Anda di halaman 1dari 71

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan kekebalan tubuh
bagi seseorang terhadap infeksi suatu penyakit.1 Imunisasi terbukti mampu
mengendalikan dan menghilangkan penyakit menular yang mengancam
nyawa dan diperkirakan kurang lebih 2 sampai 3 juta kematian mengalami
penurunan setiap tahunnya. Ini merupakan salah satu investasi kesehatan
yang paling hemat dengan strategi yang telah terbukti dan mudah diakses oleh
siapapun.(2)
Pembangunan nasional jangka panjang menitikberatkan pada kualitas
hidup sumber daya manusia yang prima. Untuk itu kita bertumpu pada
generasi muda yang memerlukan asuhan dan perlindungan terhadap penyakit
yang dapat menghambat tumbuh kembangnya menuju dewasa yang
berkualitas tinggi guna meneruskan pembangunan nasional jangka panjang
tersebut.(3)
Masa balita merupakan periode emas pertumbuhan fisik, intelektual,
mental dan emosional anak, dimana pemenuhan kebutuhan akan asah, asih
dan asuh melalui pemenuhan aspek fisik hingga biologis (gizi, kebersihan,
imunisasi, vitamin A dan pelayanan kesehatan yang bermutu), kasih sayang
dan stimulasi yang memadai pada usia balita akan meningkatkan
kelangsungan hidup anak dan mengoptimalkan kualitas anak sebagai generasi
penerus Indonesia. Namun sebaliknya masa balita juga periode kritis di mana
segala bentuk penyakit, kekurangan gizi, serta kekurangan kasih sayang
maupun kekurangan stimulasi pada usia ini akan membawa dampak negatif
yang menetap sampai masa dewasa bahkan sampai usia lanjut. Balita yang
mengalami hambatan atau gangguan pertumbuhan dan perkembangan akan
berdampak pada periode kehidupan selanjutnya.(2)
Program pengembangan imunisasi merupakan salah satu kegiatan
yang mendapat prioritas dalam sistem kesehatan nasional. Program ini
bertujuan untuk melindungi bayi dan balita dari PD3I (Penyakit yang dapat

dicegah dengan imunisasi) seperti TBC, difteri, pertusis, tetanus, dan campak.
Diperkirakan PD3I merupakan penyebab dari sekitar 48 kematian bayi dan 56
kematian balita per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun.(2)
Angka kematian bayi (AKB atau IMR) dalam dua dasawarsa terakhir
ini menunjukkan penurunan yang bermakna, yaitu apabila pada tahun 1971
sampai 1980 memerlukan sepuluh tahun untuk menurunkan AKB dari 142
menjadi 112 per 1000 kelahiran hidup dan hanya dalam kurun waktu lima
tahun, yaitu tahun 1985 sampai 1990 Indonesia berhasil menurunkan AKB
dari 71 menjadi 54 dan bahkan dari data 2001 telah menunjukkan angka 48
per 1000 per kelahiran hidup. Penurunan tersebut diikuti dengan angka
kematian balita atau AKABA yang telah mencapai 56 per 1000 kelahiran
hidup.(3)
Prestasi yang gemilang tersebut tidak lain disebabkan karena
penggunaan teknologi tepat guna selama itu, yang memanfaatkan dengan baik
Kartu Menuju Sehat untuk memantau secara akurat tumbuh kembang anak,
peningkatan penggunaan ASI, pemberian segera cairan oralit pada setiap
kasus diare pada anak dan pemberian imunisasi pada balita sesuai Program
Pengembangan Imunisasi (PPI) yaitu dengan BCG, Polio, Hepatitis B, DTP
dan Campak, bahkan pada tahun 1990 Indonesia telah mencapai Universal
Child Immunization (UCI) dengan cakupan imunisasi sebesar 90% pada
anak balita. Ditambah lagi dengan gerakan PIN (Pekan Imunisasi Nasional)
terhadap penyakit Polio pada tahun 1995-1996-1997 secara berturut-turut dan
serentak diseluruh tanah air.(3)
Berdasarkan studi yang dilakukan, ternyata sampai saat ini setiap
tahunnya masih terdapat jutaan anak yang tertular penyakit penyakit
menular tersebut dengan akibat sekitar 120.000 kematian, atau 1 anak setiap
5 menit. kelompok penyakit infeksi merupakan penyebab 2 kematian pada
sebagian kasus (42,9%), yaitu meliputi 3 kematian per 1000 penduduk.
Penyakit penyakit yang dominan pada kelompok ini adalah penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, polio, tuberculosis,
campak dan tetanus. Angka kematian akibat tetanus adalah 19,3%,
sedangkan difteri, polio, dan campak sebesar 9,4%.(4) Meningkatnya angka

kematian ini dapat dicegah secara dini dengan pemberian imunisasi dasar
lengkap yang terdiri dari 1 dosis BCG, 3 dosis DPT, 3 dosis polio, 3 dosis
Hepatitis B dan 1 dosis Campak sebelum berumur 1 tahun. Suatu desa telah
mencapai target Universal Child Imunization (UCI) apabila > 80% atau lebih
bayi di desa tersebut mendapat imunisasi dasar lengkap.(5)

Grafik 1. Presentasi imunisasi dasar lengkap di Indonesia


Berdasarkan hasil survey SDKI terhadap capaian imunisasi dasar
lengkap secara nasional, Provinsi Gorontalo mencapai 78,1% imunisasi dasar
lengkap, Provinsi Gorontalo masih menempati urutan ke 15 terendah dari
seluruh Provinsi yang ada di Indonesia (Grafik 1).(5)

Untuk capaian UCI Provinsi Gorontalo tahun 2012 berdasarkan


laporan program Kabupaten / Kota se Provinsi Gorontalo 77,9%, angka ini
mengalami peningkatan dari tahun 2010 yang mencapai 50,9%, capaian ini
meningkat lagi di tahun 2011 yang mencapai 63,2%. Desa/Kelurahan yang

mencapai UCI tahun 2012 tertinggi di laporkan oleh Kabupaten Gorontalo


sebanyak 131 desa (100%) yang mencapai UCI dan terendah dilaporkan
Kabupaten Gorontalo Utara dari 123 desa hanya 73 desa (59,3%) yang
mencapai UCI. Kota Gorontalo yang merupakan Ibu Kota Provinsi Gorontalo
masih berada pada level 80%, bahkan presentasi kelengkapan Imunisasi dasar
lengkapnya menurun pada tahun 2011 dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Data ini masih jauh di bawah target nasional yang harus
mencapai 98% desa UCI.(4,5)
Seiring dengan menurunnya angka kesakitan dan kematian anak pada
umumnya maka kualitas hidup bangsa akan meningkat pula. Meskipun
demikian usia anak di bawah 15 tahun masih merupakan kelompok penduduk
yang sangat besar dan memerlukan perhatian yang lebih besar lagi. Hasil
penelitian di dunia mengatakan bahwa angka kelahiran dan usia harapan
hidup di suatu negara berkaitan, yaitu makin rendah angka kelahiran maka
makin tinggi usia harapan hidup. Untuk itu pencegahan terhadap penyakit
infeksi maupun upaya yang menentukan situasi yang kondusif untuk itu
mutlak harus dilakukan pada anak dalam tumbuh kembangnya sedini
mungkin guna dapat mempertahankan kualitas hidup yang prima menuju
dewasa. Demikian pula perhitungan ekonomi mengatakan bahwa pencegahan
adalah suatu cara perlindungan yang paling efektif dan jauh lebih murah
daripada mengobati apabila sudah terserang penyakit dan memerlukan
perawatan rumah sakit.(3)
Hendrik L.Blum menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi
kesehatan individu berdasarkan besarnya pengaruh secara berurutan, meliputi
faktor lingkungan, faktor perilaku kesehatan, pelayanan kesehatan, dan faktor
keturunan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Status kesehatan akan
optimal jika keempat dimensi tersebut secara bersama-sama berada dalam
kondisi optimal. Jika satu faktor terganggu (tidak optimal), status kesehatan
juga cenderung akan tidak optimal. Dengan kata lain, intervensi terhadap
kesehatan seharusnya ditujukan pada keempat faktor tersebut.
Tingkat kepatuhan imunisasi dapat meningkatkan nilai cakupan
imunisasi sehingga diperlukan suatu kajian tentang analisis faktor mengenai

faktor yang mempengaruhi kepatuhan sehingga didapatkan strategi untuk


meningkatkan tingkat kepatuhan para ibu terhadap imunisasi bayinya.
Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan kepatuhan imunisasi di
beberapa negara lain, akan tetapi, tidak banyak literatur yang ditemukan
mengenai kepatuhan yang mempengaruhi angka cakupan imunisasi di
Indonesia. Temuan yang masih terbatas tersebut perlu dilakukan kajian lebih
mendalam untuk mendapatkan analisis yang lebih tajam tentang faktor-faktor
tersebut, misalnya karakteristik orang tua dan anak, karakteristik layanan
kesehatan atau keadaan populasi dalam masyarakat. Jika telah ditemukan
faktor dominan yang mempengaruhi kepatuhan imunisasi, maka akan bisa
ditentukan strategi untuk meningkatkan kepatuhan yang berdampak pada
peningkatan angka cakupan imunisasi.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat disusun rumusan masalah yaitu:
Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi kelengkapan imunisasi dasar
lengkap pada penduduk Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi
Gorontalo.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelengkapan
imunisasi dasar lengkap pada penduduk Kecamatan Kota Tengah,
A.3.2

Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo.


Tujuan Khusus

A.

Untuk mengetahui prevalensi imunisasi dasar lengkap di


Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo
pada bulan Juni 2015

B.

Untuk mengetahui hubungan antara faktor karakteristik


demografi (kelompok umur, pendapatan, jenjang pendidikan,
status bekerja) dengan kelengkapan imunisasi dasar lengkap

C.

Untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan (faktor


dukungan sosial dan faktor kemudahan transportasi) dengan
kelengkapan imunisasi dasar lengkap

D.

Untuk mengetahui hubungan antara faktor pelayanan kesehatan


(faktor perawatan prenatal, faktor pengalaman imunisasi anak
sebelumnya, faktor informasi dari petugas kesehatan, faktor
dukungan dari profesi kesehatan, dan faktor kepuasan
pelayanan) dengan kelengkapan imunisasi dasar lengkap

1.4 Manfaat Penelitian


a. Bagi Peneliti;
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambahkan pengalaman dan
wawasan bagi penulis dalam meneliti secara langsung di lapangan
mengenai imunisasi dasar lengkap.
b. Bagi Masyarakat;
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai masukan bagi
para dokter, petugas kesehatan dan pengambil kebijakan untuk
menigkatkan angka kelengkapan imunisasi dasar lengkap di masyarakat.
b. Bagi Institusi Pendidikan;
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan
referensi dalam proses belajar mengajar dan dapat meningkatkan kualitas
pendidikan bagi mahasiswa/mahasiswi kedokteran

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.3
2.3.1

Imunisasi
Definisi
Imunisasi adalah cara memberikan perlindungan spesifik terhadap
patogen yang paling umum dan merusak. Mekanisme imunitas tergantung
pada lokasi patogen dan juga mekanisme patogenesis.(4,5)
Kata imun berasal dari bahasa latin immunitas yang berarti pembebasan
(kekebalan) yang diberikan kepada para senator romawi selama masa
jabatan mereka terhadap kewajiban sebagai warga negara biasa dan terhadap
dakwaan. Dalam sejarah, istilah ini kemudian berkembang sehingga
pengertiannya berubah menjadi perlindungan terhadap penyakit dan lebih
spesifik lagi terhadap penyakit menular. (4)
Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri atas sel-sel
serta produk zat-zat yang dihasilkanya yang bekerja sama secara kolektif
dan terkoordinasi untuk melawan bendah asing, seperti kuman-kuman
penyakit atau racunnya yang masuk dalam tubuh. (4)
Imunisasi adalah suatu usaha memberikan kekebalan pada bayi dan
anak terhadap penyakit tertentu. Sedangkan vaksin adalah satu kuman atau
racun kuman yang dimasukan kedalam tubuh bayi atau anak yang disebut
antigen. Dalam tubuh, antigen akan bereaksi dengan antibodi sehingga akan
terjadi kekebalan. Juga ada vaksin yang dapat langsung menjadi racun
terhadap kuman yang disebut antitoksin. (4)
Imunisasi adalah cara untuk meningkatkan kekebalan (imunitas), bila
terpajang antigen atau kuman penyakit.

(4)

. Prinsip dasar pemberian

imunisasi adalah:
a. Bila ada antigen (kuman, bakteri, virus, parasit, racun) memasuki
tubuh maka tubuh akan berusaha menolaknya, tubuh membuat zat
anti berupa anti bady atau anti toxin.
b. Reaksi tubuh pertama kali terhadap antigen berlangsung secara
lambat dan lemah, sehingga tak cukup banyak antibody yang
terbentuk.
c. Pada reaksi atau respon yang kedua, ketiga dan seterusnya tubuh
sudah mulai lebih mengenal jenis antigen tersebut.

d. Setelah beberapa waktu, jumlah zat anti dalam tubuh akan


berkurang. Untuk mempertahankan agar tetap kebal, perlu diberikan
antigen atau suntikan imunisasi ulang.
e. Kadar antibodi yang tinggi dalam tubuh menjamin anak akan sulit
untuk terserang penyakit. (4)
Itulah sebabnya pada beberapa jenis penyakit yang dianggap berbahaya
dilakukan tindakan imunisasi atau vaksinasi. Hal ini dimaksudkan sebagai
tindakan pencegahan agar tubuh tidak terjangkit penyakit tersebut atau
seandainya terkenapun tidak akan menimbulkan akibat yang fatal. (4)
Banyak faktor penyebab ketidakberhasilan imunisasi. Dari faktor anak
bisa disebabkan umur bayi pada waktu diberiakn imunisasi, status gizi,
masih adanya antibodi maternal dari ibu pada waktu imunisasi diberikan.
Dari faktor lingkungan yang dipengaruhi adalah sanitasi lingkungan, tingkat
kepadatan pendudukan yang menyebabkan mudahnya terjadinya penularan.
(4,5)

Sebaiknya, pemberian imunisasi pada anak mengikuti jadwal yang ada.


Dengan memberikan imunisasi sesuai jadwal yang telah ditetapkan
memberikan hasil pembentukan kekebalan (antibody) yang optimal
sehingga dapat melindungi anak dari paparan penyakit. Di Indonesia, jadwal
imunisasi di keluarkan oleh kementrian kesehatan RI, yang mengharuskan
orang tua memberiakan 5 imunisasi dasar lengkap yaitu Hepatitis B, Polio,
DPT, BCG, dan Campak. (4,6)
2.3.2 Tujuan Imunisasi
Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada
seseorang agar dapat mencegah penyakit, kecacatan serta kematian yang
disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit dan menghilangkan
penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan
menghilangkan penyakit tertentu dari dunia. Secara umum tujuan imunisasi
antara lain: (3,4)
(1) Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit menular
(2) Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular
(3) Imunisasi menurunkan angka morbiditas (angka kesakitan) dan
mortalitas (angka kematian) pada balita.

2.3.3 Manfaat Imunisasi (4)


1. Untuk Anak : mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit,
dan kemungkinan cacat atau kematian
2. Untuk Keluarga : menghilangkan

kecemasan

dan

psikologi

pengobatan bila anak sakit.


