Anda di halaman 1dari 65

Puspo Edi Hapsari

Snake bite dikenal sebagai occupational hazard atau


kebahayaan bekerja untuk para petani, pekerja
perkebunan dan para pekerja luar ruangan lainnya yang
dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas di seluruh
dunia. Hal ini tidak hanya berlaku pada suatu bagian saja;
namun sudah menjadi isu global. Tidak ada data akurat
tentang terjadinya insidensi snakebite serta kejadian
morbiditas dan mortalitas yang menyertai. Namun, kejadian
sebenarnya sudah pasti lebih tinggi dibandingkan dengan
yang dilaporkan. Hal ini disebabkan oleh penderita yang
tidak langsung berobat ke rumah sakit melainkan ke
pengobatan tradisional. Karena kematian akibat snakebite
dapat dicegah, maka ia termasuk kegawatdaruratan.

IGD
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. I. H.
Umur : 40 Tahun
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Alamat : Pancordao Long Kedung
Masuk RS : 6 September 2012
No. RM : 289705

ANAMNESIS

Keluhan Utama
Pasien digigit ular 1 jam SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD atas rujukan Pukesmas Mantang karena digigit ular
pada kaki kiri 1 jam SMRS. Pasien tergigit saat sedang mencari belut di sawah.
Ular berwarna hijau dengan buntut berwarna merah. Karena pasien sudah sering
digigit ular, pasien tidak panik, namun setelah kira-kira 100 meter berjalan, pasien
merasa pusing, mual, dan muntah 3x. Kaki kiri terasa cekot cekot.
Setelah sampai di RS, pasien meludah darah, dan BAK berwarna
merah volume banyak. Kaki bengkak dan sangat nyeri. Sesak (-), seluruh
anggota gerak bisa digerakkan, pandangan kabur (-), mengantuk (-), nyeri seluruh
tubuh (-).

Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit serupa (-), riwayat digigit ular (+) 10x, riwayat kencing manis (-),
riwayat tekanan darah tinggi (-).

Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pernah digigit ular. Riw kencing manis (?), riw tekanan darah tinggi (?).

PEMERIKSAAN FISIK

Primary Survey: Secondary Survey:
Airway: Paten TD: 90/60 mmHg
Breathing: Simetris, retraksi (-), kusmaul (-)RR:18x/menit
Circulation: A. Carotis (+), reguler HR: 100x/menit
Disability: Kesadaran Compos Mentis T (
o
C): 36

Status Generalis
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan Umum : Sedang
Kepala dan Leher : Conjunctiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
, pupil isokor, RC (direk indirek) +/+, cyanosis (-), trismus (-), JVP (-
), pembesaran lymphonodi (-).
Thorax : Pulmo : Rongga dada simetris, vokal fremitus
dbn, palpasi sonor seluruh lapang paru, SD
Vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Cor : IC linea midcalvicula sin SIC V, apex
kuat angkat, S1S2 reguler, bising (-), gallop (-).
Abdomen : Distensi (-), petekie/purpura (-), bising usus
(+) dbn, tes undulasi/pekak beralih (-/-)
organomegaly (-), nyeri ketok ginjal (-), nyeri
tekan pd daerah epigastrium, defen muscular (-
)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2, clubbing finger (-),
jaringan bawah kuku tidak pucat, KO 5/5/5/5.

Status Lokalis
Inspeksi: Tampak dua luka penetrasi diduga
akibat gigitan ular pada daerah pergelangan kiri
sekitar 2 cm distal maleus medialis. Tampak
darah segar yang keluar terus menerus dari luka.
Kaki edema dan tampak hiperemis.
Palpasi: Nyeri tekan (+), hangat (+), pulse distal
dari luka teraba.
Status Neurologis
Nervus Cranialis I-XII DBN
Meningeal Sign: Kaku Kuduk (-), Brudzinski (-),
Kernig (-)

DIAGNOSIS IGD
Snake Bite

PENATALAKSANAAN IGD
Cross Incisi
IVFD RL grojok 500cc lalu maintenance 20 tpm
Injeksi SABU (Serum Anti Bisa Ular) : pd area luka, IM
Ceftriaxone 1 gr / 12 jam (IV) Skin Test dulu
Ranitidine 1 ampul / 12 jam
Ketorolac 1 ampul / 8 jam
Dexamethasone 1 ampul / 8 jam
Alprazolam 0-0-1

Pasien merasa pusing, mual, dan muntah 3x setelah digigit ular
berwarna hijau pada kaki kirinya. Kaki kiri terasa cekot cekot.
Setelah sampai di RS, pasien meludah darah, dan BAK berwarna
merah volume banyak. Kaki bengkak dan sangat nyeri. Sesak (-),
seluruh anggota gerak bisa digerakkan, pandangan kabur (-). Pasien
belum pernah mengalami hal serupa, namun pernah digigit ular
sebanyak 10x. Tanda-tanda vital: tekanan darah sempat rendah
lalu kembali dalam batas normal, Heart Rate meningkat; status
generalis: conjungtiva anemis dan tampak multiple petekie pada
abdomen; status lokalis: tampak dua lesi penetrasi diduga akibat
gigitan ular serta darah segar yang keluar terus menerus, kaki
edema 15-30cm, nyeri tekan. Tidak ada tanda-tanda klinis untuk
kelainan neurologis, uremia, dan asidosis.
Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan WBC yg meningkat, HB
yang menurun (anemia), HCT menurun, serta PLT yang
menurun, kimia darah menunjukkan SGOT/SGPT yang sedikit
meningkat, GDS yang meningkat, BUN/SC yang sedikit meningkat.
Pemeriksaan urin lengkap menunjukkan hematuria, proteinuria, dan
bilirubinuria. Urine output + 1000cc/24 jam. Hasil rontgen thorax
dalam batas normal.







Dengan mengikuti alur algoritma WHO 2005,
dan derajat keparahan menurut Shasikiran &
T.A. Senthilnathan (2003), maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa diagnosis pasien adalah
Snake Bite derajat III oleh Ular Jenis Viperidea
diduga spesies Cryptelytrops albolabris (Ular
Viper Hijau) dan Anemia ec perdarahan DD: ec
hemolisis.

Definisi
Snakebite adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan ular berupa
luka tusukan dari taring ular dan kadang menyebabkan
envenomation (masuknya bisa dari gigitan hewan berbisa ke dalam
mangsanya).
Klasifikasi (dua kelompok penting di Asia Tenggara)
Famili Elapidae: taring pendek permanen, berbentuk panjang,
kurus, warna seragam dengan sisik simetris halus pada dorsum
kepala. (adalah kobra, king kobra, ular karang (coral snakes), ular
Australasia dan ular laut.
Famili Viperidae: taring panjang (solenoglyph) yang normalnya
terlipat rapat dengan rahang atas, namun saat ular menyerang,
taring tersebut menjadi erek. Terdapat dua subfamilies, yaitu
typical vipers (Viperinae) and pit vipers (Crotalinae).
Epidemiologi
Pengumpulan data sulit dilakukan karena biasanya
pasien tidak berobat ke rumah sakit melainkan ke
pengobatan tradisional (dukun).
Pada tahun 2008 Kasturiratne et al. Mengestimasi
sebanyak 237.3791.184. 550 envenomings dengan
kematian sebanyak 15.38557.636 di regio Asia-
Pacific (Asia Selatan 14.112-33.666 rate 0.912-
2.175/100.000/tahun; Asia Timur 462-4,829 rate
0.033-0.347/100.000/tahun). Estimasi dengan angka
kematian terbanyak akibat snakebite adalah 14 000
di Asia Selatan.
Di Indonesia kurang dari 20 kematian per tahun
yang terdata oleh WHO, namun diduga beberapa
ribu kematian yang terjadi.
Spesies-spesies penting dari pandangan medis
dibagi menjadi dua ketegori (WHO, 2010):
CATEGORY 1: Highest medical importance: Highly
venomous snakes which are common or widespread
and cause numerous snake-bites, resulting in high
levels of morbidity, disability or mortality.
CATEGORY 2: Secondary medical importance:
Highly venomous snakes capable of causing
morbidity, disability or death, but (a) for which
exact epidemiological or clinical data are lacking or
(b) are less frequently implicated because of their
behaviour, habitat preferences or occurrence in
areas remote to large human populations.
Produsen Serum Anti Bisa Ular (SABU) BioFarma
memproduksi campuran tiga anti-bisa ular terhadap
Naja sputatrix, Bungarus fasciatus and
Calloselasma rhodostoma.
Etiologi
Di Asia Tenggara Snakebite merupakan kecelakaan
pekerjaan yang diderita oleh petani padi; pegawai di
perkebunan karet dan kopi; nelayan dan mereka
yang bekerja dengan ular.
Gigitan ular terjadi ketika ular terinjak di tempat
gelap atau semak-semak oleh seseorang yang
bertelanjang kaki atau hanya memakai sandal.
Kadang juga ular tidak sengaja terpegang di
tumpukan-tumpukan dedaunan atau memang
sengaja di pegang dibuat mainan.
Tidak ada cara yang gampang untuk
mengidentifikasi ular berbahaya dan berbisa, karena
beberapa ular yang tidak berbahaya hampir identik
dengan yang berbahaya.
Pathogenesis
Snake Venom (Bisa Ular): >90% protein. Tiap bisa ular teridiri
dari ratusan protein yang berbeda: enzim-enzim
(menyumbang 80-90% bisa viperidae dan 25-70% bisa
elapidae), non-enzymatic polypeptide toxins, dan protein non-
toxik seperti faktor pertumbuhan saraf.
Enzim bisa ular (Venom Enzymes)
Zinc metalloproteinase haemorrhagins: Merusak
endotel vaskuler, menyebabkan pendarahan.
Procoagulant enzymes
Phospholipase A2 (lecithinase)
Acetylcholinesterase
Hyaluronidase
Proteolytic enzymes (metalloproteinases,
endopeptidases or hydrolases) and polypetide
cytotoxins (cardiotoxins)

