Amenorea Primer
Amenorea Primer
Halaman judul ..
Daftar isi
ii
I.
Pendahuluan .
II.
Fisiologi menstruasi .
III.
Evaluasi amenorea
IV.
V.
11
12
2. Disgenesis gonad XY . .. 13
3. Agenesis gonad 13
VI.
14
15
I.
PENDAHULUAN
Secara berkala, fungsi seksual wanita berada di bawah kendali hormon. Tanda yang khas
untuk suatu siklus haid adalah timbulnya perdarahan melalui vagina setiap bulan pada
seorang wanita. Perdarahan ini terjadi akibat rangsangan hormonal secara siklik terhadap
endometrium.1,2,3,4 Amenorea dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu:
1. Amenorea fisiologik
Amenorea yang terdapat pada masa sebelum pubertas, masa kehamilan, masa laktasi
dan sesudah menopause.
2. Amenorea patologik
Lazimnya diadakan pembagian antara amenorea primer dan amenorea sekunder.
Amenorea primer, apabila seorang wanita berumur 16 tahun ke atas belum pernah
dapat haid; sedang pada amenorea sekunder penderita pernah mendapat haid, tetapi
kemudian tidak dapat lagi.
Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi pada
wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder normal, atau
umur 14 tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual sekunder.1,2,6
Penyebab tidak terjadinya haid dapat berupa gangguan di hipotalamus, hipofisis, ovarium
(folikel), uterus (endometrium), dan vagina. Amenorea primer umumnya mempunyai
sebab-sebab yang lebih berat dan lebih sulit untuk diketahui, seperti kelainan-kelainan
kongenital dan kelainan-kelainan genetik.
Istilah kriptomenorea menunjuk kepada keadaan dimana tidak tampak adanya haid
karena darah tidak keluar berhubung ada yang menghalangi, misalnya pada ginatresia
himenalis, penutupan kanalis servikalis, dan lain-lain.3,4
Usia gadis remaja pada waktu pertama kalinya mendapat haid (menarche) bervariasi
lebar, yaitu antara 10-16 tahun, tetapi rata-ratanya 12,5 tahun. Statistik menunjukkan
bahwa usia menarche dipengaruhi faktor keturunan, keadaan gizi, dan kesehatan umum.
Penulisan referat ini adalah bertujuan untuk memperoleh alur pemikiran dalam
menghadapi kasus-kasus amenorea primer, sehingga bisa diambil tindakan secara tepat dan
efisien.
II.
FISIOLOGI MENSTRUASI
Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan
(deskuamasi) endometrium. Sekarang diketahui bahwa dalam proses ovulasi, yang
memegang peranan penting adalah hubungan hipotalamus, hipofisis, dan ovarium
(hypothalamic-pituitary-ovarium axis). Menurut teori neurohumoral yang dianut sekarang,
hipotalamus mengawasi sekresi hormon gonadotropin oleh adenohipofisis melalui sekresi
neurohormon yang disalurkan ke sel-sel adenohipofisis lewat sirkulasi portal yang khusus.
