Anda di halaman 1dari 25

BAB I

ILUSTRASI KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama
Usia
Jenis kelamin
Alamat
Agama
Suku bangsa

: An.Z
: 5 tahun
: Laki-laki
: Pd.Cabe
: Islam
: Jawa

3.2 Anamnesis
Diambil secara
Tgl
Jam

: Alloanamenesa & autoanamnesa


: 6 Februari 2010
: 11.00 WIB

a. Keluhan Utama
Digigit ular sejak 2,5 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan digigit ular di pergelangan kaki kiri
sejak 2,5 jam SMRS. Awalnya pasien kira-kira pukul 08.00 pasien sedang
bermain dan ingin menangkap ular. Menurut ibu pasien ular berwarna
hitam di bagian kepala dan coklat tua di bagian badan dengan panjang
kira-kira 20 cm dengan diameter 3 cm. Mempunyai dua taring besar dan
kepala berbentuk segitiga. Setelah digigit pasien mengeluh lemas,
pusing, mual. Muntah disangkal.
Setelah digigit pasien di bawa ke klinik dekat rumah pasien, di
sana betis pasien diikat, lalu di rujuk ke RS.Fatmawati.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Alergi (-), asma (-).

d. Riwayat imunisasi
Menurut ibu pasien riwayat imunisai pasien lengkap.

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu pasien meyangkal keluarga pasien memiliki riwayat penyakit apapun.

f. Riwayat Hidup dan Kebiasaan


3.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan umum
Kesadaran
Gizi

: Tampak sakit sedang


: Compos Mentis
: Kesan gizi baik

Tanda vital
Tekanan darah

: 90 / 70 mmhg

Nadi

: 92 kali / menit

Pernapasan

: 20 x/m

Suhu tubuh

: 36,2 oC

Kulit

: warna sawo matang

Kepala

: normochepali

Rambut

: warna hitam, distribusi merata

Wajah

: simteris

Kulit

: warna sawo matang, turgor baik

Mata

: konjungtiva pucat -/-, sclera ikterik -/RCL / RCTL : +/+

Telinga

: normotia

Hidung

: sekret -/-, hiperemis -/-

Leher

: trakea lurus di tengah, KGB tidak


membesar

Paru

:
Inspeksi

: pergerakan dada simetris saat statis dan


dinamis

Palpasi

: vokal fremitus teraba sama di kedua


lapang paru

Perkusi

: sonor di kedua lapang paru

Auskultasi

: suara napas vesikuler di kedua lapang


paru, rhonkii -/-, wheezing -/-

Jantung

Inspeksi

: iktus kordis tidak tampak

Palpasi

: iktus kordis teraba di ICS V linea


midklavikula sinistra

Perkusi

Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra


Batas kiri

: ICS V linea midklavikularis sinistra

Pinggang

: ICS III linea parasternalis sinistra

Auskultasi

: bunyi jantung I dan II regular, murmur (-),


gallop (-)

Abdomen

Inspeksi

: datar

Palpasi

: nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans


muscular (-), hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: timpani

Auskultasi

: bising usus (+)

Ekstremitas

: akral hangat (+), edema (-)

b. Status Lokalis
Regio medial pedis sinista eritema (+), edema (+)

3.4

Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium 2/2/10; 12.30


Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
VER/HER/KHER/RDW
VER
HER
KHER
RDW
Hitung jenis

Hasil

Satuan

Nilai Rujukan

14,2
46
10,2
218
5,57

gr/dl
%
ribu/ul
ribu/ul
juta/ul

10,7 14,7
31 43
5,5 15,5
150 440
3,70 5,70

82,8
25,5
30,8
13,6

Fl
Pg
gr/dl
%

72,0 88,0
23,0 31,0
32,0 36,0
11,5 14,5

Netrofil
Limfosit
Monosit
Hemostasis
APTT
Kontrol APTT
PT
Kontrol PT
INR
3.5

60
37
4

%
%
%

50 70
20 40
28

33,8
33,3
11,9
12,2
1,01

Det
Det
Det
Det

33,6 - 43,8
12,1 14,5
-

Resume
Pasien datang dengan keluhan digigit ular di pergelangan kaki kiri sejak

2,5 jam SMRS. Awalnya pasien kira-kira pukul 08.00 pasien sedang bermain dan
ingin menangkap ular. Menurut ibu pasien ular berwarna hitam di bagian kepala
dan coklat tua di bagian badan dengan panjang kira-kira 20 cm dengan diameter
3 cm. Mempunyai dua taring besar dan kepala berbentuk segitiga. Setelah digigit
pasien mengeluh lemas, pusing, mual. Muntah disangkal. Setelah digigit pasien
di bawa ke klinik dekat rumah pasien, di sana betis pasien diikat, lalu di rujuk ke
RS.Fatmawati.
Pemeriksaan fisik:
Status Generalis : dalam batas normal
Status Lokalis :
Regio digiti medial pedis sinistra terdapat eritema (+), edema (+)
3.6 Diagnosis Kerja
Snake Bite Grade II
3.7 Diagnosis Banding
3.8 Penatalaksanaan
Debridement luka (insisi cross)
Infuse: RL + SABU 1 Vial / 8 jam IV.
Observasi tanda vital
3.9 Prognosis
Quo ad vitam
Quo ad fungsionam
Quo ad sanactionam

: bonam
: bonam
: bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Pendahuluan
Luka gigit dapat disebabkan oleh hewan liar maupun hewan peliharaan,
dan manusia. Hewan liar yang dapat mengigit adalah hewan yang biasanya
ganas dan pemakan daging, misalnya harimau, singa, hiu, atau bila hewan itu
terganggu atau terkejut, yaitu dalam usaha membela diri. Bila hewan mengigit
tanpa alasan jelas, harus dicurigai kemungkinan hewan tersebut menderita
penyakit yang mungkin menular melalui gigitannya, misalnya rabies. Luka gigit
dapat berupa luka tusuk kecil atau luka compang camping luas yang berat. 1
Persoalan yang ditimbulkan oleh luka gigitan atau sengatan serangga
adalah lukanya sendiri, kontaminasi bakteri atau virus, dan reaksi alergi. Dalam
penanggulangannya, perlu lebih dahulu diidentifikasi hewan yang mengigit untuk
perencanaan langkah pertolongan.1
II. Gigitan Ular
Gigitan ular berbahaya bila ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya
dari kira-kira ratusan jenis ular yang diketahui, hanya sedikit sekali yang berbisa,
dan dari golongan ini yang berbahaya bagi manusia.1
Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga
pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin
saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai
macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein non-toksik. Berbagai logam

seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu enzim
prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat
dalam

bentuk

glikoprotein

seperti

serine

protease

ancord

merupakan

prokoagulan dari C.rhodostoma venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen


dan dipakai untuk mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti histamin
dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar
pada Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada
gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang
bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan
kerusakan

endotel

vaskular.

Enzim

venom

lain

seperti

fosfoesterase,

hialuronidase, ATP-ase, 5-nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase, dan


DNA-ase perannya belum jelas.2
Bisa

ular

hialuronidase,

terdiri

dari

ATP-ase,

beberapa

polipeptida

nukleotidase,

kolin

yaitu

fosfolipase

esterase,

A,

protease,

fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi


jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau
pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak
bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun.1
Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang
ditimbulkannya

seperti

neurotoksik,

hemoragik,

trombogenik,

hemolitik,

sitotoksik, antifibrin, antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak


tunika intima). Selain itu ular juga merangsang jaringan untuk menghasikan zat
zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat.2
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas
dan hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat yang tidak
sebanding dengan besar luka, udem, eritima, ptekie, ekimosis, bula, dan tanda
nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium,
udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung.1
Tabel 1. Perbedaan ular berbisa dan tidak berbisa
No
1.
2.

