Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

DUCHENNE MUSCULAR DYSTROPHY

Oleh:
Devita Tuty Anggraeni
Novita Fauzyah R

1020101038
10201010

Dokter Pembimbing:
Dr. Eddy Ario Koentjoro, Sp.S

SMF ILMU SARAF RSUD DR.SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
BAB I

PENDAHULUAN
Duchenne muscular dystrophy

adalah penyakit X-linked otot yang bersifat

progresif akibat tidak terbentuknya protein distropin. Penyakit ini secara bertahap
melemahkan kerangka otot, yang di lengan, kaki dan punggung. Pada remaja awal atau
bahkan lebih awal, otot jantung dan otot pernafasan juga mungkin dapat
terpengaruh, munculnya kelemahan berjalan pada awal dekade kedua, dan
biasanya akan meninggal pada usia 20 tahun. Pada
menetapkan

kriteria

diagnostik

yang

tahun

1868,

Duchenne

masih digunakan sampai sekarang untuk

penyakit distrofi otot. Kriteria-kriteria tersebut antara lain, (1) kelemahan yang
dimulai dari lengan; (2) hiperlordosis dengan gaya berjalan yang khas; (3) hipertrofi
otot yang lembek; (4) perjalanan penyakit yang progresif; (5) penurunan kontraktilitas
otot dengan rangsangan listrik pada tahap lanjut; dan (6) disfungsi vesika urinria dan
pencernaan, gangguan sensorik, atau demam. DMD disebabkan adanya perubahan
(mutasi) pada gen, yang disebut gen DMD, yang dapat diwariskan dalam keluarga
dengan cara yang resesif X-linked. Dalam DMD, anak-anak mulai menunjukkan
tanda-tanda kelemahan otot sejak usia 3 tahun.
Prognosis dari MD bervariasi tergantung dari progresivitas penyakitnya. Pada
beberapa kasus dapat ringan dan memburuk sangat lambat, dengan kehidupan
normal,

sedangkan

pada

kasus

yang

lain

mungkin

memiliki pemburukan

kelemahan otot yang bermakna, disabilitas fungsional dan kehilangan kemampuan


berjalan. Harapan hidup dapat tergantung pada derajat pemburukan dan defisit
pernapasan lanjut. Pada DMD, kematian biasanya terjadi pada usia belasan sampai awal
dua puluhan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HISTOANATOMI DAN FISIOLOGI OTOT SKELETAL

Sarkolema merupakan membran sel serabut otot. Sarkolema terdiri dari


membran plasma dan sebuah lapisan luar yang terdiri dari satu lapisan tipis
materi polisakarida yang mengandung fibril kolagen tipis. Di setiap ujung serabut
otot, lapisan permukaan sarkolema ini bersatu dengan serabut tendon, berkumpul
membentuk tendon otot.[9]
Setiap serabut otot terdiri dari ribuan miofibril. Setiap miofibril terdiri 1500
filamen miosin dan 3000 filamen aktin, yakni molekul protein polimer besar yang
mengatur kontraksi otot.[9]
Filamen Aktin terdiri dari tiga komponen protein: aktin, troponin, dan
tropomiosin. Kerangka filamen aktin merupakan suatu molekul protein Faktin
untai ganda. Kedua untai membentuk heliks. Setiap untai heliks F-aktin ganda terdiri
dari molekul G-aktin terpolimerisasi, dengan berat 42.000. setiap molekul G-aktin
melekat satu molekul ADP.[9]
Miosin terdiri dari enam rantai polipeptida-dua rantai berat dengan berat
200.000 dan empat rantai ringan dengan berat 20.000. dua rantai membentuk
heliks ganda yang disebut ekor miosin. Salah satu ujungnya melipat secara bilateral
ke dalam struktur polipeptida globuler yang disebut kepala miosin. Rantai ringan
membantu mengatur fungsi kepala selama kontraksi otot.[9]
Mekanisme kontraksi otot terdiri dari beberapa tahapan [9] :
1. Otak merangsang neurotransmiter untuk mensekresikan asetil kolin.
2. Asetil kolin lalu membebaskan ion Ca dari lepuh-lepuh samping
retikulum sarkoplasma ke filamen aktin dan filamen miosin.
3. Ca kemudian mengikat troponin dan tropomiosin yang merupakan
penghambat penarikan antara filamen aktin dan filamen miosin.
4. Terjadi pemendekan, yaitu filamen aktin bergeser ke arah filamen miosin
dan garis-garis Z saling mendekati.
5. Terbentuklah aktomiosin, yaitu pertautan antara filamen aktin dan filamen
miosin.
6. Otot kontraksi.
Mekanisme relaksasi otot terdiri dari beberapa tahapan [9] :
1. Pembebasan troponin dan tropomiosin dari ikatan Ca .
2. Ca yang tersebar di filamen aktin dan filamen miosin dipompa kembali
masuk ke dalam retikulum sarkoplasma.
3. Terjadilah penghentian interaksi antara filamen aktin dan filamen miosin.
4. Aktomiosin lepas.
5. Otot relaksasi.

B. DEFINISI
Duchenne muscular dystrophy adalah penyakit X-linked otot yang bersifat
progresif akibat tidak terbentuknya protein distropin[1].
Penyakit ini mengenai anak laki-laki dan proses distrofi otot sudah dimulai
sejak lahir, munculnya kelemahan berjalan pada awal dekade kedua, dan biasanya akan
meninggal pada usia 20 tahun[2]. Pada DMD terdapat kelainan genetik yang terletak
pada

kromosom

X,

lokus

Xp21.22-4

yang

bertanggung

jawab terhadap

pembentukan protein distrofin.[3]


Distrofin merupakan protein yang sangat panjang dengan berat molekul 427
kDa dan terdiri dari 3685 asam amino. Distrofin merupakan suatu protein yang
mempertahankan integritas otot. Distrofin bersama dengan beberapa protein lain yaitu
dystrophin associated protein (DAPs), yang meliputi sarcoglycan, dystroglycan,
dan syntrophin memberikan stabilitas terhadap membran sel otot secara fisik dan
fisiologis.[11]
Pada tahun 1884 untuk pertama kali memakai istilah dystrophia muscularis
progressiva. Pada tahun 1855, Duchenne memberikan deskripsi lebih lengkap
mengenai

atrofi

penyakit

muscular dystrophy

autosomal

muskular

progresif

pada

anak -anak.Becker mendeskripsikan

yang dapat diturunkan secara autosomal resesif,

dominant atau X-linked resesif. Hoffman

et al menjelaskan

bahwa

kelainan protein distrofin merupakan penyebab utama DMD.[1]


C. EPIDEMIOLOGI
Insidensi penyakit itu relatif jarang, hanya sebesar satu dari 3500 kelahiran
bayi laki-laki. Penyakit tersebut diturunkan melalui X-linked resesif, dan hanya
mengenai pria, sedangkan perempuan hanya sebagai karier.[2]
Pada wanita mutasinya harus terdapat pada kedua kopi dari gen untuk
menyebabkan

gangguan

ini

(pengecualian

yang

jarang,

pada

karier

yang

menunjukkan gejala, bisa terjadi karena kompensasi dosis/inaktivasi X). Pada pria jauh
lebih sering menderita penyakit terkait X resesif dibandingkan wanita.[1]
Secara klinis, gangguan akibat Duchenne muscular dysthropy mulai tampak
pada usia 3-7 tahun, yakni lordosis, gaya berjalan waddling, dan tanda Gowers.
Manifestasi

klinis

berupa

pseudohypertrophy

muncul

1-2 tahun kemudian.

Kebanyakan pasien harus memakai kursi roda pada usia 12 tahun.[13]

D. ETIOLOGI
Pada DMD terdapat kelainan genetik yang terletak pada kromosom X, lokus
Xp21.22-4 yang

bertanggung

jawab terhadap pembentukan

protein distrofin.

Perubahan patologi pada otot yang mengalami distrofi terjadi secara primer dan bukan
disebabkan oleh penyakit sekunder akibat kelainan sistem saraf pusat atau saraf perifer.
[1]

Duchenne muscular dystrophy disebabkan adanya mutasi pada gen yang


bertanggung jawab dalam mengkodekan distrofin. Mutasi yang terjadi mengakibatkan
hilangnya

protein

distrofin,

baik

berupa

delesi,

duplikasi maupun

mutasi

pergeseran yang menimbulkan hilangnya protein otot yang besar dan dikaitkan
dengan fenotif umum yang terlihat pada penderita Duchenne muscular dystrophy.
Analisis lokasi delesi menunjukkan bahwa daerah amino-terminal, cysteine-rich,
dan daerah carboxy-terminal merupakan bagian utama dari fungsi distrofin yang
sering mengalami gangguan.[10]
E. PATOGENESIS
DMD merupakan kelainan yang diturunkan, dan masing-masing MD mengikuti
pola pewarisan yang berbeda. Tipe yang paling dikenal, Duchenne muscular dystrophy
(DMD), diwariskan dengan pola terkait X resesif, yang berarti bahwa gen yang
bermutasi yang menyebabkan penyakit ini terletak pada kromosom X, dan oleh
karenanya terkait seks. Pada pria satu salinan yang berubah dari gen ini pada
masing-masing sel sudah cukup untuk menyebabkan kelainan ini.[7]
Pada wanita mutasinya harus terdapat pada kedua kopi dari gen untuk
menyebabkan

gangguan

ini

(pengecualian

yang jarang, pada karier yang

menunjukkan gejala, bisa terjadi karena kompensasi dosis/inaktivasi X). Pada pria
oleh karenanya terkena penyakit terkait X resesif jauh lebih sering dibandingkan
wanita.[1]
Penyebab utama proses degeneratif pada DMD kebanyakan akibat delesi
pada segmen gen yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin
pada membran sel otot, sehingga menyebabkan ketiadaan protein tersebut dalam
jaringan otot.[4]
Distrofin merupakan bagian struktural utama dalam otot sebagai penghubung
antara sitoskeleton dan matriks ekstraseluler. Amino-terminus dari

distrofin

berikatan dengan F-actin dan karboksil terminus berikatan dengan dystrophinassociated

protein

complex

(DAPC)

pada

sarkolemma. DAPC

terdiri dari

distroglikan, sarkoglikan, integrin and caveolin, sehingga mutasi pada komponenkomponen tersebut menyebabkan distrofi otot.[3]
DAPC menjadi tidak stabil saat tidak ada distrofin, yang menyebabkan
penyusutan jumlah protein. Selanjutnya hal ini akan merusak serat dan membran
otot secara progresif.[7]
F. PATOFISIOLOGI
Suatu ciri khas dari pewarisan terkait X adalah ayah tidak dapat mewariskan
sifat terkait X pada anak laki-laki meraka. Pada sekitar duapertiga kasus DMD,
pria yang terkena penyakit mewarisi mutasinya dari ibu yang membawa satu salinan
gen DMD. Sepertiga yang lain mungkin diakibatkan karena mutasi baru pada gen
ini. Perempuan yang memberi satu salinan dari satu mutasi DMD mungkin memiliki
tanda dan gejala terkait kondisi ini (seperti kelemahan otot dan kramp), namun
biasanya lebih ringan dari tanda dan gejala pada pria. Duchenne muscular dystrophy
dan Becker's muscular dystrophy disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein
dystrophin dan menyebabkan suatu kelebihan pada enzim creatine kinase.[7]
Protein distrofin dikodekan oleh sejumlah gen yang terdiri dari 79 ekson dan
8 promoter yang diekspresikan pada otot polos, otot jantung, otot lurik dan sedikit
pada otak. Distrofin berperan dalam stabilitas struktural miofibril. Tanpa distrofin,
otot akan mudah mengalami trauma mekanis dan degenerasi karena kemampuan
regeneratif mengalami inaktivasi.[4]
Infiltrasi sel inflamasi pada serat otot yang mengalami degenerasi pada
DMD tampak pada biopsi otot. Sebagai penyakit yang progresif, kematian serat
otot diakibatkan oleh makrofag dan penggantian jaringan otot oleh lemak.[8]
Gangguan fungsi distrofin menyebabkan sarkolemma otot menjadi kurang
stabil. Ketidakstabilan ini menyebabkan kerusakan otot, nekrosis, dan fibrosis.
Ketiadaan distrofin akan bermanifestasi pada masalah fisiologis otot berupa kesulitan
gerak secara progresif akibat adanya fragilitas membrane miofibril, sehingga
terjadi siklus degenerasi dan
regenerasi.[4]

regenerasi kronis yang disertai hilangnya potensi

Pada kelainan ini terlihat pseudohipertropi pada betis dan pantat, dimana
penderitanya semua dari golongan umur kanak- kanak. Dalam 10-12 tahun penderita
tidak dapat bergerak lagi dan hidupnya terpaksa di tempat tidur atau di kursi
roda. Pada tahap terminal ini seluruh otot skeletal sudah atrofik.[5]
Penderita DMD pada umumnya meninggal karena kegagalan

dalam

pernapasan, biasanya pada akhir usia belasan tahun atau awal dua puluh. Banyak
anak-anak lelaki mempunyai elektrokardiogram abnormal pada usia 18 tahun.[7]
G. GEJALA DAN TANDA
Pada Duchenne muscular dystrophy, otot fleksor leher, otot ekstensor pinggang,
otot ekstensor panggul, otot quadrisep, otot tibialis anterior, otot biseps, dan otot
triseps lebih banyak mengalami gangguan dibandingkan otot extensor leher, otot
flexor panggung, otot deltoid, otot hamstring, otot gastroknemii, dan otot solei.[8]
Refleks tendon dalam, yang muncul pada kerusakan serat otot yang
berlangsung paralel, mulanya berkurang secara perlahan terus berlanjut sampai
hilang.

Pada

umumnya,

perbesaran

otot

memberikan

gambaran terjadinya

peningkatan kekuatan otot. Namun kenyataannya, pada penyakit DMD terjadi


perbesaran gelendong otot disebabkan oleh infiltrasi lemak dan fibrotik pada otot yang
mengalami degenerasi, yang disebut pseudoatrofi. Kadang-kadang, pseudoatrofi
tampak

pada

otot

lengan

dan

otot

lidah. Bagaimanapun,

penjelasan

lain

menyatakan bahwa pseudohipertrofi merupakan hasil mekanisme kompensasi dari


kelemahan otot. [12]
Gejala dan tanda pada penyakit DMD berdasarkan tahapan perjalanan penyakit
sebagai berikut [12] :
1. Tahap 1 Presimptomatik
a. Kreatine kinase biasanya meningkat.
b. Riwayat keluarga biasanya positif.
2. Tahap 2 Fase awal berjalan
a. Waddling gait, muncul pada anak usia 2-6 tahun; sering pada gejala klinis
pertama pasien Duchenne muscular dystrophy.
b. Kelemahan progresif terjadi pada otot-otot proximal, terutama
ekstremitas bawah, tetapi selanjutnnya naik ke otot flexor leher, bahu dan
lengan.

c. Karena kelemahan otot punggung proximal dan otot ekstremitas, orangtua


sering mengatakan bahwa anak laki-lakinya menekan lututnya sebagai
usaha untuk berdiri; dikenal sebagai tanda Gowers.
3. Tahap 3 Fase akhir berjalan
a. Lebih sulit berjalan.
b. Sekitar usia 8 tahun, kebanyakan pasien memperlihatkan kesulitan
menaiki tangga dan kelemahan otot respirasi. Kelemahan ini berlangsung
lambat, tetapi pasti.
c. Tidak dapat bangkit dari lantai.
d. Terjadi hipoksia nokturnal seperti letargi dan sakit kepala di pagi hari.
4. Tahap 4 Fase awal tidak mampu berjalan
a. Dapat bergerak sendiri untuk beberapa waktu
b. Masih dapat mempertahankan postur tubuh
c. Perkembangan skoliosis
5. Tahap 5 Fase akhir tidak mampu berjalan
a. Skoliosis berlangsung progresif, sehingga menjadi bergantung pada kursi
roda.
b. Jika kursi roda tidak mampu menolong lagi, gejala berkembang ke arah
respirasi terminal atau gagal jantung, biasanya terjadi pada usia dua puluhan;
gizi buruk dapat juga menjadi komplikasi serius pada seseorang dengan DMD
tahap akhir yang berat.
c. Terbentuk kontraktur otot.
Kadang-kadang terjadi peningkatam enzim fungsi hati (AST, ALT), dan pada
beberapa kasus, kadar serum kreatine kinase dan gamma-glutamyl transferase (GGT)
mesti diteliti lebih awal dibanding biopsi hati.[7]
Kebanyakan anak-anak yang mengalami distrofinopati memiliki IQ < 1 standar
deviasi dibanding populasi umum. Keterampilan intelektual yang rendah seperti
bidang kognitif (gangguan kemampuan diferensiasi, gangguan hiperaktif dengan
pengurangan atensi (ADHD), gangguan obsesi-konvulsif, mental retardasi), tampak
pada 30%

pasien dengan

distrofinopati.

Anak-anak yang

menderita

DMD

mengalami gangguan dalam keterampilan berbicara dan berpeluang mengalami


gangguan proses kompleks informasi verbal.[12]
Secara umum, gejala-gejala yang dapat ditemukan pada DMD adalah sebagai
berikut[4] :
1. Kelemahan otot yang progresif bahkan dapat terjadi kehilangan masa otot.
2. Gangguan keseimbangan.

3. Mudah merasa lelah


4. Kesulitan dalam aktivitas motorik
5. Peningkatan lumbal lordosis yang berakibat pada pemendekan otot panggul
6. Sering jatuh
7. Kesulitan berjalan, cara berjalan yang aneh
8. Waddling Gait
9. Deformitas jaringan ikat otot
10. pseudohipertrophy ( mengalami pembesaran pada lidah dan betis), dimana terjadi
pengisisan oleh jar ikat dan jaringan lemak.
11. Mengalami kesulitan belajar
12. Jangkauan gerak terbatas
13. Kontraktur otot (biasanya pada tendon Achilles dan kerusakan otot hamstring)
karena serat otot memendek dan mengalami fibrosis yang muncul pada
jaringan ikat.
14. Gangguan respirasi
15. Ptosis
16. Atrofi Gonad
17. Scoliosis
18. Beberapa jenis MD dapat menyerang jantung, menyebabkan cardiomyopathy
atau aritmia
H. DIAGNOSIS BANDING
1. Congenital Muscular Dystrophy (CDM)
CMD merupakan penyakit autosomal resesif yang menyebabkan kelemahan
berat pada bagian proksimal tubuh, sejak kelahiran (atau kurang dari 12 bulan) yang
berjalan tidak progresif. Kontraktur merupakan tanda umum dan CNS abnormal dapat
terjadi.[14]
Biopsi otot menunjukkan tanda

distrofi,

termasuk

peningkatan

dalam

endomysial dan perimysial jaringan ikat; ukuran serat kecil dan imatur.[6]
2. Congenital Myopathies (CM)
CM bercirikan onset sejak awal kehidupan dengan kondisi hipotonia,
hiporefleksia, kelemahan umum yang lebih sering mengenai bagian otot proksimal
dan curah otot yang buruk. Sering disertai dismorfik akibat kelemahan. Relatif tidak
progressif.[14]
Hipotonia merupakan tanda utama CM, dengan klinis ketertinggalan; lemah
dalam memfleksikan pinggung, luut dan siku; external rotasi pinggul; kelemahan
pada wajah, lengan dan otot aksial; dan penurunan masa otot.[6]
3. Polymyositis

Polymyositis

merupakan

miopati

inflamasi

idiopati

yang menyebabkan

kelemahan otot proksimal yang simetris; peningkatan kadar enzim otot lurik dan
gambaran electromyography (EMG) yang khas. Umumnya ditemukan pada pria
dewasa.[14]
4. Emery-Dreifuss Muscular Dystrophy
Klinis berupa kelemahan otot yang berjalan lambat dan mengikis distribusi
scapulohumeroperoneal. Kontraktur dini pada siku, mata kaki dan leher belakang.
Terjadi defek konduksi kardiak dan/atau kardiomiopati. Onset biasanya muncul
pada usia remaja, tetapi pada beberapa kondisi dapat terjadi pada neonatus dan
bahkan dekade ketiga. Kelemahan yang muncul pada otot peronela dengan gaya
berjalan toewalking.[14]
5. Facioscapulohumeral Dystrophy (FD)
Klinis berupa kelemahan bahu. Wing-scapula merupakan tanda utama FD.
Letak skapula lebih lateral dibandingkan normal. Skapula akan naik saat abduksi.
Otot deltoid biasanya normal, dan kelemahan abduksi bahu terjadi akibat
lemahnya fiksasi skapula. Kegagalan gerakan menyerong naik pada aksila anterior
akibat kelemahan otot pektoralis mayor.[6]
6. Limb-Girdle Muscular Dystrophy
Onset muncul pada usia dewasa, berupa atropi otot yang berjalan lambat dengan
kelemahan pada distribusi limb-girdle, yang disertai keterlibatan faring dalam
memimpin terciptanya pembicaraan nasal. Tidak terbentuk kontraktur otot, hipertrofi
otot, dan gangguan jantung. Creatine kinase (CK) dalam batas normal.[6]
Kelainan ini merupakan autosomal dominan. Protein yang terlibat berupa
myotilin, yang berkaitan dengan sarkomer. Lokus gen terletak pada 5q31.[14]
I. DIAGNOSIS
Diagnosis dari DMD didasarkan terutama pada hasil biopsi otot. Dalam
beberapa kasus, suatu tes darah DNA mungkin cukup membantu. Pemeriksaan
lainnya yang dapat membantu antara lain, peningkatan kadar CK serum dan
pemeriksaan elektromyografi, yang konsisten dengan keterlibatan miogenik.[13]
Seringkali, terdapat kehilangan jaringan otot, yang sulit untuk dilihat karena pada
DMD menyebabkan penumpukan jaringan lemak dan jaringan ikat yang membuat
otot tampak lebih besar. Ini disebut dengan pseudohipertrofi.[6]

Tanda dan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis DMD adalah sebagai


berikut [3,4] :
1. Positif Gower Sign menunjukkan banyaknya kerusakan yang lebih pada otototot di ekstremitas bawah. Gowers sign adalah suatu gerakan tubuh saat pasien
berusaha berdiri akibat proses degenerasi otot skeletal yang berjalan secara
progresif sehinga menyebabkan kelemahan otot. Pasien memulai untuk berdiri
dengan cara kedua lengan dan kedua lutut menyangga badan (prone position),
kemudian kedua lutut diluruskan (bear position), selanjutnya tubuh ditegakkan
dengan bantuan kedua lengan yang berpegangan pada ke dua lutut dan paha
untuk kemudian berdiri tegak (upright position).
2. Creatin Kinase ( CPK MM ), dimana kadar keratin kinase pada aliran darah
tinggi. Akibat

ketiadaan distropin pada

pasien DMD, terjadi gangguan

permeabilitas membran sel otot (sarkolemma), sehingga terjadi kebocoran enzim


kreatinin fosfokinase (CPK) yang menyebabkan kadar CPK dalam serum
3.

menjadi sangat tinggi.