3. Untuk Negara : memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa
yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara.
2.3.4 Jenis-Jenis Imunisasi
Imunisasi ada 2 macam, yaitu (4)
(1) Imunisasi Aktif
Merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang telah
dilemahkan (vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh berespon
spesifik dan memberikan suatu ingatan terhadap antigen ini,
sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat mengenali dan
meresponnya. Dalam imunisasi aktif, terdapat beberapa unsurunsur vaksin, yakni
a) Vaksin dapat berupa organism yang secara keseluruhan
dimatikan
b) Pengawet, stabilisator, atau antibiotik.
c) Cairan pelarut dapat berupa air steril atau cairan kultur
jaringan.
d) Adjuvan, berupa garam aluminium.
(2) Imunisasi Pasif
Merupakan suatu proses peningkatan kekebalan tubuh
dengan cara pemberian zat immunoglobulin yaitu zat yang
dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari
plasma manusia.
2.3.5

Prosedur Imunisasi
Prosedur imunisasi dimulai dari menyiapkan dan membawa vaksin,
mempersiapkan anak dan orangtua, tekhnik penyuntikkan yang aman,
pencatatan, pembuangan limbah, sampai pada tekhnik penyimpanan dan
penggunaan sisa vaksin dengan benar. Penjelasan kepada orang tua serta
pengasuhnya sebelum dan setelah imunisasi perlu dipelajari pula.
Pengetahuan tentang kualitas vaksin yang masih boleh diberikan pada bayi/
anak perlu mendapat perhatian. Ukuran jarum, lokasi suntikan, cara
9

mengurangi ketakutan dan rasa nyeri pada anak juga perlu diketahui.
Imunisasi perlu dicatat dengan lengkap, termasuk keluhan kejadian ikutan
pasca imunisasi. (3,4,6)
2.3.6 Tempat Suntikan yang Dianjurkan
Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi
pada bayi-bayi dan anak-anak umur dibawah 12 bulan. Region deltoid
adalah alternative untuk vaksinasi pada anak-anak yang lebih besar (mereka
yang dapat berjalan) dan orang dewasa. (3,4,6)
Sejak akhir 1980, WHO telah memberi rekomendasi bahwa daerah
anterolateral paha adalah bagian yang dianjurkan untuk vaksinasi bayibayidan tidak pada pantat (daerah gluteus) untuk menghindari resiko
kerusakan saraf iskhiadika (nervus ischiadicus). (3,4,6)
Resiko kerusakan saraf ischiadika akibat suntikan di daerah gluteus
lebih banyak dijumpai pada bayi karena variasi posisi saraf tersebut, masa
otot lebih tebal, sehingga pada vaksinasi dengan suntikan intramuscular di
daerah gluteal dengan tidak disengaja menghasilkan suntikan subkutan
dengan reaksi local yang lebih berat. Vaksinasi hepatitis B dan rabies bila
disuntikkan di daerah gluteal kurang imunogenik; hal ini berlaku untuk
semua umur. Sedangkan untuk vaksin BCG, harus disuntik pada kulit diatas
insersi otot deltoid (lengan atas), sebab suntikan-suntikan diatas puncak
pundak memberi resiko terjadinya keloid. (3,4,6)
2.3.7

Posisi Anak dan Lokasi Suntikan


Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur di bawah
12 bulan adalah: (3,4,6)
-

Menghindari resiko kerusakan saraf ischiadika pada suntikan


daerah gluteal.

Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk


menyerap suntikan secara adekuat.

Sifat imunogenesitas vaksin hepatitis B dan rabies berkurang bila


disuntikkan di daerah gluteal.

Menghindari resiko reaksi local dan terbentuk pembengkakan


ditempat suntikan yang menahun.

10

Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian


anterior.

2.3.8 Pemberian dua atau lebih vaksin pada hari yang sama
Pemberian vaksin-vaksin yang berbeda pada umur yang sesuai, boleh
diberikan pada hari yang sama. Vaksin inactivated dan vaksin virus hidup,
khususnya vaksin yang dianjurkan dalam jadwal imunisasi, pada umumnya
dapat diberikan pada lokasi yang berbeda saat hari kunjungan yang sama.
Misalnya pada kesempatan yang sama dapat diberikan vaksin-vaksin DPT,
Hib, hepatitis B, dan polio. (3,4,6)
Lebih dari satu macam vaksin virus hidup dapat diberikan pada hari
yang sama, tetapi apabila hanya satu macam yang diberikan, vaksin virus
hidup yang kedua tidak boleh diberikan kurang dari 2 minggu dari vaksin
yang pertama, sebab respons terhadap vaksin yang kedua mungkin telah
banyak berkurang. Vaksin-vaksin yang berbeda tidak boleh dicampur dalam
satu semprit. Vaksin-vaksin yang berbeda yangdiberikan pada seseorang
pada hari yang sama harus disuntikkan pada lokasi yang berbeda dengan
menggunakan semprit yang berbeda. (3,4,6)
2.3.9 Kontra Indikasi Pemberian Imunisasi
Kontra indikasi dalam pemberian imunisasi ada 3, yakni(3,4,6)
(1) Anafilaksis atau reaksi hipersensitivitas yang hebat merupakan
kontra indikasi mutlak terhadap dosis vaksin berikutnya. Riwayat
kejang demam dan panas lebih dari 38 oC merupakan kontraindikasi
pemberian DPT atau HB1 dan campak.
(2) Jangan berikan vaksin BCG kepada bayi yang menunjukkan tandatanda dan gejala AIDS, sedangkan vaksin yang lain sebaiknya
diberikan.
(3) Jika orang tua sangat berkeberatan terhadap pemberian imunisasi
kepada bayi yang sakit, lebih baik jangan diberikan vaksin, tetapi
mintalah ibu kembali lagi ketika bayi sudah sehat.
Penanganan bagi bayi yang mengalami kondisi sakit, sebaiknya tetap
diberikan imunisasi: (3,6)

11

(1) Pada bayi yang mengalami alergi atau asma imunisasi masih bias
diberikan. Kecuali jika alergi terhadap komponen khusus dari
vaksin yang diberikan.
(2) Sakit ringan seperti infeksi saluran pernapasan atau diare dengan
suhu dibawah 38,5oC
(3) Riwayat keluarga tentang peristiwa yang membahayakan setelah
imunisasi.
(4) Pengobatan antibiotik, masih bisa dibarengi dengan imunisasi
(5) Dugaan infeksi HIV atau positif terinfeksi HIV dengan tidak
menunjukkan tanda-tanda dan gejala AIDS, jika menunjukkan
tanda-tanda dan gejala AIDS kecuali imunisasi BCG, imunisasi
yang lain tetap diberikan.
(6) Anak diberi ASI.
(7) Bayi yang menderita penyakit kronis seperti penyakit jantung
kronis, paru-paru, ginjal atau liver
(8) Pada penderita Downs Syndrome atau pada anak dengan kondisi
saraf yang stabil.
(9) Bayi premature atau BBLR
(10)
Sebelum atau pasca operasi
(11)
Kurang gizi
(12)
Riwayat sakit kuning saat kelahiran
2.3.10

Imunisasi Wajib, Program Pengembangan Imunisasi (PPI)


Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP dan
campak.

12

Gambar. Jadwal imunisasi dasar lengkap(3)


2.3.10.1

(3,4)

BCG
Bacille Calmete-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari
Mycobacterium Bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun
sehingga didapatkan basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai
imunogenitas. Vaksinasi BCG menimbulkan sensitivitas terhadap
tuberculin.
Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. Namun
untuk mencapai cakupan yang lebih luas, Departemen Kesehatan
menganjutkan pemberian imunisasi BCG pada umur antara 0-12
bulan.
Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk
anak (>1 tahun). Vaksin BCG diberikan secara intrakutan di daerah
lengan kanan atas pada insersio M.Deltoideus sesuai anjuran WHO,
tidak ditempat lain (bokong, paha).
Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberculosis, namun
dapat mencegah komplikasinya. Apabila BCG diberikan pada umur

13

lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu.


Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberculin negatif..
Efek proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikkan.
Berhubungan dengan beberapa faktor yaitu mutu vaksin yang dipakai,
lingkungan dengan Mycobacterium atipik atau faktor pejamu (umur,
keadaan gizi dan lain-lain.
Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan
pada suhu 2-80C, tidak boleh beku. Vaksin yang telah dienccerkan
harus dipergunakan dalam waktu 8 jam.
Kejadian ikutan pasca imunisasi vaksinasi BCG(3,4)
Penyuntikan BCG intradermal akan menimbulkan ulkus local
yang superficial 3 minggu setelah penyuntikkan. Ulkus tertutup
krusta, akan sembuh dalam 2-3 bulan, dan meninggalkan parut bulat
dengan diameter 4-8 mm, apabila dosis terlalu tinggi maka ulkus yang
timbul lebih besar, namun apabila penyuntikkan terlalu dalam maka
parut yang terjadi tertarik ke dalam.
1. Limfadenitis
Limfadenitis supuratif di aksila atau di leher kadangkadang dijumpai setelah penyuntikan BCG. Limfadenitis akan
sembuh sendiri, jadi tidak perlu diobati. Apabila limfadenitis
melekat pada kulit atau timbul fistula maka dapat dibersihkan
(drainage) dan diberikan obat anti tuberculosis oral. Pemberian
obat anti tuberculosis sistemik tidak efektif.
2. BCG-itis diseminasi
Jarang

terjadi,

seringkali

berhubungan

dengan

imunodefisiensi berat. Komplikasi lainnya adalah eritema


nodosum, iritis, lupus vulgaris dan osteomielitis. Komplikasi
ini harus diobati dengan kombinasi obat anti tuberculosis.
Kontra indikasi BCG(3,4)
-

Reaksi uji tuberculin >5 mm.

Menderita infeksi HIV atau dengan resiko tinggi infeksi HIV,


imunokompromais akibat penggunaan kortikosteroid, obat

14

imunosupresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit


keganasan yang mengenai sumsum tulang atau system limfe.
-

Menderita gizi buruk.

Menderita demam tinggi.

Menderita infeksi kulit yang luas.

Pernah sakit tuberculosis.

Kehamilan.

Rekomendasi(3,4)
-

BCG diberikan pada bayi < 2bulan.

Pada bayi yang kontak erat dengan penderita TB denagn BTA


+3 sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila pasien
kontak sudah tenang bayi dapat diberi BCG.

2.3.10.2

HEPATITIS B(3,4,7)
WHO merekomendasikan pemberian vaksin hepatitis B (hep B)
harus segera diberikan setelah lahir dalam waktu 24 jam pertama
tanpa mengetahui status HbsAg dari ibu, mengingat vaksinasi
hepatitis B merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk
memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu
kepada bayinya. Hasil penelitian Liza Fitria, dkk dalam jurnal
Pediatrica Indonesiana yang diterbitkan pada bulan Novermber 2010
dengan judul Influence of Hepatitis B Immunization to prevent
vertical transmission of Hep-B virus in infants born from Hep-B
positive Mother menjelaskan bahwa efektivitas dari imunisasi
hepatitis B untuk mencegah penularan penyakit hepatitis B pada bayi
adalah 80-95%.
Vaksin diberikan secara intramuscular dalam. Pada neonatus dan
bayi diberikan di anterolateral paha, sedangkan pada anak besar dan
dewasa, diberikan di region deltoid
Imunisasi aktif(3,4,6-9)
-

Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12


jam) setelah lahir.

15

Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari


imunisasi hepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk
mendapat respon imun optimal, interval imunisasi hepB-2
dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka
imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.

Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera


berikan imunisasi kedua. Sedangkan imunisasi ketiga
diberikan dengan jarak terpendek 2 bukan dari imunisasi
kedua.

Bila dosis ketiga terlambat, diberikan segera setelah


memungkinkan.

Bayi lahir dari ibu dengan Hbs-Ag yang tidak diketahui,


hepB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan
dilanjutkan pada umur 1 bulan dan 3-6 bulan. Apabila semula
status Hbs-Ag ibu tidak diketahui dan ternyata dalam
perjalanan selanjutnya diketahui ibu dengan Hbs-Ag positif,
maka ditambahkan hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5
ml sebelum bayi berumur 7 hari.

Bayi lahir dari ibu dengan Hbs-Ag positif, diberikan vaksin


hepB-1 dan HBIg 0,5 ml secara bersamaan dalam waktu 12
jam setelah lahir.

Anak dari ibu pengidap hepatitis B, yang telah memperoleh


imunisasi dasar 3x pada masa bayi, maka pada saat usia 5
tahun tidak perlu imunisasi ulang (booster). Hanya dilakukan
pemeriksaan kadar anti HBs

Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah


memperoleh

imunisasi

hepatitis

B,

maka

secepatnya

diberikan imunisasi Hep B dengan jadwal 3x pemberian


(catch up vaccination). Catch up vaccination merupakan
upaya imunisasi pada anak atau remaja yang belum pernah di
imunisasi atau terlambat > 1 bulan dari jadwal yang
seharusnya. Khusus pada imunisasi hepatitis B, imunisasi

16

catch up ini diberikan dengan interval minimal 4 minggu


antara dosis pertama dan kedua, sedangkan interval antara
dosis kedua dan ketiga minimal 8 minggu atau 16 minggu
sesudah dosis pertama.
-

Ulangan imunisasi (hepB-4) dapat dipertimbangkan pada


umur 10-12 tahun, apabila kadar pencegahan belum tercapai
(anti Hbs< 10g/ml).

Imunisasi pasif(3,4,6-9)
Hepatitis B immune globulin (HBIg) dalam waktu singkat
akan memeberikan proteksi meskipun hanya untuk jangka pendek
(3-6 bulan).
HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan. Sebaiknya
HBIg diberikan bersama vaksin VHB sehingga proteksinya
berlangsung lama. Pada needle stick injury maka diberikan HBIg
0,06 ml/kg maksimum 5 ml dalam 48 jam pertama setelah kontak.
Pada penularan dengan cara kontak seksual HBIg diberikan 0,06
ml/kg maksimum 5 ml dalam waktu <14 hari sesudah kontak
terakhir.
Efek samping(3,4)
Umumnya berupa reaksi local yang ringan dan bersigat
sementara. Kadang-kadang dapat menimbulkan demam ringan
untuk 1-2 hari.
Kontra indikasi(3,4)
Tidak ada kontra indikasi yang absolute.
2.3.10.3

DTwP (whole-cell pertussis) dan DTap (acelluler pertussis) (3,4,8)


Berdasarkan pandangan James D. Cherry, MD dalam The New
England Journal of Medicine imunisasi DTaP harus dimulai dari usia
muda dengan interval yang rendah di tiap dosisnya. Dalam jurnal
tersebut

disebutkan

bahwa

pada

dasarnya

ibu

hamil

harus

mendapatkan imunisasi DTP untuk menurunkan resiko terjadinya


penularan pertusis pada saat melahirkan dan dapat memberikan
perlindungan kurang lebih 1-2 bulan.

17

Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP


tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8
minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu, jadi DTP-1 diberikan
pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTP-3 pada umur 6
bulan. Ulangan booster DTP selanjutnya diberikan satu tahun setelah
DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk
sekolah umur 5 tahun.
Pada booster umur 5 tahun harus tetap diberikan vaksin dengan
komponen pertusis (sebaiknya diberikan DTaP untuk mengurangi
demam pasca imunisasi) mengingat kejadian pertusis pada dewasa
muda meningkat akibat ambang proteksi telah sangat rendah sehingga
dapat menjadi sumber penularan pada bayi dan anak.
DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di sekolah dasar.
Ulangan DT-6 diberikan pada 12 tahun, mengingat masih dijumpai
kasus difteria pada umur lebih dari 10 tahun.
Dosis DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuscular,
baik untuk imunisasi dasar maupun ulangan.
Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5
dosis pada usia 2,4,6,15-18 bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk
sekolah. Dosis ke 4 harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan
setelah dosis ke 3. kombinasi toksoid difteria dan tetanus (DT) yang
mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki
kontra indikasi terhadap pemberian yang pertusis.
Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP(3,4)
-

Reaksi lokal kemerahan, bengkak dan nyeri pada lokasi


injeksi terjadi pada separuh penerima DTP.

