Kanker Dan Antioksidan
Kanker Dan Antioksidan
http. www.kalbe.co.id/cdk
127.
Kanker
Dan Antioksidan
Daftar isi :
2. Editorial
4. English Summary
Artikel
5. Terapi Kanker pada Tingkat Molekuler Rochestry Sofyan
11. Penelitian Aktivitas Biologik Infus Benalu Teh (Scurulla atropurpurea Bl. Danser) terhadap Aktivitas Sistim Imun Mencit - M.
Wien Winarno, Dian Sundari, Budi Nuratmi
15. Daya Hambat Benalu Teh (Scurulla atropurpurea Bl. Danser)
terhadap Proliferasi Sel Tumor Kelenjar Susu Mencit (Mus
musculus L.) C3H Yun Astuti Nugroho, Budi Nuratmi, Suhardi
18. Aktivitas Antimutagenik dan Antioksidan Daun Puspa (Schima
wallichii Kort.) Didi Jauhari Purwadiwarsa, Anas Subarnas,
Cucu Hadiansyah, Supriyatna
22. Pengaruh Perasan Daun Ngokilo (Gynura procumbens Lour. Merr.)
terhadap Aktivitas Sistim Imun Mencit Putih Djoko Hargono, M.
Wien Winarno, Ayu Werawati
30. Radikal Bebas sebagai Prediktor Aterosklerosis pada Tikus Wistar
Diabetes Melitus Zainal Musthafa, Gatot S. Lawrence, Arifin
Seweang
32. Peran Antioksidan dalam Penghambatan Aterosklerosis pada Tikus
Wistar Diabetes Melitus Zainal Musthafa, Gatot S. Lawrence
34. Endotelin dan Penyakit Kardiovaskuler Muhammad Natsir Akil
37. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang Baru
John MF Adam
41. Hubungan antara Waktu Kadaluwarsa Ampisilina dengan Daya
Hambat Pertumbuhan E. coli secara in vitro Raharni, Sugeng
Riyanto, Koesniyo
45. Disolusi dan Penetapan Kadar Alopurinol Sediaan Generik dan
Sediaan dengan Nama Dagang Sukmayati Alegantina, Ani
Isnawati, Kelik M. Arifin
49. Resistensi M. tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis Bahan
Baku dan Obat Generik di Bagian Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung Hotman Sinaga, Idaningroem Sjahid, Monang
Siahaan, Ida Parwati Santoso
54. Abstrak
56. RPPIK
2000
KETUA PENGARAH
Prof. Dr Oen L.H. MSc
KETUA PENYUNTING
Dr Budi Riyanto W
PELAKSANA
Sriwidodo WS
REDAKSI KEHORMATAN
ALAMAT REDAKSI
NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma
TATA USAHA
Sigit Hardiantoro
PENCETAK
PT Temprint
DEWAN REDAKSI
Prof.
Dr.
Zahir MSc.
Sjahbanar
Soebianto
keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai
untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut
sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan
dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).
Contoh:
Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau
lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran,
Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta
10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Telp. 4208171/4216223
Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
secara tertulis.
Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
English Summary
THE INVESTIGATION ON ANTIMUTAGENIC AND ANTIOXIDANT
ACTIVITY OF SCHIMA WALLICHII
KORT. LEAVES
Didi Jauhari Purwadiwarsa, Anas
Subarnas,
Cucu
Hadiansyah,
Supriyatna
Department of Pharmacy and Biology,
Faculty of Mathematics and Physics,
Padjadjoran University, Bandung,
Indonesia
Riyanto**,
Pharmacy
Research
and
Development Centre Health Research and Development Centre, Department of Health,
Jakarta, Indonesia
** Faculty of Pharmacy, Gajah
Mada University, Yogyakarta
Indonesia
*** Faculty of Medicine. Gajah
Mada University, Yogyakarta,
Indonesia
rh, sr, ko
RESISTANCE OF M. TUBERCULOSIS
TO THE PURE AND THE GENERIC
ANTITUBERCULOSIS DRUGS IN THE
DEPARTMENT OF CLINICAL PATHOLOGY, FACULTY OF MEDICINE
PADJADJARAN UNIVERSITY/ DR.
HASAN SADIKIN GENERAL HOSPITAL, BANDUNG
Artikel
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Terapi Kanker
pada Tingkat Molekuler
Rochestry Sofyan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknik Nuklir - Batan, Jakarta
ABSTRAK
Dalam terapi kanker pada tingkat molekular, dikenal tiga kategori gen sebagai
target yaitu onkogen, gen supresor tumor dan gen yang mengatur replikasi dan repair
dari DNA. Kebanyakan kanker disebabkan oleh mutasi pada satu atau lebih dari ketiga
kategori gen tersebut. Tinjauan ini membahas masing-masing kategori gen dan aspek
biokimianya, serta menerangkan bagaimana obat anti kanker dapat diteruskan pada sel
dan bagaimana obat tersebut dapat menghentikan perkembangan sel kanker.
PENDAHULUAN
Sel kanker merupakan the outlaw cell karena tumbuh
secara tidak teratur, melanggar semua kaidah normal, tidak
peduli akan kontrol dalam perbanyakan, dan menggunakan
agendanya sendiri. Sifat lainnya adalah mempunyai kemampuan untuk bermigrasi dari tempatnya tumbuh ke jaringan di
dekatnya dan membentuk massa pada daerah baru di dalam
tubuh. Kanker terdiri atas sel ganas, menjadi lebih agresif dari
waktu ke waktu, dan menjadi letal apabila jaringan atau organ
yang diperlukannya untuk bertahan hidup, mengalami
gangguan. (Gambar 1).
Pada awalnya pengetahuan para ahli hanya terbatas pada
pengertian bahwa sifat yang membahayakan dari sel tumor
adalah dapat tumbuh dan menyebar secara tidak terkendali.
Khasiat suatu obat hanya dilihat dari dapat tidaknya menghambat pembelahan sel, atau dengan cara menginjeksikan
senyawa kimia tersebut pada sel kanker hewan dan mengamati
terjadinya penciutan. Ternyata, beberapa senyawa yang menyerang sel kanker juga dapat merusak jaringan sehat,
sehingga terjadi efek samping yang membahayakan kesehatan
penderita.
Dewasa ini, kelainan atau kerusakan secara molekular
yang mengubah sel normal menjadi sel ganas mulai jelas.
Beberapa kelainan disebabkan oleh terjadinya mutasi pada
kunci utama dari gen yang bertanggung jawab dalam
reproduksi sel. Mutasi tersebut mengubah kuantitas atau sifat
protein yang dikode oleh gen pengatur tumbuh dan selanjutnya
mengganggu fungsi pengontrol pembelahan sel. Melalui pe-
Gambar 1.
yang paling kritis adalah tahap awal yang disebut sebagai step
farnesylation. Pada tahap ini 15 atom karbon ditambahkan
pada prekursor. Suatu enzim spesifik bernama farnesyltransferase mengkatalisis reaksi tersebut.
Gambar 2.
(a)
Reseptor faktor
pertumbuhan
Hubungan dengan
kanker
Pendekatan terapi
- menginhibisi
pematangan dari ras
- inhibisi
kinase
atau
menghambat
sintesis
dengan anti sense
- inhibisi enzim yang berperan dalarn pathway
yang kritis
- perbaikan dengan terapi
gen atau menghambat
protein E 2F
- perbaikan dengan terapi
gen atau membunuh sel
dengan adenovirus
Siklus sel serta berbagai komponen yang dapat menyebabkan terjadinya kanker antara lain adalah reseptor faktor
pertumbuhan, protein ras dan enzim-enzim kinase (b).
Kekacauan/ketidak teraturan pada pRB dan p53 juga dapat
memicu pertumbuhan kanker. Perubahan-perubahan tersebut dapat menyebabkan siklus sel (a) menjadi tidak
terkontrol (diambil dari pustaka 1).
Gambar 4.
metastasis atau menyebar ke seluruh tubuh. Obat lain diusahakan untuk mematikan telomerase, yaitu enzim yang dapat
membentuk kembali ujung dari kromosom yang mengalami
replikasi, sehingga dalam keadaan seperti ini sel kanker tidak
sanggup untuk tetap hidup. Senyawa seperti ini adalah
TNP-470, dapat menghambat pembentukan aliran darah baru
(angiogenesis) yang memasok makanan pada sel tumor.
Sekalipun target untuk berbagai obat yang dibicarakan
tadi menggambarkan kemajuan yang cukup meyakinkan dalam
biologi molekular tentang kanker, akan tetapi untuk sampai ke
kenyataan terapi diperlukan waktu. Terapi metode baru dengan
konsep tersebut, dapat mengatasi berbagai kekurangan dari
kemoterapi. Obat tersebut selain harus terlokasi pada target
kanker, juga harus terpenetrasi pada sel ganas dalam jumlah
yang memadai agar efektif. Tumor yang solid atau kompak
dan keras sulit ditembus oleh obat, dan tidak banyak saluran
darah yang mengalir jauh ke saluran tumor. Di pihak lain
beberapa obat tidak dapat secara mudah menuju sasaran tanpa
harus melewati pembuluh darah yang mensuplai makanan
pada jaringan tumor untuk kemudian menemukan jalan pada
jaringan kanker. Jadi jelas adanya toksisitas, efek samping dan
resistensi terhadap obat pada sel tumor.
Penemuan terakhir dalam berbagai bidang iptek dapat
digunakan untuk mempercepat penemuan berbagai obat baru.
Metode tersebut termasuk gen rekombinan untuk memproduksi senyawa baru antara lain menggunakan hewan yang direkayasa secara genetik untuk digunakan sebagai sistem model,
teknik kimia dam simulasi komputer. Sekalipun teknik ini
telah berkembang, masih diperlukan waktu sekitar sepuluh
tahun untuk realisasinya. Pada tahun pertama, kedua dan
ketiga diperlukan studi genetik dan biologi molekular untuk
dapat meyakinkan bahwa target benar-benar kritis pada
perkembangan kanker pada manusia. Setelah itu, penentuan
screening biokimiawi untuk menemukan senyawa penting,
yang memerlukan waktu satu atau dua tahun. Kemudian
pengoptimalan potensi ditinjau dari spesifitas dan farmakokinetiknya. Usaha ini dapat memakan waktu 3 5 tahun,
karena harus melalui sintesis beberapa ratus bahkan beberapa
ribu senyawa (obat). Pendekatan terutama ditujukan pada tiga
hal yaitu keamanan, kemanjuran dan dosis yang optimal.
Pendekatan molekular dalam terapi kanker dapat dilihat pada
Tabel 1.
PENUTUP
Penemuan cara pengobatan melalui pendekatanpendekatan tadi merupakan suatu cara yang tepat, akan tetapi
masih memerlukan penelitian dan jalan yang cukup panjang.
