
yang menstimulasi perkembangan sel melalui daur sel (cell
cycle) yaitu serangkaian peristiwa meliputi pembesaran sel,
replikasi DNA dan pembelahan sel, serta pemindahan set gen
yang lengkap pada sel anak. Kategori lain adalah gen yang
membatasi perkembangan tersebut yang disebut sebagai gen
penekan atau supresor tumor. Kategori ketiga adalah kelompok
gen yang mengatur replikasi dan repair dari DNA. Kebanyakan tumor disebabkan oleh terjadinya mutasi pada satu atau
lebih dari ketiga kategori gen tersebut.
Tinjauan ini membahas masing-masing kategori gen dan
aspek biokimia yang terlibat. Selain itu, akan menerangkan
bagaimana obat antikanker dapat diteruskan pada sel dan
bagaimana obat tersebut dapat menghentikan perkembangan
sel kanker.
Onkogen: Mengaktifkan kanker
Onkogen adalah versi mutan dari gen normal, yang memicu pertumbuhan sel. Gen pada sel normal yang dapat
berubah menjadi onkogen aktif akibat mutasi, disebut proto
onkogen. Mutasi mampu mengubah proto onkogen menjadi
onkogen aktif. Perbedaan antara onkogen dan gen normal
kadang kala tidak terlihat. Protein mutan dari mana asal
onkogen muncul dapat berbeda hanya dengan satu asam amino
tunggal dari versi yang sehat. Jadi hanya dengan satu perubahan tunggal telah dapat mengubah fungsi protein.
Kanker pada umumnya terjadi apabila terdapat mutasi
pada gen ras. Sekitar 20-30% dari kanker pada manusia
mengandung satu gen ras yang abnormal. Protein yang dikode
oleh gen ras (disebut sebagai protein ras) pada umumnya
bertindak sebagai tombol penyambung di dalam rangkaian
isyarat atau pesan yang memerintahkan sel untuk membelah,
sebagai respon dari pengiriman stimulasi pada gen ras dari luar
sel. Aktivasi terjadi pada rangkaian isyarat yang non aktif.
Dengan tidak adanya pesan dari luar sel, protein ras akan tetap
dalarn keadaan tidak aktif (dalam posisi off). Protein ras yang
termutasi bertindak seperti tombol penekan yang selalu dalam
posisi on, sehingga secara kontinu memberi informasi yang
salah pada sel, yaitu menginstruksikannya untuk membelah
pada saat yang tidak seharusnya membelah. Dari pengamatan
ini dapat diperkirakan bahwa senyawa yang dapat memblok
aksi protein ras mutan mungkin efektif sebagai senyawa anti
kanker (senyawa pemblok semacam ini disebut antagonis).
Masalahnya adalah bagaimana protein ras mutan dapat diinaktivasi.
Salah satu jawaban penting adalah apabila kita dapat
memahami bagaimana protein ras dibuat. Di awal pembentukannya, molekul ras secara fungsional tidak aktif (immature).
Prekursor ini harus mengalami modifikasi secara biokimiawi
untuk menjadi mature sehingga menjadi aktif. Kemudian
protein ras menyerang bagian permukaan sel atau bagian luar
membran yang selanjutnya akan berinteraksi dengan protein
selular untuk menstimulasi pertumbuhan sel. Perubahan terjadi
pada salah satu ujung dari prekursor ras, tempat enzim bekerja
dalarn suatu daerah yang disebut sebagai box CAAX.
Modifikasi dapat terjadi dalam tiga tahap (Gambar 2). Tahap

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

yang paling kritis adalah tahap awal yang disebut sebagai step
farnesylation. Pada tahap ini 15 atom karbon ditambahkan
pada prekursor. Suatu enzim spesifik bernama farnesyltransferase mengkatalisis reaksi tersebut.

Gambar 2.

Berawal dari protein ras yang tidak aktif (sebagai prekursor


yang tidak aktif). Pematangan (maturation) terjadi dalam
tiga tingkat. Sesaat setelah protein ras termodifikasi, protein
ras dapat berinteraksi dengan protein lain dan menstimulasi
pertumbuhan sel. Obat yang dapat menghambat reaksi
farnesylation sehingga mencegah protein ras menjadi aktif
dapat menghentikan sel tumor membelah (diambil dari
pustaka 1).

Salah satu strategi untuk memblok aktivitas protein ras


adalah menginhibisi enzim sehingga modifikasi dapat dicegah.
Para peneliti telah mencoba berbagai inhibitor. Pada kultur sel,
inhibitor memblok maturasi dari protein ras. Uji pada hewan
percobaan juga memberikan hasil yang menggembirakan, yang
memperlihatkan bahwa inhibitor farnesyltransferase mencegah
pembentukan tumor baru oleh protein ras yang abnormal.
Salah satu hal yang menguntungkan adalah inhibitor farnesyltransferase bekerjanya sangat spesifik. Obat ini tidak mempengaruhi baik sel yang normal maupun sel yang ditransformasi oleh onkogen lain. Dengan spesifisitas yang tinggi;
diharapkan bahwa efek sampingnya akan sangat minimal.
Beberapa dari inhibitor yang diberikan dengan dosis tertentu
telah dapat mengeliminasi preexisting atau bakal tumor. Pada
hewan percobaan terlihat bahwa inhibisi terjadi tanpa menyebabkan toksisitas pada sel normal.
Daerah lain dari onkogen yang siap dijadikan sasaran zat
anti kanker adalah yang mengkode enzim protein kinase.
Beberapa jenis kanker yang gen kinasenya mengalami mutasi
ditemukan pada chronic myelogenous leukemia, kanker
payudara dan kanker kandung kencing. Pada sel yang normal,
protein kinase membantu mengatur proses-proses penting.
Salah satu aktivitasnya adalah mengirim isyarat atau pesan dari
membran sel ke inti sel; mengawali perkembangan sel melalui
siklus sel, dan mengontrol berbagai fungsi metabolik dari sel.
Protein kinase mengendalikan proses ini dengan cara
mengaktivasi protein lain dalam memberikan tanggapan pada
stimulan tertentu.
Kinase dapat memicu kanker melalui beberapa cara
sebagai berikut; terlalu banyak diproduksi, yang disebabkan
oleh mutasi pada daerah gen pengontrol, sebagai satu kemungkinan. Dibandingkan dengan sel normal, sel tumor sering
kali memproduksi satu atau lebih kinase dalam jumlah banyak.
Jumlah yang terlalu banyak dapat memicu sel membelah diri
pada saat yang seharusnya stop. Bagian sel yang sering mem-

produksi kinase dalam jumlah berlebih pada jaringan kanker


adalah reseptor untuk faktor pertumbuhan epidermal atau
epidermal growth factor (EGF). Kinase dapat memberi kontribusi untuk menjadi kanker apabila strukturnya abnormal.
Kebanyakan sel tumor mengandung protein kinase yang
karena mengalami kerusakan secara struktural, maka mengalami perubahan secara permanen. Karenanya dalam melangsungkan reaksi dapat menstimulasi sel untuk membelah secara
tidak normal. Beberapa contoh dari kinase yang bertindak
secara abnormal pada kanker tertentu adalah Abl, Src dan
Siklin (cyclin dependent) kinase.
Terbukti bahwa satu inhibitor dari satu atau lebih kinase
tersebut dapat berlaku sebagai senyawa anti kanker yang
efektif. Tujuannya adalah menemukan suatu obat yang dapat
membedakan satu kinase dengan yang lainnya. Beberapa dari
hampir 1000 protein kinase pada sel mamalia mempunyai
struktur yang hampir sama terutama dalam pusat aktif secara
biokimia (biochemically active region). Jadi, suatu inhibitor
dari setiap protein kinase tunggal dapat mengganggu aktivitas
yang lainnya, padahal kinase yang tidak bersangkutan sangat
penting untuk fungsi sel normal.
Sekalipun adanya anggapan tersebut, beberapa tahun
terakhir ini para peneliti di bidang farmasi telah mensintesis
dan menguji berbagai inhibitor kinase. Selain yang ditujukan
pada kinasenya sendiri, juga yang dapat menyerang pada tahap
genetik (mencegah disintesisnya kinase). Sebagaimana kita
ketahui, molekul m-RNA adalah kopi yang mobil (bergerak)
dari gen-gen dan secara fisik adalah template/cetakan dari
mana sel membentuk protein yang dikode oleh gen. Sebagai
contoh, adanya potongan atau snippets materi genetik antagonis akan berinterfensi dengan m-RNA sel tumor dan
selanjutnya menghalangi pembentukan protein dalarn hal ini
pembentukan kinase .
Inhibitor kinase bekerja sangat selektif. Temuan pada
tabung reaksi secara in vitro menunjukkan bahwa inhibisi pada
target yang diharapkan 1000 kali lebih sering daripada pada
kinase yang bukan pasangannya. Lebih penting lagi penemuan
pada seluruh kultur sel, yang memperlihatkan bahwa beberapa
dari senyawa ini menginhibisi pertumbuhan dari sel kanker
yang mengandung gen kinase protein yang termutasi. Terlihat
pula bahwa beberapa diantaranya menghambat pertumbuhan
sel tomor pada hewan, suatu tanda bahwa senyawa tersebut
dapat bekerja pada tubuh manusia. Diharapkan bahwa beberapa antagonis protein kinase dapat segera tersedia untuk
pengobatan kanker pada manusia.
Gen Supresor Tumor
Kategori kedua dari gen yang turut berperan dalam
perkembangan kanker adalah gen-gen yang bila bekerja secara
normal dapat menekan perkembangan keganasan. Beberapa
kanker timbul sebagai akibat dari hilangnya atau tidak berfungsinya secara sempurna kunci protein pengatur di mana gen
ini dikode. Dua dari protein supresor adalah pRB dan p53.
Protein pRB (RB diambil dari retinoblastoma) suatu jenis
tumor yang setiap gennya disebut RB yang pertama kali
diidentifikasi, membantu mengatur siklus sel. Bentuk aktif
pRB dapat bertindak sebagai penghambat replikasi DNA. Di

dalam setiap 40% kanker pada manusia, mutasi pada gen RB


menyebabkan setiap proteinnya menjadi tidak aktif. Sebagai
akibatnya sel membelah secara nonstop.
Molekul pengatur lain yang sangat penting adalah protein
p53. Sering juga disebut sebagai guardian atau pelindung dari
genome. Protein ini mencegah replikasi dari DNA yang rusak
pada sel normal dan mendorong penghancuran sendiri dari sel
yang mengandung DNA yang tidak normal. Molekul p53 yang
tidak normal akan membiarkan sel yang mengandung DNA
yang rusak untuk tetap bertahan padahal seharusnya mati, atau
melakukan replikasi padahal seharusnya berhenti. Sel yang
terganggu dan mengalami mutasi diturunkan pada keturunannya dan selanjutnya mempunyai kesempatan untuk akumulasi
dan terjadi mutasi tambahan; yang membuka peluang untuk
membentuk tumor yang letal. Kebanyakan tumor pada
manusia, disebabkan oleh adanya cacat pada gen p53. Siklus
sel serta berbagai komponen yang dapat menyebabkan terjadinya kanker dapat dilihat pada Gambar 3.
Strategi terapi apa yang dapat mengatasi kesalahan fungsi
dari gen RB dan p53. Beberapa pendekatan umum telah
dipertimbangkan. Secara konseptual yang paling penting
adalah mengganti gen yang rusak dengan yang normal (normal
counterpart). Mengacu kepada terapi gen, dilihat pada percobaan pada kultur sel, hasilnya memberikan harapan.
Gen-gen RB dan p53 yang normal diintroduksikan pada sel
tumor, dapat menghambat pertumbuhan dari sel tersebut.
Sekarang para peneliti sedang merancang protokol untuk uji
klinis. Mereka berharap dapat memasukkan gen p53 yang
normal ke dalarn sel tumor manusia, serta secara giat mencari
berbagai metode untuk memasukkan atau mengirimkan gen
tersebut pada sel tumor. Diduga bahwa virus yang lemah dapat
membawa gen yang normal dan meneruskan hanya pada sel
tumor.Pendekatan dengan vektor virus ini masih baru dan
dihadapkan pada berbagai kesulitan. Tidak satupun dari vektor
virus tersebut yang dapat mendahului sistem imun, artinya sel
imun telah lebih dahulu membunuh virus, sebelum virus
pembawa gen p53 mendapat kesempatan untuk mencapai sel
tumor.
Menghadapi rintangan pada terapi gen, para onkolog
mempelajari supresor tumor selain juga menggali pendekatan
secara tradisional. Diperlukan pengkajian tentang pengaturan
produk gen termasuk serangkaian peristiwa berawal dari
Siklus sel

(a)

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

Reseptor faktor
pertumbuhan

Hubungan dengan
kanker

Pendekatan terapi

Meningkatkan 20% dari


kanker payudara

- dihambat oleh antibodi


atau menginhibisi fungsi
biokimia dari reseptor

Diaktivasi oleh mutasi


pada 20-30% kanker
Diaktivasi oleh kromosom
abnormal pada leukemia
myelogenous kronik
Diaktivasi oleh mutasi
pada 2-5% kanker

- menginhibisi
pematangan dari ras
- inhibisi
kinase
atau
menghambat
sintesis
dengan anti sense
- inhibisi enzim yang berperan dalarn pathway
yang kritis
- perbaikan dengan terapi
gen atau menghambat
protein E 2F
- perbaikan dengan terapi
gen atau membunuh sel
dengan adenovirus

Mengalami mutasi atau


deleted pada 40% kanker
Mutasi atau deleted pada
50% kanker

penghancuran dirinya sendiri (Gambar 4). Kelayakan teknis


dari pendekatan ini cukup menjanjikan, akan tetapi kegunaannya tidak spesifik, berlaku umum bagi berbagai jenis kanker
yang memiliki gen p53. Di beberapa laboratorium, berbagai
usaha sedang diteliti untuk menggali strategi ini.
Sel mamalia
(b)
Gambar 3.

Siklus sel serta berbagai komponen yang dapat menyebabkan terjadinya kanker antara lain adalah reseptor faktor
pertumbuhan, protein ras dan enzim-enzim kinase (b).
Kekacauan/ketidak teraturan pada pRB dan p53 juga dapat
memicu pertumbuhan kanker. Perubahan-perubahan tersebut dapat menyebabkan siklus sel (a) menjadi tidak
terkontrol (diambil dari pustaka 1).

kerusakan secara genetik di dalam sel dan kemudian


mengembangkan obat yang menghambat satu dari peristiwa
tersebut. Sebagai contoh pada jaringan sehat protein pRB
memblok aktivitas dari protein lain (bernama E2F), yang
apabila bebas akan memacu sintesis DNA. Tidak adanya
protein pRB karenanya dapat menyebabkan aktivitas E2F
menjadi tidak terkontrol dan menyebabkan pembelahan sel
menjadi tidak terkendali. Karenanya obat yang sanggup menginhibisi E2F dapat menghentikan perkembangan tumor yang
disebabkan oleh peristiwa yang diawali oleh hilangnya protein
pRB.
Dewasa ini, para peneliti telah dapat mengetahui jalur
biokimia yang dikendalikan oleh gen RB, akan tetapi belum
jelas apakah hal yang sama berlaku untuk p53. Hingga
sekarang belum diketahui secara persis rantai molekular pada
peristiwa yang mengawali hilangnya gen p53. Sebagai akibatnya kebanyakan obat yang potensial ditujukan pada pemulihan
p53 belum dapat diidentifikasi. Harapan utama adalah inaktivasi protein dengan p53 menjadi kenyataan. Dari beberapa
penelitian secara in vitro terlihat bahwa fungsi normal dari p53
dapat dipulihkan dengan molekul kecil yang apabila ditempelkan pada mutan protein p53 yang tidak aktif dapat mengaktifkannya kembali. Apabila hal yang sama dapat dicapai
pada sel tumor, maka dapatlah diharapkan bahwa sel-sel ganas
dapat berhenti tumbuh atau mati, karena salah satu fungsi dari
p53 adalah untuk membuat sel yang tidak normal melakukan

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

Gen-gen Pengontrol Repair DNA


Kategori gen ke tiga adalah yang mengontrol dan menjaga
integritas DNA, yang sering kali mengalami kerusakan pada
waktu replikasi. Tanpa mekanisme ini, terjadinya perubahan
pada sebuah gen yang seharusnya direparasi tidak terlaksana,
maka kerusakan akan diturunkan kepada keturunan berikutnya
sebagai mutasi yang permanen. Sesungguhnya sel tumor sering
kali mengandung kerusakan atau cacat pada proses repair

Gambar 4.

Protein p53 menginstruksikan sel untuk memusnahkan diri


bila DNA mengalami kerusakan baik karena senyawa
polutan maupun radiasi. Bila protein p53 tidak normal,
tidak dapat menghentikan DNA pada proses replikasi. Cara
lain adalah dengan menggunakan sel virus, dimana virus
hanya berkembang pada sel tumor atau p53 yang tidak
normal, sehingga terjadi kematian dari sel tumor (diambil
dari pustaka 1).

DNA. Sebagai contoh, 10-20% dari kanker kolon pada


manusia mengalami mutasi pada gen-gen yang membantu
repair DNA (yaitu gen MLH, MSH2, PMS1 dan PMS2).
Gen lain yang berpartisipasi secara tidak langsung pada
repair DNA, pada kenyataannya mengalami mutasi pada gen
ini, dan keadaan semacam ini sering terjadi. Salah satu gen
tersebut adalah gen yang mengkode protein check point yang
memantau perkembangan sel melalui daur sel dan mencegah
tahapan berikutnya berlangsung, apabila tahap sebelumnya
tidak berjalan secara normal. Sebagai contoh apabila DNA
tidak dikopi secara akurat. Salah satu check point protein yang
penting adalah ATM dan sekali lagi p53 yang berfungsi.
Sel-sel tumor yang tidak mengandung baik gen ATM yang
normal maupun gen p53 tidak mempunyai mekanisme pengontrol semacam ini. Setiap DNA sibuk melakukan replikasi
sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya mutasi secara
random.
Seperti halnya dengan gen-gen supresor mutan tumor,
terapi gen dapat digunakan dalam mengganti gen yang hilang
atau gen yang mengkode repair dari DNA atau protein terkait
yang rusak. Pendekatan yang lebih radikal adalah membiarkan
beberapa tumor untuk mengalami mutasi sendiri untuk mati.
Sel tumor yang mengalami peningkatan kecepatan mutasi
dapat mengalami beberapa mutasi yang letal dan dapat
menyebabkan kematian dari sel anak. Tumor dapat menyebabkan hilangnya beberapa turunan selama beberapa dari mutasi
yang diperoleh memperbanyak sel yang survive dari turunan
tumor. Akan tetapi apabila terlalu banyak sel mutan yang
bergenerasi, kemungkinan tidak ada anakan sel tumor yang
dapat hidup. Salah satu jalan yang mendorong sel-sel kanker
untuk memproduksi sel anak yang tidak survive adalah dengan
jalan menginhibisi beberapa mekanisme check point secara
simultan. Nyatanya sel ragi yang DNA-nya dirusak dengan
cara iradiasi dengan sinar X, mengalami kematian pada dosis
yang relatif tinggi. Akan tetapi apabila satu dari gen check
point mengalami mutasi, ragi tersebut menjadi lebih sensitif
terhadap radiasi. Terbukti bahwa apabila dua atau lebih gen
check point mengalami mutasi pada waktu bersamaan, sel
menjadi hipersensitif terhadap radiasi; sekalipun dosisnya
kecil, telah dapat membunuh sel kanker.
Berdasarkan pengamatan tersebut, para onkolog merancang obat yang dapat menginhibisi protein-protein check point.
Obat ini ditujukan untuk dapat bekerja pada sel tumor yang
cacat pada suatu gen check point (misalnya suatu mutan p53).
Dengan beberapa cacat seperti itu, sel kanker dapat mati atau
paling tidak kolaps sehingga mati secara mudah pada perlakuan berikutnya. Beberapa senyawa, pada pengamatan melalui kultur jaringan memperlihatkan harapan, sekalipun untuk
uji klinis masih perlu menunggu sampai abad mendatang.
Selain dengan cara yang melibatkan pertumbuhan sel,
terapi molekular juga dapat ditujukan pada molekul penting
lainnya, beberapa dari cara terapi tersebut diharapkan telah
dapat digunakan dalam waktu empat tahun mendatang. Sebagai contoh adalah beberapa protein yang menjaga agar sel
tetap berada di suatu tempat pada tubuh manusia. Dengan
pengetahuan ini, para peneliti dapat menemukan obat seperti
inhibitor protease, yang dapat mencegah sel kanker mengalami

metastasis atau menyebar ke seluruh tubuh. Obat lain diusahakan untuk mematikan telomerase, yaitu enzim yang dapat
membentuk kembali ujung dari kromosom yang mengalami
replikasi, sehingga dalam keadaan seperti ini sel kanker tidak
sanggup untuk tetap hidup. Senyawa seperti ini adalah
TNP-470, dapat menghambat pembentukan aliran darah baru
(angiogenesis) yang memasok makanan pada sel tumor.
Sekalipun target untuk berbagai obat yang dibicarakan
tadi menggambarkan kemajuan yang cukup meyakinkan dalam
biologi molekular tentang kanker, akan tetapi untuk sampai ke
kenyataan terapi diperlukan waktu. Terapi metode baru dengan
konsep tersebut, dapat mengatasi berbagai kekurangan dari
kemoterapi. Obat tersebut selain harus terlokasi pada target
kanker, juga harus terpenetrasi pada sel ganas dalam jumlah
yang memadai agar efektif. Tumor yang solid atau kompak
dan keras sulit ditembus oleh obat, dan tidak banyak saluran
darah yang mengalir jauh ke saluran tumor. Di pihak lain
beberapa obat tidak dapat secara mudah menuju sasaran tanpa
harus melewati pembuluh darah yang mensuplai makanan
pada jaringan tumor untuk kemudian menemukan jalan pada
jaringan kanker. Jadi jelas adanya toksisitas, efek samping dan
resistensi terhadap obat pada sel tumor.
Penemuan terakhir dalam berbagai bidang iptek dapat
digunakan untuk mempercepat penemuan berbagai obat baru.
Metode tersebut termasuk gen rekombinan untuk memproduksi senyawa baru antara lain menggunakan hewan yang direkayasa secara genetik untuk digunakan sebagai sistem model,
teknik kimia dam simulasi komputer. Sekalipun teknik ini
telah berkembang, masih diperlukan waktu sekitar sepuluh
tahun untuk realisasinya. Pada tahun pertama, kedua dan
ketiga diperlukan studi genetik dan biologi molekular untuk
dapat meyakinkan bahwa target benar-benar kritis pada
perkembangan kanker pada manusia. Setelah itu, penentuan
screening biokimiawi untuk menemukan senyawa penting,
yang memerlukan waktu satu atau dua tahun. Kemudian
pengoptimalan potensi ditinjau dari spesifitas dan farmakokinetiknya. Usaha ini dapat memakan waktu 3 5 tahun,
karena harus melalui sintesis beberapa ratus bahkan beberapa
ribu senyawa (obat). Pendekatan terutama ditujukan pada tiga
hal yaitu keamanan, kemanjuran dan dosis yang optimal.
Pendekatan molekular dalam terapi kanker dapat dilihat pada
Tabel 1.

PENUTUP
Penemuan cara pengobatan melalui pendekatanpendekatan tadi merupakan suatu cara yang tepat, akan tetapi
masih memerlukan penelitian dan jalan yang cukup panjang.
Obat yang menginhibisi protein kinase mulai memasuki uji
klinis pada awal tahun ini. Inhibitor farnesyltransferase dan
beberapa inhibitor kinase lainnya akan dapat diuji coba dalam
dua sampai empat tahun mendatang. Pendekatan dari terapi
gen adalah dengan cara menggantikan gen yang mengalami
mutasi dengan pasangannya atau counterpart-nya yang
normal. Pendekatan secara molekular ini harus jelas karakteristiknya. Sel tumor yang mengalami beberapa cacat (multiple
molecular defect), nampaknya tetap memberikan respon

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

sekalipun hanya satu dari cacat itu yang mengalami perlakuan.


Karenanya pasien tidak perlu minum beberapa jenis obat
secara simultan untuk memperoleh manfaat yang optimal.
Sekalipun penelitian masih terus berlangsung, nampaknya di
masa mendatang terapi kanker akan lebih efektif dan kurang
toksik, dan yang lebih penting memberikan harapan hidup dan
kenyamanan yang lebih pada penderita.

KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.

Tabel 1. Pendekatan Secara Molekular pada Terapi Kanker


Status Kanker
Onkogen :
Kelainan
pada
protein, ras atau
aktivitas kinase

Molekul Target
- Protein ras

Cara Terapi
- Inhibitor farnesytransferase L744, 832; SCH 44342; BZA5B

- Abl, reseptor EGF,


kinase Erb-B2 dan Src

- Inhibitor tirosin kinase tyrfostins (RG 13020) lavendustins


(AG 957) quinazoline (PD
153035)
- Inhibitor antisense

- PKC-, Raf dan siklin


dependen kinase

Hilangnya
supresor tumor

gen

- Gen-gen APC, AT,


DCC, RB dan p53

- Inhibitor serine/threonine kinase: olomousine: staulosporine: butirolaktone


- Terapi gen untuk memulihkan
supresor gen ke fungsi normal
- Pemblokkan sintesis E2F dengan senyawa antisen

Mekanisme
repair
DNA yang tidak
normal

- Enzim
mismatch
repair DNA: MSH2;
MLH; PMSl; PMS2

- Terapi gen untuk perbaikan


aktivitas enzim
- Inhibitor check point untuk
meningkatkan
suseptibilitas
terhadap senyawa perusak
DNA

Tidak
adanya
penuaan sel pada sel
tumor

- Telomerase

- Inhibitor telomerase

Angiogenesis

- Faktor pertumbuhan
FGF, VEGF
- Reseptor integrin

- TNP-470; suramin

- Metaloprotease
- Kolagenase

- Inhibitor protease
- Inhibitor kolagenase

Metastase

- Antagonis v, 3; v5

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

Oliff A, Gibbs JB., Mc Cormick, F. New molecular targets for cancer


therapy. Scienti Am 1996; 275 (3) : 110-5.
Tjahjono. Deteksi dini kanker: Peran pemeriksaan sitologik dan
antisipasi era pasca genom. MKI 1999; 49 (7) : 278-90.
Szeinfeld D. At molecular level. Nuclear Active, August (1989); 50-2.
Frank LM, Teich NM. Introduction to cellular and molecular biology of
cancer: Oxford University Press., 2nd ed, 1998.
Hutchinson C, Glover DM. Cell cycle control, 1st ed., Oxford University
Press., 1993.

HASIL PENELITIAN

Penelitian Aktivitas Biologik


Infus Benalu Teh (Scurulla
atropurpurea Bl. Danser) terhadap
Aktivitas Sistim Imun Mencit
M. Wien Winarno, Dian Sundari, Budi Nuratmi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian aktivitas biologik infusum benalu teh (Scurulla
atropurpurea (BI) Danser) terhadap aktivitas sistem imun pada mencit. Bahan yang
diteliti dalam bentuk infusum dengan dosis pemberian 15 mg, 75 mg, 150 mg, dan
1500 mg/100 gram bb. Sebagai pembanding digunakan akuades.
Infus diberikan secara oral, 1 kali sehari selama 7 hari berturut-turut, setelah
imunisasi dengan sel darah merah domba. Pengamatan meliputi berat limpa dan
pengukuran konsentrasi lg G. Selain itu dilakukan penentuan LD50 menggunakan
hewan tikus putih, dengan cara Thompson-Weil.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian infusum benalu teh pada semua
dosis tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap berat limpa dan konsentrasi lg G
(P>0,01), tetapi pada pengamatan konsentrasi lg G setiap minggu, terlihat pola
perkembangan yang meningkat terutama pada dosis 150 mg/100 g bb. yaitu 97,0
mg/dl. Penghitungan LD50 mendapatkan nilai > 5 gram/kg bb, sehingga bahan dapat
digolongkan tidak beracun.

PENDAHULUAN
Pada saat ini pengembangan obat anti tumor atau antikanker yang berasal dari tanaman banyak digalakkan, mengingat bahan obat asal tanaman tersebut banyak terdapat di
Indonesia. Salah satu bahan obat asal tanaman tersebut adalah
Scurulla atropurpurea (BI) Danser yang biasanya dikenal
dengan nama benalu teh.
Benalu teh (Scurulla atropurpurea (BI) Danser) adalah
tumbuhan yang hidupnya menumpang pada tumbuhan teh dan
menghisap makanan dari tumbuhan inang untuk kelangsungan
hidupnya. Tanaman ini digunakan oleh sebagian masyarakat
yang tinggal di daerah di Indonesia sebagai obat anti tumor
atau antikanker(1). Daun dan batang tanaman ini mengandung
senyawa alkaloid, flavonoid, glikosida, triterpen, saponin dan
tanin(2,3).
Di Eropa dan Amerika ada jenis tanaman misalnya Viscum

album L. yang dipakai untuk mengobati tumor atau kanker.