Proporsi Demam ringan dengan reaksi local sama dan


diantaranya dapat mengalami hiperpireksia.

Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa


jam paska suntikan (inconsolable crying).

Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang demam


sesudah vaksinasi yang dihubungkan dengan demam yang
terjadi.

18

Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya


ensefalopati akut atau reaksi anafilaksis dan terbukti
disebabkan oleh pemberian vaksin pertusis.

Kontra indikasi(3,4)
Saat ini didapatkan dua hal yang diyakini sebagai kontra
indikasi mutlak terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole
cell maupun aselular, yaitu :
-

anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya.

Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya.

Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus


(precaution). Misalnya pemberian vaksin pertusis berikutnya
bila pada pemberian pertama dijumpai riwayat hiperpireksia,
keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak
menangis terus menerus selama 3 jam dan riwayat kejang
dalam 3 hari sesudah imunisasi DTP
Riwayat kejang dalam keluarga dan kejang yang tidak

berhubungan dengan pemberian vaksin sebelumnya, kejadian


ikutan paska imunisasi atau alergi terhadap vaksin bukanlah suatu
indikasi kontra terhadap pemberian vaksin DTaP. Walaupun
demikian keputusan untuk pemberian vaksin pertusis harus
dipertimbangkan secara individual dengan memperhitungkan
keuntungan dan resiko pemberiannya.
Vaksin pertusis a-seluler(3,4,8)
Vaksin pertusis aseluler adalah vaksin pertusis yang berisi
komponen spesifik toksin dari Bordetellapertusis yang dipilih
sebagai dasar yang berguna dalam patogenesis pertusis dan
perannya dalam memicu antibodi yang berguna untuk pencegahan
terhadap pertusis secara klinis.
2.3.10.4

POLIO(3,4,9)
Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh
yang disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus

19

yang dinamakan poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut,


mengifeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan
mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan
kadang kelumpuhan (paralisis).

Gambar 1. Anak dengan Polio(9)


Poliovirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas tiga strain
berbeda dan amat menular. Virus akan menyerang sistem saraf dan
kelumpuhan dapat terjadi dalam hitungan jam. Polio menyerang tanpa
mengenal usia, lima puluh persen kasus terjadi pada anak berusia
antara 3 hingga 5 tahun. Masa inkubasi polio dari gejala pertama
berkisar dari 3 hingga 35 hari.
Anak-anak kecil yang terkena polio seringkali hanya mengalami
gejala ringan dan menjadi kebal terhadap polio. Karenanya, penduduk
di daerah yang memiliki sanitasi baik justru menjadi lebih rentan
terhadap polio karena tidak menderita polio ketika masih kecil.
Vaksinasi pada saat balita akan sangat membantu pencegahan polio di
masa depan karena polio menjadi lebih berbahaya jika diderita oleh
orang dewasa. Orang yang telah menderita polio bukan tidak mungkin
akan mengalami gejala tambahan di masa depan seperti layu otot;
gejala ini disebut sindrom post-polio.
Jenis polio:
1. Polio non-paralisis
2. Polio paralisis spinal
3. Polio bulbar
Imunisasi Polio(3,4)
20

Vaksin efektif pertama dikembangkan oleh Jonas Salk. Salk


menolak untuk mematenkan vaksin ini karena menurutnya vaksin
ini milik semua orang seperti halnya sinar matahari. Namun
vaksin yang digunakan untuk inokulasi masal adalah vaksin yang
dikembangkan oleh Albert Sabin. Inokulasi pencegahan polio
anak untuk pertama kalinya diselenggarakan di Pittsburgh,
Pennsylvania pada 23 Februari 1954. Polio hilang di Amerika
pada tahun 1979.
Belum ada pengobatan efektif untuk membasmi polio.
Penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan ini, disebabkan
virus poliomyelitis yang sangat menular. Penularannya bias lewat
makanan/minuman yang tercemar virus polio. Bisa juga lewat
percikan ludah/air liur penderita polio yang masuk ke mulut orang
sehat. Imunisasi polio memberikan kekebalan aktif terhadap
penyakit poliomielitis. Polio bisa menyebabkan nyeri otot dan
kelumpuhan pada salah satu maupun kedua lengan/tungkai. Polio
juga bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot pernafasan
dan otot untuk menelan. Polio bisa menyebabkan kematian.
Terdapat 2 macam vaksin polio:
-

IPV (Inactivated Polio Vaccine, Vaksin Salk), mengandung virus

polio yang telah dimatikan dan diberikan melalui suntikan.


OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin Sabin), mengandung vaksin
hidup yang telah dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau
cairan.
Bentuk trivalen (TOPV) efektif melawan semua bentuk polio,
bentuk

monovalen

(MOPV)

efektif

melawan

jenis

polio.Imunisasi dasar polio diberikan 4 kali (polio I,II, III, dan


IV) dengan interval tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi polio
ulangan diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio IV, kemudian
pada saat masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat meninggalkan SD
(12 tahun).

21

Di Indonesia umumnya diberikan vaksin Sabin. Vaksin ini


diberikan sebanyak 2 tetes (0,1 mL) langsung ke mulut anak atau
dengan menggunakan sendok yang berisi air gula. Dosis pertama
dan kedua diperlukan untuk menimbulkan respon kekebalan
primer, sedangkan dosis ketiga dan keempat diperlukan untuk
meningkatkan kekuatan antibodi sampai pada tingkat yang
tertinggi. Kepada orang yang pernah mengalami reaksi alergi
hebat

(anafilaktik)

setelah

pemberian

IPV,

streptomisin,

polimiksin B atau neomisin, tidak boleh diberikan IPV. Sebaiknya


diberikan OPV. Kepada penderita gangguan sistem kekebalan
(misalnya penderita AIDS, infeksi HIV, leukemia, kanker,
limfoma), dianjurkan untuk diberikan IPV. IPV juga diberikan
kepada orang yang sedang menjalani terapi penyinaran, terapi
kanker, kortikosteroid atau obat imunosupresan lainnya. IPV bisa
diberikan kepada anak yang menderita diare.
Jika anak sedang menderita penyakit ringan atau berat,
sebaiknya pelaksanaan imunisasi ditunda sampai mereka benarbenar pulih. IPV bisa menyebabkan nyeri dan kemerahan pada
tempat penyuntikan, yang biasanya berlangsung hanya selama
beberapa hari. Masa inkubasi virus antara 6-10 hari. Setelah
demam 2-5 hari, umumnya akan mengalami kelumpuhan
mendadak pada salah satu anggota gerak. Namun tak semua orang
yang terkena virus polio akan mengalami kelumpuhan, tergantung
keganasan virus polio yang menyerang dan daya tahan tubuh si
anak. Imunisasi polio akan memberikan kekebalan terhadap
serangan virus polio.
Usia Pemberian: (3,4)
Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan.
Dilanjutkan pada usia 18 bulan dan 5 tahun. Kecuali saat lahir,
pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan vaksin DTP.
Cara Pemberian: (3,4)
22

Bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV),


atau lewat mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di tanah air,
yang digunakan adalah OPV.
Efek Samping: (3,4)
Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami
pusing, diare ringan, dan sakit otot. Kasusnya pun sangat jarang.
Dapat mungkin terjadi berupa kelumpuhan dan kejang-kejang.
Indikasi Kontra: (3,4)
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut
atau demam tinggi (di atas 380C); muntah atau diare; penyakit
kanker atau keganasan; HIV/AIDS; sedang menjalani pengobatan
steroid dan pengobatan radiasi umum; serta anak dengan
mekanisme kekebalan terganggu.
2.3.10.5

CAMPAK (MORBILLI) (3,4,7,9,10)


Penyakit Campak (Rubeola, Campak 9 hari, measles) adalah
suatu infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam,
batuk, konjungtivitis (peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan
ruam kulit. Penyakit ini disebabkan karena infeksi virus campak
golongan Paramyxovirus.

Gambar 2. Anak dengan Campak


Sebelum vaksinasi campak digunakan secara meluas, wabah
campak terjadi setiap 2-3 tahun, terutama pada anak-anak usia prasekolah dan anak-anak SD. Jika seseorang pernah menderita campak,
23

maka seumur hidupnya dia akan kebal terhadap penyakit ini. Tidak
ada pengobatan khusus untuk campak. Anak sebaiknya menjalani tirah
baring. Untuk menurunkan demam, diberikan asetaminofen atau
ibuprofen. Jika terjadi infeksi bakteri, diberikan antibiotik. Vaksin
campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak.
Vaksin

biasanya

diberikan

dalam

bentuk

kombinasi

dengan

gondongan dan campak Jerman (vaksin MMR/mumps, measles,


rubella), disuntikkan pada otot paha atau lengan atas. Jika hanya
mengandung campak, vaksin diberikan pada umur 9 bulan.
Dalam bentuk MMR, dosis pertama diberikan pada usia 12-15
bulan, dosis kedua diberikan pada usia 4-6 tahun. selain itu penderita
juga harus disarankan untuk istirahat minimal 10 hari dan makan
makanan yang bergizi agar kekebalan tubuh meningkat.
Imunisasi Campak(3,4,10)
Sebenarnya, bayi sudah mendapat kekebalan campak dari
ibunya. Namun seiring bertambahnya usia, antibodi dari ibunya
semakin menurun sehingga butuh antibodi tambahan lewat
pemberian vaksin campak. Apalagi penyakit campak mudah
menular, dan mereka yang daya tahan tubuhnya lemah gampang
sekali terserang penyakit yang disebabkan virus Morbili ini.
Untungnya, campak hanya diderita sekali seumur hidup. Jadi,
sekali terkena campak, setelah itu biasanya tak akan terkena lagi.
Imunisasi campak efektif untuk memberi kekebalan terhadap
penyakit campak sampai seumur hidup.
Penyakit campak yang disebabkan oleh virus yang ganas ini
dapat dicegah jika seseorang mendapatkan imunisasi campak,
minimal dua kali yakni semasa usia 6 59 bulan dan masa SD (6
12 tahun).
Upaya imunisasi campak tambahan yang dilakukan bersama
dengan imunisasi rutin terbukti dapat menurunkan kematian
karena penyakit campak sampai 48%.Tanpa imunisasi, penyakit
ini dapat menyerang setiap anak, dan mampu menyebabkan cacat
24

dan kematian karena komplikasinya seperti radang paru


(pneumonia); diare, radang telinga (otitis media) dan radang otak
(ensefalitis) terutama pada anak dengan gizi buruk.
Penularan campak terjadi lewat udara atau butiran halus air
ludah (droplet) penderita yang terhirup melalui hidung atau
mulut. Pada masa inkubasi yang berlangsung sekitar 10-12 hari,
gejalanya sulit dideteksi. Setelah itu barulah muncul gejala flu
(batuk, pilek, demam), mata kemerah-merahan dan berair, si kecil
pun merasa silau saat melihat cahaya. Kemudian, di sebelah
dalam mulut muncul bintik-bintik putih yang akan bertahan 3-4
hari. Beberapa anak juga mengalami diare. Satu-dua hari
kemudian timbul demam tinggi yang turun naik, berkisar 3840,5C. Seiring dengan itu, barulah keluar bercak-bercak merah
yang merupakan ciri khas penyakit ini. Ukurannya tidak terlalu
besar, tapi juga tak terlalu kecil. Awalnya hanya muncul di
beberapa bagian tubuh saja seperti kuping, leher, dada, muka,
tangan dan kaki. Dalam waktu 1 minggu, bercakbercak merah ini
akan memenuhi seluruh tubuh. Namun bila daya tahan tubuhnya
baik, bercak-bercak merah ini hanya di beberapa bagian tubuh
saja dan tidak banyak.
Jika bercak merah sudah keluar, umumnya demam akan turun
dengan sendirinya. Bercak merah pun akan berubah jadi
kehitaman dan bersisik, disebut hiperpigmentasi. Pada akhirnya
bercak akan mengelupas atau rontok atau sembuh dengan
sendirinya. Umumnya, dibutuhkan waktu hingga 2 minggu
sampai anak sembuh benar dari sisa-sisa campak. Dalam kondisi
ini, tetaplah meminum obat yang sudah diberikan dokter. Jaga
stamina dan konsumsi makanan bergizi. Pengobatannya bersifat
simptomatis, yaitu mengobati berdasarkan gejala yang muncul.
Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang efektif mengatasi
virus campak. Jika tak ditangani dengan baik campak bisa sangat
berbahaya. Bisa terjadi komplikasi, terutama pada campak yang

25

berat. Ciri-ciri campak berat, selain bercaknya di sekujur tubuh,


gejalanya tidak membaik setelah diobati 1-2 hari. Komplikasi
yang terjadi biasanya berupa radang paru-paru (broncho
pneumonia) dan radang otak (ensefalitis). Komplikasi inilah yang
umumnya paling sering menimbulkan kematian pada anak.
Deskripsi(3,4)
Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang
dilemahkan. Setiap dosis (0,5ml) mengandung tidak kurang dari
1000 infective unit virus strain CAM 70, dan tidak lebih dari 100
mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu erythromycin. Vaksin
ini berbentuk vaksin beku kering yang harus dilarutkan hanya
dengan pelarut steril yang tersedia secara terpisah untuk tujuan
tersebut. Vaksin ini telah memenuhi persyaratan WHO untuk
vaksin campak.
Indikasi(3,4)
Untuk Imunisasi aktif terhadap penyakit campak.
Komposisi(3,4)
Tiap dosis vaksin yang sudah dilarutkan mengandung : Virus
Campak >= 1.000 CCID50, Kanamycin sulfat <= 100 mcg,
Erithromycin <= 30 mcg
Dosis dan Cara Pemberian(3,4)
Imunisasi campak terdiri dari dosis 0,5 ml yang disuntikkan
secara subkutan, lebih baik pada lengan atas. Pada setiap
penyuntikan harus menggunakan jarum dan syringe yang steril.
Vaksin yang telah dilarutkan hanya dapat digunakan pada hari itu
juga (maksimum untuk 8 jam) dan itupun berlaku hanya jika
vaksin selama waktu tersebut disimpan pada suhu 2-8C serta
terlindung dari sinar matahari. Pelarut harus disimpan pada suhu
sejuk sebelum digunakan.