Obat yang menginhibisi protein kinase mulai memasuki uji
klinis pada awal tahun ini. Inhibitor farnesyltransferase dan
beberapa inhibitor kinase lainnya akan dapat diuji coba dalam
dua sampai empat tahun mendatang. Pendekatan dari terapi
gen adalah dengan cara menggantikan gen yang mengalami
mutasi dengan pasangannya atau counterpart-nya yang
normal. Pendekatan secara molekular ini harus jelas karakteristiknya. Sel tumor yang mengalami beberapa cacat (multiple
molecular defect), nampaknya tetap memberikan respon
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
Molekul Target
- Protein ras
Cara Terapi
- Inhibitor farnesytransferase L744, 832; SCH 44342; BZA5B
Hilangnya
supresor tumor
gen
Mekanisme
repair
DNA yang tidak
normal
- Enzim
mismatch
repair DNA: MSH2;
MLH; PMSl; PMS2
Tidak
adanya
penuaan sel pada sel
tumor
- Telomerase
- Inhibitor telomerase
Angiogenesis
- Faktor pertumbuhan
FGF, VEGF
- Reseptor integrin
- TNP-470; suramin
- Metaloprotease
- Kolagenase
- Inhibitor protease
- Inhibitor kolagenase
Metastase
- Antagonis v, 3; v5
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian aktivitas biologik infusum benalu teh (Scurulla
atropurpurea (BI) Danser) terhadap aktivitas sistem imun pada mencit. Bahan yang
diteliti dalam bentuk infusum dengan dosis pemberian 15 mg, 75 mg, 150 mg, dan
1500 mg/100 gram bb. Sebagai pembanding digunakan akuades.
Infus diberikan secara oral, 1 kali sehari selama 7 hari berturut-turut, setelah
imunisasi dengan sel darah merah domba. Pengamatan meliputi berat limpa dan
pengukuran konsentrasi lg G. Selain itu dilakukan penentuan LD50 menggunakan
hewan tikus putih, dengan cara Thompson-Weil.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian infusum benalu teh pada semua
dosis tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap berat limpa dan konsentrasi lg G
(P>0,01), tetapi pada pengamatan konsentrasi lg G setiap minggu, terlihat pola
perkembangan yang meningkat terutama pada dosis 150 mg/100 g bb. yaitu 97,0
mg/dl. Penghitungan LD50 mendapatkan nilai > 5 gram/kg bb, sehingga bahan dapat
digolongkan tidak beracun.
PENDAHULUAN
Pada saat ini pengembangan obat anti tumor atau antikanker yang berasal dari tanaman banyak digalakkan, mengingat bahan obat asal tanaman tersebut banyak terdapat di
Indonesia. Salah satu bahan obat asal tanaman tersebut adalah
Scurulla atropurpurea (BI) Danser yang biasanya dikenal
dengan nama benalu teh.
Benalu teh (Scurulla atropurpurea (BI) Danser) adalah
tumbuhan yang hidupnya menumpang pada tumbuhan teh dan
menghisap makanan dari tumbuhan inang untuk kelangsungan
hidupnya. Tanaman ini digunakan oleh sebagian masyarakat
yang tinggal di daerah di Indonesia sebagai obat anti tumor
atau antikanker(1). Daun dan batang tanaman ini mengandung
senyawa alkaloid, flavonoid, glikosida, triterpen, saponin dan
tanin(2,3).
Di Eropa dan Amerika ada jenis tanaman misalnya Viscum
Waktu
Rata-rata
Dl
Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2
452,0 127,32
485,0 87,23
527,7 112,99
D2
Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2
472,7 126,81
601,8 183,25
523,2 230,65
D3
Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2
366,7 167,71
450,0 117,52
560,7 148,01
D4
Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2
435,6 59,93
443,8 100,39
452,2 96,86
Akuades
Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2
429,9 120,83
507,3 153,16
500,3 109,26
Keterangan :
D1 = Dosis infusum benalu teh 15 mg/100 g bb.
D2 = Dosis infusum benalu teh 75 mg/100 g bb.
D3 = Dosis infusum benalu teh 150 mg/100 g bb.
D4 = Dosis infusum benalu teh 1500 mg/100 g bb.
Akuades = akuades 0,3 ml/10 g bb.
Gambar 1.
PEMBAHASAN
Tanaman benalu teh (Scurulla atropurpurea (BI) Danser)
secara empirik digunakan untuk mengobati penyakit tumor atau
kanker. Aktifitasnya sebagai obat antitumor atau antikanker
mungkin secara tidak langsung yaitu rnelalui pengaktifan
sistem kekebalan tubuh dengan mengukur konsentrasi lgG.
Pemakaian bahan sebagai obat anti tumor atau kanker menimbulkan dugaan bahwa bahan bersifat imunostimulator yaitu
Dosis 1
Dosis 2
Dosis 3
Dosis 4
Akuades
10
0,186
0,082
0,052
0,151
0,056
0,055
0,500
0,084
0,075
0,064
0,061
0,209
0,058
0,070
0,089
0,089
0,278
0,082
0,069
0,060
0,199
0,970
0,100
0,137
0,205
0,313
0,940
0,068
0,070
0,148
0,258
0,570
0,096
0,248
0,061
0,154
0,580
0,073
0,052
0,051
0,073
0,075
0,045
0,090
0,043
0,088
0,081
0,055
0,055
0,022
dapat meningkatkan konsentrasi lgG. Hasil pengujian pemberian infusum benalu teh pada semua dosis perlakuan tidak
memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi lgG (P>0,01),
dengan pembanding akuades, tetapi pada dosis 150 mg/100 g.
bobot badan terjadi kecenderungan peningkatan konsentrasi
lgG. Sehingga dapat dikatakan infus benalu teh pada dosis
tersebut di atas dapat dikatakan bersifat imunostimulator yaitu
peningkatan konsentrasi lgG. Kemungkinan diantara senyawasenyawa imunostimulator. Wagner (1985) secara umum
menyebutkan golongan terpenoid, alkaloid atau polifenol mempunyai sifat imunostimulator.
Pengamatan terhadap berat relatif limpa, tidak terjadi
perubahan pada berat limpa pada semua dosis perlakuan,
sehingga tidak dapat ditarik kesimpulan dari pengamatan
tersebut.
KESIMPULAN
Infusum benalu teh (Scurulla atropurpurea (Bl) Denser)
merupakan bahan yang tidak toksik dengan LD50>5 gram/kg
bobot badan.
Pengaruhnya terhadap konsentrasi lgG tidak berbeda nyata
antar dosis perlakuan (P>0,01), tetapi pada pengamatan konsentrasi lgG tiap minggu terlihat pola perkembangan yang
meningkat, dengan peningkatan konsentrasi 97,0 mg/dl.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ditujukan kepada Kepala Puslitbang Farmasi, Badan Litbangkes Depkes
RI. serta seluruh staf KPPOT yang telah memberikan saran dan bantuannya
sejak perencanaan sampai selesai penelitian.
Jumlah
Rata-rata
147,6
108,1
71,2
101,7
158,4
14,8 0,09
10,8 0,075
7,1 0,019
10,1 0,061
15,8 0,084
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
11.
12.
13.
14.
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Benalu teh (Scurulla atropurpurea (BL) Danser) secara tradisional digunakan
untuk pengobatan penyakit kanker. Oleh karena itu untuk konfirmasi ilmiah khasiat
benalu teh sebagai antikanker telah dilakukan penelitian daya hambat infus benalu teh
terhadap proliferasi kelenjar susu mencit C3H.
Uji daya hambat terhadap proliferasi tumor kelenjar susu mencit C3H menggunakan cara Pringgoutomo (1992). Bahan berupa infus diberikan per oral dengan
dosis 25; 250; 500 dan 750 mg/100 g bb, sebagai kontrol negatif adalah akuades.
Hasil penelitian menunjukkan infus benalu teh dapat menghambat pertumbuhan
tumor kelenjar susu Mus musculus L galur C3H, dan dosis 500 mg/ 100 g bb. merupakan dosis paling efektif.
Kata kunci : Tanaman obat, Anti tumor, Scurulla atropupurea (BL) Danser, benalu teh
PENDAHULUAN
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun
penderita kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang dan 10
tahun mendatang diperkirakan 9 juta meninggal akibat kanker.
Di Indonesia diperkirakan setiap tahun terdapat 100 penderita
baru dari setiap 100.000 penduduk dan penyakit kanker menduduki urutan ke-3 penyebab kematian sesudah penyakit
jantung dan paru-paru(1,2).
Pengobatan kanker pada umumnya sama, yaitu salah satu
atau kombinasi dari operasi, penyinaran (radioterapi), obat
pembuluh sel kanker (sitostatika), meningkatkan daya tahan
tubuh dan pengobatan dengan hormon. Hasilnya tentu tergantung dari keadaan pasien dan jenis kanker(3). Saat ini gagasan yang tengah dikembangkan dan digalakan penggunaannya
oleh pemerintah adalah upaya pengembangan tanaman obat.
noid; terpenoid; saponin; tanin dan dari ekstrak metanol teridenfifikasi senyawa quercetin-7-rhamnoside; caffein; theophyline(7,8).
Adanya data empirik dan beberapa data ilmiah maka telah
dilakukan Konfirmasi Ilmiah Keamanan dan Pemakaian Benalu
Teh (Scurulla atropurpurea (BL) Danser) Sebagai Antikanker
Pada Mus musculus L galur C3H.
BAHAN
1) Bahan Percobaan
Tanaman benalu teh diperoleh dari Magelang Jawa Tengah
dan telah diidentifikasi di Herbarium Bogor. Bahan yang sudah
kering, dibuat serbuk, selanjutnya dibuat infus sesuai dengan
Farmakope Indonesia(9).
2) Hewan Percobaan
Penelitian menggunakan mencit (Mus musculus L) galur
C3H, jenis kelamin jantan bobot badan antara 18-25 gram berasal dari Bagian patologi UI.
CARA KERJA
Transplantasi tumor dilakukan berdasarkan metoda
Pringgoutomo(10). Mencit donor dikorbankan dengan eter,
kemudian diletakkan terlentang pada alas gabus. Kulit yang
bertumor dibasahi alkohol 70% kemudian disayat dengan
gunting untuk mengeluarkan tumornya. Tumor diletakkan pada
cawan petri, kemudian jaringan tumor yang masih bagus,
dipotong untuk dibuat bubur, pada bubur tumor ditambahkan
NaCl 0,85%. Bubur tumor sebanyak 0,2 ml disuntikkan secara
subkutan di aksila kanan mencit menggunakan jarum trokar.
Pengamatan pertumbuhan tumor mulai dilakukan 1 hari setelah
trasplantasi tumor. Setelah masa laten, mencit dikelompokkan
menjadi 5 kelompok :
Kelompok I : Akuades
Kelompok II : Infus benalu teh dosis 25 mg/100 g bb
Kelompok III : Infus benalu teh dosis 250 mg/100 g bb
Kelompok IV : Infus benalu teh dosis 500 mg/100 g bb
Kelompok V : Infus benalu teh dosis 750 mg/100 g bb
Bahan diberikan per oral dengan sonde lambung selama 21
hari. Parameter yang diamati meliputi masa laten, bobot badan
dan volume tumor.
ANALISIS DATA
Untuk melihat ada/tidaknya efek infus benalu teh Scurulla
atropurpurea (BL) Danser) terhadap besar (volume) tumor
kelenjar susu mencit, data dianalisis dengan Kruskal-Wallis(11).
Nomor
hewan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Juml
Rata-rata
B
23
24
23
22
20
21
20
24
23
21
221
22,1 1,4
C
20
20
21
23
27
22
23
20
22
24
222
222 2,2
D
20
20
21
22
24
22
22
22
24
22
219
2 1,9 1,3
E
21
20
25
25
21
23
24
21
23
22
225
22,5 1,7
Keterangan :
A. Akuades
B. Inf. Benalu teh dosis 25 mg/ 100 g bb
C. Inf. Benalu teh dosis 250 mg/ 100 g bb
D. Inf. Benalu teh dosis 500 mg/ 100 g bb
E. Inf. Benalu teh dosis 750 mg/ 100 g bb
Tabel 2. Masa laten dari masing-masing mencit.
Nomor
hewan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
B
6
7
7
7
6
6
6
6
6
6
C
7
7
6
7
6
6
6
6
6
5
D
6
6
6
6
6
5
7
7
6
7
E
5
6
5
7
6
6
6
7
6
6
HASIL
Pengamatan bobot badan tidak menunjukkan adanya perbedaan (tabel 1). Masa laten untuk setiap mencit tidak sama
(tabel 2). Besar (volume) tumor terlihat adanya perbedaan
antara kelompok yang diberi akuades dan kelompok yang
diberi infus benalu teh (tabel 3).
Keterangan :
A. Akuades
B. Inf. Benalu teh dosis 25 mg/ 100 g bb
C. Inf. Benalu teh dosis 250 mg/ 100 g bb
D. Inf. Benalu teh dosis 500 mg/ 100 g bb
E. Inf. Benalu (eh dosis 750 mg/ 100 g bb
PEMBAHASAN
Di Indonesia diperkirakan setiap tahunnya terdapat 100
penderita kanker baru, dari setiap 100.000 penduduk. Kanker
penoid, flavonoid, saponin dan tanin(6,7). Pada skrining antikanker ekstrak kloroform benalu teh dengan menggunakan
metode Brine Shrimp Lethality Test ternyata menunjukkan
hasil positif(12).
Bubur tumor yang ditransplantasikan pada mencit oleh
tubuh mencit resipien (inang) akan dikenali sebagai benda
asing, oleh karena itu sistem imun inang akan bereaksi terhadap
pertumbuhan tumor. Sistem imun setiap individu tidak sama
oleh karena itu setiap mencit resipien akan memberikan respon
yang berbeda.
Tabel 3.
Nomor
hewan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Juml
Rata-rata
B
10,93
13,40
20,00
9,50
26,34
45,80
13,56
7,00
40,20
186,74
20,74
C
3,28
32,00
9,92
13,40
18,80
10,55
11,06
11,66
13,85
6,11
130,65
13,06
D
5,00
3,80
9,14
5,00
8,68
3,20
2,85
2,30
2,60
12,80
55,38
5,53
E
7,14
4,76
5,65
3,62
5,93
3,40
7,66
4,60
10,75
4,40
57,93
5,79
Keterangan :
A. Akuades
B. lnf. Benalu teh dosis 25 mg/ 100 g bb
C. lnf. Benalu teh dosis 250 mg/ 100 g bb
D. lnf. Benalu teh dosis 500 mg/ 100 g bb
E. lnf. Benalu teh dosis 750 mg/ 100 g bb
1.
LAMPIRAN
Grafik hubungan antara dosis dengan pertambahan besar tumor.
HASIL PENELITIAN
Aktivitas Antimutagenik
dan Antioksidan Daun Puspa
(Schima wallichii Kort.)
Didi Jauhari Purwadiwarsa*, Anas Subarnas*, Cucu Hadiansyah**, Supriyatna*
*Jurusan Farmasi, ** Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Padjadjaran, Bandung.
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai aktivitas antimutagenik dan antioksidan
fraksi butanol daun puspa (Schima wallichii Korth). Hasil pengujian aktivitas antimutagenik secara in vivo dengan metode uji mikronukleus menunjukkan bahwa
pemberian fraksi butanol daun puspa secara oral mampu menurunkan frekuensi sel
eritrosit polikromatik bermikronukleus (MNPCE) dari apusan sumsum tulang paha
mencit jantan galur Swiss-Webster yang diinduksi dengan siklofosfamid dosis 50
mg/kg secara intraperitoneal. Fraksi butanol dosis 300 mg/kg mampu menurunkan
frekuensi MNPCE sebesar 10,51% sedangkan pada dosis 600 mg/kg memberikan
penurunan sebesar 38,27%.
Pada pengujian aktivitas antioksidan secara in vitro dengan metode NBT, fraksi
butanol daun puspa mempunyai penghambatan reduksi NBT oleh superoksida yang
dihasilkan dari reaksi enzimatis xantin dengan bantuan xantin oksidase. Nilai penghambatan reduksi NBT oleh fraksi butanol daun puspa adalah 68,66% pada konsentrasi
200 g/ml dan 94,37% pada konsentrasi 400 g/ml.
Dari hasil pengujian tersebut diperoleh kesimpulan fraksi butanol daun puspa
mempunyai aktivitas antimutagenik dan antioksidan.
PENDAHULUAN
Mutasi merupakan perubahan yang terjadi pada gen atau
pada kromosom. Mutasi dapat dikaitkan dengan timbulnya
beragam kelainan, termasuk penyakit kanker. Selain dapat
terjadi secara spontan, mutasi juga dapat diinduksi oleh berbagai faktor seperti radiasi, senyawa kimia tertentu, dan virus.
Faktor-faktor penginduksi mutasi dikenal sebagai mutagen(1,2).
Salah satu indikator terjadinya mutasi adalah adanya
mikronukleus. Mikronukleus merupakan hasil mutasi dari kromosom utuh yang patah dan kemudian tampak sebagai nukleus
berukuran kecil di dalam suatu sel. Mikronukleus mudah diamati pada sel polikromatik eritrosit. Jumlah sel eritrosit
polikromatik bermikronukleus menunjukkan tingkat kerusakan
genetik dalam sistem eritropoitik suatu makhluk hidup(3).
fraksi butanol daun puspa dosis 300 dan 600 mg/kg masingmasing memberikan penurunan frekuensi MNPCE sebesar
10,51% dibandingkan. terhadap kontrol. Dari hasil analisis
statistik, dosis 600 mg/kg memberikan efek yang signifikan
(p<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa fraksi butanol daun
puspa dapat menghambat efek mutagenik dari siklofosfamid.
Tabel 1.
Perlakuan
Kontrol
Fraksi butanol
Fraksi butanol
Dosis
PCE
300
600
000
5000
5000
MNPCE
371
332
229
MNPCE permil
PCE
Rata-rata SD
74,2 13,08
66,4 13,20
45,8 13,66*
Persentase
penghambatan
reduksi NBT
200
400
68,66%
94,37%
Gambar 2.
KEPUSTAKAAN
Gambar 1. Grafik nilai rata-rata frekuensi sel eritrosit polikromatik bermikronukleus (MNPCE) untuk seluruh kelompok perlakuan
pada pengujian aktivitas antimutagenik. (*Signifikan, dibandingkan terhadap kontrol (P<0,05)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
HASIL PENELITIAN
PENDAHULUAN
Indonesia kaya akan tumbuh-tumbuhan, yang berdasarkan
pengalaman telah dimanfaatkan oleh nenek moyang kita sejak
zaman dahulu kala untuk memenuhi keperluan hidupnya,
antara lain untuk obat. Sampai saat inipun pemanfaatan
tumbuhan obat sebagai obat tradisional masih dilakukan di
samping obat-obat modern, bahkan ada kecenderungan
meningkat (Depkes RI, 1983). Hal ini terlihat nyata sekali di
daerah pedesaan, terlebih lebih daerah terpencil yang jauh dari
fasilitas kesehatan modern, hingga untuk memenuhi
keperluannya akan obat mereka menggunakan bahan-bahan
nabati yang banyak terdapat di pekarangan sekeliling tempat
tinggalnya, yang kemudian diramu sendiri di rumah masingmasing, sehingga dengan biaya yang relatif murah keperluan
obat untuk pelayanan kesehatannya dapat dipenuhi. Dengan
demikian dapat membantu meringankan beban hidupnya,
karena pemanfaatan tumbuhan untuk obat dapat dilakukan
dengan cara yang sederhana, misalnya dengan memanfaatkan
bahan segar yang dikonsumsi sebagai ulam atau lalap.
Dalam rangka pemerataan dan perluasan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat, sebagaimana dinyatakan dalam
GBHN 1988 bangsa Indonesia bertekad untuk meningkatkan
peranan tumbuh-tumbuhan obat. Karenanya upaya penggalian,
penelitian dan pengembangan pemanfaatan tumbuhan obat
perlu ditingkatkan terus. Hal itu mungkin direalisasikan,
mengingat di Indonesia terdapat kurang lebih 40.000 jenis
tumbuhan dan baru 1.000 jenis yang telah dimanfaatkan
sebagai obat.
Dari informasi yang berhasil dikumpulkan, diketahui
bahwa salah satu tumbuhan obat yang telah banyak digunakan
oleh masyarakat secara turun temurun adalah daun Ngokilo
atau daun Sambungnyawa [Gynura procumbens (Lour.) Merr.]
untuk menurunkan kadar kolesterol darah, mengobati diabetes,
TINJAUAN PUSTAKA
Tumbuhan asal
1) Klasifikasi tumbuhan(1)
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio : Magnoliophytina (Angiospermae)
Classis
: Magnoliatae (Dicotyledoneae)
Subclassis : Sympetalae
Ordo
: Asterales
Familia
: Asteraceae
Genus
: Gynura
Species
: Gynura procumbens (Lour.) Merr.
2) Sinonim(2)
Sinonim
: Cacalia procumbens Lour.
Cacalia satmentosa B1.
Gynura sarmentosa (B1.) DC.
3) Pertelaan tumbuhan(2,3)
Tumbuhan ini merupakan terna, memanjat atau menjalar,
panjang 1-6 m, jika dimemarkan memberikan bau aromatik.
Batang tumbuh ke atas, di kaki batang terbentuk akar, batang
bersegi, agak berdaging, bercabang, berwarna keunguan dan di
bagian ujung tidak berbulu atau berbulu jarang. Daun tunggal,
bentuk bunder panjang, ujung meruncing. Bunga berwarna
jingga, kuning kemudian coklat kemerahan.
4) Kandungan kimia
Daun Ngokilo [Gynura procumbens (Lour.) Merr.] mengandung senyawa-senyawa aromatik yang tersusun dari
unsur-unsur kalium, kalsium, magnesium dan fosfor. Pada
skrining fitokimia diketahui bahwa daun Ngokilo mengandung
pula senyawa-senyawa organik, yakni senyawa karbohidrat,
senyawa pereduksi, lendir, flavonoid, steroid, triterpenoid dan
protein(4). Di samping itu dari penelitian terdahulu diketahui
bahwa daun Ngokilo mengandung pula enzima asparaginase(5).
5) Manfaat dan kegunaan(3,6)
Manfaat dan kegunaan daun Ngokilo antara lain adalah
untuk obat penurun kadar kolesterol darah, diabetes, tumor,
penyakit hati (lever), sakit ulu hati, wasir, kurap atau
menetralkan bisa ulat yang mengenai tubuh.
6) Toksisitas akut (LD50)
Berdasarkan penelitian sebelumnya(7) dengan menggunakan label dan rumus Weil C.S. dapat diperoleh nilai LD50
calon obat (perasan daun Ngokilo) tersebut, yakni 44770
mg/kg berat badan, dengan kisaran dosis antara 21615 mg/kg
berat badan sampai 92730 mg/kg berat badan.
Sistem pertahanan tubuh(8,9)
Sejak lahir individu sudah dilengkapi dengan dua jenis
sistem pertahanan, sehingga tubuh dapat mempertahankan
keutuhannya dari berbagai gangguan yang datang dari luar
maupun dari dalam tubuh (Gambar 1).
a) Sistem imun nonspesifik
Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme,
NON SPESIFIK
FISIK
Kulit
Selaput
lendir
LARUT
*Biokimia
Asam lambung
Lisozim
Laktoterin
Asam neuraminik
*Humoral
Komplemen
Interferon
CRP
Gambar 1.
SELULER
Fagosit
Sel NK
SPESIFIK
HUMORAL
Sel B
SELULAR
Sel T
7. Alkoho1 96%.
B) Bahan untuk pemeriksaan mikroskopik
1. Air 2. Kloralhidrat LP 3. Floroglusin LP 4. HCI LP
C) Bahan untuk pemeriksaan mikroskopik
1. Lempeng silika gel 60 GF 254 2. zat warna II LP 3. Metil
etil keton 4. Aluminium klorida P 5. Metanol P 6. Etil asetat P
7. Asam formiat P
D) Alat
1. Kandang mencit
2. Juicer (alat bantu peras) merk National
3. Timbangan hewan merk Fuji
4. Timbangan analitik merk Sartorius
5. Micrometer pipet merk Eppen dorf 20-200L
6. Heparin Capiller Tube
7. Pipet tips
8. Microcentrifuge tube 1,5 cc
9. Drope plate
10. Syringe 1 cc; 5 cc
11. Sonde 12. Kain penyaring
13. Gelas ukur
14. Beaker glass
15. Alat-alat bedah ringan
16. Meja bedah
17. Sungkup pembiusan
18. Kapas
19. Tangas air
20. Mikroskop
21. Chamber
E) Metode pemeriksaan KLT
Lempeng
: Silika Gel 60 GF 254
Penyari
: Metanol P
Jumlah totolan : 20 uL
Cairan elusi
: Etil asetat-etil metil keton-asam formiat (60
- 30 - 4)
Jarak rambat
: 15 cm
Pereaksi
: Aluminium klorida
Deteksi
: Sinar biasa
Sinar ultra violet 366 run
Larutan cuplikan : 20 L perasan segar daun Ngokilo diuapkan
di atas tangas sampai kering pada suhu 60 C. Tambahkan 10
mL metanol, panaskan di atas tangas air selama 10 menit,
dinginkan, saring, cuci endapan dengan metanol, pekatkan di
atas tangas air hingga diperoleh 5 mL filtrat.
F) Metode penelitian aktivitas sistem imun
1) Penyiapan simplisia uji dan hewan coba
a. Penyiapan simplisia
Kumpulkan daun tumbuhan Ngokilo [Gynura procumbens
(Lour.) Men.] yang telah dideterminasi. Gunakan daun segar
yang berwarna hijau dan berukuran sedang. Bersihkan dari
bahan organik asing dan kotoran lainnya dengan cara mencuci
dengan air beberapa kali. Tiriskan dan angin-anginkan di udara
terbuka hinga bebas dari air cucian. Daun telah siap untuk
pengujian.
b. Adaptasi hewan coba
Adaptasi terlebih dahulu mencit terhadap lingkungan
kontrol.
e. Kelompok E : Mendapat imunisasi SDMD 1% secara
intraperitonial serta memperoleh aquadest per oral sebagai
kontrol.
6) Pengamatan
a. Bobot Badan
Selama masa penelitian, lakukan pengamatan keadaan
umum hewan coba meliputi penimbangan bobot badan setiap
minggu untuk melihat ada atau tidaknya gejala keracunan
akibat bahan uji dan gejala anemia akibat pengambilan darah.
b. Hemoglutinasi Test
Ambil darah melalui vena plexus orbitalis di sudut mata
dengan menggunakan pipa kapiler. Pusingkan darah yang
diperoleh pada sentrifuge selama 5 menit pada 2000 rpm.
Simpan darah yang telah menggumpal itu dalam almari
pembeku pada 20C sampai waktu akan dipakai untuk
memperoleh serum sebanyak mungkin.
Hangatkan serum pada tangas air pada suhu 56 C selama
setengah jam untuk menghilangkan aktivitas komplemen
serum, yang akan mengganggu pembacaan titer. Encerkan
secara bertingkat serum yang telah didekomplementasi itu
pada sederet drople plate (lempeng tetes) dengan kelipatan
dua. Seluruh pengenceran dilakukan dengan menggunakan
larutan PBS pH 7,2. Cekungan lempeng tetes pertama dalam
tiap deretan diisi dengan 100 uL serum yang diperiksa,
cekungan kedua diisi dengan serum yang telah diencerkan 2x,
cekungan ketiga diisi dengan serum yang telah diencerkan 4x.
Selanjutnya kedalam setiap cekungan lempeng tetes tersebut
ditambah dengan 100 uL suspensi SDMD 1% dalam PBS.
Setelah itu lempeng tetes digoyang-goyangkan agar suspensi
SDMD 1% dalam tiap cekungan lempeng tetes homogen.
Reaksi hemaglutinasi dibiarkan berlangsung semalam
dalam suhu kamar. Pembacaan titer hemaglutinin dilakukan
keesokan harinya. Hemaglutinasi dianggap positip jika seluruh
atau sebagian besar permukaan yang cekung dasar lempeng
tetes ditutupi oleh lapisan SDMD secara merata. Titer
hemaglutinin dinyatakan sebagai kebalikan pengenceran serum
yang masih menunjukkan hemaglutinasi.
c. Bobot relatif limpa
Pada akhir perlakuan di minggu ketiga (M III) hewan coba
dimatikan, bulu pada bagian ventral dibasahi dengan air
supaya tidak mengganggu pembedahan untuk mengangkat
limpa. Setelah diangkat limpa dibersihkan dan jaringan lain
yang melekat disekitarnya, kemudian diletakkan di atas kertas
saring. Kemudian limpa ditimbang dan ditentukan berat
relatifnya.
HASIL PENELITTAN
1) Determinasi tumbuhan
Determinasi tumbuhan menunjukkan bahwa tumbuhan
yang diteliti adalah Gynura procumbens (Lour.) Merr., suku
Asteraceae (Compositae).
2) Pemeriksaan pendahuluan simplisia
a) Pemeriksaan makroskopik
Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia menunjukkan
Tabel 2.
Kelompok
A (Dosis 9 mg/l0g BB+I)
B (Dosis 90 mg/l0g BB+I)
C (Dosis 900 mg/10g BB+I)
D (Aquadest + Non I)
E (Aquadest + I)
Minggu I
75,2 (16-128)
38,8 (4-64)
95,2 (8-256)
3,37 (1-8)
8,4 (4-16)
Minggu II
169,6 (8-256)
29,6 (8-64)
72,8 (8-256)
3,4 (2-8)
8,6 (2-16)
Minggu III
53,6 (8-256)
20,0 (8-32)
57,6 (16-128)
3,4 (2-8)
5,1 (1-16)
Tabel 1.
Kelompok
A (Dosis 9 mg/l0 g BB + I)
B (Dosis 90 mg/l0 g BB + I)
C (Dosis 900 mg/10 g BB + I)
D (Aquadest + Non I)
E (Aquadest + I)
Rata-rata
bobot badan
sebelum perlakuan (gram)
Rata-rata
bobot badan
setelah perlakuan (gram)
Selisih
(gram)
28,9
29,1
29,3
29,1
29,4
33,5
34,4
36,8
37,3
35,1
4,60
5,30
7,50
8,20
5,70
Keteranan : I
: Imunisasi dengan SDMD 1%
Non I : Tanpa imunisasi dengan SDMD 1%
Gambar 3.
Tabel 3.
Sumber
Keragaman
Dosis
Galat (D)
Minggu
DM
Galat (m)
Jumlah
Db
4
45
2
8
90
149
Jk
KT
145,2396
36,4911
3,7554
2,1658
115,5623
36,3099
0,8109
1,8777
0,2707
1,2840
28,28**
1,46
0,21
F Tabel
0,05
0,01
2,58
3,78
3,10
2,04
4,85
2,72
c)
A (Dosis 9 mg/l0g BB + I)
B (Dosis 90 mg/10g BB + I)
C (Dosis 900 mg/10 g BB + I)
D (Aquadest + Non I)
E (Aquadest + I)
Gambar 4.
PEMBAHASAN
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa daun Ngokilo
mengandung enzim asparaginase (protein), yang inaktif atau
rusak pada proses pemanasan(5). Karena itulah penelitian ini
menggunakan perasan daun Ngokilo segar, dan bukan infus.
Sebagai hewan coba dipilih mencit, karena informasi menyatakan bahwa banyak penelitian toksikologi menggunakan
mencit. Di samping itu pemeliharaannya mudah dengan biaya
yang relatif murah. Dipilih mencit jantan, karena tidak
dipengaruhi oleh siklus hormonal, yang dapat mempengaruhi
hasil penelitian. Hasil penelitian dipengaruhi juga oleh variasi
biologik hewan coba, misalnya jenis, berat badan, umur, jenis
kelamin, makanan dan kondisi lingkungan.
Digunakan dosis tinggi yang sedekat mungkin dengan
LD50 nya, namun belum menyebabkan kematian hewan coba.
Nilai LD50 per oral 3-5 kali lebih besar LD50 suntikan, karena
secara oral obat dapat dipengaruhi oleh absorbsi, terikatnya
obat oleh protein dan metabolisme obat dalam saluran cerna.
Sebelum diberi sediaan uji, perasan daun Ngokilo segar,
hewan coba diimunisasi dengan Sel Darah Merah Domba
(SDMD) 1% secara intraperitonial. Imunisasi ini dimaksudkan
untuk memberikan respon imun pada hewan coba. Sediaan uji
dimaksudkan untuk lebih meningkatkan respon imun tersebut.
Pemberian sediaan uji dilakukan selama 7 hari berturutturut, karena dosis perasan daun Ngokilo tersebut adalah dosis
pemeliharaan, seperti halnya daun Ngokilo yang dimakan
setiap hari sebagai lalab selama beberapa waktu.
Pengambilan darah dilakukan pada hari ke 8 (minggu ke
I), agar peningkatan respon imun telah dapat dilihat. Diulangi
pada hari ke-15 (minggu II), karena diperkirakan respon imun
masih meningkat. Pengambilan darah diulangi lagi pada
hari-22 (minggu III) untuk mengetahui apakah sediaan uji
masih dapat meningkatkan/mempertahankan peningkatan
respon imun pada 2 minggu setelah pemberian sediaan uji
dihentikan.
Hasil pengamatan bobot badan mencit menunjukkan
bahwa semua hewan coba bobot badannya meningkat, berarti
pemberian sediaan uji dan pengambilan darah tidak mempengaruhi bobot badan mencit. Di samping itu tidak ada hewan
coba yang mengalami anemia akibat pengambilan darah setiap
minggu (bagian dalam kelopak mata mencit tidak pucat).
Perhitungan statistik menunjukkan banwa tidak ada
perbedaan yang bermakna antara kelompok mencit yang diberi
KESIMPULAN
1) Dari determinasi tumbuhan, pemeriksaan habitus, organoleptik, makroskopik, mikroskopik dan KLT disimpulkan
bahwa bahan yang diuji adalah daun Ngokilo [Gynura
procumbens (Lour.) Merr.].
2) Dari hasil pengamatan bobot badan mencit disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kelompok mencit
yang mendapatkan sediaan uji dengan kelompok mencit
kontrol.
HASIL PENELITIAN
Radikal Bebas
sebagai Prediktor Aterosklerosis
pada Tikus Wistar Diabetes Melitus
Zainal Musthafa*, Gatot S. Lawrence**, Arifin Seweang***
*Cardiology Department, Pelamonia Military Hospital
**Vascular Research Unit Wahidin Sudirohusodo General Hospital, and Department of Phatology,
Faculty of Medicine Hasanuddin University
***Departement of Biostatistics, Faculty of Public Healt Hasanuddin University, Makassar
HASIL
SUBYEK
Empat kelompok sampel yaitu kelompok tikus Wistar
normal sebagai kontrol (S), model hiperlipid (O), model
diabetes (DM), dan model DM hiperlipid (DMO)
masing-masing 48 ekor, mempunyai berat badan 200 mg, umur
12 minggu. Pembuatan model DM dengan cara induksi
Streptozotocine (STZ) 40 mg/kgBB intra peritoneal (i.p)
setelah dipuasakan 24 jam. Model hiperlipid dengan pemberian
Olive oil.
Gambar 1.
METODA
Bentuk penelitian pre-posttest randomized controlled
animal experiment, follow-up postest dilakukan tiap satu
minggu sekali selama 10 minggu. Pemeriksaan level radikal
bebas dalam hal ini adalah malondialdehyde (MDA) dan
penilaian aterosklerosis sebagai data. Penilaian MDA dengan
immunoassay dan aterosklerosis dengan histopathologi (H.E).
Keterangan :
Koefisien korelasi (r) GDS dengan radikal babas.
Untuk Kontrol
= 0,264
Untuk Kontrol + Oil = 0,209
Untuk DM
= 0,921 (p< 0,01)
Untuk DM + Oil
= 0,965 (p< 0,01)
DISKUSI
Mean MDA pada model DM (35,87 4,27) dan S (26,23
2,15), ternyata berbeda bermakna dengan p < 0,01. Keadaan ini
bisa dijelaskan karena pada DM dengan kenaikan kadar gula
Gambar 2.
Keterangan :
Nilai Mean MDA.
Kontrol ^ ICAM (-)
DM
^ ICAM (-)
(+)
Kontrol
DM
^ H-E (-)
^ H-E (-)
(+)
= 25,50 4,66
= 33,96 6,40
= 41,23 1,31
p < 0,01
= 25,50 4,66
= 35,04 6,25
= 41,48 1,30
KEPUSTAKAAN
Gambar 3.
Keterangan :
Hasil pemeriksaan aterosklerosis ada perbedaan, tidak ditemukan
aterosklerosis pada Kontrol, tetapi pada DM ditemukan aterosklerosis mulai
minggu ke empat dan makin meningkat prosentasenya dengan bertambahnya
waktu follow-up.
1.
2.
HASIL PENELITIAN
Peran Antioksidan
dalam Penghambatan Aterosklerosis
pada Tikus Wistar Diabetes Melitus
Zainal Musthafa*, Gatot S. Lawrence**
*Cardiology Department, Pelamonia Military Hospital
**Vascular Research Unit Wahidin Sudirohusodo General Hospital, and Department of Pathology,
Faculty of Medicine, Hasanuddin University, Makassar
Anti-oksidan mempunyai dampak positif berupa penghambatan proses aterosklerosis, yang sering merupakan komplikasi dari penyakit diabetes mellitus dan sangat berperan
untuk terjadinya penyakit jantung koroner. Penelitian ini memberikan informasi tentang peran anti-oksidan dalam penghambatan proses aterosklerosis pada tikus Wistar diabetes mellitus.
SUBYEK
Dua kelompok sampel yaitu kelompok tikus Wistar
sebagai kontrol (S) 48 ekor dan sebagai model diabetes (DM)
48 ekor yang masing-masing mempunyai berat badan 200 g;
umur 12 minggu. Pembuatan model DM dengan cara induksi
Streptozotocine (STZ) 40 mg/kgBB intra peritoneal (i.p)
setelah dipuasakan 24 jam.
Gambar 1.
Keterangan :
Hasil pemeriksaan anti-oksidan ada perbedaan, sampai dengan minggu ke lima
anti-oksidan pada DM (1297 4,34) lebih tinggi dari pada Kontrol (1089,97
2,57). Setelah minggu ke tujuh anti-oksidan pada DM (875,65 1,23) lebih
rendah dari pada Kontrol (1096,45 2,60).
METODA
Bentuk penelitian pre-postest randomized controlled
animal experiment, follow-up postest dilakukan tiap satu
minggu sekali selama 10 minggu. Pemeriksaan level antioksidan dalam hal ini enzim superoksida dismutase (SOD) dan
penilaian aterosklerosis sebagai data. Penilaian anti-oksidan
dengan immunoassay dan aterosklerosis dengan histopatologi
(H-E).
HASIL
Pada awal terjadinya model DM, kadar anti-oksidan meningkat yang kemudian diikuti penurunan (Gb. 1), tetapi
kejadian aterosklerosis yang dimulai pada minggu ke empat,
prosentasenya makin bertambah dengan bertambahnya waktu
follow-up terjadi model DM (Gb. 2).
Gambar 2.
DISKUSI
Pada awal terjadinya DM kadar anti-oksidan meningkat
(Gb. 1), keadaan ini bisa dijelaskan karena pada DM kenaikan
kadar gula darah akan menyebabkan kenaikan kadar radikal
bebas.
Keterangan :
Hasil pemeriksaan atherosklerosis ada perbedaan, tidak ditemukan atherosklerosis pada Kontrol, tetapi pada DM ditemukan aterosklerosis mulai minggu
ke empat dan makin meningkat dengan bertambahnya Waktu.
hasil uji regresi logistik ternyata radikal bebas berpengaruh bermakna terhadap pembentukan atherosklerosis dengan p<0,01.
Manfaat lain dari penelitian ini adalah penderita aterosklerosis umumnya dan penyakit diabetes maupun penyakit
jantung koroner khususnya perlu diberikan tambahan antioksidan yang sekarang sudah banyak beredar di pasaran berbentuk obat.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
PENDAHULUAN
Endotelin merupakan peptida vasokonstriktor sangat kuat
yang dihasilkan oleh endotelium vaskuler. Endotelin diisolasi
pertama kali oleh Yanagisawa dkk pada tahun 1988(1).
Biosintesis endotelin dimulai dengan pemecahan molekul
besar preroendothelin, peptida dengan 203 asam amino menjadi
big endothelin I proendothelin yang mengandung 39 asam
amino. Big endothelin beredar di dalam pembuluh darah dalam
bentuk inaktif; selanjutnya endothelin-converting enzyme akan
mengubah big endothelin menjadi peptida residu-21 aktif(2).
Sedikitnya ada 3 isoform endotelin, tetapi termasuk dalam
satu famili peptida. Semua isoform endotelin mengandung 21
asam amino, perbedaannya hanya terletak pada beberapa asam
amino. Endotelin-1 (ET-1) merupakan bentuk yang disintesis
dan dilepaskan oleh sel-sel endotel dan banyak dihubungkan
dengan penyakit kardiovaskuler. Endotelin-3 mungkin merupakan neuropeptida sedangkan peranan endotelin-2 masih belum
jelas(2).
Stimulus penting terhadap pelepasan endotelin adalah
hipoksi, iskemi, dan shear stress, yang menginduksi transkripsi
messenger RNA ET-1(3). Selain rangsangan fisik produksi
endotelin juga dipengaruhi oleh hormon vasopressor seperti
epinefrin, angiotensin II, dan arginin vasopressin; transforming
growth factor (TGF; trombin; interleukin-1. Sedangkan prostasiklin, nitric oxide, dan atrial natriuretic hormone menghambat sekresi endotelin(4). Sebanyak 75% sekresi ET-1 ke
arah otot polos vaskuler (albumin) akan terikat pada otot polos
dan menyebabkan vasokonstriksi(3).
ET-1 dilaporkan dapat menyebabkan vasodilatasi pada
dosis rendah dan vasokonstriksi pada dosis tinggi. Respon
vasodilatasi ET-1 mungkin disebabkan oleh efek endotelin pada
produksi dan sekresi prostasiklin dan nitric oxide(3,4).
ENDOTELIN DAN PENYAKIT KARDIOVASKULER
Data eksperimen memperlihatkan bahwa sistim endotelin
diaktifasi pada berbagai kelainan kardiovaskuler. Peninggian
Gambar 1.
RESEPTOR ENDOTELIN
Reseptor endotelin ada dua yaitu reseptor endotelin A
(ETA) dan reseptor endotelin B (ETB) seperti terlihat pada
gambar 2. Reseptor endotelin A terutama terdapat pada organ
target seperti sel-sel otot polos atau miosit jantung dan bersifat
selektif untuk ET-1. Sedangkan ETB, merupakan reseptor non
selektif dan berinteraksi baik dengan endotelin-1 maupun
dengan endotelin-3 dengan afinitas yang sama(1).
KESIMPULAN
Endotelin merupakan peptida vasokonstriktor sangat kuat
yang dihasilkan oleh endotelium vaskuler. Beberapa penelitian
mendapatkan bahwa sistim endotelin diaktifasi pada berbagai
kelainan kardiovaskuler termasuk infark miokard, gagal
jantung, dan hipertensi pulmonal. Pengetahuan mengenai kerja
2.
3.
4.
5.
6.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
PENDAHULUAN
Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang disifati adanya hiperglikemi akibat kelainan sekresi
insulin, kerja insulin maupun keduanya. Hiperglikemi kronis
pada diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan, gangguan fungsi beberapa alat tubuh khususnya mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah.
Diabetes melitus disertai oleh gangguan metabolisme
hidrat arang, protein dan lemak. Walaupun pada diabetes melitus ditemukan gangguan metabolisme semua sumber makanan
tubuh kita, kelainan metabolisme yang paling utama ialah
kelainan metabolisme hidrat arang. Oleh karena itu diagnosis
diabetes melitus selalu berdasarkan meningginya kadar glukosa
dalam plasma darah.
Klasifikasi dan kriteria diagnosis diabetes melitus mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1979 National
Diabetes Data Group di Amerika Serikat pertama kali memperkenalkan klasifikasi mengenai diabetes melitus(1). Klasifikasi tersebut kemudian juga digunakan oleh WHO pada tahun
1980, yang akhirnya diperluas pada tahun 1985 oleh WHO
Study Group on Diabetes Mellitus(2). Pada akhir tahun 1977
American Diabetes Association(3) mempublikasikan suatu
klasifikasi dan kriteria diagnosis yang baru, yang pada saat ini
secara luas digunakan di sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia.
Makalah ini menyajikan klasifikasi dan kriteria diagnosis
baru tersebut, yang juga telah digunakan sebagai dasar konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia pada tahun
1998 oleh Perkumpulaan Endokfinologi Indonesia(4).
ADA 1997
Diabetes melitus tipe-1
otoimun den idiopatik
Diabetes melitus tipe-2
Diabetes melitus tipe lain
WHO 1985
Diabetes melitus tergantung insulin
Diabetes melitus tidak tergantung insulin
tidak gemuk dan gemuk
Diabetes melitus malnutrisi
Diabetes melitus bentuk lain
Toleransi giukosa terganggu
Diabetes melitus gestasional
Keterangan Dikutip dari : report of the expert communitee in the diagnosis and
classification of diabetes mellitus. The Expert committee on the diagnosis and
classification of diabetes mellitus, diabetes Care 22 (Suppl. 1) : S5-S19.(5)
tetapi < 200 mg/dl, sedang toleransi glukosa 200 mg/dl disebut diabetes melitus.