EMG (elektromyografi)

menunjukkan

kelemahan

yang

disebabkan

oleh

kerusakan pada jaringan otot dibandingkan pada sel syarafnya. Hasil EMG sesuai
dengan kelainan miopati, yaitu terlihat peningkatan frekuensi, penurunan
amplitudo dan penurunan aksi potensial motorik, sedangkan kecepatan hantar
saraf adalah normal. DMD merupakan suatu kelainan miopati.
4. Genetic Testing, dapat menampilkan bahwa kerusakan genetik pada gen Xp21.
5. Biopsy otot (imunohistokimia atau imunobloting), atau bisa juga pemeriksaan
genetik dengan tes darah untuk mengkonfirmasi keberadaan distropin. Terjadi
degenerasi

otot,

tampak

internal

nuclei

bertambah

dan jaringan

ikat

perimisium dan endomisium meningkat. Pada pasien DMD terjadi proses


degenerasi

serabut

otot

yang

digantikan

oleh

jaringan fibrofatty akibat

ketiadaan distrofin.
J. TERAPI
Pemberian

kortikosteroid,

seperti

prednisolon

pada

pasien

DMD dapat

mempertahankan fungsi dan kekuatan otot, serta memperlambat proses degenerasi


penyakit. Mekanisme kortikosteroid dalam memperlambat proses degenerasi otot

masih belum jelas. Efek samping pemberian kortikosteroid adalah peningkatan


berat badan, retardasi pertumbuhan, hirsutisme dan osteoporosis.[7]
Latihan fisik berupa fisioterapi dan pemakaian alat bantu dapat diberikan.
Untuk mencegah kontraktur plantar fleksi yang berpengaruh pada keseimbangan dan
cara berjalan, dapat diberikan latihan stretching heel-cord dan pemakaian ankle foot
orthosis (AFO) pada waktu malam. Tetapi pemakaian alat ortosis atau stretching
tidak dapat mencegah terjadinya kontraktur. Ketika kontraktur tendo achilles
bertambah berat dan mempengaruhi ambulasi, maka dapat dilakukan lengthening
tendon achilles.[4]
Pemakaian knee ankle foot orthosis (KAFO) digunakan saat otot quadriceps
mulai lemah yang disertai berkembangnya fleksi kontraktur lutut sehingga membantu
pasien untuk dapat berdiri dan berjalan. Alat tersebut dapat digunakan pada pasien
dengan knee flexion contracture <30.

Pada fleksi kontraktur lutut yang melebihi

30 sampai 40, tindakan pembedahan tidak bermanfaat karena tidak akan tercapai
koreksi fungsional yang berarti. Pada pasien DMD biasanya terdapat hipotonia
saluran cerna, yang menyebabkan pengosongan lambung menjadi sulit sehingga
memerlukan pemasangan nasogastric tube untuk aspirasi cairan lambung.[1]
Dengan berjalannya waktu, maka proses degenerasi otot
skeletal terus
berlangsung, sehingga pasien akan mengalami masalah multisistem. Fungsi paru
akan terus memburuk

setelah fusi spinal karena proses distrofi progresif otot

pernafasan, termasuk otot diafragma. Selain itu dapat terjadi gangguan fungsi
jantung. Dalam hal ini latihan respirasi tidak memberikan keuntungan yang berarti.
Bantuan ventilasi dengan menggunakan nasal mask pada malam hari dengan endexpiratory pressure akan membantu mencegah pneumonia dan

dekompensasi

pulmonal. Tanpa dukungan ventilator, pasien biasanya meninggal dalam usia 20


tahun.[7]
K. PROGNOSIS
Prognosis dari DMD bervariasi tergantung dari progresivitas penyakitnya.
Pada beberapa kasus dapat ringan dan memburuk sangat lambat, dengan kehidupan
normal, sedangkan pada kasus yang lain mungkin memiliki pemburukan kelemahan
otot yang bermakna, disabilitas fungsional dan kehilangan kemampuan berjalan.

