Anda di halaman 1dari 24

18

C.

Fisiologi Pendengaran (Guyton & Hall, 1996)


Gelombang bunyi dari sumber bunyi ditangkap oleh aurikula dan

diteruskan melalui canalis akustikus eksternus dan mengalami proses resonansi


karena adanya bangunan berbentuk tabung dengan hubungan kepada udara
luar secara langsung. Gelombang suara yang telah mengalami proses resonansi
ini akan menggetarkan membarana timpani.
Membarana Timpani

(ear drum) dan tulang-tulang pendengaran pada

telinga bagian tengah akan meneruskan gelombang suara menuju cochlea atau
telinga dalam. Membrana timpani berbentuk conus (corong) secara tiga dimensi
dengan bagian tengah yang meruncing adalah perlekatan membarn timpani
dengan malleus. Sementara itu malleus juga berartikulasi dengan tulang-tulang
pendengaran yang lain yaitu incus dan stapes.
Setelah tahap resonansi gelombang pada telinga bagian luar maka
gelombang tersebut menghasilkan getaran membran timpani yang juga akan
mengakibatkan daya ungkit tulang-tulang pendengaran yang pada akhirnya akan
menggerakan cairan pada cochlea melalui foramen ovale dengan gerakan
menyerupai piston oleh basis stapes. Pada tahapan ini terjadi mekanisasi tulang
pendengaran yang mengakibatkan amplifikasi suara oleh karena adanya daya
ungkit tulang pendengaran (ossiculla auditiva) yang berhubungan oleh
penggetaran membarana timpani yaitu sebesar 1,3 kali lebih kuat. Sementara itu
perbandingan luas penampang membrane timpani sebagai penerima gelombang
dan luas penampang foramen ovale

juga memberikan penguatan kekuatan

gelombang yang tinggi. Luas penampang membrane timpani adalah 55 mm 2

19
sedangankan luas penampang foramen ovale pada cochlea adalah 3,2 mm 2,
keadaan tersebut secara fisika memberikan penguatan sebesar 17 kali.
Sehingga pada telinga tengah secara umum didapatkan penguatan gelombang
secara total sebanyak 22 kali lebih kuat. Hal ini terjadi karena cairan pada
cochlea memiliki daya inert lebih besar daripada udara, sehingga untuk
menggerakkan cairan dibutuhkan daya yang lebih kuat. Proses kerjasama antara
membran timpani dan tulang pendengaran dalam menghasilkan amplifikasi
getaran juga disebut sebagai Impedance Matching atau penyesuaian impendansi
sehingga tekanan yang dihasilkan oleh stapes ke cochlea dapat memberikan
tekanan yang adekuat terhadap cairan dalam cochlea. Hasil amplifikasi sebesar
22 kali setara dengan peningkatan sekitar 15 dB hingga 20 dB. Dalam sebuah
percobaan simulasi jika gelombang suara memasuki telinga tengah tanpa
adanya membarana timpani dan tulang pendengaran, sehingga hanya akan
melewati udara saja maka terjadi penurunan tingkat persepsi suara sebesar
15 dB hingga 20 dB.
Tulang-tulang pendengaran juga memiliki sebuah system proteksi jika
sumber bunyi terlalu keras yang disebut dengan attenuation reflex. Mekanisme
tersebut dihasilkan oleh adanya kerja oleh muscullus tensor timpani dan
muscullus stapedius. Pada saat terjadi kontraksi m. tensor timpani maka akan
terjadi penarikan malleus secara bersamaan m. stapedius akan menarik stapes
kea rah luar terhadap foramen ovale. Kerja berlawanan arah kedua otot ini akan
mengakibatkan rigiditas yang tinggi pada system tulang pendengaran, sehingga

20
akan mengurangi konduksi tulang pendengaran. Reflek tersebut secara garis
besar akan memberikan mekanisme :
1.

Melindungi cochlea dari kerusakan akaibat vibrasi atau gerakan


terlalu kuat stapes pada saat sumber suara terlalu keras.

2.

Untuk melakukan masking pada suara dengan frekuensi rendah


pada lingkungan yang gaduh, sehingga sesorang dapat memfokuskan
pada suara rendah pada lingkungan yang riuh.

