Snake bite dikenal sebagai occupational hazard atau
kebahayaan bekerja untuk para petani, pekerja perkebunan dan para pekerja luar ruangan lainnya yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Hal ini tidak hanya berlaku pada suatu bagian saja; namun sudah menjadi isu global. Tidak ada data akurat tentang terjadinya insidensi snakebite serta kejadian morbiditas dan mortalitas yang menyertai. Namun, kejadian sebenarnya sudah pasti lebih tinggi dibandingkan dengan yang dilaporkan. Hal ini disebabkan oleh penderita yang tidak langsung berobat ke rumah sakit melainkan ke pengobatan tradisional. Karena kematian akibat snakebite dapat dicegah, maka ia termasuk kegawatdaruratan.
IGD IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. I. H. Umur : 40 Tahun Jenis Kelamin : Laki - Laki Alamat : Pancordao Long Kedung Masuk RS : 6 September 2012 No. RM : 289705
ANAMNESIS
Keluhan Utama Pasien digigit ular 1 jam SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD atas rujukan Pukesmas Mantang karena digigit ular pada kaki kiri 1 jam SMRS. Pasien tergigit saat sedang mencari belut di sawah. Ular berwarna hijau dengan buntut berwarna merah. Karena pasien sudah sering digigit ular, pasien tidak panik, namun setelah kira-kira 100 meter berjalan, pasien merasa pusing, mual, dan muntah 3x. Kaki kiri terasa cekot cekot. Setelah sampai di RS, pasien meludah darah, dan BAK berwarna merah volume banyak. Kaki bengkak dan sangat nyeri. Sesak (-), seluruh anggota gerak bisa digerakkan, pandangan kabur (-), mengantuk (-), nyeri seluruh tubuh (-).
Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat sakit serupa (-), riwayat digigit ular (+) 10x, riwayat kencing manis (-), riwayat tekanan darah tinggi (-).
Riwayat Penyakit Keluarga Ayah pernah digigit ular. Riw kencing manis (?), riw tekanan darah tinggi (?).
Status Generalis Kesadaran : Compos Mentis Keadaan Umum : Sedang Kepala dan Leher : Conjunctiva anemis -/-, sklera ikterik -/- , pupil isokor, RC (direk indirek) +/+, cyanosis (-), trismus (-), JVP (- ), pembesaran lymphonodi (-). Thorax : Pulmo : Rongga dada simetris, vokal fremitus dbn, palpasi sonor seluruh lapang paru, SD Vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-) Cor : IC linea midcalvicula sin SIC V, apex kuat angkat, S1S2 reguler, bising (-), gallop (-). Abdomen : Distensi (-), petekie/purpura (-), bising usus (+) dbn, tes undulasi/pekak beralih (-/-) organomegaly (-), nyeri ketok ginjal (-), nyeri tekan pd daerah epigastrium, defen muscular (- ) Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2, clubbing finger (-), jaringan bawah kuku tidak pucat, KO 5/5/5/5.
Status Lokalis Inspeksi: Tampak dua luka penetrasi diduga akibat gigitan ular pada daerah pergelangan kiri sekitar 2 cm distal maleus medialis. Tampak darah segar yang keluar terus menerus dari luka. Kaki edema dan tampak hiperemis. Palpasi: Nyeri tekan (+), hangat (+), pulse distal dari luka teraba. Status Neurologis Nervus Cranialis I-XII DBN Meningeal Sign: Kaku Kuduk (-), Brudzinski (-), Kernig (-)
DIAGNOSIS IGD Snake Bite
PENATALAKSANAAN IGD Cross Incisi IVFD RL grojok 500cc lalu maintenance 20 tpm Injeksi SABU (Serum Anti Bisa Ular) : pd area luka, IM Ceftriaxone 1 gr / 12 jam (IV) Skin Test dulu Ranitidine 1 ampul / 12 jam Ketorolac 1 ampul / 8 jam Dexamethasone 1 ampul / 8 jam Alprazolam 0-0-1
Pasien merasa pusing, mual, dan muntah 3x setelah digigit ular berwarna hijau pada kaki kirinya. Kaki kiri terasa cekot cekot. Setelah sampai di RS, pasien meludah darah, dan BAK berwarna merah volume banyak. Kaki bengkak dan sangat nyeri. Sesak (-), seluruh anggota gerak bisa digerakkan, pandangan kabur (-). Pasien belum pernah mengalami hal serupa, namun pernah digigit ular sebanyak 10x. Tanda-tanda vital: tekanan darah sempat rendah lalu kembali dalam batas normal, Heart Rate meningkat; status generalis: conjungtiva anemis dan tampak multiple petekie pada abdomen; status lokalis: tampak dua lesi penetrasi diduga akibat gigitan ular serta darah segar yang keluar terus menerus, kaki edema 15-30cm, nyeri tekan. Tidak ada tanda-tanda klinis untuk kelainan neurologis, uremia, dan asidosis. Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan WBC yg meningkat, HB yang menurun (anemia), HCT menurun, serta PLT yang menurun, kimia darah menunjukkan SGOT/SGPT yang sedikit meningkat, GDS yang meningkat, BUN/SC yang sedikit meningkat. Pemeriksaan urin lengkap menunjukkan hematuria, proteinuria, dan bilirubinuria. Urine output + 1000cc/24 jam. Hasil rontgen thorax dalam batas normal.