Penelitian yang pernah dilakukan tanaman tersebut bersifat
imunostimulator yaitu, melalui pengaktifan sel granulosit dan
makrofag, yang memberi sifat anti tumor(4), mungkin benalu
teh mempunyai sifat tersebut dengan mekanisme imunostimulator yang lain yaitu meningkatkan konsentrasi lg G.
Tumor atau neoplasma adalah suatu pertumbuhan jaringan
baru yang tidak normal akibat pertumbuhan sel-sel baru yang
terus menerus tanpa kontrol dan tidak berfungsi bagi tubuh.
Secara garis besar tumor dapat digolongkan menjadi 2 jenis,
yaitu : tumor jinak (benigna) dan tumor ganas (maligna)(5,6).
Sampai sekarang penyakit kanker (tumor ganas) masih
merupakan masalah dalam bidang kesehatan di Indonesia,
dengan angka kematian yang terus meningkat, yaitu 1,4%
tahun 1972 menjadi 4,3% pada tahun 1986 dan 4,4% pada
tahun 1992(7,8,9).

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 11

Ada teori yang menyatakan dalam pembentukan antigen


tumor invivo dilibatkan respon imun humoral maupun seluler.
Respon antibodi terhadap tumor memerlukan bantuan efektor
imun yang lain seperti makrofag dan Natural Killer (NK).
Sampai saat ini belum ada bukti antibodi secara sendiri dapat
menghambat perkembangan atau pertumbuhan sel tumor,
kecuali bukti penelitian invitro terhadap beberapa jenis sel
tumor yang dapat dilisiskan oleh antibodi(10,11).
Imunoglobulin merupakan salah satu fraksi protein dalam
darah yang diproduksi sebagai reaksi terhadap berbagai rangsang antigenik yang diproduksi oleh limfosit B dan berperan
dalam kekebalan humoral. Kerja sama imunoglobulin dengan
sel NK terjadi karena sel NK memiliki reseptor Fc lg G. Bila
imunoglobulin G (lg G) mengikat antigen berupa protein pada
permukaan sel tumor yang disebabkan oleh virus, lg G melapisi
permukaan sel tumor, maka terjadi tumorosida. Peran lg G
sangat penting karena aktivitas sel NK terhadap antigen tumor
sangat rendah(10,11).
Tujuan penelitian ini untuk menambah dan melengkapi
informasi mengenai benalu teh sebagai obat tumor atau kanker
yaitu dengan melihat aktivitas lg G pada mencit putih dengan
metode Uji difusi gel kuantitatif.
BARAN DAN CARA
a. Bahan dan Alat Penelitian
1) Bahan
Tanaman atau bagian tanaman yang diteliti ialah herba
Scurulla atropurpurea (BI.) Danser., yang dikumpulkan dari
daerah Probolinggo Jawa Timur dan telah dideterminasi, di
Herbarium Bogoriensis, Bogor.
2) Percobaan Toksisitas akut (LD50)
Tikus galur Sprague Dawley jenis kelamin jantan dan
betina dengan berat 150-180 gram (40 ekor).
Natrium klorida
Akuades
Kapas steril
Sonde lambung
3) Penelitian aktivitas sistem imun
Mencit galur C3H jenis kelamin jantan dengan berat
18-23 gram (50 ekor)
Akuades
Buffer Saline Phosphat
EDTA
Lempeng agar imunodiffusion
Immuno viewer
Micrometer pipet
Pipet tips
Capillary tube dengan heparin
Micro tube centrifuge
Sonde lambung
b. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan
Acak Lengkap dengan 10 pengulangan, untuk melihat pengaruh pemberian infusum benalu teh terhadap berat limpa pada
minggu ke 2. Rancangan petak terbagi (split spot) terdiri dari 2

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

faktor, melihat pengaruh pemberian infusum benalu terhadap


konsentrasi lg G, dari minggu 0 sampai minggu ke-2.
c. Cara Kerja
1) Pembuatan infus benalu teh
Pengolahan bahan tanaman benalu teh dengan cara dikeringkan dengan sinar matahari dan dalam lemari pengering
dengan suhu tidak lebih dari 50 C sampai mendapatkan bobot
yang konstan. Bahan digiling dan diayak dengan menggunakan
ayakan Mesh 48, serbuk benalu dibuat infus sesuai Farmakope
Indonesia(12).
2) Pembuatan suspens antigen
Sel darah merah domba (SDMD), dipisahkan dari plasma
dengan pemusingan 1500 rpm. Plasma dikeluarkan kemudian
dilakukan pencucian dengan larutan buffer saline phosphat
(BSP) dengan pH 7,2. Pencucian dilakukan paling sedikit tiga
kali. Setelah pencucian selesai BSP dibuang, sehingga diperoleh suspensi SDMD 100%. Ke dalam suspensi SDMD 100%
ditambahkan PBS dengan volume yang sama, sehingga
didapatkan suspensi SDMD 50% menjadi 1% dengan
penambahan BSP.
3) Percobaan LD50 cara Thompson-Weil(13)
Tikus diberi dosis obat dalam bentuk infus dengan sonde
lambung. Dosis ditentukan dari percobaan pendahuluan dan
kematian diobservasi selama 2 minggu. Pada hari terakhir
pengamatan, semua hewan coba didekapitasi dan dilakukan
pemeriksaan makroskopik. Bila terdapat kelainan organ dalam,
dicatat dan diperiksa secara mikroskopik.
4) Penelitian aktivitas sistem imun
Lima puluh ekor mencit jantan galur C3H, dengan berat
badan 20-30 gram, dibagi secara acak menjadi 5 kelompok
diperlakukan dengan sepuluh ulangan (berdasarkan rumus
Federer). Kelompok I mendapatkan akuades dan suntikan suspensi SDMD 1 % intraperitoneum; Kelompok II mendapatkan
infus dengan dosis 15 mg/100 g dan suntikan suspensi SDMD
1 %; Kelompok III mendapatkan infus dengan dosis 75 mg/100
dan suntikan suspensi SDMD 1 %; Kelompok IV mendapatkan
infus dengan dosis 150 mg/100 g dan suntikan suspensi SDMD
1%; Kelompok V mendapatkan infusum dosis 1500 mg/100 g
dan suntikan suspensi SDMD 1 %. Bahan percobaan diberikan
secara oral setiap hari, selama 7 hari dan tiap kelompok mendapat makanan dan minuman adlibitum. Satu minggu sebelum
bahan obat dan suntikan SDMD diberikan, dilakukan pengambilan darah lewat vena orbitalis, kemudian diulang pengambilannya 1 minggu setelah pemberian obat dan 2 minggu
setelah pemberian obat pertama. Pemisahan serum darah dilakukan dengan cara disentrifus pada 3000 rpm selama 10
menit. Serum yang diperoleh langsung diukur kadar imunoglobulinnya untuk penelitian(13).
d. Pengamatan
1) Pengukuran konsentrasi imunoglobulin G (lg G)
Ke dalam sumuran imunodifusi radial yang masing-masing
mengandung anti lg G mouse, dengan mikro pipet dimasukkan
5 l serum. Pengukuran diameter presipitasi dilakukan pada
hari ketiga menggunakan alat immunoviewer(10).
2) Pengamatan berat limpa

Pada akhir percobaan mencit dibius dengan menggunakan


eter, dilakukan pembedahan dari bagian inguinal sampai
torakal untuk mengangkat limpa, sisa cairan yang menempel
pada organ dihisap dengan kertas saring. Berat limpa ditimbang
menggunakan timbangan analitik merk Sartorius.
e. Analisis data
1) Analisis data toksisitas akut (LD50 dilakukan menurut
metode Thompson-Weil dengan batas kepercayaan 95%.
2) Analisis data aktivitas sistem imun dilakukan :
Bila data yang didapat distribusinya normal dilakukan
uji parametrik dengan anova 2 way(11,12).
Bila data yang didapat distribusinya tidak normal dilakukan uji dengan Friedman dan dilanjutkan dengan
uji berganda(11,12).
HASIL PENELITIAN
1) Uji toksisitas akut (LD50)
Pemberian infusum benalu teh dengan dosis tertinggi yang
dapat diberikan pada tikus, selama 14 hari pengamatan, tidak
menimbulkan kematian ataupun tanda-tanda intoksikasi, serta
tidak menimbulkan perubahan tingkah laku maupun bobot
badan. Pengamatan makroskopik tidak menunjukkan adanya
penyimpangan morfologi pada organ hati, ginjal, limpa, paru
dan jantung. Dengan demikian didapatkan harga LD50 > 5
gram/kg bb, sehingga dapat digolongkan bahan termasuk
kategori tidak beracun(14).
2) Penelitian aktivitas sistem imun
a) Pengukuran konsentrasi Imunoglobulin G (lg G)
Pemberian infus benalu teh pada semua dosis, setelah
diimunisasi dengan sel darah merah domba terlihat kenaikan
konsentrasi lg G pada setiap minggunya (Tabel 1). Perhitungan
uji normalitas dan homogenitas kadar lg G hewan perlakuan
dan kontrol memperlihatkan distribusi normal dan sebaran
yang homogen. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan perhitungan analisis uji parametrik anova 2 way(14).
Pada uji statistik tersebut tidak terdapat perbedaan nyata
antar dosis perlakuan (P>0,01). Bila dilihat pola perkembangan
lg G minggu ke-0,1 dan 2 terdapat perbedaan sangat nyata pada
P<0,01. Pengujian dengan regresi Poli/nominal Orthogonal
terhadap pola perkembangan lg G minggu ke-0,1, dan 2 pada
dosis 15, 75, 1500 mg/100 g bb. dan akuades umumnya mempunyai pola perkembangan yang sama (regresi mendatar),
namun pada dosis 150 mg/100 g bb. menunjukkan pola
perkembangan yang meningkat (regresi linier) dengan
persamaan garis Y = 265,13 + 97X, dengan peningkatan konsentrasi 97,0 mg/dl (Gambar 1).
b) Berat limps
Pengukuran berat relatif limpa (berat limpa per bobot
badan akhir) disajikan dalam tabel 3. Bila dilihat kelompok per
kelompok, maka kelompok akuades menunjukkan berat relatif
limpa yang besar, yaitu 15,8 mg disusul Dosis 1, Dosis 2, Dosis
4 dan Dosis 3. Pada uji homogenitas dan normalitas memperlihatkan data mempunyai distribusi tidak normal dan sebaran yang tidak homogen. Berdasarkan hal tersebut dilakukan uji

non-parametrik Krusal-Wallis dari uji statistik tersebut berat


relatif limpa dari 5 kelompok perlakuan tidak berbeda nyata
(P>0,05) (Tabel 2).
Tabel 1. Hasil pengukuran rata-rata konsentrasi 1gG (dalam mg/dl).
Dosis

Waktu

Rata-rata

Dl

Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2

452,0 127,32
485,0 87,23
527,7 112,99

D2

Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2

472,7 126,81
601,8 183,25
523,2 230,65

D3

Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2

366,7 167,71
450,0 117,52
560,7 148,01

D4

Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2

435,6 59,93
443,8 100,39
452,2 96,86

Akuades

Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2

429,9 120,83
507,3 153,16
500,3 109,26

Keterangan :
D1 = Dosis infusum benalu teh 15 mg/100 g bb.
D2 = Dosis infusum benalu teh 75 mg/100 g bb.
D3 = Dosis infusum benalu teh 150 mg/100 g bb.
D4 = Dosis infusum benalu teh 1500 mg/100 g bb.
Akuades = akuades 0,3 ml/10 g bb.

Gambar 1.

Persamaan regresi hubungan pemberian infus benalu teh


dosis 150 mg/100 g dengan peningkatan konsentrasi lgG.

PEMBAHASAN
Tanaman benalu teh (Scurulla atropurpurea (BI) Danser)
secara empirik digunakan untuk mengobati penyakit tumor atau
kanker. Aktifitasnya sebagai obat antitumor atau antikanker
mungkin secara tidak langsung yaitu rnelalui pengaktifan
sistem kekebalan tubuh dengan mengukur konsentrasi lgG.
Pemakaian bahan sebagai obat anti tumor atau kanker menimbulkan dugaan bahwa bahan bersifat imunostimulator yaitu

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 13

Tabel 2. Berat relatif limpa mencit pada akhir percobaan.


Ulangan
Perlakuan

Dosis 1
Dosis 2
Dosis 3
Dosis 4
Akuades

10

0,186
0,082
0,052
0,151
0,056

0,055
0,500
0,084
0,075
0,064

0,061
0,209
0,058
0,070
0,089

0,089
0,278
0,082
0,069
0,060

0,199
0,970
0,100
0,137
0,205

0,313
0,940
0,068
0,070
0,148

0,258
0,570
0,096
0,248
0,061

0,154
0,580
0,073
0,052
0,051

0,073
0,075
0,045
0,090
0,043

0,088
0,081
0,055
0,055
0,022

dapat meningkatkan konsentrasi lgG. Hasil pengujian pemberian infusum benalu teh pada semua dosis perlakuan tidak
memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi lgG (P>0,01),
dengan pembanding akuades, tetapi pada dosis 150 mg/100 g.
bobot badan terjadi kecenderungan peningkatan konsentrasi
lgG. Sehingga dapat dikatakan infus benalu teh pada dosis
tersebut di atas dapat dikatakan bersifat imunostimulator yaitu
peningkatan konsentrasi lgG. Kemungkinan diantara senyawasenyawa imunostimulator. Wagner (1985) secara umum
menyebutkan golongan terpenoid, alkaloid atau polifenol mempunyai sifat imunostimulator.
Pengamatan terhadap berat relatif limpa, tidak terjadi
perubahan pada berat limpa pada semua dosis perlakuan,
sehingga tidak dapat ditarik kesimpulan dari pengamatan
tersebut.
KESIMPULAN
Infusum benalu teh (Scurulla atropurpurea (Bl) Denser)
merupakan bahan yang tidak toksik dengan LD50>5 gram/kg
bobot badan.
Pengaruhnya terhadap konsentrasi lgG tidak berbeda nyata
antar dosis perlakuan (P>0,01), tetapi pada pengamatan konsentrasi lgG tiap minggu terlihat pola perkembangan yang
meningkat, dengan peningkatan konsentrasi 97,0 mg/dl.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ditujukan kepada Kepala Puslitbang Farmasi, Badan Litbangkes Depkes
RI. serta seluruh staf KPPOT yang telah memberikan saran dan bantuannya
sejak perencanaan sampai selesai penelitian.

Jumlah

Rata-rata

147,6
108,1
71,2
101,7
158,4

14,8 0,09
10,8 0,075
7,1 0,019
10,1 0,061
15,8 0,084

KEPUSTAKAAN
1.
2.

3.

4.
5.
6.
7.
8.
9.
11.
12.
13.

14.

Sudarman Mardisiswojo, Harsono Rajakmangun S. Cabe Puyang Warisan


Nenek Moyang. 2 Balai Pustaka Jakarta, Jakarta.
Chairul, dkk. Skrining Fitokimia dan Analisis Komponen Kimia ekstrak
batang Benalu Teh (Scurulla atropurpurea (Bl) Dans). Dibawakan dalam
Seminar Nasional ke-IX. Penggalian, Pelestarian, Pengembangan dan
Pemanfaatan Tumbuhan Obat : Secang dan Benalu. Yogyakarta, 21-22
September 1995.
IGP. Santa. Studi Kemotaksonomi-Farmakognasi Benalu Antikanker
(Scurulla atropurpurea (B1.) Denser & Dendophtroe pentandra (L) Miq.
Dibawakan dalam Seminar nasional ke-IX. Penggalian, Pelestarian,
Pengembangan den Pemanfaatan Tumbuhan Obat : Secang dan Benalu.
Yogyakarta, 21-22 September 1995.
Wagner, Hildebert. Immunostimulants of Fungi and Higher Plants, 1984.
Achmad Tjarta, Sutisna Himawan : Kumpulan Kuliah Patologi. Bag.
Patologi Anatomik FK. UI.
Departemen Kesehatan RI. Survei Kesehatan Rumah Tangga, 1972.
Departemen Kesehatan RI. Survei Kesehatan Rumah Tangga, 1986.
Departemen Kesehatan RI dan Biro Pusat Statistik. Survei Kesehatan
Rumah Tangga, 1992.
Abbas AK, Lictman AH, Pober JS. Cellular and Molecular Immunology
Saunders Co. Philladelphia, 1991.
Rott IM. Essential Immunology. Blackwell Science Publ. Oxford, 1991.
Departemen Kesehatan RI. Farmakope Indonesia, 1979.
Mohamad Sadikin dkk. Vitamin A dan Imunitas : 3. Peningkatan Titer
Antibodies Tikus Anti Sel Darah Merah Domba oleh Pemberian Vitamin
A secara Oral, MKI 1995; 45 (7).
Sudjana. Metode Statistilk. Tarsito Bandung

Exercise the muscles well, but spare the nerves always


(Schopenhauer)

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

HASIL PENELITIAN

Daya Hambat Benalu Teh


(Scurulla atropurpurea Bl. Danser)
terhadap Proliferasi Sel Tumor
Kelenjar Susu Mencit
(Mus musculus L) C3 H
Yun Astuti Nugroho*, Budi Nuratmi*, Suhardi**
*Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
**Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK
Benalu teh (Scurulla atropurpurea (BL) Danser) secara tradisional digunakan
untuk pengobatan penyakit kanker. Oleh karena itu untuk konfirmasi ilmiah khasiat
benalu teh sebagai antikanker telah dilakukan penelitian daya hambat infus benalu teh
terhadap proliferasi kelenjar susu mencit C3H.
Uji daya hambat terhadap proliferasi tumor kelenjar susu mencit C3H menggunakan cara Pringgoutomo (1992). Bahan berupa infus diberikan per oral dengan
dosis 25; 250; 500 dan 750 mg/100 g bb, sebagai kontrol negatif adalah akuades.
Hasil penelitian menunjukkan infus benalu teh dapat menghambat pertumbuhan
tumor kelenjar susu Mus musculus L galur C3H, dan dosis 500 mg/ 100 g bb. merupakan dosis paling efektif.
Kata kunci : Tanaman obat, Anti tumor, Scurulla atropupurea (BL) Danser, benalu teh

PENDAHULUAN
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun
penderita kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang dan 10
tahun mendatang diperkirakan 9 juta meninggal akibat kanker.
Di Indonesia diperkirakan setiap tahun terdapat 100 penderita
baru dari setiap 100.000 penduduk dan penyakit kanker menduduki urutan ke-3 penyebab kematian sesudah penyakit
jantung dan paru-paru(1,2).
Pengobatan kanker pada umumnya sama, yaitu salah satu
atau kombinasi dari operasi, penyinaran (radioterapi), obat
pembuluh sel kanker (sitostatika), meningkatkan daya tahan
tubuh dan pengobatan dengan hormon. Hasilnya tentu tergantung dari keadaan pasien dan jenis kanker(3). Saat ini gagasan yang tengah dikembangkan dan digalakan penggunaannya
oleh pemerintah adalah upaya pengembangan tanaman obat.

Gagasan ini tertuang dalam Program Departmen Kesehatan,


khususnya Program Tanaman Obat Keluarga (TOGA) dan
Program Apotik Hidup(4).
Salah satu tanaman obat yang paling dikenal masyarakat
untuk mengobati penyakit kanker adalah benalu teh dan salah
satu jenis benalu teh tersebut adalah (Scurulla atropurpurea
(BL) Danser). Selain secara empirik dipakai masyarakat sebagai obat kanker, benalu teh terbukti secara in vitro dapat
menghambat tumor crown gall dan penelitian deteksi aktivitas
asparaginase dalam benalu teh dapat menghidrolisa asparagin.
Asparaginase adalah enzim katalisator yang berperan menghidrolisa asparagin menjadi asam aspartat dan amonia. Dengan
demikian sel kanker kekurangan asparagin yang berakibat kematian sel(3,5,6).
Kandungan kimia benalu teh antara lain alkaloid; flavo-

Dibawakan pada Seminar Sehari PERHIPBA, jakarta, 18 Februari 1999

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 15

noid; terpenoid; saponin; tanin dan dari ekstrak metanol teridenfifikasi senyawa quercetin-7-rhamnoside; caffein; theophyline(7,8).
Adanya data empirik dan beberapa data ilmiah maka telah
dilakukan Konfirmasi Ilmiah Keamanan dan Pemakaian Benalu
Teh (Scurulla atropurpurea (BL) Danser) Sebagai Antikanker
Pada Mus musculus L galur C3H.
BAHAN
1) Bahan Percobaan
Tanaman benalu teh diperoleh dari Magelang Jawa Tengah
dan telah diidentifikasi di Herbarium Bogor. Bahan yang sudah
kering, dibuat serbuk, selanjutnya dibuat infus sesuai dengan
Farmakope Indonesia(9).
2) Hewan Percobaan
Penelitian menggunakan mencit (Mus musculus L) galur
C3H, jenis kelamin jantan bobot badan antara 18-25 gram berasal dari Bagian patologi UI.
CARA KERJA
Transplantasi tumor dilakukan berdasarkan metoda
Pringgoutomo(10). Mencit donor dikorbankan dengan eter,
kemudian diletakkan terlentang pada alas gabus. Kulit yang
bertumor dibasahi alkohol 70% kemudian disayat dengan
gunting untuk mengeluarkan tumornya. Tumor diletakkan pada
cawan petri, kemudian jaringan tumor yang masih bagus,
dipotong untuk dibuat bubur, pada bubur tumor ditambahkan
NaCl 0,85%. Bubur tumor sebanyak 0,2 ml disuntikkan secara
subkutan di aksila kanan mencit menggunakan jarum trokar.
Pengamatan pertumbuhan tumor mulai dilakukan 1 hari setelah
trasplantasi tumor. Setelah masa laten, mencit dikelompokkan
menjadi 5 kelompok :
Kelompok I : Akuades
Kelompok II : Infus benalu teh dosis 25 mg/100 g bb
Kelompok III : Infus benalu teh dosis 250 mg/100 g bb
Kelompok IV : Infus benalu teh dosis 500 mg/100 g bb
Kelompok V : Infus benalu teh dosis 750 mg/100 g bb
Bahan diberikan per oral dengan sonde lambung selama 21
hari. Parameter yang diamati meliputi masa laten, bobot badan
dan volume tumor.
ANALISIS DATA
Untuk melihat ada/tidaknya efek infus benalu teh Scurulla
atropurpurea (BL) Danser) terhadap besar (volume) tumor
kelenjar susu mencit, data dianalisis dengan Kruskal-Wallis(11).

memang telah menjadi salah satu menyebab utama kematian


usia produktif. Kanker timbul akibat pertumbuhan yang tidak
normal dari sebagian sel-sel jaringan tubuh yang berubah
menjadi sel-sel kanker dan sel-sel kanker ini suatu saat bisa
menyebar ke seluruh tubuh. Walaupun penyebabnya memang
belum dapat dipastikan tapi ada beberapa faktor penyebab yang
diduga dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker, seperti
bahan karsinogenik. Pengobatan kanker pada umumnya sama,
yaitu salah satu atau kombinasi dari operasi, penyinaran, obat
pembunuh sel kanker, meningkatkan daya tahan tubuh, dan
dengan obat tradisional baik dengan tanaman obat maupun
binatang(2).
Tabel 1.

Bobot badan mencit (Mus musculus L) setelah pemberian


perlakuan selama 21 hari.

Nomor
hewan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Juml
Rata-rata

Bobot badan mencit setelah pemberian perlakuan


A
17
21
20
20
21
20
20
20
19
19
197
19,7 1,15

B
23
24
23
22
20
21
20
24
23
21
221
22,1 1,4

C
20
20
21
23
27
22
23
20
22
24
222
222 2,2

D
20
20
21
22
24
22
22
22
24
22
219
2 1,9 1,3

E
21
20
25
25
21
23
24
21
23
22
225
22,5 1,7

Keterangan :
A. Akuades
B. Inf. Benalu teh dosis 25 mg/ 100 g bb
C. Inf. Benalu teh dosis 250 mg/ 100 g bb
D. Inf. Benalu teh dosis 500 mg/ 100 g bb
E. Inf. Benalu teh dosis 750 mg/ 100 g bb
Tabel 2. Masa laten dari masing-masing mencit.
Nomor
hewan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Masa laten dari masing-masing mencit pada kelompok


A
6
6
6
7
6
6
7
7
6
6

B
6
7
7
7
6
6
6
6
6
6

C
7
7
6
7
6
6
6
6
6
5

D
6
6
6
6
6
5
7
7
6
7

E
5
6
5
7
6
6
6
7
6
6

HASIL
Pengamatan bobot badan tidak menunjukkan adanya perbedaan (tabel 1). Masa laten untuk setiap mencit tidak sama
(tabel 2). Besar (volume) tumor terlihat adanya perbedaan
antara kelompok yang diberi akuades dan kelompok yang
diberi infus benalu teh (tabel 3).

Keterangan :
A. Akuades
B. Inf. Benalu teh dosis 25 mg/ 100 g bb
C. Inf. Benalu teh dosis 250 mg/ 100 g bb
D. Inf. Benalu teh dosis 500 mg/ 100 g bb
E. Inf. Benalu (eh dosis 750 mg/ 100 g bb

PEMBAHASAN
Di Indonesia diperkirakan setiap tahunnya terdapat 100
penderita kanker baru, dari setiap 100.000 penduduk. Kanker

Benalu teh (Scurulla atropurpurea (BL) Danser) oleh


sebagian masyarakat diperdagangkan dan digunakan untuk
pengobatan penyakit kanker. Beberapa literatur dan hasil penelitian, benalu teh mempunyai kandungan kimia sterol triter-

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

penoid, flavonoid, saponin dan tanin(6,7). Pada skrining antikanker ekstrak kloroform benalu teh dengan menggunakan
metode Brine Shrimp Lethality Test ternyata menunjukkan
hasil positif(12).
Bubur tumor yang ditransplantasikan pada mencit oleh
tubuh mencit resipien (inang) akan dikenali sebagai benda
asing, oleh karena itu sistem imun inang akan bereaksi terhadap
pertumbuhan tumor. Sistem imun setiap individu tidak sama
oleh karena itu setiap mencit resipien akan memberikan respon
yang berbeda.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan :
Infus benalu teh dapat mengurangi pertambahan volume
tumor kelenjar susu mencit (Mus musculus L).
Saran :
Oleh karena kandungan kimia dari benalu teh adalah
golongan antioksidan maka disarankan untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan imunitas.
KEPUSTAKAAN

Tabel 3.

Volume tumor kelenjar susu mencit (Mus musculus L) setelah


pemberian perlakuan.

Nomor
hewan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Juml
Rata-rata

Volume tumor setelah pemberian perlakuan


A
5,48
8,21
9,75
64,57
42,08
64,97
59,00
30,54
29,074
24,60
338,29
33,82

B
10,93
13,40
20,00
9,50
26,34
45,80
13,56
7,00
40,20
186,74
20,74

C
3,28
32,00
9,92
13,40
18,80
10,55
11,06
11,66
13,85
6,11
130,65
13,06

D
5,00
3,80
9,14
5,00
8,68
3,20
2,85
2,30
2,60
12,80
55,38
5,53

E
7,14
4,76
5,65
3,62
5,93
3,40
7,66
4,60
10,75
4,40
57,93
5,79

Keterangan :
A. Akuades
B. lnf. Benalu teh dosis 25 mg/ 100 g bb
C. lnf. Benalu teh dosis 250 mg/ 100 g bb
D. lnf. Benalu teh dosis 500 mg/ 100 g bb
E. lnf. Benalu teh dosis 750 mg/ 100 g bb

Tumor mulai berproliferasi setelah melewati masa laten,


proliferasi sel tumor diukur berdasarkan persentasi pertambahan volume tumor. Setelah masa laten mencit diberi infus benalu
teh secara oral setiap hari selama 21 hari. Pemberian infus
benalu teh ternyata mampu menghambat proliferasi sel tumor
kelenjar susu.
Hasil uji Kruskal - Wallis data volume tumor menunjukkan nilai Hc = 25,59, sedangkan H tabel = 9,48 berarti Ho
ditolak pada 0,05 dan 0,01. Berdasarkan data tersebut dapat
disimpulkan ada pengaruh bermakna infus benalu teh terhadap
proliferasi sel tumor kelenjar susu mencit galur C3H. Pada
umumnya bobot badan mencit berkurang tapi dari perhitungan
statistik terlihat bahwa kelompok mencit yang diberi infus
benalu teh ada beda nyata apabila dibanding kelompok akuades
(p=0,05). Kelompok mencit yang diberi infus benalu teh meskipun mengalami penurunan bobot badan tapi penurunannya
masih lebih kecil apabila dibanding kelompok mencit yang
diberi akuades. Daya hambat infus benalu teh dimungkinkan
karena kandungan steroida, glikosida, triterpenoid dan saponin.
Namun demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut
sampai pada kesimpulan benalu teh memang berkhasiat sebagai
antikanker.

