PENDAHULUAN
BAB II
MALNUTRISI AKUT BERAT
3.1
6 59 bulan adalah jika didapatkan LILA < 115 mm, atau WHZ < -3 SD.
Indikator antropomerti LILA dan WHZ merupakan indikator antropometri yang
dapat menggambarkan tingkat kekurusan seorang anak. Tingkat kekurusan
mengindikasikan adanya proses kehilangan berat badan yang berat, dimana
kondisi ini diasosiasikan dengan keadaan malnutrisi akut.6
Sedangkan menurut Kemenkes, definisi yang digunakan adalah gizi buruk,
dengan indikator BB/U <-3 SD, dimana indikator BB/U ini sebenarnya hanya
dapat merefleksikan massa tubuh anak terhadap usianya, sehingga tidak dapat
menggambarkan kondisi malnutrisi akut yang seharusnya mendapatkan
tatalaksana segera.
Perbedaan identifikasi malnutrisi akut berat ini merupakan salah satu
faktor yang mengakibatkan kasus kasus malnutrisi akut berat di Indonesia masih
belum dapat ditangani secara optimal karena skrining dengan kriteria BGM akan
menemukan anak anak dengan kondisi malnutrisi kronis, bukan malnutrisi akut
yang diharapkan dapat mengalami pemulihan lebih baik dibandingkan malnutrisi
kronis.2,5
Growth
<- 3 SD
<-2 SD
-2 2 SD
>2 SD
> 3 SD
indicators
Weight for
Severity
Underweight
Normal
age
Height for
underweight
Severity
Stunted
Normal
Tall
Very tall
age
stunted
Weight for
Severity
Wasted
Normal
Overweight
Obese
height
BMI for age
wasted
Severity
Wasted
Normal
Overweight
Obese
wasted
BB/PB
IMT/U
3.2
Kategori status
gizi
Gizi buruk
Gizi kurang
Gizi baik
Gizi lebih
Sangat pendek
Pendek
Normal
Tinggi
Sangat kurus
Kurus
Normal
Gemuk
Sangat kurus
Kurus
Normal
Gemuk
<-3 SD
<-3 SD sampai dengan <-2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
<-3 SD
<-3 SD sampai dengan <-2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
<-3 SD
<-3 SD sampai dengan <-2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
<-3 SD
<-3 SD sampai dengan <-2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
Gambar 1 Persentase Gizi Buruk dan Gizi Kurang menurut BB/U di Indonesia1
3.3
akut berat yaitu jika WHZ < -3 SD atau jika ditemukan adanya edema bilateral,
dimana metode skriningnya berdasarkan BB/PB atau BB/TB dan manifestasi
klinis berupa tampilan sangat kurus. Kemudian, pada tahun 2007 kriteria
diagnosis malnutrisi akut berat ditambah dengan LILA < 110 mm (pada anak usia
6 60 bulan) sebagai kriteria diagnostik independen. Berdasarkan penelitian
penelitian berikutnya yang menyebutkan pentingnya menyesuaikan cut off LILA
menjadi 115 mm agar dapat mengidentifikasi lebih banyak anak dengan malnutrisi
akut berat dengan spesifisitas mencapai 90%, maka pada rekomendasi WHO 2009
sampai dengan 2013, kriteria diagnosis malnutrisi akut berat menjadi WHZ <-3
SD, LILA < 115 mm, dan adanya edema bilateral.4,6,7,12
Mengenai tatalaksana malnutrisi akut berat, berdasarkan rekomendasi
WHO 1999, tatalaksana utama malnutrisi akut berat adalah dengan metode
hospital based, dimana seluruh pasien malnutrisi akut berat harus dirawat inap.
Namun, sejak tahun 2007, tatalaksana malnutrisi akut berat adalah berdasarkan
terapi basis komunitas (CTC) yang ditujukan untuk mengatasi keterbatasan
pelayanan rawat inap. Program CTC ini menggunakan sistem desentralisasi
jaringan dari pusat rawat jalan (biasanya dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan primer), unit rawat inap skala kecil (biasanya dilakukan di rumah sakit
lokal) lalu para sukarelawan melakukan deteksi kasus dan follow up. Pasien
dengan malnutrisi akut berat, nafsu makan baik dan tanpa komplikasi medis
ditangani di layanan rawat jalan yang menyediakan terapi yang siap dikonsumsi
(RUTF) dan obat obatan untuk masalah kesehatan yang sederhana. Makanan
dan obat tersebut kemudian dapat dibawa pulang dan pasien harus mendatangi
fasilitas pelayanan rawat jalan setiap minggunya untuk pemantauan dan
mendapatkan kembali makanan maupun obat obatan. Untuk pasien dengan
malnutrisi akut berat yang disertai komplikasi medis dan atau anoreksia dirawat di
pusat stabilisasi rawat inap, dimana pasien ini kemudian mendapatkan terapi awal
sesuai rekomendasi WHO sampai dengan pasien tersebut mengalami perbaikan
kondisi dan perbaikan nafsu makan sehingga tatalaksana berikutnya dapat
dilanjutkan secara rawat jalan di fasilitas pelayanan kesehatan primer.4,6,7,12
Kategori triase
Respon terhadap
Luaran triase
Tidak malnutrisi
Malnutrisi
intervensi
Tidak perlu intervensi
Respon terhadap
pemberian intervensi
Tidak respon terhadap
pemberian intervensi
yang terjadi akibat malnutrisi akut berat sering disebabkan oleh karena komplikasi
infeksi. Oleh karena itu, sulit dibedakan kematian pada malnutrisi akut berat
tersebut akibat infeksi atau karena malnutrisi akut beratnya. Prognosis tergantung
pada stadium saat mulai diberikan tatalaksana. Dalam beberapa hal, meskipun
terapi yang diberikan tampak adekuat, progresif kematian tidak dapat dihindari,
dimana hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan sel sel tubuh akibat proses
undernutrition yang terjadi.13,14
BAB III
LINGKAR LENGAN ATAS (LILA)
2.1
dimana terjadi penurunan asupan, maka lemak subkutan dan massa otot akan
berkurang, yang akan menyebabkan berkurangnya lingkar lengan atas. Oleh
karena itu, LILA dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu keadaan malnutrisi.
Lingkar lengan atas (LILA) menggambarkan jaringan lemak di bawah kulit dan
otot yang tidak banyak terpengaruh oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan
dengan berat badan (BB).3
LILA lebih sesuai untuk dipakai menilai keadaan gizi/tumbuh kembang
pada anak kelompok umur prasekolah (6 bulan 5 tahun) karena sampai dengan
saat ini belum ada interpretasi baku mengenai nilai cut off LILA pada anak usia
kurang dari 6 bulan maupun anak di atas 5 tahun. Selain itu, sampai dengan saat
ini, LILA merupakan metode pengukuran antropometri yang dapat digunakan
sebagai prediktor risiko kematian pada anak usia 6 bulan 5 tahun terkait dengan
massa otot yang dapat dinilai dengan LILA.14,15
LILA juga lebih dipilih sebagai indikator antropometri dibandingkan
LILA/U karena penentuan usia yang tidak tepat dapat mengakibatkan kesalahan
interpretasi keadaan gizi seorang anak dibandingkan dengan menggunakan
indikator LILA saja. Selain itu, LILA juga dipilih sebagai indikator antropometri
karena cara pengukurannya yang relatif mudah, murah, tetapi memliki akurasi,
reliabilitas, sensitivitas, dan spesifisitas yang tinggi.10,14,15
2.2
10
11
Jika dibandingkan dengan pengukuran WHZ, maka angka kesalahan yang dibuat
juga lebih sedikit. Berdasarkan penelitian ini juga diketahui bahwa pengukuran
LILA pada lengan kanan maupun kiri anak tidak memberikan perbedaan yang
bermakna. Lengan yang dominan tidak terlalu memberikan hasil pengukuran
berbeda pada anak usia < 5 tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan orang dewasa.
Kesalahan inter observer yang justru lebih banyak dibandingkan intra observer
kemungkinan disebabkan pada perbedaan seberapa erat pita pengukur digunakan
untuk mengukur LILA. Selain itu, perbedaan lain yang mungkin menyebabkan
perbedaan hasil adalah dari cara menentukan titik pengukuran LILA.23
Terdapat penelitian lainnya di Afrika Barat mengenai realibilitas
pengukuran antropometri yang juga menilai kesalahan intra maupun inter
observer dalam melakukan berbagai pengukuran. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut didapatkan bahwa realibilitas intra observer untuk pengukuran LILA
sebesar 94,7% sementara realibilitas inter observer lebih dari 88%. Pada
penelitian ini petugas yang akan melakukan pengukuran dilakukan pelatihan
terlebih dahulu agar teknik pengukuran yang dilakukan tidak berbeda satu dengan
yang lainnya sehingga bisa diperoleh realibilitas intra maupun inter observer yang
cukup tinggi.24
2.3
12
13
sebesar 112 mm, sensitivitas LILA untuk mendiagnosis malnutrisi akut berat
menjadi 6% dengan spesifisitas 99,1%. Apabila menggunakan nilai cut off LILA
119 mm, sensitivitas LILA menjadi 14,9% dengan spesifisitas 96,9%. Oleh karena
itu, dari penelitian ini dapat diketahui bahwa LILA memiliki kemampuan lebih
baik untuk mendiagnosis malnutrisi akut berat dengan risiko tinggi dibandingkan
WHZ. Selain itu, tidak didapatkan manfaat jika menggunakan kombinasi kriteria
WHZ dan LILA untuk mengidentifikasi anak anak malnutrisi akut berat.15
Pada penelitian yang dilakukan Mogendi et al. terhadap 156 anak usia 6
59 bulan di Kenya dibandingkan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan
negatif antara LILA dengan nilai cut off tunggal yaitu <12,5 cm dengan WHZ < -2
SD dan WAZ < -2 SD untuk mendeteksi anak anak dengan malnutrisi. Pada
penelitian ini didapatkan penggunaan LILA lebih baik dibandingkan WHZ dan
WAZ saat digunakan dalam mendeteksi kasus malnutrisi, dengan sensitivitas
63,4%, spesifisitas 93%, nilai prediksi positif 76,5%, dan nilai prediksi negatif
87,7%. Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa LILA juga lebih baik
dibandingkan dengan LILA/U karena sensitivitas LILA/U hanya 46,3%,
spesifisitas 87,7%, nilai prediksi positif 57,6%, dan nilai prediksi negatif 82%.
Oleh karena itu, berdasarkan penelitian ini direkomendasikan untuk menggunakan
LILA dengan nilai cut off tunggal sebagai kriteria diagnosis malnutrisi pada anak
usia 5 59 bulan.14
Pada penelitian sebelumnya di Nigeria Barat untuk menilai validitas LILA
dalam penentuan status nutrisi terhadap anak usia 12 59 bulan dilakukan
perbandingan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan prediksi negatif
LILA dengan WHZ sebagai gold standard. Prevalensi kasus malnutrisi pada
penelitian tersebut adalah 5,6% dengan rerata LILA 15.47 1.4 cm. Pada
penggunaan cut off LILA 13,5 cm didapatkan sensitivitas LILA 20% dan
spesifitasnya 95,3%. Pada penelitian ini, kurva ROC menunjukkan nilai optimal
cut off LILA 15,5 cm dengan sensitivitas 80% dan spesifisitas 53,5%. Oleh karena
itu, pada penelitian ini direkomendasikan untuk meningkatkan nilai cut off LILA
dalam skrining malnutrisi akut pada pasien di bawah 5 tahun.24
14
Pada penelitian lain oleh Laillou et al. terhadap data sekunder dari >11.000
anak di Kamboja, didapatkan prevalensi malnutrisi akut berat menggunakan
indikator LILA < 115 mm didapatkan hanya sebesar 0.4% (95% CI: 0.310.54),
sedangkan prevalensi malnutrisi akut berat dengan indikator LILA 115 mm dan
125 mm sebesar 2.9% (95% CI:2.623.23). Sebagai perbandingan, prevalensi
kasus malnutrisi akut berat yang ditemukan dengan menggunakan WHZ <-3 SD
sebesar 1.4% (95% CI: 1.181.61), sedangkan kasus malnutrisi akut sedang yang
ditemukan dengan menggunakan WHZ <-2 SD sebesar 9.2% (95% CI: 8.68
9.74). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan cut off LILA < 115 mm
mengakibatkan 90% anak yang terdiagnosis malnutrisi akut berat berdasarkan
WHZ< -3 SD tidak tercakup. Demikian sebaliknya jika menggunakan kriteria
WHZ < -3 SD didapatkan 80% anak dengan LILA < 115 mm yang tidak
terdiagnosis. Oleh karena itu, dalam penelitian ini direkomendasikan metode
skrining dengan menggunakan 2 tahap dan penyesuain nilai cut off LILA, yaitu
133 mm. 2 tahap skirining yang disarankan pada penelitian ini dikerjakan pada
anak dengan LILA < 133 mm. Pada anak dengan LILA < 133 mm dianjurkan
untuk dibagi lagi menjadi LILA >115 mm, < 115 mm, WHZ <-3 SD, dan WHZ >3 SD. Untuk anak dengan LILA <115 mm dan WHZ <-3 SD dilanjutkan dengan
pemberian terapi malnutrisi akut berat. Walaupun demikian, penelitian ini juga
masih perlu ditindaklanjuti karena data penelitian yang digunakan hanya terbatas
di Kamboja saja.26
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Martha et al. di Gambia terhadap
bayi usia 6 14 minggu pada saat vaksinasi rutin didapatkan LILA <115 mm
dapat digunakan untuk mengidentifikasi bayi bayi yang mungkin akan
meninggal sebelum usia 1 tahun dibandingkan bayi dengan gizi baik. Berdasarkan
penelitian ini juga direkomendasikan untuk melakukan pengukuran LILA secara
rutin pada saat bayi datang untuk mendapatkan vaksinasi karena LILA merupakan
pemeriksaan antropometri yang akurat, reliabel, murah, dan mudah untuk
dilakukan.19,20
15
2.4
LILA yang dapat berupa warna saja atau berupa warna dan angka. Warna merah,
kuning dan hijau menggambarkan derajat malnutrisi dari anak yang diperiksa.
Sejak tahun 2009 kriteria warna pada pita pengukuran LILA yang digunakan
adalah warna merah untuk LILA <11,5 cm, kuning untuk LILA 11,5 12,5 cm,
dan hijau untuk LILA > 12,5 cm.5,10
Cara pengukuran LILA adalah sebagai berikut :
1. Tetapkan posisi ujung bahu (acromion) dan ujung siku (olecranon)
dengan posisi siku 900
2. Letakkan pita pengukur antara bahu dan siku
3. Tetukan titik tengah lengan
4. Lingkarkan pita LILA tepat pada titik tengah lengan
5. Pita jangan terlalu ketat, jangan pula terlalu longgar
6. Pembacaan skala yg tertera pada pita (dalam cm (centimeter))
16
Gambar 3 Posisi tangan saat membaca nilai LILA (tangan diluruskan setelah tadi
ditekuk 90 derajat)
BAB IV
17
4.1
18
akut berat lebih awal sehingga dapat meminimalkan terjadinya komplikasi yang
tentu saja akan memberikan manfaat bagi penyedia layanan kesehatan, pasien,
maupun bagi keluarga pasien.10,27,28 Penggunaan LILA sebagai metode untuk
skrining kasus malnutrisi akut berat dan kriteria perawatan dapat mengurangi
angka penolakan kasus rujukan yang sebelumnya tidak memenuhi kriteria
WHZ.10,27
Pada penelitian Laillou et al didapatkan bahwa penggunaan LILA saja
sebagai indikator tunggal skrining kasus malnutrisi akut berat mengakibatkan
banyak anak yang terlewatkan. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa LILA dan
WHZ akan mengidentifikasi kelompok pasien yang berbeda sehingga
dipertimbangkan untuk menggunakan keduanya secara independen, bukan saling
menggantikan. Dalam penelitian ini direkomendasikan bahwa LILA 115 mm
seharusnya digunakan sebagai kriteria penentuan pemberian terapi, yang diukur
secara parallel sebagai tambahan data yang diperoleh selain dari WHZ. Laillou et
al juga merekomendasikan prosedur skrining yang terdiri atas dua langkah.