Hipotalamus menghasilkan faktor yang telah dapat diisolasi dan disebut Gonadotropin
Releasing Hormone (GnRH) karena dapat merangsang pelepasan Lutenizing Hormone
(LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisis.1,2,4
Penyelidikan pada hewan menunjukkan bahwa pada hipotalamus terdapat dua pusat,
yaitu pusat tonik dibagian belakang hipotalamus di daerah nukleus arkuatus, dan pusat
siklik di bagian depan hipotalamus di daerah suprakiasmatik. Pusat siklik mengawasi
lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus haid yang menyebabkan terjadinya
ovulasi. Mekanisme kerjanya juga belum jelas benar.4
Siklus haid normal dapat dipahami dengan baik dengan membaginya atas dua fase dan
satu saat, yaitu fase folikuler, saat ovulasi, dan fase luteal. Perubahan-perubahan kadar
hormon sepanjang siklus haid disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback) antara
hormon steroid dan hormon gonadotropin. Estrogen menyebabkan umpan balik negatif
terhadap FSH, sedangkan terhadap LH, estrogen menyebabkan umpan balik negatif jika
kadarnya rendah, dan umpan balik positif jika kadarnya tinggi. Tempat utama umpan balik
terhadap hormon gonadotropin ini mungkin pada hipotalamus.1,2,4
Tidak lama setelah haid mulai, pada fase folikular dini, beberapa folikel berkembang
oleh pengaruh FSH yang meningkat. Meningkatnya FSH ini disebabkan oleh regresi
korpus luteum, sehingga hormon steroid berkurang. Dengan berkembangnya folikel,
produksi estrogen meningkat, dan ini menekan produksi FSH; folikel yang akan berovulasi
melindungi dirinya sendiri terhadap atresia, sedangkan folikel-folikel lain mengalami
atresia. Pada waktu ini LH juga meningkat, namun peranannya pada tingkat ini hanya
membantu pembuatan estrogen dalam folikel. Perkembangan folikel yang cepat pada fase
folikel akhir ketika FSH mulai menurun, menunjukkan bahwa folikel yang telah masak itu
bertambah peka terhadap FSH. Perkembangan folikel berakhir setelah kadar estrogen
dalam plasma jelas meninggi. Estrogen pada mulanya meninggi secara berangsur-angsur,
kemudian dengan cepat mencapai puncaknya. Ini memberikan umpan balik positif
terhadap pusat siklik, dan dengan lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus,
mengakibatkan terjadinya ovulasi. LH yang meninggi itu menetap kira-kira 24 jam dan
menurun pada fase luteal. Mekanisme turunnya LH tersebut belum jelas. Dalam beberapa
jam setelah LH meningkat, estrogen menurun dan mungkin inilah yang menyebabkan LH
itu menurun. Menurunnya estrogen mungkin disebabkan oleh perubahan morfologik pada
folikel. Mungkin pula menurunnya LH itu disebabkan oleh umpan balik negatif yang
pendek dari LH terhadap hipotalamus. Lonjakan LH yang cukup saja tidak menjamin
terjadinya ovulasi; folikel hendaknya pada tingkat yang matang, agar ia dapat dirangsang
untuk berovulasi. Pecahnya folikel terjadi 16 24 jam setelah lonjakan LH. Pada manusia
biasanya hanya satu folikel yang matang. Mekanisme terjadinya ovulasi agaknya bukan
oleh karena meningkatnya tekanan dalam folikel, tetapi oleh perubahan-perubahan
degeneratif kolagen pada dinding folikel, sehingga ia menjadi tipis. Mungkin juga
prostaglandin F2 memegang peranan dalam peristiwa itu.1,2,4
Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel-sel granulose membesar, membentuk vakuola dan
bertumpuk pigmen kuning (lutein); folikel menjadi korpus luteum. Vaskularisasi dalam
lapisan granulosa juga bertambah dan mencapai puncaknya pada 89 hari setelah ovulasi.4
Luteinized granulose cell dalam korpus luteum itu membuat progesteron banyak, dan
luteinized theca cell membuat pula estrogen yang banyak, sehingga kedua hormon itu
meningkat tinggi pada fase luteal. Mulai 1012 hari setelah ovulasi, korpus luteum
mengalami regresi berangsur-angsur disertai dengan berkurangnya kapiler-kapiler dan
diikuti oleh menurunnya sekresi progesteron dan estrogen. Masa hidup korpus luteum pada
manusia tidak bergantung pada hormon gonadotropin, dan sekali terbentuk ia berfungsi
sendiri (autonom). Namun, akhir-akhir ini diketahui untuk berfungsinya korpus luteum,
diperlukan sedikit LH terus-menerus. Steroidegenesis pada ovarium tidak mungkin tanpa
LH. Mekanisme degenerasi korpus luteum jika tidak terjadi kehamilan belum diketahui.