Venom polypeptide toxins (neurotoxins)
Neurotoksin postsynapts () seperti -
bungarotoxin and cobrotoxin, terdiri dari 60-62 or
66-74 amino acids. Mereka berikatan dengan
reseptor asetilkolin pada motor endplate.
Neurotoksin presynaps () neurotoxins seperti -
bungarotoxin, crotoxin, dan taipoxin, terdiri dari
120-140 amino acids dan phospholipase A
subunit. Toksin-toksin ini melepas asetilkolin
pada akhiran saraf di neuromuscular junction lalu
merusak akhiran saraf, menghentikan pelepasan
transmitter selanjutnya.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejal lokal pada daerah gigitan:
Terdapat tanda gigitan
Nyeri lokal
Perdarahan lokal
Memar
Lymphangitis (garis merah mengarah ke proksimal tungkai)
Pembesaran limfonodi
Inflamasi (tumor, dolor, kalor)
Bula
Infeksi lokal, pembentukan abses
Nekrosis
Tanda dan Gejala Sistemik
General: Mual, muntah, malaise, nyeri abdomen, lemas,
mengantuk
Cardiovascular (Viperidae): Gangguan penglihatan, pusing,
penurunan kesadaran, syok, hipotensi, aritmia, edem pulmo,
edem konjungtiva (chemosis).

Kelainan Pendarahan dan Koagulasi (Viperidae)
Pendarahan traumatis dari luka baru (termasuk pendarahan
persisten dari luka gigitan) dan dari luka lama yang belum
sembuh.
Perdarahan spontan : gusi, epistaksis, pendarahan dari air
mata, perdarahan intrakranial, hemoptysis, perdarahan rektum
atau melena, hematuria, perdarahan per vaginam, perdarahan
ante partum pada wanita hamil, perdarahan submukosa
(conjungtiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid dan
ekimosis) dan retina.

Neurological (Elapidae, Russells viper):
Penurunan kesadaran, paraesthesiae, kelainan
pengecap dan pembau, kelopak mata yang
terasa berat, ptosis, external ophthalmoplegia,
paralysis otot wajah dan otot lain yang diinervasi
oleh saraf kranial, suara bindeng, atau aphonia,
regurgitasi lewat hidung, sulit menelan ludah,
paralisis respirasi.
Renal (Viperidae dan Ular Laut): Low Back Pain
(Tin-Nu-Swe et al. 1993), haematuria,
haemoglobinuria, myoglobinuria, oliguria/anuria,
tanda dan gejala uraemia (acidotic breathing,
hiccups, nausea, pleuritic chest pain etc.).

Pemeriksaan Penunjang
20-WBCT (20-minute Whole Blood Clott Test)
Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Hemoglobin/Hematokrit
Platelet count
White blood cell count
Disfungsi hepar, peningkatan bilirubin. Potassium,
creatinine, urea atau BUN meningkat pada gagal ginjal
oleh Russells viper.
Analisis gas darah dan pH
Pemeriksaan Urin Lengkap
Adanya sel darah merah menunjukkan perdaharan
glomerulus. Proteinuria masif adalah tanda awal gagal
ginjal akut akibat bisa ular Russells Viper.
Manajemen Snakebite

First Aid
Tenangkan pasien yang cemas
Imobilisasi seluruh tubuh pasien dengan
membaringkan pasien dalam posisi yang nyaman dan
aman, yang terpenting imobilisasi anggota gerak yang
tergigit dengan splint atau sling. [level of evidence E].
Pertimbangkanlah penerapan tekanan-imobilisasi atau
pressure pad, kecuali jika gigitan elapid dapat
ditiadakan. ) [level of evidence O].
Hindari intervensi pada luka gigitan (insisi, menggosok,
membesihkan dengan kasar, aplikasi bahan herbal
atau kimia) [level of evidence O].
Transpor ke rumah sakit
Alat transportasi yang bisa dipakai adalah sepeda,
sepeda motor, dokar, kuda, kereta atau perahu atau
pasien dapat digendong (firemans lift method).

Rapid primary clinical assessment and resuscitation

Medikamentosa
Analgesia: gunakan paracetamol 500 1000 mg / 4
6 jam untuk dewasa dan 10 mg/kgBB untuk anak
atau tramadol 50 mg untuk nyeri berat.
ANTI-BISA ULAR merupakan antidotum spesifik
untuk bisa ular. Keputusan terpenting dalam
manajemen Snakebite adalah perlu atau tidak-nya
pemberian anti-bisa ular.
Serum Anti-bisa Ular (SABU) merupakan
immunoglobulin dimurnikan dari plasma kuda,
keledai, atau kambing yang telah diimunisasi dengan
bisa ular dari satu spesies atau lebih.
Monovalent (monospesifik) hanya dapat menetralisir satu
spesies ular.
Polyvalent (polyspecific) dapat menetralisir bisa ular yang
berasal dari beberapa spesies
Hati-hati reaksi anafilaktik dari SABU
Reaksi anafilaksis awal: 10-180 menit beri Epinefrin
(adrenaline) 0.5 mg untuk dewasa dan 0.01 mg/kg
untuk anak-anak secara IM (lateral atas paha) dapat
diulang tiap 5 10 menit. Tambahkan chlorphenamine
maleat IV plus hydrocortisone IV.
Reaksi Pirogenic (endotoxin): Biasanya terjadi 1 2
jam setelah pemberian SABU. Seperti di atas dan
ditambakan anti piretik dan resusitasi cairan.
Late (serum sickness type) reaction: terjadi 1 12
(mean 7) hari setelah pengobatan. Beri anti-histamin
oral selama 5 hari. Jika tidak membaik beri
prednisolone selama 5 hari.
SABU dengan sediaan kering (freeze-dried) dilarutkan
dengan 10 ml aquades per ampul (WHO, 2010).
Ada dua cara pemberian:
Intravenous push injection: SABU sediaan kering atau
cair diberikan intravena secara pelan-pelan (tidak lebih
dari 2 ml/menit). Cara ini memberikan keuntungan yaitu
dokter, atau perawat berada di dekat pasien saat
gejala-gejala awal reaksi anafilaktik timbul.
Intravenous infusion: SABU sediaan kering atau cair di
larutkan ke dalam 5-10 ml cairan isotonis per kilogram
berat badan (i.e. 250-500 ml cairan isotonis atau 5%
dextrose pada pasien dewasa) dan diberikan dengan
kecepatan konstan dalam waktu satu jam.

Dosis SABU:

Ada pula dosis diberikan sesuai derajat
keparahan menurut R, Gandharba et al.
(2011)

Penatalaksanaan snakebite neurotoxin
Danger: Scene Safety: Membawa penderita ke tempat
yang aman (keluar dari semak, keluar dari air)
Response: Merangsang pasien dengan
menggoyangkan badannya sambil menanyakan
keadaannya. Jika tidak ada respon panggil bantuan.
Airway: Basic Airway Management dan Advanced
Airway Management
Breathing: Jika pernapasan adekuat (dengan atau
tanpa perasat membuka jalan napas) posisikan
penderita dengan recovery position. Jika pernapasan
tidak adekuat: maka lakukan ventilasi bantuan.
Pemberian obat anticholinesterase

Pengobatan Konservatif jika tidak tersedia
SABU:
Neurotoxic dengan paralisis respirasi: Ventilasi
bantuan dengan udara ruangan atau oksigen terbukti
efektif. Obat anticholinesterases dapat dicoba.
Kelainan hemostatis: Tirah baring absolut untuk
menghindari trauma minor; transfusi faktor-faktor
koagulan dan platelet; idealnya fresh frozen plasma
(FFP) and cryoprecipitate dengan konsentrat platelet,
atau jika tidak tersedia gunakan fresh whole blood.
Injeksi intramuskuler harus dihindari.
Syok dan kerusakan myocard: Hipovolemia dapat
dikoreksi dengan colloid/crystalloids, observasi central
venous pressure. Ancillary pressor drugs (dopamine or
epinephrine-adrenaline) dapat digunakan. Pasien
dengan hipotensi disertai bradikardi harus diobati
dengan atropine.
Gagal Ginjal Akut: Terapi konservatif atau dialisis
Urin berwarna Coklat Tua (Hemoglobinuria atau
Myoglobinuria): Koreksi hipovolemia dengan cairan
intravena, koreksi asidosis dengan pemberian 50 100
mmol sodium bicarbonat secara infus intravena dan
sengan analogi crush syndrome, berikan infus
mannitol tunggal. 200 ml mannitol 20% dapat diberikan
dalam jangka lebih dari 20 menit, namun ini tidak boleh
di ulang karena dapat menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit.
Severe local envenoming: Nekrosis lokal,
intracompartmental syndromes dan trombosis
pembuluh darah besar terjadi pada pasien yang tidak
bisa diobati dengan SABU. Tindakan operatif mungkin
diperlukan
Antimikroba profilaksis yang digunakan adalah
broadspectrum (amoxicillin atau cephalosporine plus
single dose gentamisin plus metronidazol) dan tetanus
profilaksis. Tetanus profilaksis harus selalu diberikan
karena bakteri Clostrisium tetani merupakan flora oral
normal pada ular.
Gejala-gejala yang dialami pasien seperti pusing, mual,
dan muntah adalah akibat ketidakstabilan emosi yang
dialami oleh kebanyakan penderita snakebite. Nyeri dan
pembengkakan pada anggota gerak yang tergigit ular
adalah reaksi inflamasi akibat absorbsi bisa ular ke
dalam jaringan lokal. BAK merah, meludah darah diduga
akibat coagulation consumption dan kerusakan endotel
vasuler yang disebabkan oleh bisa ular (enzim
prokoagulan dan zinc metalloproteinase haemorrhagins).

Tanda-tanda seperti hipotensi dan edema menunjukkan
adanya ekstravasasi cairan dan komponen darah dari
ruang intravaskuler ke dalam interstisial bisa disebabkan
reaksi inflamasi maupun efek langsung dari bisa ular
(enzim zinc metalloproteinase haemorrhagins), dan
peningkatan heart rate sebagai kompensasi tubuh. Pada
area lokal, edema, nyeri, hiperemis dan hangat pada
palpasi merupakan tanda-tanda inflamasi. Adanya tanda-
tanda perdarahan spontan seperti petekie dan
perdarahan yang keluar terus menerus dapat dipastikan
karena gangguan koagulasi darah.

Dari pemeriksaan darah lengkap didapatkan WBC yang meningkat
menandakan terjadinya envenoming sistemik, HB yang menurun
dapat disebabkan oleh a) hemolisis atau/dan b) perdarahan. Untuk
mengetahui secara pasti dapat dilakukan apusan darah tepi dan
biliribun indirek. HCT menurun bisa karena perdarahan atau
hemolisis. PLT menurun adalah akibat gangguan koagulabilitas
darah, juga dapat diakibatkan langsung oleh bisa ular. Jika dilakukan
pemeriksaan CT/BT diduga tampak perpanjangan waktu
penjendalan darah. Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan
adalah 20-WBCT yang mudah, murah dan cepat untuk
mendiagnosis jenis ular penyebab snakebite. Peningkatan BUN/SC
terjadi akibat kerusakan endotel vaskuler di glomerulus, namun
belum menunjukkan adanya kegagalan ginjal, sama halnya dengan
peningkatan SGOT/SGPT di hepar.
Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah 20-WBCT
yang mudah, murah dan cepat untuk mendiagnosis jenis ular
penyebab snakebite.
Dari pemeriksaan urinalisis didapatkan hasil hematuria, proteinuria,
dan bilirubinuria. Adanya eritrosit dalam urin menunjukkan
perdarahan glomerulus akibat kerusakan endotel oleh bisa ular yang
masuk melalui arteriol afferen. Proteinuria pun menunjukkan
kerusakan glomerulus namun masih minimal. Bilirubinuria dapat
terjadi akibat perpecahan sel darah merah, namun belum jelas
apakah karena efek langsung bisa ular atau karena ekstravasasi sel
darah merah ke interstisial. Jika dimungkinkan dilakukan pemeriksan
dipstik untuk mengetahui adanya hemoglobin atau myoglobin yang
menandakan adanya rhabdomyolisis. Urin output (+ 1000cc/24 jam)
menunjukkan kerja ginjal yang masih baik.

First Aid. Imobilisasi anggota gerak yang terkena gigitan harus
dilakukan. Pergerakan anggota gerak dan kontraksi otot dapat
meningkatkan absorbsi bisa ular ke dalam aliran pembuluh
darah (Indian National Protocols, WHO, dan Ray, et al).
Perlakuan cross incisi harus dihindari. Intervensi apapun pada
luka gigitan harus dihindari karena menyebabkan nyeri dan
meningkatkan absorbsi bisa ular dan meningkatkan
perdarahan.
Pemberian SABU: Indikasi pemberian SABU pada pasien
sudah benar karena sudah tampak gejala-gejala sistemik
subjektif maupun objektif.

Cara pemberian SABU: Pemberian SABU secara IM
pada luka tidak efektif dan menimbulkan nyeri, serta
meningkatkan tekanan intrakompartemen. Pemberian
SABU secara IM melalui regio gluteal lambat mencapai
aliran darah, juga menimbulkan hematoma pada pasien
yang memiliki kelainan koagulasi.
Dosis SABU menurut Guideline WHO 2012 jika
berdasarkan spesies dan R, Gandharba berdasarkan
derajat keparahan adalah sebanyak 100 ml atau 20 vial,
jika yang dipakai SABU polyvalent buatan Indonesia.
Pemberian analgesia. Pemberian NSAID sebaiknya
dihindari karena menimbulkan perdarahan. Sebagai
substitusi bisa diberikan paracetamol 500-1000 mg/ 4 - 6
jam atau tramadol 50 mg per oral untuk nyeri hebat
(Indian National Protocols 2007).
Menurut WHO, Asita de Silva et al, dan Chocrane
systematic review, pemberian steroid (Hydrocortisone IV)
memberikan perbaikan untuk reaksi anafilaktik, namun
tidak signifikan.
Pemberian Anti-Fibrinolysis tidak dianjurkan dipakai pada
semua kasus snakebite karena efeknya yang
mengganggu fibrinolysis alami tubuh terhadap
pembentukan fibrin oleh bisa ular.
Pemberian Anti-Tetanus Serum (ATS) dilakukan
mengingat luka berupa luka penetrasi dan Clostridium
tetani merupakan bakteri patogen yang normal terdapat
dalam mulut ular.

Jika manajemen Snakebite baik dan benar, tanda dan
gejala pasien dapat reda dengan lebih cepat, length of
stay berkurang, dan pengeluaran obat dan peralatan
medis dapat dikurangi. Namun SABU yang tersedia
untuk memenuhi dosis kurang memadai, sehingga target
yang diinginkan masih sulit dicapai.

Asita de Silva, H., Pathmeswaran, A., Ranasinha, CD.,
Jayamanne, S., dan Samarakoon, SB. 2011. Low-Dose
Adrenaline, Promethazine, and Hydrocortisone in the
Prevention of Acute Adverse Reactions to Antivenom
following Snakebite: A Randomised, Double-Blind,
Placebo-Controlled Trial. PLoS Med 8(5): e1000435.
doi:10.1371/journal.pmed.1000435
Indian National Snakebite Protocol Consultation Meeting.
2007. Delhi.
Omogbai, EKI., Nworgu, ZAM., Imhafidon, MA., Ikpeme, AA.,
dan Ojo, DO. 2002. Snake bites in Nigeria: A study of the
prevalence and treatment in Benin City. Trop J Pharm Res,
June 2002; 1(1)
Ray, G., Parija BL., dan Kumar LR. 2011. Advances In
Management Of Snake Bite. Medicine Update-2011 : 539
43.

South Asian Cochrane Network & Centre. 2012.
Interventions for snake bites : An overview of current
research evidence from South Asia.
Warell, DA. 2010. Guidelines For The Mangement of
Snake Bites. World Health Organization Regional Office
for South-East Asia.
Warrel, DA. 2005. WHO Guidelines For The Clinical
Management of Snake Bite In The South-East Asia
region. South-East Asian Journal Of Tropical Medicine
and Public Health, vol. 30, supplement 1, 1999 Regional
office, New Delhi, reprint 2005.

Anda mungkin juga menyukai