26

Satu dosis vaksin campak cukup untuk membentuk


kekebalan terhadap infeksi.Di negara-negara dengan angka
kejadian dan kematian karena penyakit campak tinggi pada tahun
pertama setelah kelahiran, maka dianjurkan imunisasi terhadap
campak dilakukan sedini mungkin setelah usia 9 bulan (270 hari).
Di negara-negara yang kasus campaknya sedikit, maka imunisasi
boleh dilakukan lebih dari usia tersebut.
Vaksin campak tetap aman dan efektif jika diberikan
bersamaan dengan vaksin-vaksin DT, Td, TT, BCG, Polio, (OPV
dan IPV), Hepatitis B, dan Yellow Fever.
Usia & Jumlah Pemberian (3,4)
Sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun.
Dianjurkan, pemberian campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena
antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan, penyakit campak
umumnya menyerang anak usia balita. Jika sampai 12 bulan
belum mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan
harus diimunisasi MMR (Measles Mumps Rubella).
Efek Samping (3,4)
Umumnya tidak ada. Pada beberapa anak, bisa menyebabkan
demam dan diare, namun kasusnya sangat kecil. Biasanya demam
berlangsung seminggu. Kadang juga terdapat efek kemerahan
mirip campak selama 3 hari.
Kontraindikasi (3,4)
Terdapat beberapa kontraindikasi yang berkaitan dengan
pemberian vaksin campak. Walaupun berlawanan penting untuk
mengimunisasi anak yang mengalami malnutrisi. Demam ringan,
infeksi ringan pada saluran nafas atau diare, dan beberapa
penyakit

ringan

kontraindikasi.

lainnya

jangan

Kontraindikasi

terjadi

dikategorikan
bagi

sebagai

individu

yang

diketahui alergi berat terhadap kanamycin dan erithromycin.

27

Karena efek vaksin virus campak hidup terhadap janin belum


diketahui, maka wanita hamil termasuk kontraindikasi. Individu
pengidap virus HIV (Human Immunodficiency Virus). Vaksin
Campak

kontraindikasi

terhadap

individu-individu

yang

mengidap penyakit immune deficiency atau individu yang diduga


menderita gangguan respon imun karena leukimia, lymphoma
atau generalized malignancy. Bagaimanapun penderita HIV, baik
yang disertai gejala ataupun tanpa gejala harus diimunisasi vaksin
campak sesuai
Jadwal yang ditentukan (3,4)
Bagi anak-anak yang sedang sakit berat seperti diare dan
demam tinggi, menurut Jane, diinstruksikan tidak perlu
diimunisasi campak. Para petugas cukup mencatat namanya.
Apabila anak tersebut telah sembuh, petugas akan mendatangi
rumahnya untuk diberi imunisasi.

2.2 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kelengkapan Imunisasi dasar


lengkap
Hendrik L Blum menggambarkan status kesehatan seseorang atau masyarakat
dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagai berikut : (11)

Ke empat faktor tersebut diatas saling berpengaruh positif satu dengan yang
lain dan tentu saja sangat berpengaruh terhadap status kesehatan seseorang. Status
kesehatan akan tercapai optimal apabila ke empat faktor tersebut positif
mempengaruhi secara optimal pula. Apabila salah satu faktor tidak optimal maka

28

status kesehatan akan bergeser kearah dibawah optimal. Berikut ini akan
dijelaskan satu per satu ke empat faktor tersebut sebagai berikut : (11)
1. Faktor Keturunan
Faktor ini lebih mengarah kepada kondisi individu yang berkaitan dengan
asal usul keluarga, ras dan jenis golongan darah. Beberapa penyakit tertentu
disebabkan oleh faktor keturunan antara lain : hemophilia, hypertensi, kelainan
bawaan, albino dll.
2. Faktor Pelayanan Kesehatan
Faktor ini dipengaruhi oleh seberapa jauh pelayanan kesehatan yang
diberikan. Hal ini berhubungan dengan tersedianya sarana dan prasarana institusi
kesehatan antara lain : Rumah Sakit, Puskesmas, Labkes, Balai Pengobatan, serta
tersedianya fasilitas pada institusi tersebut : tenaga kesehatan, obat-obatan, alatalat kesehatan yang kesemuanya tersedia dalam kondisi baik dan cukup dan siap
pakai.
3. Faktor Perilaku
Faktor perilaku berhubungan dengan perilaku individu atau masyarakat,
perilaku petugas kesehatan dan perilaku para pejabat pengelola negeri ini (Pusat
dan Daerah) serta perilaku pelaksana bisnis. Perilaku individu atau masyarakat
yang positif pada kehidupan sehari-hari misalnya : membuang sampah / kotoran
secara baik, minum air masak, saluran limbah terpelihara, mandi setiap hari secara
higienis dll. Perilaku petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan yang baik
antara lain : ramah, cepat tanggap, disiplin tinggi, terapi yang tepat sesuai
diagnosa, tidak malpraktek pemberian obat yang rasional, dan bekerja dengan
penuh pengabdian. Perilaku pemerintah Pusat dan Daerah dalam menyikapi suatu
permasalahan kesehatan masyarakat secara tanggap dan penuh kearifan misalnya :
cepat tanggap terhadap adanya penduduk yang gizinya buruk, adanya wabah
penyakit, serta menyediakan sarana dan prasarana kesehatan dan fasilitas umum
( jalan, parit, TPA, penyediaan air bersih, jalur hijau, pemukiman sehat) yang
didukung dengan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
kesehatan dan lingkungan hidup dan menerapkan sanksi hukum yang tegas bagi
pelanggarnya.
4. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap status kesehatan,
terlihat dari diagram di atas dengan panah yang lebih besar dibanding faktor
lainnya. Faktor Lingkungan terdiri dari 3 bagian besar :

29

a. Lingkungan Fisik
Terdiri dari benda mati yang dapat dilihat, diraba, dirasakan antara lain :
bangunan, jalan, jembatan, kendaraan, gunung, air, tanah. Benda mati yang
dapat dilihat dan dirasakan tapi tidak dapat diraba : api, asap, kabut dll..
Benda mati yang tidak dapat diraba, tidak dapat dilihat namun dapat
dirasakan : udara, angin, gas, bau-bauan, bunyi-bunyian / suara dll.
b. Lingkungan Biologis
Terdiri dari makhluk hidup yang bergerak, baik yang dapat dilihat
maupun tidak : manusia, hewan, kehidupan akuatik, amoeba, virus, plankton.
Makhluk hidup tidak bergerak : tumbuhan, karang laut, bakteri dll.
c. Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial adalah bentuk lain selain fisik dan biologis di atas.
Lingkungan sosial tidak berbentuk secara nyata namun ada dalam kehidupan
di bumi ini. Lingkungan sosial terdiri dari sosio-ekonomi, sosio-budaya, adat
istiadat,

agama/kepercayaan,

organisasi

kemasyarakatan

dll.

Melalui

lingkungan sosial manusia melakukan interaksi dalam bentuk pengelolaan


hubungan dengan alam dan buatannya melalui pengembangan perangkat
nilai, ideologi, sosial dan budaya sehingga dapat menentukan arah
pembangunan lingkungan yang selaras dan sesuai dengan daya dukung
lingkungan yang mana hal ini sering disebut dengan etika lingkungan
(Adnan Harahap et-al)
Banyak faktor yang mempengaruhi kelengkapan imunisasi, antara lain :
2.2.1 Motivasi
Motivasi adalah suatu tenaga atau faktor yang terdapat didalam diri manusia,
yang menimbulkan, menggerakkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya.
Motivasi dapat diartikan sebagai dorongan secara sadar dan tidak sadar membuat
orang berperilaku untuk mencapai tujuan yang sesuai kebutuhannya. Diharapkan
dengan motivasi yang besar untuk melengkapi imunisasi dasar bagi bayinya,
segala penyakit dapat dicegah sedini mungkin dan kesehatan bayi dapat terpenuhi.
(12)

2.2.2 Letak Geografis


Daerah yang tersedia sarana transportasi berbeda dengan mereka yang hidup
terpencil. Kemudahan tempat yang strategis dan sarana transportasi yang lengkap
akan mempercepat pelayanan kesehatan.(12)

30

2.2.3 Lingkungan
Lingkungan adalah segala objek baik berupa benda hidup atau tidak hidup
yang ada disekitar dimana orang berada. Dalam hal ini lingkungan sangat
berperan dalam kepatuhan untuk melengkapi imunisasi dimana apabila
lingkungan mendukung secara otomatis ibu akan patuh untuk melengkapi
imunisasi pada anaknya.(12)
2.2.4 Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkah
laku seseorang. Keadaan ekonomi keluarga yang baik diharapkan mampu
mencukupi dan menyediakan fasilitas serta kebutuhan untuk keluarga, sehingga
seseorang dengan tingkat social ekonomi tinggi akan berbeda dengan tingkat
sosial ekonomi rendah. Keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi akan
mengusahakan terpenuhinya imunisasi yang lengkap bagi bayi.(12)
2.2.5 Pengalaman
Stress adalah salah satu bentuk trauma, merupakan penyebab kerentanan
seseorang terhadap suatu penyakit infeksi tertentu. Pengalaman merupakan salah
satu faktor dalam diri manusia yang sangat menentukan terhadap penerimaan
rangsang pada proses persepsi berlangsung. Orang yang mempunyai pengalaman
akan selalu lebih pandai dalam menyikapi segala hal dari pada mereka yang sama
sekali tidak mempunyai pengalaman.(12)
2.2.6 Fasilitas Kesehatan
Fasilitas kesehatan merupakan suatu prasarana dalam hal pelayanan
kesehatan. Apabila fasilitas baik akan mempengaruhi tingkat kesehatan yang ada,
ini terbukti seseorang yang memanfaatkan fasilitas kesehatan secara baik maka
akan mempunyai taraf kesehatan yang tinggi.(12)
2.2.7 Pendidikan
Pendidikan merupakan proses kegiatan pada dasarnya melibatkan tingkah
laku individu maupun kelompok. Inti kegiatan pendidikan adalah proses belajar
mengajar. Hasil dari proses belajar mengajar adalah terbentuknya seperangkat
tingkah laku, kegiatan dan aktivitas. Dengan belajar baik secara formal maupun
informal, manusia akan mempunyai pengetahuan, dengan pengetahuan yang
diperoleh seseorang akan mengetahui manfaat dari saran atau nasihat sehingga

31

akan termotivasi untuk meningkatkan status kesehatan. Pendidikan yang tinggi


terutama ibu akan memberikan gambaran akan pentingnya menjaga kesehatan
terutama bagi bayinya.
2.2.8 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tidak tahu menjadi tahu, ini terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Peningkatan
terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penciuman, penglihatan,
pendengaran, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga.(12)
Pada dasarnya manusia melewati dengan dua cara sehingga dalam otaknya
ada bayangan, mengetahui lewat indera (perceive) dan mengetahui lewat akal
(conscive). Pengetahuan yang diperoleh lewat indera disebut terapan (perception)
dan yang diperoleh lewat akal disebut pengertian (conception). Pengetahuan
persepsi mengacu pada hal-hal konkrit, sedangkan pengetahuan konsepsi mengacu
pada hal-hal abstrak.(12)
Pengetahuan merupakan faktor penting dalam menentukan perilaku seseorang
karena pengetahuan dapat menimbulkan perubahan persepsi dan kebiasaan
masyarakat. Pengetahuan yang meningkat dapat mengubah persepsi masyarakat
tentang penyakit. Meningkatnya pengetahuan juga dapat mengubah kebiasaan
masyarakat dari yang positif menjadi lebih positif, selain itu pengetahuan juga
membentuk kepercayaan.(12)
Pengetahuan tentang keadaan sehat dan sakit adalah pengalaman seseorang
tentang keadaan sehat dan sakitnya seseorang yang menyebabkan seseorang
tersebut bertindak untuk mengatasi masalah sakitnya dan bertindak untuk
mempertahankan kesehatannya atau bahkan meningkatkan status kesehatannya.
Rasa sakit akan menyebabkan seseorang bertindak pasif dan atau aktif dengan
tahapan-tahapannya.(12)
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sama penting dalam
membentuk tindakan seseorang ( over behavior). Dari pengalaman dan penelitian
terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari
pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.(12)

32

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain penting bagi terbentuknya


perilaku seseorang. Pengetahuan yang mencakup domain kognitif mencakup 6
tingkatan:
1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya, termasuk dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali
terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang diterima, oleh karena itu merupakan tingkatan pengetahuan
yang paling rendah.
2) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat diinterpretasikan materi
tersebut dengan benar.
3) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari dalam keadaan yang nyata.
4) Analisis (analysis)
Yaitu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam
suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5) Sintesis (sinthesis)
Yaitu menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu kemampuan untuk menyusun
suatu formulasi-formulasi yang telah ada.
6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan penilaian terhadap suatu objek
atau materi. Penilaian ini ditentukan untuk suatu kriteria yang ditentukan atau
menggunakan materi yang ada.
Notoatmodjo (2003) mengungkapakn bahwa sebelum orang mengadopsi
perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu:
a) Awarness (kesadaran), dimana oarang tersebut menyadari dalam arti
mengetahu terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

33

b) Interest (merasa tertarik), terhadap stimulus atau objek tersebut, disini


sikap subjek sudah mulai timbul.
c) Evaluation (menimbang-nimbang), terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah tidak baik lagi.
d) Trial , dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh stimulus.
e) Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan Pengetahuan seseorang
termasuk pengetahuan mengenai kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Menurut Irmayanti (2007) pengetahuan secara tidak langsung dipengaruhi oleh
faktor demografi seperti pendidikan, paparan media massa, ekonomi, hubungan
sosial, pengalaman dan akses layanan kesehatan.
1) Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam member respon
sesuatu yang datang dari luar orang yang berpendidikan tinggi akan memberi
respon yang lebih rasional terhadap informasi yang datang dan akan berfikir
sejauh mana keuntungan yang mungkin akan mereka peroleh dari gagasan
tersebut.
2) Paparan media massa (akses informasi)
Melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik berbagai informasi
dapat diterima oleh masyarakat sehingga seseorang yang lebih sering terpapar
media massa (TV, audio, majalah, pamphlet dan lain-lain), akan memperoleh
informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang tidak pernah
terpapar informasi media.
3) Ekonomi
Dalam memenuhi kebutuhan pokok (primer) maupun kebutuhan
sekunder keluarga dengan status ekonomi baik akan lebih mudah tercukupi
dibanding

keluarga

dengan

status

ekonomi

rendah,

hal

ini

akan

mempengaruhi pemenuhan kebutuhan akan informasi pendidikan yang


termasuk kebutuhan sekunder.
4) Hubungan sosial (lingkungan sosial budaya)

34

Manusia adalah makhluk sosial dimana kehidupan berinteraksi secara


kontinyu akan lebih besar terpapar informasi.
5) Pengalaman
Pengalaman individu tentang berbagai hal bisa, diperoleh dari tingkat
kehidupan dalam proses perkembangannya, misal sering mengikuti kegiatankegiatan yang mendidik misalnya seminar.
6) Akses layanan kesehatan
Mudah atau sulit mengakses layanan kesehatan tentunya akan
berpengaruh terhadap pengetahuan dalam hal kesehatan.
2.3 Kerangka Teori

Skema Kerangka Teori

35

36

BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN DEFENISI
OPERASIONAL
3. 1 Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti
Berdasarkan studi literatur, didapatkan faktor-faktor yang berhubungan
dengan kelangkapan imunisasi diantaranya adalah aspek keturunan, perilaku
individu, pelayanan kesehatan dan lingkungan. Berdasarkan empat elemen tadi
dapat diuraikan menjadi beberapa faktor yaitu karakteristik demografi, pengaruh
keadaan sosial, pengalaman sehat yang terdahulu, dan sumber daya dari
lingkungan.
Kemudian faktor-faktor tersebut berinteraksi dengan elemen interaksi
klienprofesi seperti dukungan afektif, informasi kesehatan, dan kepuasan
pelayanan. Hasil yang diharapkan dalam interaksi tersebut adalah kepatuhan
terhadap kelengkapan imunisasi dasar lengkap.
Sedangkan hasil-hasil studi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan imunisasi menyatakan bahwa yang mempengaruhi kepatuhan tersebut
adalah karakteristik demografi (umur ibu, penghasilan, pendidikan ibu). Selain
itu, terdapat faktor terlambat memulai imunisasi, kurangnya informasi bagi orang
tua maupun dokter tentang imunisasi, praktik dokter, keadaan klinik layanan
imunisasi (hal ini terkait dengan interaksi klien-profesi kesehatan).
Pengetahuan ibu mengenai PD3I dan imunisasi merupakan variable yang
tidak diteliti karena bisa terdapat kerancuan pada saat penelitian nanti. Fenomena
Chicken and egg dapat terjadi karena pengetahuan yang dimiliki oleh ibu
mungkin bertambah setelah melengkapi semua imunisasi dasar lengkap, hingga
saat penentuan nilai pengetahuan bias bernilai palsu. Motivasi internal ibu untuk
melakukan imunisasi dasar lengkap juga tidak dijadikan variable karena bisa
terjadi fenomena Chicken and egg.
3.2 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori diatas, maka dapat disusun kerangka konsep
sebagai berikut:

37

Variabel Independen

Variabel Dependen

FAKTOR PELAYANAN KESEHATAN


Perawatan prenatal
Pengalaman imunisasi anak sebelumnya
Informasi kesehatan
Dukugan dari profesi kesehatan
Kompetensi profesi yang memeberikan imunisasi

3.3 Definisi operasional


3.3.1 Variabel Terikat
Kelengkapan imunisasi dasar lengkap
Definisi : kelengkapan imunisasi anak yang sesuai dengan ketentuan,
instruksi atau saran yang diberikan oleh tenaga medis, khususnya dalam
mengikuti instruksi imunisasi dasar lengkap sesuai dengan aturan jadwal
pemberian yang tepat, termasuk tata cara dan lokasi pemberian imunisasi
dasar lengkap.
Alat ukur
Cara ukur

: dengan kuisioner
: responden mengisi kuosioner dengan memilih ya atau
tidak.

Skala

: Kategorik

Hasil ukur

1. Lengkap : jika responden memenuhi seluruh kriteria diatas.


2. Tidak lengkap: jika responden tidak memenuhi satu atau lebih
kriteria diatas

38

3.3.2 Variabel Bebas


Karakteristik demografi
1. Kelompok Umur
Defenisi: Umur adalah lamanya ibu kandung dari anak tersebut
hidup sejak dilahirkan sampai umur terakhir pada tanggal 15 juni
2015.
Alat ukur
Cara ukur

: dengan kuisioner
: responden mengisi kuosioner

Skala Ukur
: kategorik
Hasil ukur
:
1. 30 tahun
2. > 30 tahun
2. Pendapatan
Definisi: Pendapatan responden atau keluarga secara rutin dalam
satu bulan baik diperoleh dari pekerjaan, pensiunan, pemberian
keluarga dan tinggal dengan anggota keluarga berdasarkan rata-rata
pendapatan penduduk di Kota gorontalo yakni 1,2 juta/ bulan.(5)
Alat ukur
Cara ukur

: dengan kuisioner
: responden mengisi kuisioner dengan memilih
salah satu kategorik sesuai dengan penghasilan
keluarga perbulan

Skala Ukur
: kategorik
Hasil ukur
:
1. > 1,2 juta rupiah/bulan (ekonomi menengah keatas)
2. 1,2 juta rupiah/bulan (ekonomi menengah kebawah)
3. Jenjang Pendidikan
Definisi: Tingkat pendidikan formal terakhir yang berhasil
ditempuh ibu kandung anak tersebut dengan target wajib belajar 9
tahun.
Alat ukur
Cara ukur

: dengan kuisioner
: responden mengisi kuisioner sesuai pendidikan
terakhir

Skala Ukur
: kategorik
Hasil ukur
:
1. > SMA
2. SMA
4. Status Bekerja

39

Definisi: kegiatan ibu kandung anak tersebut setiap hari dalam


kehidupannya untuk mendapatkan uang/mencari nafkah.
Alat ukur
Cara ukur

: dengan kuisioner
: responden mengisi kuisioner tidak

Skala Ukur
: kategorik
Hasil ukur
:
1. Bekerja
2. Tidak bekerja
Faktor Lingkungan
1. Dukungan Sosial
Definisi : Efek interaksi dengan komunitas yakni efek dukungan
terhadap responden untuk melengkapi imunisasi dasar lengkap.
Alat ukur
Cara ukur

: dengan kuisioner
: responden mengisi kuisioner

Skala Ukur
Hasil ukur

: kategorik
:

1. Ada dukungan sosial dari orang terdekat


2. Tidak ada dukungan sosial dari orang terdekat
2. Kemudahan transportasi
Definisi: merupakan ketersediaan dukungan kendaraan yang
memudahkan ibu melakukan imunisasi dasar lengkap
Alat ukur
Cara ukur

: dengan kuisioner
: responden mengisi kuisioner

Skala Ukur
Hasil ukur

: kategorik
:

1. Mudah transportasi: responden tidak membutuhkan


bantuan orang jauh untuk transortasi
2. Susah transportasi: responden sangat membutuhkan
bantuan orang jauh untuk transportasi
Pelayanan Kesehatan
1. Perawatan prenatal
Definisi: Perawatan prenatal adalah Riwayat kunjungan prenatal saat
hamil bayi yang terakhir. Perawatan prenatal minimal dilakukan satu
kali pada usia kehamilan trimester pertama, kedua, ketiga dan saat
mau melahirkan.
Alat ukur

: dengan kuisioner

40

Cara ukur

: responden mengisi kuisioner sesuai dengan tingkat

kerutinan
Skala Ukur
Hasil ukur

: kategorik
:

1. Baik: Perawatan prenatal minimal satu kali pada usia


kehamilan trimester pertama, kedua, ketiga dan saat mau
melahirkan
2. Kurang: Tidak melakukan perawatan prenatal minimal
satu kali pada usia kehamilan trimester pertama, kedua,
ketiga dan saat mau melahirkan
2. Pengalaman imunisasi anak sebelumnya
Definisi: Pengalaman imunisasi pada anak sebelumnya meliputi
kelengkapan imunisasi yang didapat, tepat sesuai jadwal, tepat lokasi
dilakukan imunisasi pada anak. Apabila responden tidak memiliki
anak sebelumnya dianggap tidak memiliki pengalaman imunisasi
sebelumnya.
Alat ukur
Cara ukur

: dengan kuisioner
: responden mengisi kuisioner sesuai dengan tingkat
kerutinan

Skala Ukur
Hasil ukur

: kategorik
:

1. Memiliki pengalaman
2. Tidak memiliki pengalaman
3. Informasi dari petugas kesehatan
Definisi: Informasi kesehatan yang dimiliki Ibu tentang PD3I dan
imunisasi dari petugas kesehatan. Dalam hal ini, petugas kesehatan
memberikan informasi tentang (1) pentingnya imunisasi, (2) jadwal
imunisasi, (3) akibat jika bayi tidak diberi imunisasi, (4) efek
samping setelah bayi mendapatkan suntikan vaksin, (5) kapan
harus dibawa kembali ke klinik setelah mendapat suntikan
imunisasi, (6) tempat Ibu dapat memperoleh imunisasi, dan (7)
kapan imunisasi tidak boleh diberikan.
Alat ukur
Cara ukur

: dengan kuisioner
: responden mengisi kuisioner
41

Skala Ukur
Hasil ukur

: kategorik
:

1. informasi cukup: petugas kesehatan menjelaskan


ketujuh poin informasi tersebut
2. informasi kurang: petugas kesehatan tidak menjelaskan
ketujuh poin informasi tersebut
4. Dukungan dari profesi kesehatan
Definisi: Dukungan Keadaan yang merupakan dukungan dari profesi
kesehatan yang membuat Ibu selalu membawa bayinya untuk
diimunisasi. Dalam hal ini, petugas kesehatan mampu (1) menjawab
pertanyaan yang Ibu ajukan saat imunisasi, (2) memberi penjelasan
yang mudah dimengerti, (3) memberi saran-saran saat Ibu
mengimunisasi bayi Ibu, (4) menguatkan keputusan Ibu untuk
mengimunisasi bayi Ibu , dan (5) Informasi tentang imunisasi dari
petugas kesehatan membantu Ibu untuk membuat keputusan
mengimunisasi bayi Ibu
Alat ukur
Cara ukur

: dengan kuisioner
: responden mengisi kuisioner

Skala Ukur
Hasil ukur

: kategorik
:

1. Dukungan baik: petugas kesehatan mampu melakukan


3 sampai 5 poin diatas
2. Dukungan kurang baik: petugas kesehatan mampu
melakukan 1 dari 2 poin diatas
5. Kepuasan Pelayanan
Definisi: kemampuan profesi kesehatan melakukan imunisasi pada
bayi dari pandangan ibu. Dalam hal ini, petugas kesehatan mampu (1)
menjelaskan tentang imunisasi yang akan diberikan, (2) memberikan
suntikan vaksin, (3) memposisikan anak saat akan diimnisasi, (4)
menjelaskan apa yang harus dilakukan setelah bayi di imunisasi.
Alat ukur
Cara ukur

: dengan kuisioner
: responden mengisi kuisioner

Skala Ukur
Hasil ukur

: kategorik
:

42

1. Puas: menurut responden petugas kesehatan mampu


melakukan semua poin diatas dengan benar
2. Kurang puas: menurut responden petugas kesehatan
tidak mampu melakukan semua poin diatas dengan benar
3.4 Hipotesis
a) Ada hubungan antara faktor kelompok umur dengan kelengkapan
imunisasi dasar lengkap.
b) Ada hubungan antara faktor pendapatan dengan kelengkapan imunisasi
dasar lengkap.
c) Ada hubungan antara faktor jenjang pendidikan dengan kelengkapan
imunisasi dasar lengkap.
d) Ada hubungan antara faktor status bekerja dengan kelengkapan imunisasi
dasar lengkap.
e) Ada hubungan antara faktor dukungan sosial dengan kelengkapan
imunisasi dasar lengkap.
f) Ada hubungan antara faktor kemudahan transportasi dengan kelengkapan
imunisasi dasar lengkap.
g) Ada hubungan antara faktor perawatan prenatal dengan kelengkapan
imunisasi dasar lengkap.
h) Ada hubungan antara faktor pengalaman imunisasi anak sebelumnya
dengan kelengkapan imunisasi dasar lengkap.
i) Ada hubungan antara faktor informasi dari petugas kesehatan dengan
kelengkapan imunisasi dasar lengkap.
j) Ada hubungan antara faktor dukungan dari profesi kesehatan dengan
kelengkapan imunisasi dasar lengkap.
k) Ada hubungan antara faktor kepuasan pelayanan dengan kelengkapan
imunisasi dasar lengkap.

43

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan
desain potong lintang (cross sectional). Oleh karena itu data untuk tiap
variabel diambil hanya satu kali dan dalam waktu yang sama. Pada penelitian
cross sectional peneliti mencari hubungan antara variabel bebas (faktor risiko)
dengan variabel terikat (efek) dengan melakukan pengukuran sesaat. Jadi
pada penelitian ini tidak ada tindak lanjut selanjutnya.
Langkah-langkah pada studi cross sectional ini meliputi : 1) Merumuskan
pertanyaan penelitian serta hipotesis yang sesuai; 2) Mengidentifikasi
variabel bebas dan terikat; 3) Menetapkan subjek penelitian; 4) Melaksanakan
pengukuran; dan 5) Melakukan analisis.
Berdasarkan langkah-langkah diatas maka setelah merumuskan hipotesis
ditetapkan variabel bebas dan terikat. Sementara itu penetapan subjek
penelitian

dilakukan

dengan

menghitung

jumlah

sampel

penelitian

berdasarkan rumus penghitungan sampel pada penelitian prognostik. Sebagai


penelitian potong lintang, studi ini dilakukan dengan mengambil data
menggunakan kuesioner yang hanya dilakukan satu kali pengambilan.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kecamatan Kota Tengah, Kota
Gorontalo, Provinsi Gorontalo. lokasi ini dipilih karena Kecamatan Koa
Tengah merupakan kecamatan terluas dan terletak di pusat kota.
4.2.2 Waktu Penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian yaitu mulai tanggal 18-27 juni 2015.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi Target
Populasi target adalah masyarakat di Kecamatan Kota Tengah, Kota
Gorontalo, Provinsi Gorontalo.
4.3.2 Populasi Terjangkau

44

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anakanak usia 12-23 bulan yang ada di Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo,
Provinsi Gorontalo.
Kriteria inklusi:
a) Ibu dari anak berusia 12-23 bulan yang tinggal di Kecamatan Kota
Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo
b) Mampu berkomunikasi (mampu menulis dan membaca dalam bahasa
indonesia)
c) Bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent
lebih
Kriteria Ekslusi:
Responden yang tidak menjawab seluruh pertanyaan pada kuesioner
dengan lengkap
4.3.3 Sampel
Sampel penelitian adalah seluruh populasi yang memenuhi kriteria penelitian.
4.3.4 Besar Sampel
Perhitungan besar sampel dilakukan dengan perhitungan Lameshow
dkk.17
n = Z2.p.q
d2
n = (1,96)2. 0,8. 0,2
(0,1)2
n = 0,614656
0,01
n= 62 orang
Keterangan :
n = Jumlah sampel minimal yang diperlukan derajat kepercayaan
p = Proporsi pasien yang melengkapi imunisasi dasar lengkap 0,8 (5)
q = 1-p (proporsi responden yang tidak melengkapi imunisasi dasar
lengkap)
d = Limit dari error atau presisi absolut
Z= 1,96
Batas kemaknaan adalah p < 0,05 dengan interval kepercayaan 95%.
Dengan perhitungan berdasarkan rumus di atas, didapatkan nilai n = 62 orang
45

4.3.5 Teknik Pengambilan Sampel


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data skunder didapat dari pencatatan pemberian imunisasi bayi ibu.
Setelah data sekunder didapatkan. Data primer didapat dari jawaban atas
kuesioner yang diberikan kepada ibu.
4.4 Jenis Data dan Instrumen Penelitian
4.4.1 Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data primer dilakukan wawancara langsung oleh peneliti di
lingkungan Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo
dengan menggunakan kuesioner dan lembar observasi yang terstruktur
berdasarkan variabel yang meliputi 5 pertanyaan demografi (usia, alamat,
pendidikan terakhir, pendapata, ekerjaan), 1 pertanyaan perawatan prenatala,
dan 5 pertanyaan imunisasi anak sebelumnya, 3 pertanyaan untuk pengaruh
sosial, 7 pertanyaan tentang informasi kesehatan, 5 pertanyaan tentang
dukungan dari profesi kesehatan, dan 4 pertanyaan tentang kompetensi
profesi kesehatan yang melakukan imunisasi. Sedangkan data sekunder di
dapat dari catatan penduduk Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo,
Provinsi Gorontalo sebagai data dasar dalam menentukan sasaran pasien
4.4.2

yang diwawancara.
Instrumen Penelitian
Alat pengumpul data dan instrumen penelitian yang dipergunakan dalam
penelitian ini terdiri dari lembar pengisian data (kuisioner) dan lembar
observasi.Microsoft Word, Microsoft Excel, SPSS 22,0 sebagai tempat
untuk mengolah hasil penelitian.18

4.5

Manajemen Penelitian
4.5.1 Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan setelah meminta perizinan dari pihak
pemerintah Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo.
Teknik yang peneliti pakai dalam pengumpulan data menggunakan angket
(kuesioner).
4.5.2 Pengolahan Data

46

Data yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan program SPSS.


Proses pengolahan data penelitian menggunakan langkah-langkah sebagai
berikut17 :
a) Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang
diperoleh atau dikumpulkan.Editing dapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
b) Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) dengan
data yang terdiri atas beberapa kategorik.Pemberian kode ini sangat
penting bila pengolahan dan analisa data menggunakan komputer.
c) Entry Data
Entry data adalah kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan
kedalam master tabel atau database komputer, kemudian membuat
distribusi frekuensi sederhana.
d) Cleaning Data
Cleaning data merupakan kegiatan memeriksa kembali data yang sudah
dientri, apakah ada kesalahan atau tidak.Kesalahan mungkin terjadi pada
saat meng-entry data ke komputer.
4.5.3 Analisis data
Analisis data dilakukan oleh peneliti.Analisis data dilakukan agar data
memiliki arti. Analisis yang akan dilakukan adalah univariat dan bivariat.
Analisis univariat dilakukan dengan tujuan melihat gambaran distribusi
frekuensi dan proporsi dari variabel independen dan variabel dependen.
Sedangkan analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara dua
variabel tersebut.
Metode statistik yang digunakan untuk melihat kemaknaan dan besarnya
hubungan antara variabel dalam penelitian ini merupakan uji chi square.
Kemudian untuk memperoleh kejelasan tentang dinamika hubungan antara
faktor resiko dan faktor efek dilihat melalui nilai rasio odds (OR). Rasio Odds
dalam hal ini dipakai dalam menentukan rasio antara banyaknya kasus yang
terpapar dan kasus tidak terpapar.
Prinsip uji chi-square:
a) Merupakan analisis data kategorik
b) Data dalam bentuk frekuensi (bukan proporsi/ persentase}
47

c) Menghitung besar perbedaan antara nilai pengamatan (observed


frequencies) dengan nilai harapan (expected frequencies)
d) Syarat : besar sampel cukup. Expected frequencies < 1 dan banyaknya
sel dengan expected frequency < 5 tidak lebih dari 20 % dari banyak sel
seluruhnya
Cara menghitung expected frequencies
E=

subtotalbarisxsubtotalkolom
grandtotal

Untuk menguji hubungan faktor-faktor demografi/ lingkungan/ pelayanan


kesehatan dengan tingkat kelengkapan imunisasi dasar lengkap, dilakukan
perhitungan uji Chi Square dengan table 2 x 2 (Yates Correction)
2

1
N (|ad bc| N )
2
X 2=
( a+ b ) ( c+ d )( a+ c ) (b+ d)
Keterangan :
N = jumlah sampel
a = kejadian pasien melengkapi imunisasi dasar lengkap yang memiliki
hubungan dengan faktor-faktor demografi/ lingkungan/ pelayanan
kesehatan
b

= kejadian pasien tidak melengkapi imunisasi dasar lengkap karena


memiliki hubungan dengan faktor-faktor demografi/ lingkungan/
pelayanan kesehatan

c = kejadian pasien melengkapi imunisasi dasar lengkap karena tidak


memiliki hubungan dengan faktor-faktor demografi/ lingkungan/
pelayanan kesehatan
d = kejadian pasien tidak melengkapi imunisasi dasar lengkap karena tidak
memiliki hubungan dengan faktor-faktor demografi/ lingkungan/
pelayanan kesehatan
Kriteria penolakan H0: X2 hitung > X2
Bila syarat uji Chi Squere tidak terpenuhi, maka baris atau kolom sel dapat
digabungkan.Jika masih tidak memenuhi syarat, maka dapat digunakan uji

48

lainnya. Untuk table 2x2 digunakan uji Fishers Exact Test dan untuk table
1x2 dapat digunakan uji binomial.
Tabel 4.5.3 Tabel Prevalence Ratio
Lengkap

Tidak
lengkap

Memiliki hubungan dengan


faktor-faktor demografi/
lingkungan/ pelayanan

a+b

c+d

a+c

a+d

kesehatan
Tidak memiliki hubungan
dengan faktor-faktor
demografi/ lingkungan/
pelayanan kesehatan

Menghitung hubungan antara faktor-faktor demografi/ lingkungan/ pelayanan


kesehatan , antara lengkapnya Imunisasi dasar lengkap dan tidak lengkapnya
Imunisasi dasar lengkap ditegakkan dengan Prevalence Ratio dan CI 95%.
4.5.4 Penyajian data
Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram
untuk menggambarkan karakteristik faktor-faktor yang berhubungan dengan
kelengkapan imunisasi dasar lengkap di Kecamatan Kota Tengah, Kota
Gorontalo, Provinsi Gorontalo periode juni 2015.

49

d.6 Etika Penelitian


d.6.1 Prinsip-prinsip Etika Penelitian
Penelitian yang dilakukan khususnya jika yang menjadi subyek
penelitian adalah manusia, maka peneliti harus memahami hak dasar
manusia. Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya, sehingga
peneliti yang akan dilaksanakan benar-benar menjunjung tinggi kebebasan
manusia. Beberapa prinsip penelitian pada manusia yang harus dipahami
antara lain:17
a) Prinsip Manfaat
Prinsip ini meliputi prinsip untuk membuat responden terbebas dari
bahaya, terhindar dari eksploitasi dan mendapatkan manfaat dari
penelitian. Selain itu peneliti harus mengkaji perbandingan risiko dan
manfaat dari penelitian tersebut

(13)

. Penelitian ini dapat memberikan

manfaat berupa peningkatan pengetahuan tentang kondisi responden dan


anaknya, mendapatkan kepuasan karena dapat berpartisipasi dan keluar
dari rutinitasnya dan kepuasan karena dapat membantu orang lain dari
hasil penelitian ini untuk menyelesaikan masalah yang mungkin
menimpa orang lain.
Selain itu, penelitian ini juga tidak membahayakan responden
(nonmalefecience) karena renponden hanya diminta untuk mengisi
kuesioner dan akan dijaga kerahasiaan data yang diberikan serta tidak
akan menyita waktu yang lama bagi responden.
b) Prinsip Menghormati Manusia
Prinsip ini memungkinkan responden penelitian untuk berpartisipasi
secara suka rela dalam penelitian ini. Tidak ada paksaan dan tidak ada
tindakan yang akan memberatkan responden jika responden tidak
bersedia berpartisipasi. Responden boleh menolak berpartisipasi atau
mengklarifikasi terkait tujuan dan prosedur penelitian.
Peneliti harus menjelaskan alur penelitian, hak-hak responden
misalnya hak untuk menolak berpartisipasi, tanggung jawab peneliti dan
perbandingan risiko dan keuntungan atau manfaat yang akan didapat
responden

(13)

. Penjelasan tentang penelitian biasa dilakukan di awal

pengambilan data, akan tetapi, dapat dilakukan ulang jika ada hal yang
membutuhkan penjelasan bagi responden.

50

c) Prinsip Keadilan
Keadilan bagi responden penelitian ini dapat berupa perlakuan yang
sama dan hak untuk dijaga kerahasiannya. Perlakuan yang diharapkan
sebagai bentuk keadilan bagi responden adalah :
a) Pemilihan responden yang adil dan dipilih berdasarkan tujuan
penelitian, bukan karena alasan-alasan tertentu.
b) Tidak ada perilaku yang memberatkan jika responden mengundurkan
diri dari penelitian ini setelah menyetujuinya.
c) Responden mudah mengakses atau menghubungi peneliti jika ingin
melakukan klarifikasi
d) Responden dapat menerima penjelasan ulang dalam proses
pengambilan data
e) Selalu menghargai, sopan dan jujur pada responden (13)
Kerahasiaan yang terjaga meliputi kerahasiaan identitas responden
dan informasi yang diberikan responden. Peneliti mencoba melakukan
hal-hal di bawah ini untuk menjaga kerahasiaan responden dan informasi
yang didapat, yaitu:
a)
b)
c)
d)

Mengambil data identidas responden jika diperlukan saja.


Menyimpan informasi identitas dan data dalam file yang terkunci.
Memasukkan data tanpa identitas pada komputer.
Meminta kepada personel yang berhubungan dengan data ini untuk

menyimpan kerahasiaan data


e) Jika akan dilakukan publikasi maka samarkan identitas responden (13)
d.6.2 Masalah Etika Penelitian
Masalah etika penelitian merupakan masalah yang sangat penting dalam
penelitian, mengingat penelitian berhubungan langsung dengan manusia,
maka segi etika penelitian harus diperhatikan. Masalah etika yang harus
diperhatikan antara lain adalah sebagai berikut: 13
a) Informed Consent
Responden yang diikutsertakan dalam penelitian diberikan informasi
yang jelas tentang prosedur penelitian dan pertimbangan risiko dan
keuntungannya untuk responden agar responden dapat memutuskan
untuk berpartisipasi atau tidak dengan pemahaman yang penuh. Informed
consent merupakan pernyataan bahwa responden bersedia berpartisipasi
dengan pemahaman yang utuh tentang penelitian ini atau memutuskan
untuk tidak berpartisipasi.

51

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti


dengan

responden

penelitian

dengan

memberikan

lembar

persetujuan.Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian


dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi
responden. Tujuan informed consent adalah agar subyek mengerti
maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subyek
bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika
responden tidak bersedia, maka peneliti harus ada dalam informed
consent tersebut antara lain: partisipasi anak, tujuan dilakukan tindakan,
jenis data yang dibutuhkan, komitmen, prosedur pelaksanaan, potensial
masalah yang akan terjadi, kerahasiaan, informasi yang mudah
dihubungi, dan lain-lain. .
b) Anonimity (Tanpa Nama)
Masalah etika ini merupakan masalah yang memberikan jaminan
dalam penggunaan subyek penelitian dengan cara tidak memberikan atau
mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya
menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian
yang akan disajikan.
c) Confidentiality (Kerahasiaan)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah
lainya. Informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaanya oleh
peneliti, hanya kelompok data tersusun yang akan dilaporkan pada hasil
riset.

52

BAB VI
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan menyajikan data hasil penelitian faktor-faktor yang
mempengaruhi kelengkapan imunisasi dasar lengkap di Kecamatan Kota Tengah,
Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo dari tanggal 18 sampai 27 Juni 2015.
Penelitian ini dengan menyebarkan kuesioner kepada 69 responden, selanjutnya
berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi jumlah responden menjadi 62 orang. Hasil
dari pengumpulan data ini disajikan dalam bentuk tabel yang terdiri dari hasil
univariat dan bivariat, analisis univariat akan dilakukan untuk mendeskripsikan
masing-masing variabel dengan menggunakan distribusi frekuensi dengan ukuran
presentase sedangkan bivariat akan dilakukan untuk melihat adanya hubungan
antara variabel bebas dengan variabel terkait.
5.1 Analisis Univariat
5.1.1 Tingkat Kelengkapan Imunisasi Dasar Lengkap
Tabel 5.1.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Kelengkapan
Imunisasi Dasar Lengkap di Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo,
Provinsi Gorontalo (n= 62)
Tingkat Kelengkapan

Jumlah (n)

Persentase (%)

Lengkap

48

77,4 %

Tidak Lengkap

14

22,6 %

Berdasarkan tabel 5.1, terlihat sebagian besar dari 62 responden yang


5.1.2

melengkapi imunisasi dasar lengkap adalah 77,4%


Faktor-Faktor (Variabel) yang Berhubungan

dengan

Tingkat

Kepatuhan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data mengenai distribusi faktor
faktor kelompok umur, pendapatan, jenjang pendidikan, status bekerja,
dukungan sosial, kemudahan transportasi, perawatan prenatal, pengalaman
imunisasi anak sebelumnya, informasi kesehatan, dukungan dari profesi

53

kesehatan, dan kepuasan pelayanan terhadap kelengkapan imunisasi dasar


lengkap.
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Variabel Penelitian di
Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo (n=62)
No

Variabel

Persentase (%)

36
26
28
34
35
27
36
26
34
28
41

58,1
41,9
45,2
54,8
56,5
43,5
58,1
41,9
54,8
45,2
66,1

Susah
Cukup
Kurang

21
37
25

33,9
59,7
40,3

imunisasi anak

Ada

30

48,4

sebelumnya

Tidak ada
Cukup
Kurang
Baik

32
39
23
35

51,6
62,9
37,1
56,5

Kurang
Puas
Kurang puas

27
38
24

43,5
61,3
38,7

Kelompok umur

Pendapatan

Jenjang pendidikan

Status bekerja

Dukungan Sosial

Jumlah (n)

<30 tahun
30 tahun
>1,2 juta/ bulan
1,2 juta/ bulan
> SMA
SMA
Bekerja
Tidak bekerja
Ada
Tidak ada
Mudah

Sub Grup

Kemudahan
transportasi
Pereawatan prenatal
pengalaman

8
9
10
11

Informasi kesehatan
Dukungan profesi
kesehatan
Kepuasan pelayanan

Sumber: Data primer di Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi


Gorontalo
Berdasarkan tabel 5.2, terlihat distribusi pasien berdasarkan faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat kelengkapan imunisasi dasar lengka di
Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo pada tanggal
18 sampai 27 juni 2015. Berdasarkan variabel, diperoleh data terbanyak
yaitu kelompok umur <30 tahun 58,1%; pendapatan 1,2 juta/ bulan 54,8%;
jenjang pendidikan > SMA 56,5%; bekerja 58,1%, ada dukungan sosial
54,8%, mudah transportasi 66,1%, Cukup perawatan prenatal 59,7%, tidak
ada pengalaman imunisasi anak sebelumnya 51,6%, cukup informasi

54

kesehatan 62,9%, dukungan baik dari profesi kesehatan 56,5%, puas akan
pelayanan kesehatan 61,3%
5.2 Analisis Bivariat
Analisa bivariat dalam penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kelengkapan imunisasi dasar lengkap di Kecamatan
Kota Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo dari tanggal 18 sampai 27
Juni 2015, analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah Chi Square,
diperoleh hasil sebagai berikut:
5.2.1 Hubungan antara Variabel faktor Karakteristik Demografi dengan
Kelengkapan Imunisasi Dasar Lengkap
Tabel 5.3
Analisis Faktor karakteristik demografi terhadap imunisasi dasar lengkap di
Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo (n= 62)

Variabel

Sub Grup

1. Kelompok

<30 tahun
30 tahun
>1,2 juta/ bulan
1,2 juta/ bulan
> SMA

umur
2 Pendapatan
3. Jenjang
pendidikan
4. Status bekerja

SMA
Bekerja
Tidak bekerja

Tidak

P.
Value

31

Lengkap
5

17
23
25
29
19
31
17

9
5
9
6
8
5
9

Lengkap

POR

CI 95%

0,054

3,282

0,947-11,376

0,420

1,656

0,483-5,672

0,224

2,035

0,609-6,799

0,054

3,282

0,947-11,376

Sumber: Data primer di Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi


Gorontalo
Berdasarkan tabel 5.3, menunjukan bahwa variable kelompok umur,
pendapatan, jenjang pendidikan, dan status bekerja memiliki nilai P lebih besar
dari alpha (0,05) sehingga Ho gagal ditolak. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara kelompok umur, pendapatan, jenjang pendidikan, dan
status bekerja dengan kelengkapan imunisasi dasar lengkap di Kecamatan Kota
Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo.
5.2.2 Hubungan antara Variabel Faktor Lingkungan dengan Kelengkapan
Imunisasi Dasar Lengkap
55

Tabel 5.4
Analisis Faktor Lingkungan terhadap imunisasi dasar lengkap di Kecamatan
Kota Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo (n= 62)
Variabel
1. Dukungan

Sub Grup

Sosial
2. Kemudahan

Ada
Tidak ada
Mudah

transportasi

Susah

Lengkap
29
19
32
16

Tidak

P.