Empat belas hari sesudah ovulasi, terjadi haid. Pada siklus haid normal umumnya terjadi
variasi dalam panjangnya siklus disebabkan oleh variasi dalam fase folikular.4
Pada kehamilan, hidupnya korpus luteum diperpanjang oleh adanya rangsangan dari
Human Chorionic Gonadothropin (HCG), yang dibuat oleh sinsisiotrofoblas.
Rangsangan ini dimulai pada puncak perkembangan korpus luteum (8 hari pasca ovulasi),
waktu yang tepat untuk mencegah terjadinya regresi luteal. HCG memelihara
steroidogenesis pada korpus luteum hingga 910 minggu kehamilan. Kemudian, fungsi itu
diambil alih oleh plasenta.4
Dari uraian di atas jelaslah bahwa kunci siklus haid tergantung dari perubahanperubahan kadar estrogen, pada permulaan siklus haid meningkatnya FSH disebabkan
oleh menurunnya estrogen pada fase luteal sebelumnya. Berhasilnya perkembangan folikel
tanpa terjadinya atresia tergantung pada cukupnya produksi estrogen oleh folikel yang
berkembang. Ovulasi terjadi oleh cepatnya estrogen meningkat pada pertengahan siklus
yang menyebabkan lonjakan LH. Hidupnya korpus luteum tergantung pula pada kadar
minimum LH yang terus-menerus. Jadi, hubungan antara folikel dan hipotalamus
bergantung pada fungsi estrogen, yang menyampaikan pesan-pesan berupa umpan balik
positif atau negatif. Segala keadaan yang menghambat produksi estrogen dengan
sendirinya akan mempengaruhi siklus reproduksi yang normal.4
sekunder berkembang dengan baik atau tidak, apakah ada tanda hirsutisme; semua ini
penting untuk pembuatan diagnosis.
Pada pemeriksaan ginekologik umumnya dapat diketahui adanya berbagai jenis
ginatresis, adanya aplasia vaginae, keadaan klitoris, aplasia uteri, adanya tumor, ovarium
dan sebagainya.
Dengan anamnesis, pemeriksaan umum, dan pemeriksaan ginekologik, banyak kasus
amenorea dapat diketahui sebabnya. Apabila pemeriksaan klinik tidak memberi gambaran
yang jelas mengenai sebab amenorea, maka dapat dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan
lanjutan.
Dalam menangani kasus-kasus amenorea haruslah teliti dalam memilih informasi yang
diperlukan. Meskipun data tambahan tersedia pada waktu tersebut, dijabarkan dari latar
belakang, pengujian fisik dan evaluasi kelenjar endokrin lainnya seperti tiroid dan
adrenalin, hal-hal tersebut semestinya tidak digunakan untuk diagnosis sampai keseluruhan
rangkanya lengkap. Pengalaman telah menunjukkan diagnosis yang prematur seringkali
terjadi bias, meskipun kadang-kadang bisa tepat. Oleh karena itu perlu dilakukan
investigasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
A. Langkah 1
Langkah awal dalam kerangka evaluasi penderita amenorea, dimulai dari pengukuran
hormon thyroid stimulating hormones (TSH), kadar prolaktin, dan tes provokasi
progesteron. Langkah awal untuk pasien galaktorea, tanpa melupakan riwayat
menstruasi, juga harus diperiksa TSH dan pengukuran prolaktin serta perlu
ditambahkan pemeriksaan rontgen dari sisi lateral pada sella tursika.1
Hanya sedikit penderita dengan amenorea dan atau galaktorea menderita hipotiroid
yang tidak tampak secara klinis. Walaupun kelihatannya berlebihan melakukan
pemeriksaan kadar TSH untuk penderita yang hanya memberikan hasil yang kurang
berarti, karena pengobatan untuk hipotiroid sangat mudah dan diperoleh hasil yang
cepat dari siklus menstruasi. Jika terdapat galaktorea, pengukuran TSH dianjurkan.1
Rangsangan yang konstan hormon RH dari hipotalamus akan menyebabkan
hipertrofi atau hiperplasia dari hipofisis. Pemeriksaan rontgen menggambarkan tumor
dapat dilihat (kelainan, ekspansi, atau erosi dari sella tursika). Penderita dengan
dari
uji
progesteron
adalah
untuk
menilai
kadar
estrogen
endogen dan kompetensi dari saluran genitalia. Uji progesteron yang dilakukan oleh
Davajan dkk adalah dengan menyuntikkan 100 mg progesteron dalam larutan minyak
atau medroksiprogesteron asetat (provera) 30 mg peroral selama tiga hari. Respon
pemberian progesteron dinilai 214 hari setelah pemberian hormon tersebut dan diukur
kadar LH serum. Speroff melakukan uji progesteron dalam dua pilihan yaitu:
pemberian progesteron secara parenteral dalam larutan minyak (200 mg) atau secara
oral dengan medroksiprogesteron asetat 10 mg setiap hari selama lima hari.1
Dalam 27 hari setelah pemberian progesteron, pasien kemungkinan terjadi
perdarahan. Hal ini berarti bahwa sistem saluran pengeluaran berada dalam batas
normal dan adanya uterus yang endometriumnya reaktif terhadap estrogen endogen.
Dari hasil tersebut dapat ditetapkan adanya estrogen, fungsi yang minimal pada
ovarium, hipofisis, dan sistem syaraf pusat. Dengan tidak adanya galaktorea, dengan
kadar prolaktin yang normal, dan kadar TSH yang normal, evaluasi selanjutnya tidak
diperlukan.1
Terdapat dua situasi yang terjadi bersamaan dengan respon yang negatif walaupun
terdapat estrogen endogen yang cukup. Pada kedua situasi, endometrium mengalami
reaksi desidua, tetapi kemudian tidak terjadi pelepasan mengikuti penghentian secara
tiba-tiba dari pemberian progesteron eksogen. Kondisi yang pertama terdapat reaksi
desidua dari endometrium sebagai respon adanya kadar androgen yang tinggi. Pada
keadaan kedua merupakan keadaan klinik yang tidak biasa, endometrium mengalami
reaksi desidua oleh karena kadar progesteron yang tinggi yang berhubungan dengan
kekurangan enzim adrenal spesifik.1
Tanpa adanya galaktorea dan jika level serum prolaktin normal (kurang dari 20
pg/ml), evaluasi lanjutan untuk tumor hipofisis tidak perlu. Jika prolaktin meningkat,
evaluasi dari sella tursika sangat diperlukan. Dalam kerangka ini, pernyataan berikut
dapat dijadikan petunjuk praktis klinik: pendarahan positif membutuhkan pengobatan
progesteron, dan tanpa adanya galaktorea serta kadar prolaktin yang normal dapat
dijadikan petunjuk bahwa kita dapat mengabaikan adanya tumor hipofisis.1
C. Langkah 3
Pasien amenorea tidak sanggup menyediakan rangsangan estrogen yang memadai.
Untuk memproduksi estrogen, ovarium memiliki folikel yang normal dan hormon
hipofisis yang cukup untuk merangsang organ yang diperlukan. Langkah 3 dirancang
untuk menentukan apakah 2 komponen yang penting (gonadotropin atau aktifitas
folikel) berfungsi secara wajar atau tidak.1
Langkah ini mengikutsertakan pengujian tingkat gonadotropin pada pasien. Karena
langkah 2 mengikutsertakan pemberian estrogen eksogen, kadar gonadotropin endogen
mungkin tidak nyata. Sebab itu, penundaan selama 2 minggu setelah langkah 2 mesti
dilakukan sebelum melaksanakan langkah 3, pengujian gonadotropin.1
Langkah 3 dirancang untuk menentukan apakah kekurangan estrogen menyebabkan
kesalahan pada folikel (kompartemen II) atau pada sistem aksis syaraf pusat-hipofisis
(kompartemen III dan IV). Hasil pengujian gonadotropin pada wanita amenorea yang
tidak
mengalami
pendarahan
setelah
pemberian
pemicu
progestagen
akan
menghasilkan kadar gonadotropin abnormal yang tinggi, abnormal yang rendah, atau
pada kadar yang normal.1
Prinsip dasar fisiologi fungsi menstruasi memungkinkan dibuatnya suatu sistem yang
memisahkan dalam beberapa kompartemen dimana menstruasi yang normal tergantung.
