Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Jumlah kasus malnutrisi akut berat di Indonesia masih tinggi, tetapi


penurunannya dari tahun ke tahun belum maksimal. Masalah malnutrisi akut berat
bukan hanya menjadi masalah saat ini melainkan juga akan berlanjut menjadi
masalah di masa depan. Penanganan malnutrisi akut berat yang paling penting
adalah mengenai skrining dan pencegahannya. Akan tetapi, skrining malnutrisi
akut berat di Indonesia sampai dengan saat ini belum berjalan secara optimal.1
Skrining malnutrisi akut berat di Indonesia sampai dengan saat ini masih
belum dapat berjalan secara optimal diakibatkan karena berbagai faktor. Salah
satu diantaranya adalah kriteria skrining yang dikeluarkan Kemenkes, yaitu
berdasarkan BB/U yang didefinisikan sebagai gizi buruk. Indikator BB/U hanya
menggambarkan massa tubuh relatif terhadap usia tanpa bisa menggambarkan
suatu proses malnutrisi yang akut. Malnutrisi akut hanya dapat dinilai dari tingkat
kekurusan dimana indikator antropometri yang mungkin untuk menilai tingkat
kekurusan adalah LILA dan WHZ.2-4
Perbedaan ini memberikan efek yang sangat besar terhadap jumlah cakupan
anak yang mengalami malnutrisi akut berat, namun berat badannya belum
mencapai kriteria BGM. Oleh karena Kemenkes menggunakan kriteria BB/U <-3
SD atau BGM untuk skrining anak anak dengan malnutrisi akut berat yang
disebut gizi buruk, maka temuan balita BGM yang kemudian dirujuk ke fasilitas
kesehatan untuk mendapatkan tatalaksana. Padahal, anak anak dengan BGM
belum tentu mengalami malnutrisi akut berat dan demikian juga sebaliknya,
dimana anak anak dengan malnutrisi akut berat bisa saja beratnya belum
mencapai BGM.2,5
Pada anak yang mengalami growth faltering selama 3 bulan, maka akan
terjadi growth faltering juga pada panjang badannya, sehingga ketika seorang
anak mencapai BGM, anak tersebut akan menjadi kurus dan pendek. Anak yang
menjadi kurus dan pendek tidak hanya menjadi masalah kesehatan saat ini, tetapi
merupakan masalah jangka panjang, terkait kesehatan dan kehidupan anak
tersebut ke depannya.3,5

Banyak penderita malnutrisi akut berat tidak dapat direhabilitasi dengan


baik karena penderita ini terlambat dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan
tatalaksana yang tepat. Seringkali perawatan yang terjadi bukan karena malnutrisi
akut beratnya melainkan karena komplikasi dari malnutrisi akut berat. Pasien
dengan komplikasi malnutrisi akut berat memerlukan perawatan yang lama karena
target sembuh sesuai WHO 2013 adalah ketika BB/PB atau BB/TB anak >-2 SD
dimana hal ini menjadi masalah tersendiri baik bagi penderita maupun
keluarganya.5,6
Oleh karena itu, penggunaan LILA sebagai metode skrining diharapkan
dapat menemukan dengan tepat anak anak yang mengalami malnutrisi akut agar
segera mendapatkan tatalaksana yang tepat sehingga tidak berlanjut menjadi
kondisi malnutrisi kronis. Selain itu, LILA juga diketahui dapat digunakan sebagai
salah satu prediktor kematian pada pasien dengan malnutrisi, dimana anak dengan
LILA yang lebih rendah memiliki risiko kematian yang lebih besar dibandingkan
dengan anak yang LILAnya lebih besar.4,6,7
Di Afrika dan Asia Selatan, pengukuran LILA telah digunakan sebagai
metode skrining untuk balita agar kasus kasus malnutrisi dapat ditemukan sedini
mungkin sehingga penatalaksanaan yang diberikan dapat berlangsung optimal.
Pengukuran LILA sangat mungkin untuk dilakukan para petugas di lapangan
seperti kader Posyandu karena mudah untuk dikerjakan, namun memiliki akurasi,
reliabilitas, sensitivitas, dan spesifisitas yang tinggi.8-10

BAB II
MALNUTRISI AKUT BERAT

3.1

Identifikasi malnutrisi akut berat


Menurut panduan WHO 2013, definisi malnutrisi akut berat pada anak usia

6 59 bulan adalah jika didapatkan LILA < 115 mm, atau WHZ < -3 SD.
Indikator antropomerti LILA dan WHZ merupakan indikator antropometri yang
dapat menggambarkan tingkat kekurusan seorang anak. Tingkat kekurusan
mengindikasikan adanya proses kehilangan berat badan yang berat, dimana
kondisi ini diasosiasikan dengan keadaan malnutrisi akut.6
Sedangkan menurut Kemenkes, definisi yang digunakan adalah gizi buruk,
dengan indikator BB/U <-3 SD, dimana indikator BB/U ini sebenarnya hanya
dapat merefleksikan massa tubuh anak terhadap usianya, sehingga tidak dapat
menggambarkan kondisi malnutrisi akut yang seharusnya mendapatkan
tatalaksana segera.
Perbedaan identifikasi malnutrisi akut berat ini merupakan salah satu
faktor yang mengakibatkan kasus kasus malnutrisi akut berat di Indonesia masih
belum dapat ditangani secara optimal karena skrining dengan kriteria BGM akan
menemukan anak anak dengan kondisi malnutrisi kronis, bukan malnutrisi akut
yang diharapkan dapat mengalami pemulihan lebih baik dibandingkan malnutrisi
kronis.2,5

Tabel 1 Klasifikasi status gizi berdasarkan WHO 20065

Growth

<- 3 SD

<-2 SD

-2 2 SD

>2 SD

> 3 SD

indicators
Weight for

Severity

Underweight

Normal

age
Height for

underweight
Severity

Stunted

Normal

Tall

Very tall

age

stunted

Weight for

Severity

Wasted

Normal

Overweight

Obese

height
BMI for age

wasted
Severity

Wasted

Normal

Overweight

Obese

wasted

Tabel 2 Klasifiasi status gizi berdasarkan SK Kemenkes 20102


Indeks
BB/U

PB/U atau TB/U

BB/PB

IMT/U

3.2

Kategori status

Ambang Batas (Z-score)

gizi
Gizi buruk
Gizi kurang
Gizi baik
Gizi lebih
Sangat pendek
Pendek
Normal
Tinggi
Sangat kurus
Kurus
Normal
Gemuk
Sangat kurus
Kurus
Normal
Gemuk

<-3 SD
<-3 SD sampai dengan <-2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
<-3 SD
<-3 SD sampai dengan <-2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
<-3 SD
<-3 SD sampai dengan <-2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
<-3 SD
<-3 SD sampai dengan <-2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD

Epidemiologi malnutrisi akut berat

Berdasarkan data dari UNICEF, kasus malnutrisi akut berat didapatkan


pada sekitar 20 juta anak usia pra sekolah, dimana sebagian besar kasus
didapatkan di regio Afrika dan Asia Tenggara. Malnutrisi akut berat merupakan
faktor penyebab penting yang mengakibatkan kematian pada sekitar 8 juta anak
usia kurang dari 5 tahun di seluruh dunia.11
Jumlah kasus malnutrisi akut berat di Indonesia masih tinggi, walaupun
pemerintah telah berupaya untuk menanggulanginya. Berdasarkan data Riskesdas
2013, jumlah balita gizi buruk dan kurang berdasarkan kriteria BB/U adalah 19%
(bandingkan dengan target RPJMN sebesar 15% pada tahun 2014) dan terjadi
peningkatan dibandingkan tahun 2010, sedangkan jumlah balita dengan kriteria
sangat kurus (BB/PB atau BB/TB <-3 SD) sebanyak 5,7%. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa anak malnutrisi akut berat dengan gejala klinis (marasmus,
kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit infeksi
seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), tuberkulosis (TB) serta
penyakit infeksi lainnya.1