Cara mendiagnosis diabetes melitus menurut American
Diabetes Association (ADA) 1997 sebenarnya tidak berbeda
dengan cara WHO 1985. Perbedaan utama hanya terletak pada
batasan glukosa plasma puasa, yaitu 126 mg/dl. Pada Tabel 3
dapat dilihat secara ringkas kriteria diagnosis ADA 1997.
Tabel 3.
1. Glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L) pada seseorang
dengan keluhan diabetes melitus, seperti banyak kencing, haus dan berat
badan menurun.
2. Glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7,0 mmol/L), pada keadaan puasa
sedikitnya 10 jam.
3. Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral, 2 jam setelah beban 75 mg
glukosa oral, > 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma
Puasa
1-jam
2-jam
3-jam
50 g TTG
140mg/dl
-
100 g TTGO
105 mg/dl
190 mg/dl
165 mg/dl
145 mg/dl
Keterangan :
DMG bila 2 atau lebih angka abnormal
TTG = tes tantangan glukosa, TTGO = tes toleransi glukosa oral
Wanita hamil
(minggu gestasi 26)
TTG
Glukosa 50 gr
TTG(-)
GD 140 mg/dl
TTG(+)
TTGO
Glukosa 100 gr
DMG (-)
DMG (+)
Tabel 5.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Gain all you can, save all you can, give all you can
(John Wesley)
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang hubungan antara waktu kadaluwarsa ampisilina
terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli secara in vitro. Tujuan penelitian ini
adalah mencari hubungan antara waktu kadaluwarsa ampisilina terhadap pertumbuban
bakteri E. coli, dibandingkan dengan ampisilina standar.
Penelitian dilakukan dengan metode dilusi untuk menentukan Konsentrasi Hambat
Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bakterisidal Minimal (KBM) dari ampisilina dengan
berbagai waktu kadaluwarsa terhadap bakteri E. coli. Potensi antibiotika makin besar
bila harga KHM dan KBM makin kecil.
KHM dan KBM ampisilina yang telah melewati waktu kadaluwarsa lebih kecil
dari KHM dan KGM ampilisina standar; makin jauh waktu kadaluwarsa ampisilina
dilewati makin kecil daya hambatnya dibandingkan dengan ampilisina standar, terhadap pertumbuhan bakteri E. coli.
PENDAHULUAN
Salah satu masalah utama yang berkaitan dengan pemakaian antibiotika secara luas adalah terbentuknya resistensi mikroorganisme terhadap obat ini.
Ampisilina
Ampisilina merupakan penisilina semi sintetik, digunakan
dalam pengobatan penyakit infeksi yang disebabkan oleh strain
sensitif dari Shigella, Salmonella, Escherichia coli, Haemophilus influenza, Aerobacter dan Proteus mirabilis atau
infeksi-infeksi lain yang disebabkan oleh enterokokus.
Ampisilina mempunyai struktur molekul mengandung
cincin beta-laktam sebagai pusat aktif antibiotika; pada penyimpanan melampaui waktu kadaluwarsa cincin ini dapat
mengalami penguraian, menyebabkan potensi antibakteri menjadi rendah atau tidak aktif lagi sebagai anti-biotika. Dengan
amidase terjadi pemecahan rantai samping dengan akibat pe-
b) Inokulasi bakteri
Encerkan suspensi kuman dalam BHI dengan akuades
steril sampai kekeruhan sesuai dengan standar Brown II (108
CFU/ mL), lulu encerkan dengan BHI double strength dengan
perbandingan 1 : 100 dengan cara ambil 2,0 mL, dan diencerkan dengan BHI double strength ad 200 mL, sehingga konsentrasi bakteri menjadi 106 CFU/mL.
c) Pembuatan larutan antibiotika dan seri pengenceran larutan
antibiotika.
T'imbang serbuk ampisilina A, B, C, D, E sebanyak 16,64
mg dan untuk ampisilina F timbang sebanyak 33,28 mg masing-masing dilarutkan dalam buffer fosfat 0,1 M pH 8 steril.
Buat seri pengenceran dari masing-masing larutan antibiotika dengan cara tabung nomer 2 sampai terakhir diisi
dengan 1,0 ml buffer fosfat 0,1 M pH 6 (untuk ampisilina A)
dan akuades steril untuk ampisilina B, C, D, E, F. Tabung
nomer 1 diisi 2,0 ml antibiotika dengan konsentrasi awal tertentu, ambil 1,0 ml larutan dari tabung nomer 1 dimasukkan
tabung nomer 2, kocok sampai homogen. Ambil larutan 3 dan
seterusnya sampai tabung terakhir, 1,0 ml larutan dari tabung
terakhir dibuang.
d) Cara pemeriksaan
Masukkan 1,0 ml suspensi bakteri E. coli dalam BHI
double strength ke dalam tiap tabung dari seri pengenceran
larutan antibiotika, sehingga konsentrasi larutan antibiotika
dalam tiap tabung menjadi setengah dari konsentrasi semula.
Inkubasi pada 37C selama 18 jam. Amati pertumbuhan bakteri
dengan adanya kekeruhan. Setiap pengujian dilakukan rangkap
3 (tiga) kali. Sebagai kontrol adalah masing-masing larutan
antibiotika, media BHI double strength, dan suspensi bakteri
dalam BHI double strength.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A) Identifikasi bakteri E. coli
Pada media KIA, terjadi perubahan warna indikator fenol
dari merah ke kuning dan dalam posisi terangkat karena adanya
asam dan gas sebagai produk pemecahan laktosa dan dektrosa.
Tabel 2.
Hasil identifikasi
Timbul gas, warna media berubah dari merah menjadi kuning
Media berubah dari merah menjadi kuning, terjadi pergerakan
bakteri
Media tetap berwarna ungu, H2S negatif
Terjadi perubahan warna media dari ungu ke kuning, terjadi
pergerakan bakteri dan timbul cincin merah (indo positif) setelah
ditambah pereaksi Covacs
Jenis ampisilina
A.
B.
C.
D.
E.
F
Standar
Masih beredar
Tepat habis waktu kadaluwarsa
1 tahun setelah waktu kadaluwarsa
2 tahun setelah waktu kadaluwarsa
3 tahun setelah waktu kadaluwarsa
KHM
(ug/mL)
3,25
4,33
13
104
208
416
KBM
(ug/ml)
6,5
13
104
416
416
832
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Wilson CO, Gisvold O, Doerge RF. Text Book of Organic Chemistry, 7th
ed. Philadelphia: JB Lippincott Co 1982; 241.
Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jjakarta. 1979.
Salle AJ. Fundamental Principles of Bacteriology, fifth ed. New York :
McGraw Hill Book Co Inc, 1961; 418-20.
Edberg SC. Antibiotics and Infections, 1986; 5-22.
Soejoeti Z. Buku Materi Pokok Metode Statistika II Modul 1-5,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Terbuka, Jakarta,
1986; 106-110.
Reynold JEF, Parfitt K. Martindale The Extra Pharmacopolea, Tweenty
ninth ed. London : The Pharmaceutical Press, 1989; 116-8.
(Lihat lampiran).
LAMPIRAN
900
Keterangan :
KBM
KHM
A : ampisilina standar
B : masih bisa beredar
C : tepat waktu kadaluwarsa
D : 1 tahun melewati waktu kadaluwarsa
E : 2 tahun melewati waktu kadaluwarsa
F : 3 tahun melewati waktu kadaluwarsa
800
Konsentrasi (ug/ml)
700
600
500
400
300
200
100
0
A
Waktu kadaluwarsa
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Sediaan alopurinol dalam bentuk tablet selain generik berlogo juga tersedia dengan
nama dagang. Untuk memasyarakatkan obat generik berlogo diperlukan informasi
tentang mutu obat yang bersangkutan. Mutu obat generik berlogo yang sering
dipertanyakan. Untuk itu dilakukan penelitian disolusi dan penetapan kadar alopurinol
dalam 1 sediaan generik dan 3 sediaan dengan nama dagang (A, B dan C). Metode
disolusi dan penetapan kadar alopurinol berdasarkan pada Farmakope Indonesia IV,
1995, disolusi menggunakan spektrofotometer UV dan penetapan kadar menggunakan
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).
Disolusi tablet alopurinol generik berlogo dan sediaan dengan nama dagang A, B
dan C dalam waktu 15 menit memberikan hasil masing-masing 101,47%; 95,13%;
102,55% dan 97,635. Menurut persyaratan Farmakope Indonesia edisi IV, 1995 dalam
waktu 60 menit kadar alopurinol (C5H4N4O) harus larut tidak kurang dari 75%.
Penetapan kadar tablet alopurinol dalam tablet generik dan 3 tablet dengan nama
dagang (A, B dan C) masing-masing 96,98%; 95,21%; 106,76% dan 99,87%.
Farmakope Indonesia IV mensyaratkan kadar alopurinol tidak kurang dari 93,0% dan
tidak lebih dari 107,0%.
Semua sediaan alopurinol generik berlogo dan 3 sediaan dengan nama dagang (A, B
dan C) memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia Edisi IV,
1995 baik dalam disolusi dan kadar zat berkhasiat.
PENDAHULUAN
Alopurinol adalah obat pirai dengan cara kerja menurunkan kadar asam urat dengan cara menghambat xantin oksidase,
enzim xantin oksidase ini bekerja menghambat hipoxantin
menjadi xantin dan selanjutnya menjadi asam urat. Oksipurinol
merupakan metabolisme dari alopurinol yang juga menginhibisi
xantin oksidase. Obat ini terutama mengobati penyakit pirai
kronik dengan insufisiensi ginjal dan batu urat dalam ginjal,
tetapi dosis awal harus dikurangi. Alopurinol tidak bersifat
sitotoksik dan tidak mempunyai efek transplantable tumor,
tahun 150 mg sehari. Alopurinol menghambat oksidasi merkaptopurin bila diberikan bersamaan dosis merkaptopurin harus
dikurangi 25 - 30%(3).
Berdasarkan hasil penelitian tahun 1991 ternyata dari 6
jenis obat yang diteliti terlihat perbandingan Harga Jual Apotik
(HJA) obat generik dengan obat paten yang sejenis sangat
bervariasi berkisar 6,03 -17,94 x HJA obat generik(2). Harga
Netto Apotik (HNA) tahun 1998 untuk alopurinol nama dagang
pabrik PMA 12 x harga generik dan HNA pabrik PMDN 6 x
harga generik. Mutu obat generik dengan harga yang sangat
murah sering dipertanyakan; untuk itu perlu dimantapkan
dengan data laboratorium agar dapat diinformasikan kepada
masyarakat luas.
Penelitian ini bertujuan membandingkan mutu obat generik
berlogo sediaan alopurinol dengan sediaan nama dagang A, B
dan C. Pada penelitian ini dilakukan disolusi dan penetapan
kadar sediaan alopurinol generik berlogo dan sediaan dengan
nama dagang A, B dan C.
METODOLOGI(4)
Sampel terdiri dari 1 sediaan alopurinol berlogo dan 3
sediaan dengan nama dagang A, B dan C. Tiap sediaan terdiri
dari 10 tablet, jadi jumlah keseluruhan sampel yang diteliti
sebanyak 40 tablet.
Disolusi dan penetapan kadar alopurinol (C5H4N4O) dilakukan menurut Farmakope Indonesia IV, 1995.
dengan fase gerak sampai tanda. Larutan ini dibuat pada saat
akan digunakan.