Hal ini berguna untuk memakai evaluasi diagnostik yang memilah penyebab amenorea
dalam 4 kompartemen, yaitu:
-
Kompartemen I
Kompartemen II
Kompartemen III
Kompartemen IV
vaginalis. Keadaan lain yang jarang ditemukan, yaitu terdapat uterus tetapi tanpa
terbentuknya kavum uteri, atau terdapat kavum uteri tetapi endometriumnya kurang
secara kongenital. Kecuali pada kelainan kongenital yang disebutkan terakhir, problem
klinik amenorea yang didasarkan pada adanya obstruksi menimbulkan adanya keluhan
nyeri yang disertai distensi dari hematokolpos, hematometra, atau hematoperitoneum.
Penanganan yang dapat dilakukan dengan insisi dan drainage. Bahkan pada keadaan
yang disertai komplikasi, perbaikan kontinuitas duktus Mulleri biasanya dapat dicapai
dengan pembedahan. Sayangnya dapat terjadi konsekuensi dari tindakan ekstirpasi
operatif terhadap massa yang nyeri di atas berupa kerusakan/trauma pada kandung
kencing, ureter, dan rektum.1,3,4,7
Merupakan suatu keuntungan bila mengetahui jenis kelainan sebelum koreksi
bedah dilakukan. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat dilakukan untuk
mengetahui abnormalitas anatomik yang akurat. Diagnosis preoperatif akan
memudahkan rencana dan pelaksanaan terapi bedah.1
yang
siklik.
Karena
adanya
kemiripan
dengan
beberapa
tipe
V.
perineum. Uterus, jaringan gonad, dan vagina tidak ditemukan. Pada usia pubertas tidak
terjadi perkembangan seksual, dan kadar gonadotropin meningkat. Umumnya penderita
diasuh sebagai wanita. Dalam kondisi ini, jaringan testis dianggap telah aktif selama
kehidupan janin sehingga mampu menghambat perkembangan duktus mulleri, tetapi
fungsi sel leydig minimal. Tanpa informasi yang tepat, hanya dapat diperkirakan saja
apa yang menjadi penyebab tidak terjadinya perkembangan gonad tersebut. Jadi harus
diduga bahwa virus dan metabolik yang berpengaruh pada awal kehamilan. Meskipun
demikian hasil akhirnya berupa hipergonadotropik hipogonadism yang tidak dapat
diperbaiki kembali. Bila fungsi gonad tidak ada, perkembangan adalah wanita.1
Pengangkatan gonadal streaks dengan pembedahan diperlukan untuk menghindari
kemungkinan terjadi neoplasia.
dapat hamil bahkan dengan pemberian gonadotropik eksogen dosis tinggi, Speroff
berpendapat bahwa tidak ada manfaat untuk melakukan laparotomi untuk biopsi
ovarium pada setiap penderita amenorea, gonadotropin tinggi, dan normal kariotipe.1
Karena penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, maka
pengobatannya lebih bersifat simptomatis. Banyak peneliti menganjurkan pemberian
substitusi siklik estrogen dan progesteron. 3
E. Premature ovarian failure
Keadaan ini seringkali terjadi, yaitu berupa habisnya folikel ovarium yang terjadi lebih
awal dari semestinya. Sekitar 1% wanita akan mengalami kegagalan ovarium sebelum
usia 40 tahun, dan pada wanita dengan amenorea primer, frekuensi berkisar antara
10%-28%. Etiologi POF tidak diketahui pada kebanyakan kasus. Kemungkinan
merupakan akibat kelainan genetik dengan peningkatan laju hilangnya folikel.
Seringkali, kelainan kromosom seks yang spesifik dapat diidentifikasi. Kelainan yang
paling sering adalah 45-X dan 47-XXY diikuti oleh mosaicism dan kelainan struktur
kromosom seks yang spesifik. Akselerasi atresia paling sering karena 46-X (sindroma
Turner). POF dapat disebabkan suatu proses autoimun, atau mungkin destruksi folikel
oleh infeksi seperti oofritis mumps, atau irradiasi maupun kemoterapi.1,8
Masalah yang timbul dapat terjadi pada berbagai usia tergantung pada jumlah
folikel yang tersisa. Jika hilangnya folikel berlangsung cepat, akan terjadi amenorea
primer dan terhambatnya perkembangan seksual. Jika hilangnya folikel terjadi selama
atau setelah pubertas, kemudian berlanjut sampai dewasa, perkembangan fenotipe dan
onset terjadinya amenorea sekunder akan sesuai.1
Mengingat meningkatnya jumlah kasus yang dilaporkan dimana terjadi mulai
laginya fungsi yang normal, tidak dapat dipastikan bahwa penderita-penderita ini akan
steril selamanya. Di sisi lain, laparotomi dan biopsi ovarium full thickness tidak
diperlukan pada semua pasien ini. Sperrof berpendapat bahwa pendekatan yang
minimal, dengan survey untuk penyakit autoimun (meskipun diakui bahwa tidak ada
metode klinik yang dapat mendiagnosis secara akurat autoimmune ovarium failure) dan
penilaian aktivitas ovarium-pituitary sudah mencukupi.1
produksi laktotrof dari prolaktin dengan keadaan mulai dari ukuran hipofisis yang
normal sampai perubahan adenomatosa dengan pembesaran hipofisis. Follow up jangka
panjang pada wanita hiperprolaktinemia yang tidak diobati menunjukkan bahwa wanita
dengan adenoma atau tanpa adenoma hipofisis biasanya tidak menunjukkan
perkembangan dari penyakit sebagai hasil yang nyata dari adanya pengamatan secara
radiologis.1,3
Wanita dengan amenorea anovulatoar yang disebabkan oleh perubahan fungsional
dari hipotalamus mungkin masuk pada kelompok I (insufisiensi hipotalamus-hipofisis)
atau grup II (disfungsi hipotalamus-hipofisis) dari klasifikasi amenorea yang
dikeluarkan oleh WHO. Penderita-penderita ini memiliki beberapa macam gangguan
hipotalamus-hipofisis, tetapi mereka berada dalam prolaktin plasma yang normal.
Biasanya, beberapa wanita dengan bermacam gangguan diberikan klomifen sitrat untuk
merangsang ovulasi, termasuk pada penderita dengan kadar prolaktin yang normal.
Bagaimanapun juga, beberapa dari mereka tidak ada respon pada klomifen sitrat.1
Bromokriptin diketahui dapat digunakan untuk mengembalikan siklus ovulasi dan
fertilitas pada beberapa penderita dengan anovulasi hipotalamus, termasuk bila mereka
memiliki prolaktin darah yang normal. Di lain pihak, bromokriptin dan klomifen sitrat
dapat secara sinergi sebagai induksi ovulasi, kemungkinan karena memiliki tempat
kerja yang berlainan.1,3
Akhir-akhir ini dapat dipastikan, bahwa dari hipofisis bagian depan terdapat
hormon pelepas tirotropin (TRH) yang mengeluarkan tidak hanya tirotropin, melainkan
juga hormon pertumbuhan (GH) dan prolaktin. Karena arti fisiologik hubungan
fungsional antara kedua sistem tersebut sangat kecil, maka dapat disimpulkan bahwa
tripeptida TRH sesungguhnya bukanlah PRF (prolactine releasing factor). Yang
mempunyai arti lebih besar dari TRH atau PRF dalam pengaturan prolaktin adalah
faktor penghambat prolaktin (prolactine inhibiting factor, PIF), yang susunan kimianya
juga belum dapat dibuktikan sampai sekarang. Dibawah pengaruh meningkatnya
steroid seks dalam serum, maka pengeluaran PIF dari hipotalamus akan ditekan.
Peristiwa ini akan mengakibatkan meningkatnya sekresi prolaktin.3
Peningkatan kadar prolaktin serum yang ringan mungkin disebabkan oleh beberapa
faktor, termasuk diantaranya pemberian estrogen dan fenotiazin, respon dari stress,
Pada wanita dan laki-laki, 50% - 60% dari adenoma gonadotropin nonsekresi akan
menghasilkan FSH, LH, subunit , atau subunit LH dalam respon pada test terhadap
thyrotropin-releasing hormon. Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel pada adenoma
gonadotropin memiliki sejumlah reseptor TRH, meskipun pada sel gonadotropin
normal tidak dijumpai adanya reseptor tersebut.1
Pengobatan dari makroadenoma gonadotropin utamanya adalah pembedahan,
secara primer dengan melalui transfenoid. Pengobatan secara radiasi mungkin
merupakan suatu hal penting pada penderita dengan residu penyakit yang signifikan
atau pertumbuhan tumor yang rekuren. Pengobatan dengan medikamentosa dengan
bromokriptin saat ini merupakan teknik pengobatan yang penting meskipun mekanisme
kerjanya masih belum terinvestigasi secara lengkap dan mengkin di masa yang akan
datang lebih bisa dijelaskan.1
Upaya pengobatan yang diberikan untuk menurunkan kadar prolaktin yang tinggi
adalah bromokriptin. Bromokriptin merupakan kelompok ergolin yaitu alkaloid ergot
yang bersifat dopaminergik. Bromokriptin merangsang reseptor dopaminergik. Obat
mempengaruhi susunan syaraf pusat, kardiovaskular, poros hipotalamus-hipofisis dan
saluran cerna. Bromokriptin menekan sekresi prolaktin yang berlebihan yang terjadi
pada tumor hipofisis. Dosis obat sangat tergantung dari kadar prolaktin yang ditemukan
pada saat itu. Kadar prolaktin 2540 ng/ml, cukup tablet bromokriptin/hari. Kadar
prolaktin mencapai 50 ng/ml, bromokriptin diberikan 2x1 tablet/hari. Efek samping
yang paling sering dijumpai adalah gangguan gastrointestinal (mual) serta hipotensi
(pusing).1,3
Setiap pemberian bromokriptin perlu dilakukan pengawasan yang baik. Perlu
dicegah pemberian dosis yang berlebihan. Tanda-tanda terjadinya penekanan sekresi
prolaktin yang berlebihan adalah: kadar prolaktin 2 ng/ml, fase sekresi memendek
akibat insufisiensi korpus luteum, diameter folikel kecil.1
Pada setiap hiperprolaktinemia harus terlebih dahulu diketahui apakah peningkatan
tersebut akibat tumor hipofisis atau karena penyebab lain. Untuk membedakan dapat
digunakan uji provokasi. Kadang-kadang adanya mikroadenoma tidak dapat diketahui
secara radiologik, tetapi dengan uji provokasi mikroadenoma ini mudah diketahui.1
Uji dengan TRH, dimana TRH diberikan intravena dengan dosis 100500 g.
setelah pemberian ini terjadi peningkatan prolaktin yang mencapai maksimum antara
1525 menit. Pada wanita yang tidak menderita prolaktinoma terjadi peningkatan 414
kali dari harga normal, sedangkan wanita dengan prolaktinoma pemberian TRH tidak
menunjukkan perubahan kadar PRL.1
kadar
gonadotropin
rendah,
kariotipe
wanita
normal,
dan
placode olfaktorius di hidung. Sel-sel yang memproduksi GnRH berasal dari area
olfaktorius dan bermigrasi selama embriogenesis sepanjang nervus kranialis yang
menghubungkan hidung dan forebrain. Terjadinya sindroma ini sebagai akibat mutasi
yang melibatkan gen tunggal pada lengan pendek kromosom X yang berisi kode
pembentukan protein yang
neuronal.1,6,7
VIII. RINGKASAN
Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi pada wanita
yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder normal, atau umur 14
tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual sekunder. Gangguan yang
ada bisa terjadi pada kompartemen I (gangguan pada uterus), kompartemen II (gangguan
pada ovarium), kompartemen III (gangguan pada hipofisis anterior) atau pada
kompartemen IV (gangguan pada sistem syaraf pusat).
Penanganan terhadap amenorea primer disesuaikan dengan kelainan yang terjadi.
Kelainan yang diakibatkan oleh kelainan endokrinologik, maka diberikan pengobatan yang
berupa pemberian hormonal. Bila kelainan bersifat psikis, maka pengobatan yang diberikan
adalah mengeliminasi trauma psikis, bila perlu bekerjasama dengan ahli jiwa. Sedangkan
kelainan yang diakibatkan oleh kelainan anatomik bisa diberikan dengan memperbaiki
kelainan anatomis selama hal itu dimungkinkan.
Speroff L, Glass RH, Kase NG. Clinical gynecologic endocrynologi and infertility. Baltimore: Williams
& Wilkins, 1994: 401-456
Scherzer WJ, McClamrock H. Amenorrhea. In: Berek JS, Adashi EY, Hillard PA. Novaks gynecology.
12th edition. Baltimore: Williams & Wilkins, 1996: 820-832
Baziad A, Alkaff Z. Pemeriksaan dan penanganan amenorea. Dalam: Baziad A, Jacoeb TZ, Surjana EJ,
Alkaff Z. Endokrinologi ginekologi. Edisi pertama. Jakarta: Kelompok studi endokrinologi reproduksi
Indonesia bekerjasama dengan Media Aesculapius, 1993: 61-70
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 1999: 203-223
Jacoeb TZ, Rachman IA, Soebijanto S, Surjana EJ. Panduan endokrinologi reproduksi. Jakarta: Bagian
obstetric dan ginekologi FKUI/RSCM, 1985: 10-13
Yen SSC. Chronic anovulation caused by peripheral endocrine disorders. In: Yen SSC, Jaffe RB.
Reproductive Endocrinology. 3rd edition. Philadelphia: WB Saunders Company, 1991: 577-673
Brewer JI, Decosta EJ. Textbook of Gynecology. 4th edition. Baltimore: Williams & Wilkins, 1967:
101-136
Coulam CB. Premature gonadal failure. Fertil Steril 1982, 38: 645-655
Yeko TR, Parsons AK, Marshall R, et all. Laparoscopic removal of mullerian remnants in a woman with
congenital absence of the vagina. Fertil Steril 1992, 57: 218-220
Hansen KA, Tho SPT, Gomez F. Nonfunctioning pituitary macroadenoma presenting with mild
hyperprolactinemia and amenorrhea. Fertil Steril 1999, 72: 663-665
Lee PA, Rock JA, Brown TR, et all. Leydig cell hypofunction resulting in male pseudohermaphroditism.
Fertil Steril 1982, 37: 675-679
Caufriez A. Male pseudohermaphroditism due to 17-ketoreductase deficiency: report of a case without
gynecomastia and without vaginal pouch. Am J Obstet Gynecol 1986, 154: 148-149
Laatikainen T, Virtanen T, Apter D. Plasma immunoreactive -endorphin in exercise-associated
amenorrhea. Am J Obstet Gynecol 1986, 154: 94-97
Reindollar RH, Novak M, Tho SPT, et all. Adult-onset amenorrhea: a study of 262 patients. Am J Obstet
Gynecol 1986, 155: 531-543
Talbert LM, Raj MHG, Hammond MG, et all. Endocrine and immunologic studies in a patient with
resistant ovary syndrome. Fertil Steril 1984, 42: 741-744
Rebar RW, Connolly HV. Clinical features of young women with hypergonadotropic amenorrhea. Fertil
Steril 1990, 53: 804-810
Strebel PM, Zacur HA, Gold EB. Headache, hyperprolactinemia, and prolactinomas. Obstet Gynecol
1986, 68: 195-199