Bentuk kepala
Gigi taring

Ular tak berbisa


Segiempat panjang
Gigi kecil

Ular berbisa
Segitiga
Dua gigi taring besar di

3.

Bekas gigitan

rahang atas
Luka halus di sepanjang Dua luka gigitan
lengkungan bekas gigitan

akibat

gigi

taring

utama
yang

berbisa.

Gambar 1. Characteristic of snake that poison


Table 2: Kategori Ular Berdasarkan WHO (1981)
Class Details
Kelas Gejala
I
Pada umumnya
menyebabkan
II

III

Nama Ular
dapat Russells viper / Kobra /
Saw scaled
kematian
Viper

dan kecacatan
Dapat menyebabkan efek Krait / Hump-nosed pit
viper /
yang serius (kematian
King Kobra / Mountain
atau nekrosis lokal )
pitviper
Sangat jarang mempunyai Ular air, ular hijau

efek yang serius


Name of the snakes

II.1 Patogenesis
Bisa ular terdiri dari berbagai enzim, protein, aminoacids, dll, Beberapa
enzim

protease,

kolagenase,

arginin,

ester

hydrolase,

hialuronidase,

fosfolipase, metallo-proteinase, endogenase, autocoids, trombogenik enzim,


dan

sebagainya,

enzim

ini

memiliki

efek

racun

pada

berbagai

jaringan tubuh, dan dikelompokkan di bawah neurotoksin, nefrotoksin,


hemotoksin, kardiotoksin, sitotoksin dll, yang mengakibatkan disfungsi organ /
destruksi.1,2
Kualitas dan kuantitas enzim dan gejala

klinis lainnya bervariasi

tergantung dengan jenis ular dan respon terhadap masing-masing individu,


sehingga

gejalanya

tidak

sama

pada

tiap

individu. Misalnya

hialuronidase memungkinkan penyebaran racun melalui jaringan subkutan


dengan mengganggu mukopolisakarida, dan fosfolipase A2 memiliki efek
esterolitik

pada

membran

sel

darah

merah

dan hemolisis. Dapat juga menyebabkan nekrosis otot. Enzim trombogenik


menyebabkan lemahnya pembekuan fibrin , yang mengaktifkan plasmin dan
hasilnya

koagulopati dan perdarahan. . Racun dari beberapa ular

menyebabkan blokade neuromuskular pada pra atau pasca sinap. Selain itu
dapat menyebabkan kerusakan sel endotel yang dapat menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskular. Bisa ular bekerja pada sebagian /
sistem /organ tubuh. Venom juga menyebabkan kerusakan sel endotel yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas. Sebagian toksin dapat dilihat pada
table berikut:1,2
Hematotoksin:

Cardiotoksin

Neurotoksin

Arginine ester hydrolase

Lactate Dehydrogenase

Acetylcholinesterase

Thrombin-like enzyme

Nucleotidase

Nucleotidase

Phospholipase A2

DNAse

DNAse

L-Amino acid oxidase


Hyaluronidase
Neurotoksin dapat terjadi pada pre sinap atau pos sinap. Beberapa
venom mengandung kedua-duanya yaitu neurotoksin pre sinap dan pos
sinap. Neurotoksin pre sinap lebih sulit untuk pulih. Tetapi neurotoksin pos
sinap

dapat

neostigmin.

