Anda di halaman 1dari 10

PLINTENG SEMAR

Di sebuah tempat di Kota Wonogiri, terdapat sebuah batu parang besar


yang bersanggakan pada sebuah pohon asem dengan usia mungkin sudah
berpuluh-puluh tahun. Batu besar itu bernama Plinteng Semar. Konon, diceritakan
bahwa batu ini berawalan dari kisah semar yang bertarung dengan seekor raksasa.
Beginilah ceritanya.
Alkisah, pada suatu ketika setelah perang baratayuda berakhir, para
Pandhawa berniat untuk menyucikan diri dengan mandi di Grojogan Sewu.
Dengan niat itu, para punakawan pastinya akan ikut. Punakawan adalah empat
sekawan yang akan terus ikut dan menjaga para Pandhawa. Punakawan terdiri dari
Semar Bodronoyo seorang dewa yang lebih memilih hidup di dunia manusia
sebagai kaum sudra papa. Bersama ketiga anaknya yaitu Gareng, Petruk, dan
Bagong. Gareng dan Petruk sebenarnya memilki rupa yang sangat tampan, namun
karena terjadi perselisihan mereka dikutuk oleh Semar menjadi jelek. Dan Bagong
adalah putra ragil atau bungsu dan paling kecil. Mereka berempat selalu bersama,
kemanapun Pandhawa pergi mereka selalu ikut.
Tugas punakawan adalah melindungi para Pandhawa dari marabahaya,
terutama sekarang mereka akan pergi ke Grojogan Sewu. Semar yakin bahwa
bukan tidak mungkin disana ada orang jahat yang ingin mencelakai para
Pandhawa.
Hari ini mereka akan berangkat menuju Grojogan Sewu. Membutuhkan
waktu kurang lebih satu hari satu malam untuk terbang kesana. Setelah
keberangkatan dari iostana Astina, mereka sama sekali tidak menemukan suatu hal
yang menghalangi perjalanan mereka. Jadi mereka merasakan lancar-lancar saja.
Sesampainya di Grojogan Sewu, ternyata hari telah larut malam hanya
sinar bulan yang menerangi keadaan di sekitar situ. Suara derasnya air yang
mengalir dari atas tebing tersebut, menambah rasa keteduhan di hati para
Pandhawa beserta punakawan.
Meskipun hari itu telah larut, itu tidak mengurungkan niat para Pandhawa
untuk melaksanakan tujuan menyucikan diri. Akhirnya pada malam itu juga para

Pandhawa melaksanakan tujuannya itu. Diwaktu bersamaan, Semar dan ketiga


anaknya berjaga-jaga di sekitar.
Anak-anakku, ingat kita harus terus terjaga jangan sampai tertidur.
Baiklah Romo. Jawab Gareng.
Mau bagaimanapun, itu sudah menjadi tugas mereka menjaga para
Pandhawa. Kini mereka tengah berbagi tugas. Semar yang seorang ayah berjaga
disebelah utara, Gareng di sebelah selatan dan Petruk di sebelah barat, sedangkan
Bagong disebelah timur.
Kini mereka telah berpencar sesuai dengan tugas mereka masing-masing.
Kenapa Romo memberiku tugas sebelah sini, sudah tempatnya banyak
nyamuk. Bikin kesal saja. Tapi ya mau bagaimana lagi, sudah jadi tugasku juga,
jura Petruk dalam hati.
Malam semakin larut. Namun, acara Pandhawa menyucikan diri belum
juga usai. Suara jangkrik-jangkrik serta serangga lainnya menambah keramaian
malam itu. Mata Bagong makin lama makin berat saja rasanya. Begitu pula
dengan Gareng dan Petruk. Mereka hanya bisa menahan kantuk sembari bersiulsiul. Meskipun berbeda tempat mereka tetap merasakan kebersamaan karena
mereka bisa merasakan ikatan batin yang sangat kuat. Jadi apabila salah satu dari
mereka ada yang mengalami kejadian apaun itu, mereka pasti merasakannya.
Karena merasakan kantuk yang sangat berat merekapun kembali ke tempat
awal mereka berkumpul, begitu juga dengan Semar. Namun Semar tetap menahan
kantuknya sebab sebagai seoarng dewa, dia bisa menahannya. Namun ternyata,
anak-anaknya sudah tertidur pulas, ya mau bagaimana lagi Semar harus berjaga
sendirian. Sambil bertapa Semar juga harus menjaga anak-anaknya juga
Pandhawa, sebab itulah dia tidak tidur dan memilih duduk bertapa.
Semar merasakan kantuk yang teramat sangat sehingga mengganggu
konsentrasinya.
Ngantuk macam apa ini? rasanya tidak biasa aku rasakan. Ujarnya
dalam hati.
Namun Semar berusaha untuk tak menghiraukannya. Makin lama Semar
merasakan kantuk itu, makin tidak tenang hati Semar, rasanya tidak karuan,