Dengan mengikuti alur algoritma WHO 2005, dan derajat keparahan menurut Shasikiran & T.A. Senthilnathan (2003), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa diagnosis pasien adalah Snake Bite derajat III oleh Ular Jenis Viperidea diduga spesies Cryptelytrops albolabris (Ular Viper Hijau) dan Anemia ec perdarahan DD: ec hemolisis.
Definisi Snakebite adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan ular berupa luka tusukan dari taring ular dan kadang menyebabkan envenomation (masuknya bisa dari gigitan hewan berbisa ke dalam mangsanya). Klasifikasi (dua kelompok penting di Asia Tenggara) Famili Elapidae: taring pendek permanen, berbentuk panjang, kurus, warna seragam dengan sisik simetris halus pada dorsum kepala. (adalah kobra, king kobra, ular karang (coral snakes), ular Australasia dan ular laut. Famili Viperidae: taring panjang (solenoglyph) yang normalnya terlipat rapat dengan rahang atas, namun saat ular menyerang, taring tersebut menjadi erek. Terdapat dua subfamilies, yaitu typical vipers (Viperinae) and pit vipers (Crotalinae). Epidemiologi Pengumpulan data sulit dilakukan karena biasanya pasien tidak berobat ke rumah sakit melainkan ke pengobatan tradisional (dukun). Pada tahun 2008 Kasturiratne et al. Mengestimasi sebanyak 237.3791.184. 550 envenomings dengan kematian sebanyak 15.38557.636 di regio Asia- Pacific (Asia Selatan 14.112-33.666 rate 0.912- 2.175/100.000/tahun; Asia Timur 462-4,829 rate 0.033-0.347/100.000/tahun). Estimasi dengan angka kematian terbanyak akibat snakebite adalah 14 000 di Asia Selatan. Di Indonesia kurang dari 20 kematian per tahun yang terdata oleh WHO, namun diduga beberapa ribu kematian yang terjadi. Spesies-spesies penting dari pandangan medis dibagi menjadi dua ketegori (WHO, 2010): CATEGORY 1: Highest medical importance: Highly venomous snakes which are common or widespread and cause numerous snake-bites, resulting in high levels of morbidity, disability or mortality. CATEGORY 2: Secondary medical importance: Highly venomous snakes capable of causing morbidity, disability or death, but (a) for which exact epidemiological or clinical data are lacking or (b) are less frequently implicated because of their behaviour, habitat preferences or occurrence in areas remote to large human populations. Produsen Serum Anti Bisa Ular (SABU) BioFarma memproduksi campuran tiga anti-bisa ular terhadap Naja sputatrix, Bungarus fasciatus and Calloselasma rhodostoma. Etiologi Di Asia Tenggara Snakebite merupakan kecelakaan pekerjaan yang diderita oleh petani padi; pegawai di perkebunan karet dan kopi; nelayan dan mereka yang bekerja dengan ular. Gigitan ular terjadi ketika ular terinjak di tempat gelap atau semak-semak oleh seseorang yang bertelanjang kaki atau hanya memakai sandal. Kadang juga ular tidak sengaja terpegang di tumpukan-tumpukan dedaunan atau memang sengaja di pegang dibuat mainan. Tidak ada cara yang gampang untuk mengidentifikasi ular berbahaya dan berbisa, karena beberapa ular yang tidak berbahaya hampir identik dengan yang berbahaya. Pathogenesis Snake Venom (Bisa Ular): >90% protein. Tiap bisa ular teridiri dari ratusan protein yang berbeda: enzim-enzim (menyumbang 80-90% bisa viperidae dan 25-70% bisa elapidae), non-enzymatic polypeptide toxins, dan protein non- toxik seperti faktor pertumbuhan saraf. Enzim bisa ular (Venom Enzymes) Zinc metalloproteinase haemorrhagins: Merusak endotel vaskuler, menyebabkan pendarahan. Procoagulant enzymes Phospholipase A2 (lecithinase) Acetylcholinesterase Hyaluronidase Proteolytic enzymes (metalloproteinases, endopeptidases or hydrolases) and polypetide cytotoxins (cardiotoxins)
Venom polypeptide toxins (neurotoxins) Neurotoksin postsynapts () seperti - bungarotoxin and cobrotoxin, terdiri dari 60-62 or 66-74 amino acids. Mereka berikatan dengan reseptor asetilkolin pada motor endplate. Neurotoksin presynaps () neurotoxins seperti - bungarotoxin, crotoxin, dan taipoxin, terdiri dari 120-140 amino acids dan phospholipase A subunit. Toksin-toksin ini melepas asetilkolin pada akhiran saraf di neuromuscular junction lalu merusak akhiran saraf, menghentikan pelepasan transmitter selanjutnya. Tanda dan Gejala Tanda dan gejal lokal pada daerah gigitan: Terdapat tanda gigitan Nyeri lokal Perdarahan lokal Memar Lymphangitis (garis merah mengarah ke proksimal tungkai) Pembesaran limfonodi Inflamasi (tumor, dolor, kalor) Bula Infeksi lokal, pembentukan abses Nekrosis Tanda dan Gejala Sistemik General: Mual, muntah, malaise, nyeri abdomen, lemas, mengantuk Cardiovascular (Viperidae): Gangguan penglihatan, pusing, penurunan kesadaran, syok, hipotensi, aritmia, edem pulmo, edem konjungtiva (chemosis).
Kelainan Pendarahan dan Koagulasi (Viperidae) Pendarahan traumatis dari luka baru (termasuk pendarahan persisten dari luka gigitan) dan dari luka lama yang belum sembuh. Perdarahan spontan : gusi, epistaksis, pendarahan dari air mata, perdarahan intrakranial, hemoptysis, perdarahan rektum atau melena, hematuria, perdarahan per vaginam, perdarahan ante partum pada wanita hamil, perdarahan submukosa (conjungtiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid dan ekimosis) dan retina.
Neurological (Elapidae, Russells viper): Penurunan kesadaran, paraesthesiae, kelainan pengecap dan pembau, kelopak mata yang terasa berat, ptosis, external ophthalmoplegia, paralysis otot wajah dan otot lain yang diinervasi oleh saraf kranial, suara bindeng, atau aphonia, regurgitasi lewat hidung, sulit menelan ludah, paralisis respirasi. Renal (Viperidae dan Ular Laut): Low Back Pain (Tin-Nu-Swe et al. 1993), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria, oliguria/anuria, tanda dan gejala uraemia (acidotic breathing, hiccups, nausea, pleuritic chest pain etc.).
Pemeriksaan Penunjang 20-WBCT (20-minute Whole Blood Clott Test) Pemeriksaan Penunjang Lainnya Hemoglobin/Hematokrit Platelet count White blood cell count Disfungsi hepar, peningkatan bilirubin. Potassium, creatinine, urea atau BUN meningkat pada gagal ginjal oleh Russells viper. Analisis gas darah dan pH Pemeriksaan Urin Lengkap Adanya sel darah merah menunjukkan perdaharan glomerulus. Proteinuria masif adalah tanda awal gagal ginjal akut akibat bisa ular Russells Viper. Manajemen Snakebite
First Aid Tenangkan pasien yang cemas Imobilisasi seluruh tubuh pasien dengan membaringkan pasien dalam posisi yang nyaman dan aman, yang terpenting imobilisasi anggota gerak yang tergigit dengan splint atau sling. [level of evidence E]. Pertimbangkanlah penerapan tekanan-imobilisasi atau pressure pad, kecuali jika gigitan elapid dapat ditiadakan. ) [level of evidence O]. Hindari intervensi pada luka gigitan (insisi, menggosok, membesihkan dengan kasar, aplikasi bahan herbal atau kimia) [level of evidence O]. Transpor ke rumah sakit Alat transportasi yang bisa dipakai adalah sepeda, sepeda motor, dokar, kuda, kereta atau perahu atau pasien dapat digendong (firemans lift method).
