Pasca Persalinan)
Sep 18, 2011 23 Comments by lusa
Perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan adalah salah satu penyebab
kematian ibu melahirkan. Tiga faktor utama penyebab kematian ibu melahirkan adalah
perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan, hipertensi saat hamil atau pre
eklamasi dan infeksi. Perdarahan menempati prosentase tertinggi penyebab kematian ibu
(28%). Di berbagai negara paling sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu disebabkan
oleh perdarahan, proporsinya berkisar antara kurang dari 10-60 %. Walaupun seorang
perempuan bertahan hidup setelah mengalami pendarahan pasca persalinan, namun
selanjutnya akan mengalami kekurangan darah yang berat (anemia berat) dan akan
mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan (WHO).
1. