pikirannya mulai kacau kesana kemari. Firasatnya mengatakan bahwa ini bukan
rasa kantuk biasa melainkan akan datangnya sebuah bahaya.
Semar mulai was-was, ia berharap bahaya itu tidak akan datang. Angin
dingin mulai bertiup, udara semakin dingin. Suasana gelap malam semakin
mencekam, sinar bulan telah tertutup awan.
Semar semakin merasakan hawa tidak enak yang berasal dari tempat
Pandhawa menyucikan diri.
Perasaanku semakin tidak enak saja, aku yakin ini pertanda buruk. Aku
harus cepat-cepat bangunkan anak-anakku. Ujarnya dalam hati.
Semar segera beranjak dari tempatnya bertapa, kemudian berjalan menuju
tempat anak-anak tidur.
Anak-anak cepat bangun! Kalian ini disuruh berjaga malah enak-enakan
tidur! ujar Semar membangunkan ketiga anaknya.
Ngantuk Mo. . . . jawab Gareng.
Memangnya ada apa to Romo ? tanya Petruk dengan mata terpejam.
Duh Gusti, kalian ini bagaimana! cepat bangun, Romo merasakan akan
datangnya bahaya. Timpal Semar.
Bukannya perang telah usai, Romo ini bagaimana ?
Tapi Romo, dari mana datangnya bahaya yang Romo maksudkan itu?
tanya Bagong sembari mengusap-usap kedua matanya.
Romo rasa bahaya itu dari sekitar sini.
Sudahlah cepat kalian bangun, dan ayo kita selidiki bersama!
Baik Romo. Ujar ketiga anak Semar bersamaan.
Mereka telah berbagi tugas, kearah masing-masing seperti sebelumnya.
Namun mereka tidak menemukan ada apa-apa, akhirnya mereka kembali menuju
tempat mereka berkumpul tadi.
Bagaimana sih Romo? Aku sudah kelilingi wilayah timur, tapi aku tidak
menemukan apa-apa Romo.ujar Bagong kepada Semar.
Iya Romo, Gareng dan Petruk juga seperti Bagong tidak menemukan apaapa. Ujar Gareng.
Romo sendiri juga bingung, padahal tadi hawa terasa begitu dingin,
susananya begitu mencekam, kenapa bisa jadi seterang ini. timpal Semar.
semakin
bingung,
akhirnya
Semar
memutskan
untuk
Huaa haaha..haah. Baiklah kalau itu maumu. Akan kulumat habis kau
kakek tua!
Akhirnya Raden Sadewa lepas dari genggaman raksasa itu. Namun
skerang Semar yang sedang terancam sebab kini Semar tengah berperan
mengahadapi raksasa jahat itu. Semar adalah seorang dewa yang cerdas, jadi
bukan tidak mungkin kalau ia akan menang.
Terimalah ini! ujar Semar sembari memberikan perlawanannya. Ia
serang raksasa itu dari segala penjuru arah, namun rakssa itu juga sakti madraguna
jadi Semar sempat kewalahan menghadapi raksasa itu. Meski begitu, Semar tidak
menyerah. Ia terus melancarkan serangannya sembari berpikir apa kelemahannya
raksasa itu. Tiba-tiba di pertengahan perang, Semar terkena serangan raksasa itu,
dadanya terkena pukulan yang sangat kuat. Merasakan sakit dan perlu istirahat
sejenak memulihkan tenaga, Semar memilih untuk kabur. Ia yakin kalau raksasa
itu pasti mengejarnya. Oleh sebab itu ia menjauh dari tempat para Pandhawa.
Anak-anak Semar, Gareng, Petruk dan Bagong juga ikut menyertai Semar.
Melihat ayahnya lemah tak berdaya, Gareng segera membantu mengobati
luka ayahnya itu dan ajaibnya Semar cepat sekali pulih.
Anakku, kalian lihatkan raksasa itu ternyata kuat sekali. Romo saja
sampai jatuh hanya karena pukulannya.
Bersabarlah Romo, Gareng yakin setelah ini Romo pasti menang, timpal
Gareng menyemangati ayahnya.
Benar ternyata dugaan Semar raksasa itu mengejar Semar sampai ke
tempat Semar saat ini.
Romo, lihat itu raksasa itu mengejar kita sampai kesini. Ujar Bagong.
Aku akan mengalahkannya kali ini. Kalian doakan aku saja. Balas
Semar sembari ;bersiap-siaop untuk berperang lagi.
Hai kakek tua, kenapa kau lari? Kau takutkan padaku ? huaa haa haa
Siapa bilang aku takut ? sini maju kau raksasa jelek!
Perang sengit antara Semar dan raksasa semakin sengit saja. Pohon-pohon
disekitar rusak dan raksasa semakin sengit. Lingkungan seketika berubah menjadi
tidak karuan.
Romo, raksasa itu kabur. Ayo kita kejar Romo,ujar Gareng, Petruk dan
Bagong bersamaan.
Ayo anak-anak!
Di tengah perjalanan, Semar sedikit bingung kenapa bisa raksasa itu lari
tunggang langgang padahal kentutnya tidak mengenai raksasa itu. Sekarang
Semar tahu, ternyata raksasa itu takut pada batu parang besar tadi yang hampir
mengenainya. Disaat itulah Semar mempunyai ide.
Anak-anak berhenti sebentar, Romo punya ide. Biarkanlah raksasa itu
lari, Romo yakin ia tidak akan jauh dari sini ujar Semar.
Semar mulai membuat plintheng dari pohon Jati yang sangat besar. Anakanak Semar merasa bingung, mau buat apa plintheng itu.
Romo, jangan main-main kita ini mau perang buka mau main, ujar
Gareng.
Iya Romo, untuk apa plintheng itu Tanya Bagong.
Ya untuk mlintheng. Sudahlah lihat saja nanti, sekarang Bantu Romo
menyelesaikan plintheng ini, ujar Semar.
Baiklah, Mo, jawab ketiganya secara bersamaan.
Setelah itu mereka mulai membagi tugas. Semar dan Gareng bertugas
menebangi beberapa pohon, sedangkan Bagong dan Petruk yang membersihkan
ranting-rantingnya. Setelah itu mereka mulai membuat plintheng raksasa untuk
menandingi
raksasa
jahat
itu.
Setelah
jadi
mereka
tidak
langsung
Plinheng ini akan Romo gunakan untuk melawan raksasa itu dengan
sebuah bongkahan katu parang besar. Nah sekarang kita hanya perlu mencarinya.
Bongkahan batu parang besar? Romo mencari yang seukuran apa?
Tanya gareng.
Yang besar, kalau bisa tiga kali ukuran hajah
Mana ada yang sebesar itu Mo? Tanya Bagong.
Aku rasa ada Romo, di dekat Grojogan Sewu pernah aku lihat batu
parang sebesar itu, kata Petruk menjelaskan.
Kalau memang disana ada ayo kita kembali kesana.
Baiklah Romo, ujar Gareng, Petruk, Bagong bersamaan.
Merekapun berangkat kembali menuju Grojogan Sewu dan kembali
menilik bagaimana keadaan Pandhawa selama mereka tinggal. Tetapi kalau
menurut Semar mereka akan baik-baik saja.
Akhirnya merekapun kembali ke Grojogan Sewu, tanpa berpikir panjang.
Sesampainya disana mereka langsung menghampiri para pandhawa.
Raden bagaimana? Tidak apa-apa kan? Tanya Semar pada Raden
Yudhistira serta adik-adiknya.
Kami baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Apakah kau berhasil
memenangkannya? Tanya Raden Yudhistira.
Maaf Raden, kami belum sempat memenangkan peperangan dengan
raksasa itu. Kentut andalanku saja tidak berhasil mengalakannya. Tapi hamba
memiliki rencana lain yang lebih jitu, jawab Semar.
Apa itu? Apa aku boleh mengetahuinya? Tanya Raden Yudhistiralagi.
Tentu boleh Raden. Begini, saat hamba melawan raksasa itu
menggunakan kentut hamba, ternyata kentut hamba meleset dan mengenai sebuah
batu parang besar, kemudian batu itu pecah dan hampir mengenai raksasa, karena
hal itulah raksasa kabur ke arah utara. Tapi hamba yakin dia pasti kembali lagi
kemari.
Lalu rencanamu sebenarnya apa?
Rencana hamba adalah, hamba akan melintheng raksasa itu dengan
sebuah batu parang besar karena hamba yakin raksasa itu takut terkena batu
parang, apalagi yang ukurannya besar. Sebab itulah hamba kembali kemari untuk
mengambil batu parang besar yang ada di bukit dekat dini ini, jawab Semar.
Kalau begitu baiklah, ayo kita cari bersama, ajak Raden Yudhistira.
Baik Raden, mari kita berangkat.
Akhirnya merekapun berangkat menuju bukit yang dimaksud Petruk.
Benar ternyata disitu ada sebuah batu parang besar yang berukuran tiga kali gajah.
Dan apstinya siap untuk digunakan melawan raksasa itu.
Sudah ditemukan batunya, ayo kita ambil, ajak Raden Arjuna.
Baik Raden jawab Semar, gareng, Petruk, dan Bagong secara
bersamaan.
Setelah batu berhasil diambil, tiba-tiba Bagong berteriak.
Romo lihat di langit sebelah utara. Ada raksasa itu, ujar Bagong.
Iya kau benar, Gong, ayo kita bersiap.
Ternyata benar apa kata Bagong. Raksasa itu tengah terbang mengintai
keberadaan Semar. Mengetahui Semar ada di bawahnya, raksasa itu segera turun.
Hei kau tua Bangka, ayo kita selesaikan urusan kita yang tertunda waktu
itu, tantang raksasa.
Baiklah, maju kau kalau berani! timpal Semar.
Mulailah peperangan sengit itu lagi, semakin sengit, dua orang yang
sangat sakti mandraguna, yang satu adalah seorang dewa dan yang satu adalah
seorang raksasa besar yang jahat.
Meskipun Semar sudah memiliki rencana, namun Semar merasakan
pesimis da takut kalau rencana itu gagal. Plintheng itu siap digunakan apalagi batu
parangnya. Hanya tinggal menunggu saat yang tepat.
Ternyata anak-anakku cerdas juga, batin Semar sambil senyum-senyum
sendiri.
Tanpa ia sadari ternyata ia sudah terpojokkan. Betis kiri Semar terkena
sabetan tangan raksasa itu. Semar kini tak mampu berjalan dengan normal.
Mengetahui hal itu anak-anak Semar begitu sigapnya mereka langsung datang
menghampiri Romonya yang sedang terluka.