1.

Soedoko R. Seminar dan Orientasi Penyakit Kanker Terpadu, Paripurna


dengan peran serta Masyarakat. Malang, 1994.
2.
Wijayakusuma H. Kanker. Pos Kola, Oktober, 1995.
3.
Tjokronegoro A. Etik Penelitian Obat Tradisional. Fakultas Kedokteran
UI. Jakarta, 1992.
4.
Pratiwi DK. Daya Hambat Ekstrak Air Teh Hijau (Camelia sinensis (L)
Kuntze) Terhadap Proliferasi Sel Tumor Kelenjar Susu Mencit (Mus
musculus L) Galur C3H. Jur. Biologi. FMIPA. UI, 1994.
5.
Fanoka. Uji Pendahuluan Efek Antitumor Ekstrak Etanol beberapa (6)
Tanaman Menggunakan Cakram Kentang yang Diinokulasi dengan
Agrobacterium Tumifaciens. Skripsi. JF FMIPA. UI, 1990.
6.
Nuraeni U. Deteksi Aktifitas Asparaginase dalam Daun Loranthus
globosus Roxb. Skripsi. FF. UGM, 1990.
7.
Pasha IB. Penelitian Pendahuluan Kandungan Benalu Teh (Scurrula
atropurpurea (BL) Danser) Simposium Penelitian Tumbuhan Obat V.
Surabaya, 1996.
8.
Kardono BS. Beberapa Senyawa terisolasi dari benalu Teh (Scurulla
parasitica L). Seminar POKJANAS TOI IX. Yogyakarta. 1995.
9.
Departemen Kesehatan RI. Farmakope Indonesia. Ed. III. Jakarta, 1979.
10. Pringgoutomo S. Trasplantasi Jaringan Tumor pada Mencit. Penuntun
Praktikum Patologi Anatomi. Bagian Anatomi. FK. UI. Jakarta, 1992.
11. Steel RGD, Toriee JH. Prinsip dan Prosedur statistik. Suatu pendekatan
biometrik. Terj dari Principles and Procedures Statistics, oleh Sumantri,
B. PT. Gramedia. Jakarta.
12. Leswara ND. Perbandingan Daya Antioksidan Beberapa Jenis Benalu
Menggunakan metoda Spektrofotometri. Seminar POKJANAS TOI. IX.
Yogyakarta, 1995.

LAMPIRAN
Grafik hubungan antara dosis dengan pertambahan besar tumor.

Gardening requires lots of water most of it in the form


of perspiration
Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 17

HASIL PENELITIAN

Aktivitas Antimutagenik
dan Antioksidan Daun Puspa
(Schima wallichii Kort.)
Didi Jauhari Purwadiwarsa*, Anas Subarnas*, Cucu Hadiansyah**, Supriyatna*
*Jurusan Farmasi, ** Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Padjadjaran, Bandung.

ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai aktivitas antimutagenik dan antioksidan
fraksi butanol daun puspa (Schima wallichii Korth). Hasil pengujian aktivitas antimutagenik secara in vivo dengan metode uji mikronukleus menunjukkan bahwa
pemberian fraksi butanol daun puspa secara oral mampu menurunkan frekuensi sel
eritrosit polikromatik bermikronukleus (MNPCE) dari apusan sumsum tulang paha
mencit jantan galur Swiss-Webster yang diinduksi dengan siklofosfamid dosis 50
mg/kg secara intraperitoneal. Fraksi butanol dosis 300 mg/kg mampu menurunkan
frekuensi MNPCE sebesar 10,51% sedangkan pada dosis 600 mg/kg memberikan
penurunan sebesar 38,27%.
Pada pengujian aktivitas antioksidan secara in vitro dengan metode NBT, fraksi
butanol daun puspa mempunyai penghambatan reduksi NBT oleh superoksida yang
dihasilkan dari reaksi enzimatis xantin dengan bantuan xantin oksidase. Nilai penghambatan reduksi NBT oleh fraksi butanol daun puspa adalah 68,66% pada konsentrasi
200 g/ml dan 94,37% pada konsentrasi 400 g/ml.
Dari hasil pengujian tersebut diperoleh kesimpulan fraksi butanol daun puspa
mempunyai aktivitas antimutagenik dan antioksidan.

PENDAHULUAN
Mutasi merupakan perubahan yang terjadi pada gen atau
pada kromosom. Mutasi dapat dikaitkan dengan timbulnya
beragam kelainan, termasuk penyakit kanker. Selain dapat
terjadi secara spontan, mutasi juga dapat diinduksi oleh berbagai faktor seperti radiasi, senyawa kimia tertentu, dan virus.
Faktor-faktor penginduksi mutasi dikenal sebagai mutagen(1,2).
Salah satu indikator terjadinya mutasi adalah adanya
mikronukleus. Mikronukleus merupakan hasil mutasi dari kromosom utuh yang patah dan kemudian tampak sebagai nukleus
berukuran kecil di dalam suatu sel. Mikronukleus mudah diamati pada sel polikromatik eritrosit. Jumlah sel eritrosit
polikromatik bermikronukleus menunjukkan tingkat kerusakan
genetik dalam sistem eritropoitik suatu makhluk hidup(3).

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

Banyaknya pengunaan bahan-bahan kimia untuk berbagai


keperluan mengakibatkan peningkatan pencemaran bahanbahan kimia berbahaya ke dalam lingkungan hidup. Penelitian
toksikologi memberikan informasi bahwa sebagian besar bahan
kimia yang ada bersifat mutagenik(1,4). Meskipun tubuh kita
sudah dilengkapi berbagai mekanisme pertahanan terhadap
mutagen, peningkatan paparan terhadap bahan-bahan kimia
tersebut dapat meningkatkan peluang terjadinya mutasi. Oleh
karena itu diperlukan suatu zat yang dapat mengurangi risiko
terjadinya mutasi oleh mutagen(5,6).
Dugaan keterlibatan oksigen reaktif dalam terjadinya
mutasi terutama dalam bentuk radikal bebas akhir-akhir ini
makin mendapat perhatian para peneliti. Radikal bebas merupakan sebutan terhadap molekul yang mempunyai elektron yang

tidak berpasangan pada kulit terluarnya, sehingga bersifat


sangat reaktif dan dapat merusak komponen-komponen sel, termasuk asam deoksiribonukleat (DNA) (7). Beberapa laporan
menyebutkan bahwa suatu antioksidan, yaitu senyawa yang
dapat menetralkan radikal bebas juga mempunyai aktivitas
antimutagenik(5,8,9).
Upaya pencarian zat antimutagenik banyak dilakukan terhadap bahan alam, juga dari tumbuhan. Puspa (Schima
wallichii Korth) merupakan salah satu tumbuhan tropis
Indonesia(10) dan termasuk tumbuhan pakan primata. Ekstrak
metanol daun puspa dilaporkan mempunyai aktivitas antipromosi tumor dan antimutagenik(12).
Sebagai kelanjutan dari hasil penelitian tersebut, dalam
rangka usaha mengisolasi senyawa aktif antimutagenik serta
untuk mengetahui kemungkinan adanya aktivitas antioksidan;
maka dilakukan penelitian yang terfokus pada pengujian aktivitas antimutagenik dan antioksidan fraksi butanol daun puspa.
BAHAN DAN METODE
Hewan Percobaan
Mencit (Mus musculus) putih jantan galur Swiss-Webster
didapat dari Laboratorium Struktur dan Perkembangan Hewan
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran, usia 7-9
minggu, berat 22,5 - 27,5 gram, kandang plastik dengan alas
sekam (4-6 ekor). Suhu ruang hewan percobaan 23-25 C,
kelembaban 70-85%, dan cahaya diatur dengan regulator 12
jam terang dan 12 jam gelap. Pakan mencit berupa pelet-789
dan minuman dari air ledeng yang masing-masing diberikan
secara ad libitum.
Bahan Kimia
Bahan kimia yang dipakai dalam penelitian ini adalah
fraksi butanol dari ekstrak metanol daun puspa (Hutan
Pangandaran, Ciamis), Siklofosfamid (Wako Pure Chemical
Industries, Ltd. Jepang).
Fraksi butanol pada pengujian aktivitas antimutagenik disuspensikan dengan PGA (1% b/v) dalam akuades, sedangkan
pada pengujian aktivitas antioksidan dilarutkan dalam DMSO.
Siklofosfamid dilarutkan dalam larutan NaCl fisiologis.
Ekstraksi dan Fraksinasi
Serbuk daun puspa (650 gram) diekstraksi dengan metanol
(3x24 jam), dan ekstrak metanol kemudian dipartisi dengan
campuran etil asetat - air (3 : 1). Lapisan air diekstraksi dengan
n-butanol sehingga diperoleh lapisan air dan lapisan n-butanol.
Lapisan n-butanol kemudian diuapkan hingga diperoleh fraksi
butanol kering yang akan dipakai dalam pengujian.
Uji Mikronukleas - dengan penginduksi siklofosfamid
Pengujian aktivitas antimutagenik menggunakan metode
uji mikronukleus(3) dengan modifikasi. Perlakuan diberikan dua
kali sesuai dengan cara Ghaskadbi dkk. (5)
Mencit dipuasakan dahulu selama kurang lebih 18 jam.
Setelah pemberian suspensi fraksi butanol secara oral (sebagai
kontrol diberikan suspensi PGA tanpa fraksi butanol), siklofosfamid (50 mg/kg bb., i.p.) disuntikkan pada mencit 30 menit
kemudian. Setelah 24 jam mencit diberi lagi suspensi fraksi

butanol dan siklofosfamid dengan dosis yang sama. Enam jam


setelah pemberian siklofosfamid yang kedua, mencit dibunuh
dengan cara dislokasi leher dan dibedah untuk diambil kedua
tulang pahanya.
Sumsum tulang diaspirasi dengan semprit yang berisi NaCl
fisiologis, selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 1000 rpm
selama sepuluh menit. Sebagian supernatan yang dihasilkan dibuang dengan menggunakan pipet pasteur, sisanya dibuat preparat apusan pada kaca objek yang kemudian dikeringkan
selama dua hari pada suhu kamar.
Preparat ini diwarnai dengan pewarna Giemsa menurut
cara Gollapudi & Kamra (1979)(13). Dari preparat tersebut
diamati jumlah sel eritrosit polikromatik bermikronukleus
(MNPCE) di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000 kali,
untuk setiap 1000 sel eritrosit polikromatik (PCE). Penghitungan dilakukan oleh dua orang dan setiap kelompok perlakuan
menggunakan lima ekor mencit.
Data dianalisis dengan analisis variansi, dan sebaran tStudent untuk menguji perbedaan antara dua rata-rata.
Uji NBT - sistim xantin/xantin oksidase
Pengujian aktivitas antioksidan menggunakan metode
Nitroblue Tetrazolium (NBT) dengan kit pereaksi SOD seperti
yang telah dilakukan oleh Murakami dkk. (1996). Kit tersebut
mengandung lima pereaksi (Rl-R5). Rl mengandung buffer
fosfat 0,1 M dengan pH 8, xantin 0,40 mmol/1 dan zat pembentuk warna nitroblue tetrazolium (NBT) dengan kadar 0,24
mmol/l. R2 mengandung enzim xantin oksidase 0,049 unit/ml.
R3 mengandung buffer fosfat 0,1 M dengan pH 8 yang
digunakan untuk melarutkan enzim. R4 merupakan pereaksi
kontrol yang mengandung buffer fosfat 0,1 M pH 8. Sedangkap
R5 adalah penghenti reaksi yang mengandung natrium dodesil
sulfat 69 mmol/1.
Fraksi butanol dibuat sebagai larutan persediaan (LP)
dengan konsentrasi 16 dan 32 mg/ml. Enzim dalam R2 diencerkan dengan R3 dengan perbandingan 1:100 (RE). Disediakan
empat kelompok tabung Effendorf (TI - T4) dan dilakukan
prosedur pengujian sebagai berikut, pada suhu di bawah 10 C.
T1 (sampel) diisi 12,5 ml LP, 250 ml R1, dan 250 ml RE. 72
(blanko) diisi 12,5 ml DMSO, 250 ml R1, dan 250ml RE. T3
(sampel-blanko) diisi 12,5 ml LP, 250 ml R1, dan 250 ml R4.
T4 (blanko-blanko) diisi 12,5 ml DMSO, 250 ml R1, dan 250
ml R4. Keempat tabung Effendorf tersebut serta R5 diinkubasi
pada penangas air dengan suhu 37 C selama 20 menit. Kemudian dilakukan pengukuran serapan cahaya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 560 nm. Pengujian tersebut
dilakukan tiga kali.
Data dinilai dengan menggunakan rumus persen penghambatan reduksi NBT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Efek fraksi butanol daun puspa terhadap frekuensi
MNPCE
Seperti terlihat pada Tabel l atau Gambar 1, rata-rata
frekuensi MNPCE permil PCE pada kontrol, fraksi butanol
dosis 300 dan 600 mg/kg masing-masing adalah 74,2 13,08;
66,4 13,20; dan 45,8 13,66. Dengan demikian pemberian

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 19

fraksi butanol daun puspa dosis 300 dan 600 mg/kg masingmasing memberikan penurunan frekuensi MNPCE sebesar
10,51% dibandingkan. terhadap kontrol. Dari hasil analisis
statistik, dosis 600 mg/kg memberikan efek yang signifikan
(p<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa fraksi butanol daun
puspa dapat menghambat efek mutagenik dari siklofosfamid.
Tabel 1.

Nilai rata-rata sel eritrosit polikromatik yang mengandung


mikronukleus (MNPCE) untuk seluruh kelompok perlakuan.

Perlakuan

Kontrol
Fraksi butanol
Fraksi butanol

Dosis

PCE

300
600

000
5000
5000

MNPCE

371
332
229

MNPCE permil
PCE
Rata-rata SD

Reaksi reaksi tersebut antara lain mengakibatkan patahan rantai


DNA yang diduga menyebabkan terjadinya patahan kromosom
dan dapat terlihat sebagai mikronukleus. Metabolisme siklofosfamid juga dilaporkan menyebabkan peningkatan radikal
anion superoksida dan hidroksil(16) yang mungkin ikut berperan
dalam menginduksi pembentukan mikronukleus. Senyawa aktif
antimutagenik yang terdapat pada fraksi butanol daun puspa ini
belum diketahui secara pasti, diduga termasuk ke dalam senyawa fenolik yang mekanisme aktivitas antimutageniknya
mungkin berkaitan dengan aktivitas antioksidan(12).

74,2 13,08
66,4 13,20
45,8 13,66*

* Signifikan, dibandingkan terhadap kontrol (p<0,05)


Tabel 2. Nilai penghambatan reduksi NBT pada pengujian aktivittis
antioksidan berdasarkan serapan cahaya (A) rata-rata dari
blanko (B1), blanko-blanko (B1-B1), sampel (S), dan sampelblanko (S-B1) pada panjang gelombang () 560 nm.
Konsentrasi fraksi
butanol (g/ml)

Serapan cahaya rata-rata


pada 1560 nm
AB1-B1
AS
AS-B1
AB1

Persentase
penghambatan
reduksi NBT

200
400

0,2840 0,1117 0,217 0,1630


0,2840 0,1117 0,1647 0,1550

68,66%
94,37%

Gambar 2.

Grafik nilai penghambatan reduksi NBT pada pengujian


aktivitas antioksidan.

Efek fraksi butanol daun puspa terhadap reduksi NBT


Seperti terlihat pada Tabel 2 atau Gambar 2, fraksi
butanol daun puspa pada konsentrasi 200 dan 400 mg/ml mempunyai nilai persentase penghambatan reduksi NBT oleh superoksida dari reaksi enzimatis xantin dengan bantuan xantin
oksidase masing-masing sebesar 68,66 dan 94,37%. Hasil ini
menunjukkan bahwa fraksi butanol daun puspa mempunyai
aktivitas antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian mikronukleus secara in vivo
dan pengujian NBT secara in vitro, diambil kesimpulan bahwa
fraksi butanol daun puspa mempunyai aktivitas antimutagenik
dan antioksidan.

KEPUSTAKAAN
Gambar 1. Grafik nilai rata-rata frekuensi sel eritrosit polikromatik bermikronukleus (MNPCE) untuk seluruh kelompok perlakuan
pada pengujian aktivitas antimutagenik. (*Signifikan, dibandingkan terhadap kontrol (P<0,05)

Menurut Czyzewska & Mazur (1995)(15) siklofosfamid


menginduksi pembentukan mikronukleus melalui metabolit
aktifnya yang bersifat pengalkilasi, yaitu mustard fosforamida,
akrolein, dan 4-hidroksisiklofosfamid. Senyawa pengalkilasi
tersebut dapat berikatan dengan berbagai gugus fungsi komponen sel, termasuk terhadap basa-basa DNA. Selain itu dapat
juga terjadi peristiwa pindah silang (cross-linkung) DNA.

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

1.
2.
3.
4.
5.

6.
7.

Moutschen, J. Introduction to Genetic Toxicology. New York : John


Wiley & Son; 1985.
Mulyadi. Kanker, Karsinogen, Karsinogenesis dan Antikanker. Edisi I.
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana; 1996.
Schmid, W. The micronucleus test. Mutation Res. 1975; 31, 9-15.
Wild, D. Cytogenetic effects in the mouse of 17 chemical mutagens and
carcinogens evaluated by the micronucleus test 1978; 56 : 319-27.
Ghaskadbi, S., Rajmachikar S, Agate C, Kapadi AH., Vaidya VG.
Modulation of cyclophosphamide mutagenicity by vitamin C in the vivo
rodent micronucleus assay. Teratogenesis, Carcinog. Mutagen 1992; 12,
11-3.
Kong Z, Liu Z, Ding B. Study on the antimutagenic effect of pine needle
extract. Mutation Res. 1995; 347, 101-4.7.
Halliwell B. Free radicals, antioxidants, and human disease : curiosity,

cause, or consequence? Lancet, 1994; 344 : 721-4


Shiraki M, Hara Y, Osawa T, Kumon H, Nakayama T, Kawakishi S.
Antioxidative and antimutagenic effect of theaflavin from black tea.
Mutation Res. 1994; 323 ; 29-34.
9.
Rompelberg CJM, Stenhuis WH, de Vogel N, van Osenbruggen WA,
Schouten A, Verhagen H. Antimutagenicity of eugenol in the rodent bone
marrow micromucleus test. Mutation Res. 1995; 346 : 69-75.
10. Heyne K. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Jakarta: Yayasan
Sarana Wana Jaya. 1987; 1367.
11. Koshimizu K, Murakami A. Hayashi H,Ohigashi H, Subarnas A,
Gurmaya KJ, Ali AM. Biological activities of edible and medicinal plant
from Indonesia and Malaysia 1998; submission,to publication.
12. Pramana N. Aktivitas Antimutagenik Ekstrak Metanol Daun Puspa
(Schima wallicihii Korth.) dan Fraksi-fraksinya dengan uji Mikronukleus
pada Tikus Wistar. Skripsi. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas
Padjadjaran Bandung 1998.
8.

13. Gollapudi B, Kamra OP. Application of a simple Giemsa-staining method


in the micronucleus test. Mutation Res. 1979; 64, 45-6.
14. Murakami A, Ohura S, Nakamura Y, Koshimizu K, Ohigashi H. Iacetoxychawicol acetate, a superoxide anion generation inhibitor,
potently inhibits tumor promotion by 12-O-tetradecanoylphorbol - 13
-acetate in ICR mouse skin. Omcology 1996; 53 : 389-91.
15. Czyzewska A, Mazur L. Supressing effect or WR-2721 on micronuclei
induced by cyclophosphamide in mice. Teratogenesis, Carcinog. Mutagen
1995; 15 : 109-14.
16. Ramu K, Perry CS, Ahmed T, Pakenham G, Kehrer JP. Studies on the
basis for the toxicity of acrolein mercapturates. Toxicol. Appl.
Pharmacol, 1996; 140 : 487-98.
17. Wagner H, Lacaille-Dubois MA. Recent pharmacological results on
bioflavonoids. In S. Antus, M. Gabor & K. Vetschera (Eds) : Flavonoids
and bioflavonoids. Vienna : 9th Hungarian Bioflavonoids Symposium
1995; 53-7.

70% terumbu-karang di Indonesia rusak


40% rusak berat.
Tinggal sekitar 7% yang masih sangat bagus.
Semua karena :
- ketidak tahuan manusia dan
- kerakusan ulah manusia !

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 21

HASIL PENELITIAN

Pengaruh Perasan Daun Ngokilo


(Gynura procumbens Lour. Merr.)
terhadap Aktivitas
Sistim Imun Mencit Putih
Djoko Hargono*, M. Wien Winarno*, Ayu Werawati**
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
** Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila, Jakarta.

PENDAHULUAN
Indonesia kaya akan tumbuh-tumbuhan, yang berdasarkan
pengalaman telah dimanfaatkan oleh nenek moyang kita sejak
zaman dahulu kala untuk memenuhi keperluan hidupnya,
antara lain untuk obat. Sampai saat inipun pemanfaatan
tumbuhan obat sebagai obat tradisional masih dilakukan di
samping obat-obat modern, bahkan ada kecenderungan
meningkat (Depkes RI, 1983). Hal ini terlihat nyata sekali di
daerah pedesaan, terlebih lebih daerah terpencil yang jauh dari
fasilitas kesehatan modern, hingga untuk memenuhi
keperluannya akan obat mereka menggunakan bahan-bahan
nabati yang banyak terdapat di pekarangan sekeliling tempat
tinggalnya, yang kemudian diramu sendiri di rumah masingmasing, sehingga dengan biaya yang relatif murah keperluan
obat untuk pelayanan kesehatannya dapat dipenuhi. Dengan
demikian dapat membantu meringankan beban hidupnya,
karena pemanfaatan tumbuhan untuk obat dapat dilakukan
dengan cara yang sederhana, misalnya dengan memanfaatkan
bahan segar yang dikonsumsi sebagai ulam atau lalap.
Dalam rangka pemerataan dan perluasan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat, sebagaimana dinyatakan dalam
GBHN 1988 bangsa Indonesia bertekad untuk meningkatkan
peranan tumbuh-tumbuhan obat. Karenanya upaya penggalian,
penelitian dan pengembangan pemanfaatan tumbuhan obat
perlu ditingkatkan terus. Hal itu mungkin direalisasikan,
mengingat di Indonesia terdapat kurang lebih 40.000 jenis
tumbuhan dan baru 1.000 jenis yang telah dimanfaatkan
sebagai obat.
Dari informasi yang berhasil dikumpulkan, diketahui
bahwa salah satu tumbuhan obat yang telah banyak digunakan
oleh masyarakat secara turun temurun adalah daun Ngokilo
atau daun Sambungnyawa [Gynura procumbens (Lour.) Merr.]
untuk menurunkan kadar kolesterol darah, mengobati diabetes,

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

mengobati tumor, penyakit hati (lever) sakit uluhati, wasir,


kurap atau terkena bisa ular. Salah satu prinsip pengobatan
dengan obat alam yang tengah berkembang saat ini adalah
melalui peningkatan sistem imunitas. Jika penyakit tersebut
adalah penyakit yang dapat dikategorikan penyakit infeksi,
maka sistem imun dapat membunuh penyebab penyakit
melalui mekanisme tidak langsung dengan peningkatan pertahanan seluler. Agar sistem imun tumbuh dapat melawan
penyebab penyakit maka aktivitas sistem imun penderita perlu
ditingkatkan.
Dalam kaitan ini telah dilakukan penelitian terhadap
perasan daun Ngokilo [Gynura procumbens (Lour.) Merr.]
untuk mengetahui pengaruhnya terhadap sistem imunitas
mencit putih.
PERUMUSAN MASALAH
Perlu dibuktikan ada atau tidaknya pengaruh perasan daun
Ngokilo segar dengan pemberian secara oral kepada mencit
putih terhadap sistem imunitasnya.
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah perasan
daun Ngokilo segar yang diberikan secara oral kepada mencit
putih dapat mempengaruhi sistem imunitasnya.
Hipotesis
Pemberian perasan daun Ngokilo segar secara oral kepada
mencit putih bersamaan dengan penyuntikan antigen dapat
meningkatkan sistem imunitasnya.
Manfaat penelitian
Manfaat yang dapat diharapkan dari penelitian ini adapah
diperolehnya informasi ilmiah tentang pemanfaatan perasan

daun Ngokilo segar secara oral pada mencit putih untuk


meningkatkan aktivitas sistem imunitasnya.

karena dapat memberikan respon langsung terhadap antigen,


sedang sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk
SISTEM IMUN

TINJAUAN PUSTAKA
Tumbuhan asal
1) Klasifikasi tumbuhan(1)
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio : Magnoliophytina (Angiospermae)
Classis
: Magnoliatae (Dicotyledoneae)
Subclassis : Sympetalae
Ordo
: Asterales
Familia
: Asteraceae
Genus
: Gynura
Species
: Gynura procumbens (Lour.) Merr.
2) Sinonim(2)
Sinonim
: Cacalia procumbens Lour.
Cacalia satmentosa B1.
Gynura sarmentosa (B1.) DC.
3) Pertelaan tumbuhan(2,3)
Tumbuhan ini merupakan terna, memanjat atau menjalar,
panjang 1-6 m, jika dimemarkan memberikan bau aromatik.
Batang tumbuh ke atas, di kaki batang terbentuk akar, batang
bersegi, agak berdaging, bercabang, berwarna keunguan dan di
bagian ujung tidak berbulu atau berbulu jarang. Daun tunggal,
bentuk bunder panjang, ujung meruncing. Bunga berwarna
jingga, kuning kemudian coklat kemerahan.
4) Kandungan kimia
Daun Ngokilo [Gynura procumbens (Lour.) Merr.] mengandung senyawa-senyawa aromatik yang tersusun dari
unsur-unsur kalium, kalsium, magnesium dan fosfor. Pada
skrining fitokimia diketahui bahwa daun Ngokilo mengandung
pula senyawa-senyawa organik, yakni senyawa karbohidrat,
senyawa pereduksi, lendir, flavonoid, steroid, triterpenoid dan
protein(4). Di samping itu dari penelitian terdahulu diketahui
bahwa daun Ngokilo mengandung pula enzima asparaginase(5).
5) Manfaat dan kegunaan(3,6)
Manfaat dan kegunaan daun Ngokilo antara lain adalah
untuk obat penurun kadar kolesterol darah, diabetes, tumor,
penyakit hati (lever), sakit ulu hati, wasir, kurap atau
menetralkan bisa ulat yang mengenai tubuh.
6) Toksisitas akut (LD50)
Berdasarkan penelitian sebelumnya(7) dengan menggunakan label dan rumus Weil C.S. dapat diperoleh nilai LD50
calon obat (perasan daun Ngokilo) tersebut, yakni 44770
mg/kg berat badan, dengan kisaran dosis antara 21615 mg/kg
berat badan sampai 92730 mg/kg berat badan.
Sistem pertahanan tubuh(8,9)
Sejak lahir individu sudah dilengkapi dengan dua jenis
sistem pertahanan, sehingga tubuh dapat mempertahankan
keutuhannya dari berbagai gangguan yang datang dari luar
maupun dari dalam tubuh (Gambar 1).
a) Sistem imun nonspesifik
Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme,

NON SPESIFIK

FISIK
Kulit

Selaput
lendir

LARUT
*Biokimia
Asam lambung
Lisozim
Laktoterin
Asam neuraminik
*Humoral
Komplemen
Interferon
CRP

Gambar 1.