pulih

kembali

dengan

obat

anticholinesterase

seperti

1,2

Neurotoksin bergabung dengan transmisi pada impuls saraf dari nerve


ending pada otot. Hal ini terjadi di neuromuscular junction (NMJ). Impuls saraf
pada end motor neuron meningkatkan permeabilitas membran fosfolipid
terhadap kalsium. Ini menyebabkan eksotosis asetilkolin pada sinap.
Asetilkoloin masuk melalui proses difusi dan berikatan dengan asetilkolin
resptor pada membran otot. Ikatan asetilkolin menyebabkan terbukanya
resptor sodium potasium pada membran otot dan sodium masuk ke dalam
membran sel otot. Influks sodium kedalam sel menurunkan potensial aksi
pada membran sel otot. Hasilnya terjadilah impuls listrik yaitu depolarisasi
potensial.1,2
Neurotoksin pos sinap berikatan dengan reseptor asetilkolin pada ion
channel membran fosfolipid pada motor sel otot. Ini mencegah depolarisasi
dan paralisis otot, antikolinesterase dapat digunakan untuk neurotoksin pos
sinap karena dapat menghambat siklus neurotransmiter.1,2
Neurotoksin pre sinap lebih sulit pengobatannya karena toksin yang
berikatan pada membran protein motor neuron tidak hanya menghambat
keluarnya asetilkolin pada sinap, tetapi juga lebih menyebabkan kerusakan
pada nerve ending. Neurotoksin pre sinap juga menghambat masuknya ion
kalium transport.1,2

Gambar 2: Neuromuscular junction showing the processes of synaptic vesicle exocytosis,

acetylcholine (ACh) binding to receptors on the motor muscle, and dissociation of


acetylcholine by acetylcholinesterase (AChE),followed by re-uptake of acetate and choline by
the motor neuron. These processes provide many potential physiological target sites for snake
venom neurotoxins; presynaptic neurotoxins affect the motor nerve ending,while postsynaptic
neurotoxins affect the ability of acetylcholine to bind to the motor muscle receptors (nAChR).

Gambar 3: Schematic of motor muscle ion channel containing the nicotinic


acetylcholine receptor (nAChR); when acetylcholine (AChR) binds to the nAChR, the
ion channel is opened, allowing ions such as sodium (Na+) and calcium (Ca2+) into
the cell, while potassium (K+) is able to leave the cell and enter the extracellular
space.

II.2 Tanda dan Gejala

10

Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jarinagan yang


luas dan hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan
tidak sebanding sebasar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan
tanda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau
perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada
otot jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa,
ular hijau dan ular laut. Ular berbisa lain adalah ular kobra dan ular welang
yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul karena
bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah.
Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas
sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular
kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai mata dapat
menyebabkan kebutaan sementara.1
Bisa ular yang menggigit pasien mengandung neurotoksin dan
hematotoksin.

Neurotoksin

menyebabkan

paralisis

otot

pernapasan

sehingga pasien mengalami apneu yang menyebabkan keadaan hipoksia


yang dapat dilihat dari gambaran EKG seperti gambaran iskemi. Neurotoksin
dan keadaan hipoksia tersebut dapat menyebabkan pasien mengalami
penurunan kesadaran.1
Sedangkan hematotoksin yang telah menyebar dalam tubuh pasien
menyebabkan aktivasi factor X, faktor V, dan faktor IX atau secara langsung
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin menyebabkan aktivasi kaskade
koagulasi dan koagulopati. Sehingga Prothrombin time (PT) pasien
meningkat yang menyebabkan pasien mengalami perdarahan berupa
mikrohematuri.1
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas
gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik
sebagai berikut (Dreisbach, 1987):

Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30
menit 24 jam)

Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual,


hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur

11

Gejala khusus gigitan ular berbisa :


o

Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal,


peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan
kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi
intravaskular diseminata (KID)

Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan,


ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang
dan koma

Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma

Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda tanda 5P


(pain, pallor, paresthesia, paralysis pulselesness)2

Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai


berikut:3
Derajat

Venerasi

Luka
gigit

Nyeri

Udem/ Eritem

Tanda sistemik

+/-

<3cm/12>

+/-

3-12 cm/12 jam

II

+++

>12-25 cm/12
jam

+
Neurotoksik,
Mual, pusing, syok

III

++

+++

>25 cm/12 jam

++
Syok, petekia,
ekimosis

IV

+++

+++

>ekstrimitas

++
Gangguan faal
ginjal,
Koma, perdarahan

12

Gambar 4. Tanda dan Gejala Umum Gigitan Ular


II.3 Pemeriksaan
Anamnesis sebaiknya didapat adalah deskripsi ular, pertolongan pertama
yang didapat, mengetahui alergi dan komorbiditasnya, riwayat digigit ular,
dan antibisa. Pemeriksaan fisik yang lengkap dan detail sebaiknya mencari
bekas gigitan (sepasang atau lebih), jarak (ukuran ular), dan waktu. Tanda
toksisitas sistemik yang dapat dicari termasuk ptekie, memar, bula, atau
blister. Pengukuran pada tempat yang sama sebaiknya diulang setiap 15
menit sampai progresifitas edema dan eritema berkurang. Pemeriksaan
klinis yang sering sebaiknya fokus terhadap profil neurologik , hematologik,
dan hemodinamik.4
Pemeriksaan laboraturium awal sebaiknya termasuk elektrolit, darah
lengkap, jumlah platelet, PT, PTT, jumlah fibrinogen, nitrogen urea darah,
dan kreatinin serum ditambah urinalisis. Tergantung usia dan komorbiditas
pasien, EKG dan radiografi dada dapat disertakan. Umumnya perubahan
EKG

non-spesifik

dan

mencakup

perubahan

pada

irama

(terutama Bradikardia) dan atrioventrikular blok dengan elevasi segmen ST

13

atau

depresi. Gelombang

inversi

dan

QT

memanjang.

Gelombang T tinggi pada V2 dan menandakan infark miokard anterior.


Kecocokan golongan darah sebaiknya diperiksa pada pasien dengan
cedera yang parah. Imunisasi tetanus dapat diberikan. Enzyme-linked
immunosorbent Assays (ELISA) telah berkembang agar secara langsung
mengukur antigen bisa pada pasien dan membantu identifikasi spesies ular.
ELISA sensitive sampai 5 mg/L bisa dan dapat menilai serum, urin, cairan
blister, atau cairan aspirasi. Tes ini membantu menentukan ular spesifik
untuk terapi antibisa langsung. Radioimmunoassay sangat sensitif dalam
mendeteksi bisa sampai level 0.4 mg/L.4
II.4 Penatalaksanaan
Korban gigitan ular memerlukan penanganan suportif dan resusitasi yang
agresif seperti pasien trauma. Perhatian terhadap airway dan breathing
adalah prioritas pertama, diikuti penilaian kardiovaskular dan resusitasi.
Informasi detail sering menolong dalam menentukan jenis dan ukuran ular,
luas gigitan, dan waktu.2
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah
Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular

Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah

Mengatasi efek lokal dan sistemik 2


Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh

lubang bekas masuknya taring ular sepanjang dan sedalam cm, kemudian
dilakukan pengisapan mekanis. Bila tidak tersedia alatnya, darah dapat
diisap dengan mulut asal mukosa mulut utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan
akan dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain itu dapat juga dilakukan
eksisi jaringan berbentuk elips karena ada dua bekas tusukan gigi taring,
dengan jarak cm dari lubang gigitan, sampai kedalaman fasia otot.1,2
Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang
tourniket beberapa centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal

14

pembengkakan

yang

terlihat,

dengan

tekanan

yang

cukup

untuk

menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari tekanan arteri. Tekanan
dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu.
Dalam 12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang tergigit
direndam dalam air es atau didinginkan dengan es.1,2
Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum antibisa ular
dilakukan penyuntikan serum antibisa ular intravena atau intraarteri yang
mendarahi daerah yang bersangkutan. Serum antibisa ular dibagi menjadi 2,
yaitu monovalen dan polivalen. Antivenom monovalen diberikan pada giigtan
ular yang sudah teridentifikasi dan hanya mengandung 1 jenis antibodi.
Antivenom polivalen diberikan pada semua gigitan ular yang sulit
teridentifikasi dan mengandung banyak antibodi, biasanya serum polivalen
ini dibuat dari darah kuda yang disuntik dengan sedikit racun ular yang hidup
di daerah setempat. Serum ini memiliki fragmen imunoglobulin G yang
berikatan yang jika disuntikkan kedalam tubuh Ig G yang berasal dari serum
akan berikatan dengan Antibodi sehingga membentuk komplek antigen anti
bodi dan menetralisir toksin. Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji
sensitivitas. SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan),
polivalen 1 ml berisi:

10-50 LD50 bisa Ankystrodon

25-50 LD50 bisa Bungarus

25-50 LD50 bisa Naya Sputarix

Fenol 0.25% v/v

Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat
pada bagian luka. Pedoman terapi SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda
yang dilemahkan) polivalen, mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes,
2001):3

Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,


jika derajat meningkat maka diberikan SABU

15

Derajat II: 15-20 ml SABU

Derajat III: 25-75 ml SABU

Derajat IV: berikan penambahan 30-40 vial SABU


Pedoman terapi SABU menurut Luck

Derajat

Beratnya

Taring

Ukuran zona

Gejala

Jumlah ml

evenomasi

atau gigi

edema/

sistemik

venom

eritemato kulit
(cm)
0

Tidak ada

<2

Minimal

2-15

25

II

Sedang

15-30

50

III

Berat

>30

++

75

IV

Berat

>30

+++

75

Pedoman terapi SABU menurut Luck

Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit

Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom


-

Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat,


waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian
SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam
berikutnya, dst.

Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu


pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan
ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikkannya.
Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan
koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan

16

gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2


minggu setelah gigitan.

Terapi profilaksis
-

Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang


dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis

Beri toksoid tetanus

Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi

Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular


intravena

atau

intra

arteri

yang

memvaskularisasi

daerah

yang

bersangkutan. Serum polivalen ini dibuat dari darah kuda yang disuntik
dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah setempat. Dalam keadaan
darurat tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu karena bahanya
bisa lebih besar dari pada bahaya syok anafilaksis.1,2

17

Table 5 . Comparison of Antivenin (Crotalidae) Polyvalent and


CrotalidaePolyvalent Immune Fab (Ovine).7
Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan
pemberian vasopresor untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan
fibrinogen untuk memperbaiki kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan
juga pemberian kortikosteroid.1
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan
dengan memasang respirator untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik
spektrum luas dan vaksinasi tetanus. Bila terjadi pembengkakan hebat,
biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom kompartemen.
Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan
bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan
dengan cangkok kulit.1
Bila ragu ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati
selama 48 jam karena kadang efek keracunan bisa timbul lambat.
Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali
pencegahan infeksi.1

18

Gambar 5. Pengobatan gigitan ular dengan antivenom


III. Sengatan Lebah
Racun dalam sungut lebah sama toksiknya dengan racun ular berbisa,
tetapi karena jumlah yang masuk ke tubuh sangat sedikit, dampaknya dapat
ringan. Sengatan lebah mengandung hemolysin dan neurotoksin yang dapat
memicu reaksi anafilaksis. Bisa lebah juga mengandung melittin, phsospholipase
A2, dan hyaluronidase yang jika masuk dalam jumlah yang adekuat dapat

19

menyebabkan disrupsi endothel, kerusakan sel, dan nekrosis jaringan.