Fungsi lain dari m. tensor timpani dan m. stapedius adalah untuk mengurangi
kemampuan pendengaran sesorang terhadap suara yang dihasilkan oleh
pembicaraanya sendiri.
Setelah proses resonansi dan amplifikasi pada telinga bagian luar dan
telinga bagian tengah, maka pada cochlea atau telinga bagian dalam akan terjadi
perubahan getaran suara menjadi proses gerakan mekanik melalui gerakan
piston oleh stapes dan pergerakan cairan cochlea.
Cochlea merupakan system yang berbentuk tabung bergelung. Pada saat
ada sumber suara dan terjadi proses pergerakan stapes pada foramen ovale
maka akan terjadi pergerakan cairan di dalam cochlea. Foramen ovale
merupakan awal dati tabung cochlea dengan bagian akhir tabung adalah
foramen rotundum atau round window. Pada foramen rotundum terdapat
bangunan ligament yang dapat menggembung dan fleksibel sehingga dapat
mengikuti perubahan tekanan akibat pergerakan cairan tanpa mengakibatkan
keluarnya cairan dalam cochlea.

21
Gerakan piston stapes akan mengakibatkan pergerakan cairan dan
bulging (penggembungan) pada foramen rotundum. Sedangkan cochlea sendiri
terdiri dari skala vesitibuli, skala media, dan skala timpani. Pada skala vestibuli
dan skala timpani diisi oleh cairan perilimphe sedangkan skala media berisi
cairan endolimphe. Skala vestibuli dan skala media dipisahkan oleh membran
Reissner yang tipis dan mudah bergetar. Di dalam skala media terdapat organ
corti yang akan merubah sistem mekanik menjadi impuls yang selanjutnya
diteruskan oleh saraf pendengaran menuju pusat pendengaran.
Pada saat gerakan cairan pada skala vestibuli terjadi dikarenakan adanya
gelombang suara, maka akan terjadi gerakan pada membrane basilar, hal ini
menyebabkan pergerakan relatif pada cairan endolimphe di skala media,
pergerakan relative tersebut menggetarkan membrane tektorium pada organon
corti. Sementara pada organon corti terdapat sel-sel rambut (stereocillia) yang
akan mengalami defleksi dikaibatkan oleh adanya getaran membrane tektorium.
Hal ini mengakibatkan adanya depolarisasi dan hiperpolarisasi pada arah
defleksi yang berlawanan.
Perubahan polarisasi oleh stereocillia akan mengeksitasi serabut saraf
yang berhubungan dengan stereocillia tersebut. Eksitasi pada serabut saraf
tersebut diteruskan impulsnya melalui ganglion spiral untuk dibawa menuju
medulla. Selanjutnya oleh system saraf otak, impuls tersebut diteruskan menuju
nucleus

olivarius

superior

dan

bersinaps

dengan

serabut

saraf

yang

menghubungkan impuls kepada leminiscus lateralis. Selanjutnya impuls tersebut

22
disampaikan kepada cortex auditorik di area 41 dan 42 oleh serabut
geniculokortikal, sehingga terjadilah persepsi suara.
Tidak semua frekuensi suara dapat didengar oleh manusia, hanya suara
dengan frekuensi antara 20 Hz hingga 20 KHz yang dapat didengar.

D.

Etiologi
Penyebab tinnitus sebenarnya masih belum dapat dipastikan. Tinnitus

dapat disebabkan oleh adanya penurunan kemampuan pendengaran, antara


lain: presbiacusis, penurunan pendengaran yang diakibatkan oleh suara (noise
induced

hearing

loss),

Menieres

syndrome,

atau

neuroma

akustik

(Wadddell, 2004).
Pendekatan untuk mempelajari etiologi tinnitus dapat dilakukan dengan
membedakan tinnitus menjadi 2 kelompok besar yaitu tinnitus obyektif dan
tinnitus subyektif. Tinnitus obyektif adalah jika suara yang didengar oleh
penderita dapat didengar pula oleh pemeriksa, sedangkan pada tinnitus subyektif
suara hanya terdengar oleh penderita saja (Lockwood et.al., 2002).
Subyektif tinnitus juga dapat disebabkan oleh beberapa keadaan
sebagaimana yang tertera pada tabel 1. Tinnitus subyektif bias disebabkan oleh
karena berasal dari gangguan telinga (otologic), karena efek dari medikasi
ataupun obat-obatan (Ototoxic), gangguan neurologist, gangguan metabolisme,
ataupun dikarenakan oleh depresi psikogenik. Sedangkan tinnitus obyektif dapat
disebabkan oleh karena adanya gangguan vaskularisasi, gangguan neurologist

23
ataupun

gangguan

pada

tuba

auditiva

atau

Eustachian

tube

(Crummer & Hassan, 2004).

Tabel 1.
Etiologi Tinnitus subyektif dan Tinnitus obyektif
Dikutip dari Crummer & Hassan (2004)

Secara lebih rinci tinnitus subyektif dapat pula disebabkan oleh adanya
presbiacusis ataupun karena adanya pengaruh suara yang terlalu keras
sebagaimana yang tertera pada tabel 2. Pada tabel dijabarkan mengenai
kemungkinan etiologi yang umum terdapat pada penderita dengan tinnitus
subyektif. Etiologi tinnitus subyektif antara lain adalah : presbiakusis, paparan
suara bising yang lama, trauma akustik yaitu terpapar suara dengan intensitas
tinggi sewaktu, otosklerosis yaitu terjadinya proses pengapuran pada tulang
pendengaran di telinga tengah ataupun pengapuran pada cochlea, infeksi,

24
autoimun, ataupun predisposisi genetic, dan juga trauma pada kepala ataupun
leher (Folmer et.al., 2004).

Tabel 2
Penyebab Tinnitus Subyektif
Dikutip dari Folmer et. al., 2004

25
Tinnitus subyektif dapat disebabkoan oleh karena efek medikasi atau
obat-obatan sebagaimana tertera pada Tabel 1, untuk lebih jelasnya daftar obatobatan yang dapat menyebabkan keluhan tinnitus ada pada tabel 3
(Crummer & Hassan, 2004).

Tabel 3
Daftar obat-obatan yang dapat menimbulkan tinnitus
Dikutip dari Scrummer & Hassan (2004).

26
Sedangkan tinnitus obyektif merupakan tinnitus yang sangat jarang
ditemui (Crummer & Hassan, 2004). Berdasar klasifikasi etiologi tinnitus obyektif
oleh Lockwood et. al., (2002), maka tinnitus obyektif dibagi menjadi dua (2) sub
bagian yaitu pulsatil dan non pulsatil sesuai dengan Tabel 4.
TABLE 4. Tinnitus Obyektif
Pulsatile Tinnitus
Neoplasma pada umumnya pada vaskular
Glomus tumors atau paragangliomas (chemodectoma,
paragangliomas)
Glomus tympanicum, glomus jugulare, glomus
jugulotympanicum
Hemangioma
Hemangioma N VII, cavernous hemangioma
Neoplasma Vaskular lainya
Meningioma, adenoma
Lesi Vaskular
Lesi arteri akibat perlukaan
Atherosclerotic plaque (carotid atau intracranial)
Vaskular malformations (intracranial, dural; dapat berupa
sekuel dari trauma)
Aneurysma
Carotid artery dissection (spontan atau traumatik)
Kelainan Kongenital arteri
Aberrant internal carotid arteri
Persistent stapedial artery
Abnormalitas Vena
Abnormalitas bulbus Jugularis (posisi tinggi,
diverticulum, dehiscence, pembesaran)
Kelainan vaskular lainnya
Fibromuscular dysplasia pada carotid artery
Kompresi Vaskular pada kokhlea atau Nervus auditorik
Pada root entry zone
Kasus Lainya
Penyakit Katup Jantung (aortic stenosis, insufficiency)
Hipertensi intracranial Benigna atau
pseudotumor cerebri
Hyperdynamic state (eg, anemia, thyrotoxicosis)
Otosclerosis dengan anastomosiss antara tulang haversi
Dengan lapisan endochondral layer
Nonpulsatile Tinnitus
Palatal myoclonus
Spasm, fasciculations, or fibrillations dari m. tensor
tympani atau m. stapedius
emisi otoakustik spontan
Patulous eustachian tube

27
Tinnitus obyektif type pulsatil merupakan tinnitus obyektif yang sering
ditemukan. Tinnitus pulsatil pada umunya diakibatkan oleh adanya turbulensi
aliran darah arteri (percabangan arteri carotis interna) ataupun adanya aliran
darah yang sangat cepat pada pembuluh darah lain di sekitar organ
pendengaran. Kelainan aliran darah tersebut akan menyebabkan hantaran
gelombang melalui tulang ataupun didnding pembuluh darah yang terhubung
kepada cochlea, dan menghasilkan interpretasi suara. Sedangkan tinnitus
obyektif tipe non-pulsatil

merupakan tinnitus obyektif yang paling jarang

ditemukan. Major cause dari tinnitus non-pulsatil adalah adanya palatal


myoclonus yang diakibatkan adanya kontraksi ritmik pada palatum mole atau
soft palatal (Lockwood et. al., 2002).

E.

Patofisiologi
E.1. Tinnitus Subyektif
Penyakit atau gangguan pada telinga merupakan sebab yang paling

banyak sebagai etiologi tinnitus subyektif, yang kemudian disebut sebagai


otologic disorder atau gangguan otologik. Sebagian besar tinnitus sebyektif
disebabkan oleh hilangnya kemampuan pendengaran (hearing loss), baik
sensorineural ataupun konduktif. Gangguan pendengaran yang paling sering
menyebabkan tinnitus subyektif adalah NIHL (noise induced hearing loss) karena
adanya

sumber

suara

(Crummer & Hassan, 2004).

eksternal

yang

terlalu

kuat

impedansinya

28
Sumber suara yang terlalu keras dapat menyebabkan tinnitus subyektif
dikarenakan oleh impedansi yang terlalu kuat. Suara dengan impedansi diatas
85 dB akan membuat stereosilia pada organon corti terdefleksi secara lebih kuat
atau sudutnya menjadi lebih tajam, hal ini akan direspon oleh pusat pendengaran
dengan suara berdenging, jika sumber suara tersebut berhenti maka stereosilia
akan mengalami pemulihan ke posisi semula dalam beberapa menit atau
beberapa jam. Namun jika impedansi terlalu tinggi atau suara yang didengar
berulang-ulang (continous exposure) maka akan mengakibatkan kerusakan sel
rambut dan stereosilia, yang kemudian akan mengakibatkan ketulian (hearing
loss) ataupun tinnitus kronis dikarenakan oleh adanya hiperpolaritas dan
hiperaktivitas sel rambut yang berakibat adanya impuls terus-menerus kepa
ganglion saraf pendengaran (Folmer et. al., 2004).
Menieres syndrome

dengan adanya keadaan hidrops pada labirintus

membranaseous dikaranakan cairan endolimphe yang berlebih, tinnitus yang


terjadi pada penyakit ini ditandai dengan adanya episode tinnitus berdenging dan
tinnitus suara bergemuruh (Crummer & Hassan, 2004).
Neoplasma berupa acoustic neuroma juga dapat menyebabkan terjadinya
tinnitus subyektif. Neoplasma ini berasal dari sel schwann yang tumbuh dan
menyelimuti percabangan NC VIII (Nervus Oktavus) yaitu n. vestibularis
sehingga terjadi kerusakan sel-sel saraf bahkan demyelinasi pada saraf tersebut
Crummer & Hassan, 2004).
Tinnitus yang diakibatkan oleh obat-obatan digolongkan dalam tinnitus
ototoksik. Ototoksisitas yang terjadi akibat dari penggunaan obat-obatan tertentu

29
sebagaimana telah dibahas sebelumnya akan mempengaruhi sel-sel rambut
pada organon corti, NC VIII, ataupun saraf-saraf penghubung antara cochlea
dengan system nervosa central (Crummer & Hassan, 2004).
Gangguan neurologis ataupun trauma leher dan kepala juga dapat
menyebabkan adanya tinnitus subyektif, namun demikian patofisiologi ataupun
mekanisme

terjadinya

tinnitus

karena

hal

ini

belum

jelas

(Crummer & Hassan, 2004).


Penelitian-penelitian yang dilakukan didapatkan karakteristik penderita
tinnitus obyektif yang memiliki gangguan metabolisme antara lain menderita
hypothyroidism, hyperthyroidism, anemia, avitaminosa B 12, atau defisiensi Zinc
(Zn). Disamping itu penderita tinnitus rata-rata menunjukkan perubahan sikap
dan gangguan psikologis walaupun sebetulnya depresi merupakan salah satu
etiologi dari tinnitus subyektif (psikogenik). Gangguan tidur, deperesi, dan
gangguan konsentrasi lebih banyak ditemukan pada penderita tinnitus subyektif
dibandingkan

dengan

yang

tidak

mengalami

gangguan

psikologis

(Crummer & Hassan, 2004).


E.2. Tinnitus Obyektif
Tinnitus obyektif banyak disebabkan oleh adanya abonormalitas vascular
yang mengenai fistula arteriovenosa congenital, shunt arteriovenosa, glomus
jugularis, aliran darah yang terlalu cepat pada arteri carotis (high-riding carotid)
stapedial artery persisten, kompresi saraf-saraf pendengaran oleh arteri, ataupun
dikarenakan oleh adanya kelainan mekanis seperti adanya palatal myoclonus,

30
gangguan temporo mandibular joint, kekauan muscullus stapedius pada telinga
tengah (Folmer et. al., 2004).
Kelainan

pada

tuba

auditiva

(patulous

Eustachian

tube)

akan

menyebabkan terdengarnya suara bergemuruh terutama pada saat bernafas


karena kelainan muara tuba pada nasofaring. Biasanya penderita tinnitus
dengan keadaan ini akan menderita penurunan berat badan, dan mendengar
suaranya sendiri saat berbicara atau autophony. Tinnitus dapat hilang jika
dilakukan valsava maneuver atau saat penderita tidur terlentang dengan kepala
dalam

keadaan

bebas

atau

tergantung

melebihi

tempat

tidurnya

(Crummer & Hassan, 2004).


E.2.a. Pulsatile Tinnitus
Tinnitus pulsatil banyak diderita oleh pasien dengan turbulensi aliran arteri
ataupun aliran darah yang cepat pada pembuluh darah. Penyakit jantung yang
berhubungan dengan arteriosklerosis dan penuaan meningkatkan prevalensii
tinnitus pulsatil, adanya stenosis arteri juga banyak ditemukan pada penderita
dengan tinnitus jenis ini. Stenosis artery intracranial dapat menyebabkan
turbulensi aliran darah pada bagian stenosis dan bagian distal dari stenosis
(Gambar 12).

Sementara itu stenosis arteri carotis merupakan tempat yang

umum ditemukan, padahal arteri carotis tempatnya berdekatan dengan bagian


proximal cochlea. Sehingga melalui tulang getarab turbulensi aliran darah
mempengaruhi cochlea dan menyebabkan tinnitus obyektif. Pasien dengan
thyrotoksikosis dan atrial fibrilasi juga dapat menderita tinnitus pulsatill
(Lockwood et.al., 2002)..

31

Gambar 14
Tampak stenosis arteri (anak panah) yang
Menyebabkan adanya turbulensi aliran darah
Dengan getaran yang selanjutnya mempengaruhi
Cochlea dan menimbulkan tinnitus obyektif.
Dikutip dari Lockwood et. al. (2002).

E.2.b. Non-pulsatile Tinnitus


Tinnitus jenis ini jarang ditemukan, sementara itu tinnitus obyektif juga
merupakan kasus yang jarang, sehingga dapat dikatakan bahwa kasus nonpulsatil tinnitus adalah sangat jarang ditemukan. Penyebab terjadinya tinnitus
jenis ini sebagaimana telah dijelaskan pada sub-bab etiologi sebelumnya.
Tinnitus jenis ini juga sering berhubungan dengan kontraksi periodik abnormal
pada otot-otot faring, mulut, dan wajah bagian bawah, sehingga akan
mempengaruhi kerja tuba auditiva (Lockwood et. al., 2002).

32
F.

Pendekatan Diagnosis Klinis untuk Tinnitus


Mengingat penanganan terhadap tinnitus adalah meletakkan dasar

pemikiran bahwa penyakit tersebut adalah gejala dari sebuah penyakit lain yang
menyebabkanya, maka dalam melakukan diagnostik digunakan pendekatan
klinis, supaya dapat dibedakan tinnitus menurut etiologinya (Waddel, 2004;
Lockwood et. al., 2002).
Membedakan secara garis besar jenis tinnitus yang diderita dan penilaian
secara menyeluruh terhadap riwayat tinnitus serta penyakit lain merupakan suatu
hal

yang

harus

diteliti.

Evaluasi

terhadap

keluhan

tinnitus

meliputii

(Crummer & Hassan, 2004) :


a. Riwayat tinnitus
Evaluasi tinnitus pada pasien diawali dengan mempelajari keseluruhan
riwayat tinnitus semenjak pertama kali muncul (seperti tertera pada
Tabel 5). Evaluasi tinnitus berdasar riwayat tinnitus meliputi penilaian:
i. Onset
Jika tinnitus berkembang seiring dengan penurunan kemampuan
mendengar atau penderita adalah usia lanjut maka Presbiakusis
bias menjadi penyebabnya.
ii.

Lokasi
Tinnitus unilateral bias disebabkan oleh adanya impaksi serumen,
otitis eksterna, dan otitis media. Sedangkan tinnitus unilateral
denganunilateral
neuroma akustik.

tuli

sensorik

merupakan

pertanda

adanya

33
iii.

Bentuk tinnitus (Pattern)


Tinnitus terus-menerus berhubungan dengan ketulian. Tinnitus
yang episodic kemungkinan Menieres syndrome. Tinnitus pulsatil
kemungkinan berasal dari kelainan vascular.

iv.

Karakteristik
Tinnitus dengan suara rendah dan bergemuruh suspek Menieres
syndrome.

Sedangkan

tinnitus

dengan

frekuensi

tinggi

berhubungan dengan tuli sensorik.


v.

Keterhubungan dengan keluhan vertigo dan penurunan


kemampuan pendengaran
Ada hubungan kuat dengan Menieres syndrome.

vi.

Paparan obat-obatan ototoksik


Kemungkinan disebabkan oleh adanya Noise Induced atau
medication-induced Hearing Loss.

vii.

Perubahan keluhan dan faktor eksaserbasi


Tinnitus dengan patulous Eustachian tube mengurang dengan
berbaring atau melakukan valsava maneuver.

viii.

Kelainan Metabolisme
Hiperlipidemi, gangguan tiroid, defisiensi Vitamin B 12, anemia, bias
menjadi penyebab tinnitus.

ix.

Lainya
Signifikansi keluhan penderita terhadap kualitas hidup sehariharinya menjadi pedoman manajemen tinnitus.

34
Tabel 5
Daftar evaluasi riwayat tinnitus
Dikutip dari Crummer & Hassan (2004)

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan secara komprehensif pada telinga meliputi kanalis akustikus
eksternus, serumen, membrane timpani, ataupun kemungkinan adanya infeksi.
Auskultasi pada leher, periaurikularis, orbita dan mastoid juga harus dilakukan.
Uji pendengaran menggunakan garpu tala (Weber dan Rinne) juga seharusnya
dilakukan (Crummer & Hassan, 2004).

35

b. Pemeriksan Penunjang
Pemeriksaan menggunakan audiometri sebaiknya dilakukan, karena
pada umunya keluhan tinnitus adalah keluhan subyektif penderita
dengan hubungan kelainan organ pendengaran adalah sangat minimal
(Crummer & Hassan, 2004).
Pendekatan diagnostik dalam langkah manajemen tinnitus berdasarkan
kemungkinan penyebabnya dapat dilakukan melalui algoritma yang dibuat oleh
Crummer & Hassan (2004) sebagaimana tertera pada gambar (13)
Sedangkan algoritma yang bertitik berat pada riwayat penyakit untuk
mengklasifikasikan jenis keluhan tinnitus, dan langkah-langkah pemeriksaan
yang diperlukan untuk melakukan evaluasi keluhan tinnitus yang diderita pasien
mengikuti algoritma yang disampaikan oleh Lockwood et.al. (2002) tertera pada
Gambar 14.
Langkah evaluasi tinnitus dan perencanaan penatalaksanaannya dapat
dilakukan dengan beberapa tahapan sesuai dengan Gambar 15. Algoritma ini
diajukan oleh Folmer et.al. (2004) sebagai acuan untuk melakukan intervensi
berdasarkan keluhan tinnitus pada pasien.

36

Gambar 15
Algoritma dalam Pendekatan diagnostic untuk Tinnitus
Dikutip dari Crummer & Hassan (2004)

37

Gambar 16
Algoritma untuk evaluasi keluhan tinnitus
Dikutip dari Lockwood et.al. (2002)

38

Gambar 17
Algoritma Evaluasi dan manajemen Tinnitus menurut Folmer et.al. 2004
Dikutip dari Folmer et.al. (2004)

39
G.

Penatalaksanaan
Di Amerika FDA (Food and Drug Association) hingga saat ini belum

memberikan persetujuan ataupun pengesahan terhadap obat-obatan yang


digunakan untuk menangani tinnitus (Lockwood et.al., 2002).
Tinnitus banyak berhubungan dengan berbagai penyakit ataupun
gangguan pada organ pendengaran hingga pusat pendengaran, pada tataran inii
maka tinnitus sebagai sebuah kelainan yang muncul sebagai kelainan
membutuhkan beberapa penanganan khusus. Tinnitus menyebabkan adanya
keluhan depresi, insomnia, ataupun kecemasan, maka penatalaksanaannya
ditujukan pada terapi psikoterapi untuk mengurangi gangguan tinnitus terhadap
kualitas hidupnya. Accoustic Therapy (terapi akustik) di Amerika merupakan
langkah Retraining Therapy yaitu terapi yang diformulasikan khusus secara
individual sesuai riwayat penyakit pasien berupa menyarankan agar pasien
mendengarkan musik yang disukainya pada saat berada di tempat sepi. Jika
pasien memiliki kelainan pendengaran berupa ketulian maka penggunaan alat
pendengaran akan menolong penurunan tinnitus. Hal tersebut enjadi ajuan
manajemen atau penatalaksanaan Tinnitus yang dapat dilakukan selama 1
bulan, 6 bulan, atau 12 bulan tergantung penyakit atau kelainan yang
mendasarinya. Sedangkan sebab-sebab lain berupa abnormalitas pembuluh
darah hingga adanya neoplasma pada otak yang mengakibatkan tinnitus, maka
penatalaksanaannya

berada

pada

penyakit

tersebut.

Namun

pada

tuli

sensorineural yang menyebabkan tinnitus kronis merupakan penyakit yang


hingga saat ini masih sangat sulit ditangani, hal ini menuntut adanya penjelasan

40
yang mencukupi kepada penderita tinnitus kronis dengan penyebab tuli
sensorineural (Folmer et.al., 2004).
Penggunaan

sediaan

agonis

reseptor

GABA dapat

menunjukkan

perbaikan pada penderita dengan tinnitus dalam mekanisme yang masih diteliti
(Eggermont & Roberts, 2004).
Teori masking (menutupi), dengan metode noise generator (pembangkitan
bunyi) yang dilakukan dengan menyalakan radio tanpa siaran (hanya desis)
ataupun suara fan (kipas angina) pada saat hendak tidur sehingga tinnitus
dikaburkan oleh suara dari luar dapat membuat penderita lebih baik (Folmer
et.al., 2004; Crummer & Hassan, 2004; Lockwood et.al., 2002; The British
Tinnitus Association, 2004).
Pada dasarnya manajemen tinnitus adalah melakukan masking pada
penderita sehingga terjadi perubahan persepsi penderita terhadap keluhan
tinnitusnya. Pengobatan terhadap penyakit yang menyebabkan tinnitus, ataupun
factor-faktor yang menjadi etiologi tinnitus perlu dilakukan untuk mendukung
penurunan keluhan tinnitus (Folmer et.al., 2004; Waddel, 2004; Lockwood et.al.,
2002, Eggermont & Roberts, 2004).

41
BAB III
KESIMPULAN

Dari keseluruhan sumber yang didapatkan maka dapat disimpulkan


menjadi beberapa hal :
1.

Tinnitus adalah sebuah kelainan yang dapat disebabkan oleh


banyak sebab, baik berdasarkan kelainan telinga ataupun penyakit
kelainan tekanan darah, hingga adanya neoplasma pada otak.

2.

Tinnitus merupakan gejala ataupun kelainan persepsi suara


yang dialami oleh seseorang tanpa adanya sumber suara dari luar.

3.

Penatalaksanaan tinnitus lebih kepada penanganan gangguan


kualitas hidup yang diakibatkan oleh tinnitus itu sendiri (insomnia,
anxietas, depresi).

4.

Masking therapy atau teori pangaburan fokus suara penderita


tinnitus dapat mengurangi efek psikologis dari tinnitus.

5.

Tinnitus yang diakibatkan oleh adanya tuli sensorik sangat sulit


disembuhkan atau bahakan tak dapat disembuhkan.

6.

Tinnitus yang diakibatkan oleh adanya tuli konduksi dapat


dikurangi dengan penggunaan alat Bantu dengar.

7.

Evaluasi tinnitus menggunakan langkah pendekatan diagnostik


perlu dilakukan untuk dapat memahami riwayat tinnitus pasien serta
penyakit ataupun kelainan-kelainan yang pernah dialami oleh
penderita.

Anda mungkin juga menyukai