SELULER
Fagosit
Sel NK
SPESIFIK

HUMORAL
Sel B

SELULAR
Sel T

Sistem Pertahanan Tubuh (Baratawidjaja, 1988)

mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan


responnya. Sistem tadi disebut nonspesifik karena tidak
ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. Komponenkomponen sistem imun nonspesifik terdiri atas :
1) Pertahanan fisik/mekanik
Sistem pertahanan fisik/mekanik ini melibatkan kulit,
selaput lendir, silia saluran napas, proses batuk dan bersin
untuk mencegah masuknya berbagai kuman patogen kedalam
tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput
lendir yang rusak antara lain oleh asap rokok, akan meninggikan resiko infeksi.
2) Pertahanan biokimia
Bahan yang disekresi mukosa saluran napas, kelenjar
sebaseus kulit, telinga, spermin dalam semen mengandung
bahan yang berperanan dalam pertahanan tubuh secara
biokimiawi. Asam hidroklorida dalam lambung, lisozim dalam
keringat, ludah, air mata dan air susu dapat melindungi tubuh
terhadap berbagai kuman gram positif dengan jalan menghancurkan dinding selnya. Air susu ibu juga mengandung
laktoferin dan asam neuroaminat yang mempunyai sifat
antibakterial terhadap E. coli dan Staphylococcus.
b) Sistem imun spesifik
Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun
spesifik mempunyai kemampaun untuk mengenal benda yang
dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali
muncul dalam tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik,
sehingga terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila
sel sistem imun tersebut berpapasan kembali dengan benda
asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan
dikenal lebih cepat den kemudian dihancurkan olehnya.
Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menghancurkan
benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem ini
disebut spesifik. Sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa
bantuan sistem imun nonspesifik. Untuk menghancurkan
benda asing yang berbahaya bagi badan; tetapi pada umumnya

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 23

terjalin kerjasama yang baik antara antibodi-komplemen


fagosit dan antara sel T-makrofag.
1) Sistem imun spesifik humoral
Sel B merupakan sel-sel yang berdeferensiasi dalam
sumsum tulang, jaringan limfoid sekunder yaitu meliputi
limfonodus, limpa da nodulus limfatikus yang terletak di
sepanjang saluran pernafasan, pencernaan dan urogenital,
tepatnya dalam lamina propria saluran ini. Adanya rangsangan
antigen dan dengan bantuan sel T, sel B akan berkembang
menjadi sel plasma dan membentuk antibodi.
2) Sistem imun spesifik selular
Sel T mengalami perkembangan dan pematangan dalam
organ timus. Dalam timus, sel T mulai berdeferensiasi dan
memperoleh kemampuan untuk menjalankan fungsi farmakologi tertentu. Berdasarkan perbedaan fungsi dan kerjanya, sel T
dibagi dalam beberapa subpopulasi, yaitu sel T sitotoksik (Tc),
sel T penindas atau supresor (Ts) dan sel T penolong (Th).
Perbedaan ini tampak pula pada permukaan sel-sel tersebut.
3) Makrofag atau Antigen Presenting Cell (APC)
Kerja sel-sel APC dipengaruhi oleh Macrophage Activating Factor (MAF), interferon gamma dan Interleukin-3 (IL-3)
yang dihasilkan oleh sek T. Faktor-faktor ini bersifat sitolitik
terhadap sel-sel APC. Sel-sel APC merupakan sel-sel yang
berinti tunggal dari seri-seri monosit makrofag yang berperanan penting dalam menimbulkan respon imun.
Rangsangan antigen akan meningkatkan kerja sel T
penolong (Th) untuk merangsang bekerjanya sel B. Sel B
kemudian akan berproliferasi dan berdiferensiasi membentuk
sel plasma yang kemudian akan menghasilkan antibodi.
c) Antibodi
Antibodi adalah imunoglobulin (Ig) yang merupakan
golongan protein yang dibetuk oleh sel plasma yang berasal
dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen.
Antibodi yang terbentuk secara spesifik ini akan mengikat
antigen sejenis yang baru lainnya.
Bila protein serum tersebut dipisahkan dengan cara
elektroliferesis, maka imunoglobulin ditemukan terbanyak
dalam fraksi globulin gamma, meskipun ada beberapa imunoglobulin yang juga ditemukan dalam fraksi globulin alfa dan
beta.
Dua fragmen imunoglobulin yang identik disebut Fab
yang merupakan bagian imunoglobulin yang mengikat antigen
serta bereaksi dengan determinan antigen dan hapten. Bagian
tunggal imunoglobulin disebut Fc oleh karena mudah dikristalkan (c = crystalible).
Imunoglobulin G (IgG) merupakan komponen utama
imunoglobulin serum, dengan berat molekul 160.000. Kadarnya dalam serum sekitar 13 mg/mL, merupakan 75% dari
semua imunoglobulin. IgG dan komplemen bekerja saling
membantu sebagai opsonin pada pemusnahan antigen.
IgG juga berperanan pada imunitas selular, karena dapat
merusak antigen selular melalui interaksi dengan sistem
komplemen atau melalui efek sitolitik killer cell (sel K),
eosinofil, neutrofil, yang semuanya mengandung reseptor
untuk Fc dari IgG. Sel K merupakan efektor antibody
dependent cellular cytotoxicity cell (ADCC).
ADCC tidak hanya merusak sel tunggal, tetapi juga

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

mikroorganisme multiselular seperti telur skistosoma. Peranan


efektor ADCC ini penting pada penghancuran kanker, penolakan transplan dan penyakit autoimun, sedang ADCC
melalui neutrofil dan eosinofil berperan pada infestasi parasit.
Kadar IgG meninggi pada infeksi penyakit kronis dan penyakit
autoimun.
d) Limpa
Limpa adalah organ imun sekunder yang berperan penting
dalam pertahanan tubuh spesifik. Terdapat hubungan yang erat
antara perubahan ukuran limpa pada kasus-kasus imunologik
yang kemudian diikuti dengan peningkatan jumlah limfosit.
Sesuai dengan pernyataan bahwa adanya pembesaran ukuran
limpa disebabkan oleh kerja limpa yang lebih berat dalam
memproduksi sel-sel limfosit.
RANCANGAN PENELITIAN
A) Determinasi tumbuhan
Tumbuhan yang akan diuji dideterminasi di Herbarium
Bogoriense, Balitbang Botani, Puslitbang Biologi, LIPI Bogor.
Determinasi dilakukan untuk mendapatkan klasifikasi dan
nama tumbuhan yang tepat.
B) Bahan percobaan adalah daun Ngokilo yang dikumpulkan dari kebun Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
(Balittro) Bogor. Digunakan daun segar yang berwarna hijau
dan dibersihkan dari bahan organik asing serta kotoran lainnya
dengan cara pencucian dengan air, kemudian diangin-anginkan
di udara sampai tidak terlihat sisa-sisa air di permukaan daun.
C) Penyediaan dan persiapan hewan coba
Digunakan hewan coba mencit putih galur DDY (Deutsch
Democratic Yokohama), jantan, berat badan 25-35 g, diperoleh
dari Bagian Perhewanan Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan (PPOM).
Sebelum penelitian dilakukan, masing-masing hewan
dipelihara selama satu minggu untuk penyesuaian diri terhadap
lingkungan, menyeragamkan makanannya dan diamati kesehatannya. Selama pemeliharaan bobot hewan coba diperiksa
dan dinilai sehat untuk percobaan jika selama pemeliharaan
bobot hewan coba tersebut tetap atau bertambah serta perilakunya normal.
D) Analisis karakteristik bahan uji (daun Ngokilo)
1) Pemeriksaan makroskopik
Pengamatan pada analisis makroskopik meliputi 2 hal
pokok, yakni ukuran dan ciri ciri khas bahan uji.
2) Pemeriksaan organoleptik
Pemeriksaan ini dilakukan terhadap warna, rasa dan bau
bahan uji.
3) Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan ini dilakukan terhadap penampang melintahg
daun Ngokilo melalui ibu tulang daunnya serta serbuk daun
Ngokilo yang telah dikeringkan untuk mengetahui fragmenfragmen pengenalnya, seperti rambut penutup, rambut
kelenjar, hablur kalsium oksalat, tipa stomata dan tipe berkas
pengangkut.
4) Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui gambaran

kromatogram kandungan kimia daun Ngokilo.


E) Penelitian Aktivitas Sistem Imun
Untuk penelitian aktivitas sistem imun ini dilakukan:
1) Pengamatan bobot badan hewan coba
Selama dilakukan penelitian setiap minggu dilakukan
pengamatan bobot badan hewan coba untuk mengetahui
apakah metabolisme hewan coba dipengaruhi oleh sediaan uji
yang digunakan atau tidak. Di samping itu pengamatan bobot
badan hewan coba itu untuk mengetahui juga apakah
perlakuan yang dilakukan, yakni pengambilan darah setiap
minggu dapat mempengaruhi bobot badan hewan coba.
2) Pembacaan titer antibodi terhadap SDMD
Hewan coba diimunisasi dengan SDMD (sel darah merah
domba) dengan cara penyuntikan intra peritoneal, 1 jam
kemudian perasan segar daun Ngokilo diberikan per oral
kepada mencit selama 7 hari berturut-turut. Pengukuran titer
antibodi terhadap SDMD dilakukan dengan Hemaglutinasi
test. Pengamatan dilakukan tiap minggu selama 3 minggu
berturut-turut.
Antibodi adalah Imunoglobulin yang merupakan golongan
protein yang dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari
proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen. Titer
antibodi yang tinggi menunjukkan bahwa sediaan uji dapat
meningkatkan sistem imun.
3) Pengamatan berat relatif limpa
Berat relatif limpa (berat limpa/bobot akhir badan mencit)
diukur dengan penimbangan pada neraca Sartorius di akhir
perlakuan. Pengamatan ini dilakukan, karena kerja limpa yang
lebih berat dalam memproduksi sel-sel limfosit diperkirakan
dapat memperbesar ukuran limpa.
F) Analisis data
Pengolahan data secara statistik untuk mengetahui
perbedaan masing-masing perlakuan dengan melakukan uji
sebagai berikut:
a. Bila data distribusinya normal dan homogen, dilakukan uji
Anova.
b. Bila data distribusinya tidak normal dan homogen,
digunakan uji non parametrik Kruskall-Wallis.
ALAT, BAHAN DAN METODE
A) Bahan untuk penelitian aktivitas sistem imun dan hewan
coba :
1. Sediaan uji : perasan segar daun Ngokilo
2. Hewan coba : mencit putih, jantan, galur DDY, berat
badan 25-35 g
3. Antigen
: sel darah merah domba (SDMD) diperoleh
dari Laboratorium Patologi Klinik FKUI, Jakarta. Jarak
rambat Pereaksi Deteksi.
4. Larutan Phosphate Buffered Saline (PBS): terdiri dari
larutan A dan larutan B. Larutan A : Larutan NaH2P04.
H20 1,38 g/L dan NaCl 8,3 g/L. Larutan B : Larutan
NaH2P04. 1,42 g/L dan NaCl 8,5g/L. 280 mL. Larutan A
ditambahkan pada 720 Larutan B untuk mendapatkan
Larutan PBS dengan pH = 7,2.
5. Eter untuk pembius mencit.
6. Aquadest

7. Alkoho1 96%.
B) Bahan untuk pemeriksaan mikroskopik
1. Air 2. Kloralhidrat LP 3. Floroglusin LP 4. HCI LP
C) Bahan untuk pemeriksaan mikroskopik
1. Lempeng silika gel 60 GF 254 2. zat warna II LP 3. Metil
etil keton 4. Aluminium klorida P 5. Metanol P 6. Etil asetat P
7. Asam formiat P
D) Alat
1. Kandang mencit
2. Juicer (alat bantu peras) merk National
3. Timbangan hewan merk Fuji
4. Timbangan analitik merk Sartorius
5. Micrometer pipet merk Eppen dorf 20-200L
6. Heparin Capiller Tube
7. Pipet tips
8. Microcentrifuge tube 1,5 cc
9. Drope plate
10. Syringe 1 cc; 5 cc
11. Sonde 12. Kain penyaring
13. Gelas ukur
14. Beaker glass
15. Alat-alat bedah ringan
16. Meja bedah
17. Sungkup pembiusan
18. Kapas
19. Tangas air
20. Mikroskop
21. Chamber
E) Metode pemeriksaan KLT
Lempeng
: Silika Gel 60 GF 254
Penyari
: Metanol P
Jumlah totolan : 20 uL
Cairan elusi
: Etil asetat-etil metil keton-asam formiat (60
- 30 - 4)
Jarak rambat
: 15 cm
Pereaksi
: Aluminium klorida
Deteksi
: Sinar biasa
Sinar ultra violet 366 run
Larutan cuplikan : 20 L perasan segar daun Ngokilo diuapkan
di atas tangas sampai kering pada suhu 60 C. Tambahkan 10
mL metanol, panaskan di atas tangas air selama 10 menit,
dinginkan, saring, cuci endapan dengan metanol, pekatkan di
atas tangas air hingga diperoleh 5 mL filtrat.
F) Metode penelitian aktivitas sistem imun
1) Penyiapan simplisia uji dan hewan coba
a. Penyiapan simplisia
Kumpulkan daun tumbuhan Ngokilo [Gynura procumbens
(Lour.) Men.] yang telah dideterminasi. Gunakan daun segar
yang berwarna hijau dan berukuran sedang. Bersihkan dari
bahan organik asing dan kotoran lainnya dengan cara mencuci
dengan air beberapa kali. Tiriskan dan angin-anginkan di udara
terbuka hinga bebas dari air cucian. Daun telah siap untuk
pengujian.
b. Adaptasi hewan coba
Adaptasi terlebih dahulu mencit terhadap lingkungan

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 25

selama 7 hari untuk menyesuaikan dengan lingkungan


penelitian, seragamkan makanannya dan amati kesehatannya.
2) Penyediaan perasan segar daun Ngokilo
Timbang sejumlah tertentu daun segar yang siap diuji,
masukkan ke dalam juicer sampai diperoleh perasan daun
Ngokilo. Timbang ampas yang ada dan peras kembali. Satukan
hasil perasan yang diperoleh. Hitung kadar tiap mL perasan
dengan membandingkan bobot daun dengan volume perasan
yang diperoleh, hingga diperoleh kadar dengan satuan mg/mL.
Jadikan kadar dalam tiap mL ini sebagai konsentrasi perasan
daun Ngokilo tersebut serta patokan dalam pemberian dosis.
Jika diperlukan konsentrasi yang rendah, encerkan perasan
daun tersebut dengan air suling.
3) Perhitungan dosis
Dari percobaan pendahuluan perkiraan jumlah daun yang
ditimbang untuk dijadikan perasan, didapatkan bahwa 30 g
daun segar menghasilkan perasan 10 mL. Dengan demikian
kadar 3000 mg/mL dapat dijadikan sebagai patokan dosis.
Nilai LD50 perasan daun Ngokilo secara peritoneal = 44770
mg/kg bobot badan(7), sehingga diperoleh nilai LD50 perasan
daun Ngokilo segar per oral sebesar 134310 mg/kg bobot
badan. Dosis yang diberikan pada mencit dalam pengujian ini
adalah :
a. Dosis I = 89540 mg/kg bobot badan (BB) = 900 mg/ l0
gBB
b. Dosis II = 8954 mg/kg BB = 90 mg/10 g BB.
c. Dosis III = 895,4 mg/kg BB = 9 mg/10 g BB.
4) Pembuatan suspensi antigen
Tampung darah domba dalam tabung bersih dan kering
yang berisi serbuk EDTA sebagai antikoagulan. Untuk 1 mL
darah domba, diperlukan 1 mg EDTA. Pisahkan darah merah
domba (SDMD) dari plasmanya dengan pemusingan pada
sentri fuge 1500 rpm.
Pisahkan plasma dan cuci sel darah merah dengan
menambahkan PBS dalam jumlah besar dan tabung berisi
suspensi tersebut dibolak-balik beherapa kali dan pusingkan
kembali. Lakukan pencucian paling sedikit 3 kali. Setelah
pencucian selesai buanglah PBS dan diperoleh SDMD 100%.
Kemudian pada SDMD 100% tadi tambahkan PBS
dengan volume sama, hingga diperoleh suspensi SDMD 50%.
Siapkan antigen yang digunakan dengan mengencerkan 0,2
mL suspensi SDMD 50% dengan 9,8 mL PBS, sehingga
diperoleh 10 mL suspensi antigen (SDMD 1%).
5) Penelitian aktivitas sistem imun
Kelompokkan secara acak mencit jantan menjadi 5
kelompok, masing-masing terdiri dari 10 ekor mencit,
mewakili 5 perlakuan, yaitu :
a. Kelompok A : Mendapat imunisasi SDMD 1% secara
intraperitonial serta memperoleh perasan daun Ngokilo per
oral dengan dosis 9 mg/l0 g BB.
b. Kelompok B : Mendapat imunisasi SDMD 1% secara
intraperitonial serta memperoleh perasan daun Ngokilo per
oral dengan dosis 90mg/l0 g BB.
c. Kelompok C : Mendapat imunisasi 1% secara
intraperitonial serta memperoleh perasan daun Ngokilo per
oral dengan dosis 900mg/l0 g BB (berat badan).
d. Kelompok D : Mendapat aquadest per oral sebagai

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

kontrol.
e. Kelompok E : Mendapat imunisasi SDMD 1% secara
intraperitonial serta memperoleh aquadest per oral sebagai
kontrol.
6) Pengamatan
a. Bobot Badan
Selama masa penelitian, lakukan pengamatan keadaan
umum hewan coba meliputi penimbangan bobot badan setiap
minggu untuk melihat ada atau tidaknya gejala keracunan
akibat bahan uji dan gejala anemia akibat pengambilan darah.
b. Hemoglutinasi Test
Ambil darah melalui vena plexus orbitalis di sudut mata
dengan menggunakan pipa kapiler. Pusingkan darah yang
diperoleh pada sentrifuge selama 5 menit pada 2000 rpm.
Simpan darah yang telah menggumpal itu dalam almari
pembeku pada 20C sampai waktu akan dipakai untuk
memperoleh serum sebanyak mungkin.
Hangatkan serum pada tangas air pada suhu 56 C selama
setengah jam untuk menghilangkan aktivitas komplemen
serum, yang akan mengganggu pembacaan titer. Encerkan
secara bertingkat serum yang telah didekomplementasi itu
pada sederet drople plate (lempeng tetes) dengan kelipatan
dua. Seluruh pengenceran dilakukan dengan menggunakan
larutan PBS pH 7,2. Cekungan lempeng tetes pertama dalam
tiap deretan diisi dengan 100 uL serum yang diperiksa,
cekungan kedua diisi dengan serum yang telah diencerkan 2x,
cekungan ketiga diisi dengan serum yang telah diencerkan 4x.
Selanjutnya kedalam setiap cekungan lempeng tetes tersebut
ditambah dengan 100 uL suspensi SDMD 1% dalam PBS.
Setelah itu lempeng tetes digoyang-goyangkan agar suspensi
SDMD 1% dalam tiap cekungan lempeng tetes homogen.
Reaksi hemaglutinasi dibiarkan berlangsung semalam
dalam suhu kamar. Pembacaan titer hemaglutinin dilakukan
keesokan harinya. Hemaglutinasi dianggap positip jika seluruh
atau sebagian besar permukaan yang cekung dasar lempeng
tetes ditutupi oleh lapisan SDMD secara merata. Titer
hemaglutinin dinyatakan sebagai kebalikan pengenceran serum
yang masih menunjukkan hemaglutinasi.
c. Bobot relatif limpa
Pada akhir perlakuan di minggu ketiga (M III) hewan coba
dimatikan, bulu pada bagian ventral dibasahi dengan air
supaya tidak mengganggu pembedahan untuk mengangkat
limpa. Setelah diangkat limpa dibersihkan dan jaringan lain
yang melekat disekitarnya, kemudian diletakkan di atas kertas
saring. Kemudian limpa ditimbang dan ditentukan berat
relatifnya.
HASIL PENELITTAN
1) Determinasi tumbuhan
Determinasi tumbuhan menunjukkan bahwa tumbuhan
yang diteliti adalah Gynura procumbens (Lour.) Merr., suku
Asteraceae (Compositae).
2) Pemeriksaan pendahuluan simplisia
a) Pemeriksaan makroskopik
Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia menunjukkan

bahwa simplisia menunjukkan ciri-ciri seperti data simplisia


daun Ngokilo [Gynura procumbens (Lour) Merr.] dalam
Materia Medika Indonesia.
b) Pemeriksaan organoleptik
Hasil pemeriksaan organoleptik terhadap simplisia
menunjukkan bahwa simplisia tersebut menunjukkan ciri-ciri
organoleptik seperti data simplisia daun Ngokilo [Gynura
procumbens (Lour) Merr.] dalam Materia Medika Indonesia.
c) Kromatografi lapis tipis
Hasil pemeriksaan secara kromatografi lapis tipis
menunjukkan bahwa simplisia menunjukkan pola bercak yang
sama dengan pola bercak simplisia daun Ngokilo [Gynura
procumbens (Lour) Merr.] dalam Materia Medika Indonesia.

Tabel 2.

Rata-rata pembacaan titer antibodi serum darah mencit


terhadap SDMD.
Rata-rata titer antibodi terhadap SDMD

Kelompok
A (Dosis 9 mg/l0g BB+I)
B (Dosis 90 mg/l0g BB+I)
C (Dosis 900 mg/10g BB+I)
D (Aquadest + Non I)
E (Aquadest + I)

Minggu I
75,2 (16-128)
38,8 (4-64)
95,2 (8-256)
3,37 (1-8)
8,4 (4-16)

Minggu II
169,6 (8-256)
29,6 (8-64)
72,8 (8-256)
3,4 (2-8)
8,6 (2-16)

Minggu III
53,6 (8-256)
20,0 (8-32)
57,6 (16-128)
3,4 (2-8)
5,1 (1-16)

Hasil sidik ragam rata-rata titer antibodi serum darah


mencit terhadap SDMD dapat dilihat pada tabel 3.

3) Penelitian aktivitas sistem imun


a) Pengamatan bobot badan mencit
Hasil pengamatan rata-rata selisih bobot badan mencit
tertera dalam tabel 1.

Tabel 1.

Rata-rata bobot badan mencit sebelum dan sesudah perlakuan


(gram).

Kelompok

A (Dosis 9 mg/l0 g BB + I)
B (Dosis 90 mg/l0 g BB + I)
C (Dosis 900 mg/10 g BB + I)
D (Aquadest + Non I)
E (Aquadest + I)

Rata-rata
bobot badan
sebelum perlakuan (gram)

Rata-rata
bobot badan
setelah perlakuan (gram)

Selisih
(gram)

28,9
29,1
29,3
29,1
29,4

33,5
34,4
36,8
37,3
35,1

4,60
5,30
7,50
8,20
5,70

Keteranan : I
: Imunisasi dengan SDMD 1%
Non I : Tanpa imunisasi dengan SDMD 1%

Gambar 3.

Tabel 3.

Pola perkembangan titer antibodi serum darah mencit


terhadap SDMD.

Sidik ragam rata-rata titer antibodi serum darah mencit


terhadap SDMD.

Sumber
Keragaman
Dosis
Galat (D)
Minggu
DM
Galat (m)
Jumlah

Db
4
45
2
8
90
149

Jk

KT

145,2396
36,4911
3,7554
2,1658
115,5623

36,3099
0,8109
1,8777
0,2707
1,2840

28,28**
1,46
0,21

F Tabel
0,05
0,01
2,58
3,78
3,10
2,04

4,85
2,72

c)

Pengamatan bobot limpa mencit


Hasil pengamatan rata-rata bobot relatif limpa mencit
dapat dilihat dalam tabel 4.
Tabel 4.
Gambar 2.

Rata-rata pertambahan bobot badan mencit sebelum dan


sesudah perlakuan.

b) Pembacaan titer antibodi terhadap SDMD


Hasil rata-rata pembacaan antibodi serum darah mencit
terhadap SDMD selama 3 minggu perlakuan dapat dilihat pada
tabel 2.

Rata-rata bobot raltif limpa mencit pada minggu ke-3.


Kelompok

A (Dosis 9 mg/l0g BB + I)
B (Dosis 90 mg/10g BB + I)
C (Dosis 900 mg/10 g BB + I)
D (Aquadest + Non I)
E (Aquadest + I)

Rata-rata bobot relatif limpa mencit


pada minggu ke III
3,88 + 1,99
2,14 + 0,43
2,93 + 1,00
3,17 + 0,71
2,80 + 0,89

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 27

Gambar 4.

Grafik rata-rata bobot relatif limpa mencit pada minggu


ke-3.

PEMBAHASAN
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa daun Ngokilo
mengandung enzim asparaginase (protein), yang inaktif atau
rusak pada proses pemanasan(5). Karena itulah penelitian ini
menggunakan perasan daun Ngokilo segar, dan bukan infus.
Sebagai hewan coba dipilih mencit, karena informasi menyatakan bahwa banyak penelitian toksikologi menggunakan
mencit. Di samping itu pemeliharaannya mudah dengan biaya
yang relatif murah. Dipilih mencit jantan, karena tidak
dipengaruhi oleh siklus hormonal, yang dapat mempengaruhi
hasil penelitian. Hasil penelitian dipengaruhi juga oleh variasi
biologik hewan coba, misalnya jenis, berat badan, umur, jenis
kelamin, makanan dan kondisi lingkungan.
Digunakan dosis tinggi yang sedekat mungkin dengan
LD50 nya, namun belum menyebabkan kematian hewan coba.
Nilai LD50 per oral 3-5 kali lebih besar LD50 suntikan, karena
secara oral obat dapat dipengaruhi oleh absorbsi, terikatnya
obat oleh protein dan metabolisme obat dalam saluran cerna.
Sebelum diberi sediaan uji, perasan daun Ngokilo segar,
hewan coba diimunisasi dengan Sel Darah Merah Domba
(SDMD) 1% secara intraperitonial. Imunisasi ini dimaksudkan
untuk memberikan respon imun pada hewan coba. Sediaan uji
dimaksudkan untuk lebih meningkatkan respon imun tersebut.
Pemberian sediaan uji dilakukan selama 7 hari berturutturut, karena dosis perasan daun Ngokilo tersebut adalah dosis
pemeliharaan, seperti halnya daun Ngokilo yang dimakan
setiap hari sebagai lalab selama beberapa waktu.
Pengambilan darah dilakukan pada hari ke 8 (minggu ke
I), agar peningkatan respon imun telah dapat dilihat. Diulangi
pada hari ke-15 (minggu II), karena diperkirakan respon imun
masih meningkat. Pengambilan darah diulangi lagi pada
hari-22 (minggu III) untuk mengetahui apakah sediaan uji
masih dapat meningkatkan/mempertahankan peningkatan
respon imun pada 2 minggu setelah pemberian sediaan uji
dihentikan.
Hasil pengamatan bobot badan mencit menunjukkan
bahwa semua hewan coba bobot badannya meningkat, berarti
pemberian sediaan uji dan pengambilan darah tidak mempengaruhi bobot badan mencit. Di samping itu tidak ada hewan
coba yang mengalami anemia akibat pengambilan darah setiap
minggu (bagian dalam kelopak mata mencit tidak pucat).
Perhitungan statistik menunjukkan banwa tidak ada
perbedaan yang bermakna antara kelompok mencit yang diberi

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

sediaan uji dan kelompok mencit kontrol (P>0,05).


Pada minggu pertama-rata-rata titer antibodi serum darah
mencit terhadap SDMD tertinggi terdapat pada Kelompok C
(dosis 900 mg/10g BB) sebesar 92,5 (8-256), diikuti oleh
Kelompok A (dosis 9mg/10g BB) yakni 75,2 (16-128), lalu
Kelompok B (dosis 90mg/10g BB), yaitu 38,8 (4,64), lalu
Kelompok E (Aquadest + imunisasi) sebesar 8,4 (4-16) dan
terakhir Kelompok D (Aquadest + Non Imunisasi) yakni 3,7
(1-8). Kemudian pada minggu kedua dan ketiga titer ini turun
untuk semua kelompok.
Untuk perhitungan statistik, data pengamatan titer antibodi
serum darah mencit terhadap SDMD ditransformasikan dengan
[2 log (titer)] + 1 dan diuji kenormalan distribusi dan homogenitasnya. Ternyata data tersebut bervarians homogen.
Uji anova menunjukkan bahwa ada perbedaan yang sangat
nyata antara dosis perlakuan (p>0,01), namun pola perkembangan titer antibodi setiap minggunya tidak menunjukkan
perbedaan bermakna (P<0,05).
Uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa pada minggu
pertama (MI) terdapat perbedaan nyata antara Kelompok A
dan Kelompok B (P<0,05). Sedang antara Kelompok A
dengan kedua kelompok kontrol terdapat perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01). Hasil ini terus bertahan sampai akhir
masa perlakuan di minggu ketiga. Juga terlihat pada Kelompok
B yang mempunyai perbedaan nyata dengan kelompok C dan
memiliki perbedaan sangat nyata dengan kelompok kontrol.
Hasil inipun terus bertahan sampai minggu kedua, tetapi di
minggu ketiga Kelompok B memiliki perbedaan sangat nyata
dengan Kelompok C.
Kelompok C memiliki perbedaan sangat nyata dengan
Kelompok kontrol (P<0,01) dan berlangsung mulai dari
minggu pertama sampai akhir masa perlakuan di minggu
ketiga. Antara kedua Kelompok kontrol sendiri di minggu pertama memiliki perbedaan yang sangat nyata, yang bertahan
sampai minggu kedua. Hanya di minggu ketiga antara kedua
kelompok kontrol ini tidak mempunyai perbedaan yang nyata.
Perhitungan statistik menunjukkan bahwa terjadi peningkatan titer antibodi serum darah mencit terhadap SDMD pada
Kelompok A (dosis 9 mg/l0g BB), Kelompok B (dosis 90
mg/10g BB) dan Kelompok C (dosis 900 mg/10g BB), jika
dibandingkan dengan Kelompok kontrol ( D dan E). Mulai
minggu pertama sampai ke minggu ketiga nilai titer Kelompok
Kontrol rata-ratanya konstan sesuai dengan hasil penelitian
Emma (1993), yang menyatakan bahwa masuknya benda asing
atau antigen dalam tubuh, secara normal akan meningkatkan
antibodi dalam darah. Antibodi tersebut akan mencapai jumlah
maksimal kemudian akan turun kembali.
Hasil pengamatan bobot limpa menunjukkan bahwa ratarata bobot relatif limpa Kelompok A = 3,88, Kelompok B =
2,14 mg, Ketompok C = 2,93 mg, Kelompok D = 3,17 mg dan
Kelompok E = 2,80 mg.
Uji statistik, yakni uji :Distribusi Frekuensi dan uji
Homogenitas menunjukkan bahwa data bobot relatif limpa
distribusinya tidak normal dan tidak homogen, sehingga dipilih
uji Statistik Non Parametrik Kruskall Wallis. Hasilnya
menunjukkan adanya perbedaan sangat nyata antara Kelompok
perlakuan (P>0,01). Untuk mengetahui adanya perbedaan

antara Kelompok sediaan uji dengan Kelompok kontrol


dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil. Ternyata ada
perbedaan sangat nyata antara Kelompok A (dosis 9 mg/l0g
BB) dengan kelompok B (dosis 90 mg/l0g BB), tetapi tak ada
perbedaan nyata antara Kelompok A dan kelompok kontrol D
dan E (P>0,05). Kelompok B memiliki perbedaan sangat nyata
dengan Kelompok D, yaitu Kelompok koatrol Aquadest.
Sedang Kelompok C tidak memiliki perbedaan nyata dengan
Kelompok kontrol D dan E. Hasil pengamatan bobot relatif
limpa mencit pada minggu ketiga (M III) perlakuan tidak dapat
ditarik kesimpulan. Mungkin karena pengamatan dilakukan
pada minggu ketiga perlakuan atau 2 minggu setelah dihentikannya pemberian sediaan uji.
Dari penelitian ini dapat dinyatakan bahwa pemberian
perasan daun Ngokilo segar dapat meningkatkan respon imun,
yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan titer antibodi.
Diduga senyawa kandungan perasan daun Ngokilo segar berperan sebagai mitogen. Mitogen merupakan molekul-molekul
yang dapat menginduksi sel untuk membelah. Pengaruh
mitogen terhadap sel B dapat menginduksi sekresi antibodi
dengan cara mengaktifkan terlebih dahulu sel T penolong (Th).
Mitogen bereaksi dengan permukaan sel imun dalam tubuh
secara tidak spesifik (bukan sebagai antigen) dan menghasilkan serangkaian perubahan sel-sel imun tubuh yang sama
seperti reaksi terhadap antigen. Jadi dengan adanya mitogen,
respon imun berlangsung lebih tinggi dan dalam waktu yang
lebih lama.

