Anda di halaman 1dari 9

DMD

Duchenne muscular dystrophy (DMD) merupakan penyakit distrofi muskular progresif,


bersifat herediter, dan mengenai anak laki-laki. Insidensi penyakit itu relatif jarang, hanya
sebesar satu dari 3500 kelahiran bayi laki-laki. Penyakit tersebut diturunkan melalui X-linked
resesif, dan hanya mengenai pria, sedangkan perempuan hanya sebagai karier.
Biasanya anak- anak yang menderita distrophya jenis Duchene dibawa ke dokter
karena sering jatuh, dan kalau sudah jatuh tidak dapat berdiri dengan cepat. Kelemahan otototot tungkai pada anak- anak tersebut tidak memungkinkan mereka bangkit secara wajar. Dari
sikap duduk di lantai dan kemudian berdiri dilakukannya dengan cara yang khas, pertama
mereka menempatkan lengan di lantai sebagaimana anak hendak merangkak, kemudian
tungkai diluruskan dan tangan bergerak setapak demi setapak kearah kaki, setelah kaki
terpegang, kedua tangan memanjat tungkai, demikianlah akhirnya tubuh dapat digerakkan.

BATASAN
Duchenne muscular dystrophy adalah penyakit X-linked otot yang bersifat progresif akibat
tidak terbentuknya protein distropin. Penyakit ini mengenai anak laki-laki dan proses distrofi
otot sudah dimulai sejak lahir, munculnya kelemahan berjalan pada awal dekade kedua, dan
biasanya akan meninggal pada usia 20 tahun. Pada DMD terdapat kelainan genetik yang
terletak pada kromosom X, lokus Xp21.22-4 yang bertanggung jawab terhadap pembentukan
protein distrofin

EPIDEMIOLOGI
Insidensi penyakit itu relatif jarang, hanya sebesar satu dari 3500 kelahiran bayi laki-laki.
Penyakit tersebut diturunkan melalui X-linked resesif, dan hanya mengenai pria, sedangkan
perempuan hanya sebagai karier.
Pada wanita mutasinya harus terdapat pada kedua kopi dari gen untuk menyebabkan
gangguan ini (pengecualian yang jarang, pada karier yang menunjukkan gejala, bisa terjadi
karena kompensasi dosis/inaktivasi X). Pada pria jauh lebih sering menderita penyakit terkait
X resesif dibandingkan wanita.

Secara klinis, gangguan akibat Duchenne muscular dysthropy mulai tampak pada usia 3-7
tahun, yakni lordosis, gaya berjalan waddling, dan tanda Gowers. Manifestasi klinis berupa
pseudohypertrophy muncul 1-2 tahun kemudian. Kebanyakan pasien harus memakai kursi
roda pada usia 12 tahun.

ETIOLOGI
Pada DMD terdapat kelainan genetik yang terletak pada kromosom X, lokus Xp21.22-4 yang
bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin. Perubahan patologi pada otot
yang mengalami distrofi terjadi secara primer dan bukan disebabkan oleh penyakit sekunder
akibat kelainan sistem saraf pusat atau saraf perifer.
Duchenne muscular dystrophy disebabkan adanya mutasi pada gen yang bertanggung jawab
dalam mengkodekan distrofin. Mutasi yang terjadi mengakibatkan hilangnya protein
distrofin, baik berupa delesi, duplikasi maupun mutasi pergeseran yang menimbulkan
hilangnya protein otot yang besar dan dikaitkan dengan fenotif umum yang terlihat pada
penderita Duchenne muscular dystrophy.

PATOGENESIS
DMD merupakan kelainan yang diturunkan, dan masing-masing MD mengikuti pola
pewarisan yang berbeda. Tipe yang paling dikenal, Duchenne muscular dystrophy (DMD),
diwariskan dengan pola terkait X resesif, yang berarti bahwa gen yang bermutasi yang
menyebabkan penyakit ini terletak pada kromosom X, dan oleh karenanya terkait seks. Pada
pria satu salinan yang berubah dari gen ini pada masing-masing sel sudah cukup untuk
menyebabkan kelainan ini. Pada wanita mutasinya harus terdapat pada kedua kopi dari gen
untuk menyebabkan gangguan ini (pengecualian yang jarang, pada karier yang menunjukkan
gejala, bisa terjadi karena kompensasi dosis/inaktivasi X). Pada pria oleh karenanya terkena
penyakit terkait X resesif jauh lebih sering dibandingkan wanita.
Penyebab utama proses degeneratif pada DMD kebanyakan akibat delesi pada segmen gen
yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin pada membran sel otot,
sehingga menyebabkan ketiadaan protein tersebut dalam jaringan otot.
Gangguan fungsi distrofin menyebabkan sarkolemma otot menjadi kurang stabil.
Ketidakstabilan ini menyebabkan kerusakan otot, nekrosis, dan fibrosis. Ketiadaan distrofin

akan bermanifestasi pada masalah fisiologis otot berupa kesulitan gerak secara progresif
akibat adanya fragilitas membran miofibril, sehingga terjadi siklus degenerasi dan regenerasi
kronis yang disertai hilangnya potensi regenerasi.