Larutan uji
Sebanyak 20 tablet ditimbang dan kemudian diserbukkan.
Ditimbang sejumlah serbuk setara dengan 50 mg alopurinol,
dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, ditambah 10 ml
larutan natrium hidroxsida 0,1 N dikocok selama 10 menit,
ditambah air sampai tanda. Disaring, di buang 10 ml filtrat
pertama kemudian dimasukkan 4,0 ml filtrat dan 2,0 ml larutan
baku internal ke dalam labu tentukur 200 ml, diencerkan
dengan fase gerak sampai tanda. Disuntikkan secara terpisah
sejumlah volume sama (lebih kurang 15 l) larutan baku dan
larutan uji ke dalam kromatograf, di ukur tinggi puncak utama.
Waktu retensi relatif dari hipoksantin 0,6 dan alopurinol 1,0.
Untuk menghitung jumlah C5H4N4O dalam serbuk tablet yang
digunakan, dipakai rumus :
2,5 C (RU)
(RS)
C adalah kadar alopurinol BPFI dalam g per ml. Larutan baku
Ru dan Rs berturut-turut adalah perbandingan respon puncak
antara alopurinol dan baku internal dari larutan uji dan larutan
baku.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Alopurinol
a) Disolusi
Digunakan alat disolusi tipe 2 (metode pedal) dengan
kecepatan 75 rpm dan media disolusi asal klorida 0,1 N
sebanyak 900 ml. Dilakukan penetapan jumlah alopurinol
(C5H4N4O) yang terlarut dengan menggunakan serapan filtrat
larutan uji, diencerkan dengan asam klorida 0,1 N dan serapan
larutan baku alopurinol BPFI dalam media yang sama pada
panjang gelombang serapan maksimum 250 nm. Dalam
waktu 45 menit harus larut tidak kurang dari 75% C5H4N4O
dari jumlah yang tertera dalam etiket.
b) Penetapan kadar
Penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi dilengkapi detektor UV 254 nm dengan
menggunakan kolom 4 mm x 30 cm dan bahan pengisi L1
(Oktadesil silana terikat secara kimiawi pada partikel mikrosilika berpori atau artikel mikrokeramik dengan diameter 5 M
- 10 m), laju aliran kurang 1,5 ml/menit dengan fase gerak
larutan ammonium monobasa 0,05 M.
Larutan baku internal
Dilarutkan 50 mg hipoksantin P dalam 10 ml natrium
hidroksida 0,1 N, dikocok selama 10 menit hingga larut,
diencerkan dengan air hingga 50 ml. Larutan ini dibuat pada
saat akan digunakan.
Larutan baku
Ditimbang dengan seksama 50 mg alopurinol BPFI,
dimasukkan ke dalam labu 50 ml ditambahkan 10 ml natrium
hidroksida 0,1 N dikocok selama 10 menit, diencerkan dengan
air. Dimasukkan 4,0 ml larutan ini dan ditambah 2,0 ml larutan
baku internal ke dalam labu tentukur 200 ml, diencerkan
Tablet
Generik
A
B
C
konsentrasi (%)
15 menit
101,470
95,130
102,550
97,630
30 menit
102,130
99,210
103,440
99,810
45 menit
104,930
100,170
103,305
104,470
Tablet
Generik
A
B
C
Kadar (%)
96,98
95,21
106,76
99,87
3.
4.
5.
6.
7.
Gambar 6. Kromatogram kadar alopurinol dengan nama dagang C.
8.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa disolusi dari
kadar zat berkhasiat sediaan alopurinol generik dart 3 sediaan
nama dagang (A, B dart C) semuanya memenuhi syarat Farmakope Indonesia IV, 1995.
9.
Do not tell a friend anything that you would conceal from an enemy
HASIL PENELITIAN
Resistensi M. tuberculosis
terhadap Obat Anti Tuberkulosis
Bahan Baku dan Obat Generik
di Bagian Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran
Unrversitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Hotman Sinaga, Idaningroem Sjahid, Nonang Siahaarv,ida Parwati Santoso
Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin Bandung
ABSTRAK
Pengobatan penderita TB yang tidak tepat dapat menyebabkan kuman M.
tuberculosis menjadi resisten dan sulit diobati. Pengobatan yang tepat antara lain dapat
dicapai dengan bantuan hasil uji kepekaan; sayangnya pemeriksaan uji kepekaan tidak
mudah dilakukan karena mahal. Oleh karena itu perlu diteliti uji kepekaan obat anti
tuberkulosis (OAT) yang murah dan mudah didapat.
Dari 50 isolat M. tuberculosis yang diteliti menggunakan OAT-bahan baku dan
OAT-obat generik pada media Ogawa 1% dengan metode proporsi secara tidak
langsung di Bagian Patologi Klinik FK UNPAD/RSHS Bandung didapatkan hasil uji
kepekaan dengan OAT-bahan baku dan OAT-obat generik adalah sama. Dua puluh
enam isolat (52%) sensitif dan 24 isolat (48%) resisten terhadap satu atau lebih OAT,
19 (38%) resisten terhadap streptomisin, 17 (34%) resisten terhadap pirazinamid, 13
(26%) resisten rifampisin, 4 (8%) resisten INH, 2 (4%) resisten terhadap etambutol, 8
(16%) resisten terhadap satu jenis OAT, 6 (12%) resisten terhadap dua jenis OAT, 7
(14%) resisten terhadap tiga jenis OAT, 1 (2%) resisten terhadap 4 jenis OAT, 2 (4%)
resisten terhadap 5 jenis OAT dan 16 (32%) resisten terhadap atau lebih OAT. Isolat
yang resisten terhadap satu jenis OAT, 4 (8%) resisten terhadap streptomisin, 3 (6%)
adalah MDR-TB. Uji kepekaan dengan bahan baku dan obat generik mempunyai
ketepatan 100% dan persentase resistensi isolat terhadap masing-masing OAT-bahan
baku dan OAT-obat generik tidak berbeda bermakna (p>0,05).
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa OAT-obat generik dapat digunakan
untuk uji kepekaan M. tuberculosis.
Kata Kunci : Obat anti tuberkulosis bahan baku - obat generik - resistensi obat
PENDAHULUAN
Sejak ditemukannya Mycobacterium tuberculosis (M.
tuberculosis) 107 tahun yang lalu, telah banyak upaya yang
dilakukan untuk memberantas penyakit tuberkulosis. Namun
sampai saat ini penyakit tuberkulosis paru (TBP) masih menjadi masalah kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia(1-5).
Pada awal tahun 1990, dilaporkan terdapat 16 juta penduduk
terjadi sekitar 7 juta kasus TB baru dan 2-3 juta akan meninggal
tiap tahunnya(9). Di Indonesia, Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI tahun 1992 menunjukkan, penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor
2 setelah penyakit kardiovaskuler atau urutan pertama pada
kelompok penyakit infeksi(10). Dari hasil evaluasi bersama
Indonesia - WHO pada tahun 1994, disimpulkan bahwa di
Indonesia terdapat 500.000 penderita TB-Paru-baru setiap
tahunnya dengan kematian 175.000 penderita per tahun dan
terdapat 260.000 penderita yang tidak terdiagnosis setiap tahunnya. Karena pengobatan yang tidak adekuat, diperkirakan terdapat 560.000 penderita TBP kronik yang merupakan sumber
penularan di masyarakat(11).
Pengobatan penderita yang tidak adekuat dapat menyebabkan M. tuberculosis menjadi resisten terhadap satu atau lebih
OAT(8). Kuman yang resisten atau resisten multipel sulit diobati
dengan kombinasi OAT biasa. Untuk penderita demikian kombinasi OAT sebaiknya didasarkan pada hasil uji kepekaan.
Dalam kepustakaan disebutkan, pemeriksaan uji kepekaan
harus menggunakan OAT-bahan baku, sayangnya OAT-bahan
baku selain sulit didapat harganya pun sangat mahal(12-13). Berdasarkan harga pembelian pada bulan September - Okfober
1998, untuk tiap mg OAT-bahan baku rifampisin lebih mahal
2208 kali, INH-baku lebih mahal 155 kali, etambutol-baku
lebih mahal 82 kali, pirazinamid-baku lebih mahal 76 kali dan
streptomisin-baku lebih mahal 73 kali dari OAT-generik. Oleh
karena itu, jika menggunakan OAT-bahan baku biaya pemeriksaan uji kepekaan M. tuberculosis menjadi sangat mahal dan
sulit terjangkau. Mempertimbangkan bahwa pemeriksaan uji
kepekaan sangat penting dalam menentukan kombinasi OAT
yang akan diberikan, khususnya pada penderita yang pernah
mendapat pengobatan OAT, maka perlu dicari upaya agar biaya
pemeriksaan uji kepekaan menjadi terjangkau oleh penderita.
Karena OAT yang mudah didapat dan lebih murah adalah
OAT-generik, maka perlu diteliti apakah OAT-generik dapat
digunakan untuk uji kepekaan terhadap isolat M. tuberculosis.
BAHAN DAN CARA KERJA
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik, dilakukan di Bagian Patologi Klinik FKUP/RSHS Bandung dari
bulan Agustus 1998 -April 1999. Dari isolat M. tuberculosis
yang berhasil diisolasi dari penderita yang melakukan pemeriksaan biakan M. tuberculosis di Bagian Patologi Klinik
dilakukan uji kepekaan dengan metode proporsi menggunakan
OAT-bahan baku dan OAT-generik pada media Ogawa 1%.
Dari isolat M. tuberculosis dibuat suspensi kuman dalam
akuades steril, lalu kekeruhannya disamakan dengan kekeruhan
McFarland nomor 1; kemudian diencerkan 10-2 kali dan 10-4
kali dengan akuades steril sebagai inokulum kerja. Tiap inokulum kerja diinokulasikan 0,1 mL pada media kontrol (tanpa
obat) dan media yang diuji yang mengandung OAT-bahan baku
dan OAT-generik. Kadar obat dalam media : INH 0,2 ug/mL;
streptomisin 2,0 ug/mL; etambutol 5,0 ug/mL; rifampisin 1,0
ug/ mL dan pirazinamid 25 ug/mL(12). OAT-bahan baku yang
digunakan dari SIGMA, semua bentuk bubuk, potensi masingmasing sebagai berikut; INH 980 ug/mg, streptomisin 746
ug/mg, etambutol 980 ug/mg, rifampisin 980 ug/mg dan
Hasil
Sensitif
Resisten
Jumlah
Baku
Jumlah
26
24
50
Generik
%
52
48
100
Jumlah
26
24
50
%
52
48
100
RS Persahabatan pada tahun 1994 mendapatkan, angka resistensi sekunder hampir sama dengan penelitian ini yakni
44,89%(16).
Uji kepekaan terhadap masing-masing OAT mendapatkan,
yang resisten terhadap INH mungkin juga resisten terhadap
OAT lain 4 (8%), terhadap streptomisin (mungkin juga resisten
terhadap OAT lain) 19 (38%), terhadap etambutol (mungkin
juga resisten terhadap OAT lain) dua (4%) (Tabel 2).
Tabel 2.
