Anda di halaman 1dari 26

Case Report Session

POLIP NASI

Oleh :
Cantika Dinia Zulda
Muhammad Lingga Primananda

1010311012
1110312008

Preseptor :
dr. Dolly Irfandy, Sp.THT KL
BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2015

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Polip nasi merupakan masalah medis dan masalah sosial karena dapat mempengaruhi
kualitas hidup penderita baik pendidikan, pekerjaan, aktivitas harian dan kenyamanan. Polip
nasi merupakan mukosa hidung yang mengalami inflamasi dan menimbulkan prolaps mukosa
di dalam rongga hidung. Polip nasi ini dapat dilihat melalui pemeriksaan rinoskopi dengan
atau tanpa bantuan endoskopi.1,2
Polip hidung biasanya menyerang orang dewasa yang kemungkinan disebabkan oleh
karena reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung yang berlangsung lama.
Beberapa faktor lain yang meningkatkan kemungkinan terkena polip hidung antara lain
sinusitis (radang sinus) yang menahun, iritasi, sumbatan hidung oleh karena kelainan anatomi
dan adanya pembesaran pada konka.
Prinsip pengobatan dari polip hidung yaitu mengatasi polipnya dan menghindari
penyebab atau faktor-faktor yang mendorong terjadinya polip. Bila polip kecil dilakukan
pengobatan dengan obat obatan oral dan penyemprotan dengan obat semprot hidung. Namun
bila polip besar dan tidak dimungkinan dengan pengobatan oral atau semprot maka harus
dilakukan operasi pengangkatan polip Jika faktor yang menyebabkan terjadinya polip tidak
teratasi maka polip hidung ini rawan untuk kambuh kembali demikian berulang ulang.
1.2 Tujuan
Makalah ilmiah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan kasus polip nasi.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung

Hidung terdiri dari hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari
atas ke bawah yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung
(tip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior).1
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila
dan prosesus nasalis os frontal sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala
mayor dan tepi anterior kartilago septum.1
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.1
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrise).1,2

Gambar 2.1. Anatomi hidung tampak lateral


Setiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior, dan superior. Dinding medial adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.1
2

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema ini biasanya rudimenter.1,2
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung. Terdapat meatus yaitu meatus
inferior, medius, dan superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid.1,2
Bagian atas rongga hidung divaskularisasi oleh arteri etmoidalis anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna. 1 Bagian bawah rongga
hidung divaskularisasi oleh cabang arteri maksilaris interna, diantaranya arteri palatina mayor
dan arteri sfenopalatina. Arteri sfenopalatina keluar dari foramen sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.1
Bagian depan hidung divaskularisasi oleh cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan
septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a.
labialis superior, dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (little's area).1
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arteri. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan
dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan
faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.1
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis
anterior yang merupakan cabang n. nasosiliaris yang bersal dari n. oftalmikus. Rongga
hidung lainnya, sebagian besar terdapat persarafan sensorik dari nervus maksilla melalui
ganglion sfenopalatina. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n. maksilaris, serabut
parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di ujung posterior konka
media.1
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa
dari pemukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.1
2.2 Fisiologi Hidung
Untuk fisiologi hidung terkait dengan polip, pertama kita harus memahami Kompleks
Osteomeatal (KOM), KOM ini merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi
dan drainase dari sinus-sinus anterior (maksila, etmoid anterior dan frontal). Karena
fungsinya tersebut maka seandainya terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan
3

terjadi perubahan yang signifikan pada sinus-sinus terkait serta perubahan pada mukosa yang
menjadi salah satu predisposisi terjadinya polip nasi.3
Beberapa fungsi hidung, antara lain :1,3
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan
aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan
bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara:
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi
dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui
hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
Transpor benda asing yang tertimbun dari udara inspirasi ke faring di sebelah
posterior, di mana kemudian akan ditelan atau diekspektorans, merupakan kerja silia
yang menggerakan lapisan mukus dengan partikel yang terperangkap. Aliran
turbulen dalam hidung memungkinkan paparan yang sangat luas antara udara
inspirasi dengan epitel hidung dan lapisan mukusnya,lapisan mukus berupa selubung
sekret kontinyu yang sangat kental, meluas ke seluruh ruang dan sudut hidung,
sinus, tuba eustakius, faring, dan seluruh cabang bronkus.
Mukus hidung disamping berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang
tertimbun dari udara inspirasi, juga memindahkan panas, normalnya mukus
menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan ekpirasi, serta melembabkan
udara isnpirasi dengan lebih dari satu liter uap setiap harinya. Namun, bahkan
dengan jumlah uap demikian sering kali tidak memadai untuk melembabkan udara
4

yang sangat kering, sering kali terdapat di rumah-rumah dengan pemanasan selama
musim dingin. Hal ini dapat berakibat mengeringnya mukosa yang disertai berbagai
ganguan hidung. Derajat kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf
pada kelenjar seromukosa pada submukosa hidung.
Arah gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang. Karena silia lebih
aktif pada meatus media dan inferior yang terkandung, maka cenderung menarik
lapisan mukus dari lapisan meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Arah gerakan
septum adalah kebelakang dan agak ke bawah menuju dasar. Pada dasar hidung,
arahnya kebelakang dengan kecenderungan bergerak di bawah konka inferior ke
dalam meatus inferior. Pada sisi medial konka, arah gerakan kebelakang dan
kebawah, lewat dibawah tepi inferior dari meatus yang bersesuaian. Drainase dari
daerah tak bersilia pada sepertiga anterior hidung sebelumnya praktis lewat meatus.
Ini merupakan daerah yang paling banyak mengumpulkan kontaminan udara.
Lapisan mukus, disamping menangkap dan mengeluarkan partikel lemah, juga
merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bakteri. Akan tetapi walaupun
organisme hidup mudah dibiak dari segmen hidung anterior, sulit untuk mendapat
suatu biakan postnasal yang positif. Lisozim, yang terdapat pada lapisan mukus,
bersifat destruktif terhadap dindiong sebagian bakteri. Fagositosis aktif dalam
membran hidung merupakan bentuk proteksi di bawah permukaan. Membran sel
pernapasan juga memberikan imunitas induksi seluler.
Sejumlah imunoglobulin dibentuk dalam mukosa hidung, sesuai kebutuhan
fisiologik, telah diamati adanya IgG, IgA dan IgE. Rinitis alergika terjadi bila
alergen yang terhirup berkontak dengan antibodi IgE sehingga antigen tersebut
terfiksasi pada mukosa hidung dan sel mast submukosa. Selanjutnya dihasilkan dan
dilepaskan mediator radang yang menimbulkan perubahan mukosa hidung yang
khas.
4. Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik
nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
6. Proses bicara

Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana


rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran
udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.
2.3 Definisi Polip Nasi
Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai,
berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan permukaan licin dan agak
bening karena mengandung banyak cairan. Umumnya sebagian besar polip ini berasal dari
celah kompleks osteomearal (KOM) yang kemudian tumbuh ke arah rongga hidung.1,4
2.4 Epidemiologi Polip Nasi
Pada populasi umum, angka kejadian polip nasi ini pada orang dewasa sekitar 1-4 %.
Prevalensi ini jauh lebih rendah pada anak, dimana seandainya ditemukan anak dengan polip
hidung, maka kemungkinan besar ada gangguan pada

faktor mukosilier atau faktor

imunologisnya, misalnya pada anak dengan polip nasi cenderung disertai dengan adanya
cystic fibrosis. Dengan pemeriksaan endoskopi yang teliti pada kadaver, ditemukan
seperempat dari individu memiliki polip tanda riwayat penyakit sinonasal sebelumnya. Polip
nasi biasanya terjadi pada rentang usia 30-60 tahun dengan dominasi pada pria sekitar 2-4 : 1
dibandingkan dengan wanita.4,5
2.5 Klasifikasi Polip Nasi
Berdasarkan temuan histologis, polip nasi dapat dibagi menjadi empat tipe menurut Hellquist
HB4,6 :
Eosinophilic edematous type : ditandai dengan edema pada stroma dengan jumlah
eosinofil yang banyak.
Chronic inflamatory or fibrotic type : ditandai dengan sel inflamasi khususnya limfosit
dan neurtrofil dan sedikit eosinofil.
Seromucinous gland type : tipe I disertai dengan hiperplasia kelenjar seromukus.
Atypical stromal type
Sedangkan secara umum, klasifikasi dari polip nasi ini dibagi menjadi eosinophil
dan neutrophil dominated inflammation, tergantung dari sel inflamasi masa yang lebih

dominan. Sebagian besar pada polip nasi, eosinofil merupakan sel inflamasi yang paling
sering ditemukan.4
Sedangkan untuk kepentingan klinis, Stammberger4,6 mengklasifikasikan polip nasi
menjadi lima kelompok, dilihat berdasarkan endoskopi dan kriteria klinis, respon terhadap
terapi yang berbeda serta hubungannya dengan penyakit lain, yaitu :
Antrocoanal polyp
Large isolated polyp
Polyps associated with chronic inflamation, non-eosinophilic dominated, non-related to
hyperreactive airway syndrome
Polyps associated with CRS, eosinophilic-dominated
Polyps associated with spesific disease (Cystic fibrosis, non-invasive/non-allergic
fungal sinusitis, malignancy)
2.6 Etiologi dan Patogenesis Polip Nasi
Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi, terdapat sejumlah
hipotesis mengenai asal dari polip nasi eosinofilik dan