pikirannya mulai kacau kesana kemari. Firasatnya mengatakan bahwa ini bukan
rasa kantuk biasa melainkan akan datangnya sebuah bahaya.
Semar mulai was-was, ia berharap bahaya itu tidak akan datang. Angin
dingin mulai bertiup, udara semakin dingin. Suasana gelap malam semakin
mencekam, sinar bulan telah tertutup awan.
Semar semakin merasakan hawa tidak enak yang berasal dari tempat
Pandhawa menyucikan diri.
Perasaanku semakin tidak enak saja, aku yakin ini pertanda buruk. Aku
harus cepat-cepat bangunkan anak-anakku. Ujarnya dalam hati.
Semar segera beranjak dari tempatnya bertapa, kemudian berjalan menuju
tempat anak-anak tidur.
Anak-anak cepat bangun! Kalian ini disuruh berjaga malah enak-enakan
tidur! ujar Semar membangunkan ketiga anaknya.
Ngantuk Mo. . . . jawab Gareng.
Memangnya ada apa to Romo ? tanya Petruk dengan mata terpejam.
Duh Gusti, kalian ini bagaimana! cepat bangun, Romo merasakan akan
datangnya bahaya. Timpal Semar.
Bukannya perang telah usai, Romo ini bagaimana ?
Tapi Romo, dari mana datangnya bahaya yang Romo maksudkan itu?
tanya Bagong sembari mengusap-usap kedua matanya.
Romo rasa bahaya itu dari sekitar sini.
Sudahlah cepat kalian bangun, dan ayo kita selidiki bersama!
Baik Romo. Ujar ketiga anak Semar bersamaan.
Mereka telah berbagi tugas, kearah masing-masing seperti sebelumnya.
Namun mereka tidak menemukan ada apa-apa, akhirnya mereka kembali menuju
tempat mereka berkumpul tadi.
Bagaimana sih Romo? Aku sudah kelilingi wilayah timur, tapi aku tidak
menemukan apa-apa Romo.ujar Bagong kepada Semar.
Iya Romo, Gareng dan Petruk juga seperti Bagong tidak menemukan apaapa. Ujar Gareng.
Romo sendiri juga bingung, padahal tadi hawa terasa begitu dingin,
susananya begitu mencekam, kenapa bisa jadi seterang ini. timpal Semar.

Semar dan anak-anaknya bingung. Bagaimana bisa suasana yang tadinya


mencekam berubah jadi seterang ini. akhirnya ketiga anak Semar tidur kembali.
Semar sebenarnya juga merasakan kantuk, namun Semar harus tetap menahanya.
Bagaimana, kalau datang bencana yang besar secara tiba-tiba, Semar terus
memikirnnya.
Apa mungkin ini jebakan? Mungkin musuh memiliki ilmu yang sangat
kuat sehingga bisa memanilpulasi suasana. Tapi apa mungkin begitu ? tanya
Semar dalam hati.
Semar

semakin

bingung,

akhirnya

Semar

memutskan

untuk

membangunkan anak-anaknya, kemudian menyelidiki lagi keadaan di sekitarnya.


Anak-anak ayo bangun, jangan tidur terus! Ayo kita cek lagi keadaan
sekitar sini!
Romo kami masih mengantuk. . . . timpal Petruk.
Kalian ini memikirkan tidur terus, ayolah bangun! Ingat tugas kalian
adalah menjaga para Pandhawa.
Akhirnya ketiga anak Semar bangun.
Romo sekarang kita mau memeriksa kemana ? tanya Gareng.
Sekarang kita lihat ke tempat raden Yudhistira dan adik-adiknya mandi.
Betapa kagetnya Semar ketika sampai di air terjun Grojogan Sewu atau
tempat para Pandhawa menyucikan diri, ternyata disana sudah ada raksasa besar
yang tengah menggenggam Raden Sadewa dan sudah siap untuk mencaploknya.
Semar kaget bukan main dan langsung menghadang raksasa besar itu.
Hei raksasa jelek, berani-beraninya kamu menyentuh tuanku! ujar
Semar dengan lantangnya.
Anak-anak Semar hanya mampu melihat saja, mereka merasa takut pada
raksasa itu.
Huaa. . haha..haaha. dasar tua bangka, apa kau ini tidak sadar diri?
Tubuh reyot mau melawanku? timpal raksasa dengan sombongnya.
Raksasa sombong! Maju kau kalau berani, jangan makan tuanku. Kalau
kau memang mau memakan tuanku, makanlah dulu aku! bersamaan dengan
jawaban itu anak-anak Semar kaget dan takut kalau ditinggal mati oleh ayahnya
itu.