KESIMPULAN
1) Dari determinasi tumbuhan, pemeriksaan habitus, organoleptik, makroskopik, mikroskopik dan KLT disimpulkan
bahwa bahan yang diuji adalah daun Ngokilo [Gynura
procumbens (Lour.) Merr.].
2) Dari hasil pengamatan bobot badan mencit disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kelompok mencit
yang mendapatkan sediaan uji dengan kelompok mencit
kontrol.

3) Pemberian perasan daun Ngokilo pada mencit dengan


dosis 9 mg/l0 g BB, 90 mg/10 g BB, 900 mg/10 g BB secara
oral meningkatkan respon sistem imun dengan meningkatkan
titer antibodi terhadap SDMD.
4) Dari hasil pengamatan bobot relatif limpa mencit
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara
kelompok mencit yang mendapatkan sediaan uji dengan kelompok mencit kontrol.
SARAN
1) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi dan isolasi zat kimia kandungan daun Ngokilo yang dapat
meningkatkan respon sistem imun.
2) Perlu dilakukan penelitian tentang aktivitas infus daun
Ngokilo terhadap sistem imun.
KEPUSTAKAAN
1.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pemanfaatan Tanaman


Obat, Edisi II. 1981, hal. 77, 78, 125.
2.
Backer CA, Bakhuizen van den Brink Jr., RC., , Flora of Java, Vol. II,
NVP. Noordhoff Groningen, The Netherlands, blz. 1965; 424-5.
3.
Heyne K. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid III. Terjemahan Badan
Litbang Kehutanan, Jakarta, 1987, hal. 1843.
4.
Yurita, AS. Pemeriksaan Pendahuluan Daun Ngokilo, Tugas Akhir
Sarjana Farmasi, Universitas Pancasila. Jakarta, 1983,
5.
Mulyadi. Determinasi dan Karakterisasi Asparaginase Daun Gynura
procumbens (Lour.) Merr. Majalah Farmasi Indonesia. 1996.
6.
Thomas ANS. Tanaman Obat Tradisional. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta. 1989; hal 120.
6.
Thomas ANS. Tanaman Obat Tradisional, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta. 1989; hal 120- 3.
7.
Rimadani. Pemeriksaan Kandungan Fimia, Penentuan LD50 dan Uji
Pendahuluan Perasan Daun Ngokilo terhadap Kadar Kolesterol Total
Serum Darah Kelinci, Tugas Akhir Sarjana Farmasi, Universitas
Pancasila, Jakarta. 1994 hal 82.
8.
Baratawidjaya, Kamen Garna. Imunologi Dasar. Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 1988; hal. 3-19, 30-41, 81-9.
9.
Baker FJ, et al. An Introduction to Medical Laboratory Technology,
Fourth Edition, Butter Worths, London, 1970; 456-61.
10. Barret, James T. Textbook of Imunology. Third Edition. University of
Missouri School of Medicine. Columbia, Missouri, 1978; p. 201-3,
213-6.
11. Mohamad Sadikin. Vitamin A dan Imunitas, Majalah Kedokteran
Indonesia, Vol. 45, 1995; 7: hal. 430-5.

Every places is safe to him who lives with justice


(Epitectus)

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 29

HASIL PENELITIAN

Radikal Bebas
sebagai Prediktor Aterosklerosis
pada Tikus Wistar Diabetes Melitus
Zainal Musthafa*, Gatot S. Lawrence**, Arifin Seweang***
*Cardiology Department, Pelamonia Military Hospital
**Vascular Research Unit Wahidin Sudirohusodo General Hospital, and Department of Phatology,
Faculty of Medicine Hasanuddin University
***Departement of Biostatistics, Faculty of Public Healt Hasanuddin University, Makassar

Radikal bebas merupakan senyawa oksigen reaktif yang


sitotoksis, dapat berdampak negatif terhadap membran sel,
dinucleotida (DNA) dan protein seperti halnya enzim yang ada
dalam tubuh. Aterosklerosis sering merupakan komplikasi dari
penyakit diabetes mellitus. Informasi terakhir bahwa radikal
bebas dapat menjadi penyebab yang mendasari berbagai macam
keadaan patologis termasuk penyakit aterosklerosis pada
umumnya dan khususnya penyakit jantung aterosklerosis yang
sering dikenal penyakit jantung koroner. Penelitian ini memberikan informasi tentang peran radikal bebas sebagai prediktor
aterosklerosis pada tikus Wistar diabetes mellitus.

HASIL

SUBYEK
Empat kelompok sampel yaitu kelompok tikus Wistar
normal sebagai kontrol (S), model hiperlipid (O), model
diabetes (DM), dan model DM hiperlipid (DMO)
masing-masing 48 ekor, mempunyai berat badan 200 mg, umur
12 minggu. Pembuatan model DM dengan cara induksi
Streptozotocine (STZ) 40 mg/kgBB intra peritoneal (i.p)
setelah dipuasakan 24 jam. Model hiperlipid dengan pemberian
Olive oil.

Gambar 1.

METODA
Bentuk penelitian pre-posttest randomized controlled
animal experiment, follow-up postest dilakukan tiap satu
minggu sekali selama 10 minggu. Pemeriksaan level radikal
bebas dalam hal ini adalah malondialdehyde (MDA) dan
penilaian aterosklerosis sebagai data. Penilaian MDA dengan
immunoassay dan aterosklerosis dengan histopathologi (H.E).

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

Hubungan gula darah (GDS) dan radikal babas (MDA) pada


Wistar diabetes hiperlipid (DMO), diabetes (DM), hiperlipid
(O) dan Kontrol (S), pada minggu ke empat setelah jadi
modal.

Keterangan :
Koefisien korelasi (r) GDS dengan radikal babas.
Untuk Kontrol
= 0,264
Untuk Kontrol + Oil = 0,209
Untuk DM
= 0,921 (p< 0,01)
Untuk DM + Oil
= 0,965 (p< 0,01)

Hasil uji regresi ganda terhadap faktor yang berpengaruh terhadap


radikal babas menunjukkan hanya variabel gula darah yang berpengaruh
terhadap radikal bebas, dimana (p< 0,05).
(Gambar 2).
(Gambar 3).

DISKUSI
Mean MDA pada model DM (35,87 4,27) dan S (26,23
2,15), ternyata berbeda bermakna dengan p < 0,01. Keadaan ini
bisa dijelaskan karena pada DM dengan kenaikan kadar gula

darah akan menyebabkan kenaikan kadar radikal bebas.(1)

Gambar 2.

MDA pada Wistar kontrol (S), hiperlipid (O), diabetic (DM),


dan diabetic hiperlipid (DMO)

Keterangan :
Nilai Mean MDA.
Kontrol ^ ICAM (-)
DM
^ ICAM (-)
(+)
Kontrol
DM

^ H-E (-)
^ H-E (-)
(+)

= 25,50 4,66
= 33,96 6,40
= 41,23 1,31

Tetapi pada model DM dan DMO (38,32 1,02) tidak


berbeda bermakna begitu juga pada model S dan model O
(24,57 1,34). (Gambar 2)
Hasil uji regresi logistik dengan mengontrol waktu follow
up dan kelompok model menunjukkan adanya pengaruh yang
bermakna dari radikal bebas terhadap histopathologi (H - E)
sebagai marker aterosklerosis dengan (p<0,05). Pada model
DM, aterosklerosis dengan marker histopathologi (H - E)
terdeteksi pada minggu ke lima, sedangkan untuk kontrol tidak
ditemukan atherosklerosis (Gambar 3).
Dari penjelasan tersebut dapat diambil manfaat lain radikal
bebas dapat dipakai sebagai prediktor aterosklerosis umumnya
dan aterosklerosis pada penyakit diabetes maupun penyakit
jantung koroner khususnya.

p < 0,01

= 25,50 4,66
= 35,04 6,25
= 41,48 1,30

KEPUSTAKAAN
Gambar 3.

Aterosklerosis pada tikus Wistar kontrol (S) dan diabetic


(DM).

Keterangan :
Hasil pemeriksaan aterosklerosis ada perbedaan, tidak ditemukan
aterosklerosis pada Kontrol, tetapi pada DM ditemukan aterosklerosis mulai
minggu ke empat dan makin meningkat prosentasenya dengan bertambahnya
waktu follow-up.

1.

2.

Musthafa Z, Lawrence GL Pengaruh radikal bebas terhadap proses


percepatan atherosklerosis pada tikus Wistar diabetes mellitus. The
Indonesian Medical Association Newsletter 1999; 4 : 4.
Ross R, PhD. Atheroscklerosis - An Inflammatory Disease. NEJ Med
1999; 340 : 115-26.

Every human being is intended to have a character of his own,


to be what no other is, to do what no other can
(Channing)

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 31

HASIL PENELITIAN

Peran Antioksidan
dalam Penghambatan Aterosklerosis
pada Tikus Wistar Diabetes Melitus
Zainal Musthafa*, Gatot S. Lawrence**
*Cardiology Department, Pelamonia Military Hospital
**Vascular Research Unit Wahidin Sudirohusodo General Hospital, and Department of Pathology,
Faculty of Medicine, Hasanuddin University, Makassar

Anti-oksidan mempunyai dampak positif berupa penghambatan proses aterosklerosis, yang sering merupakan komplikasi dari penyakit diabetes mellitus dan sangat berperan
untuk terjadinya penyakit jantung koroner. Penelitian ini memberikan informasi tentang peran anti-oksidan dalam penghambatan proses aterosklerosis pada tikus Wistar diabetes mellitus.
SUBYEK
Dua kelompok sampel yaitu kelompok tikus Wistar
sebagai kontrol (S) 48 ekor dan sebagai model diabetes (DM)
48 ekor yang masing-masing mempunyai berat badan 200 g;
umur 12 minggu. Pembuatan model DM dengan cara induksi
Streptozotocine (STZ) 40 mg/kgBB intra peritoneal (i.p)
setelah dipuasakan 24 jam.

Gambar 1.

Anti-oksidan pada tikus Wistar sebagai kontrol (S) dan


diabetes (DM)

Keterangan :
Hasil pemeriksaan anti-oksidan ada perbedaan, sampai dengan minggu ke lima
anti-oksidan pada DM (1297 4,34) lebih tinggi dari pada Kontrol (1089,97
2,57). Setelah minggu ke tujuh anti-oksidan pada DM (875,65 1,23) lebih
rendah dari pada Kontrol (1096,45 2,60).

METODA
Bentuk penelitian pre-postest randomized controlled
animal experiment, follow-up postest dilakukan tiap satu
minggu sekali selama 10 minggu. Pemeriksaan level antioksidan dalam hal ini enzim superoksida dismutase (SOD) dan
penilaian aterosklerosis sebagai data. Penilaian anti-oksidan
dengan immunoassay dan aterosklerosis dengan histopatologi
(H-E).
HASIL
Pada awal terjadinya model DM, kadar anti-oksidan meningkat yang kemudian diikuti penurunan (Gb. 1), tetapi
kejadian aterosklerosis yang dimulai pada minggu ke empat,
prosentasenya makin bertambah dengan bertambahnya waktu
follow-up terjadi model DM (Gb. 2).

Gambar 2.

DISKUSI
Pada awal terjadinya DM kadar anti-oksidan meningkat
(Gb. 1), keadaan ini bisa dijelaskan karena pada DM kenaikan
kadar gula darah akan menyebabkan kenaikan kadar radikal
bebas.

Radikal bebas merupakan senyawa oksigen reaktif yang


sitotoksis, dapat berdampak negatif terhadap membran sel,
dinucleotida (DNA) dan protein seperti halnya enzim yang ada
dalam tubuh misalnya SOD sebagai anti-oksidan. Oleh karena
itu tidak beberapa lama setelah menjadi model DM terlihat

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

Aterosklerosis pada tikus Wistar sebagai kontrol (S) dan


diabetes mellitus (DM)>

Keterangan :
Hasil pemeriksaan atherosklerosis ada perbedaan, tidak ditemukan atherosklerosis pada Kontrol, tetapi pada DM ditemukan aterosklerosis mulai minggu
ke empat dan makin meningkat dengan bertambahnya Waktu.

kadar anti-oksidan menurun. Informasi terakhir bahwa radikal


bebas dapat menjadi penyebab yang mendasari berbagai macam
keadaan patologis termasuk penyakit aterosklerosis pada
umumnya dan khususnya penyakit jantung aterosklerosis yang
sering dikenal penyakit jantung koroner.
Fungsi utama anti-oksidan adalah menetralisir atau meredam dampak negatif dari radikal bebas; bila kadar antioksidan tubuh menurun (Gb. 1), maka aterosklerosis semakin
progresif (Gb. 2).
Hasil uji regresi ganda, faktor apa saja yang berpengaruh
terhadap enzim anti-oksidan endogen (SOD), ternyata ada
pengaruh yang bermakna dari radikal bebas dan waktu follow
up terhadap pembentukan SOD dengan p<0,01.
Hasil uji regresi ganda menunjukkan bahwa gula darah,
enzim anti-oksidan endogen (SOD) dan waktu follow-up berpengaruh bermakna terhadap radikal bebas dengan p<0,05, dan

hasil uji regresi logistik ternyata radikal bebas berpengaruh bermakna terhadap pembentukan atherosklerosis dengan p<0,01.
Manfaat lain dari penelitian ini adalah penderita aterosklerosis umumnya dan penyakit diabetes maupun penyakit
jantung koroner khususnya perlu diberikan tambahan antioksidan yang sekarang sudah banyak beredar di pasaran berbentuk obat.

KEPUSTAKAAN
1.

2.

Musthafa Z, Lawrence GL. Pengaruh radikal bebas terhadap proses


percepatan atherosklerosis pada tikus Wistar diabetes mellitus. The
Indonesian Medical Association Newsletter 1999; 4 : 4.
Ross R, PhD. Atherosclerosis - An Inflammatory Disease. NEJ Med.
1999; 340 : 115-26.

12 Oktober 1999 penghuni planet bumi


6 milyar orang, sedang 2 abad yang lalu
baru 1 milyar orang !

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 33

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Endotelin dan Penyakit


Kardiovaskuler
Muhammad Natsir Akil
Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis I, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang

PENDAHULUAN
Endotelin merupakan peptida vasokonstriktor sangat kuat
yang dihasilkan oleh endotelium vaskuler. Endotelin diisolasi
pertama kali oleh Yanagisawa dkk pada tahun 1988(1).
Biosintesis endotelin dimulai dengan pemecahan molekul
besar preroendothelin, peptida dengan 203 asam amino menjadi
big endothelin I proendothelin yang mengandung 39 asam
amino. Big endothelin beredar di dalam pembuluh darah dalam
bentuk inaktif; selanjutnya endothelin-converting enzyme akan
mengubah big endothelin menjadi peptida residu-21 aktif(2).
Sedikitnya ada 3 isoform endotelin, tetapi termasuk dalam
satu famili peptida. Semua isoform endotelin mengandung 21
asam amino, perbedaannya hanya terletak pada beberapa asam
amino. Endotelin-1 (ET-1) merupakan bentuk yang disintesis
dan dilepaskan oleh sel-sel endotel dan banyak dihubungkan
dengan penyakit kardiovaskuler. Endotelin-3 mungkin merupakan neuropeptida sedangkan peranan endotelin-2 masih belum
jelas(2).
Stimulus penting terhadap pelepasan endotelin adalah
hipoksi, iskemi, dan shear stress, yang menginduksi transkripsi
messenger RNA ET-1(3). Selain rangsangan fisik produksi
endotelin juga dipengaruhi oleh hormon vasopressor seperti
epinefrin, angiotensin II, dan arginin vasopressin; transforming
growth factor (TGF; trombin; interleukin-1. Sedangkan prostasiklin, nitric oxide, dan atrial natriuretic hormone menghambat sekresi endotelin(4). Sebanyak 75% sekresi ET-1 ke
arah otot polos vaskuler (albumin) akan terikat pada otot polos
dan menyebabkan vasokonstriksi(3).
ET-1 dilaporkan dapat menyebabkan vasodilatasi pada
dosis rendah dan vasokonstriksi pada dosis tinggi. Respon
vasodilatasi ET-1 mungkin disebabkan oleh efek endotelin pada
produksi dan sekresi prostasiklin dan nitric oxide(3,4).
ENDOTELIN DAN PENYAKIT KARDIOVASKULER
Data eksperimen memperlihatkan bahwa sistim endotelin
diaktifasi pada berbagai kelainan kardiovaskuler. Peninggian

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

kadar endotelin ditemukan pada infark miokard, gagal jantung,


dan hipertensi pulmonal(1).
Peninggian kadar plasma endotelin pada face awal infark
miokard akut (IMA) dilaporkan pada tahun 1991. Pada penderita IMA tanpa komplikasi kadarnya cepat turun, sebaliknya
pada penderita IMA dengan komplikasi gagal jantung maka
peninggian kadar endotelin tetap bertahan selama 72 jam(1).
Peningkatan plasma endotelin 72 jam sesudah infark miokard
mempunyai nilai prognostik terhadap mortalitas tahun pertama.
Selain pada gagal jantung kronik peningkatan kadar endotelin
juga dilaporkan pada gagal jantung kronik kausa non iskemik
atau pada idiopathic dilated cardiomyopathies. Penelitian
lainnya mendapatkan peningkatan kadar endotelin secara progresif dengan makin beratnya gejala gagal jantung, dan sejumlah
laporan memperlihatkan hubungan antara derajat peninggian
kadar endotelin dan derajat gangguan fungsi ventrikel(1).
Terdapat hubungan antara kadar plasma endotelin dan
beratnya hipertensi pulmonal pada penderita gagal jantung.
Penelitian lain yang menilai ekspresi endotelin-1 pada paruparu penderita hipertensi pulmonal mendapatkan peningkatan
imunoreaktifitas endotelin pada pembuluh darah paru-paru
dengan kadar yang berbeda pada berbagai tempat. Sangat
sedikit endotelin ditemukan pada subjek kontrol dengan paruparu normal atau penderita dengan penyakit paru-paru yang
tidak mengalami hipertensi pulmonal(1).
Endotelin juga berpengaruh pada ruptur plak. Dengan
adanya lesi aterosklerotik, maka pelepasan lokal endotelin akan
memacu terjadinya ruptur plak(5).
ENDOTELIN PADA BERBAGAI SISTIM ORGAN
Efek endotelin pada berbagai sistim diperlihatkan pada
gambar 1. Endotelin merupakan mediator penting pada patofisiologi gagal jantung. Kerja endotelin sebagai vasokonstriktor
sangat kuat menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler
sistemik dan peningkatan after load; kedua hal tersebut merupakan aspek penting pada gagal jantung(2).

Gambar 1.

Role of endothelin in the pathophysiological manifestations of


heart failure.

Dikutif dari : Levin ER : Endothelins. N. Engl J Med 1995; 333 : 360

Endotelin 100 kali lebih kuat efek vasokonstriktornya dari


angiotensin II yang sudah lebih dulu dikenal sebagai peptida
vasokonstriktor kuat(3).
Endotelin juga berefek pada pertumbuhan dan proliferasi
sel-sel otot polos dan menstimulasi produksi matriks. Dalam
jangka waktu yang lama endotelin akan mengakibatkan semakin mengecilnya diameter pembuluh darah oleh remodelling
ketebalan dinding pembuluh darah. Endotelin berefek langsung
pada jantung; dengan efek inotropik positifnya meningkatkan
kontraktilitas jantung. Remodelling jantung disebabkan oleh
pengaruh endotelin pada hipertrofi otot jantung dan produksi
matriks(1).
Pada ginjal endotelin memiliki fungsi penting dan kompleks. Pengaruhnya pada ginjal adalah penurunan sekresi
natrium dan peningkatan retensi cairan, yang juga merupakan
mekanisme penting pada gagal jantung(1).
Endotelin berinteraksi dengan berbagai sistim neurohumoral. Endotelin meningkatkan sekresi aldosteron maupun
sekresi renin, selanjutnya menyebabkan peningkatan aktifitas
sistim renin-angiotensin. Selain itu juga dapat menstimulasi
sistim saraf simpatis dan memfasilitasi neurotransmisi adrenergik(1).
Endotelin menginduksi tetjadinya bronkokonstriksi melalui
stimulasi produksi tromboxane, yang selanjutnya akan mengaktifkan reseptor tromboxane pada otot polos bronkus(2).

RESEPTOR ENDOTELIN
Reseptor endotelin ada dua yaitu reseptor endotelin A
(ETA) dan reseptor endotelin B (ETB) seperti terlihat pada
gambar 2. Reseptor endotelin A terutama terdapat pada organ
target seperti sel-sel otot polos atau miosit jantung dan bersifat
selektif untuk ET-1. Sedangkan ETB, merupakan reseptor non
selektif dan berinteraksi baik dengan endotelin-1 maupun
dengan endotelin-3 dengan afinitas yang sama(1).

Gambar 2. Vaskular endothelin receptors.


Dikutip dari : Stewart D : Update on endothelin. Can J Cardiol 1998; 14
(Suppl D) : 12D

Pada awalnya ETB diduga hanya terdapat pada sel-sel


endotel, tetapi ternyata juga ditemukan pada organ-organ target
dengan kerja menyerupai ETA. Pada sel-sel endotel ETB dapat
mengaktifkan nitric oxide synthase dan merangsang produksi
prostasiklin. Efek vasodilatasi ini merupakan counteract dari
efek langsung endotelin pada sel-sel otot polos seperti kontraksi, proliferasi, dan produksi matriks. Pada organ target ETB
menyerupai kerja ETA yaitu merangsang kontraksi, proliferasi,
dan produksi matriks(2).

ANTAGONIS RESEPTOR ENDOTELIN


Antagonis spesifik reseptor endotelin telah dikembangkan
dan sedang dilakukan pengujian pada binatang percobaan dan
penderita gagal jantung. Bosentan merupakan inhibitor ET non
selektif pertama yang dipublikasikan untuk penderita gagal
jantung berat(1).
Kiowski dkk(6) meneliti efek hemodinamik akut dari
bosentan dan mendapatkan penurunan tekanan arterial rata-rata,
tekanan arteri pulmonalis, tekanan atrium kanan, dan pulmonary artery wedge pressure. Peningkatan yang nyata juga
didapatkan dari cardiac output dan penurunan resistensi
vaskuler sistemik dan resistensi vaskuler pulmonal. Antagonis
receptor ET mempunyai manfaat jangka pendek terhadap
hemodinamik penderita gagal jantung berat. Kiowski dkk(6)
menemukan bahwa pemberian secara oral bosentan selama 2
minggu memperlihatkan efek yang lebih nyata dan dipertahankan sampai dengan 2 minggu. Belum ada data mengenai
efek antagonis ET terhadap mortalitas dan morbiditas penderita
gagal jantung(6).

KESIMPULAN
Endotelin merupakan peptida vasokonstriktor sangat kuat
yang dihasilkan oleh endotelium vaskuler. Beberapa penelitian
mendapatkan bahwa sistim endotelin diaktifasi pada berbagai
kelainan kardiovaskuler termasuk infark miokard, gagal
jantung, dan hipertensi pulmonal. Pengetahuan mengenai kerja

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 35

dari isoform endotelin-1 menunjukkan bahwa endotelin-1


adalah mediator penting pada patofisiologi terjadinya gagal
jantung. Bosentan suatu antagonis reseptor endotelin bermanfaat pada penderita gagal jantung maupun penderita hipertensi pulmonal.
KEPUSTAKAAN
1.

Stewart D. Update on endothelia. Can J Cardiol 1998; 14 (Suppl D)


11D-13D.

2.
3.
4.
5.

6.

Levin ER. Endothelins. N Engl J Med 1995; 333 : 356-63.


De Meyer GRY, Herman AG. Vascular endotheliial dysfunction. Prog
Cardiovasc Dis 1997; 39 : 325-42.
Luscher TF, Boulanger CM, Dohi Y, Yang Z. Endothelium-derived
contracting factors. Hypertension 1992; 19 : 117-30.
Loan EM, Yusuf S, An P et al. Emerging role of angiotensin-converting
enzyme inhibitors in cardiac and vascular protection. Circulation 1994; 90
: 2056-65.
Kiowski W, Sutsch G, Hunziker P et al. Evidence for endothelia-l
mediated vasoconstriction in severe chronic heart failure. Lancet 1995;
346: 732-6.

Ucapan Terima Kasih


Redaksi telah menerima dua buah buku :
Bunga Rampai Karya Ilmiah Prof. Dr. R. Budhi Darmojo
(Jilid I dan jilid II).
Untuk itu Redaksi mengucapkan terima kasih.
Redaksi
Cermin Dunia Kedokteran

A man who is always well satisfied with himself seldom is so by


others, and others rarely are with him
(La Rochefoucauld)

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis


Diabetes Melitus yang Baru
John MF Adam
Sub-Bagian Endokrin dan Metabolik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang

PENDAHULUAN
Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang disifati adanya hiperglikemi akibat kelainan sekresi
insulin, kerja insulin maupun keduanya. Hiperglikemi kronis
pada diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan, gangguan fungsi beberapa alat tubuh khususnya mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah.
Diabetes melitus disertai oleh gangguan metabolisme
hidrat arang, protein dan lemak. Walaupun pada diabetes melitus ditemukan gangguan metabolisme semua sumber makanan
tubuh kita, kelainan metabolisme yang paling utama ialah
kelainan metabolisme hidrat arang. Oleh karena itu diagnosis
diabetes melitus selalu berdasarkan meningginya kadar glukosa
dalam plasma darah.
Klasifikasi dan kriteria diagnosis diabetes melitus mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1979 National
Diabetes Data Group di Amerika Serikat pertama kali memperkenalkan klasifikasi mengenai diabetes melitus(1). Klasifikasi tersebut kemudian juga digunakan oleh WHO pada tahun
1980, yang akhirnya diperluas pada tahun 1985 oleh WHO
Study Group on Diabetes Mellitus(2). Pada akhir tahun 1977
American Diabetes Association(3) mempublikasikan suatu
klasifikasi dan kriteria diagnosis yang baru, yang pada saat ini
secara luas digunakan di sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia.
Makalah ini menyajikan klasifikasi dan kriteria diagnosis
baru tersebut, yang juga telah digunakan sebagai dasar konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia pada tahun
1998 oleh Perkumpulaan Endokfinologi Indonesia(4).

Dikenal dua bentuk yaitu otoimun dan idiopatik, di mana


ditemukan kerusakan sel beta dan mengakibatkan terjadinya
defisiensi insulin yang absolut. Pada bentuk otoimun dapat
ditemukan beberapa petanda imun (immune markers) yang
menunjukkan pengrusakan sel beta pankreas untuk mendeteksi
kerusakan sel beta, seperti islet cell autoantibodies (ICAs),
autoantibodies to insulin (IAAs), autoantibodies to glutamic
acid decarboxylase (GAD65), dan antibodies to tyrosine
phosphatase IA-2 and IA-2. Sebagian kecil penderita diabetes
tipe-1 penyebabnya tidak jelas (idiopatik), pada mereka ini jelas
ditemukan insulinopeni tanpa petanda imun, dan mudah sekali
mengalami ketoasidosis.

KLASIFIKASI DIABETES MELITUS


Klasifikasi yang baru ini membagi diabetes melitus atas
empat kelompok yaitu diabetes melitus tipe-1, diabetes melitus
tipe-2, diabetes melitus bentuk khusus, dan diabetes melitus
gestasional. Pembagian ini berdasarkan etiologi diabetes
melitus.

Diabetes melitus tipe lain


Defek genetik fungsi sel beta
Defek genetik insulin
Penyakit eksokrin pankreas
Endokrinopati
Karena obat / zat kimia
Karena infeksi

Diabetes rvelitus tipe-1

Diabetes melitus tipe-2


Bentuk ini bervariasi mulai yang dominan resistensi insulin
defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin.
Diabetes melitus tipe-2 merupakan jenis diabetes melitus
yang paling sering ditemukan di praktek, diperkirakan sekitar
90% dan semua penderita diabetes melitus di Indonesia.
Sebagian besar diabetes tipe-2 adalah gemuk (di negara barat
sekitar 85%, di Indonesia 60%), disertai dengan resistensi
insulin, dan tidak membutuhkan insulin untuk pengobatan.
Sekitar 50% penderita sering tidak terdiagnosis karena hiperglikemi meningkat secara perlahan-lahan sehingga tidak memberikan keluhan. Walaupun demikian pada kelompok diabetes
melitus tipe-2 sering ditemukan komplikasi mikrovaskuler dan
makrovaskuler, bahkan tidak jarang ditemukan beberapa
komplikasi vaskuler sekaligus.

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 37

Sebab imunologi yang jarang


Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan diabetes
melitus

Diabetes melitus gestasional (DMG)


Diabetes melitus gestasional diartikan sebagai intoleransi
glukosa yang ditemukan pada saat hamil dan diperkirakan
insidens sebesar 1-3%. Pada umumnya mulai ditemukan pada
kehamilan trimester kedua atau ketiga, pada saat itu terjadi
keadaan resistensi insulin. Oleh karena risiko kesakitan den
kematian perinatal tinggi maka dianjurkan skrining diabetes
melitus gestasi dilakukan pada semua wanita hamil. Pada
umumnya skrining dilakukan pada minggu gestasi ke 24-28.
Tabel 1.

Perbedaan klasifikasi diabetes melitus menurut American


Diabetes Association 1997 dan WHO 1985

ADA 1997
Diabetes melitus tipe-1
otoimun den idiopatik
Diabetes melitus tipe-2
Diabetes melitus tipe lain

WHO 1985
Diabetes melitus tergantung insulin
Diabetes melitus tidak tergantung insulin
tidak gemuk dan gemuk
Diabetes melitus malnutrisi
Diabetes melitus bentuk lain
Toleransi giukosa terganggu
Diabetes melitus gestasional

Dengan melihat pads Tabel 1, ads beberapa perbedaan


yang perlu dicatat, yaitu
1) Klasifikasi baru berdasarkan etiologi hanya mengenal
empat jenis diabetes melitus, sedangkan klasifikasi lama lima
jenis diabetes melitus den satu toleransi glukosa. Toleransi
glukosa terganggu tidak dimasukkan dalam klasifikasi diabetes
melitus yang baru.
2) Pada klasifikasi baru, diabetes melitus tipe-1 dan tipe-2
menggantikan terminologi tergantung dan tidak tergantung
insulin dari klasifikasi lama. Hal ini penting sebab sering
dikacaukan antara tergantung insulin (insulin dependent) dan
membutuhkan insulin (insulin requirement). Pengertian
tergantung insulin adalah mereka yang menggunakan insulin
oleh karena tubuh tidak dapat menghasilkan insulin, yaitu pada
tipe-1. Penderita diabetes melitus tipe-2 pada suatu saat oleh
karena kegagalan sel beta, maka akan mengalami gagal
sekunder obat hipoglikemik oral. Pada keadaan tersebut ia akan
membutuhkan insulin sementara atau seterusnya, keadaan ini
disebut membutuhkan insulin (insulin requirement), tetapi
bukan tergantung insulin. Perlu diingat ada penderita diabetes
melitus tipe-1 pada orang dewasa yang semula dianggap
diabetes melitus tipe-2 tetapi ternyata diabetes melitus tipe-1
yang dikenal dengan late autoimunne diabetes in adult
(LADA).
3) Pada klasifikasi baru diabetes melitus tipe-2 tidak dibagi
atas gemuk dan tidak gemuk seperti pada klasifikasi WHO
1985. Pembagian atas gemuk dan tidak gemuk digunakan
dengan tujuan pilihan pengobatan, bukan berdasarkan etiologi.
4) Diabetes melitus malnutrisi dihilangkan dengan alasan
belum cukup bukti bahwa apakah betul malnutrisi dapat
merupakan penyebab terjadinya diabetes melitus. Salah satu
bentuk diabetes melitus malnutrisi yaitu fibrocalculous
pancreopathy dimasukkan sebagai diabetes melitus tipe lain

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

pada klasifikasi yang baru.


CARA DAN KRITERIA DIAGNOSIS
Berdasarkan glukosa plasma vena sewaktu
Penderita diabetes melitus sering datang dengan keluhan
klinis yang jelas seperti haus dan banyak kencing, berat badan
menurun, glukosuri, bahkan kesadaran menurun sampai koma.
Dengan keluhan klinis yang jelas, pemeriksaan glukosa darah
sewaktu sudah dapat menegakkan diagnosis diabetes melitus.
Apabila kadar glukosa darah sewaktu 200 mg % (plasma
vena) maka penderita tersebut sudah dapat disebut diabetes
melitus. Dengan kata lain, pada mereka dengan keadaan klinis
jelas, kadar glukosa plasma > 200 mg % sudah memenuhi
kriteria diabetes melitus. Pada mereka ini tidak diperlukan lagi
pemeriksaan tes toleransi glukosa.
Berdasarkan glukosa plasma vena puasa
Glukosa plasma dalam keadaan puasa dibagi atas tiga nilai,
yaitu < 110 mg/dl, atara > 110 mg/dl - < 126 mg/dl, dan 126
mg/dl. Kadar glukosa plasma puasa < 110 mg/dl dinyatakan
normal, 126 mg/dl adalah diabetes melitus, sedangkan antara
110-126 mg/dl disebut glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
Dengan demikian pada mereka dengan kadar glukosa plasma
vena setelah berpuasa sedikitnya 10 jam > 126 mg/dl sudah
cukup untuk membuat diagnosis diabetes melitus. Bahkan
untuk penelitian epidemiologis di lapangan dianjurkan untuk
menggunakan pemeriksaan kadar glukosa plasma puasa bukan
tes toleransi glukosa oral.
Dengan menggunakan tes toleransi glukosa oral
Apabila pada pemeriksaan glukosa darah sewaktu kadar
glukosa plasma tidak normal, yaitu antara 140-200 mg/dl, maka
pada mereka ini harus dilakukan pemeriksaan tes toleransi
glukosa oral untuk meyakinkan apakah diabetes melitus atau
bukan. Sesuai dengan kesepakatan WHO maka tes toleransi
glukosa oral harus dilakukan dengan beban 75 gram setelah
berpuasa minimal 10 jam. Penilaian adalah sebagai berikut,
toleransi glukosa normal apabila < 140 mg/dl, toleransi glukosa
terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl.
Tabel 2.

Nilai glukosa plasma puasa dan toleransi glukosa setetah beban


75 gram glukosa

Glukosa plasma puasa


Normal
Glukosa puasa terganggu
Diabetes melitus

< 110 mg/dl (6,1 mmol/L)


110 mg/dl (6,1 mmol/L), dan < 126 mg/dl
(7,0 mmol/L)
> 126 mg/dl (7,0 mmol/L)

Hasil tes toleransi glukosa oral, glukosa plasma 2 jam


Normal
< 140 mg/dl (7,8 mmol/L)
Toleransi glukosa terganggu > 140 mg/dl (7,8 mmol/L), dan < 200 mg/dl
(11,1 mmol/L)
Diabetes melitus
200 mg/dl (11,1 mmol/L)

Keterangan Dikutip dari : report of the expert communitee in the diagnosis and
classification of diabetes mellitus. The Expert committee on the diagnosis and
classification of diabetes mellitus, diabetes Care 22 (Suppl. 1) : S5-S19.(5)

tetapi < 200 mg/dl, sedang toleransi glukosa 200 mg/dl disebut diabetes melitus.
Cara mendiagnosis diabetes melitus menurut American
Diabetes Association (ADA) 1997 sebenarnya tidak berbeda
dengan cara WHO 1985. Perbedaan utama hanya terletak pada
batasan glukosa plasma puasa, yaitu 126 mg/dl. Pada Tabel 3
dapat dilihat secara ringkas kriteria diagnosis ADA 1997.
Tabel 3.

Kriteria diabetes melitus orang dewasa tidak hamil (ADA, 1997)

1. Glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L) pada seseorang
dengan keluhan diabetes melitus, seperti banyak kencing, haus dan berat
badan menurun.
2. Glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7,0 mmol/L), pada keadaan puasa
sedikitnya 10 jam.
3. Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral, 2 jam setelah beban 75 mg
glukosa oral, > 200 mg/dl (11,1 mmol/L)

DIAGNOSIS PADA WANITA HAMIL


Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai bagaimana cara skrining, jumlah beban glukosa bahkan kriteria yang
harus dipakai untuk menyatakan diabetes melitus gestasional.
Walaupun demikian ada dua kriteria yang paling sering dipakai
pada saat ini, yaitu kriteria OSullivan-Mahan dan kriteria
WHO. Perlu diketahui bahwa kriteria OSullivan-Mahan yang
asli menggunakan kadar glukosa darah dengan contoh darah
lengkap, yang kemudian oleh National Diabetes Data Group
(NDDG) pada tahun 1979 diubah dengan menggunakan contoh
darah berupa plasma vena. Walaupun demikiaan cara skrining
yang dilakukan tetap menggunakan nama OSullivan-Mahan.
Cara skrining dan kriteria OSullivan-Mahan
Cara skrining menurut OSullivan-Mahan terdiri atas dua
tahap, yaitu tahap tes tantangan glukosa dan tahap toleransi
glukosa oral. Pada tahap tes tantangan glukosa, wanita hamil
diberikan minum glukosa sebanyak 50 gram. Tes dinyatakan
positif apabila kadar glukosa plasma setelah satu jam minum
glukosa 140 mg/dl. Pada mereka dengan tes tantangan
glukosa positif harus dilanjutkan dengan tes toleransi glukosa
oral dengan beban glukosa sebanyak 100 gram. Persiapan sama
dengan melakukan tes toleransi glukosa pada orang dewasa
tidak hamil, hanya jumlah pemeriksaan glukosa darah
dilakukan empat kali, yaitu puasa, satu jam, dua jam, dan tiga
jam setelah minum glukosa (jadi empat contoh darah).
Kadar normal adalah puasa < 105 mg/dl, 1 jam < 190 mg/
dl, 2 jam < 165 mg/dl dan 3 jam < 145 mg/dl (Tabel 4).
Gambar 1 memperlihatkan urutan cara melakukan skrining.
Tabel 4.

Skrining dan diagnosis diabetes melitus gestasional menurut


cara OSullivan-Mahan

Glukosa plasma
Puasa
1-jam
2-jam
3-jam

50 g TTG
140mg/dl
-

100 g TTGO
105 mg/dl
190 mg/dl
165 mg/dl
145 mg/dl

Keterangan :
DMG bila 2 atau lebih angka abnormal
TTG = tes tantangan glukosa, TTGO = tes toleransi glukosa oral

Wanita hamil
(minggu gestasi 26)

TTG
Glukosa 50 gr

GD < 140 mg/dl

TTG(-)

GD 140 mg/dl

TTG(+)

TTGO
Glukosa 100 gr

DMG (-)

DMG (+)

Gambar 1. Bagan skrining menurut cara OSullivan-Mahan

Ada beberapa kelemahan cara OSullivan-Mahan antara


lain, glukosa 100 gram sering mengakibatkan penderita
muntah-muntah, pada mereka yang hanya satu angka abnormal
sering juga ditemukan bayi besar dengan akibat kesulitan
persalinan. Oleh karena itu ada kecenderungan untuk menggunakan beban glukosa 75 gram seperti WHO. Sebagai contoh
ASEAN Study Group of Diabetes in Pregnancy (ASGODIP)
menggunakan cara skrining yang sama tetapi untuk tes toleransi
glukosa hanya menggunakan beban glukosa 75 gram.
Cara WHO
WHO 1985 menggunakan cara diagnosis untuk diabetes
melitus getasional sama dengan cara mendiagnosis pada orang
bukan hamil. Kriteria diabetes melitus sama dengan pada
mereka yang tidak hamil, tetapi dicantumkan bahwa pada
mereka yang tergolong toleransi glukosa terganggu harus
diobati sebagai penderita diabetes melitus. Dengan kata lain
bahwa mereka yang kadar glukosa darah 2 setelah beban
glukosa 75 gram antara 140 - < 200 mg/dl harus diobati
sebagai diabetes melitus.
TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU (TGT) DAN
GLUKOSA DARAH PUASA TERGANGGU (GDPT)
Toleransi glukosa terganggu dan glukosa plasma puasa
terganggu bukanlah suatu kelainan klinik, tetapi lebih merupakan suatu faktor risiko untuk menjadi diabetes melitus
kemudian hari, dan faktor risiko untuk penyakit jantung
koroner. Oleh karena bukan merupakan suatu kelainan klinik
dengan sendirinya tidak akan mendapat pengobatan. Walaupun
demikian mengingat sekitar 30% dari mereka dengan TGT
dapat menjadi diabetes melitus tipe-2 di kemudian hari, pada
saat ini sedang dilakukan penelitian apakah pengobatan pada
TGT dapat mencegah terjadinya diabetes melitus tipe-2. Wanita
dengan TGT den GDPT dapat menjadi diabetes melitus pada
saat hamil.

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 39

SKRINING DIABETES MELITUS


Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik
yang disifati oleh hiperglikemi sebagai kelainan sekresi insulin,
sifat kerja, maupun keduanya secara bersamaan. Diabetes
melitus tipe-2 merupakan kelompok diabetes melitus yang
paling sering ditemukan di klinik. Kadar hiperglikemi yang
berlangsung secara menahun dapat memberikan komplikasi
kronik pada beberapa alat tubuh.
Sekitar 50% penderita diabetes melitus tipe-2 tidak
memberikan keluhan sehingga tidak terdiagnosis. Pada
penderita diabetes melitus tipe-2 yang tidak terdiagnosis sering
disertai dengan komplikasi makrovaskuler terutama penyakit
jantung koroner. Oleh karena itu perlu dilakukan langkahlangkah mendeteksi lebih dini penderita tersebut, yaitu dengan
melakukan pemeriksaan penyaring. Sebaiknya pemeriksaan
penyaring dilakukan pada semua orang dewasa, tetapi hal ini
tidak mungkin dilakukan mengingat pelaksanaan yang sulit dan
membutuhkan biaya yang cukup mahal. Oleh karena itu dianjurkan melakukan skrining pada mereka yang tergolong
risiko tinggi.
Skrining dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa atau tes toleransi glukosa oral. Oleh karena
kesulitan melakukan tes toleransi glukosa oral, maka skrining
dapat dengan menggunakan glukosa plasma puasa atau glukosa
plasma sewaktu. Pada mereka yang mempunyai glukosa plasma
puasa 126 mg/dl, diklasifikasikan sebagai diabates melitus,
sedangkan mereka dengan glukosa plasma puasa 110 mg/dl
tetapi < 126 mg/dl (GDPT) perlu dilanjutkan dengan tes toleransi glukosa untuk menentukan adanya diabetes melitus. Pada
mereka dengan kadar glukosa plasma sewaktu > 160 mg/dl
tetapi < 200 mg/dl dianggap sebagai mencurigakan diabetes,
oleh karenanya perlu dilanjutkan dengan tes toleransi glukosa
oral(5).

Tabel 5.

Kelompok risiko tinggi diabetes melitus yang memerlukan


pemeriksaan penyaring

Semua orang dewasa berumur 45 tahun


Riwayat keluarga diabetes melitus, terutama orangtua dan saudara kandung
Obesitas, yaitu 20% berat badan idaman atau IMT 27 kg/m2
Sebelumnya pernah TGT atau GDPT
Hipertensi, yaitu tekanan darah 140/90 mmHg
Diabetes melitus gestasi sebelumnya atau pernah melahirkan bayi > 4 kg
Dislipidemia, yaitu kadar HDL-kolesterol 35 mg/dl dan/atau trigliserida
250 mg/dl

Dikutip ddlri: American Diabetes Association. Diabetes Care 22 (Suppl. 1):


S20-S23, 1999(5), dengan sedikit perubahan.

KEPUSTAKAAN
1.

2.

3.

4.
5.

6.

National Diabetes Data Group. Classification and diagnosis of diabetes


mellitus and other categories of glucose intolerance. Diabetes 1979; 28 :
1039-57.
World Health Organisation. Diabetes mellitus : Report of a WHO Study
Group. Techn Rep Ser 727, World Health Organisation,
Geneva-Switzerland, 1985.
The Expert committee on the diagnosis and classification of diabetes
mellitus. Report of the expert committee on the diagnosis and
classification of diabetes mellitus. Diabetes Care; 1997; 20 (Suppl. 1) :
1183-97.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan diabetes
melitus di Indonesia 1998. Jakarta, 1998.
Report of the expert committee on the diagnosis and classification of
diabetes mellitus. The Expert committee on the diagnosis and
classification of the diabetes mellitus 1999. Diabetes Care 22 (Suppl. 1) :
S5 - S19.
American Diabetes Association. Screening for tips-2. Diabetes Care 1999;
22 (Suppl. 1) : S20 - S23.

Gain all you can, save all you can, give all you can
(John Wesley)

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

HASIL PENELITIAN

Hubungan antara Waktu


Kadaluwarsa Ampisilina dengan
Daya Hambat Pertumbuhan
E. coli secara in vitro
Raharni*, Sugeng Riyanto**, Koesniyo***
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
** Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
*** Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang hubungan antara waktu kadaluwarsa ampisilina
terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli secara in vitro. Tujuan penelitian ini
adalah mencari hubungan antara waktu kadaluwarsa ampisilina terhadap pertumbuban
bakteri E. coli, dibandingkan dengan ampisilina standar.
Penelitian dilakukan dengan metode dilusi untuk menentukan Konsentrasi Hambat
Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bakterisidal Minimal (KBM) dari ampisilina dengan
berbagai waktu kadaluwarsa terhadap bakteri E. coli. Potensi antibiotika makin besar
bila harga KHM dan KBM makin kecil.
KHM dan KBM ampisilina yang telah melewati waktu kadaluwarsa lebih kecil
dari KHM dan KGM ampilisina standar; makin jauh waktu kadaluwarsa ampisilina
dilewati makin kecil daya hambatnya dibandingkan dengan ampilisina standar, terhadap pertumbuhan bakteri E. coli.

PENDAHULUAN
Salah satu masalah utama yang berkaitan dengan pemakaian antibiotika secara luas adalah terbentuknya resistensi mikroorganisme terhadap obat ini.
Ampisilina
Ampisilina merupakan penisilina semi sintetik, digunakan
dalam pengobatan penyakit infeksi yang disebabkan oleh strain
sensitif dari Shigella, Salmonella, Escherichia coli, Haemophilus influenza, Aerobacter dan Proteus mirabilis atau
infeksi-infeksi lain yang disebabkan oleh enterokokus.
Ampisilina mempunyai struktur molekul mengandung
cincin beta-laktam sebagai pusat aktif antibiotika; pada penyimpanan melampaui waktu kadaluwarsa cincin ini dapat
mengalami penguraian, menyebabkan potensi antibakteri menjadi rendah atau tidak aktif lagi sebagai anti-biotika. Dengan
amidase terjadi pemecahan rantai samping dengan akibat pe-

nurunan potensi antimikroba yang menyolok(1).


Penguraian ampisilina disebabkan oleh hidrolisis mengakibatkan terbukanya cincin beta-laktam, membentuk senyawa
asam alfa amino benzilpenisiloat yang tidak aktif sebagai
antibiotik(1).
Kadaluwarsa Obat
Tanggal kadaluwarsa ialah batas waktu setelah mana sediaan tersebut tidak lagi memenuhi syarat daya kerja yang
tertera(2).
Escherichia coli
Escherichia coli adalah bakteri yang menyerang organorgan traktus digestivus, traktus urinarius, dapat menyebabkan
meningitis pada bayi prematur dan neonatus. Strain enteropatogenik E. coli sering menyebabkan diare akut pada anakanak umur di bawah dua tahun(3).

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 41

Metode Dilusi (Pengenceran)


Prinsip metode ini adalah sejumlah antibiotika diencerkan
hingga diperoleh beberapa macam konsentrasi, lulu masingmasing konsentrasi diberikan pada suspensi kuman dalam
media. Setelah diinkubasi, diamati ada atau tidaknya pertumbuhan bakteri yang ditandai dengan terjadinya kekeruhan.
Konsentrasi terendah yang menghambat pertumbuhan bakteri
yang ditunjukkan dengan tidak adanya kekeruhan disebut.
Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) atau Minimal in hibitory
Concentration (MIC). Contoh masing-masing konsentrasi antibiotika yang menunjukkan hambatan pertumbuhan tersebut
ditanam pada agar padat media pertumbuhan bakteri yang
bebas antibiotika dan diinkubasi. Konsentrasi antibiotika
terendah yang membunuh 99,9% inokulum bakteri disebut
Konsentrasi Bakterisidal Minimal (KBM) atau Minimal
Bactericidal Concentration (MBC) (4).
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan daya
antibakteri ampisilina yang telah melewati waktu kadaluwarsa,
dengan daya antibakteri ampisilina standar daluwarsa, dengan
daya antibakteri ampisilina standar terhadap pertumbuhan
bakteri E. coli.
Penelitian ini diharapkan dapat membantu mencegah bahaya penggunaan ampisilina potensi rendah karena telah kadaluwarsa.
METODE PENELITIAN
A) Bahan dan Alat
1) Bahan
a) Serbuk Ampisilina Trihidrat (A)
b) Serbuk Ampisilina (B) : masih bisa beredar
c) Serbuk Ampisilina (C) : tepat habis waktu kadaluwarsanya
d) Serbuk Ampisilina (D) :1 tahun setelah waktu kadaluwarsa
e) Serbuk Ampisilina (E) : 2 tahun setelah waktu kadaluwarsa
f) Serbuk Ampisilina (F) : 3 tahun setelah waktu kadaluwarsa
g) Buffer fosfat pH 6 dan pH 8 steril
h) Akuades steril
i) Media Agar darah
j) Media Mac Conkey
k) Media Brain Heart Infusion (BHI)
l) Media Brain Heart Infusion double strength (BHI double
strength)
m) Bakteri E. coli
2) Alat
a) Neraca Shimadzu type L-SM 68693, capacity 200 g,
readability 0,01 mg
b) pH meter TOA, HM-60 S
c) Tabung reaksi, cawan petri steril
d) Alat-slat gelas dan alat untuk mikrobiologi lainnya.
B) Prosedur penelitian
1) Identifikasi bakteri Escherichia coli
E. coli diidentifikasi dengan deret media Kliger Iron Agar
(KIA), Semi Solid Sucrose Medium (SSS), Lysine Iron Agar
(LIA), Motility IndoI Ornithine (MIO).
2) Uji potensi antibiotika dengan metode dilusi (Skema 1)
a) Penyiapan bakteri
Ambil 1 ose bakteri dari biakan murni E. coli, gores ke media

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

MacConkey, inkubasi 37C seisms 18-24 jam. Ambil 1 ose,


suspensikan ke dalam 2 mL BHI, diinkubasikan pada 37C
selama 4 jam.
Skema 1. Cara uji potensi antibiotika
Satu ose bakteri dari biakan murni E. coli gores ke MacConkey
untuk E. coli
inkubasi 37C, 18-24 jam
Ambil 1 ose, masukkan ke dalam 2 ml BHI
inkubasi 37C, 4 jam
Encerkan dengan akuades steril
samakan dengan standar
Brown III (108 CFU/mL)
Ambil 2,0 mL, encerkan dengan BHI double strength ad 200 ml
(106 CFU/mL)
Ambil 1,0 ml
Tambahkan pada 1; mL larutan antibiotika
inkubasi 37C, 18-24 jam
Amati kekeruhan larutan, tentukan KHM
Ambil 1 ose larutan yang jernih
Gores ke agar darah
inkubasi 37C, 18-24 jam
Amati adanya pertumbuhan bakteri

b) Inokulasi bakteri
Encerkan suspensi kuman dalam BHI dengan akuades
steril sampai kekeruhan sesuai dengan standar Brown II (108
CFU/ mL), lulu encerkan dengan BHI double strength dengan
perbandingan 1 : 100 dengan cara ambil 2,0 mL, dan diencerkan dengan BHI double strength ad 200 mL, sehingga konsentrasi bakteri menjadi 106 CFU/mL.
c) Pembuatan larutan antibiotika dan seri pengenceran larutan
antibiotika.
T'imbang serbuk ampisilina A, B, C, D, E sebanyak 16,64
mg dan untuk ampisilina F timbang sebanyak 33,28 mg masing-masing dilarutkan dalam buffer fosfat 0,1 M pH 8 steril.
Buat seri pengenceran dari masing-masing larutan antibiotika dengan cara tabung nomer 2 sampai terakhir diisi
dengan 1,0 ml buffer fosfat 0,1 M pH 6 (untuk ampisilina A)
dan akuades steril untuk ampisilina B, C, D, E, F. Tabung
nomer 1 diisi 2,0 ml antibiotika dengan konsentrasi awal tertentu, ambil 1,0 ml larutan dari tabung nomer 1 dimasukkan
tabung nomer 2, kocok sampai homogen. Ambil larutan 3 dan
seterusnya sampai tabung terakhir, 1,0 ml larutan dari tabung
terakhir dibuang.
d) Cara pemeriksaan
Masukkan 1,0 ml suspensi bakteri E. coli dalam BHI
double strength ke dalam tiap tabung dari seri pengenceran
larutan antibiotika, sehingga konsentrasi larutan antibiotika
dalam tiap tabung menjadi setengah dari konsentrasi semula.
Inkubasi pada 37C selama 18 jam. Amati pertumbuhan bakteri
dengan adanya kekeruhan. Setiap pengujian dilakukan rangkap
3 (tiga) kali. Sebagai kontrol adalah masing-masing larutan
antibiotika, media BHI double strength, dan suspensi bakteri
dalam BHI double strength.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A) Identifikasi bakteri E. coli
Pada media KIA, terjadi perubahan warna indikator fenol
dari merah ke kuning dan dalam posisi terangkat karena adanya
asam dan gas sebagai produk pemecahan laktosa dan dektrosa.

Tabel 1. Hasil identifikasi E. coli dengan deret media.


Media
KIA
SSS
LIA
MIO

Tabel 2.

Nilai KHM dan KBM ampisilina dari berbagai waktu


kadaluwarsa, terhadap bakteri E. coli.