Rapid primary clinical assessment and resuscitation
Medikamentosa Analgesia: gunakan paracetamol 500 1000 mg / 4 6 jam untuk dewasa dan 10 mg/kgBB untuk anak atau tramadol 50 mg untuk nyeri berat. ANTI-BISA ULAR merupakan antidotum spesifik untuk bisa ular. Keputusan terpenting dalam manajemen Snakebite adalah perlu atau tidak-nya pemberian anti-bisa ular. Serum Anti-bisa Ular (SABU) merupakan immunoglobulin dimurnikan dari plasma kuda, keledai, atau kambing yang telah diimunisasi dengan bisa ular dari satu spesies atau lebih. Monovalent (monospesifik) hanya dapat menetralisir satu spesies ular. Polyvalent (polyspecific) dapat menetralisir bisa ular yang berasal dari beberapa spesies Hati-hati reaksi anafilaktik dari SABU Reaksi anafilaksis awal: 10-180 menit beri Epinefrin (adrenaline) 0.5 mg untuk dewasa dan 0.01 mg/kg untuk anak-anak secara IM (lateral atas paha) dapat diulang tiap 5 10 menit. Tambahkan chlorphenamine maleat IV plus hydrocortisone IV. Reaksi Pirogenic (endotoxin): Biasanya terjadi 1 2 jam setelah pemberian SABU. Seperti di atas dan ditambakan anti piretik dan resusitasi cairan. Late (serum sickness type) reaction: terjadi 1 12 (mean 7) hari setelah pengobatan. Beri anti-histamin oral selama 5 hari. Jika tidak membaik beri prednisolone selama 5 hari. SABU dengan sediaan kering (freeze-dried) dilarutkan dengan 10 ml aquades per ampul (WHO, 2010). Ada dua cara pemberian: Intravenous push injection: SABU sediaan kering atau cair diberikan intravena secara pelan-pelan (tidak lebih dari 2 ml/menit). Cara ini memberikan keuntungan yaitu dokter, atau perawat berada di dekat pasien saat gejala-gejala awal reaksi anafilaktik timbul. Intravenous infusion: SABU sediaan kering atau cair di larutkan ke dalam 5-10 ml cairan isotonis per kilogram berat badan (i.e. 250-500 ml cairan isotonis atau 5% dextrose pada pasien dewasa) dan diberikan dengan kecepatan konstan dalam waktu satu jam.
Dosis SABU:
Ada pula dosis diberikan sesuai derajat keparahan menurut R, Gandharba et al. (2011)
Penatalaksanaan snakebite neurotoxin Danger: Scene Safety: Membawa penderita ke tempat yang aman (keluar dari semak, keluar dari air) Response: Merangsang pasien dengan menggoyangkan badannya sambil menanyakan keadaannya. Jika tidak ada respon panggil bantuan. Airway: Basic Airway Management dan Advanced Airway Management Breathing: Jika pernapasan adekuat (dengan atau tanpa perasat membuka jalan napas) posisikan penderita dengan recovery position. Jika pernapasan tidak adekuat: maka lakukan ventilasi bantuan. Pemberian obat anticholinesterase
Pengobatan Konservatif jika tidak tersedia SABU: Neurotoxic dengan paralisis respirasi: Ventilasi bantuan dengan udara ruangan atau oksigen terbukti efektif. Obat anticholinesterases dapat dicoba. Kelainan hemostatis: Tirah baring absolut untuk menghindari trauma minor; transfusi faktor-faktor koagulan dan platelet; idealnya fresh frozen plasma (FFP) and cryoprecipitate dengan konsentrat platelet, atau jika tidak tersedia gunakan fresh whole blood. Injeksi intramuskuler harus dihindari. Syok dan kerusakan myocard: Hipovolemia dapat dikoreksi dengan colloid/crystalloids, observasi central venous pressure. Ancillary pressor drugs (dopamine or epinephrine-adrenaline) dapat digunakan. Pasien dengan hipotensi disertai bradikardi harus diobati dengan atropine. Gagal Ginjal Akut: Terapi konservatif atau dialisis Urin berwarna Coklat Tua (Hemoglobinuria atau Myoglobinuria): Koreksi hipovolemia dengan cairan intravena, koreksi asidosis dengan pemberian 50 100 mmol sodium bicarbonat secara infus intravena dan sengan analogi crush syndrome, berikan infus mannitol tunggal. 200 ml mannitol 20% dapat diberikan dalam jangka lebih dari 20 menit, namun ini tidak boleh di ulang karena dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit. Severe local envenoming: Nekrosis lokal, intracompartmental syndromes dan trombosis pembuluh darah besar terjadi pada pasien yang tidak bisa diobati dengan SABU. Tindakan operatif mungkin diperlukan Antimikroba profilaksis yang digunakan adalah broadspectrum (amoxicillin atau cephalosporine plus single dose gentamisin plus metronidazol) dan tetanus profilaksis. Tetanus profilaksis harus selalu diberikan karena bakteri Clostrisium tetani merupakan flora oral normal pada ular. Gejala-gejala yang dialami pasien seperti pusing, mual, dan muntah adalah akibat ketidakstabilan emosi yang dialami oleh kebanyakan penderita snakebite. Nyeri dan pembengkakan pada anggota gerak yang tergigit ular adalah reaksi inflamasi akibat absorbsi bisa ular ke dalam jaringan lokal. BAK merah, meludah darah diduga akibat coagulation consumption dan kerusakan endotel vasuler yang disebabkan oleh bisa ular (enzim prokoagulan dan zinc metalloproteinase haemorrhagins).
Tanda-tanda seperti hipotensi dan edema menunjukkan adanya ekstravasasi cairan dan komponen darah dari ruang intravaskuler ke dalam interstisial bisa disebabkan reaksi inflamasi maupun efek langsung dari bisa ular (enzim zinc metalloproteinase haemorrhagins), dan peningkatan heart rate sebagai kompensasi tubuh. Pada area lokal, edema, nyeri, hiperemis dan hangat pada palpasi merupakan tanda-tanda inflamasi. Adanya tanda- tanda perdarahan spontan seperti petekie dan perdarahan yang keluar terus menerus dapat dipastikan karena gangguan koagulasi darah.
Dari pemeriksaan darah lengkap didapatkan WBC yang meningkat menandakan terjadinya envenoming sistemik, HB yang menurun dapat disebabkan oleh a) hemolisis atau/dan b) perdarahan. Untuk mengetahui secara pasti dapat dilakukan apusan darah tepi dan biliribun indirek. HCT menurun bisa karena perdarahan atau hemolisis. PLT menurun adalah akibat gangguan koagulabilitas darah, juga dapat diakibatkan langsung oleh bisa ular. Jika dilakukan pemeriksaan CT/BT diduga tampak perpanjangan waktu penjendalan darah. Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah 20-WBCT yang mudah, murah dan cepat untuk mendiagnosis jenis ular penyebab snakebite. Peningkatan BUN/SC terjadi akibat kerusakan endotel vaskuler di glomerulus, namun belum menunjukkan adanya kegagalan ginjal, sama halnya dengan peningkatan SGOT/SGPT di hepar. Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah 20-WBCT yang mudah, murah dan cepat untuk mendiagnosis jenis ular penyebab snakebite. Dari pemeriksaan urinalisis didapatkan hasil hematuria, proteinuria, dan bilirubinuria. Adanya eritrosit dalam urin menunjukkan perdarahan glomerulus akibat kerusakan endotel oleh bisa ular yang masuk melalui arteriol afferen. Proteinuria pun menunjukkan kerusakan glomerulus namun masih minimal. Bilirubinuria dapat terjadi akibat perpecahan sel darah merah, namun belum jelas apakah karena efek langsung bisa ular atau karena ekstravasasi sel darah merah ke interstisial. Jika dimungkinkan dilakukan pemeriksan dipstik untuk mengetahui adanya hemoglobin atau myoglobin yang menandakan adanya rhabdomyolisis. Urin output (+ 1000cc/24 jam) menunjukkan kerja ginjal yang masih baik.
First Aid. Imobilisasi anggota gerak yang terkena gigitan harus dilakukan. Pergerakan anggota gerak dan kontraksi otot dapat meningkatkan absorbsi bisa ular ke dalam aliran pembuluh darah (Indian National Protocols, WHO, dan Ray, et al). Perlakuan cross incisi harus dihindari. Intervensi apapun pada luka gigitan harus dihindari karena menyebabkan nyeri dan meningkatkan absorbsi bisa ular dan meningkatkan perdarahan. Pemberian SABU: Indikasi pemberian SABU pada pasien sudah benar karena sudah tampak gejala-gejala sistemik subjektif maupun objektif.
Cara pemberian SABU: Pemberian SABU secara IM pada luka tidak efektif dan menimbulkan nyeri, serta meningkatkan tekanan intrakompartemen. Pemberian SABU secara IM melalui regio gluteal lambat mencapai aliran darah, juga menimbulkan hematoma pada pasien yang memiliki kelainan koagulasi. Dosis SABU menurut Guideline WHO 2012 jika berdasarkan spesies dan R, Gandharba berdasarkan derajat keparahan adalah sebanyak 100 ml atau 20 vial, jika yang dipakai SABU polyvalent buatan Indonesia. Pemberian analgesia. Pemberian NSAID sebaiknya dihindari karena menimbulkan perdarahan. Sebagai substitusi bisa diberikan paracetamol 500-1000 mg/ 4 - 6 jam atau tramadol 50 mg per oral untuk nyeri hebat (Indian National Protocols 2007). Menurut WHO, Asita de Silva et al, dan Chocrane systematic review, pemberian steroid (Hydrocortisone IV) memberikan perbaikan untuk reaksi anafilaktik, namun tidak signifikan. Pemberian Anti-Fibrinolysis tidak dianjurkan dipakai pada semua kasus snakebite karena efeknya yang mengganggu fibrinolysis alami tubuh terhadap pembentukan fibrin oleh bisa ular. Pemberian Anti-Tetanus Serum (ATS) dilakukan mengingat luka berupa luka penetrasi dan Clostridium tetani merupakan bakteri patogen yang normal terdapat dalam mulut ular.
Jika manajemen Snakebite baik dan benar, tanda dan gejala pasien dapat reda dengan lebih cepat, length of stay berkurang, dan pengeluaran obat dan peralatan medis dapat dikurangi. Namun SABU yang tersedia untuk memenuhi dosis kurang memadai, sehingga target yang diinginkan masih sulit dicapai.
Asita de Silva, H., Pathmeswaran, A., Ranasinha, CD., Jayamanne, S., dan Samarakoon, SB. 2011. Low-Dose Adrenaline, Promethazine, and Hydrocortisone in the Prevention of Acute Adverse Reactions to Antivenom following Snakebite: A Randomised, Double-Blind, Placebo-Controlled Trial. PLoS Med 8(5): e1000435. doi:10.1371/journal.pmed.1000435 Indian National Snakebite Protocol Consultation Meeting. 2007. Delhi. Omogbai, EKI., Nworgu, ZAM., Imhafidon, MA., Ikpeme, AA., dan Ojo, DO. 2002. Snake bites in Nigeria: A study of the prevalence and treatment in Benin City. Trop J Pharm Res, June 2002; 1(1) Ray, G., Parija BL., dan Kumar LR. 2011. Advances In Management Of Snake Bite. Medicine Update-2011 : 539 43.
South Asian Cochrane Network & Centre. 2012. Interventions for snake bites : An overview of current research evidence from South Asia. Warell, DA. 2010. Guidelines For The Mangement of Snake Bites. World Health Organization Regional Office for South-East Asia. Warrel, DA. 2005. WHO Guidelines For The Clinical Management of Snake Bite In The South-East Asia region. South-East Asian Journal Of Tropical Medicine and Public Health, vol. 30, supplement 1, 1999 Regional office, New Delhi, reprint 2005.