Kebanyakan reaksi sengatan lebah ringan dan hanya bermanifestasi pada kulit
(seperti eritema dan edema). Walaupun demikian, sengatan segerombolan lebah
yang mengamuk berakibat lebih berat. Gejala dan tandanya dapat berupa gatal,
udem, eritema, dan udem angioneurotik. Dalam keadaan lebih berat ditemukan
gangguan menelan, kelemahan otot mata, bradikardi, dan syok.1
Target

organ

adalah

kulit,

sistem

vaskular,

dan

sistem

pernafasan. Patologi serupa dengan yang lain imunoglobulin E (IgE)-dimediasi


reaksi alergi, yang merangsang sel mast, sehingga terjadi degranulasi
histamindalam

jumlah

yang

besar

sehingga

mengakibatkan

urtikaria,

vasodilatasi, bronkospasme, laringospasme, dan angioedema .1,4,8

Gambar 6. Urtikaria akibat sengatan lebah


III.2 Penatalaksanaan
Sungut yang masih menempel dicari dan dicabut. Daerah sengatan
dibersihkan dengan air dan sabun. Reaksi lokal dapat menyebabkan edema
laring, sehingga terjadi gangguan airway. Jika terjadi hal seperti itu segera
bebaskan jalan napas, selanjutnya. Untuk mengurangi nyeri dapat disuntikkan
lidokain; kadang diperlukan sedatif, infus, dan antibiotik. Untuk mengatasi rekasi
anafilaksis dapat diberikan antihistamin (dewasa: difenhidramin, 50 sampai 75
mg intramuskular atau intravena, pediatrik : 1-2 mg/kg PO/IM) atau epinefrin
(1:1.000 pengenceran, 0,3 sampai 0,5 mL secara intramuskular atau intravena).
Pasien juga memerlukan tambahan oksigen dan cairan intravena.

20

IV. Gigitan Anjing


Gigitan anjing menyebabkan jenis luka sobekan yang hancur karena gigi
dan rahangnya yang kuat. Anjing dewasa dapat memberikan 200 kg per square
inch (psi) tekanan, dengan beberapa anjing besar mampu mengerahkan 450 psi.
Tekanan yang ekstrim seperti itu dapat merusak struktur yang lebih dalam
seperti tulang, pembuluh darah, tendon, otot, dan saraf.9

Gambar 7. Luka robek pada tangan kiri akibat gigitan anjing


Perhatian utama dalam semua luka gigitan adalah infeksi
berikutnya. Infeksi dapat disebabkan oleh hampir setiap kelompok patogen
(bakteri, virus, Rickettsia, spirochetes, jamur).Setidaknya 64 jenis bakteri yang
ditemukan di mulut anjing, menyebabkan hampir semua infeksi harus
mixed.10,11,12 Bakteri yang terlibat dalam infeksi luka gigitan meliputi:
o

Staphylococcus species

Streptococcus species

Eikenella species

Pasteurella species

Proteus species

Klebsiella species

Haemophilus species

Enterobacter species

21

DF-2 or Capnocytophaga canimorsus

Bacteroides species

Moraxella species

Corynebacterium species

Neisseria species

Fusobacterium species

Prevotella species

Porphyromonas species

IV.2 Penatalaksanaan
Daerah bekas gigitan hars dicuci segera dengan air sabun atau larutan
antiseptik lain dan kemudian dilakukan debridemen, tindakan ini efektif sampai
12 jam setelah kejadian luka. Pada gigitan yang berat dan kecurigaan kuat
adanya infeksi rabies, dilakukan infiltrasi serum antirabies 5 ml di sekitar luka.
Setelah digigit hewan, selalu harus dipertimbangkan pemberian vaksinasi.
Pemberiannya stiap hari selama beberapa minggu untuk mencegah timbulnya
penyakit fatal ini.9
Jika binatang penggigit dapat ditangkap, binatang dimati apakah
menunjukkan gejala penyakit atau tidak. Gejala yang ditunjukkan ini sebenarnya
tidak berbeda dengan gejala pada manusia yaitu berupa fase rangsangan
dengan eksitasi yang lama atau fase rangsangan yang sebentar diikuti fase
apatis.9
Jika binatang yang bersangkutan mati, diagnosis dapat dipertegas
dengan pemeriksaan air liur untuk biakan virus, dan pemeriksaan patologi
jaringan otak untuk menemukan badan Negri yang merupakan tanda khas.9
Jika binatang tak tertangkap, dapat dipertimbangkan insidens atau
adanya wabah dan terapi vaksin sebaiknya diberikan. Pemberian serum diikuti