Gambar 1 Persentase Gizi Buruk dan Gizi Kurang menurut BB/U di Indonesia1
3.3

Perkembangan penegakan diagnosis dan tatalaksana malnutrisi akut


berat
Pada tahun 1999, WHO memberikan rekomendasi diagnosis malnutrisi

akut berat yaitu jika WHZ < -3 SD atau jika ditemukan adanya edema bilateral,
dimana metode skriningnya berdasarkan BB/PB atau BB/TB dan manifestasi

klinis berupa tampilan sangat kurus. Kemudian, pada tahun 2007 kriteria
diagnosis malnutrisi akut berat ditambah dengan LILA < 110 mm (pada anak usia
6 60 bulan) sebagai kriteria diagnostik independen. Berdasarkan penelitian
penelitian berikutnya yang menyebutkan pentingnya menyesuaikan cut off LILA
menjadi 115 mm agar dapat mengidentifikasi lebih banyak anak dengan malnutrisi
akut berat dengan spesifisitas mencapai 90%, maka pada rekomendasi WHO 2009
sampai dengan 2013, kriteria diagnosis malnutrisi akut berat menjadi WHZ <-3
SD, LILA < 115 mm, dan adanya edema bilateral.4,6,7,12
Mengenai tatalaksana malnutrisi akut berat, berdasarkan rekomendasi
WHO 1999, tatalaksana utama malnutrisi akut berat adalah dengan metode
hospital based, dimana seluruh pasien malnutrisi akut berat harus dirawat inap.
Namun, sejak tahun 2007, tatalaksana malnutrisi akut berat adalah berdasarkan
terapi basis komunitas (CTC) yang ditujukan untuk mengatasi keterbatasan
pelayanan rawat inap. Program CTC ini menggunakan sistem desentralisasi
jaringan dari pusat rawat jalan (biasanya dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan primer), unit rawat inap skala kecil (biasanya dilakukan di rumah sakit
lokal) lalu para sukarelawan melakukan deteksi kasus dan follow up. Pasien
dengan malnutrisi akut berat, nafsu makan baik dan tanpa komplikasi medis
ditangani di layanan rawat jalan yang menyediakan terapi yang siap dikonsumsi
(RUTF) dan obat obatan untuk masalah kesehatan yang sederhana. Makanan
dan obat tersebut kemudian dapat dibawa pulang dan pasien harus mendatangi
fasilitas pelayanan rawat jalan setiap minggunya untuk pemantauan dan
mendapatkan kembali makanan maupun obat obatan. Untuk pasien dengan
malnutrisi akut berat yang disertai komplikasi medis dan atau anoreksia dirawat di
pusat stabilisasi rawat inap, dimana pasien ini kemudian mendapatkan terapi awal
sesuai rekomendasi WHO sampai dengan pasien tersebut mengalami perbaikan
kondisi dan perbaikan nafsu makan sehingga tatalaksana berikutnya dapat
dilanjutkan secara rawat jalan di fasilitas pelayanan kesehatan primer.4,6,7,12

Tabel 2 Kategori triase untuk program penanganan malnutrisi10

Kategori triase

Respon terhadap

Luaran triase

Tidak malnutrisi
Malnutrisi

intervensi
Tidak perlu intervensi
Respon terhadap

Tidak rawat inap


Rawat inap

(mungkin untuk diterapi)


Malnutrisi

pemberian intervensi
Tidak respon terhadap

Tidak rawat inap

(tidak dapat diterapi)

pemberian intervensi

Mengenai kriteria pemulangan pasien, berdasarkan rekomendasi WHO


tahun 1999 disebutkan bahwa pasien malnutrisi akut berat dapat dipulangkan skor
WHZ nya telah mencapai > -1 SD. Pada tahun 2009, terdapat perubahan
mengenai kriteria pemulangan pasien, dimana pasien dapat dipulangkan
berdasarkan persentase kenaikan berat badan dan antropometrinya (LILA dan
WHZ). Berdasarkan rekomendasi WHO 2009, kriteria pemulangan pasien
malnutrisi akut berat adalah apabila prosentase kenaikan berat badan mencapai 15
20%, WHZ > -1 SD, LILA > 115 mm, dan apabila saat masuk perawatan anak
disertai dengan edema, maka ketika anak bebas edema 2 minggu, anak dapat
dipulangkan.4,7,12
Kriteria pemulangan pasien berdasarkan rekomendasi WHO 2013 kembali
mengalami perubahan dimana pasien malnutrisi akut berat dapat dipulangkan
apabila WHZ -2 SD dan bebas edema sekurang kurangnya 2 minggu, atau
LILA > 125 mm. Penggunaan indikator antropometri untuk menentukan
kepulangan pasien harus sama dengan indikator antropometri yang dipilih saat
menentukan seorang pasien mengalami malnutrisi akut berat atau tidak. Jika
kriteria diagnosis malnutrisi akut berat yang digunakan saat awal perawatan
adalah LILA, maka untuk menentukan kepulangan pasien dan mengevaluasi
keberhasilan rehabilitasi nutrisi juga harus menggunakan LILA. Namun, pada
rekomendasi tahun 2013 ini, persentase kenaikan berat badan tidak lagi dianjurkan
sebagai kriteria pemulangan pasien.6
Di Indonesia, tatalaksana malnutrisi akut berat masih belum berjalan
secara optimal. Selain metode skrining malnutrisi akut berat yang masih
menggunakan kriteria BB/U < -3 SD, manajemen malnutrisi akut berat di

Indonesia masih berdasarkan metode hospital based, dimana pasien pasien


malnutrisi akut berat dilakukan rawat inap, sampai dengan mengalami perbaikan,
kemudian dilakukan rawat jalan. Pelayanan rawat jalan pasien malnutrisi akut
berat di Indonesia belum berlangsung seperti halnya yang direkomendasikan di
panduan WHO yang telah menggunakan sistem terapi berbasis komunitas sejak
tahun 2007. Pelayanan rawat jalan pasien malnutrisi akut berat hanya
menyediakan terapi obat obatan tetapi tidak menyediakan paket nutrisi yang
disesuaikan dengan kondisi pasien. Hal ini tentu saja mengakibatkan proses
pemulihan nutrisi pasien malnutrisi akut berat tidak berlangsung optimal yang
dapat mengakibatkan terjadinya kekambuhan.2,3
3.4

Prognosis malnutrisi akut berat


Malnutrisi akut berat mempunyai angka kematian yang tinggi. Kematian

yang terjadi akibat malnutrisi akut berat sering disebabkan oleh karena komplikasi
infeksi. Oleh karena itu, sulit dibedakan kematian pada malnutrisi akut berat
tersebut akibat infeksi atau karena malnutrisi akut beratnya. Prognosis tergantung
pada stadium saat mulai diberikan tatalaksana. Dalam beberapa hal, meskipun
terapi yang diberikan tampak adekuat, progresif kematian tidak dapat dihindari,
dimana hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan sel sel tubuh akibat proses
undernutrition yang terjadi.13,14

BAB III
LINGKAR LENGAN ATAS (LILA)

2.1

LILA sebagai indikator antropometri


Lengan manusia terdiri atas lemas subkutan dan massa otot. Pada kondisi

dimana terjadi penurunan asupan, maka lemak subkutan dan massa otot akan
berkurang, yang akan menyebabkan berkurangnya lingkar lengan atas. Oleh
karena itu, LILA dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu keadaan malnutrisi.
Lingkar lengan atas (LILA) menggambarkan jaringan lemak di bawah kulit dan
otot yang tidak banyak terpengaruh oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan
dengan berat badan (BB).3
LILA lebih sesuai untuk dipakai menilai keadaan gizi/tumbuh kembang
pada anak kelompok umur prasekolah (6 bulan 5 tahun) karena sampai dengan
saat ini belum ada interpretasi baku mengenai nilai cut off LILA pada anak usia
kurang dari 6 bulan maupun anak di atas 5 tahun. Selain itu, sampai dengan saat
ini, LILA merupakan metode pengukuran antropometri yang dapat digunakan
sebagai prediktor risiko kematian pada anak usia 6 bulan 5 tahun terkait dengan
massa otot yang dapat dinilai dengan LILA.14,15
LILA juga lebih dipilih sebagai indikator antropometri dibandingkan
LILA/U karena penentuan usia yang tidak tepat dapat mengakibatkan kesalahan
interpretasi keadaan gizi seorang anak dibandingkan dengan menggunakan
indikator LILA saja. Selain itu, LILA juga dipilih sebagai indikator antropometri
karena cara pengukurannya yang relatif mudah, murah, tetapi memliki akurasi,
reliabilitas, sensitivitas, dan spesifisitas yang tinggi.10,14,15
2.2

Akurasi dan reliabilitas LILA


Akurasi dan reliabilitas dalam suatu metode pengukuran sangatlah

penting, karena akurasi menunjukkan seberapa dekat hasil pengukuran yang


didapatkan dengan nilai yang sebenarnya. Semakin besar akurasi suatu metode

pengukuran, maka hasil dari pengukuran tersebut akan lebih mendekati


kebenaran. Sementara itu, presisi atau reliabilitas menggambarkan apakah suatu
metode pengukuran akan memberikan nilai yang sama atau hampir sama pada
pemeriksaan yang dilakukan berulang ulang. Oleh karena itu, semakin reliabel
suatu metode pengukuran, maka metode pengukuran tersebut dapat digunakan
oleh setiap orang di wilayah manapun dan akan tetap memberikan hasil yang
sama atau hampir sama sehingga dapat dipergunakan secara luas.10
Pengukuran antropometri secara akurat terhadap anak yang melibatkan
komponen usia sering dianggap meragukan karena penetapan usia anak yang
kadang kurang tepat. Pada beberapa penelitian sebelumnya disebutkan bahwa
terkait dengan akurasi dan presisi, pengukuran LILA dianggap lebih baik
dibandingkan dengan BB/PB. Kesimpulan ini terkait dengan kesulitan petugas
untuk menimbang BB dan mengukur PB/TB secara tepat pada anak yang lebih
kecil karena cenderung rewel saat dilakukan pengukuran, dimana hal ini tentu saja
mempengaruhi hasil dari penimbangan maupun pengukuran PB/TB.10
Akurasi dan presisi BB disebutkan kurang baik karena dapat mengalami
perubahan setiap harinya dan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
hidrasi, isi saluran cerna dan juga parasit seperti Ascaris lumbricoides.10
Davis et al dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pengukuran LILA
dengan menggunakan pita pengukur memberikan hasil yang akurat. Temuan ini
juga didukung oleh data penelitian dari Sommer dan Loewenstein. Velzeboer et al
melakukan uji reliabilitas (contoh : presisi) terhadap lima orang sukarelawan
dengan pelatihan minimal di Guatemala untuk mengukur BB/PB, PB/U, BB/U,
LILA, dan LILA/U. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa reliabilitas
tertinggi didapatkan pada pengukuran BB/U dan kemudian diikuti dengan LILA,
LILA/U, BB/PB, dan yang terakhir PB/U. Selain itu juga didapatkan bahwa
sukarelawan tersebut paling sedikit membuat kesalahan dalam mengukur LILA
dibandingkan dengan BB/U atau BB/PB karena tidak memerlukan nilai indikator
berdasarkan tabel serta tidak perlu melakukan plotting pada kurva pertumbuhan.1618

10

Berdasarkan penelitian oleh Martha et al, LILA dapat diukur dengan


mudah, cepat, dan terjangkau. Nilai di bawah cut-off dari 125 mm digunakan
untuk menentukan malnutrisi akut global (kurus dan sangat kurus), sedangkan
nilai di bawah 115 mm digunakan untuk menentukan malnutrisi akut berat (sangat
kurus). LILA saat ini tidak disarankan untuk digunakan pada bayi berusia di
bawah 6 bulan karena kurangnya data mengenai reliabilitas pengukuran dalam
praktek di lapangan dan nilai prediktif untuk kematian. Namun, pada penelitian
lain yang dilakukan oleh Martha et al terhadap anak usia <6 bulan di Kenya
didapatkan bahwa realibilitas antar pengamat LILA lebih besar dibandingkan
dengan WHZ.19,20
Pada penelitian sebelumnya mengenai reliabilitas LILA digunakan
berbagai metode untuk merekrut subjek penelitian, observer, dan analisis data.
Pada penelitian multicentre oleh WHO didapatkan koefisien reliabilitas (>0.95)
untuk seluruh metode pemeriksaan antropometri, kecuali ketebalan lipatan kulit.
Pada penelitian di Guatemala yang melibatkan tenaga kesehatan dengan pelatihan
minimal, didapatkan koefisien realibilitas <0.90 pada pemeriksaan antropometri
terhadap anak usia 12 60 bulan, dimana kesalahan lebih sedikit didapatkan pada
pemeriksaan antropometri dengan menggunakan LILA dibandingkan WHZ.21,22
Pada penelitian lainnya dilakukan pengamatan terhadap adanya variabilitas
antar petugas pengukur yaitu petugas di fasilitas kesehatan masyarakat di
beberapa wilayah di Ghana yang melakukan pengukuran terhadap anak anak
usia 12 60 bulan. Dalam penelitian ini juga dilakukan pengukuran BB dan TB.
Kemungkinan terjadinya kesalahan inter observer biasanya akan lebih sering
ditemukan dibandingkan kesalahan intra observer dalam melakukan pengukuran
BB, TB, LILA, dan pengukuran antropometri lainnya. Dalam penelitian
ditemukan bahwa kesalahan intra observer dalam melakukan pengukuran LILA
relatif tinggi, sedangkan kesalahan inter observer justru lebih rendah. Selain itu
juga didapatkan banyaknya kesalahan yang terjadi ketika dilakukan pengukuran
LILA ulang oleh dua petugas atau lebih terhadap seorang anak. Pada penelitian ini
didapatkan bahwa analisis data terhadap hasil pengukuran LILA intra observer
nilainya mendekati 1, sehingga dapat dikatakan data intra observer sangat reliabel.

11

Jika dibandingkan dengan pengukuran WHZ, maka angka kesalahan yang dibuat
juga lebih sedikit. Berdasarkan penelitian ini juga diketahui bahwa pengukuran
LILA pada lengan kanan maupun kiri anak tidak memberikan perbedaan yang
bermakna. Lengan yang dominan tidak terlalu memberikan hasil pengukuran
berbeda pada anak usia < 5 tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan orang dewasa.
Kesalahan inter observer yang justru lebih banyak dibandingkan intra observer
kemungkinan disebabkan pada perbedaan seberapa erat pita pengukur digunakan
untuk mengukur LILA. Selain itu, perbedaan lain yang mungkin menyebabkan
perbedaan hasil adalah dari cara menentukan titik pengukuran LILA.23
Terdapat penelitian lainnya di Afrika Barat mengenai realibilitas
pengukuran antropometri yang juga menilai kesalahan intra maupun inter
observer dalam melakukan berbagai pengukuran. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut didapatkan bahwa realibilitas intra observer untuk pengukuran LILA
sebesar 94,7% sementara realibilitas inter observer lebih dari 88%. Pada
penelitian ini petugas yang akan melakukan pengukuran dilakukan pelatihan
terlebih dahulu agar teknik pengukuran yang dilakukan tidak berbeda satu dengan
yang lainnya sehingga bisa diperoleh realibilitas intra maupun inter observer yang
cukup tinggi.24
2.3

Sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediktif LILA


Suatu metode pengukuran dikatakan baik apabila memiliki tingkat akurasi,

realibilitas, sensitivitas, dan spesifisitas yang tinggi. Sensitivitas suatu


pemeriksaan dinilai berdasarkan kemampuan metode tersebut untuk dapat
mengidentifikasi dengan benar subjek yang memang mengalami kondisi seperti
yang kita ingin temukan. Spesifisitas suatu pemeriksaan dinilai berdasarkan
kemampuan metode tersebut untuk dapat mengidentifikasi negatif subjek yang
tidak mengalami kondisi yang ingin kita temukan.10
Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai validitas LILA sebagai
metode penentuan status nutrisi di komunitas. Penelitian penelitian tersebut
membandingkan pengukuran antropometri dengan hasil evaluasi klinis atau
metode lainnya selain antropometri. Pada penelitian lain juga dievaluasi

12

sensitivitas dan spesifisitas LILA dibandingkan indikator antropometri


lainnya.14,15,24,25
Fernandez et al. dalam penelitiannya terhadap 34.937 anak usia 6 59
bulan untuk mendeteksi malnutrisi akut berat dengan WHO child growth
standard, didapatkan cut off LILA yang terbaik jika menggunakan kurva NCHS
adalah 130 mm, sementara jika menggunakan kurva WHO child growth standard
didapatkan cut off LILA terbaik adalah 135 mm. Dalam penelitian ini disebutkan
bahwa jumlah anak yang terdiagnosis malnutrisi akut berat mengalami
peningkatan sejak digunakannya kurva WHO yang baru. Proporsi temuan negatif
palsu dengan menggunakan LILA 135 mm adalah 15,5% jika menggunakan WHO
standard dan meningkat menjadi 20,4% jika menggunakan kurva NCHS. Dari
penelitian ini juga direkomendasikan untuk mengubah nilai cut off LILA dari
<110 mm menjadi <115 mm karena dengan peningkatan nilai cut off LILA
sebesar 5 mm data meningkatkan sensitivitas LILA menjadi 25% dengan
pengurangan spesifisitas yang minimal, serta menurunkan hasil negatif palsu
sebesar 12%. Pada penggunaan LILA dengan cut off yang lebih tinggi, didapatkan
peningkatan jumlah positif palsu yang dapat menimbulkan suatu overestimasi,
meskipun juga disertai dengan penurunan temuan negatif palsu. Walaupun
demikian, LILA merupakan indikator yang paling baik untuk deteksi dan skirining
kasus malnutrisi di komunitas. Metode skrining menggunakan kurva pertumbuhan
maupun kenaikan BB tidak sesuai jika digunakan sebagai prediktor risiko
kematian. Penggunaan LILA, meskipun tanpa koreksi terhadap usia atau TB,
terbukti lebih baik dibandingkan WHZ, HAZ, maupun WAZ.25
Briend et al. dalam penelitiannya mengenai LILA dibandingakan dengan
WHZ terhadap 5751 anak usia kurang dari 5 tahun di Senegal, didapatkan hasil
sensitivitas 5,9% dan spesifisitas 99% jika menggunakan kombinasi kriteria
diagnosis malnutrisi akut berat WHZ < -3 SD dan LILA < 115 mm. Namun, jika
kriteria diagnosis yang digunakan untuk mendiagnosis malnutrisi akut berat
menggunakan LILA < 115 mm saja, sensitivitasnya menjadi 13,2% dengan
spesifisitas sebesar 96,9%. Pada penelitian ini juga dinilai sensitivitas dan
spesifisitas dari berbagai nilai cut off LILA. Jika menggunakan nilai cut off LILA

13

sebesar 112 mm, sensitivitas LILA untuk mendiagnosis malnutrisi akut berat
menjadi 6% dengan spesifisitas 99,1%. Apabila menggunakan nilai cut off LILA
119 mm, sensitivitas LILA menjadi 14,9% dengan spesifisitas 96,9%. Oleh karena
itu, dari penelitian ini dapat diketahui bahwa LILA memiliki kemampuan lebih
baik untuk mendiagnosis malnutrisi akut berat dengan risiko tinggi dibandingkan
WHZ. Selain itu, tidak didapatkan manfaat jika menggunakan kombinasi kriteria
WHZ dan LILA untuk mengidentifikasi anak anak malnutrisi akut berat.15
Pada penelitian yang dilakukan Mogendi et al. terhadap 156 anak usia 6
59 bulan di Kenya dibandingkan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan
negatif antara LILA dengan nilai cut off tunggal yaitu <12,5 cm dengan WHZ < -2
SD dan WAZ < -2 SD untuk mendeteksi anak anak dengan malnutrisi. Pada
penelitian ini didapatkan penggunaan LILA lebih baik dibandingkan WHZ dan
WAZ saat digunakan dalam mendeteksi kasus malnutrisi, dengan sensitivitas
63,4%, spesifisitas 93%, nilai prediksi positif 76,5%, dan nilai prediksi negatif
87,7%. Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa LILA juga lebih baik
dibandingkan dengan LILA/U karena sensitivitas LILA/U hanya 46,3%,
spesifisitas 87,7%, nilai prediksi positif 57,6%, dan nilai prediksi negatif 82%.
Oleh karena itu, berdasarkan penelitian ini direkomendasikan untuk menggunakan
LILA dengan nilai cut off tunggal sebagai kriteria diagnosis malnutrisi pada anak
usia 5 59 bulan.14
Pada penelitian sebelumnya di Nigeria Barat untuk menilai validitas LILA
dalam penentuan status nutrisi terhadap anak usia 12 59 bulan dilakukan
perbandingan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan prediksi negatif
LILA dengan WHZ sebagai gold standard. Prevalensi kasus malnutrisi pada
penelitian tersebut adalah 5,6% dengan rerata LILA 15.47 1.4 cm. Pada
penggunaan cut off LILA 13,5 cm didapatkan sensitivitas LILA 20% dan
spesifitasnya 95,3%. Pada penelitian ini, kurva ROC menunjukkan nilai optimal
cut off LILA 15,5 cm dengan sensitivitas 80% dan spesifisitas 53,5%. Oleh karena
itu, pada penelitian ini direkomendasikan untuk meningkatkan nilai cut off LILA
dalam skrining malnutrisi akut pada pasien di bawah 5 tahun.24

14

Pada penelitian lain oleh Laillou et al. terhadap data sekunder dari >11.000
anak di Kamboja, didapatkan prevalensi malnutrisi akut berat menggunakan
indikator LILA < 115 mm didapatkan hanya sebesar 0.4% (95% CI: 0.310.54),
sedangkan prevalensi malnutrisi akut berat dengan indikator LILA 115 mm dan
125 mm sebesar 2.9% (95% CI:2.623.23). Sebagai perbandingan, prevalensi
kasus malnutrisi akut berat yang ditemukan dengan menggunakan WHZ <-3 SD
sebesar 1.4% (95% CI: 1.181.61), sedangkan kasus malnutrisi akut sedang yang
ditemukan dengan menggunakan WHZ <-2 SD sebesar 9.2% (95% CI: 8.68
9.74). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan cut off LILA < 115 mm
mengakibatkan 90% anak yang terdiagnosis malnutrisi akut berat berdasarkan
WHZ< -3 SD tidak tercakup. Demikian sebaliknya jika menggunakan kriteria
WHZ < -3 SD didapatkan 80% anak dengan LILA < 115 mm yang tidak
terdiagnosis. Oleh karena itu, dalam penelitian ini direkomendasikan metode
skrining dengan menggunakan 2 tahap dan penyesuain nilai cut off LILA, yaitu
133 mm. 2 tahap skirining yang disarankan pada penelitian ini dikerjakan pada
anak dengan LILA < 133 mm. Pada anak dengan LILA < 133 mm dianjurkan
untuk dibagi lagi menjadi LILA >115 mm, < 115 mm, WHZ <-3 SD, dan WHZ >3 SD. Untuk anak dengan LILA <115 mm dan WHZ <-3 SD dilanjutkan dengan
pemberian terapi malnutrisi akut berat. Walaupun demikian, penelitian ini juga
masih perlu ditindaklanjuti karena data penelitian yang digunakan hanya terbatas
di Kamboja saja.26
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Martha et al. di Gambia terhadap
bayi usia 6 14 minggu pada saat vaksinasi rutin didapatkan LILA <115 mm
dapat digunakan untuk mengidentifikasi bayi bayi yang mungkin akan
meninggal sebelum usia 1 tahun dibandingkan bayi dengan gizi baik. Berdasarkan
penelitian ini juga direkomendasikan untuk melakukan pengukuran LILA secara
rutin pada saat bayi datang untuk mendapatkan vaksinasi karena LILA merupakan
pemeriksaan antropometri yang akurat, reliabel, murah, dan mudah untuk
dilakukan.19,20

15

2.4

Teknik pengukuran LILA


Untuk melakukan pengukuran LILA dapat digunakan pita pengukuran

LILA yang dapat berupa warna saja atau berupa warna dan angka. Warna merah,
kuning dan hijau menggambarkan derajat malnutrisi dari anak yang diperiksa.
Sejak tahun 2009 kriteria warna pada pita pengukuran LILA yang digunakan
adalah warna merah untuk LILA <11,5 cm, kuning untuk LILA 11,5 12,5 cm,
dan hijau untuk LILA > 12,5 cm.5,10
Cara pengukuran LILA adalah sebagai berikut :
1. Tetapkan posisi ujung bahu (acromion) dan ujung siku (olecranon)
dengan posisi siku 900
2. Letakkan pita pengukur antara bahu dan siku
3. Tetukan titik tengah lengan
4. Lingkarkan pita LILA tepat pada titik tengah lengan
5. Pita jangan terlalu ketat, jangan pula terlalu longgar
6. Pembacaan skala yg tertera pada pita (dalam cm (centimeter))

Gambar 2 Cara menentukan titik tengah untuk mengukur LILA (perhatikan


tangan harus ditekuk 90 derajat)

16

Gambar 3 Posisi tangan saat membaca nilai LILA (tangan diluruskan setelah tadi
ditekuk 90 derajat)

Gambar 4 Contoh pita pengukur LILA


Kriteria penentuan malnutrisi akut berat didapatkan apabila LILA <11,5
cm. Akan tetapi, untuk skrining malnutrisi kriteria yang digunakan adalah LILA <
12,5 cm.5,7,10

BAB IV

17

PENGGUNAAN LILA DI KOMUNITAS

4.1

Penggunaan LILA untuk skrining malnutrisi akut berat


Deteksi kasus di komunitas serta penentuan kriteria rujukan dan kriteria

perawatan merupakan faktor penting untuk mencapai cakupan terapi pasien


malnutrisi akut berat secara tepat. Masalah ini belum banyak mendapatkan
perhatian padahal kasus malnutrisi akut berat yang yang dilakukan rawat inap
sebagian besar dilakukan di perawatan intensif karena pasien dirawat akibat
komplikasi yang dideritanya. Hal ini tentu saja menjadikan beban biaya baik
kepada penyedia layanan kesehatan maupun keluarga penderita. Tingginya biaya
perawatan mengakibatkan cakupan program pasien malnutrisi akut berat menjadi
terbatas.10
Berdasarkan rekomendasi WHO tahun 2013, agar dapat mengidentifikasi
pasien malnutrisi akut berat di komunitas sedini mungkin, maka dianjurkan untuk
melakukan pengukuran LILA secara rutin pada anak usia 6 59 bulan serta
memeriksa adanya edema pitting bilateral. Anak usia 6 59 bulan dengan LILA <
115 mm atau dengan edema bilateral derajat berapapun harus dirujuk untuk
mendapatkan terapi malnutrisi akut berat di pusat pelayanan kesehatan.
Penggunaan LILA untuk deteksi kasus malnutrisi akut berat dan menentukan
perlunya pemberian terapi telah digunakan secara luas di komunitas.6,10,15
Penggunaan skor WHZ untuk deteksi malnutrisi akut berat di komunitas
akan menyulitkan para sukarelawan di komunitas sehingga dapat menjadi
penghambat seorang anak malnutrisi akut berat mendapatkan terapi yang sesuai.
Oleh karena itu, untuk deteksi dini malnutrisi akut berat disarankan untuk
menggunakan LILA yang relatif lebih mudah untuk dilakukan di komunitas.
Selain itu, LILA juga dapat digunakan sebagai prediktor risiko kematian dan
merupakan metode pemeriksaan yang akurat, sensitif dan cukup spesifik. Dengan
menggunakan LILA maka pasien pasien yang belum memenuhi kriteria skor
WHZ akan dapat teridentifikasi lebih awal dan bisa mendapatkan terapi malnutrisi

18

akut berat lebih awal sehingga dapat meminimalkan terjadinya komplikasi yang
tentu saja akan memberikan manfaat bagi penyedia layanan kesehatan, pasien,
maupun bagi keluarga pasien.10,27,28 Penggunaan LILA sebagai metode untuk
skrining kasus malnutrisi akut berat dan kriteria perawatan dapat mengurangi
angka penolakan kasus rujukan yang sebelumnya tidak memenuhi kriteria
WHZ.10,27
Pada penelitian Laillou et al didapatkan bahwa penggunaan LILA saja
sebagai indikator tunggal skrining kasus malnutrisi akut berat mengakibatkan
banyak anak yang terlewatkan. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa LILA dan
WHZ akan mengidentifikasi kelompok pasien yang berbeda sehingga
dipertimbangkan untuk menggunakan keduanya secara independen, bukan saling
menggantikan. Dalam penelitian ini direkomendasikan bahwa LILA 115 mm
seharusnya digunakan sebagai kriteria penentuan pemberian terapi, yang diukur
secara parallel sebagai tambahan data yang diperoleh selain dari WHZ. Laillou et
al juga merekomendasikan prosedur skrining yang terdiri atas dua langkah.
Pertama, LILA dapat digunakan sebagai metode skrining awal dengan
menggunakan cut off 133 mm untuk mencakup anak dengan malnutrisi akut berat
sebanyak mungkin. Dengan menggunakan cut off 133 mm, dalam penelitian ini
dapat mencakup lebih dari 65% anak yang WHZ nya <-3SD. Langkah kedua,
anak anak dengan LILA kurang dari 133 mm tersebut harus dievaluasi lebih
lanjut di fasilitas pelayanan sekunder sehingga diharapkan tidak ada kasus kasus
malnutrisi akut berat yang terlewatkan. Walaupun demikian, risiko banyaknya
kasus positif palsu juga kemungkinan akan meningkat. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini dianjurkan untuk menggunakan kedua metode, LILA dan WHZ
untuk skrining kasus malnutrisi akut berat sehingga kedua metode tersebut akan
saling melengkapi.26

4.2

Penggunaan LILA sebagai kriteria rawat inap dan monitoring


malnutrisi akut berat

19

Dalam beberapa tahun terakhir, program program untuk penanganan


kasus gizi kurang dan malnutrisi akut berat telah menggunakan LILA sebagai
indikator tunggal untuk kriteria rawat inap. Sebagai contoh, pada program yang
dijalankan oleh The Ethiopian Enhanced Outreach Strategy for Child Survival
(EOS), LILA <120 mm digunakan untuk mengidentifikasi apakah seorang anak
perlu mendapatkan suplementasi. Pada program SFP yang dijalankan di
komunitas juga hanya menggunakan LILA sebagai kriteria rawat inap. Untuk
program SFP ini batas LILA yang digunakan untuk menentukan rawat inap dan
kepulangan adalah 125 mm.4
Berdasarkan penelitian oleh Mogendi et al. didapatkan bahwa rerata lama
perawatan pasien malnutrisi akut berat sampai dengan pulih adalah 86 hari. Tidak
didapatkan perbedaan lama perawatan anak malnutrisi akut berat dengan
menggunakan kriteria rawat inap berdasarkan LILA maupun WHZ. Hal ini
menunjukkan tidak adanya perbedaan mengenai biaya perawatan anak malnutrisi
akut berat jika menggunakan kriteria rawat inap LILA <12,5 cm maupun WHZ,
WAZ dan MUACZ <-2 SD.14
Pada penelitian tersebut juga didapatkan bahwa selama perawatan LILA
akan meningkat secara konstan sejak mulai rawat inap sampai dengan minggu
awal perawatan dan kemudian menjadi stabil lalu menurun. Walaupun demikian,
terjadi peningkatan berat badan pada tahap awal yang kemudian menetap. Untuk
tinggi badan cenderung konstan di awal dan mulai mengalami peningkatan setelah
beberapa waktu. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran LILA merupakan indeks
antropometri yang paling cepat mengalami perubahan selama proses terapi
malnutrisi akut berat dan merupakan indikator yang baik untuk menilai
keberhasilan terapi. Untuk pemantauan jangka pendek dapat dilihat dari
peningkatan berat badan sedangkan untuk pemantauan jangka panjangnya dapat
digunakan pengukuran tinggi badan.14
Oleh karena ketiga indikator antropometri terlibat dengan mekanisme yang
berbeda, maka ketiganya penting untuk dipantau selama pemberian terapi
malnutrisi akut berat untuk menilai adanya perbaikan. Walaupun begitu, tidak
didapatkan adanya perbedaan bermakna pada koefisien KAPPA ketika

20

dibandingkan antara LILA single cut off dengan WHZ <-2 SD, tetapi akurasinya
lebih tinggi (90,72%) dibandingkan WHZ < -2 SD (85,1%). Sensitivitas dan
spesifisitas LILA single cut off (<12,5 cm) lebih tinggi dibandingkan WHZ ketika
digunakan dalam pemantauan pasien malnutrisi selama mendapatkan rehabilitasi
gizi.14
Dengan rerata lama perawatan 86 hari, didapatkan penambahan LILA 0,14
mm/hari dan peningkatan berat badan 13,06 gram/hari, dimana target kenaikan ini
diperlukan semua anak dengan malnutrisi untuk mencapai pemulihan maksimal
selama program rehabilitasi gizi. Penambahan LILA 0,19 mm/hari ini didapatkan
pada anak dengan LILA <12,5 cm. Oleh karena itu, LILA <12,5 cm merupakan
indikator yang baik untuk digunakan sebagai kriteria rawat inap dan pemantauan
anak malnutrisi akut berat selama terapi serta untuk menentukan seorang pasien
malnutrisi akut berat sudah dapat dipulangkan atau belum.14
4.3

Penggunaan LILA sebagai kriteria pemulangan pasien malnutrisi


akut berat
Sekitar 20 juta anak usia kurang dari 5 tahun di seluruh dunia menderita

malnutrisi akut berat, dimana kasus buruk ini menyebabkan kematian sekitar 1
juta anak setiap tahunnya. Pendekatan yang paling digunakan dalam tatalaksana
malnutrisi akut berat adalah manajemen malnutrisi akut komunitas yang meliputi
pasien di instalasi rawat inap maupun rawat jalan, tergantung pada ada dan
tidaknya komplikasi.4
Pada tahun 2013 WHO dan UNICEF memberikan guideline terbaru yang
digunakan sebagai kriteria pemulangan pasien dengan malnutrisi akut berat.
Kriteria pemulangan pasien berdasarkan guideline terbaru adalah jika WHZ 2SD dan tidak didapatkan edema setidaknya 2 minggu, atau jika LILA 125 mm
dan tidak didapatkan edema setidaknya 2 minggu. Indikator antropometri yang
digunakan untuk mengonfirmasi malnutrisi akut berat digunakan untuk menilai
apakah seorang anak telah mencapai pemulihan nutrisi. Misalnya, LILA
digunakan untuk mengidentifikasi kondisi malnutrisi akut berat, maka LILA juga
harus digunakan saat menentukan anak tersebut sudah mengalami pemulihan

21

nutrisi. Pada guideline terbaru ini tidak lagi dianjurkan penggunaan kriteria
persentase kenaikan berat badan sebagai kriteria pemulangan pasien malnutrisi
akut berat.6
Penggunaan persentase kenaikan berat badan sebagai kriteria pemulangan
pasien memiliki banyak kekurangan yaitu pada pasien dengan berat badan awal
yang paling rendah maka akan didapatkan kenaikan berat badan absolut yang
lebih sedikit untuk memenuhi kriteria pemulangan, dimana hal ini menyebabkan
lama perawatan yang lebih singkat pada pasien dengan malnutrisi yang lebih berat
sehingga waktu mendapatkan terapi juga menjadi lebih pendek. Konsekuensi lama
perawatan yang lebih singkat ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Me
decins Sans Frontie`res di Burkina Faso. Lama perawatan yang lebih singkat
pada anak dengan malnutrisi akut berat tentunya sangat mengkhawatirkan. Akan
tetapi, lama perawatan yang lebih panjang juga akan memberikan konsekuensi
pada pengaturan sumber daya anggaran dan program dari pemerintah.13
Pada penelitian oleh Nancy et al. mengenai kebijakan MSF Switzerland
dalammenggunakan LILA sebagai kriteria pemulangan pasien pada program
nutrisi emergency di Gedareg, Sudan Utara didapatkan hasil anak dengan LILA
yang lebih rendah dirawat lebih lama (p=0.000) dan juga memiliki persentase
kenaikan berat badan yang lebih tinggi (p=0.000) dibandingkan dengan anak yang
LILA nya lebih besar. Hasil yang sama juga didapatkan dengan menggunakan
kriteria WHZ.29
Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa penggunaan LILA sebagai
kriteria pemulangan pasien dapat mengurangi efek negatif dari lama pemberian
terapi yang singkat pada pasien dengan malnutrisi akut berat dan juga membatasi
lama perawatan pada pasien dengan kondisi malnutrisi yang lebih ringan.
Penelitian ini memang juga ditujukan untuk mengidentifikasi penggunaan
rekomendasi WHO tahun 2009 mengenai persentase kenaikan berat badan sebagai
kriteria pemulangan pasien dengan malnutrisi akut. Pada penelitian ini juga
didapatkan bahwa dengan lama perawatan pasien malnutrisi akut berat yang lebih
panjang maka persentase kenaikan berat badan yang terjadi juga lebih besar dari
target yaitu >15%. Hasil yang konsisten juga didapatkan ketika pasien pasien

22

tersebut diklasifikasikan berdasarkan skor WHZ nya. Ketika diklasifikasikan


berdasarkan skor WHZ nya, maka pada pasien malnutrisi akut berat dengan skor
WHZ yang lebih kecil mendapatkan perawatan yang lebih lama dan prosentase
kenaikan berat badannya lebih besar.29
Walaupun LILA telah diterima sebagai kriteria tunggal untuk merawat
pasien dengan malnutrisi akut berat, penggunaan LILA sebagai kriteria
pemulangan pasien masih diperdebatkan. Skor WHZ sebelumnya merupakan
indeks antropometri yang direkomendasikan sebagai kriteria pemulangan selama
lebih dari 20 tahun, tetapi saat ini mungkin kurang tepat jika digunakan sebagai
kriteria pemulangan karena adanya ketidaksesuaian antara skor WHZ dengan
LILA dan beberapa anak yang sebenarnya memerlukan perawatan justru
memenuhi kriteria pemulangan atau menjalani perawatan yang singkat.7
Agar lebih mudah, maka sebaiknya digunakan kriteria yang sama pada
saat menentukan seorang pasien malnutrisi akut berat memerlukan rawat inap dan
saat memulangkannya meskipun penggunaan LILA masih jarang karena
sedikitnya data mengenai respon terapi berdasarkan pengukuran LILA. Pada
penelitian oleh Nancy et al. juga dibandingkan program di Gedaref yang
menggunakan LILA sebagai kriteria pemulangan pasien dengan program MSF
tahun 2009 di Burkina Faso yang menggunakan kenaikan prosentase berat badan
15% sebagai kriteria pemulangan pasien. Lama perawatan untuk pasien dengan
LILA < 115 mm pada penelitian di Gedaref adalah 64 hari, sedangkan di Burkina
Faso adalah 51 hari. Karena pada program Burkina Faso yang digunakan adalah
rekomendasi WHO tahun 2009 yaitu prosentase kenaikan berat badan 15-20%
sebagai kriteria pemulangan pasien, didapatkan lama pelaksanaan program
menjadi lebih panjang pada pasien dengan berat awal lebih besar (dari rencana 2
minggu menjadi 4 minggu. Sedangkan pada pelaksanaan program di Gedaref,
penggunaan LILA tidak meningkatkan lama perawatan yang tidak seharusnya
sehingga tidak menambah biaya pelaksanaan program kesehatan tersebut.29,30
Oleh karena itu, LILA > 125 mm dapat digunakan sebagai kriteria
pemulangan pasien dengan malnutrisi akut berat atau malnutrisi akut berat

23

berdasarkan rekomendasi WHO tahun 2013 dibandingkan menggunakan kriteria


kenaikan prosentase berat badan 15-20%.29
4.4

Penggunaan LILA untuk identifikasi risiko kematian


Terdapat dua faktor utama yang memiliki kontribusi terhadap penggunaan

LILA untuk menilai risiko kematian. Pertama adalah faktor usia. LILA bertambah
seiring dengan pertambahan usia, sehingga ketika digunakan LILA single cut off
untuk mengidentifikasi anak dengan malnutrisi akut berat, lebih banyak anak usia
lebih kecil yang akan terjaring dibandingkan dengan indeks lain yang tidak
dipengaruhi usia seperti WHZ. Oleh karena anak yang lebih muda memiliki risiko
mortalitas yang lebih tinggi, maka penggunaan LILA akan meningkatkan cakupan
pada kelompok dengan risiko tinggi tersebut.15,27,31,32
Faktor lainnya adalah terkait hubungan antara LILA dan massa otot serta
massa lemak. Kemampuan anak malnutrisi akut berat untuk bertahan hidup terkait
dengan cadangan lemak saat kelaparan dan massa otot selama proses infeksi. Oleh
karena itu, cukup rasional jika menghubungkan LILA dengan kemampuan
bertahan hidup. Dengan catatan, dua penjelasan di atas tidak spesifik terkait
dengan perubahan proporsi dan komposisi tubuh seiring perubahan usia, dimana
anak yang lebih muda memiliki massa otot yang lebih sedikit, sehingga mereka
lebih berisiko mengalami kematian ketika mengalami malnutrisi. Hal ini mungkin
menjelaskan mengapa skor WHZ tidak seefektif LILA untuk memprediksi risiko
kematian karena WHZ mengklasifikasikan anak anak dengan usia yang berbeda
ke dalam satu kelompok yang sama berdasarkan defisit berat badan yang mereka
alami tanpa memperhatikan faktor usia, dimana anak yang lebih kecil memiliki
massa otot yang lebih rendah sehingga risiko kematiannya lebih besar.15,27,31,32
Berdasarkan penelitian penelitian sebelumnya, belum ada penelitian
RCT yang membandingkan luaran anak dengan skor WHZ rendah dibandingan
dengan anak yang LILAnya kecil. Hanya terdapat satu penelitian observasional
yang membandingkan risiko kematian dari anak anak yang dirawat berdasarkan
skor WHZ dan ukuran LILA nya. Penelitian ini dilakukan di RS Distrik Kilifi di
Kenya dengan subjek 8190 anak usia 12 59 bulan yang dirawat selama 28 bulan.

24

Dari hasil penelitian didapatkan 3,3% anak kategori malnutrisi akut berat
berdasarkan skor WHZ nya (WHZ <-3 SD); 4,7% anak berdasarkan kategori
LILA (LILA <115 mm), dan 5,6% menggunakan skor WHZ dan ukuran LILA.
Dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa pemilihan subyek didasarkan pada
kebutuhan pasien untuk dirawat, bukna berdasarkan dasar kriteria nutrisional. Hal
ini menjelaskan tingginya proporsi subyek yang skor WHZnya tidak rendah,
LILA nya tidak rendah, serta tidak mengalami edema bilateral pada penelitian
kohort. Risiko kematian anak yang dirawat berdasarkan skor WHZ <-3SD relative
sama dengan anak yang dirawat karena LILA <115 mm yaitu 10,1% dan 10,9%
berturut turut. Angka kematian tertinggi didapatkan pada kelompok anak yang
dirawat berdasarkan kombinasi indikator WHZ dan LILA (25,4%). Pada anak
yang didiagnosis berdasarkan LILA <115 mm lebih sering didapatkan manifestasi
klinis berupa kwashiorkor, stunting, retraksi subcostal, dan lebih sering
didapatkan pada anak perempuan dan anak yang lebih muda dibandingkan dengan
anak anak yang dirawat berdasarkan kriteria WHZ <-3 SD. Edema bilateral
lebih banyak didapatkan pada anak dengan LILA lebih kecil (38%) dibandingkan
dengan anak WHZ <-3 SD (13,9%).31
Terdapat empat penelitian lain, termasuk satu penelitian yang belum
terpublikasi mengenai luaran anak yang didiagnosis malnutrisi hanya berdasarkan
kriteria LILA tanpa dibandingkan dengan kelompok lain yang didiagnosis
berdasarkan WHZ. Risiko mortalitas pada anak malnutrisi akut berat didapatkan
pada tiga penelitian dan didapatkan hasil yang relatif rendah (2,1%), kecuali pada
anak malnutrisi akut berat yang masuk dalam program pemberian makanan
tambahan di Ethiopia. Rerata waktu penyembuhan berkisar antara 44.429.7 hari
sampai dengan 50.525.8 hari. Rerata penambahan LILA berkisar antara
0.170.16 mm sampai dengan 0.510.3 mm pada anak yang dirawat dengan LILA
<110 mm dan mendapatkan makanan tambahan di Burkina Faso. Sedangkan di
Guinea Bissau didapatkan rerata penambahan LILA 2.1 mm ( 95% CI -1.29;
5.47). Dua penelitian mengelompokkan hasil penelitian berdasarkan ukuran LILA
saat pasien mulai dirawat. Dari kedua penelitian tersebut didapatkan hasil, anak
yang masuk dengan LILA lebih rendah akan mengalami penambahan berat badan

25

dan ukuran LILA yang lebih besar. Pada penelitian tersebut juga didapatkan risiko
mortalitas yang lebih besar pada pasien dengan ukuran LILA yang lebih kecil.27
Penggunaan indikator antropometri seperti LILA untuk deteksi kasus
malnutrisi memerlukan penentuan nilai cut off yang jelas. Anak anak yang
LILA nya dibawah nilai normal maka dikategorikan dengan malnutrisi. Terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi nilai ambang batas yang dipilih yaitu
sensitivitas, spesifisitas, dan prediktor mortalitas. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Briend et al didapatkan peningkatan mortalitas pada anak dengan ukuran
LILA <115 mm dan risiko kematian menjadi lebih rendah pada anak dengan
ukuran LILA 115 130 mm.15,27,31,32

BAB V
KESIMPULAN

26

Malnutrisi akut berat masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun


pemerintah telah berupaya untuk menanggulanginya. Di Indonesia didapatkan
data 5,7% balita dengan malnutrisi akut berat. Penanganan malnutrisi akut berat
yang paling penting adalah mengenai skrining dan pencegahannya. Akan tetapi,
skrining malnutrisi akut berat di Indonesia sampai dengan saat ini belum berjalan
secara optimal karena adanya kebijakan Kemenkes yang menggunakan kriteria
BB/U untuk skrining adanya kasus malnutrisi padahal indikator BB/U hanya
menggambarkan massa tubuh relatif terhadap usia tanpa bisa menggambarkan
suatu proses malnutrisi yang akut. Malnutrisi akut hanya dapat dinilai dari tingkat
kekurusan dimana indikator antropometri yang mungkin untuk menilai tingkat
kekurusan adalah LILA dan WHZ.
Banyak penderita malnutrisi akut berat yang tidak dapat direhabilitasi
dengan baik karena penderita ini terlambat dibawa ke rumah sakit untuk
penatalaksanaan. Oleh karena itu, muncul metode baru untuk dapat menemukan
dengan segera anak anak yang mengalami malnutrisi agar tidak sampai jatuh
dalam kondisi malnutrisi kronis. Pengukuran LILA memiliki nilai lebih untuk
digunakan sebagai indikator antropometri dalam skrining kasus malnutrisi akut
berat. Metode pemeriksaannya yang relatif mudah, murah, dan memiliki akurasi,
reliabilitas, sensitivitas, dan spesifisitas yang cukup tinggi serta mungkin untuk
dikerjakan oleh para petugas di lapangan seperti kader Posyandu diharapkan dapat
meningkatkan temuan kasus malnutrisi akut berat yang sebelumnya mungkin
terlewatkan.

DAFTAR PUSTAKA

27

1.

Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar Indonesia 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Depkes RI. Jakarta. 2013

2.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Surat Keputusan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia No. 1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang
Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak

3.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pelayanan Anak


Malnutrisi akut berat. Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta. 2011

4.

Community-based management of severe acute malnutrition. A joint


statement by the World Health Organization, World Food Programme, United
Nations Standing Committee on Nutrition, United Nations Childrens Fund.
World Health Organization/World Food Programme/United Nations Standing
Committee on Nutrition/United Nations Childrens Fund. Geneva. 2007

5.

WHO child growth standards: length/height-for-age, weight-for-age, weightfor-length, weight-for-height and body mass index-forage: methods and
development. World Health Organization. Geneva. 2006

6.

WHO. Guideline: Updates on the management of severe acute malnutrition in


infants and children. World Health Organization. Geneva. 2013

7.

A Joint Statement by the World Health Organization and the United Nations
Children's Fund. WHO child growth standards and the identification of severe
acute malnutrition in infants and children. WHO/UNICEF. Geneva. 2009

8. Chakraborty, R. et al. Mid-Upper Arm Circumference as a Measure of

Nutritional Status among Adult Bengalee Male Slum Dwellers of Kolkata,


India: Relationship with Self-Reported Morbidity. Anthropologischer
Anzeiger. 2009;67(2):12937
9.

Bisai, S. et al. Undernutrition in the Kora Mudi Tribal Population, West


Bengal, India: A Comparison of Body Mass Index and Mid-Upper-Arm
Circumference. Food & Nutrition Bulletin. 2009;30(1):637.

28

10. Myatt M, Khara T, Collins S. A review of methods to detect cases of severely


malnourished children in the community for their admission into communitybased therapeutic care programs. Food & Nutrition Bulletin. 2006;27: S723
11. United Nations Interagency Group for Child Mortality Estimation. Levels and
trends in child mortality. Report 2012. United Nations Childrens Fund. New
York. 2012
12. WHO. Management of severe malnutrition: A manual for physicians and
other senior health workers. World Health Organization. Geneva. 1999
13. Chang C, Trehan I, Wang RJ, Thakwalakwa C, Maleta K, Deitchler et al.
Children successfully treated for moderate acute malnutrition remain at risk
for malnutrition remain at risk for malnutrition and death in subsequent year
after recovery. J. Nutr. 2013;143: 215220
14. Mogendi JB. Efficacy of mid-upper arm circumference in identification,
follow up and discharge of malnourished children during nutrition
rehabilitation. Nutrition Research and Practice. 2015;9(3):268-277
15. Briend A, Maire B, Fontaine O, Garenne M. Mid-upper arm circumference
and weight-for-height to identify high-risk malnourished under-five children.
Matern. Child Nutr. 2012;8:130
16. Davis LE. Epidemiology of famine in the Nigerian crisis: rapid evaluation of
malnutrition by height and arm circumference in large populations. Am J Clin
Nutr. 1971; 24:35864.
17. Sommer A, Loewenstein MS. Nutritional status and mortality: a prospective
validation of the QUAC stick. Am J Clin Nutr. 1975; 28:28792.
18. WHO (2006a) Reliability of anthropometric measurements in the WHO
Multicentre growth reference study. Acta Paediatrica. Supplement 450;38
46
19. Martha et al. Mid-upper arm circumference at age of routine
infant vaccination to identify infants at elevated risk of death:
a retrospective cohort study in the Gambia. Bulletin of the
World Health Organization. 2012;90:887-894

29

20. Martha et al. Reliability and accuracy of anthropometry


performed by community health workers among infants under
6 months in rural Kenya. Tropical Medicine& International
Health. 2012;17(5):622-629
21. Stomfa, S., Ahrens, W., Bammann, K.,Kovacs, E., Marild, S., Michels, N., et
al. Intra-and inter-observer reliability in anthropometric measurements in
children. Int J of obes. 2011; 35(1): S45-51.
22. Saeed HA, Mogendi JB, Akparibo R, Kolsteren P. Reliability of mid upper
arm circumference measurements taken by community health nurses. Current
research in nutrition and food science. 2015; 3(1): 26 35.
23. Sicotte M, Ledoux M, Zunzunegui M, Nguyen V. Reliability of
anthropometric measures in a longitudinal cohort of patients initiating ART in
West Africa. Biomed Central. 2010; 10: 102.
24. Dairo MD, Fatokun ME, Kuti M. Reliability of the mid upper arm
circumference for the assessment of wasting among children aged 12 59
months in urban Ibadan, Nigeria. Int J Biomed Sci. 2012; 8 (2): 140-143
25. Fernandez MA, Delchevalerie P, Van HM. Accuracy of MUAC in the
detection of severe wasting with the new WHO growth standards. Pediatrics.
2010;126(1):195201
26. Laillou A, Prak S, Groot R, Whitney S, Conkle J, Horton Lindsey et al.
Optimal screening of children with acute malnutrition requires a change in
current WHO guidelines as MUAC and WHZ identify different patient
groups. Plos One. 2014;9(7): e101159
27. Dominique et al. Utilization of mid-upper arm circumference
versus

weight-for-height

in

nutritional

rehabilitation

programmes: a systematic review of evidence. WHO. 2013


28. Berkley J et al. Assessment of severe malnutrition among
hospitalized children in rural Kenya: comparison of weight-for-

30

height and mid-upper arm circumference. Journal of the


American Medical Association. 2005. 294(5):591597
29. Dale NM, Myatt M, Prudhon C, Briend A. Using Mid-Upper Arm
Circumference to End Treatment of Severe Acute Malnutrition
Leads to Higher Weight Gains in the Most Malnourished
Children. PLoS ONE. 2013;8(2): e55404
30. Goossens S, Bekele Y, Yun O, Harczi G, Ouannes M, Shepherd S. Mid-Upper
Arm Circumference Based Nutrition Programming: Evidence for a New
Approach in Regions with High Burden of Acute Malnutrition. Plos One.
2012;7(11): e49320
31. Myatt M. Notes regarding a MUAC based case-definition for moderate acute
malnutrition 10th February 2010. Unpublished. WHO
32. O'Neill SM et al. Child mortality as predicted by nutritional status and recent
weight velocity in children under two in rural Africa. Journal of
Nutrition.2012. 142(3):520525

31

Anda mungkin juga menyukai