Lengkap
5
9
9
5

Value

POR

CI 95%

0,102

2,747

0,798-9,464

0,868

1,111

0,319-3,867

Sumber: Data primer di Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi


Gorontalo
Berdasarkan tabel 5.4, menunjukan bahwa variabel dukungan sosial dan
kemudahan transportasi memiliki nilai P lebih besar dari alpha (0,05) sehingga Ho
gagal ditolak. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
dukungan dosial dan kemudahan transportasi dengan kelengkapan imunisasi dasar
lengkap di Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo.

56

5.2.3 Hubungan antara Variabel Faktor Pelayanan Kesehatan dengan


Kelengkapan Imunisasi Dasar Lengkap
Tabel 5.5
Analisis Faktor Pelayanan Kesehatan terhadap imunisasi dasar lengkap di
Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo (n= 62)
Variabel
1. Pereawatan
prenatal
2. pengalaman
imunisasi anak

Sub Grup
Cukup
Kurang
Ada

sebelumnya
3. Informasi

Tidak ada
Cukup

kesehatan
4. Dukungan

Kurang

profesi

Baik

kesehatan
5. Kepuasan

Kurang
Puas

pelayanan

Kurang puas

Tidak

P.
Value

32
16

Lengkap
5
9

27

21

11

28
20

11
3

28

20

31
17

7
7

Lengkap

POR

CI 95%

0,038

3,600

1,034-12,529

0,022

4,714

1,165-19,083

0,168

0,382

0,094-1,548

0,580

1.400

0,424-4,623

0,324

1,824

0,548-6,073

Sumber: Data primer di Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi


Gorontalo
Berdasarkan tabel 5.5, menunjukan bahwa variabel perawatan prenatal,
pengalaman imunisasi anak sebelumnya memiliki nilai P lebih kecil dari alpha
(0,05) sehingga Ho ditolak Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
antara perawatan prenatal, pengalaman imunisasi anak sebelumnya dengan
kelengkapan imunisasi dasar lengkap di Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo,
Provinsi Gorontalo. Sedangkan variabel informasi kesehatan, dukungan dari
profesi kesehatan, dan kepuasan pelayanan memiliki nilai P lebih besar dari alpha
(0,05) sehingga Ho gagal ditolak. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara informasi kesehatan, dukungan dari profesi kesehatan, dan
kepuasan pelayanan dengan kelengkapan imunisasi dasar lengkap di Kecamatan
Kota Tengah, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo.

57

BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Faktor Karakteristik Demografi
6.1.1 Hubungan Kelompok Umur dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar
Lengkap
Usia wanita produktif sangat berpengaruh dalam kematangan berpikir
wanita tersebut, khususnya terhadap tanggung jawab dia sebagai seorang ibu
yakni merawat anak-anaknya hingga dewasa. Kondisi tubuh yang bugar
berpengaruh dalam keberlangsungan kegiatan-kegiatan yang wajib dilakukan
oleh seorang ibu. Melengkapi imunisasi dasar lengkap merupakan kegiatan
penting bagi seorang ibu untuk anakya, dibutuhkan rasa tanggung jawab
yang besar dan kemampuan fisik dari ibu tersebut.(14,15)
Dari 62 orang ibu sebagai responden, didapatkan rerata umur ibu adalah
27 tahun dengan umur terendah 20 tahun dan tertinggi adalah 35 tahun. Pada
penelitian ini usia ibu mayoritas berada pada golongan ibu yang produktif
sehingga diasumsikan mempunyai pemikiran untuk dapat melakukan sesuatu
atau apapun yang bermanfaat bagi bayinya. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya oleh Dimicco dan Dashiff

tentang kepatuhan ibu

untuk memulai imunisasi sesuai jadwal bahwa sebagian besar responden yang
diambil adalah usia produktif.(16)
6.1.2 Hubungan Pendapatan dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar
Lengkap
Pendapatan yang mencukupi atau bahkan berlebih dapat mempermudah
setiap kegiatan dalam sebuah keluarga. Minimnya pemasukan ekonomi akan
mempengaruhi kepatuhan seseorang akan kesehatannya. Imunisasi adalah
kegiatan pelayanan kesehatan yang membutuhkan dana agar dapat
melengkapi setiap itemnya, msalnya untuk membayar regimen, petugas
kesehatan, dan transportasi.(15)

58

Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara


pendapatan dengan kelengkapan imunisasi dasar lengkap. Hal ini tidak
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Astinah, dkk pada tahun 2013
yang dilakukan di wilayah kerja puskesmas Tamangaung Makassar dengan
jumlah populasi 30 ibu, pada penelitian ini didapatkan hubungan bermakna
antara pendapatan perekonomian keluarga dengan kepatuhan imunisasi dasar
lengkap dengan nilai koreksi fishers exact test diperoleh nilai p = 0,03.(17)
Motivasi internal ibu juga mempengaruhi kepatuhan akan kesehatan.
Pendapatan yang mencukupi tidak selamanya mempengaruhi kepatuhan
imunisasi dari ibu, faktor internal ibu dapat sangat mempengaruhi kepatuhan
akan kesehatan.(15)
6.1.3 Hubungan Jenjang Pendidikan dengan Kelengkapan Imunisasi
Dasar Lengkap
Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin banyak ilmu yang milikinya.
Sistem pendidikan wajib 9 tahun di Indonesia yang masih belum menitik
beratkan untuk masalah kesehatan, hal ini membuat setiap kelulusannya
masih memiliki sedikit kepedulian akan kesehatannya. Kondisi masarakat
pedesaan yang masih kurang memiliki lulusan sarjananya memungkinkan
kurangnya informasi kesehatan, hingga dapat mempengaruhi tingkat
kesehatan khususnya untuk kesehatan ibu dan anak.(4,14)
Pendidikan ibu ternyata belum banyak mempengaruhi perilaku sehat ibu
dimana dalam penelitian ini disampaikan bahwa tingkat pendidikan terbanyak
pada pendidikan SMA sabanyak 56,5%. Hal ini menunjukkan taraf
pendidikan ibu-ibu di Kecamatan Kota Tengah sudah cukup tinggi dari segi
pendidikan formal dasar. Hanya diperlukan sosialisasi pendidikan kesehatan
yang gencar sehingga modal pendidikan tinggi tersebut dapat membuat para
ibu memahami program kesehatan dan akan mudah juga mematuhinya. Pada
penelitian sebelumnya oleh Hanum, dkk pada tahun 2005 juga mendapatkan
proporsi yang hampir sama dimana tingkat pendidikan ibu rata-rata sudah
mencapai tingkat pendidikan lanjut.18 Sementara menurut Cotter, dkk pada

59

tahun 2002, didapatkan status imunisasi di daerah rural masih memiliki


kecenderungan yang rendah.(19)
6.1.4 Hubungan Status Bekerja dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar
Lengkap
Pekerjaan ibu juga termasuk bagian dari karakteristik yang perlu
dipertimbangkan karena jika ibu bekerja, maka kemungkinan pemantauan
perilaku sehat menjadi melemah dibandingkan ibu yang tidak bekerja atau ibu
rumah tangga saja. Imunisasi dasar lengkap merupakan kegiatan yang
dilakukan pada waktu yang sudah ditentukan dan berlangsung dalam 9 bulan
pertama kelahiran anak, diperlukan manajemen waktu agar kegiatan ini tidak
terbengkalai.(4,15)
Dengan uji statistik metode chi-square tidak didapatkan hubungan yang
bermakna antara status bekerja dengan kelengkapan Imunisasi dasar lengkap
pada penelitian ini. Hal ini sejalan dengan penelitian Nuwaha, dkk pada tahun
2004 dengan jumlah sampel 122 ibu didapatkan nilai chi-square 0,068
dimana tidak terdapat hubungan bermakna antara status bekerja dengan
kepatuhan imunisasi. (20)
6.2 Faktor Lingkungan
6.2.1 Hubungan Dukungan Sosial dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar
Lengkap
Pengaruh sosial dilihat dari seberapa banyak ibu menerima dukungan
psikososial dari orang di sekitarnya dan seberapa puas dengan dukungan
tersebut. Situasi yang dilihat adalah situasi jika terjadi hal-hal yang
mempengaruhi psikologis ibu sehingga dapat dilihat seberapa besar dukungan
yang dapat diterima ibu dari orang di sekitarnya. Pada penelitian ini terlihat
bahwa sebagian besar ibu hanya mempunyai orang yang dekat yang mampu
diterima sebagai pendukungnya sekitar 1-3 orang.(16)
Karakter ketimuran sebagai budaya di Indonesia yang tidak ingin
menceritakan apapun kepada orang lain selain suaminya setelah mereka

60

menikah. Sifat patriarkis disini masih terlihat sangat kuat karena hampir
seluruhnya menyatakan bahwa yang paling bisa memberinya dukungan
adalah suami. Pada penelitian Dimicco dan Dashiff pada tahun 2004,
didapatkan dukungan paling bermakna dirasakan dari ibu dan yang kedua dari
ayah si bayi. Jadi sangat berbeda dengan sistem dukungan di Indonesia
khususnya kota Gorontalo dimana sebagian besar ibu menyatakan dukungan
yang paling bermakna adalah dari suami.(16)
Sementara itu kepuasan terhadap dukungan juga dinyatakan dengan
kepuasan yang tinggi terhadap dukungan yang diterima. Peneliti melihat
adanya sifat para ibu yang ingin tangguh menanggung semuanya sendiri atau
hanya bersama suami. Tetapi di sini menjadi titik tolak kelemahan di mana
kemampuan ibu untuk menjaga mental yang sehat menjadi tidak terasah,
mereka cenderung memendam permasalahannya sendiri. Sedangkan menurut
Dimicco dan Dashiff pada tahun 2004, didapatkan mayoritas ibu yang
menjadi responden di Jefferson Country memiliki sistem pendukung lebih
dari 6 orang (48,6%) sehingga rata-rata kepuasan terhadap dukungan yang
diterimanya mencapai 5,81 (mendekati sangat puas).(16)
6.2.2

Hubungan

Kemudahan

Transportasi

dengan

Kelengkapan

Imunisasi Dasar Lengkap


Kemudahan transportasi seperti memiliki kendaraan pribadi, mudah
mendapatkan kendaraan pinjaman, atau tinggal dalam wilayah yang dilalui
kendaraan umum, dapat mempengaruhi kesadaran akan kesehatan seseorang.
Imunisasi dasar lengkap dilakukan di setiap tempat pelayanan kesehatan ibu
dan anak, misalnya rumah sakit adalah yang terjauh atau puskesmas yang
terdekat. Program kementrian kesehatan Indonesia yang mewajibkan
dilakukannya imunisasi hanya di pusat pelayanan tertentu mewajibkan setiaap
ibu yang ingin mengimunisasikan anaknya harus mendatangi tempat-tempat
tersebut. Semakin mudah ibu mendapatkan transportasi untuk pergi ke tempat
pelayanan imunisasi makan akan semakin tinggi angka kelengkapan
imunisasi dasar lengkap di daerah tersebut.(4,14)

61

Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan bermakna antara


kemudahan transportasi dengan kelengkapan imunisasi dasar lengkap dengan
nilai uji statistik p = 0,868. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Emmy Isnaini, dkk pada tahun 2010 yang dilakukan di Desa
Mororejo kaliwungu dengan jumlah sampel 145 ibu yang memiliki anak
umur 12 hingga 23 bulan, dengan metode cross sectional pada penelitian ini
didapatkan hubungan bermakna antara variable transportasi dengan
kepatuhan Imunisasi dasar lengkap. (21)
Jumlah tempat pelayanan imunisasi yang ada di Kecamatan Kota Tengan
Kota Gorontalo masih kurang apabila dibandingkan dengan jumah penduduk
dan luas wilayahnya. Jarak yang jauh juga mempengaruhi kepatuhan untuk
melengkapi imunisasi dasar lengkap, hal ini karena kebanyakan tempat
pelayanan kesehatan masih berada di pusat Kota Gorontalo.(4)
6.3 Faktor Pelayanan Kesehatan
6.3.1 Hubungan Perawatan Prenatal dengan Kelengkapan Imunisasi
Dasar Lengkap
Perawatan prenatal merupakan pelayanan kesehatan bagi ibu yang
mempedulikan tentang janin yang sedang dikandungnya. Tanggung jawab
yang besar mewakili presentasi kelengkapan perawatan prenatal. seringnya
ibu berkunjung ke tempat pelayanan kesehatan terdekat memungkinkan ibu
mendapatkan berbagai informasi penting tentang program pelyanan kesehatan
seperti imunisasi. Hingga saat anaknya lahir nanti, dengan bantuan buku
panduan imunisasi ibu sudah bisa menyusun jadwal imunisasi untuk anaknya.
(4,15)

Hasil korelasi perawatan prenatal dengan kelengkapan imunisasi dasar


lengkap pada penelitian ini menunjukkan signifikansi dengan nilai chi-square
0,038. Hal ini sejalan dengan hasil studi Dimicco dan Dashiff pada tahun
2004 yang menemukan korelasi perawatan prenatal sebelumnya dengan
kepatuhan memulai pemberian imunisasi. Menurut analisis peneliti, jika

62

perawatan prenatal berjalan rutin maka hal itu menjadi indikator sikap ibu
terhadap kesehatan yang baik.(16)
Hasil yang sama diperlihatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh
Rusman Efendy pada tahun 2010 yang dilakukan di wilayah kerja puskesmas
Pagar Dalam di Kota Banjarbaru dengan jumlah sampel 96 orang, pada uji
statistik didapatkan hubungan bermakna antara riwayat perawatan prenatal
ibu dengan kepatuhan imunisasi dasar lengkap dengan nilai signifikansi p=
0,003. Tanggung jawab ibu untuk anaknya telah dibuktikan dengan
berpartisipasinya ibu dengan pelayanan kesehatan prenatal, selain informasi
tentang kesehatan kandungan, ibu tersebut juga bisa mendapatkan informasi
lainnya untuk anaknya seperti imunisasi sehingga ibu dapat termotivasi untuk
memenuhi pelayanan imunisasi dasar lengkap.(22)
6.3.2 Hubungan Pengalaman Imunisasi Anak Sebelumnya dengan
Kelengkapan Imunisasi Dasar Lengkap
Pengalaman akan suatu kegiatan sebelumnya bisa menjadi tolak ukur
untuk keberhasilan kegiatan tersebut selanjutnya. Program imunisasi
dilakukan ke semua anak, keberhasilan imunisasi pada anak pertama akan
sangat berpengaruh untuk keberhasilan imunisasi pada anak selanjutnya
begitu pula sebaliknya. Informasi dan tatacara prosedur untuk medapatkan
imunisasi lebih dimengerti oleh ibu yang sudah pernah melakukan imunisasi
pada anaknya. (2,4)
Pada uji statistik metode chi-square didapatkan hubungan yang bermakna
antara pengalaman imunisasi pada anak sebelumnya dengan kelengkapan
imunisasi dasar lengkap dengan nilai p = 0,022. Hasil ini sesuai dengan hasil
yang dilakukan oleh Devita Citra Dewi pada tahun 2010 yang di lakukan di
wilayah kerja Rumah Sakit Sartika Asih Bandung dengan jumlah 60
responden yakni terdapat hubungan antara pengalaman imunisasi oleh ibu
dengan kepatuhan imunisasi dasar lengkap dengan uji statistic chi-square nilai
p= 0,035. (23)