Hasil identifikasi
Timbul gas, warna media berubah dari merah menjadi kuning
Media berubah dari merah menjadi kuning, terjadi pergerakan
bakteri
Media tetap berwarna ungu, H2S negatif
Terjadi perubahan warna media dari ungu ke kuning, terjadi
pergerakan bakteri dan timbul cincin merah (indo positif) setelah
ditambah pereaksi Covacs

Terjadinya perubahan warna media SSS dari merah ke


kuning disebabkan adanya asam sebagai hasil fermentasi
sukrosa oleh bakteri. Pada media SSS terjadi pergerakan bakteri
(motility), di daerah tusukan (butt) terlihat keruh dan melebar.
Media LIA dan MIO pada prinsipnya digunakan untuk
mengetahui reaksi bakteri terhadap asam amino, dalam hal ini
lisin pada LIA dan ornithin pada MIO. Selain itu media LIA
dapat juga digunakan untuk mengetahui apakah bakteri yang
diperiksa membentuk asam sulfida atau tidak. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan pH media,
dan juga tidak dihasilkan asam sulfida. Jadi bakteri tidak dapat
memecah lisin dan tidak membentuk asam sulfida. Media MIO
digunakan untuk mengetahui reaksi terhadap ornitin, dapat juga
digunakan untuk mengetahui adanya pergerakan bakteri yang
diperiksa, serta kemampuannya menghasilkan indol. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa terjadi perubahan warna
media dari ungu menjadi kuning, pada bagian tusukan terlihat
keruh dan melebar, berarti bakteri yang diperiksa dapat bergerak, serta terbentuk cincin merah (indol) setelah ditambah
pereaksi Covacs. Perubahan warna media disebabkan karena
terjadinya dekarboksilasi ornitin oleh bakteri. Dilepaskannya
karbondioksida menyebabkan kenaikan pH media, akibatnya
terjadi perubahan warna indikator brom kresol dari ungu
menjadi kuning. Dari uji yang dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa bakteri yang diperiksa adalah E. coli.
B) Uji potensi ampisilina
Dengan metode dilusi dapat ditentukan Konsentrasi
Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bakterisidal Minimal
(KBM) suatu antibiotika. Makin besar nilai KHM dan KBM
suatu antibiotika, berarti potensinya makin kecil dalam
menghambat pertumbuhan bakteri.
Penentuan nilai Konsentrasi Bakterisidal Minimal (KBM),
ditandai dengan cara menggoreskan pada media agar darah dari
masing-masing larutan yang masih tetap jernih, dari tiap-tiap
jenis antibiotika. Konsentrasi terendah, di mana goresan pada
agar darah tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri merupakan
Konsentrasi Bakterisidal Minimal (KBM). Ampisilina A, B, C,
D, E, F, mempunyai nilai KBM masing-masing adalah 6,5; 13;
104; 416; dan 832 u/mL. Nilai KHM masing-masing adalah
3,25; 4,33; 13; 104; 208; dan 416 ug/mL (Tabel 2).
Makin besar harga KHM dan KBM makin besar konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan
bakteri, berarti potensi antibiotika tersebut makin kecil. Dari uji
yang dilakukan ternyata nilai KHM yang semakin besar,
dimulai dari ampisilina A, B, C, D, E, F. Berarti potensi
antibakteri yang dimiliki oleh

Jenis ampisilina
A.
B.
C.
D.
E.
F

Standar
Masih beredar
Tepat habis waktu kadaluwarsa
1 tahun setelah waktu kadaluwarsa
2 tahun setelah waktu kadaluwarsa
3 tahun setelah waktu kadaluwarsa

KHM
(ug/mL)
3,25
4,33
13
104
208
416

KBM
(ug/ml)
6,5
13
104
416
416
832

ampisilina standar adalah yang paling besar, dan yang paling


kecil adalah ampisilina 3 tahun setelah melewati waktu kadaluwarsa. Hasil analisis variansi 1 jalan dengan taraf kepercayaan 95% menunjukkan ada perbedaan nyata nilai KHM
ampisilina A, B, C, D, E, F. Hasil uji Tukey menunjukkan
adanya perbedaan diantara 2 nilai KHM dari ampisilina yang
diuji.
Ampisilina menunjukkan KHM terhadap bakteri Gram
negatif sebesar 0,02-8 ug/ml(6). Dari penelitian ini diperoleh
KHM ampisilina trihidrat (A) sebesar 3,25 ug.mL dan
ampisilina yang masih beredar (B) sebesar 4,33 ug/mL dan
ampisilina tersebut masih mempunyai daya hambat yang cukup
baik terhadap pertumbuhan bakteri E. coli. Sedang untuk
sediaan yang telah kadaluwarsa yakni ampisilina C, D, E, F
perbedaan KHM cukup besar.
KESIMPULAN
Dengan metode dilusi disimpulkan bahwa daya hambat
pertumbuhan bakteri E. coli dari ampisilina menurun menurut
lamanya waktu kadaluwarsa dilewati. Hal ini terlihat dari nilai
KHM dan KBM.
Nilai KHM dan KBM naik berturut-turut dari ampisilina
standar, ampisilina yang masih beredar, tepat pada waktu
kadaluwarsa, ampisilina yang sudah melewati waktu kadaluwarsa 1, 2, dan 3 tahun. Berarti ampisilina yang lebih lama
melewati waktu kadaluwarsa makin berkurang potensi
menghambatnya terhadap pertumbuhan bakteri E. coli.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi
anti bakteri dari ampisilina yang telah kadaluwarsa dengan
menggunakan bakteri seperti Staphylococcus aureus.

KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.

6.

Wilson CO, Gisvold O, Doerge RF. Text Book of Organic Chemistry, 7th
ed. Philadelphia: JB Lippincott Co 1982; 241.
Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jjakarta. 1979.
Salle AJ. Fundamental Principles of Bacteriology, fifth ed. New York :
McGraw Hill Book Co Inc, 1961; 418-20.
Edberg SC. Antibiotics and Infections, 1986; 5-22.
Soejoeti Z. Buku Materi Pokok Metode Statistika II Modul 1-5,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Terbuka, Jakarta,
1986; 106-110.
Reynold JEF, Parfitt K. Martindale The Extra Pharmacopolea, Tweenty
ninth ed. London : The Pharmaceutical Press, 1989; 116-8.

(Lihat lampiran).

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 43

LAMPIRAN
900

Keterangan :
KBM
KHM
A : ampisilina standar
B : masih bisa beredar
C : tepat waktu kadaluwarsa
D : 1 tahun melewati waktu kadaluwarsa
E : 2 tahun melewati waktu kadaluwarsa
F : 3 tahun melewati waktu kadaluwarsa

800
Konsentrasi (ug/ml)

700
600
500
400
300
200
100
0
A

Waktu kadaluwarsa

Grafik 1. Hubungan antara waktu kadaluwarsa ampisilina dengan nilai


KHM dan KBM terhadap E. coli.

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

HASIL PENELITIAN

Disolusi dan Penetapan Kadar


Alopurinol Sediaan Generik
dan Sediaan dengan Nama Dagang
Sukmayati Alegantina, Ani Isnawati, Kelik M Arifin
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK
Sediaan alopurinol dalam bentuk tablet selain generik berlogo juga tersedia dengan
nama dagang. Untuk memasyarakatkan obat generik berlogo diperlukan informasi
tentang mutu obat yang bersangkutan. Mutu obat generik berlogo yang sering
dipertanyakan. Untuk itu dilakukan penelitian disolusi dan penetapan kadar alopurinol
dalam 1 sediaan generik dan 3 sediaan dengan nama dagang (A, B dan C). Metode
disolusi dan penetapan kadar alopurinol berdasarkan pada Farmakope Indonesia IV,
1995, disolusi menggunakan spektrofotometer UV dan penetapan kadar menggunakan
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).
Disolusi tablet alopurinol generik berlogo dan sediaan dengan nama dagang A, B
dan C dalam waktu 15 menit memberikan hasil masing-masing 101,47%; 95,13%;
102,55% dan 97,635. Menurut persyaratan Farmakope Indonesia edisi IV, 1995 dalam
waktu 60 menit kadar alopurinol (C5H4N4O) harus larut tidak kurang dari 75%.
Penetapan kadar tablet alopurinol dalam tablet generik dan 3 tablet dengan nama
dagang (A, B dan C) masing-masing 96,98%; 95,21%; 106,76% dan 99,87%.
Farmakope Indonesia IV mensyaratkan kadar alopurinol tidak kurang dari 93,0% dan
tidak lebih dari 107,0%.
Semua sediaan alopurinol generik berlogo dan 3 sediaan dengan nama dagang (A, B
dan C) memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia Edisi IV,
1995 baik dalam disolusi dan kadar zat berkhasiat.

PENDAHULUAN
Alopurinol adalah obat pirai dengan cara kerja menurunkan kadar asam urat dengan cara menghambat xantin oksidase,
enzim xantin oksidase ini bekerja menghambat hipoxantin
menjadi xantin dan selanjutnya menjadi asam urat. Oksipurinol
merupakan metabolisme dari alopurinol yang juga menginhibisi
xantin oksidase. Obat ini terutama mengobati penyakit pirai
kronik dengan insufisiensi ginjal dan batu urat dalam ginjal,
tetapi dosis awal harus dikurangi. Alopurinol tidak bersifat
sitotoksik dan tidak mempunyai efek transplantable tumor,

obat ini tidak bersifat analgesik, anti inflamasi atau uricosuric


activity. Pengobatan jangka panjang mengurangi frekuensi
serangan, menghambat pembentukan tofi, memobilisasi asam
urat dan mengurangi besarnya tofi mobilisasi asam urat ini,
tidak ditingkatkan dengan memberikan urikosurik(1,2).
Dosis untuk penyakit pirai ringan 200 - 400 mg sehari,
untuk penyakit lebih berat 400 - 600 mg sehari. Untuk
penderita gangguan fungsi ginjal dosis cukup 100 - 200 mg
sehari, untuk hiperuresimia sekunder 100 - 200 mg sehari,
untuk anak 6 - 10 tahun 300 mg sehari dan anak di bawah 6

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 45

tahun 150 mg sehari. Alopurinol menghambat oksidasi merkaptopurin bila diberikan bersamaan dosis merkaptopurin harus
dikurangi 25 - 30%(3).
Berdasarkan hasil penelitian tahun 1991 ternyata dari 6
jenis obat yang diteliti terlihat perbandingan Harga Jual Apotik
(HJA) obat generik dengan obat paten yang sejenis sangat
bervariasi berkisar 6,03 -17,94 x HJA obat generik(2). Harga
Netto Apotik (HNA) tahun 1998 untuk alopurinol nama dagang
pabrik PMA 12 x harga generik dan HNA pabrik PMDN 6 x
harga generik. Mutu obat generik dengan harga yang sangat
murah sering dipertanyakan; untuk itu perlu dimantapkan
dengan data laboratorium agar dapat diinformasikan kepada
masyarakat luas.
Penelitian ini bertujuan membandingkan mutu obat generik
berlogo sediaan alopurinol dengan sediaan nama dagang A, B
dan C. Pada penelitian ini dilakukan disolusi dan penetapan
kadar sediaan alopurinol generik berlogo dan sediaan dengan
nama dagang A, B dan C.
METODOLOGI(4)
Sampel terdiri dari 1 sediaan alopurinol berlogo dan 3
sediaan dengan nama dagang A, B dan C. Tiap sediaan terdiri
dari 10 tablet, jadi jumlah keseluruhan sampel yang diteliti
sebanyak 40 tablet.
Disolusi dan penetapan kadar alopurinol (C5H4N4O) dilakukan menurut Farmakope Indonesia IV, 1995.

dengan fase gerak sampai tanda. Larutan ini dibuat pada saat
akan digunakan.
Larutan uji
Sebanyak 20 tablet ditimbang dan kemudian diserbukkan.
Ditimbang sejumlah serbuk setara dengan 50 mg alopurinol,
dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, ditambah 10 ml
larutan natrium hidroxsida 0,1 N dikocok selama 10 menit,
ditambah air sampai tanda. Disaring, di buang 10 ml filtrat
pertama kemudian dimasukkan 4,0 ml filtrat dan 2,0 ml larutan
baku internal ke dalam labu tentukur 200 ml, diencerkan
dengan fase gerak sampai tanda. Disuntikkan secara terpisah
sejumlah volume sama (lebih kurang 15 l) larutan baku dan
larutan uji ke dalam kromatograf, di ukur tinggi puncak utama.
Waktu retensi relatif dari hipoksantin 0,6 dan alopurinol 1,0.
Untuk menghitung jumlah C5H4N4O dalam serbuk tablet yang
digunakan, dipakai rumus :
2,5 C (RU)
(RS)
C adalah kadar alopurinol BPFI dalam g per ml. Larutan baku
Ru dan Rs berturut-turut adalah perbandingan respon puncak
antara alopurinol dan baku internal dari larutan uji dan larutan
baku.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Alopurinol

a) Disolusi
Digunakan alat disolusi tipe 2 (metode pedal) dengan
kecepatan 75 rpm dan media disolusi asal klorida 0,1 N
sebanyak 900 ml. Dilakukan penetapan jumlah alopurinol
(C5H4N4O) yang terlarut dengan menggunakan serapan filtrat
larutan uji, diencerkan dengan asam klorida 0,1 N dan serapan
larutan baku alopurinol BPFI dalam media yang sama pada
panjang gelombang serapan maksimum 250 nm. Dalam
waktu 45 menit harus larut tidak kurang dari 75% C5H4N4O
dari jumlah yang tertera dalam etiket.
b) Penetapan kadar
Penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi dilengkapi detektor UV 254 nm dengan
menggunakan kolom 4 mm x 30 cm dan bahan pengisi L1
(Oktadesil silana terikat secara kimiawi pada partikel mikrosilika berpori atau artikel mikrokeramik dengan diameter 5 M
- 10 m), laju aliran kurang 1,5 ml/menit dengan fase gerak
larutan ammonium monobasa 0,05 M.
Larutan baku internal
Dilarutkan 50 mg hipoksantin P dalam 10 ml natrium
hidroksida 0,1 N, dikocok selama 10 menit hingga larut,
diencerkan dengan air hingga 50 ml. Larutan ini dibuat pada
saat akan digunakan.
Larutan baku
Ditimbang dengan seksama 50 mg alopurinol BPFI,
dimasukkan ke dalam labu 50 ml ditambahkan 10 ml natrium
hidroksida 0,1 N dikocok selama 10 menit, diencerkan dengan
air. Dimasukkan 4,0 ml larutan ini dan ditambah 2,0 ml larutan
baku internal ke dalam labu tentukur 200 ml, diencerkan

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

Gambar 1. Kurva profil disolusi sediaan alopurinol generik dan 3 sediaan


alopurinol dengan nama dagang.
Tabel 1. Disolusi sediaan alopurinol
No
1.
2.
3.
4.

Tablet
Generik
A
B
C

konsentrasi (%)
15 menit
101,470
95,130
102,550
97,630

30 menit
102,130
99,210
103,440
99,810

45 menit
104,930
100,170
103,305
104,470

Menurut Farmakope Indonesia IV, 1995 dalam waktu 45


ment tidak kurang dari 75% kadar alopurinol (C5H4N4O) harus

larut. Dari profil disolusi menunjukkan bahwa dalam waktu 15


menit sediaan generik dan 3 macam sediaan dengan nama
dagang telah larut > 75% seperti terlihat pada Tabel 1. Dengan
demikian keempat sediaan tersebut telah memenuhi persyaratan
Farmakope Indonesia Edisi IV, 1995.

Gambar 4. Kromatogram kadar alopurinol dengan nama dagang A.

Gambar 2. Kromatogram kadar baku alopurinol

Gambar 5. Kromatogram kadar alopurinol dengan nama dagang B.

Gambar 3. Kromatogram kadar alopurinol generik.

Kadar zat berkhasiat sediaan alopurinol generik dan 3


sediaan dengan nama dagang memenuhi persyaratan
Farmakope Indonesia IV, 1995, yaitu kadar alopurinol tidak
kurang dari 93,00% dan tidak lebih dari 107,00%.

Tabel 2. Perhitungan kadar alopurinol


No.
1.
2.
3.
4.

Tablet
Generik
A
B
C

Kadar (%)
96,98
95,21
106,76
99,87

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 47

Dari hasil disolusi dari kadar zat berkhasiat yang didapat,


obat alopurinol generik tidak kalah mutunya dibandingkan
dengan nama dagang walaupun harga obat generik lebih murah
dari harga obat dengan nama dagang.
SARAN
Dalam rangka peningkatan pemasyarakatan obat generik
berlogo, seyogyanya hasil-hasil penelitian di laboratorium
hendaknya disebarluaskan melalui brosur-brosur oleh produsen obat generik berlogo (OGB) atau buku panduan yang
diterbitkan oleh DepKes RI agar penggunaannya terjangkau
oleh semua lapisan masyarakat.
KEPUSTAKAAN
1.
2.

3.
4.
5.
6.
7.
Gambar 6. Kromatogram kadar alopurinol dengan nama dagang C.
8.

KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa disolusi dari
kadar zat berkhasiat sediaan alopurinol generik dart 3 sediaan
nama dagang (A, B dart C) semuanya memenuhi syarat Farmakope Indonesia IV, 1995.

9.

Mc Euoy K. Drug Information. Am Soc of Health System Pharmacists


Inc. 1996.
Sasanti Handayani dkk. Perbandingan Harga Jua1 Apotik Beberapa Obat
dengan Obat Paten yang Sejenis di Jakarta. Cermin Dunia Farmasi 1992;
12.
Sulistia G. dkk. Farmakologi dari Terapi Edisi IV Farmakologi FK UI.
Jakarta, 1995.
Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta. Direktorat Jenderal Pengawasan
Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI, 1995.
IIMS MIM/S Indonesia. 1996; 25 (2).
ISO Indonesia Edisi Farmakoterapi. Jakarta ISFI 1997.
Kadarwati, U. Penelitian Studi Penyebarluasan dan Pemasyarakatan Obat
Generik Berlogo Sektor Swasta. Jakarta. Puslitbang Farmasi BPPK
DepKes RI, 1993.
Lastari P, Mutiatikum D, Raaini M. Penelitian Pemantapan Metoda
Penetapan Kadar Propanolol Beberapa Sediaan Generik dan Sediaan
dengan nama dagang, Jakarta. Puslitbang Farmasi BPPK Depkes RI,
1991.
Lastari P, Mutiatikum D, Isnawati A. Penetapan Kadar tetrasiklin dalam
Sediaan Generik dan Dalam 16 Sediaan dengan Nama Dagang
Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, Jakarta. Puslitbang
Farmasi BPPK DepKes RI, 1993.

Do not tell a friend anything that you would conceal from an enemy

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

HASIL PENELITIAN

Resistensi M. tuberculosis
terhadap Obat Anti Tuberkulosis
Bahan Baku dan Obat Generik
di Bagian Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran
Unrversitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Hotman Sinaga, Idaningroem Sjahid, Nonang Siahaarv,ida Parwati Santoso
Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin Bandung
ABSTRAK
Pengobatan penderita TB yang tidak tepat dapat menyebabkan kuman M.
tuberculosis menjadi resisten dan sulit diobati. Pengobatan yang tepat antara lain dapat
dicapai dengan bantuan hasil uji kepekaan; sayangnya pemeriksaan uji kepekaan tidak
mudah dilakukan karena mahal. Oleh karena itu perlu diteliti uji kepekaan obat anti
tuberkulosis (OAT) yang murah dan mudah didapat.
Dari 50 isolat M. tuberculosis yang diteliti menggunakan OAT-bahan baku dan
OAT-obat generik pada media Ogawa 1% dengan metode proporsi secara tidak
langsung di Bagian Patologi Klinik FK UNPAD/RSHS Bandung didapatkan hasil uji
kepekaan dengan OAT-bahan baku dan OAT-obat generik adalah sama. Dua puluh
enam isolat (52%) sensitif dan 24 isolat (48%) resisten terhadap satu atau lebih OAT,
19 (38%) resisten terhadap streptomisin, 17 (34%) resisten terhadap pirazinamid, 13
(26%) resisten rifampisin, 4 (8%) resisten INH, 2 (4%) resisten terhadap etambutol, 8
(16%) resisten terhadap satu jenis OAT, 6 (12%) resisten terhadap dua jenis OAT, 7
(14%) resisten terhadap tiga jenis OAT, 1 (2%) resisten terhadap 4 jenis OAT, 2 (4%)
resisten terhadap 5 jenis OAT dan 16 (32%) resisten terhadap atau lebih OAT. Isolat
yang resisten terhadap satu jenis OAT, 4 (8%) resisten terhadap streptomisin, 3 (6%)
adalah MDR-TB. Uji kepekaan dengan bahan baku dan obat generik mempunyai
ketepatan 100% dan persentase resistensi isolat terhadap masing-masing OAT-bahan
baku dan OAT-obat generik tidak berbeda bermakna (p>0,05).
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa OAT-obat generik dapat digunakan
untuk uji kepekaan M. tuberculosis.
Kata Kunci : Obat anti tuberkulosis bahan baku - obat generik - resistensi obat
PENDAHULUAN
Sejak ditemukannya Mycobacterium tuberculosis (M.
tuberculosis) 107 tahun yang lalu, telah banyak upaya yang
dilakukan untuk memberantas penyakit tuberkulosis. Namun
sampai saat ini penyakit tuberkulosis paru (TBP) masih menjadi masalah kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia(1-5).
Pada awal tahun 1990, dilaporkan terdapat 16 juta penduduk

dunia menderita TBP, 8 juta kasus baru pertahun dan 3 juta


kematian, sehingga pada tahun 2000 diperkirakan akan terjadi
kira-kira 90 juta penderita TBP dengan 30 juta kematian(5-7).
Bila penanganan kasus-kasus TBP lidak ditingkatkan, maka
pada tahun 2020 diperkirakan hampir satu miliar penduduk
dunia akan terinfeksi, 200 juta akan menderita TBP dan 70 juta
akan meninggal(8). Di negara sedang berkembang diperkirakan

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 49

terjadi sekitar 7 juta kasus TB baru dan 2-3 juta akan meninggal
tiap tahunnya(9). Di Indonesia, Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI tahun 1992 menunjukkan, penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor
2 setelah penyakit kardiovaskuler atau urutan pertama pada
kelompok penyakit infeksi(10). Dari hasil evaluasi bersama
Indonesia - WHO pada tahun 1994, disimpulkan bahwa di
Indonesia terdapat 500.000 penderita TB-Paru-baru setiap
tahunnya dengan kematian 175.000 penderita per tahun dan
terdapat 260.000 penderita yang tidak terdiagnosis setiap tahunnya. Karena pengobatan yang tidak adekuat, diperkirakan terdapat 560.000 penderita TBP kronik yang merupakan sumber
penularan di masyarakat(11).
Pengobatan penderita yang tidak adekuat dapat menyebabkan M. tuberculosis menjadi resisten terhadap satu atau lebih
OAT(8). Kuman yang resisten atau resisten multipel sulit diobati
dengan kombinasi OAT biasa. Untuk penderita demikian kombinasi OAT sebaiknya didasarkan pada hasil uji kepekaan.
Dalam kepustakaan disebutkan, pemeriksaan uji kepekaan
harus menggunakan OAT-bahan baku, sayangnya OAT-bahan
baku selain sulit didapat harganya pun sangat mahal(12-13). Berdasarkan harga pembelian pada bulan September - Okfober
1998, untuk tiap mg OAT-bahan baku rifampisin lebih mahal
2208 kali, INH-baku lebih mahal 155 kali, etambutol-baku
lebih mahal 82 kali, pirazinamid-baku lebih mahal 76 kali dan
streptomisin-baku lebih mahal 73 kali dari OAT-generik. Oleh
karena itu, jika menggunakan OAT-bahan baku biaya pemeriksaan uji kepekaan M. tuberculosis menjadi sangat mahal dan
sulit terjangkau. Mempertimbangkan bahwa pemeriksaan uji
kepekaan sangat penting dalam menentukan kombinasi OAT
yang akan diberikan, khususnya pada penderita yang pernah
mendapat pengobatan OAT, maka perlu dicari upaya agar biaya
pemeriksaan uji kepekaan menjadi terjangkau oleh penderita.
Karena OAT yang mudah didapat dan lebih murah adalah
OAT-generik, maka perlu diteliti apakah OAT-generik dapat
digunakan untuk uji kepekaan terhadap isolat M. tuberculosis.
BAHAN DAN CARA KERJA
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik, dilakukan di Bagian Patologi Klinik FKUP/RSHS Bandung dari
bulan Agustus 1998 -April 1999. Dari isolat M. tuberculosis
yang berhasil diisolasi dari penderita yang melakukan pemeriksaan biakan M. tuberculosis di Bagian Patologi Klinik
dilakukan uji kepekaan dengan metode proporsi menggunakan
OAT-bahan baku dan OAT-generik pada media Ogawa 1%.
Dari isolat M. tuberculosis dibuat suspensi kuman dalam
akuades steril, lalu kekeruhannya disamakan dengan kekeruhan
McFarland nomor 1; kemudian diencerkan 10-2 kali dan 10-4
kali dengan akuades steril sebagai inokulum kerja. Tiap inokulum kerja diinokulasikan 0,1 mL pada media kontrol (tanpa
obat) dan media yang diuji yang mengandung OAT-bahan baku
dan OAT-generik. Kadar obat dalam media : INH 0,2 ug/mL;
streptomisin 2,0 ug/mL; etambutol 5,0 ug/mL; rifampisin 1,0
ug/ mL dan pirazinamid 25 ug/mL(12). OAT-bahan baku yang
digunakan dari SIGMA, semua bentuk bubuk, potensi masingmasing sebagai berikut; INH 980 ug/mg, streptomisin 746
ug/mg, etambutol 980 ug/mg, rifampisin 980 ug/mg dan

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

piramizamid 990 ug/mg. OAT-generik yang digunakan adalah


INH tablet, streptomisin bubuk, etambutol tablet, rifampisin
kapsul dan piramizamid tablet. Masing-masing OAT-generik
ditimbang berat aktualnya, lalu dihitung potensi dari masingmasing OAT-generik, selanjutnya digerus dan disaring dengan
kain kasa. Hasil saringan ditimbang sesuai dengan yang dibutuhkan untuk pembuatan larutan obat yang akan dicampurkan ke media Ogawa 1%. Media kontrol dan media uji yang
telah diinokulasi diinkubasi 3-6 minggu pada suhu 37C, dilihat
ada tidaknya pertumbuhan (koloni), jika ada pertumbuhan,
jumlah koloni dihitung. Pertumbuhan pada media uji dibandingkan dengan pertumbuhan pada media kontrol dan
dinyatakan dalarn persen. Bila persentase pertumbuhan pada
media uji 1% disebut resisten dan jika < 1% atau tidak ada
pertumbuhan disebut sensitif(12). Data yang telah dikumpulkan
diolah, untuk tingkat resistensi terhadap OAT dinyatakan dalam
persen, kesesuaian hasil uji kepekaan antara OAT-bahan baku
dengan OAT-obat generik dengan tabel kontingensi 2 x 2 dan
untuk mengetahui adanya perbedaan persentase resistensi
terhadap OAT-bahan baku dan OAT-obat generik dengan
Wilcoxon.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Selama masa penelitian telah berhasil dilakukan uji kepekaan terhadap 51 isolat. Dari 51 isolat yang dilakukan uji kepekaan, satu (1,96%) dikeluarkan dari analisis karena terkontaminasi dengan jamur. Jadi yang dinilai dan dianalisis lebih
lanjut adalah hasil uji kepekaan dari 50 isolat.
Pada tabel 1 diperlihatkan hasil uji kepakaan 50 isolat M.
tuberculosis terhadap 5 jenis OAT-bahan baku dan OAT-obat
generik. Dari penelitian ini didapatkan, isolat M. tuberculosis
yang sensitif terhadap OAT-bahan baku juga sensitif terhadap
OAT-obat generik, sebaliknya isolat yang resisten terhadap
OAT-bahan baku juga resisten terhadap OAT generik. Dari 50
isolat yang diuji, 26 (52%) masih sensitif terhadap semua OAT
yang diuji dan 24 (48%) telah resisten terhadap salah satu atau
lebih OAT yang diuji. Persentase isolat yang resisten pada
penelitian ini lebih tinggi dibanding dengan penelitian Bloch
dkk. di 50 negara bagian Amerika Serikat tahun 1991 dan
penelitian Wahid dkk. di Bagian Mikrobiologi FKUI tahun
1995.
Tabel 1.

Hasil uji kepekaan 50 isolat M. tuberculosis terhadap OAT


bahan baku dan OAT obat generik.
Obat Anti Tuberkulosis

Hasil
Sensitif
Resisten
Jumlah

Baku
Jumlah
26
24
50

Generik
%
52
48
100

Jumlah
26
24
50

%
52
48
100

Pada penelitian Bloch dkk. mendapatkan yang resisten 472


isolat (14,2%) dan Wahid dkk. mendapatkan yang resisten 25
isolat (15,92%) terhadap salah satu atau lebih OAT(14-15). Angka
resisten yang tinggi pada penelitian ini mungkin disebabkan
oleh isolat yang diuji berasal dari penderita yang sudah pernah
mendapat pengobatan OAT (resistensi sekunder). Penelitian di

RS Persahabatan pada tahun 1994 mendapatkan, angka resistensi sekunder hampir sama dengan penelitian ini yakni
44,89%(16).
Uji kepekaan terhadap masing-masing OAT mendapatkan,
yang resisten terhadap INH mungkin juga resisten terhadap
OAT lain 4 (8%), terhadap streptomisin (mungkin juga resisten
terhadap OAT lain) 19 (38%), terhadap etambutol (mungkin
juga resisten terhadap OAT lain) dua (4%) (Tabel 2).

Indonesia (Tabel 4). Pada penelitian Bloch dkk didapatkan


angka resistensi terhadap INH 3,77%; terhadap streptomisin
2,4%; lalu terhadap etambutol 0,39%; terhadap pirazinamid
0,27% dan terhadap rifampisin 0,24%(14). Penelitian Tanjung
dan Keliat mendapatkan angka resistensi terhadap etambutol
13,33%; terhadap rifampisin 6,6%; terhadap streptomisin
3,33% dan terhadap INH 0%(19).
Tabel 3.