Pertama, LILA dapat digunakan sebagai metode skrining awal dengan
menggunakan cut off 133 mm untuk mencakup anak dengan malnutrisi akut berat
sebanyak mungkin. Dengan menggunakan cut off 133 mm, dalam penelitian ini
dapat mencakup lebih dari 65% anak yang WHZ nya <-3SD. Langkah kedua,
anak anak dengan LILA kurang dari 133 mm tersebut harus dievaluasi lebih
lanjut di fasilitas pelayanan sekunder sehingga diharapkan tidak ada kasus kasus
malnutrisi akut berat yang terlewatkan. Walaupun demikian, risiko banyaknya
kasus positif palsu juga kemungkinan akan meningkat. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini dianjurkan untuk menggunakan kedua metode, LILA dan WHZ
untuk skrining kasus malnutrisi akut berat sehingga kedua metode tersebut akan
saling melengkapi.26
4.2
19
20
dibandingkan antara LILA single cut off dengan WHZ <-2 SD, tetapi akurasinya
lebih tinggi (90,72%) dibandingkan WHZ < -2 SD (85,1%). Sensitivitas dan
spesifisitas LILA single cut off (<12,5 cm) lebih tinggi dibandingkan WHZ ketika
digunakan dalam pemantauan pasien malnutrisi selama mendapatkan rehabilitasi
gizi.14
Dengan rerata lama perawatan 86 hari, didapatkan penambahan LILA 0,14
mm/hari dan peningkatan berat badan 13,06 gram/hari, dimana target kenaikan ini
diperlukan semua anak dengan malnutrisi untuk mencapai pemulihan maksimal
selama program rehabilitasi gizi. Penambahan LILA 0,19 mm/hari ini didapatkan
pada anak dengan LILA <12,5 cm. Oleh karena itu, LILA <12,5 cm merupakan
indikator yang baik untuk digunakan sebagai kriteria rawat inap dan pemantauan
anak malnutrisi akut berat selama terapi serta untuk menentukan seorang pasien
malnutrisi akut berat sudah dapat dipulangkan atau belum.14
4.3
malnutrisi akut berat, dimana kasus buruk ini menyebabkan kematian sekitar 1
juta anak setiap tahunnya. Pendekatan yang paling digunakan dalam tatalaksana
malnutrisi akut berat adalah manajemen malnutrisi akut komunitas yang meliputi
pasien di instalasi rawat inap maupun rawat jalan, tergantung pada ada dan
tidaknya komplikasi.4
Pada tahun 2013 WHO dan UNICEF memberikan guideline terbaru yang
digunakan sebagai kriteria pemulangan pasien dengan malnutrisi akut berat.
Kriteria pemulangan pasien berdasarkan guideline terbaru adalah jika WHZ 2SD dan tidak didapatkan edema setidaknya 2 minggu, atau jika LILA 125 mm
dan tidak didapatkan edema setidaknya 2 minggu. Indikator antropometri yang
digunakan untuk mengonfirmasi malnutrisi akut berat digunakan untuk menilai
apakah seorang anak telah mencapai pemulihan nutrisi. Misalnya, LILA
digunakan untuk mengidentifikasi kondisi malnutrisi akut berat, maka LILA juga
harus digunakan saat menentukan anak tersebut sudah mengalami pemulihan
21
nutrisi. Pada guideline terbaru ini tidak lagi dianjurkan penggunaan kriteria
persentase kenaikan berat badan sebagai kriteria pemulangan pasien malnutrisi
akut berat.6
Penggunaan persentase kenaikan berat badan sebagai kriteria pemulangan
pasien memiliki banyak kekurangan yaitu pada pasien dengan berat badan awal
yang paling rendah maka akan didapatkan kenaikan berat badan absolut yang
lebih sedikit untuk memenuhi kriteria pemulangan, dimana hal ini menyebabkan
lama perawatan yang lebih singkat pada pasien dengan malnutrisi yang lebih berat
sehingga waktu mendapatkan terapi juga menjadi lebih pendek. Konsekuensi lama
perawatan yang lebih singkat ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Me
decins Sans Frontie`res di Burkina Faso. Lama perawatan yang lebih singkat
pada anak dengan malnutrisi akut berat tentunya sangat mengkhawatirkan. Akan
tetapi, lama perawatan yang lebih panjang juga akan memberikan konsekuensi
pada pengaturan sumber daya anggaran dan program dari pemerintah.13
Pada penelitian oleh Nancy et al. mengenai kebijakan MSF Switzerland
dalammenggunakan LILA sebagai kriteria pemulangan pasien pada program
nutrisi emergency di Gedareg, Sudan Utara didapatkan hasil anak dengan LILA
yang lebih rendah dirawat lebih lama (p=0.000) dan juga memiliki persentase
kenaikan berat badan yang lebih tinggi (p=0.000) dibandingkan dengan anak yang
LILA nya lebih besar. Hasil yang sama juga didapatkan dengan menggunakan
kriteria WHZ.29
Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa penggunaan LILA sebagai
kriteria pemulangan pasien dapat mengurangi efek negatif dari lama pemberian
terapi yang singkat pada pasien dengan malnutrisi akut berat dan juga membatasi
lama perawatan pada pasien dengan kondisi malnutrisi yang lebih ringan.
Penelitian ini memang juga ditujukan untuk mengidentifikasi penggunaan
rekomendasi WHO tahun 2009 mengenai persentase kenaikan berat badan sebagai
kriteria pemulangan pasien dengan malnutrisi akut. Pada penelitian ini juga
didapatkan bahwa dengan lama perawatan pasien malnutrisi akut berat yang lebih
panjang maka persentase kenaikan berat badan yang terjadi juga lebih besar dari
target yaitu >15%. Hasil yang konsisten juga didapatkan ketika pasien pasien
22
23
LILA untuk menilai risiko kematian. Pertama adalah faktor usia. LILA bertambah
seiring dengan pertambahan usia, sehingga ketika digunakan LILA single cut off
untuk mengidentifikasi anak dengan malnutrisi akut berat, lebih banyak anak usia
lebih kecil yang akan terjaring dibandingkan dengan indeks lain yang tidak
dipengaruhi usia seperti WHZ. Oleh karena anak yang lebih muda memiliki risiko
mortalitas yang lebih tinggi, maka penggunaan LILA akan meningkatkan cakupan
pada kelompok dengan risiko tinggi tersebut.15,27,31,32
Faktor lainnya adalah terkait hubungan antara LILA dan massa otot serta
massa lemak. Kemampuan anak malnutrisi akut berat untuk bertahan hidup terkait
dengan cadangan lemak saat kelaparan dan massa otot selama proses infeksi. Oleh
karena itu, cukup rasional jika menghubungkan LILA dengan kemampuan
bertahan hidup. Dengan catatan, dua penjelasan di atas tidak spesifik terkait
dengan perubahan proporsi dan komposisi tubuh seiring perubahan usia, dimana
anak yang lebih muda memiliki massa otot yang lebih sedikit, sehingga mereka
lebih berisiko mengalami kematian ketika mengalami malnutrisi. Hal ini mungkin
menjelaskan mengapa skor WHZ tidak seefektif LILA untuk memprediksi risiko
kematian karena WHZ mengklasifikasikan anak anak dengan usia yang berbeda
ke dalam satu kelompok yang sama berdasarkan defisit berat badan yang mereka
alami tanpa memperhatikan faktor usia, dimana anak yang lebih kecil memiliki
massa otot yang lebih rendah sehingga risiko kematiannya lebih besar.15,27,31,32
Berdasarkan penelitian penelitian sebelumnya, belum ada penelitian
RCT yang membandingkan luaran anak dengan skor WHZ rendah dibandingan
dengan anak yang LILAnya kecil. Hanya terdapat satu penelitian observasional
yang membandingkan risiko kematian dari anak anak yang dirawat berdasarkan
skor WHZ dan ukuran LILA nya. Penelitian ini dilakukan di RS Distrik Kilifi di
Kenya dengan subjek 8190 anak usia 12 59 bulan yang dirawat selama 28 bulan.
24
Dari hasil penelitian didapatkan 3,3% anak kategori malnutrisi akut berat
berdasarkan skor WHZ nya (WHZ <-3 SD); 4,7% anak berdasarkan kategori
LILA (LILA <115 mm), dan 5,6% menggunakan skor WHZ dan ukuran LILA.
Dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa pemilihan subyek didasarkan pada
kebutuhan pasien untuk dirawat, bukna berdasarkan dasar kriteria nutrisional. Hal
ini menjelaskan tingginya proporsi subyek yang skor WHZnya tidak rendah,
LILA nya tidak rendah, serta tidak mengalami edema bilateral pada penelitian
kohort. Risiko kematian anak yang dirawat berdasarkan skor WHZ <-3SD relative
sama dengan anak yang dirawat karena LILA <115 mm yaitu 10,1% dan 10,9%
berturut turut. Angka kematian tertinggi didapatkan pada kelompok anak yang
dirawat berdasarkan kombinasi indikator WHZ dan LILA (25,4%). Pada anak
yang didiagnosis berdasarkan LILA <115 mm lebih sering didapatkan manifestasi
klinis berupa kwashiorkor, stunting, retraksi subcostal, dan lebih sering
didapatkan pada anak perempuan dan anak yang lebih muda dibandingkan dengan
anak anak yang dirawat berdasarkan kriteria WHZ <-3 SD. Edema bilateral
lebih banyak didapatkan pada anak dengan LILA lebih kecil (38%) dibandingkan
dengan anak WHZ <-3 SD (13,9%).31
Terdapat empat penelitian lain, termasuk satu penelitian yang belum
terpublikasi mengenai luaran anak yang didiagnosis malnutrisi hanya berdasarkan
kriteria LILA tanpa dibandingkan dengan kelompok lain yang didiagnosis
berdasarkan WHZ. Risiko mortalitas pada anak malnutrisi akut berat didapatkan
pada tiga penelitian dan didapatkan hasil yang relatif rendah (2,1%), kecuali pada
anak malnutrisi akut berat yang masuk dalam program pemberian makanan
tambahan di Ethiopia. Rerata waktu penyembuhan berkisar antara 44.429.7 hari
sampai dengan 50.525.8 hari. Rerata penambahan LILA berkisar antara
0.170.16 mm sampai dengan 0.510.3 mm pada anak yang dirawat dengan LILA
<110 mm dan mendapatkan makanan tambahan di Burkina Faso. Sedangkan di
Guinea Bissau didapatkan rerata penambahan LILA 2.1 mm ( 95% CI -1.29;
5.47). Dua penelitian mengelompokkan hasil penelitian berdasarkan ukuran LILA
saat pasien mulai dirawat. Dari kedua penelitian tersebut didapatkan hasil, anak
yang masuk dengan LILA lebih rendah akan mengalami penambahan berat badan
25
dan ukuran LILA yang lebih besar. Pada penelitian tersebut juga didapatkan risiko
mortalitas yang lebih besar pada pasien dengan ukuran LILA yang lebih kecil.27
Penggunaan indikator antropometri seperti LILA untuk deteksi kasus
malnutrisi memerlukan penentuan nilai cut off yang jelas. Anak anak yang
LILA nya dibawah nilai normal maka dikategorikan dengan malnutrisi. Terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi nilai ambang batas yang dipilih yaitu
sensitivitas, spesifisitas, dan prediktor mortalitas. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Briend et al didapatkan peningkatan mortalitas pada anak dengan ukuran
LILA <115 mm dan risiko kematian menjadi lebih rendah pada anak dengan
ukuran LILA 115 130 mm.15,27,31,32
BAB V
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
27
1.
Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar Indonesia 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Depkes RI. Jakarta. 2013
2.
3.
4.
5.
WHO child growth standards: length/height-for-age, weight-for-age, weightfor-length, weight-for-height and body mass index-forage: methods and
development. World Health Organization. Geneva. 2006
6.
7.
A Joint Statement by the World Health Organization and the United Nations
Children's Fund. WHO child growth standards and the identification of severe
acute malnutrition in infants and children. WHO/UNICEF. Geneva. 2009
28
29
weight-for-height
in
nutritional
rehabilitation
30
31