Huaa haaha..haah. Baiklah kalau itu maumu. Akan kulumat habis kau
kakek tua!
Akhirnya Raden Sadewa lepas dari genggaman raksasa itu. Namun
skerang Semar yang sedang terancam sebab kini Semar tengah berperan
mengahadapi raksasa jahat itu. Semar adalah seorang dewa yang cerdas, jadi
bukan tidak mungkin kalau ia akan menang.
Terimalah ini! ujar Semar sembari memberikan perlawanannya. Ia
serang raksasa itu dari segala penjuru arah, namun rakssa itu juga sakti madraguna
jadi Semar sempat kewalahan menghadapi raksasa itu. Meski begitu, Semar tidak
menyerah. Ia terus melancarkan serangannya sembari berpikir apa kelemahannya
raksasa itu. Tiba-tiba di pertengahan perang, Semar terkena serangan raksasa itu,
dadanya terkena pukulan yang sangat kuat. Merasakan sakit dan perlu istirahat
sejenak memulihkan tenaga, Semar memilih untuk kabur. Ia yakin kalau raksasa
itu pasti mengejarnya. Oleh sebab itu ia menjauh dari tempat para Pandhawa.
Anak-anak Semar, Gareng, Petruk dan Bagong juga ikut menyertai Semar.
Melihat ayahnya lemah tak berdaya, Gareng segera membantu mengobati
luka ayahnya itu dan ajaibnya Semar cepat sekali pulih.
Anakku, kalian lihatkan raksasa itu ternyata kuat sekali. Romo saja
sampai jatuh hanya karena pukulannya.
Bersabarlah Romo, Gareng yakin setelah ini Romo pasti menang, timpal
Gareng menyemangati ayahnya.
Benar ternyata dugaan Semar raksasa itu mengejar Semar sampai ke
tempat Semar saat ini.
Romo, lihat itu raksasa itu mengejar kita sampai kesini. Ujar Bagong.
Aku akan mengalahkannya kali ini. Kalian doakan aku saja. Balas
Semar sembari ;bersiap-siaop untuk berperang lagi.
Hai kakek tua, kenapa kau lari? Kau takutkan padaku ? huaa haa haa
Siapa bilang aku takut ? sini maju kau raksasa jelek!
Perang sengit antara Semar dan raksasa semakin sengit saja. Pohon-pohon
disekitar rusak dan raksasa semakin sengit. Lingkungan seketika berubah menjadi
tidak karuan.

Semar yang tidak ingin kalah terus saja melancarkan serangannya,


mengingat ketiga anaknya Semar terus saja berjuang. Itu juga demi tugasnya
menjaga para Pandhawa. Baginya, pantang untuk mundur sebelum nyawa
melayang. Jadi baginya sampai nyawanya masih meskipun darahnya tinggal
setetes ia akan terus melindungi ketiga anaknya dan para Pandhawa. Meskipun ia
sebenarnya seorang dewa, namun itu semua juga telah menjadi pilihannya
menjadi kaum sudra papa.
Serangan-serangan raksasa itu semakin membabi buta, begitu cepatnya
serangan-serangan itu dilontarkan pada Semar. Makin lama, Semar makin
kewalahan. Tiba-tiba perut Semar terasa mulas, seperti ingin kentut. Kentut Semar
ingat bahwa ia memilki senjata rahasia yang paling ia andalkan yaitu kentut
Semar.
Duh Gusti, kenapa bisa aku lupa dengan kentutku ini. Aku yakin dengan
kentutu iti raksasa itu akan kukalakan. Ujar Semar dalam hati.
Konon katanya, kentutu itu bisa menghancurkan segala macam benda
yang terkena kentut itu menjadi hancur berkeping-keping seperti tepung.
Kedashyatan kentut itu akan digunakan Semar untuk melawan raksasa jahat itu.
Hai raksasa jelek kali ini akan aku keluarkan senjata rahasiaku,
bersiaplah! tantang Semar.
Keluarkan semua senjatamu kakek tua!
Rasakan kentut saktiku ini! Hiaaatttt !
Bukannya takut, raksasa itu malah tertawa terbahak-bahak, ternyata
raksasa itu tidak terkena kentut Semar. Semar kaget bukan main, ternyata senjata
adalannya meleset dan mengenai sebuah baru parang besar. Batu itu berukuran
besar, sangat besar namun setelah terkena kentut Semar, batu itu pecah dan
pecahan batu parang besar itu hampir mengenai raksasa. Melihat ada sebuah batu
parang besar yang hampir mengenainya, raksasa itu lari tunggang langgang
mencari tempat yang aman lainnya. Ternyata diam-diam ia takut terkena batu
parang yang besar itu.
Raksasa itu ternyata berlari menuju arah utara, kalau tidak salah itu arah
menuju tanah Wonogiri. Mengetahui hal itu Semar sedikit bingung, akhirnya ia
putuskan untuk mengejarnya.

Romo, raksasa itu kabur. Ayo kita kejar Romo,ujar Gareng, Petruk dan
Bagong bersamaan.
Ayo anak-anak!
Di tengah perjalanan, Semar sedikit bingung kenapa bisa raksasa itu lari
tunggang langgang padahal kentutnya tidak mengenai raksasa itu. Sekarang
Semar tahu, ternyata raksasa itu takut pada batu parang besar tadi yang hampir
mengenainya. Disaat itulah Semar mempunyai ide.
Anak-anak berhenti sebentar, Romo punya ide. Biarkanlah raksasa itu
lari, Romo yakin ia tidak akan jauh dari sini ujar Semar.
Semar mulai membuat plintheng dari pohon Jati yang sangat besar. Anakanak Semar merasa bingung, mau buat apa plintheng itu.
Romo, jangan main-main kita ini mau perang buka mau main, ujar
Gareng.
Iya Romo, untuk apa plintheng itu Tanya Bagong.
Ya untuk mlintheng. Sudahlah lihat saja nanti, sekarang Bantu Romo
menyelesaikan plintheng ini, ujar Semar.
Baiklah, Mo, jawab ketiganya secara bersamaan.
Setelah itu mereka mulai membagi tugas. Semar dan Gareng bertugas
menebangi beberapa pohon, sedangkan Bagong dan Petruk yang membersihkan
ranting-rantingnya. Setelah itu mereka mulai membuat plintheng raksasa untuk
menandingi

raksasa

jahat

itu.

Setelah

jadi

mereka

tidak

langsung

menggunakannya, mereka beristirahat sejenak di tempat itu sambil memulihkan


tenaga.
Romo, sebenarnya mau Romo apakan plintheng ini? ingat Romo itu
bukan anak kecil, kata Bagong bertanya pada Romonya.
Iya Romo, masa kecil Romo pasti tidak bahagia. Benakan? haha.. haa..
ledek Gareng.
Huss ! kalian ini meledek Romo ya. Plintheng ini akan Romo gunakan
untuk melawan raksasa itu.
Romo ini aneh, kentut Romo yang seperti bom atom itu saja tidak bisa
mengalahkan raksasa itu. Eh seharang malah mau menggunakan plintheng, ujar
Petruk.

Plinheng ini akan Romo gunakan untuk melawan raksasa itu dengan
sebuah bongkahan katu parang besar. Nah sekarang kita hanya perlu mencarinya.
Bongkahan batu parang besar? Romo mencari yang seukuran apa?
Tanya gareng.
Yang besar, kalau bisa tiga kali ukuran hajah
Mana ada yang sebesar itu Mo? Tanya Bagong.
Aku rasa ada Romo, di dekat Grojogan Sewu pernah aku lihat batu
parang sebesar itu, kata Petruk menjelaskan.
Kalau memang disana ada ayo kita kembali kesana.
Baiklah Romo, ujar Gareng, Petruk, Bagong bersamaan.
Merekapun berangkat kembali menuju Grojogan Sewu dan kembali
menilik bagaimana keadaan Pandhawa selama mereka tinggal. Tetapi kalau
menurut Semar mereka akan baik-baik saja.
Akhirnya merekapun kembali ke Grojogan Sewu, tanpa berpikir panjang.
Sesampainya disana mereka langsung menghampiri para pandhawa.
Raden bagaimana? Tidak apa-apa kan? Tanya Semar pada Raden
Yudhistira serta adik-adiknya.
Kami baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Apakah kau berhasil
memenangkannya? Tanya Raden Yudhistira.
Maaf Raden, kami belum sempat memenangkan peperangan dengan
raksasa itu. Kentut andalanku saja tidak berhasil mengalakannya. Tapi hamba
memiliki rencana lain yang lebih jitu, jawab Semar.
Apa itu? Apa aku boleh mengetahuinya? Tanya Raden Yudhistiralagi.
Tentu boleh Raden. Begini, saat hamba melawan raksasa itu
menggunakan kentut hamba, ternyata kentut hamba meleset dan mengenai sebuah
batu parang besar, kemudian batu itu pecah dan hampir mengenai raksasa, karena
hal itulah raksasa kabur ke arah utara. Tapi hamba yakin dia pasti kembali lagi
kemari.
Lalu rencanamu sebenarnya apa?
Rencana hamba adalah, hamba akan melintheng raksasa itu dengan
sebuah batu parang besar karena hamba yakin raksasa itu takut terkena batu

parang, apalagi yang ukurannya besar. Sebab itulah hamba kembali kemari untuk
mengambil batu parang besar yang ada di bukit dekat dini ini, jawab Semar.
Kalau begitu baiklah, ayo kita cari bersama, ajak Raden Yudhistira.
Baik Raden, mari kita berangkat.
Akhirnya merekapun berangkat menuju bukit yang dimaksud Petruk.
Benar ternyata disitu ada sebuah batu parang besar yang berukuran tiga kali gajah.
Dan apstinya siap untuk digunakan melawan raksasa itu.
Sudah ditemukan batunya, ayo kita ambil, ajak Raden Arjuna.
Baik Raden jawab Semar, gareng, Petruk, dan Bagong secara
bersamaan.
Setelah batu berhasil diambil, tiba-tiba Bagong berteriak.
Romo lihat di langit sebelah utara. Ada raksasa itu, ujar Bagong.
Iya kau benar, Gong, ayo kita bersiap.
Ternyata benar apa kata Bagong. Raksasa itu tengah terbang mengintai
keberadaan Semar. Mengetahui Semar ada di bawahnya, raksasa itu segera turun.
Hei kau tua Bangka, ayo kita selesaikan urusan kita yang tertunda waktu
itu, tantang raksasa.
Baiklah, maju kau kalau berani! timpal Semar.
Mulailah peperangan sengit itu lagi, semakin sengit, dua orang yang
sangat sakti mandraguna, yang satu adalah seorang dewa dan yang satu adalah
seorang raksasa besar yang jahat.
Meskipun Semar sudah memiliki rencana, namun Semar merasakan
pesimis da takut kalau rencana itu gagal. Plintheng itu siap digunakan apalagi batu
parangnya. Hanya tinggal menunggu saat yang tepat.
Ternyata anak-anakku cerdas juga, batin Semar sambil senyum-senyum
sendiri.
Tanpa ia sadari ternyata ia sudah terpojokkan. Betis kiri Semar terkena
sabetan tangan raksasa itu. Semar kini tak mampu berjalan dengan normal.
Mengetahui hal itu anak-anak Semar begitu sigapnya mereka langsung datang
menghampiri Romonya yang sedang terluka.

Romo, ayo bangun. Kami sudah menyiapkan segalanya. Sekarang Romo


pulihkan tenaga Romo lalu ayo kita kalahkan raksasa itu, ujar Petruk
menyemangati.
Iya anakku, kalian ternyata pandai juga. Dimana plintheng itu? Tanya
Semar.
Disana, aku akan alihkan perhatian raksasa itu, jawab Gareng.
Kemudian Petruk dan Bagong membawa Semar menuju tempat plintheng
itu diletakkan, sementara Gareng mengalihkan perhatian raksasa jahat itu.
Hai bocah, mau bertanding denganku? Kemana bapak tuamu itu? Hua,
ha, ha Tanya raksasa sombong.
Diam kau raksasa jelek, timpal Gareng.
Tanpa ia sadari, disana Semar telah bersiap dengan plinthengnya. Gareng
yang sudah diberi kode mulai mengalihkan perhatian raksasa menuju tempat
Semar.
Hai raksasa jelek, rasakan ini! teriak Semar sembari melancarkans
erangannya.
Betapa kagetnya raksasa itu ketika sebuah batu parang besar berukuran
tiga kali gajah sudah dilontarkan ke arahnya. Raksasa itu tak mampu menghindar,
matilah dia terkena batu parang itu. Namun batu parang itu tidak hancur, tetapi
jatuh di sebuah tempat dan menempel pada sebuah pohon asem yang besar. Batu
itu jatuh 300 meter dari tempat itu, tepatnya kea rah utara yaitu di tanah Wonogiri.
Kini, masyarakat menyebut batu itu dengan nama Plintheng Semar, yang
bertempat di Taman Selopadi kota Wonogiri.

Anda mungkin juga menyukai