GEJALA DAN TANDA

Tahap 1 Presimptomatik

a. Kreatine kinase biasanya meningkat.

b. Riwayat keluarga biasanya positif.

2. Tahap 2 Fase awal berjalan

a. Waddling gait, muncul pada anak usia 2-6 tahun; sering pada gejala klinis pertama pasien
Duchenne muscular dystrophy.

b. Kelemahan progresif terjadi pada otot-otot proximal, terutama ekstremitas bawah, tetapi
selanjutnnya naik ke otot flexor leher, bahu dan lengan.

c. Karena kelemahan otot punggung proximal dan otot ekstremitas, orangtua sering
mengatakan bahwa anak laki-lakinya menekan lututnya sebagai usaha untuk berdiri; dikenal
sebagai tanda Gowers.

3. Tahap 3 Fase akhir berjalan


a. Lebih sulit berjalan.
b. Sekitar usia 8 tahun, kebanyakan pasien memperlihatkan kesulitan menaiki tangga dan
kelemahan otot respirasi. Kelemahan ini berlangsung lambat, tetapi pasti.
c. Tidak dapat bangkit dari lantai.
d. Terjadi hipoksia nokturnal seperti letargi dan sakit kepala di pagi hari.

4. Tahap 4 Fase awal tidak mampu berjalan


a. Dapat bergerak sendiri untuk beberapa waktu
b. Masih dapat mempertahankan postur tubuh
c. Perkembangan skoliosis
5. Tahap 5 Fase akhir tidak mampu berjalan
a. Skoliosis berlangsung progresif, sehingga menjadi bergantung pada kursi roda.
b. Jika kursi roda tidak mampu menolong lagi, gejala berkembang ke arah respirasi terminal
atau gagal jantung, biasanya terjadi pada usia dua puluhan; gizi buruk dapat juga menjadi
komplikasi serius pada seseorang dengan DMD tahap akhir yang berat.
c. Terbentuk kontraktur otot.

Secara umum, gejala-gejala yang dapat ditemukan pada DMD adalah sebagai berikut:
1. Kelemahan otot yang progresif bahkan dapat terjadi kehilangan masa otot.
2. Gangguan keseimbangan.
3. Mudah merasa lelah
4. Kesulitan dalam aktivitas motorik
5. Peningkatan lumbal lordosis yang berakibat pada pemendekan otot panggul
6. Sering jatuh
7. Kesulitan berjalan, cara berjalan yang aneh
8. Waddling Gait
9. Deformitas jaringan ikat otot
10. pseudohipertrophy ( mengalami pembesaran pada lidah dan betis), dimana terjadi
pengisisan oleh jar ikat dan jaringan lemak.

11. Mengalami kesulitan belajar


12. Jangkauan gerak terbatas
13. Kontraktur otot (biasanya pada tendon Achilles dan kerusakan otot hamstring) karena
serat otot memendek dan mengalami fibrosis yang muncul pada jaringan ikat.
14. Gangguan respirasi
15. Ptosis
16. Atrofi Gonad
17. Scoliosis
18. Beberapa jenis MD dapat menyerang jantung, menyebabkan cardiomyopathy atau aritmia
DIAGNOSIS BANDING
1. Congenital Muscular Dystrophy (CDM)
2. Congenital Myopathies (CM)
3. Polymyositis
4. Emery-Dreifuss Muscular Dystrophy
5. Facioscapulohumeral Dystrophy (FD)
6. Limb-Girdle Muscular Dystrophy
DIAGNOSA
Diagnosis dari DMD didasarkan terutama pada hasil biopsi otot. Dalam beberapa kasus, suatu
tes darah DNA mungkin cukup membantu. Pemeriksaan lainnya yang dapat membantu antara
lain, peningkatan kadar CK serum dan pemeriksaan elektromyografi, yang konsisten dengan
keterlibatan miogenik. Seringkali, terdapat kehilangan jaringan otot, yang sulit untuk dilihat
karena pada DMD menyebabkan penumpukan jaringan lemak dan jaringan ikat yang
membuat otot tampak lebih besar. Ini disebut dengan pseudohipertrofi.
Pada tahun 1868, Duchenne menetapkan kriteria diagnostik yang masih digunakan
sampai sekarang untuk penyakit distrofi otot. Kriteria-kriteria tersebut antara lain, (1)
kelemahan yang dimulai dari lengan; (2) hiperlordosis dengan gaya berjalan yang khas; (3)

hipertrofi otot yang lembek; (4) perjalanan penyakit yang progresif; (5) penurunan
kontraktilitas otot dengan rangsangan listrik pada tahap lanjut; dan (6) disfungsi vesika
urinria dan pencernaan, gangguan sensorik, atau demam.
TERAPI
Pemberian kortikosteroid, seperti prednisolon pada pasien DMD dapat mempertahankan
fungsi dan kekuatan otot, serta memperlambat proses degenerasi penyakit. Mekanisme
kortikosteroid dalam memperlambat proses degenerasi otot masih belum jelas. Efek samping
pemberian kortikosteroid adalah peningkatan berat badan, retardasi pertumbuhan, hirsutisme
dan osteoporosis.
Latihan fisik berupa fisioterapi dan pemakaian alat bantu dapat diberikan. Untuk mencegah
kontraktur plantar fleksi yang berpengaruh pada keseimbangan dan cara berjalan, dapat
diberikan latihan stretching heel-cord dan pemakaian ankle foot orthosis (AFO) pada waktu
malam. Tetapi pemakaian alat ortosis atau stretching tidak dapat mencegah terjadinya
kontraktur. Ketika kontraktur tendo achilles bertambah berat dan mempengaruhi ambulasi,
maka dapat dilakukan lengthening tendon Achilles. Pemakaian knee ankle foot orthosis
(KAFO) digunakan saat otot quadriceps mulai lemah yang disertai berkembangnya fleksi
kontraktur lutut sehingga membantu pasien untuk dapat berdiri dan berjalan. Alat tersebut
dapat digunakan pada pasien dengan knee flexion contracture <30. Pada fleksi kontraktur
lutut yang melebihi 30 sampai 40, tindakan pembedahan tidak bermanfaat karena tidak
akan tercapai koreksi fungsional yang berarti. Pada pasien DMD biasanya terdapat hipotonia
saluran cerna, yang menyebabkan pengosongan lambung menjadi sulit sehingga memerlukan
pemasangan nasogastric tube untuk aspirasi cairan lambung.

PROGNOSIS
Prognosis dari DMD bervariasi tergantung dari progresivitas penyakitnya. Pada beberapa
kasus dapat ringan dan memburuk sangat lambat, dengan kehidupan normal, sedangkan pada
kasus yang lain mungkin memiliki pemburukan kelemahan otot yang bermakna, disabilitas
fungsional dan kehilangan kemampuan berjalan. Harapan hidup dapat tergantung pada derajat
pemburukan dan defisit pernapasan lanjut. Pada DMD, kematian biasanya terjadi pada usia
belasan sampai awal dua puluhan. terbentuk kontraktur otot, hipertrofi otot, dan gangguan
jantung. Creatine kinase (CK) dalam batas normal.

DAFTAR PUSTAKA
Wedhanto S, U Siregar. Duchenne Muscular Dystrophy. Maj Kedokt Indon, Volum: 57,
Nomor: 9, September 2007.
Tachjian MO. Clinical pediatric orthopedic the art of diagnosis and principles of
management. Generalized affection of the muscular skeletal system. Stamfort, CT, Appleton
& Lange; 1997.p.401-3.
Muntoni F, Torelli Silvia, Ferlini A. Dystrophin and mutations: one gene, several proteins,
multiple phenotypes. Lancet Neurol 2003;2:731-40.
Sussman M. Duchenne Muscular Dystrophy. J Am Acad Orthop Surg 2002;10:138-51.
Mardjono M, S. Priguna. Neurologi Klinis Dasar. 2008: Jakarta. Dian Rakyat.
Nowak K. J., K. E.Davies. Duchenne muscular dystrophy and dystrophin: pathogenesis and
opportunities for treatment. Third in Molecular Medicine Review Series. EMBO reports Vol
5;No 9: 2004.
Bradley W. G., R. B. Daroff, G.M. Fenichel. Neurology in Clinical Practice. Fourth Edition.
2004: Pennsylvania. El Sevier Inc.
Ozawa E, Noguchi S, Mizuno Y, et al. From dystrophinopathy to sarcoglycanopathy:
evolution of a concept of muscular dystrophy. Muscle Nerve. Apr 1998;21(4):421-38.
Mardjono. Mahar., Shidarta Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai