CRS Polip Nasi
CRS Polip Nasi
POLIP NASI
Oleh :
Cantika Dinia Zulda
Muhammad Lingga Primananda
1010311012
1110312008
Preseptor :
dr. Dolly Irfandy, Sp.THT KL
BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Polip nasi merupakan masalah medis dan masalah sosial karena dapat mempengaruhi
kualitas hidup penderita baik pendidikan, pekerjaan, aktivitas harian dan kenyamanan. Polip
nasi merupakan mukosa hidung yang mengalami inflamasi dan menimbulkan prolaps mukosa
di dalam rongga hidung. Polip nasi ini dapat dilihat melalui pemeriksaan rinoskopi dengan
atau tanpa bantuan endoskopi.1,2
Polip hidung biasanya menyerang orang dewasa yang kemungkinan disebabkan oleh
karena reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung yang berlangsung lama.
Beberapa faktor lain yang meningkatkan kemungkinan terkena polip hidung antara lain
sinusitis (radang sinus) yang menahun, iritasi, sumbatan hidung oleh karena kelainan anatomi
dan adanya pembesaran pada konka.
Prinsip pengobatan dari polip hidung yaitu mengatasi polipnya dan menghindari
penyebab atau faktor-faktor yang mendorong terjadinya polip. Bila polip kecil dilakukan
pengobatan dengan obat obatan oral dan penyemprotan dengan obat semprot hidung. Namun
bila polip besar dan tidak dimungkinan dengan pengobatan oral atau semprot maka harus
dilakukan operasi pengangkatan polip Jika faktor yang menyebabkan terjadinya polip tidak
teratasi maka polip hidung ini rawan untuk kambuh kembali demikian berulang ulang.
1.2 Tujuan
Makalah ilmiah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan kasus polip nasi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari
atas ke bawah yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung
(tip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior).1
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila
dan prosesus nasalis os frontal sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala
mayor dan tepi anterior kartilago septum.1
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.1
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrise).1,2
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema ini biasanya rudimenter.1,2
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung. Terdapat meatus yaitu meatus
inferior, medius, dan superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid.1,2
Bagian atas rongga hidung divaskularisasi oleh arteri etmoidalis anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna. 1 Bagian bawah rongga
hidung divaskularisasi oleh cabang arteri maksilaris interna, diantaranya arteri palatina mayor
dan arteri sfenopalatina. Arteri sfenopalatina keluar dari foramen sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.1
Bagian depan hidung divaskularisasi oleh cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan
septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a.
labialis superior, dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (little's area).1
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arteri. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan
dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan
faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.1
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis
anterior yang merupakan cabang n. nasosiliaris yang bersal dari n. oftalmikus. Rongga
hidung lainnya, sebagian besar terdapat persarafan sensorik dari nervus maksilla melalui
ganglion sfenopalatina. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n. maksilaris, serabut
parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di ujung posterior konka
media.1
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa
dari pemukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.1
2.2 Fisiologi Hidung
Untuk fisiologi hidung terkait dengan polip, pertama kita harus memahami Kompleks
Osteomeatal (KOM), KOM ini merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi
dan drainase dari sinus-sinus anterior (maksila, etmoid anterior dan frontal). Karena
fungsinya tersebut maka seandainya terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan
3
terjadi perubahan yang signifikan pada sinus-sinus terkait serta perubahan pada mukosa yang
menjadi salah satu predisposisi terjadinya polip nasi.3
Beberapa fungsi hidung, antara lain :1,3
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan
aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan
bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara:
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi
dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui
hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
Transpor benda asing yang tertimbun dari udara inspirasi ke faring di sebelah
posterior, di mana kemudian akan ditelan atau diekspektorans, merupakan kerja silia
yang menggerakan lapisan mukus dengan partikel yang terperangkap. Aliran
turbulen dalam hidung memungkinkan paparan yang sangat luas antara udara
inspirasi dengan epitel hidung dan lapisan mukusnya,lapisan mukus berupa selubung
sekret kontinyu yang sangat kental, meluas ke seluruh ruang dan sudut hidung,
sinus, tuba eustakius, faring, dan seluruh cabang bronkus.
Mukus hidung disamping berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang
tertimbun dari udara inspirasi, juga memindahkan panas, normalnya mukus
menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan ekpirasi, serta melembabkan
udara isnpirasi dengan lebih dari satu liter uap setiap harinya. Namun, bahkan
dengan jumlah uap demikian sering kali tidak memadai untuk melembabkan udara
4
yang sangat kering, sering kali terdapat di rumah-rumah dengan pemanasan selama
musim dingin. Hal ini dapat berakibat mengeringnya mukosa yang disertai berbagai
ganguan hidung. Derajat kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf
pada kelenjar seromukosa pada submukosa hidung.
Arah gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang. Karena silia lebih
aktif pada meatus media dan inferior yang terkandung, maka cenderung menarik
lapisan mukus dari lapisan meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Arah gerakan
septum adalah kebelakang dan agak ke bawah menuju dasar. Pada dasar hidung,
arahnya kebelakang dengan kecenderungan bergerak di bawah konka inferior ke
dalam meatus inferior. Pada sisi medial konka, arah gerakan kebelakang dan
kebawah, lewat dibawah tepi inferior dari meatus yang bersesuaian. Drainase dari
daerah tak bersilia pada sepertiga anterior hidung sebelumnya praktis lewat meatus.
Ini merupakan daerah yang paling banyak mengumpulkan kontaminan udara.
Lapisan mukus, disamping menangkap dan mengeluarkan partikel lemah, juga
merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bakteri. Akan tetapi walaupun
organisme hidup mudah dibiak dari segmen hidung anterior, sulit untuk mendapat
suatu biakan postnasal yang positif. Lisozim, yang terdapat pada lapisan mukus,
bersifat destruktif terhadap dindiong sebagian bakteri. Fagositosis aktif dalam
membran hidung merupakan bentuk proteksi di bawah permukaan. Membran sel
pernapasan juga memberikan imunitas induksi seluler.
Sejumlah imunoglobulin dibentuk dalam mukosa hidung, sesuai kebutuhan
fisiologik, telah diamati adanya IgG, IgA dan IgE. Rinitis alergika terjadi bila
alergen yang terhirup berkontak dengan antibodi IgE sehingga antigen tersebut
terfiksasi pada mukosa hidung dan sel mast submukosa. Selanjutnya dihasilkan dan
dilepaskan mediator radang yang menimbulkan perubahan mukosa hidung yang
khas.
4. Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik
nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
imunologisnya, misalnya pada anak dengan polip nasi cenderung disertai dengan adanya
cystic fibrosis. Dengan pemeriksaan endoskopi yang teliti pada kadaver, ditemukan
seperempat dari individu memiliki polip tanda riwayat penyakit sinonasal sebelumnya. Polip
nasi biasanya terjadi pada rentang usia 30-60 tahun dengan dominasi pada pria sekitar 2-4 : 1
dibandingkan dengan wanita.4,5
2.5 Klasifikasi Polip Nasi
Berdasarkan temuan histologis, polip nasi dapat dibagi menjadi empat tipe menurut Hellquist
HB4,6 :
Eosinophilic edematous type : ditandai dengan edema pada stroma dengan jumlah
eosinofil yang banyak.
Chronic inflamatory or fibrotic type : ditandai dengan sel inflamasi khususnya limfosit
dan neurtrofil dan sedikit eosinofil.
Seromucinous gland type : tipe I disertai dengan hiperplasia kelenjar seromukus.
Atypical stromal type
Sedangkan secara umum, klasifikasi dari polip nasi ini dibagi menjadi eosinophil
dan neutrophil dominated inflammation, tergantung dari sel inflamasi masa yang lebih
dominan. Sebagian besar pada polip nasi, eosinofil merupakan sel inflamasi yang paling
sering ditemukan.4
Sedangkan untuk kepentingan klinis, Stammberger4,6 mengklasifikasikan polip nasi
menjadi lima kelompok, dilihat berdasarkan endoskopi dan kriteria klinis, respon terhadap
terapi yang berbeda serta hubungannya dengan penyakit lain, yaitu :
Antrocoanal polyp
Large isolated polyp
Polyps associated with chronic inflamation, non-eosinophilic dominated, non-related to
hyperreactive airway syndrome
Polyps associated with CRS, eosinophilic-dominated
Polyps associated with spesific disease (Cystic fibrosis, non-invasive/non-allergic
fungal sinusitis, malignancy)
2.6 Etiologi dan Patogenesis Polip Nasi
Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi, terdapat sejumlah
hipotesis mengenai asal dari polip nasi eosinofilik dan
predisposisi genetik, variasi anatomi, infeksi kronis, alergi inhalan, alergi makanan, sampai
ketidakseimbangan vasomotor.1
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip,
yaitu :4
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung.
Beberapa hipotesis dari keadaan tersebut antara lain :1,4,5
1. Alergi
Alergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena tiga hal, yaitu karena
sebagian besar polip nasi terdiri dari eosinofil, berhubungan dengan asma, serta temuan
klinis pada nasal yang menyerupai gejala dan tanda alergi. Paparan alergen udara
menahun, diduga berperan dalam terjadinya polip nasi melalui inflamasi yang terusmenerus pada mukosa hidung.3
Ditemukan sekitar 7% pasien dengan asma memiliki polip nasi. 7 Akan tetapi
ditemukan bahwa pada pasien non atopik angka kejadian polip hidung juga lebih
tinggi yaitu 13%. Akan tetapi studi lain menunjukkan bahwa asma dengan onset
yang telat (late onset asthma) akan berkembang menjadi nasal polip sekitear 1015%.
2. Ketidakseimbangan Vasomotor
Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak ditemukan adanya
tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan alergen yang ditemukan. Akan
7
natrium dan penurunan sekresi klorida menyebabkan pergerakan air ke sel dan
ruang interstitial, selanjutnya menimbulkan retensi ari, pembentukan polip. Defek
migrasi protein CFTR juga menyebabkan terjadinya inflamasi kronis skunder.
7. Nitric Oxide
Nitric Oxide merupakan gas radikal bebas, yang memainkan peran besar dalam
terjadinya reaksi imunologis nonspesifik, regulasi dari tone vaskular, pertahanan host,
dan inflamasi pada berbagai jaringan. Radikal bebas biasanya dipertahankan dalam
keadaan seimbang oleh antioxidan defense system superoxide dismutase , catalase
dan glutahione peroxidase. Ketika radikal bebas ini dapat melebihi kemampuan
pertahanan d ari antioxidant, maka akan terjadi defek seluler, defek jaringan, dan
penyakit kronis. Ditemukan laporan akan meningkatnya kadar nitric oxide dan
penurunan scavangeing enzim pada pasien polip hidung dibandingkan dengan
kontrol, yang menunjukkan adanya penumpukan radikal bebeas pada polip hidung.
8. Infeksi
Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor
yang juga penting terhadap
pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan pada epitel dengan
proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya terjadi pada infeksi Streptococcus
pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau Bacteroides fragilis (semua jenis patogen
yang
sering
ditemukan
pada
rinosinusitis). Bagaimana
granuloma
menginduksi
Th1 dan Th2 (IFN-gama. IL-2, IL-4, IL-4), hal ini akan
purulen,
hiposmia atau anosmia serta dapat juga dirasakan nyeri kepala daerah frontal. Gejala
9
lain yang dapat timbul tergantung dari penyertanya, pada infeksi bakteri dapat disertai
pula dengan post nasal drip serta rinorea purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul
adalah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur, dan gannguan
kualitas hidup.2 Dapat juga menyebababkan gejala pada saluran nafas bawah, berupa
batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip hidung dengan asma. 5 Selain
itu harus dicari riwayat penyakit lain seperti alergi, asma, intoleransi aspirin.5
2.8 Diagnosis
2.8.1 Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan berupa hidung tersumbat, rinorea,
hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan gejala skunder seperti bernafas
melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan gangguan aktifitas.2
2.8.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah (10) :
a. Inspeksi : dapat dijumpai pelebaran kavum nasi terutama pada polip yang berasal dari
sel-sel ethmoid.
b. Rinoskopi anterior : tampak sekret mukus dan polip multiple atau soliter. Polip
kadang perlu dibedakan dengan konka nasi inferior, yakni dengan cara memasukkan
kapas yang dibasahi dengan larutan Efedrin 1% 9 (vasokonstriktor), konka nasi yang
berisi banyak pembuluh darah akan mengecil, sedangkan polip tidak akan mengecil.
c. Rinoskopi posterior : kadang kadang dijumpai polip koanal
Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund : Stadium 1 : polip masih
terbatas pada meatus media, Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus media, tampak
pada rongga hidung tertapi belum memenuhi rongga hidung, Stadium 3: polip masif.2
Pemeriksaan Penunjang
2.9
a.
Naso-endoskopi
Polip pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari rinoskopi anterior,
akan tetapi dengan naso endoskopi dapat terlihat dengan jelas. Pada kasus polip
koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius
b.
sinus maksila.2,6
Pemeriksaan Radiologi
Foto
polos
sinus
paranasal
(Posisi
dan
latera)
dapat
memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam
sinus, tetapi kurang bermanfaat untuk polip hidung. Pemeriksaan CT scan sangat
bermanfaat untuk melihat secara jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal
apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks
10
osteomeatal (KOM). CT scan harus diindikasikan pada kasus polip yang gagal
diobati dengan terapi medikamnetosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah endoskopi.6
2.10 Diagnosa Banding
Angiofibroma Nasofaring Juvenillis ; tampak seperti polip koanal, tetapi relatif
mudah berdarah.
Inverted Cell Papilloma tampak seperti polip multiple, tetapi biasanya unilateral dan
2.11 Tatalaksana
kelainan
yang
dapat
ditatalaksanai
secara
medis.
fluticasone propionate nasal drop 400 ug 2x/hari memiliki kemampuan besar dalam
mengatasi polip hidung ringan-sedang (derajat 1-2), diamana dapat mengurangi
ukuran dari polip hidung dan keluhan hidung tersumbat.4
Sitemik Kortikosteroid
Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum banyak diteliti.
Penggunaanya umumnya berupa kombinasi dengan terapi kortikosteroid intranasal.
Penggunaan fluocortolone dengan total dosis 560 mg selama 12 hari atau 715 mg
selama 20 hari dengan pengurangan dosis perhari disertai pemberian budesonide
spray 0,2 mg
hidung serta
gejala
nasal
selain
kemampuan
penghidu.6
c. Terapi lainnya
Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek simtomatik akan
tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. Imunoterapi menunjukkan adanya
keuntungan pada pasien dengan sinusitis fungal dan dapat berguna pada pasien
dengan polip berulang. Antagonis leukotrient dapat diberikan pada pasien dengan
intoleransi aspirin.4
2.11.2 Terapi Pembedahan
Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada pasien
yang tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikal, pasien dengan infeksi
berulang, serta pasien dengan komplikasi sinusitis, selain itu pasien polip hidung
disertai riwayat asma juga perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan
guna patensi jalan nafas. Tindakan yang dilakukan yaitu berupa ekstraksi polip
(polipektomi), etmoidektomi untuk polip etmoid, operasi Caldwell-luc untuk sinus
maxila. Untuk pengembangan terbaru yaitu menggunakan operasi endoskopik dengan
navigasi komputer dan instrumentasi power. 3,6
12
13
14
2.12 Prognosis
Umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip hidung ini baik
(dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi. Akan tetapi kekambuhan
pasca operasi atau pasca pemberian kortikosteroid masih sering terjadi. Untuk itu
follow-up pasca operatif merupakan pencegahan dini yang dapat dilakukan untuk
mengatasi kemungkinan terjadinya sinekia dan obstruksi ostia pasca operasi,
bagaimana patensi jalan nafas setelah tindakan serta keadaan sinus, pencegahan
inflamasi
pertumbuhan
polip
kembali, serta
stimulasi
BAB 3
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny.A
No MR
: 999452
Umur
: 47 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat
: Padang
Suku Bangsa : Minang
15
ANAMNESA
Keluhan Utama :
Hidung kiri tersumbat sejak 1 bulan yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
kekuningan
Adanya cairan yang mengalir dari hidung ke tenggorokan ada
Keluhan nyeri pada pipi tidak ada
Tidak ada riwayat hidung berdarah
Tidak ada riwayat demam, batuk pilek sebelumnya
debu
Tidak ada riwayat asma
Tidak ada riwayat tumor sebelumnya
: 110/70 mmHg
16
Frekuensi nadi
: 82 x/menit
Frekuensi nafas
: 20 x/menit
Suhu
: 36.9 0C
Pemeriksaan Sistemik
Kepala
: normochepal, rambut hitam
Mata
: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher
: tidak ditemukan pembesaran KGB
Paru
: tidak ada kelainan
Jantung
: tidak ada kelainan
Abdomen
: tidak ada kelainan
Extremitas
: akral hangat, perfusi baik.
Status Lokalis Telinga Hidung Tenggorokan
Telinga
Pemeriksaan
Daun telinga
Dinding liang
telinga
Sekret/Massa
Kelainan
Kel kongenital
Trauma
Radang
Kel. Metabolik
Nyeri tarik
Nyeri tekan tragus
Cukup lapang (N)
Sempit
Hiperemis
Edema
Massa
Ada / Tidak
Bau
Warna
Jumlah
Jenis
Dekstra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang (N)
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang(N)
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Warna
Reflek cahaya
Bulging
Retraksi
Atrofi
Jumlah perforasi
Putih
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Putih
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Jenis
Kwadran
Pinggir
Tanda radang
Fistel
Sikatrik
Nyeri tekan
Nyeri ketok
Rinne
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
(+)
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
(+)
Membran timpani
Utuh
Perforasi
Mastoid
17
Schwabach
Weber
Kesimpulan
Audiometri
Sama dengan
Sama dengan
pemeriksa
pemeriksa
Tidak ada lateralisasi
Telinga N
Telinga N
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
18
Hidung
Pemeriksaan
Hidung luar
Kelainan
Deformitas
Kelainan kongenital
Trauma
Radang
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Sinus Paranasal
Pemeriksaan
Nyeri tekan
Nyeri ketok
Dekstra
Tidak ada
Tidak ada
Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Rinoskopi Anterior
Pemeriksaan
Vestibulum
Cavum nasi
Sekret
Konka inferior
Konka media
Septum
Massa
Kelainan
Vibrise
Radang
Cukup lapang (N)
Sempit
Lapang
Lokasi
Jenis
Jumlah
Bau
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema
Cukup
lurus/deviasi
Permukaan
Warna
Spina
Krista
Abses
Perforasi
Lokasi
Bentuk
Ukuran
Permukaan
Warna
Konsistensi
Dekstra
Ada
Tidak ada
Lapang
Meatus media
Mukopurulen
Sedikit
Tidak ada
Eutrofi
Merah muda
Licin
Eutrofi
Merah muda
Licin
-
Sinistra
Ada
Tidak ada
Sempit
Meatus media
Mukopurulen
Sedikit
Tidak ada
Eutrofi
Merah muda
Licin
Sukar dinilai
-
Cukup Lurus
Licin
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Meatus media
Meatus media
Bulat bertangkai
Bulat bertangkai
Stadium 2
Stadium 3
Licin
Licin
Putih bening
Putih bening
Lunak
Lunak
19
Mudah digoyang
Rinoskopi Posterior :
Pemeriksaan
Koana
Kelainan
Cukup lapang
Sempit
Lapang
Warna
Udem
Mukosa
Jaringan granulasi
Ukuran
Warna
Permukaan
Udem
Konka inferior
Adenoid
Muara tuba eustasius
Masa
Ada/tidak
Tertutup secret
Udem
Lokasi
Ukuran
Bentuk
Permukaan
Ada/tidak
Jenis
Dextra
Lapang
Merah Muda
Tidak ada
Sinistra
Sempit
Merah Muda
Tidak ada
Eutrofi
Merah muda
Licin
Tidak ada
Eutrofi
Merah muda
Licin
Tidak ada
Meatus media
Stadium 2
Bulat
Meatus media
Stadium 3
Bulat
bertangkai
Licin
Ada
Mukopurulen
bertangkai
Licin
Ada
Mukopurulen
Tonsil
Peritonsil
Kelainan
Simetris/tidak
Warna
Edem
Bercak/eksudat
Warna
Permukaan
Ukuran
Warna
Permukaan
Muara kripti
Detritus
Eksudat
Perlengketan
dengan pilar
Warna
Edema
Abses
Lokasi
Dekstra
Sinistra
Simetris
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Merah muda
Licin
Licin
T1
T1
Merah muda
Merah Muda
Licin
Licin
Tidak melebar
Tidak melebar
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
20
Tumor
Gigi
Lidah
Bentuk
Ukuran
Permukaan
Konsistensi
Karies/Radiks
Kesan
Warna
Bentuk
Deviasi
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Ada
Higiene kurang baik
Merah muda
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Laringoskopi Indirek :
Pemeriksaan
Epiglotis
Aritenoid
Kelainan
Bentuk
Warna
Edema
Pinggir rata/tidak
Masa
Warna
Edema
Ventrikular Band
Masa
Gerakan
Warna
Edema
Plika Vokalis
Dekstra
Sinistra
Kubah
Merah Muda
Tidak ada
Rata
Tidak ada
Merah muda
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Simetris
Merah muda
Tidak ada
Simetris
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Putih
Simetris
Rata
Tidak ada
Putih
Simetris
Rata
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Masa
Warna
Gerakan
Pinggir Medial
Masa
Sinus Piriformis
Masa
Sekret
Valekuae
Masa
Sekret
- Sinusitis kronik
Diagnosis Banding :
- Inverted Cell Papilloma
Pemeriksaan Anjuran :
- CT Scan SPN potongan koronal dan aksial
- Kultur dan sensitivity test
- Naso-endoskopi
Terapi
:
- Antibiotik : Penisilin
- FESS untuk polip cavum nasi sinistra stadium 3
- Polipektomi medikamentosa untuk polip cavum nasi dextra stadium 2
Prognosis :
Quo ad Vitam : bonam
Quo ad Sanam : bonam
Nasehat
:
- Menjaga higiene gigi dan mulut untuk mencegah adanya infeksi
- Mencabut geraham kiri atas yang terinfeksi
RESUME
Anamnesis
-
agak kekuningan
Adanya cairan yang mengalir dari hidung ke tenggorokan ada
Pemeriksaan Fisik
a.
Telinga
ADS : liang telinga lapang/lapang, Membran timpani utuh/utuh, Refleks Cahaya
b.
c.
(+)/(+)
Mulut dan orofaring : arkus faring simetris, uvula di tengah, T1-T1
Hidung :
22
Dextra
sekret (+) mukopurulen, massa bulat bertangkai warna putih bening pada
meatus media dengan permukaan licin
Sinistra : Kavum nasi sempit, Konka inferior eutrofi, konka media sukar dinilai,
sekret (+) mukopurulen, massa bulat bertangkai warna putih bening pada
meatus media dengan permukaan licin memenuhi cavum nasi
Diagnosis
- Polip Nasi KNS Stadium 3
- Polip Nasi KND Stadium 2
- Sinusitis kronik
Diagnosis Banding
- Inverted Cell Papilloma
Pemeriksaan Anjuran :
- CT Scan SPN potongan koronal dan aksial
- Kultur dan sensitivity test
- Naso-endoskopi
Terapi
:
- Antibiotik : Penisilin
- FESS untuk polip cavum nasi sinistra stadium 3
- Polipektomi medikamentosa untuk polip cavum nasi dextra stadium 2
Prognosis :
Quo ad Vitam : bonam
Quo ad Sanam : bonam
Nasehat
:
- Menjaga higiene gigi dan mulut untuk mencegah adanya infeksi
- Mencabut geraham kiri atas yang terinfeksi
23
BAB 4
DISKUSI
Telah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada seorang pasien perempuan
berumur 47 tahun dengan diagnosis Polip Nasi KNS Stadium 3, Polip Nasi KND Stadium 2
dan Sinusitis kronik
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari
anamnesis didapatkan hidung kiri terasa tersumbat sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan hidung
tersumbat semakin bertambah sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan hidung tersumbat tidak
menyebabkan gangguan pada jalan pernafasan. Pasien masih bisa bernafas lewat hidung.
Pasien merasakan dan adanya benjolan pada hidung kiri sejak 2 bulan yang lalu. Pasien
mengeluh adanya penurunan penciuman pada hidung kiri.Keluhan hidung tersumbat disertai
dengan hidung berair, cairan kental berwarna agak kekuningan. Adanya cairan yang mengalir
dari hidung ke tenggorokan ada.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya massa berwarna putih bening di bagian
meatus media kiri dan kanan, terlihat bertangkai. Hal ini menunjang ke arah diagnosis polip
nasi. Pada hidung kiri, didapatkan masa polip yang menutupi seluruh rongga hidung sehingga
didiagnosa dengan polip kavum nasi sinistra stadium 3. Sedangkan pada hidung kanan,
didapatkan masa polip yang keluar dari meatus media tetapi tidak menutupi rongga hidung,
sehingga didiagnosa dengan polip kavum nasi dextra stadium 2.
Untuk rencana penatalaksanaan pada pasien ini pada hidung kanan dengan polip kavum
nasi stadium 2 dengan polipektomi medikamentosa diberikan kortikosteroid sistemik.
Kortikosteroid diberikan selama 14 hari dengan dosis yang di turunkan perlahan. Namun
pada hidung kiri, pasien ini dilakukan tindakan operatif yaitu FESS karena polip nasi stadium
3 yang menutupi seluruh rongga tubuh. Penatalaksanaan yang dipilih sesuai dengan acuan
algoritma penatalaksanaan polip hidung dan sinus paranasal oleh Perhati tahun 2007.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Soetjipto. D, Mangunkusumo. E, Wardani. RS. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. 6 th ed.
FKUI. Jakarta:2007. 118-122
24
2.
Pasha. R, Mark. CS. Otolaryngology Head and Neck Surgery. Rhinology and Paranasal
3.
4.
2006, h. 2 13
Kirtsreesatul Virat. Update on Nasal Polyps : Etiopatogenesis. J Med Assoc
5.
6.
7.
25
Thai.