63

Sejalan pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Ninik Ajizah yang
dilakukan pada bulan Mei 2011, yang dilakukan di Desa Kauman, Peteroman,
Kabupaten Jombang dengan jumlah 74 responden yakni terdapat hubungan
antara Pengalama Ibu melengkapi imunisasi anak sebelumnya dengan
kepatuhan imunisasi dasar lengkap pada uji statistic chi-square didapatkan
nilai p= 0,043. Menurut Ninik Ajizah pada penelitiannya menjelaskan bahwa
pengalaman dalam melakukan pelayanan kesehatan akan mempermudah
kesuksesan pelayanan kesehatan lainnya.(24)
6.3.3 Hubungan Informasi Kesehatan dengan Kelengkapan Imunisasi
Dasar Lengkap
Informasi tentang imunisasi yang diberikan oleh petugas kesehatan dapat
meningkatkan pengetahuan ibu tentang imunisasi. Kepedulian ibu untuk
kesehatan

anaknya

dapat

meningkat

seiring

dengan

meningkatnya

pengetahuan tentang imunisasi, diharapkan angka kelengkapan imunisasi


dasar lengkap dapat meningkat.(6,15)
Pada penelitian ini tidak didapatkan keselarasan bermakna antara
informasi imunisasi dari petugas kesehatan dengan kelengkapan imunisasi
dasar lengkap dengan nilai chi-square 0,168. Hal yang sama ditunjukkan pada
hasil penelitian oleh Hanum,dkk pada tahun 2004 didapatkan bahwa tidak ada
hubungan bermakna antara tingkat pendidikan, pekerjaan ibu dan sumber
informasi tentang imunisasi. Penelitian lain yang juga menunjang adalah
peneltian Rosenblum pada tahun 1981 yang menyatakan tingkat pendidikan
dan pendapatan tidak mempengaruhi kepatuhan imunisasi di kalangan ibu
dengan anak prasekolah. Cotter, dkk pada tahun 2002 juga menyatakan usia
ibu di bawah 20, kurang pengetahuan dan pemahaman, tinggal di daerah
rural, dan ras tidak mempengaruhi kepatuhan imunisasi.(19)
6.3.4 Hubungan Dukungan Profesi Kesehatan dengan Kelengkapan
Imunisasi Dasar Lengkap
Petugas kesehatan yang bertanggung jawab untuk meningkatkan angka
pelayanan kesehatan di lingkungan mereka bekerja. Rasa tanggung jawab ini

64

harus didasarkan dengan pengetahuan lebih tentang imunisasi agar dapat


menjawab setiap pertanyaan dari ibu agar ibu bisa merasa perlu untuk
melakukan imunisasi dasar lengkap untuk anaknya. Hal ini dapat
meningkatkan angka kelengkapan imunisasi dasar lengkap pada suatu daerah.
(6,15)

Analisis yang dikembangkan peneliti adalah fungsi dan peran profesi


kesehatan untuk menjaga kepatuhan imunisasi sangatlah besar sehingga
menurut Robin, dkk pada tahun 2004 pada penelitiannya menjelaskan jika
peran edukasi profesi kesehatan tidak dilaksanakan dengan optimal akan
tampak nilai kepatuhan yang rendah dan penurunan motivasi ibu pada
regimen preventif yang panjang ini. Kemudian peran konselor yang juga
dapat dijalankan dengan komunikasi terapeutik yang optimal akan
menghasilkan tingkat motivasi yang tinggi bagi ibu untuk mengimunisasi
bayinya.(25)
Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan bermakna antara dukungan
profesi kesehatan dengan kelengkapan imunisasi dasar lengkap dengan nilai
cho-square 0,580. Hal ini sejalan dengan penelitian Delan Astrianzah pada
tahun 2011 dengan jumlah sampel 112 ibu, tidak didapatkan hubungan berarti
antara variable dukungan provesi kesehatan dengan kepatuhan imunisasi
dasar lengkap dengan nilai chi-aquare 0,292.(26)
6.3.5 Hubungan Kepuasan Pelayanan dengan Kelengkapan Imunisasi
Dasar Lengkap
Selain itu kompetensi profesi kesehatan dalam menjaga kepuasan
pelayanan imunisasi juga mempengaruhi kepatuhan secara parsial, karena jika
situasi memungkinkan maka individu akan mencoba mencari alternatif lain
jika ditemukan profesi kesehatan yang tidak kompeten menjalankan regimen
preventif ini.(4)
Pada penelitian ini, dengan uji statistik metode chi-square didapat nilai p=
0,324 yang berarti tidak ada hubungan bermakna antara kepuasan pelayanan
dengan kelengkapan imunisasi dasar lengkap. Hasil yang sama diperlihatkan

65

oleh penelitian yang dilakukan oleh Indrawati pada tahun 2001 yang
dilakukan di Desa Sukoharjo, dengan jumlah sampel 130 orang dengan uji
signifikansi nilai P= 0,231 yang berarti tidak ada hubungan bermakna antara
kepuasan pelayanan dengan kepatuhan imunisasi ibu di Desa Sukoharjo.(27)
6.4 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Aspek penilaian kepatuhan berdasarkan aspek individu dan interaksi
individu-profesi kesehatan saja belum cukup untuk melihat nilai kepatuhan
karena kepatuhanpun dipengaruhi oleh faktor eksternal dimana dalam
penelitian ini tidak diperhatikan.
2. Cara pengambilan dan kualitas data : Pengambilan data pasien dilakukan
dengan metode self-report (laporan diri) menggunakan kuesioner sebagai
alat pengumpul data. Dengan metode ini, kemungkinan terjadi kesalahan
akibat keterbatasan responden untuk mengingat kembali peristiwa dan
mengungkapkan secara lengkap hal-hal yang telah dilakukan dan didapatkan
selama menjalankan pengobatan serta adanya respon tidak merasa bebas,
malu-malu, atau ragu pada saat menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh
peneliti, sehingga dapat mengakibatkan jawaban yang diberikan lebih
cenderung subjektif (recall bias). Bias ini agak sulit dihindari karena
menyangkut kemampuan setiap responden. Dalam beberapa pertanyaan yang
diajukan untuk mengukur beberapa variabel penelitian, disadari bahwa
kemungkinan

pertanyaan-pertanyaan tersebut belum menggali secara

keseluruhan aspek yang seharusnya diukur. Kuesioner merupakan salah satu


metode pengukuran kepatuhan yang praktis dan ekonomis, namun di lain
pihak keakuratan data sangat bergantung pada pasien

66

BAB VII
KESIMPULAN
7.1 Kesimpulan
1.
Responden yang melengkapi imnunisasi dasarlengkap lebih banyak
2.

77,4% dibandingkan dengan yang tidak melengkapi 22,6%.


Tidak ada hubungan antara variabel faktor karakteristik demografi
yakni variabel kelompok umur, Pendapatan, jenjang pendidikan, dan status

bekerja dengan kelengkapan imunisasi dasar lengkap


3.
Tidak ada hubungan antara variabel faktor Lingkungan yakni
variabel dukungan social dan kemudahan transportasi dengan kelengkapan
imunisasi dasar lengkap
4.
Ada hubungan antara variabel faktor Pelayanan Kesehatan yakni
variabel perawatan prenatal dan pengalaman imunisasi anak sebelumnya
dengan kelengkapan imunisasi dasar lengkap. Tidak ada hubungan antara
variabel faktor pelayanan kesehatan yakni informasi kesehatan, dukungan
profesi kesehatan, dan kepuasan pelayanan dengan kelengkapan imunisasi
dasar lengkap
7.2 Saran
1. Bagi Pelayanan Kesehatan
Bagi pelayanan Kesehatan di komunitas terutama di puskesmas dan di
masyarakat untuk selalu memantau pemberian imunisasi baik secara
kuantitatif maupun kualitatif. Salah satu cara efektif yang sangat mungkin
dilakukan adalah penggunaan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) agar
pelaporan terpusat pada satu jenis pelaporan data ke mana pun anak dibawa
ke fasilitas kesehatan.
2. Bagi perkembangan ilmu kesehatan
Perlu difikirkan strategi untuk meningkatkan motivasi dan rasa tanggung
jawab petugas kesehatan untuk dapat meningkatkan pemahaman masyarakat.
Sementara untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap regimen
kesehatan diperlukan strategi yang harus dikaji berdasarkan keilmuan
kesehatan komunitas.
3. Bagi Profesi

67

Perkembangan keilmuan hendaknya menjadi dasar layanan kesehatan di


masyarakat sehingga tidak terjadi kurang informasi di kalangan para ibu.
4. Bagi Dinas Kesehatan Kota Gorontalo
Sosialisasi imunisasi yang lebih gencar dan pemantauan serta evaluasi
cakupan imunisasi di Kota Gorontalo. Hal ini penting dilakukan, mengingat
ada

penurunan

cakupan

imunisasi.

Inovasi

untuk

mengoptimalkan

penggunaan buku KIA dapat menjadi solusi bagi terciptanya pencatatan status
imunisasi dan status kesehatan pada umumnya sehingga dapat termonitor
dengan baik status kesehatan anak secara global
5. Bagi penelitian selanjutnya
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti merasa masih
banyak kekurangan untuk mengetahui lebih jauh tentang faktor-faktor yang
berhubungan antara kelengkapan imunisasi dasar lengkap. Penelitian
selanjutnya juga perlu dilakukan dengan melihat faktor seluruh faktor baik
eksternal maupun internal yang mempengaruhi kepatuhan imunisasi.

68

Daftar Pustaka
1. United States Department of Health and Human Services. What
Immunization Is. http://www.hhs.gov/nvpo/concepts/intro3.htm.
2. World
Health
Organization.
Health
topics:
Immunization.
http://www.who.int/topics/immunization/en/.
3. Ranuh, I.G.N., dkk. 2011. Pedoman Imunisasi Di Indonesia, Edisi 4.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta
4. Proverawati, A., Citra Setyo Dwi Andhini. 2010. Medical Book:
Imunisasi dan Vaksinasi. Nuha Medika: Yogyakarta
5. dr. H. triyanto S. Bialangi M.Kes.. Provil Kesehata Provinsi Gorontalo
Tahun 2012. Gorontalo. 2012
6. Ghaffar, Abdul DR, Dr. Tariq Haqqi. Immunology Chapter 14:
Immunization. http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/immunization.htm.
7. Passive
Immunization-History
of
vaccines.
http://www.historyofvaccines.org/content/articles/passive-immunization.
Diakses tanggal 20 Februari 2014
8. Fitria, Liza., Hartono Gunardi, Arwin AP Akib. 2010. Pediatrica
Indonesiana Vol. 50 No. 6: Influence of Hepatitis B immunization to
prevent vertical transmission of Hep-B virus in infants born from Hep-B
positive mother.
9. Cherry, James D., MD. 2012. The New England Journal of Medicine:
Perspective- Epidemic Pertussis in 2012-The Resurgence of a VaccinePreventable Disease. http://www.nejm.org.
10. Mulholland, E. Kim, M.D., Ulla Kou Griffiths, M.Sc., Robin Bielik,
Ph.D. 2012. The New England Journal of Medicine: PerspectiveMeasles in the 21st Century. http://www.nejm.org.
11. Suyono,M.Sc. dan Dr. Budiman, S.Pd., SKM., S.Kep., M.Kes.. Ilmu
Kesehatan Masyarakat dalam onteks Kesehatan Lingkungan. Kesehatan
Lingkungan. Jakarta. 2012.
12. Budioro. Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro.
Semarang
13. Polit, D.F. & Hungler, B.P. (1999) Nursing research: Principles and
methods. (6th Ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
14. Falagas, M.E., & Zarkadoulia, E., (2008). Factors associated with
suboptimal compliance to vaccinations in children in developed countries:

69

a systematic review. Current Medical Research and Opinion, 24(6):171941.


15. Kohrt, A.E. & Kohrt, L.G. (2001). Imrpoving immunization rates in
pediatric practice. Pediatric Annals, 30(6): 320-30.
16. DiMicco, W.P. & Dashiff, C. (2002). Maternal characteristics and
timeliness

of

initiating

immunizations.

dissertation.

http://www.proquest.umi.com/pqdweb.index retrieved 24 Maret 2009


17. Astinah, Suriyanti Hasbullah, H. Muzakkir: FAKTOR FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI

KEPATUHAN

IBU

PADA

PEMBERIAN

IMUNISASI DASAR DI POSYANDU TERATAI 11B DI WILAYAH


KERJA PUSKESMAS TAMAMAUNG MAKASSAR: Makassar: 2013
18. Hanum S., Sadjimin T., & Ismail D., (2005). Determinan cakupan
imunisasi di Propinsi D.I.Yogyakarta. Berkala Ilmu Kedokteran,
37(3),150-1.
19. Cotter, J.J., Bramble, J.D., Bovbjerg, V.E., Pugh, C.B., McClish, D.K.,
Tipton, G., & Smith, W.S. (2002). Timeliness of immunizations of children
in medicated primary care case management managed care program.
Journal of the National Medical Assosiation, 94(9): 833-40.
20. Nuwaha, F., Mulindwa, G., Kabwongyera, E., & Barenzi, J. (2000).
Couses of low attendance at National Immunization Days for polio
eradication in Bushenyi District, Uganda. Tropical Medicine and
International Health, 5(5): 364-369.
21. Emmy Isnaini, Vivi Yosafianti, Shobirun: Hubungan Tingkat Pengetahuna
dan Sikap Ibu terhadap kepatuhan Pemberian Imunisasi Dasa Pada Bayi di
Desa Mororejo Kaliwungu Kabupaten Kendal: UNIMUS Semarang: 2010
22. Rusman Efendi1, Rita Dewi Astuti, Iis Pusparina: Hubungan Tingkat
Pengetahuan Ibu dan Dukungan Suami dengan Kepatuhan Ibu dalam
Memberikan Imunisasi Dasar : Kalimantan Selatan: 2010
23. Devita Citra Dewi, 2010: PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP DAN
PERILAKU IBU TERHADAP KEPATUHAN IMUNISASI DASAR
PADA BAYI DI RS SARTIKA ASIH BANDUNG TAHUN 2010:
Bandung: 2010
24. Ninik Azizah, Suyati, Vivin Eka Rahmawati: HUBUNGAN TINGKAT
PENGETAHUAN IBU TENTANG PENTINGNYA IMUNISASI DASAR
DENGAN KEPATUHAN MELAKSANAKAN IMUNISASI DI BPS Hj.

70

UMI SALAMAH Di DESA KAUMAN, PETERONGAN, JOMBANG:


Jawa Tengah: 2011
25. Robin, D.M. (2004). Variations in patients' adherence to medical
recommendations: a quantitative review of 50 years of research. Medical
Care, 42(3):200-209
26. Delan Astrianzah: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN
IBU, TINGKAT SOSIAL EKONOMI DENGAN STATUS IMUNISASI
DASAR LENGKAP PADA BALITA: Universitas Diponegoro Press: 2011
27. Indarwati: HUBUNGAN PERILAKU IBU DALAM MEMANFAATKAN
PELAYANAN
KEPATUHAN

KESEHATAN
IMMUNISASI

SELAMA
PADA

ANAK

HAMIL
DI

DENGAN

SUKOHARJO:

GASTER, Vol. 4, No. 1 Februari 2008 (154 - 166): hal 154.

71

Anda mungkin juga menyukai