22

vaksin dilakukan bila bintang diduga mengidap rabies atau setelah binatang
terdiagnosis rabies secara klinis dan laboratorium.9

BAB III
ANALISIS KASUS
Diagnosis snake bite grade II ditegakkan berdasarkan. Pada hasil
anamnesis didapatkan keluhan sistemik seperti lemas, mual dan pusing setelah
digigit ular pada kaki kirinya sejak 2,5 jam SMRS. Menurut ibu pasien ular yang
menggigit pasien mempunya dua taring besar dan kepala berbentuk segitiga
dimana menurut teori ular tersebut termasuk jenis ular berbisa. Selain itu pada
status lokalis menunjukkan eritema dan edema pada regio medial pedis sinistra,
luka bekas gigitan sudah tidak terlihat. Hanya eritema dan edema yang
menandakan terjadinya proses peradangan pada regio tersebut. Sehingga
diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk melihat apakah bisa tersebut
mempunyai efek hematotoksik, yaitu dengan pemeriksaan PT & APTT. Hasil
pemeriksaan laboratorium pada pasien ini masih dalam batas normal, PT &
APTT tidak memanjang yang menandakan belum adanya hematotoksik yang
dan belum tergganggu sistem pembekuan.
Penatalaksanaan serum anti bisa ular yang diberikan pada pasien
ini adalah 5 ml, menurut teori dosis tersebut masih kurang, karena pasien
termasuk dalam snake bite grade II sedangkan menurut teori dosis menurut
Depkes 2001 yang seharusnya diberikan adalah minimal 15 ml sampai 20 ml.
Pada pasien ini tidak diberikan anti tetanus, karena pada anamnesis pasien
sudah mendapatkan imunisasi lengkap termasuk imunisasi TT. Pada pasien
dilakukan croos insisi, yaitu membuat luka sedalam cm, hal ini dilakukan
utnuk membuang bisa ular sebanyak mungkin. Seharusnya juga dilakukan
penghisapan pada luka, agar bisa ular dapat keluar dengan maksimal.
Pada pasien ini juga perlu observasi untuk menilai efek racun
tersebut. Karena bisa ular dapat mempunyai dua efek, yaitu hipersensitifitas

23

tipe cepat dan tipe lambat. Pada pasien ini di khawatirkan akan terjadi
hipersensitifitas tipe lambat sehingga pasien tersebut perlu dirawat diruangan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim; Buku-Ajar Ilmu Bedah. Ed. 2Jakarta : EGC.


2003.
2. Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
Departemen

Ilmu

Penyakit

Dalam.

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Indonesia.
3. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen
POM Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
4. Jurkovich Gregory. Greenfield's Surgery: SCIENTIFIC PRINCIPLES AND
PRACTICE. Ed. 4. New York : Lippincott Williams & Wilkins. 2006.
5.http://www.emedicinehealth.com/snakebite/page3_em.htm

didownload

Januari 2010.
6. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1071493/table/tbl1/ didownload 6
Januari 2010.
7. http://content.nejm.org/cgi/content/full/347/5/347 di download 8 Februari 2010
8.http://emedicine.medscape.com/article/768764-overview

di

download

di

download

Februari 2010
9.http://emedicine.medscape.com/article/768875-overview
Februari 2010
10. Alan DA, Citron DM, Abrahamian FM, et al. Bacteriologic analysis of infected
dog and cat bites. N Engl J Med. Jan 14 1999;340(2):85-92.
11. Abrahamian FM. Dog Bites: Bacteriology, Management, and Prevention.
Curr Infect Dis Rep. Oct 2000;2(5):446-453.

24

12. Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, et al. Practice guidelines for the
diagnosis and management of skin and soft-tissue infections. Clin Infect
Dis. Nov 2005;41(10):1373-406.

25

Anda mungkin juga menyukai