OAT
INH
Baku
Generik
Streptomisin
Baku
Generik
Etambutol
Baku
Generik
Rifampisin
Baku
Generik
Pirazinamid
Baku
Generik
Sensitif
Resistensi terhadap
1 macam obat
Resisten
Jumlah
Jumlah
46
46
92
92
4
4
8
8
31
31
62
62
19
19
38
38
48
48
96
96
2
2
4
4
37
37
74
74
13
13
26
26
33
33
66
66
17
17
34
34
Total
2 macam obat
Total
3 macam obat
4 macam obat
5 macam obat
Jumlah isolat
1
4
0
0
3
8
2
3
1
6
7
1
2
S dan R
S dan Z
R dan Z
S, R dan Z
H, S, R dan Z
H, S, E, R dan Z
%
2
8
0
0
6
16
4
6
2
12
14
2
4
Keterangan :
H : INH, S : streptomisin, E : etambutol, R : rifampisin, Z : pirazinamid.
Tabel 4.
Obat
H
S
E
R
Z
H
Aditama dan Wijanarko 7,3
Aditama dkk
1,62
Bloch dkk
3,77
Tanjung dan Keliat
0
Penulis
2
S
2,38
0,59
2,4
3,33
8
R
0
3,1
0
0,57
0,39 0,24
13,33 6,67
0
0
Z
0,057
0,27
6
Keterangan
RP & RS
RP & RS
RP & RS
RS
RP & RS
Keterangan :
H : INH, S : streptomisin, E :etambutol, R : rifampisin, Z : pirazinamid RP :
resistensi primer, RS : resistensi sekunder.
Peneliti
Aditama dan
Wijanarko(16)
MDR-TB
(%)
13,02
Tanjung dan
Keliat(19)
22,33
22,33
20
30
8,9
Wahid dkk(15)
WHO(20)
Thailand
Vietnam
United States
Bloch dkk(14)
Penulus
5,73
1,27
3,82
5,10
8,9
2,2
21,4
19,1
8,2
16
11,5
11,6
2,8
12
3,1
0,9
0,7
14
0,8
0,9
0,6
2
9,5
6
Tabel 6.
Jenis Obat
INH
Streptomisin
Etambutol
Rifampisin
Pirazinamid
Bahan Baku
Sensitif
46 (92%)
31 (62%)
48 (96%)
37 (74%)
33 (66%)
Resisten
4 (8%)
19 (38%)
2 (4%)
13 (26%)
17 (34%)
Obat generik
Sensitif
46 (92%)
31 (62%)
48 (96%)
37 (74%)
33 (66%)
Resisten
4 (8%)
19 (38%)
19 (38%)
13 (26%)
17 (34%)
Ketepatan
(%)
100
100
100
100
100
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
13.
5.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
ABSTRAK
PEDOMAN PENATALAKSANAAN
HIPERTENSI
WHO dan International Society of
Hypertension telah mengeluarkan
pedoman hipertensi yang baru, menggantikan pedoman lama yang dikeluarkan pada tahun 1993.
Perubahan yang cukup penting di
antaranya :
Target penurunan tekanan darah lebih
rendah-di
bawah
130/85
mmHg-dibandingkan dengan rekomendasi terdahulu (140/90 mmHg).
Klasifikasi hipertensi baru yang
disesuaikan dengan pedoman di AS
(JNC-VI); tetapi pedoman di AS
tersebut bahkan menetapkan target
tekanan darah yang lebih rendah
120/80 mmHg.
Antagonis angiotensin II telah dicantumkan sebagai obat yang dapat
digunakan.
Tidak menentukan golongan obat
tertentu sebagai pilihan pertama;
dinyatakan bahwa semua jenis
dapat digunakan dengan memperhatikan risiko individual; rekomendasi sebelumnya menganjurkan
diuretik sebagai pilihan pertama,
disusul dengan berturut-turut penyekat beta, penyekat ACE, penyekat Ca dan penyekat alfa.
Selain itu pedoman baru ini memberi perhatian yang lebih besar
terhadap kemungkinan penggunaan
kombinasi obat untuk mengurangi
efek samping.
Scrip 1999; 2411
Brw
HORMON
UNTUK
OSTEOPOROSIS
US National Osteoporosis Foundation bekerjasama dengan beberapa
institusi telah mengeluarkan rekomendasi penanganan osteoporosis; mereka
menganjurkan uji bone mineral density
(BMD) pada :
= semua wanita usia 65 tahun ke atas.
= wanita pascamenopause dengan satu
Brw
Brw
ANTITUBERKULOSIS BARU
Setelah menunggu 25 tahun lamanya, baru sekarang ditemukan obat anti
tuberkulosis baru - rifapentin. Obat ini
dikembangkan dari rifampisin, umumnya in vitro lebih aktif terhadap M.
tuberculosis, tetapi kasus yang resisten
terhadap rifampisin umumnya juga
resisten terhadap rifapentin.
Keuntungan obat ini ialah waktu
paruh yang lebih panjang sehingga
dapat diberikan sekali seminggu pada
fase pemeliharaan, dibandingkan dengan dua atau tiga kali seminggu bila
menggunakan rifampisin-hal ini sangat
menguntungkan terutama bila digunakan pada program DOTS (directly
observed therapy short course).
Rifapentin juga meningkat absorpsinya sebesar 40% bila ditelan
bersama makanan, dibandingkan dengan rifampisin yang justru turun 30%.
Obat ini digunakan dengan dosis
600 mg. dua kali seminggu dalam 2
bulan pertama, kemudian 600 mg
sekali seminggu dalam 4 bulan berikutnya bersama isoniazid.
Efek samping yang ditemukan berupa hiperurisemi, peningkatan SGOT/
SGPT dan netropeni, selain itu
dijumpai juga ruam kulit dan gangguan
saluran cerna.
Pada penggunaan selama 6 bulan,
sputum negatif tercapai pada 87%
pasien, dibandingkan dengan 81% pada
pasien yang menggunakan rifampisin.
D&TP. 1999; 13(7): 1-4
Brw
ABSTRAK
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
Komite Medik di Inggris telah
menerbitkan anjuran untuk mengurangi
penggunaan antibiotik dalam praktek;
para dokter di sana juga mempertanyakan efektivitas terapi antibiotik
pada beberapa keadaan, diantaranya :
Profilaksis endokarditis pada pasien
kelainan katup jantung.
Penggunaan rifampisin dan siproloksasin pada orang yang kontak
dengan penyakit meningokok.
Profilaksis pada implan prostetik.
Profilaksis pada seksio saesaria.
Pengguna sefalosporin generasi tiga
pada community - acquired
pneumonia.
Scrip 1999; 2419: 3
Brw
TROMBOLITIK UNTUK INFARK
MIOKARD
Setelah tPA/alteplase digunakan
untuk mengurangi mortalitas akibat
infark miokard, menyusul obat lain
yang juga tengah dicoba untuk indikasi
yang sama.
TNK (Genentech) dan lanoteplase
(BMS) telah mulai diuji coba klinis dan
hasil pendahuluannya menunjukkan
efektivitas serupa; keunggulan kedua
obat ini ialah dapat diberikan dalam
bentuk injeksi bolus, tidak perlu
infus/drip seperti al teplase.
Kedua obat ini akan bersaing
dengan reteplase (Centocor) yang telah
tersedia di pasaran dan diberikan dalam
dua kali pemberian bolus (double
bolus) berselang 30 menit.
VIAGRA UNTUK WANITA
Percobaan penggunaan sildenafil
(Viagra) untuk disfungsi seksual
Brw
DIAGNOSIS DEMENSIA
Diagnosis klinis demensia selama
ini didasarkan atas kumpulan gejala
yang ditentukan berdasarkan kriteria
tertentu; dan saat ini terdapat beberapa
kriteria klinis diagnosis berdasarkan
DSM-III, DSM-III-R, DSM-IV, ICD-9,
ICD-10 dan CAMDEX.
Studi atas 1879 pria dan wanita
berusia 65 tahun ke atas di Canada
menunjukkan bahwa penggunaan krieria yang berbeda menghasilkan prevalensi yang berbeda pula, yang pada
populasi tersebut berkisar dari 3,1%
berdasarkan ICD-10 sampai 29,1 %
berdasarkan DSM-III. Perbedaan menyolok ini terutama disebabkan perbedaan dalarn hal gejala daya ingat
jangka panjang, fungsi eksekutif,
aktivitas sosial dan lamanya sakit.
Hanya 20 orang yang memenuhi
kriteria seluruh enam pedoman tersebut.
N. Engl. J. Med 1997, 337: 1667-74
Hk
ASPIRIN UNTUK INFARK MIOKARD
Suatu meta analisis mutakhir atas
16 percobaan yang melibatkan lebih
dari 55000 pasien kembali menunjukkan manfaat aspirin dalam menurunkan
Brw
FINASTERID UNTUK KEBOTAKAN
Finasterid-suatu 5-alfa inhibitor
yang menurunkan kadar dihidrotestosteron terbukti cukup efektif untuk
menumbuhkan rambut dan mencegah
kebotakan pria. Dosis 1 mg/hari selama
1 tahun memperbaiki pertumbuhan
rambut vertex pada 48% dan 66%
setelah 2 tahun. Dibandingkan dengan
hanya 7% di kalangan pengguna
plasebo, baik setelah 1 maupun 2
tahun. Selain itu finasterid juga terbukti
mencegah rambut rontok; setelah 2
tahun 83% pengguna finasterid tidak
lagi mengalami kerontokan rambut,
dibandingkan dengan 28% di kalangan
pengguna plasebo. Sayangnya efek
penumbuhan rambut ini akan hilang
dalam 12 bulan setelah penghentian
obat. Efek samping yang tercatat
berupa penurunan libido, gangguan
ejakulasi dan disfungsi ereksi yang
umumnya hilang bila pengobatan
dilanjutkan dan selalu hilang bila obat
dihentikan.
DT & P 1999; 13(10) : 3
Hk
MALFORMASI KONGENITAL
Malformasi kongenital yang pernah dilaporkan akibat antikonvulsan :
Defek jantung kongenital
Bibir/langit-langit sumbing
Defek neural tube
Defek tr, genitourinarius
Gangguan Kognitif
Anomali minor
Fenitoin
+
+
+
+
+
Asam valproat
+
+
+
+
+
+
Karbamazepin
+
+
+
+
Fenobarbital
+
+
+
+
+
Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1.
2.
3.
4.
5.
6.
c) 126 mg/dl
d) 140 mg/dl
e) 200 mg/dl
7. Sedangkan diabetes melitus didiagnosis bila kadar glukosa
plasma puasanya lebih dari :
a) 110 mg/dl
b) 120 mg/dl
c) 126 mg/dl
d) 140 mg/dl
e) 200 mg/dl
8. Tes toleransi glukosa perlu dilakukan bila kadar glukosa
sewaktu lebih dari :
a) 110 mg/dl
b) 126 mg/dl
c) 140 mg/dl
d) 160 mg/dl
e) 200 mg/dl
9. Pada penelitian resistensi M. tuberculosis di FK
Universitas Padjadjaran/ RSHS, resistensi tertinggi adalah
terhadap :
a) INH
b) Rifampisin
c) Etambutol
d) Pirazinamid
e) Streptomisin
10. Kesimpulan penelitian di atas adalah :
a) Resistensi M. tuberculosis terhadap OAT sudah tinggi
b) OAT generik sama mutunya dengan OAT orisinil
c) OAT generik dapat digunakan untuk uji kepekaan
d) Multiresistensi terhadap OAT makin menyulitkan
pengobatan
e) Biaya pengobatan dapat ditekan dengan menggunakan
OAT generik.
JAWABAN RPPIK :
1.
6.
D
A
2.
7.
B
C
3.
8.
C
C
4.
9.
B
E
5. C
10. C