neutrofilik yang berkisar dari

predisposisi genetik, variasi anatomi, infeksi kronis, alergi inhalan, alergi makanan, sampai
ketidakseimbangan vasomotor.1
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip,
yaitu :4
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung.
Beberapa hipotesis dari keadaan tersebut antara lain :1,4,5
1. Alergi
Alergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena tiga hal, yaitu karena
sebagian besar polip nasi terdiri dari eosinofil, berhubungan dengan asma, serta temuan
klinis pada nasal yang menyerupai gejala dan tanda alergi. Paparan alergen udara
menahun, diduga berperan dalam terjadinya polip nasi melalui inflamasi yang terusmenerus pada mukosa hidung.3
Ditemukan sekitar 7% pasien dengan asma memiliki polip nasi. 7 Akan tetapi
ditemukan bahwa pada pasien non atopik angka kejadian polip hidung juga lebih
tinggi yaitu 13%. Akan tetapi studi lain menunjukkan bahwa asma dengan onset
yang telat (late onset asthma) akan berkembang menjadi nasal polip sekitear 1015%.
2. Ketidakseimbangan Vasomotor
Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak ditemukan adanya
tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan alergen yang ditemukan. Akan
7

tetapi pasien cenderung mengalami rinitis prodromal sebelum pada akhirnya


berkembang menjadi polip hidung. Polip hidung bisanya memiliki vaskularisasi yang
kurang dan berkurangnya inervasi vasokonstriktor. Selanjutnya gangguan dalam
regulasi vaskular dan peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan edema dan
pembentukan polip.
3. Bernouli Fenomena
Fenomena Bernoulli terjadi karena adanya penurunan tekanan yang selanjutnya
menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan tekanan negatif dalam KOM,
yang mempengaruhi mukosa disekitarnya. Karena tekanan negatif ini kemudia akan
terjadi inflamasi mukosa yang selanjutnya menjadi awal terbentuknya polip.
4. Teori Ruptur Epitel
Rupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena infeksi dapat
menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang selanjutnya akan membentuk polip.
Defek dari faktor ini mungkin semakin membesar karena pengaruh gravitasi atau
drainase vena mengalami obstruksi. Akan tetapi dari scanning dengan pengamatan
mikroskopik tidak ditemukan adanya defek epitel yang bermakna pada pasien
dengan polip hidung.
5. Intoleransi Aspirin
Banyak konsep yang menjelaskan bagaimana patogenesis dari intoleransi
aspirin serta hubungannya dengan polip hidung. Terdapat sindrom klinis yang jelas,
bagaimana obat-obatan NSAID khusunya aspirin dapat memicu terjadinya rinitis dan
serangan asma. Respon Cyclooxygenase (COX) umumnya sangat berbeda pada
pasien dengan intoleransi aspirin dibandingkan normal. Dapat dibuktikan bahwa
terjadi perubahan pada COX1 dan COX2 yang menghasilkan metabolit tertentu
yang akan menstimulasi cysteinyl leukotriene (Cys-LT). Perubahan ini selanjutnya
menyebabkan metabolisme asam arachidonat menjadi jalur leukotriene inflamasi
tinggi, yang selanjutnya akan mengurangi kadar PGE2 (yang merupakan PG
antiinflamasi). Eksperi berlebihan dari LTC4 synthase selanjutnya akan meningkatkan
jumlah cysteinyl LTs, menyebabkan respon inflamasi tak terkontrol dan inflamasi
kronis.
6. Cystic Fibrosis
Cystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif pada kelompok
orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan karena mutasi gen tunggal pada
kormosom 7 yang disebut cystic fibrosis transmembrane regulator (CFTR). Hal ini
menyebabkan tidak adanya cyclic AMP-regulated chloride chanel yang menyebabkan
impermeabilitas klorida dan peningkatan absorpsi natrium. Peningkatan absorpsi
8

natrium dan penurunan sekresi klorida menyebabkan pergerakan air ke sel dan
ruang interstitial, selanjutnya menimbulkan retensi ari, pembentukan polip. Defek
migrasi protein CFTR juga menyebabkan terjadinya inflamasi kronis skunder.
7. Nitric Oxide
Nitric Oxide merupakan gas radikal bebas, yang memainkan peran besar dalam
terjadinya reaksi imunologis nonspesifik, regulasi dari tone vaskular, pertahanan host,
dan inflamasi pada berbagai jaringan. Radikal bebas biasanya dipertahankan dalam
keadaan seimbang oleh antioxidan defense system superoxide dismutase , catalase
dan glutahione peroxidase. Ketika radikal bebas ini dapat melebihi kemampuan
pertahanan d ari antioxidant, maka akan terjadi defek seluler, defek jaringan, dan
penyakit kronis. Ditemukan laporan akan meningkatnya kadar nitric oxide dan
penurunan scavangeing enzim pada pasien polip hidung dibandingkan dengan
kontrol, yang menunjukkan adanya penumpukan radikal bebeas pada polip hidung.
8. Infeksi
Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor
yang juga penting terhadap
pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan pada epitel dengan
proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya terjadi pada infeksi Streptococcus
pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau Bacteroides fragilis (semua jenis patogen
yang

sering

ditemukan

pada

rinosinusitis). Bagaimana

granuloma

menginduksi

terjadinya polip hidung masih belum benar-benar dipahami.


9. Superantigen Hypotensis
Staphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah mukus didekat
polif masif. Organisme ini selalu memproduksi toxin, staphylococcus enterotoxin A
(SEA), staphylococcus enterotoxin B (SEB) dan toxic shock syndrome toxin-1
(TSST-1) yang akan berperan sebagai supetantigen, menyebabkan aktifasi dan
ekspansi klonal dari limfosit pada lateral hidung. Aktifasi dari limfosit ini, akan
menghasilkan sitokin

Th1 dan Th2 (IFN-gama. IL-2, IL-4, IL-4), hal ini akan

menyebabkan chronic lymphocytic-eosinophil muchosal disease. Hal ini dibuktikan


dengan ditemukannya antibodi spesifik IgE terhadap SEA dan SEB sebanyak 50%
pada penderita polip hidung.
2.7 Manifestasi Klinis
Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya dapat
menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga sinus. Kemudian
dirasakan hidung yang berair (rinorea) mulai dari yang jernih sampai

purulen,

hiposmia atau anosmia serta dapat juga dirasakan nyeri kepala daerah frontal. Gejala
9

lain yang dapat timbul tergantung dari penyertanya, pada infeksi bakteri dapat disertai
pula dengan post nasal drip serta rinorea purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul
adalah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur, dan gannguan
kualitas hidup.2 Dapat juga menyebababkan gejala pada saluran nafas bawah, berupa
batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip hidung dengan asma. 5 Selain
itu harus dicari riwayat penyakit lain seperti alergi, asma, intoleransi aspirin.5
2.8 Diagnosis
2.8.1 Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan berupa hidung tersumbat, rinorea,
hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan gejala skunder seperti bernafas
melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan gangguan aktifitas.2
2.8.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah (10) :
a. Inspeksi : dapat dijumpai pelebaran kavum nasi terutama pada polip yang berasal dari
sel-sel ethmoid.
b. Rinoskopi anterior : tampak sekret mukus dan polip multiple atau soliter. Polip
kadang perlu dibedakan dengan konka nasi inferior, yakni dengan cara memasukkan
kapas yang dibasahi dengan larutan Efedrin 1% 9 (vasokonstriktor), konka nasi yang
berisi banyak pembuluh darah akan mengecil, sedangkan polip tidak akan mengecil.
c. Rinoskopi posterior : kadang kadang dijumpai polip koanal
Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund : Stadium 1 : polip masih
terbatas pada meatus media, Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus media, tampak
pada rongga hidung tertapi belum memenuhi rongga hidung, Stadium 3: polip masif.2
Pemeriksaan Penunjang

2.9
a.

Naso-endoskopi
Polip pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari rinoskopi anterior,
akan tetapi dengan naso endoskopi dapat terlihat dengan jelas. Pada kasus polip
koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius

b.

sinus maksila.2,6
Pemeriksaan Radiologi
Foto

polos

sinus

paranasal

(Posisi

waters, AP, Caldwell

dan

latera)

dapat

memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam
sinus, tetapi kurang bermanfaat untuk polip hidung. Pemeriksaan CT scan sangat
bermanfaat untuk melihat secara jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal
apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks
10

osteomeatal (KOM). CT scan harus diindikasikan pada kasus polip yang gagal
diobati dengan terapi medikamnetosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah endoskopi.6
2.10 Diagnosa Banding
Angiofibroma Nasofaring Juvenillis ; tampak seperti polip koanal, tetapi relatif

mudah berdarah.
Inverted Cell Papilloma tampak seperti polip multiple, tetapi biasanya unilateral dan

banyak pada orang yang berusia lanjut.


Meningokel : biasanya pada bayi atau anak-anak, polip jarang dijumpai pada anakanak maupun bayi.

2.11 Tatalaksana

Tujuan dari tatalaksana polip hidung yaitu: 4,6


- Memperbaikai keluhan pernafasan pada hidung
- Meminimalisir gelaja
- Meningkatkan kemampuan penghidu
- Menatalaksanai penyakit penyerta
- Meningkatkan kulitas hidup
- Mencegah komplikasi.
Secara umum penatalaksanaan dari polip hidung yaitu melalui penatalaksanaan
medis dan operatif.
2.11.1Tatalaksana Medis
Polip Hidung merupakan

kelainan

yang

dapat

ditatalaksanai

secara

medis.

Walaupun pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif, serta tatalaksana


agresif sebelum dan sesudah operatif juga diperlukan.2,6
a. Antibiotik
Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya obstruksi sinus, yang selanjutnya
menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat mencegah pertumbuhan
dari polip dan mengurangi perdarahan selama operasi. Antibiotik yang diberkan
harus langsung dapat memberikan efek langsung terhadap spesies Staphylococcus,
Streptococcus, dan bakteri anaerob, yang merupakan mikroorganisme pada sinusitis
kronis.6
b. Corticosteroid
Topikal Korticosteroid
Intranasal/topikal kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk polip hidung.
Selain itu penggunaan topikal kortikosteroid ini juga berguna pada pasien postoperatif polip hidung, dimana pemberiannya dapat mengurangi angka kekambuhan.
Pemberian dari kortikosteroid topikal ini dapat dicoba selama 4-6 minggu dengan
11

fluticasone propionate nasal drop 400 ug 2x/hari memiliki kemampuan besar dalam
mengatasi polip hidung ringan-sedang (derajat 1-2), diamana dapat mengurangi
ukuran dari polip hidung dan keluhan hidung tersumbat.4
Sitemik Kortikosteroid
Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum banyak diteliti.
Penggunaanya umumnya berupa kombinasi dengan terapi kortikosteroid intranasal.
Penggunaan fluocortolone dengan total dosis 560 mg selama 12 hari atau 715 mg
selama 20 hari dengan pengurangan dosis perhari disertai pemberian budesonide
spray 0,2 mg

dapat mengurangi gejala yang timbul serta memperbaiki keluhan

sinus dan mengurangi ukuran polip.4


Akan tetapi dari penelitian lain, penggunaan kortikosteroid sistemik tunggal yaitu
methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama 5 hari, dan 8 mg selama
10 hari ternyata dapat memberikan efek yang signifikan dalam mengurangi ukuran
polip

hidung serta

gejala

nasal

selain

itu juga meningkatkan

kemampuan

penghidu.6
c. Terapi lainnya
Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek simtomatik akan
tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. Imunoterapi menunjukkan adanya
keuntungan pada pasien dengan sinusitis fungal dan dapat berguna pada pasien
dengan polip berulang. Antagonis leukotrient dapat diberikan pada pasien dengan
intoleransi aspirin.4
2.11.2 Terapi Pembedahan
Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada pasien
yang tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikal, pasien dengan infeksi
berulang, serta pasien dengan komplikasi sinusitis, selain itu pasien polip hidung
disertai riwayat asma juga perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan
guna patensi jalan nafas. Tindakan yang dilakukan yaitu berupa ekstraksi polip
(polipektomi), etmoidektomi untuk polip etmoid, operasi Caldwell-luc untuk sinus
maxila. Untuk pengembangan terbaru yaitu menggunakan operasi endoskopik dengan
navigasi komputer dan instrumentasi power. 3,6

12

13

14

2.12 Prognosis
Umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip hidung ini baik
(dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi. Akan tetapi kekambuhan
pasca operasi atau pasca pemberian kortikosteroid masih sering terjadi. Untuk itu
follow-up pasca operatif merupakan pencegahan dini yang dapat dilakukan untuk
mengatasi kemungkinan terjadinya sinekia dan obstruksi ostia pasca operasi,
bagaimana patensi jalan nafas setelah tindakan serta keadaan sinus, pencegahan
inflamasi

persisten, infeksi, dan

pertumbuhan

polip

kembali, serta

stimulasi

pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu sangat penting dilakukan pemeriksaan


endoskopi post operatif. Penatalaksanaan lanjutan dengan intra nasal kortikosteroid
diduga dapat mengurangi angka kekambuhan polip hidung.2,3,6

BAB 3
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny.A
No MR
: 999452
Umur
: 47 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat
: Padang
Suku Bangsa : Minang
15

ANAMNESA
Keluhan Utama :
Hidung kiri tersumbat sejak 1 bulan yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :

Hidung kiri terasa tersumbat sejak 1 tahun yang lalu


Keluhan hidung tersumbat semakin bertambah sejak 2 bulan yang lalu
Keluhan hidung tersumbat tidak menyebabkan gangguan pada jalan pernafasan.

Pasien masih bisa bernafas lewat hidung


Pasien merasakan dan adanya benjolan pada hidung kiri sejak 2 bulan yang lalu
Pasien mengeluh adanya penurunan penciuman pada hidung kiri
Keluhan hidung tersumbat disertai dengan hidung berair, cairan kental berwarna agak

kekuningan
Adanya cairan yang mengalir dari hidung ke tenggorokan ada
Keluhan nyeri pada pipi tidak ada
Tidak ada riwayat hidung berdarah
Tidak ada riwayat demam, batuk pilek sebelumnya

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien menderita Diabetes Mellitus baru dikenal saat masuk ke bangsal THT RSUP

Dr. M.Djamil Padang


Riwayat geraham atas kiri infeksi satu tahun yang lalu dan patah. Gigi yang patah

dibiarkan saja oleh pasien karena tidak ada keluhan


Tidak ada riwayat alergi obat, makanan dan lain-lain
Tidak ada riwayat sering bersin bersin di pagi hari, suhu dingin ataupun saat terpapar

debu
Tidak ada riwayat asma
Tidak ada riwayat tumor sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita alergi


Tidak ada anggota keluarga yang menderita tumor

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan


Pasien sehari-hari bekerja sebagai pedagang
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran
: kompos mentis kooperatif
Tekanan darah

: 110/70 mmHg
16

Frekuensi nadi
: 82 x/menit
Frekuensi nafas
: 20 x/menit
Suhu
: 36.9 0C
Pemeriksaan Sistemik
Kepala
: normochepal, rambut hitam
Mata
: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher
: tidak ditemukan pembesaran KGB
Paru
: tidak ada kelainan
Jantung
: tidak ada kelainan
Abdomen
: tidak ada kelainan
Extremitas
: akral hangat, perfusi baik.
Status Lokalis Telinga Hidung Tenggorokan
Telinga
Pemeriksaan
Daun telinga

Dinding liang
telinga

Sekret/Massa

Kelainan
Kel kongenital
Trauma
Radang
Kel. Metabolik
Nyeri tarik
Nyeri tekan tragus
Cukup lapang (N)
Sempit
Hiperemis
Edema
Massa
Ada / Tidak
Bau
Warna
Jumlah
Jenis

Dekstra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang (N)
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang(N)
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Warna
Reflek cahaya
Bulging
Retraksi
Atrofi
Jumlah perforasi

Putih
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Putih
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Jenis
Kwadran
Pinggir
Tanda radang
Fistel
Sikatrik
Nyeri tekan
Nyeri ketok
Rinne

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
(+)

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
(+)

Membran timpani
Utuh

Perforasi

Mastoid

17

Tes garpu tala

Schwabach
Weber
Kesimpulan

Audiometri

Sama dengan

Sama dengan

pemeriksa
pemeriksa
Tidak ada lateralisasi
Telinga N
Telinga N
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

18

Hidung
Pemeriksaan
Hidung luar

Kelainan
Deformitas
Kelainan kongenital
Trauma
Radang
Massa

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Sinus Paranasal
Pemeriksaan
Nyeri tekan
Nyeri ketok

Dekstra
Tidak ada
Tidak ada

Sinistra
Tidak ada
Tidak ada

Rinoskopi Anterior
Pemeriksaan
Vestibulum
Cavum nasi
Sekret

Konka inferior

Konka media

Septum

Massa

Kelainan
Vibrise
Radang
Cukup lapang (N)
Sempit
Lapang
Lokasi
Jenis
Jumlah
Bau
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema
Cukup
lurus/deviasi
Permukaan
Warna
Spina
Krista
Abses
Perforasi
Lokasi
Bentuk
Ukuran
Permukaan
Warna
Konsistensi

Dekstra
Ada
Tidak ada
Lapang
Meatus media
Mukopurulen
Sedikit
Tidak ada
Eutrofi
Merah muda
Licin
Eutrofi
Merah muda
Licin
-

Sinistra
Ada
Tidak ada
Sempit
Meatus media
Mukopurulen
Sedikit
Tidak ada
Eutrofi
Merah muda
Licin
Sukar dinilai
-

Cukup Lurus
Licin
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Meatus media
Meatus media
Bulat bertangkai
Bulat bertangkai
Stadium 2
Stadium 3
Licin
Licin
Putih bening
Putih bening
Lunak
Lunak
19

Mudah digoyang

Rinoskopi Posterior :
Pemeriksaan
Koana

Kelainan
Cukup lapang
Sempit
Lapang
Warna
Udem

Mukosa

Jaringan granulasi
Ukuran
Warna
Permukaan
Udem

Konka inferior

Adenoid
Muara tuba eustasius
Masa

Ada/tidak
Tertutup secret
Udem
Lokasi
Ukuran
Bentuk
Permukaan
Ada/tidak
Jenis

Post Nasal drip

Dextra
Lapang
Merah Muda
Tidak ada

Sinistra
Sempit
Merah Muda
Tidak ada

Eutrofi
Merah muda
Licin
Tidak ada

Eutrofi
Merah muda
Licin
Tidak ada

Meatus media
Stadium 2
Bulat

Meatus media
Stadium 3
Bulat

bertangkai
Licin
Ada
Mukopurulen

bertangkai
Licin
Ada
Mukopurulen

Orofaring dan Mulut


Pemeriksaan
Palatum mole +
Arkus Faring
Dinding faring

Tonsil

Peritonsil

Kelainan
Simetris/tidak
Warna
Edem
Bercak/eksudat
Warna
Permukaan
Ukuran
Warna
Permukaan
Muara kripti
Detritus
Eksudat
Perlengketan
dengan pilar
Warna
Edema
Abses
Lokasi

Dekstra

Sinistra

Simetris
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Merah muda
Licin
Licin
T1
T1
Merah muda
Merah Muda
Licin
Licin
Tidak melebar
Tidak melebar
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada

Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

20

Tumor

Gigi

Lidah

Bentuk
Ukuran
Permukaan
Konsistensi
Karies/Radiks
Kesan
Warna
Bentuk
Deviasi
Massa

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Ada
Higiene kurang baik
Merah muda
Normal
Tidak ada
Tidak ada

Laringoskopi Indirek :
Pemeriksaan
Epiglotis

Aritenoid

Kelainan
Bentuk
Warna
Edema
Pinggir rata/tidak
Masa
Warna
Edema

Ventrikular Band

Masa
Gerakan
Warna
Edema

Plika Vokalis

Dekstra

Sinistra
Kubah
Merah Muda
Tidak ada
Rata
Tidak ada
Merah muda
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada

Simetris
Merah muda
Tidak ada

Simetris
Merah muda
Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Putih
Simetris
Rata
Tidak ada

Putih
Simetris
Rata
Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Masa
Warna
Gerakan
Pinggir Medial
Masa

Sinus Piriformis

Masa
Sekret

Valekuae

Masa
Sekret

Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher :


Inspeksi
: tidak tampak adanya tanda-tanda pembesaran kelenjar getah bening leher
Palpasi
: tidak teraba adanya pembesaran kelenjar getah bening leher
Diagnosis :
- Polip Nasi KNS Stadium 3
- Polip Nasi KND Stadium 2
21

- Sinusitis kronik
Diagnosis Banding :
- Inverted Cell Papilloma
Pemeriksaan Anjuran :
- CT Scan SPN potongan koronal dan aksial
- Kultur dan sensitivity test
- Naso-endoskopi
Terapi
:
- Antibiotik : Penisilin
- FESS untuk polip cavum nasi sinistra stadium 3
- Polipektomi medikamentosa untuk polip cavum nasi dextra stadium 2
Prognosis :
Quo ad Vitam : bonam
Quo ad Sanam : bonam
Nasehat
:
- Menjaga higiene gigi dan mulut untuk mencegah adanya infeksi
- Mencabut geraham kiri atas yang terinfeksi

RESUME
Anamnesis
-

Hidung kiri terasa tersumbat sejak 1 tahun yang lalu


Keluhan hidung tersumbat semakin bertambah sejak 2 bulan yang lalu
Keluhan hidung tersumbat tidak menyebabkan gangguan pada jalan pernafasan.

Pasien masih bisa bernafas lewat hidung


Pasien merasakan dan adanya benjolan pada hidung kiri sejak 2 bulan yang lalu
Pasien mengeluh adanya penurunan penciuman pada hidung kiri
Keluhan hidung tersumbat disertai dengan hidung berair, cairan kental berwarna

agak kekuningan
Adanya cairan yang mengalir dari hidung ke tenggorokan ada

Pemeriksaan Fisik
a.
Telinga
ADS : liang telinga lapang/lapang, Membran timpani utuh/utuh, Refleks Cahaya
b.
c.

(+)/(+)
Mulut dan orofaring : arkus faring simetris, uvula di tengah, T1-T1
Hidung :

22

Dextra

: Kavum nasi lapang, Konka inferior eutrofi, konka media eutrofi,

sekret (+) mukopurulen, massa bulat bertangkai warna putih bening pada
meatus media dengan permukaan licin
Sinistra : Kavum nasi sempit, Konka inferior eutrofi, konka media sukar dinilai,
sekret (+) mukopurulen, massa bulat bertangkai warna putih bening pada
meatus media dengan permukaan licin memenuhi cavum nasi
Diagnosis
- Polip Nasi KNS Stadium 3
- Polip Nasi KND Stadium 2
- Sinusitis kronik
Diagnosis Banding
- Inverted Cell Papilloma
Pemeriksaan Anjuran :
- CT Scan SPN potongan koronal dan aksial
- Kultur dan sensitivity test
- Naso-endoskopi
Terapi
:
- Antibiotik : Penisilin
- FESS untuk polip cavum nasi sinistra stadium 3
- Polipektomi medikamentosa untuk polip cavum nasi dextra stadium 2
Prognosis :
Quo ad Vitam : bonam
Quo ad Sanam : bonam
Nasehat
:
- Menjaga higiene gigi dan mulut untuk mencegah adanya infeksi
- Mencabut geraham kiri atas yang terinfeksi

23

BAB 4
DISKUSI
Telah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada seorang pasien perempuan
berumur 47 tahun dengan diagnosis Polip Nasi KNS Stadium 3, Polip Nasi KND Stadium 2
dan Sinusitis kronik
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari
anamnesis didapatkan hidung kiri terasa tersumbat sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan hidung
tersumbat semakin bertambah sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan hidung tersumbat tidak
menyebabkan gangguan pada jalan pernafasan. Pasien masih bisa bernafas lewat hidung.
Pasien merasakan dan adanya benjolan pada hidung kiri sejak 2 bulan yang lalu. Pasien
mengeluh adanya penurunan penciuman pada hidung kiri.Keluhan hidung tersumbat disertai
dengan hidung berair, cairan kental berwarna agak kekuningan. Adanya cairan yang mengalir
dari hidung ke tenggorokan ada.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya massa berwarna putih bening di bagian
meatus media kiri dan kanan, terlihat bertangkai. Hal ini menunjang ke arah diagnosis polip
nasi. Pada hidung kiri, didapatkan masa polip yang menutupi seluruh rongga hidung sehingga
didiagnosa dengan polip kavum nasi sinistra stadium 3. Sedangkan pada hidung kanan,
didapatkan masa polip yang keluar dari meatus media tetapi tidak menutupi rongga hidung,
sehingga didiagnosa dengan polip kavum nasi dextra stadium 2.
Untuk rencana penatalaksanaan pada pasien ini pada hidung kanan dengan polip kavum
nasi stadium 2 dengan polipektomi medikamentosa diberikan kortikosteroid sistemik.
Kortikosteroid diberikan selama 14 hari dengan dosis yang di turunkan perlahan. Namun
pada hidung kiri, pasien ini dilakukan tindakan operatif yaitu FESS karena polip nasi stadium
3 yang menutupi seluruh rongga tubuh. Penatalaksanaan yang dipilih sesuai dengan acuan
algoritma penatalaksanaan polip hidung dan sinus paranasal oleh Perhati tahun 2007.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Soetjipto. D, Mangunkusumo. E, Wardani. RS. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. 6 th ed.
FKUI. Jakarta:2007. 118-122
24

2.

Pasha. R, Mark. CS. Otolaryngology Head and Neck Surgery. Rhinology and Paranasal

3.

Sinuses. Thompson Learning. 1-22


Probst, R., Grevers, G., dan Iro, H. Anatomy, Physiology, and Immunology of the Nose,
Paranasal Sinuses, and Face. Dalam: Basic Otorhinolaryngology. New York: Thieme,

4.

2006, h. 2 13
Kirtsreesatul Virat. Update on Nasal Polyps : Etiopatogenesis. J Med Assoc

5.

2005 : 88 (12) :1966-72


Ahmad Maymane Jahroni. The Epidemological & Clinical aspect of Nasal Polyps

6.
7.

that Require Surgery. Iranian Journal Of Otorhynolaryngology.2012 : 2 (4) : 72-75


Bachort C.Management of Nasal Polyps. Rhinology. 2005 : 18: 1-87
Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Guideline Penyakit THT-KL di
Indonesia. 2007. Hal 25

25

Thai.

Anda mungkin juga menyukai