Harapan hidup dapat tergantung pada derajat pemburukan dan defisit pernapasan
lanjut. Pada DMD, kematian biasanya terjadi pada usia belasan sampai awal dua
puluhan.[2]

BAB III
PENUTUP
Duchenne muscular dystrophy merupakan penyakit kelainan distrofik yang
diwariskan secara X-linked dan hanya mengenai laki-laki, sementara perempuan
hanya sebagai pembawa sifat. Secara klinis pasien DMD tidak mampu berjalan
pada

usia

sekitar

10 tahun.

Tindakan

pembedahan

dan

rehabilitasi,

dapat

membantu pasien untuk memperlama fungsi ambulasi serta memberikan rasa nyaman.
Perlu pemberian informasi yang jelas dan konseling genetika mengenai
perjalanan penyakit terhadap pasien dan keluarganya. Diagnosis DMD dapat
ditegakkan dengan analisis DNA untuk mendeteksi delesi gen yang bertanggung jawab
terhadap penyandian protein distrofin. Pemeriksaan immunohistokimia protein
distrofin, juga dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis pasti. Penanganan
pasien dengan DMD harus dilakukan secara multidisiplin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wedhanto S, U Siregar. Duchenne Muscular Dystrophy. Maj Kedokt Indon,
Volum: 57, Nomor: 9, September 2007.
2. Tachjian MO. Clinical pediatric orthopedic the art of diagnosis and principles
of management. Generalized affection of the muscular skeletal system. Stamfort,
CT, Appleton & Lange; 1997.p.401-3.
3. Muntoni F, Torelli Silvia, Ferlini A. Dystrophin and mutations: one gene, several
proteins, multiple phenotypes. Lancet Neurol 2003;2:731-40.
4. Sussman M. Duchenne Muscular Dystrophy. J Am Acad Orthop Surg
2002;10:138-51.

5. Mardjono M, S. Priguna. Neurologi Klinis Dasar. 2008: Jakarta. Dian Rakyat.


6. Annonymous. Muscular Dystrophy Types. (Online) 2008. (http://www.news7.

medical.net/health/Muscular-Dystrophy-Types.aspx, diunduh 28 Juli 2015).


Nowak K. J., K. E.Davies. Duchenne muscular dystrophy and dystrophin:
pathogenesis and opportunities for treatment. Third in Molecular Medicine

Review Series. EMBO reports Vol 5;No 9: 2004.


8. Bradley W. G., R. B. Daroff, G.M. Fenichel. Neurology in Clinical Practice.
Fourth Edition. 2004: Pennsylvania. El Sevier Inc.
9. Guyton A. C., J.E Hall. Fisiologi Kedokteran. 2008: Jakarta. EGC
10. Ervasti
JM,
Campbell
KP.
Membrane
organization

of

the

dystrophinglycoprotein complex. Cell. Sep 20 1991;66(6):1121-31.


11. Ozawa E, Noguchi S, Mizuno Y, et al. From dystrophinopathy to
sarcoglycanopathy: evolution of a concept of muscular dystrophy. Muscle Nerve.
Apr 1998;21(4):421-38.
12. Darke J, Bushby K, Le Couteur A, McConachie H. Survey of behaviour problems
in children with neuromuscular diseases.

Eur J Paediatr Neurol. May

2006;10(3):129-34.
13. Mendell JR, Shilling C, Leslie ND et al. Evidence based path to newborn screening
for Duchenne Muscular Dystrophy. Ann Neurology. 2012;71:304313.
14. Annonymous.
Duchenne
Muscular
Dystrophy
(online)
(http://emedicine.medscape.com/, diunduh 28 Juli 2015)

2012

Anda mungkin juga menyukai