Tabel 2.

Hasil uji kepekaan 50 isolat M. tuberculosis terhadap


OAT-bahan baku dan obat generik.

OAT
INH
Baku
Generik
Streptomisin
Baku
Generik
Etambutol
Baku
Generik
Rifampisin
Baku
Generik
Pirazinamid
Baku
Generik

Sensitif

Gambaran resistensi isolat M. tuberculosis terhadap OAT


berdasarkan jumlah OAT yang digunakan.

Resistensi terhadap
1 macam obat

Resisten

Jumlah

Jumlah

46
46

92
92

4
4

8
8

31
31

62
62

19
19

38
38

48
48

96
96

2
2

4
4

37
37

74
74

13
13

26
26

33
33

66
66

17
17

34
34

Total
2 macam obat

Total
3 macam obat
4 macam obat
5 macam obat

Jumlah isolat
1
4
0
0
3
8
2
3
1
6
7
1
2

S dan R
S dan Z
R dan Z
S, R dan Z
H, S, R dan Z
H, S, E, R dan Z

%
2
8
0
0
6
16
4
6
2
12
14
2
4

Keterangan :
H : INH, S : streptomisin, E : etambutol, R : rifampisin, Z : pirazinamid.
Tabel 4.

Isolat yang resisten terhadap rifampisin (mungkin juga


resisten terhadap OAT lain) 17 (34%). Angka resistensi tertinggi pada penelitian ini, adalah terhadap streptomisin kemudian pirazinamid dan rifampisin.
Jika dibandingkan dengan penelitian lain, hasil penelitian
ini berbeda dalam urutan resistensi tertinggi terhadap OAT
yang diteliti. Wahid dkk. tahun 1995 mendapatkan, yang resisten terhadap rifampisin 14,0%; terhadap INH 10,2%; streptomisin 8,9% dan terhadap etambutol 7,0%. Aditama dan
Wijanarko tahun 1994 mendapatkan, yang resisten terhadap
INH 23,35%; terhadap rifampisin 16,83%; terhadap streptomisin 11,75% dan terhadap etambutol 1,39(15,16). Pada penelitian Burns dkk di Kazakstan tahun 1993 didapatkan, angka
resistensi terhadap streptomisin 66%; terhadap etambutol 45%;
terhadap INH 20% dan terhadap rifampisin 19%(17). Pada
penelitian Aditama dkk tahun 1992 didapatkan, angka resistensi
terhadap INH 5,98%; terhadap rifampisin 3,96%; terhadap
streptomisin 3,87%; terhadap pirazinamid 0,3% dan terhadap
etambutol 0,15%(18). Resistensi terhadap streptomisin pada
penelitian Burns dkk sejalan dengan penelitian ini, namun
angka resistensi untuk jenis OAT lain berbeda. Adanya perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan dalam jenis dan
ukuran sampel, metode dan cara pemeriksaan uji kepekaan.
Gambaran resistensi M. tuberculosis berdasarkan jumlah
OAT dari 5 macam OAT yang diuji diperlihatkan pada tabel 3.
Isolat yang resisten terhadap satu satu jenis OAT saja secara
berturut-turut adalah, terhadap streptomisin 4 isolat (8%),
terhadap pirazinamid 3 isolat (6%), terhadap INH satu isolat
(2%), sedangkan terhadap etambutol dan rifampisin tidak ada
(0%). Hasil penelitian ini tidak begitu berbeda dengan hasil
penelitian lain baik di negara maju maupun di daerah lain di

Obat
H
S
E
R
Z

Hasil penelitian M. tuberculosis terhadap satu jenis OAT oleh


beberapa peneliti.
Peneliti

Resisten terhadap (%)

H
Aditama dan Wijanarko 7,3
Aditama dkk
1,62
Bloch dkk
3,77
Tanjung dan Keliat
0
Penulis
2

S
2,38
0,59
2,4
3,33
8

R
0
3,1
0
0,57
0,39 0,24
13,33 6,67
0
0

Z
0,057
0,27
6

Keterangan
RP & RS
RP & RS
RP & RS
RS
RP & RS

Keterangan :
H : INH, S : streptomisin, E :etambutol, R : rifampisin, Z : pirazinamid RP :
resistensi primer, RS : resistensi sekunder.

Penelitian Aditama dan Wijanarko mendapatkan angka


resistensi terhadap INH 7,3%; terhadap rifampisin 3,1 %; terhadap streptomisin 2,38% dan terhadap etambutol 0%(16). Pada
penelitian Aditama dkk pada tahun 1992 didapatkan, angka
resistensi terhadap INH 1,62%; terhadap streptomisin 0,59%;
terhadap rifampisin 0,57%; terhadap pirazinamid 0,057% dan
terhadap etambutol 0%(18).
Berdasarkan jumlah OAT, isolat M. tuberculosis yang
resisten terhadap 1 macam OAT menempati urutan pertama
dengan 8 isolat (16%), kemudian terhadap 3 macam OAT 7
isolat (14%), lalu terhadap 2 macam OAT 6 isolat (12%), selanjutnya 5 dan 4 macam OAT masing-masing 2 isolat (4%)
dan 1 isolat (2%). Isolat yang resisten terhadap dua macam
OAT atau lebih ada 16 (32%). Hasil penelitian ini berbeda
dengan penelitian Tanjung dan Keliat yang mendapatkan,
angka resistensi terhadap 4 macam OAT 30%; terhadap 1 OAT
dan 2 OAT 22,33% dan terhadap 3 macam OAT 20%(19).
Penelitian Aditama dan Wijanarko mendapatkan isolat M.
tuberculosis yang resisten terhadap 1 macam OAT 12,86%; lalu

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 51

terhadap 2 macam OAT 10,40%; diikuti terhadap 3, 4 dan 5


macam OAT masing-masing 4,92% den 0,15 %(16). Pada penelitian Wahid dkk mendapatkan angka resistensi terhadap 1
macam OAT 5,73%; terhadap 4 macam OAT 5,10%; terhadap
3 macam OAT 3,82% dan terhadap 2 macam OAT 1,27%(15).
Dari hasil survei WHO tahun 1994-1997 di Thailand didapatkan, resistensi primer terhadap 1 macam OAT 21,4%; terhadap
2 macam OAT 11,5%; terhadap 3 macam OAT 3,1 % den
terhadap 4 macam OAT 0,8%. Di Vietnam didapatkan angka
resistensi terhadap 1 macam OAT 19,1 %; terhadap. 2 macam
OAT 0,9%. Di Amerika Serikat didapatkan, angka resistensi
terhadap 1 macam OAT 8,2; dan 2 macam OAT 2,8%; terhadap
3 macam OAT 0,7% dan terhadap 4 macam OAT 0,6%(20).
Persentase resistensi berdasarkan jumlah OAT pada penelitian
ini lebih rendah dibanding hasil penelitian Tanjung dan Keliat,
namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitiap
Aditama dan Wijanarko, Wahid dkk dan hasil survei WHO di
Thailand, Vietnam den Amerika Serikat (Tabel 5). Resistensi
obat ganda (MDR-TB) adalah resistensi yang terjadi minimal
terhadap INH dan rifampisin pada penelitian ini MDR-TB
didapatkan 3 isolat (6%).
Tabel 5.

Hasil penelitian resistensi M. tuberculosis berdasarkan jumlah


OAT oleh beberapa peneliti.

Peneliti
Aditama dan
Wijanarko(16)

Resisten terhadap (%)


1 OAT 2 OAT 3 OAT 4 OAT 5 OAT
12,86
10,40
4,92
1,27
0,15

MDR-TB
(%)
13,02

Tanjung dan
Keliat(19)

22,33

22,33

20

30

8,9

Wahid dkk(15)
WHO(20)
Thailand
Vietnam
United States
Bloch dkk(14)
Penulus

5,73

1,27

3,82

5,10

8,9
2,2

21,4
19,1
8,2
16

11,5
11,6
2,8
12

3,1
0,9
0,7
14

0,8
0,9
0,6
2

9,5
6

Angka NIDR-T ini lebih rendah dibanding hasil penelitian


Wahid dkk yang mendapat 8,9%, Bloch dkk mendapat 9,5%
serta Aditama dan Wijanarko mendapat angka MDR-TB
13,02%, namun lebih tinggi bila dibanding angka rata-rata
MDR-TB (primer dan sekunder) pada 28 negara yang disurvei
WHO (2,2%)(14-16,20).
Pada tabel 6 diperlihatkan ketepatan hasil uji kepekaan
antara OAT-bahan baku dengan OAT generik. Pada penelitian
ini didapatkan ketepatan hasil uji kepekaan antara OAT-bahan
baku dengan OAT-obat generik terhadap 5 jenis OAT yang
diuji semuanya 100%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
uji kepekaan menggunakan OAT-bahan baku sama baiknya
dengan uji kepekaan menggunakan OAT-obat generik.
Perbedaan persentase resistensi isolat M. tuberculosis
antara OAT-bahan baku dan OAT-obat generik dari 50 isolat
M. tuberculosis yang diuji terhadap masing-masing OAT-bahan
baku dan OAT-generik didapatkan sebagai berikut. Persentase
resistensi rata-rata isolat M. tuberculosis terhadap INH-bahan
baku dan INH-generik adalah 0,116% dan 0,11 % dengan
simpang baku

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

Tabel 6.

Ketepatan hasil uji kepekaan isolat M. tuberculosis antara OAT


bahan baku dengan OAT-obat generik (n = 50).
Obat anti tuberkulosis

Jenis Obat
INH
Streptomisin
Etambutol
Rifampisin
Pirazinamid

Bahan Baku
Sensitif
46 (92%)
31 (62%)
48 (96%)
37 (74%)
33 (66%)

Resisten
4 (8%)
19 (38%)
2 (4%)
13 (26%)
17 (34%)

Obat generik
Sensitif
46 (92%)
31 (62%)
48 (96%)
37 (74%)
33 (66%)

Resisten
4 (8%)
19 (38%)
19 (38%)
13 (26%)
17 (34%)

Ketepatan
(%)
100
100
100
100
100

masing-masing 0,413 dan 0,394. Hasil uji kepekaan antara


INH-bahan baku dengan INH-obat generik tidak berbeda
bermakna (Zw =1,095; p=0,273). Persentase resistensi rata-rata
isolat M. tuberculosis terhadap Streptomisin-bahan baku dan
Streptomisin generik adalah 0,625% dan 0,614% dengan
simpang baku masing-masing 0,706 dan 0,767. Hasil uji kepekaan antara Streptomisin-bahan baku dengan Streptomisingenerik tidak berbeda bermakna (Zw =1,769; p=0,077).
Persentase resistensi rata-rata isolat M. tuberculosis terhadap
Etambutol-bahan baku den Etambutol-generik adalah 0,091%
dan 0,93% dengan simpang baku masing-masing 0,364 dan
0,388. Hasil uji kepekaan antara Etambutol-bahan baku dengan
Etambutol-genetik tidak berbeda bermakna (Zw = 0,0; p=1,0).
Persentase resistensi ratarata isolat M. tuberculosis terhadap
Rifampisin-bahan baku dan Rifampisin-generik adalah 0,672%
dan 0,712% dengan simpang baku masing-masing 1,231 dan
1,23. Hasil uji kepekaan antara Rifampisin-bahan baku dengan
Rifampisin-generik tidak berbeda betmakna (Zw = 1,728;
p=0,084). Persentase resistensi rata-rata isolat M. tuberculosis
terhadap Pirazinamid-bahan baku dan Pirazinamid-generik
adalah 0,729% dan 0,896% dengan simpang baku masingmasing 0,839 dan 1,549. Hasil uji kepekaan antara Pirazinamid-bahan baku dengan Pirazinamid-generik berbeda bermakna
(Zw = 0,409; p=0,682).
KESIMPULAN
1. Isolat M. tuberculosis yang sensitif terhadap OAT-bahan
baku juga sensitif terhadap OAT-obat generik; sebaliknya isolat
yang resisten terhadap OAT-bahan baku juga resisten terhadap
OAT-obat generik dan hasil uji kepekaan antara OAT-bahan
baku dengan OAT generik tidak berbeda bermakna (p > 0,05).
2. Secara umum dapat disimpulkan bahwa OAT-obat generik
dapat digunakan untuk pemeriksaan uji kepekaan M.
tuberculosis.

KEPUSTAKAAN
1.
2.

3.

4.

Aditama TY. Perkembangan mutakhir diagnosis tuberkulosis paru.


Ceermin Dunia Kedok. 1995; 99: 29-31.
Raviglione MC, Snider DE, Kochi A. Global epidemiology of
tuberculosis : Morbidity and mortality of a worldwide epidemic. JAMA
SEA 1995; 22-7.
Tanjung A, Puteh AG. Masalah resistensi kuman tuberkulosis paru;
beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Majalah Kedokteran
Bandung 1997; 29 : 123-32.
Weis SE, Slocum PC, Blais FX, et al. The effect of directly observed
therapy on the rates of drug resistance and relapse in tuberculosis. N Eng

J Med 1994; 330 : 1179-84.


WHO. Vaccine approaches to tuberculosis. World Health Organization
1996; 1-10.
6.
Kent JH. The epodemiology of multidrug-resistant tuberculosis in the
United States. In: Bass JB, ed. The medical clinics of North America :
Tuberculosis. vol. 77. Philadelphia: WB Saunders Co. 1993.
7.
Dropniewski F. Is death inevitable with multiresistant TB plus HIV
infection? Lancet 1997; 349: 71-2.
8.
EHO. Tuberculosis. Fact sheet No. 104. World Health Organization 1998;
1-4.
9.
Chowdhury AMR, Chowdhury S, Islam MN, Islam A, Vaughan JP.
Control of tuberculosis by community health workes in Bangladesh.
Lancet 1997; 350: 169-72.
10. Dep Kes RI. 1997. Profil Kesehatan Indonesia 1997. Jakarta.
11. Soemantri ES. Masalah penyakit TB (Tuberkulosis) di Indonesia dan
pemberantasannya. Makalah Hari TB Sedunia (World TB day) di RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung. 1999.
12. Hawkins JE, Wallace RJ, Brown BA. Antibacterial susceptibility test:
Mycobacteria. In : Balows A, Hausler WJ, Herrmann KI, Isenberg HD,
Shadomy HJ, eds. Manual of Clinical Microbiology, 5th ed. Washington
DC. American Society for Microbiology, 1991.

13.

5.

14.
15.

16.

17.
18.
19.

20.

Inderlied CB, Salfinger M. Antimicrobial agents and susceptibility test:


Mycobacteria. In: Murray PR, ed. Manual of Clinical Microbiology, 6th
ed. Washington DC: ASM. 1995; 1385-404.
Bloch AB, Cauthen GM, Onorato IM et al. Nationwide survey of drug
resistant tuberculosis in the United States. JAMA 1994; 271: 665-71.
Wahid MH, Harun BMH, Kiranasari A. Pemeriksaan mikrobiologik dan
pola resistensi Mycobacterium tuberculosis di bagian Mikrobiologi FK UI
selama tahun 1995. Maj Kedok Indon 1007; 47: 624-7.
Aditama TY, Wijanarko P. Resistensi primer dan sekunder
Mycobacterium tuberculosis di RSU Persahabatan Tahun 1994. J Respi
Indo 1996; 16: 12-4.
Burns DN, Bellert GA, Crone RK. Tuberculosis in Europe and the former
Soviet Union: how concerned should we be ? Lancet 1994; 343: 1445-6.
Aditama TY, Chairil AS, Herry BW. Resistensi primer dan sekunder
Mikobakterium Tuberkulosis. Cermin Dunia Kedok. 1995; 101: 48-9.
Tanjung A, Keliat EN. Resistensi M. tuberculosis terhadap obat anti
tuberkulosis pada penderita tuberkulosis paru yang mendapat pengobatan.
Maj. Kedok. Indon. 1996; 46: 242-7.
Pablos-Mendez A, Raviglione MC, Laszlo A. et al. Global surveilance for
antituberculosis-drug resistance, 1994-1997. N Eng J Med 1998; 338:
1641-9.

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 53

ABSTRAK
PEDOMAN PENATALAKSANAAN
HIPERTENSI
WHO dan International Society of
Hypertension telah mengeluarkan
pedoman hipertensi yang baru, menggantikan pedoman lama yang dikeluarkan pada tahun 1993.
Perubahan yang cukup penting di
antaranya :
Target penurunan tekanan darah lebih
rendah-di
bawah
130/85
mmHg-dibandingkan dengan rekomendasi terdahulu (140/90 mmHg).
Klasifikasi hipertensi baru yang
disesuaikan dengan pedoman di AS
(JNC-VI); tetapi pedoman di AS
tersebut bahkan menetapkan target
tekanan darah yang lebih rendah
120/80 mmHg.
Antagonis angiotensin II telah dicantumkan sebagai obat yang dapat
digunakan.
Tidak menentukan golongan obat
tertentu sebagai pilihan pertama;
dinyatakan bahwa semua jenis
dapat digunakan dengan memperhatikan risiko individual; rekomendasi sebelumnya menganjurkan
diuretik sebagai pilihan pertama,
disusul dengan berturut-turut penyekat beta, penyekat ACE, penyekat Ca dan penyekat alfa.
Selain itu pedoman baru ini memberi perhatian yang lebih besar
terhadap kemungkinan penggunaan
kombinasi obat untuk mengurangi
efek samping.
Scrip 1999; 2411

Brw
HORMON
UNTUK
OSTEOPOROSIS
US National Osteoporosis Foundation bekerjasama dengan beberapa
institusi telah mengeluarkan rekomendasi penanganan osteoporosis; mereka
menganjurkan uji bone mineral density
(BMD) pada :
= semua wanita usia 65 tahun ke atas.
= wanita pascamenopause dengan satu

atau lebih faktor risiko (kecuali


menopause) fraktur osteoporotik.
=semua wanita postmenopause dengan
riwayat fraktur.
Wanita tanpa faktor risiko diobati bila
T score -2 sedangkan bila ada faktor
risiko, bila t -1.
Sedangkan UK National Osteoporosis Society menganjurkan penggunaan colecalciferol (vitamin D) dan
suplemen kalsium pada pasien yang
dietnya inadekuat atau pada lanjut usia.
Bifosfonat digunakan pada corticosteroid-induced osteoporosis, khususnya bila eugonad atau tidak bersedia
menjalani hormone replacement therapy (HRT). Wanita pramenopause
dengan hipogonad dianjurkan menggunakan estradiol. Calcitriol dianjurkan
pada pasien yang tidak toleran terhadap
bifosfonat dan pada pria yang lebih
muda.
Wanita postmenopause menggunakan HRT, sedangkan pria hipogonadal
menggunakan testosteron.
Inpharma 1999; 1163: 3

Brw

PAINFUL STIFF SHOULDER


Untuk kasus-kasus painful stiff
shoulder, injeksi kortikosteroid ternyata lebih efektif dibandingkan
dengan fisioterapi; demikian kesimpulan para peneliti di Belanda atas pasien
berobat jalan.
Sejumlah 53 pasien mendapat
maksimum 3 kali injeksi triamsinolon
intraartikuler dibandingkan dengan 59
pasien yang menjalani 12 kali fisioterapi.
Setelah 7 minggu, 77% pasien yang
mendapat kortikosteroid merasa lebih
baik, nyeri berkurang dan rotasi eksterna yang lebih baik dibandingkan
dengan 46% di kalangan yang mendapat fisioterapi. Keunggulan makin
berkurang bila follow-upnya lebih
lama; setelah 26 dan 52 minggu,
perbedaannya tidak lagi bermakna.

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

Nyeri pasca terapi dirasakan pada


53% pasien kelompok triamsinolon dan
56% kelompok fisioterapi; efek samping lain berupa flushing dialami pada
9 pasien kelompok triamsinolon dan
menstruasi tak teratur pada 6 pasien
kelompok yang sama.
BMJ 1998; 314: 1292-6

Brw

ANTITUBERKULOSIS BARU
Setelah menunggu 25 tahun lamanya, baru sekarang ditemukan obat anti
tuberkulosis baru - rifapentin. Obat ini
dikembangkan dari rifampisin, umumnya in vitro lebih aktif terhadap M.
tuberculosis, tetapi kasus yang resisten
terhadap rifampisin umumnya juga
resisten terhadap rifapentin.
Keuntungan obat ini ialah waktu
paruh yang lebih panjang sehingga
dapat diberikan sekali seminggu pada
fase pemeliharaan, dibandingkan dengan dua atau tiga kali seminggu bila
menggunakan rifampisin-hal ini sangat
menguntungkan terutama bila digunakan pada program DOTS (directly
observed therapy short course).
Rifapentin juga meningkat absorpsinya sebesar 40% bila ditelan
bersama makanan, dibandingkan dengan rifampisin yang justru turun 30%.
Obat ini digunakan dengan dosis
600 mg. dua kali seminggu dalam 2
bulan pertama, kemudian 600 mg
sekali seminggu dalam 4 bulan berikutnya bersama isoniazid.
Efek samping yang ditemukan berupa hiperurisemi, peningkatan SGOT/
SGPT dan netropeni, selain itu
dijumpai juga ruam kulit dan gangguan
saluran cerna.
Pada penggunaan selama 6 bulan,
sputum negatif tercapai pada 87%
pasien, dibandingkan dengan 81% pada
pasien yang menggunakan rifampisin.
D&TP. 1999; 13(7): 1-4

Brw

ABSTRAK
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
Komite Medik di Inggris telah
menerbitkan anjuran untuk mengurangi
penggunaan antibiotik dalam praktek;
para dokter di sana juga mempertanyakan efektivitas terapi antibiotik
pada beberapa keadaan, diantaranya :
Profilaksis endokarditis pada pasien
kelainan katup jantung.
Penggunaan rifampisin dan siproloksasin pada orang yang kontak
dengan penyakit meningokok.
Profilaksis pada implan prostetik.
Profilaksis pada seksio saesaria.
Pengguna sefalosporin generasi tiga
pada community - acquired
pneumonia.
Scrip 1999; 2419: 3

Brw
TROMBOLITIK UNTUK INFARK
MIOKARD
Setelah tPA/alteplase digunakan
untuk mengurangi mortalitas akibat
infark miokard, menyusul obat lain
yang juga tengah dicoba untuk indikasi
yang sama.
TNK (Genentech) dan lanoteplase
(BMS) telah mulai diuji coba klinis dan
hasil pendahuluannya menunjukkan
efektivitas serupa; keunggulan kedua
obat ini ialah dapat diberikan dalam
bentuk injeksi bolus, tidak perlu
infus/drip seperti al teplase.
Kedua obat ini akan bersaing
dengan reteplase (Centocor) yang telah
tersedia di pasaran dan diberikan dalam
dua kali pemberian bolus (double
bolus) berselang 30 menit.
VIAGRA UNTUK WANITA
Percobaan penggunaan sildenafil
(Viagra) untuk disfungsi seksual

wanita belum menunjukkan hasil yang


memuaskan; dosis 50 mg. digunakan
oleh 33 wanita pascamenopause selama
3 bulan ternyata hanya 25% yang
merasakan peningkatan kepuasan seksualnya - sama besar dengan yang
dirasakan oleh pria yang mendapat
plasebo pada percobaan serupa.
Scrip 1999; 2419: 23

Brw

risiko infark miokard dan stroke


iskemik; penurunan risiko ini lebih
besar daripada peningkatan risiko ter
hadap infark hemoragik. Meskipun
demikian, penelitian ini menunjukkan
bahwa risiko infark hemoragik di
kalangan pengguna aspirin harus lebih
diwaspadai pada orang Asia yang
hipertensif dengan kadar kholesterol
rendah.
Scrip 1999; 2419: 23

DIAGNOSIS DEMENSIA
Diagnosis klinis demensia selama
ini didasarkan atas kumpulan gejala
yang ditentukan berdasarkan kriteria
tertentu; dan saat ini terdapat beberapa
kriteria klinis diagnosis berdasarkan
DSM-III, DSM-III-R, DSM-IV, ICD-9,
ICD-10 dan CAMDEX.
Studi atas 1879 pria dan wanita
berusia 65 tahun ke atas di Canada
menunjukkan bahwa penggunaan krieria yang berbeda menghasilkan prevalensi yang berbeda pula, yang pada
populasi tersebut berkisar dari 3,1%
berdasarkan ICD-10 sampai 29,1 %
berdasarkan DSM-III. Perbedaan menyolok ini terutama disebabkan perbedaan dalarn hal gejala daya ingat
jangka panjang, fungsi eksekutif,
aktivitas sosial dan lamanya sakit.
Hanya 20 orang yang memenuhi
kriteria seluruh enam pedoman tersebut.
N. Engl. J. Med 1997, 337: 1667-74

Hk
ASPIRIN UNTUK INFARK MIOKARD
Suatu meta analisis mutakhir atas
16 percobaan yang melibatkan lebih
dari 55000 pasien kembali menunjukkan manfaat aspirin dalam menurunkan

Brw
FINASTERID UNTUK KEBOTAKAN
Finasterid-suatu 5-alfa inhibitor
yang menurunkan kadar dihidrotestosteron terbukti cukup efektif untuk
menumbuhkan rambut dan mencegah
kebotakan pria. Dosis 1 mg/hari selama
1 tahun memperbaiki pertumbuhan
rambut vertex pada 48% dan 66%
setelah 2 tahun. Dibandingkan dengan
hanya 7% di kalangan pengguna
plasebo, baik setelah 1 maupun 2
tahun. Selain itu finasterid juga terbukti
mencegah rambut rontok; setelah 2
tahun 83% pengguna finasterid tidak
lagi mengalami kerontokan rambut,
dibandingkan dengan 28% di kalangan
pengguna plasebo. Sayangnya efek
penumbuhan rambut ini akan hilang
dalam 12 bulan setelah penghentian
obat. Efek samping yang tercatat
berupa penurunan libido, gangguan
ejakulasi dan disfungsi ereksi yang
umumnya hilang bila pengobatan
dilanjutkan dan selalu hilang bila obat
dihentikan.
DT & P 1999; 13(10) : 3

Hk

MALFORMASI KONGENITAL
Malformasi kongenital yang pernah dilaporkan akibat antikonvulsan :
Defek jantung kongenital
Bibir/langit-langit sumbing
Defek neural tube
Defek tr, genitourinarius
Gangguan Kognitif
Anomali minor

Fenitoin
+
+
+
+
+

Asam valproat
+
+
+
+
+
+

Karbamazepin
+
+
+
+

Fenobarbital
+
+
+
+
+

Cermin Dunia Kedokteran No. 137, 2000 55

Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1.

2.

3.

4.

5.

6.

Yang bukan sifat sel kanker :


a) Mitosis tak terkontrol
b) Tumbuh tak teratur
c) Mampu bermigrasi
d) Mampu berdiferensiasi
e) Tumbuh agresif
Gen yang mengatur pembelahan sel
a) Onkogen
b) Gen ras
c) DNA
d) RNA
e) Semua benar
Protein p53 berfungsi :
a) Mengaktifkan pembelahan sel
b) Mengganti sel yang rusak
c) Mencegah replikasi DNA yang rusak
d) Mencegah angiogenesis
e) Menghambat kerja kinase
Endotelin bersifat :
a) Vasodilator
b) Vasokonstriktor
c) Aterogenik
d) Anti agregasi trombosit
e) Agregasi trombosit
Diabetes melitus yang tersering dalam klinik :
a) Otoimun
b) Tipe 1
c) Tipe 2
d) Gestasional
e) Akibat obat/ zat kimia
Batasan kadar glukosa plasma puasa yang normal :
a) 110 mg/dl
b) 120 mg/dl

c) 126 mg/dl
d) 140 mg/dl
e) 200 mg/dl
7. Sedangkan diabetes melitus didiagnosis bila kadar glukosa
plasma puasanya lebih dari :
a) 110 mg/dl
b) 120 mg/dl
c) 126 mg/dl
d) 140 mg/dl
e) 200 mg/dl
8. Tes toleransi glukosa perlu dilakukan bila kadar glukosa
sewaktu lebih dari :
a) 110 mg/dl
b) 126 mg/dl
c) 140 mg/dl
d) 160 mg/dl
e) 200 mg/dl
9. Pada penelitian resistensi M. tuberculosis di FK
Universitas Padjadjaran/ RSHS, resistensi tertinggi adalah
terhadap :
a) INH
b) Rifampisin
c) Etambutol
d) Pirazinamid
e) Streptomisin
10. Kesimpulan penelitian di atas adalah :
a) Resistensi M. tuberculosis terhadap OAT sudah tinggi
b) OAT generik sama mutunya dengan OAT orisinil
c) OAT generik dapat digunakan untuk uji kepekaan
d) Multiresistensi terhadap OAT makin menyulitkan
pengobatan
e) Biaya pengobatan dapat ditekan dengan menggunakan
OAT generik.

JAWABAN RPPIK :
1.
6.

D
A

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

2.
7.

B
C

3.
8.

C
C

4.
9.

B
E

5. C
10. C

Anda mungkin juga menyukai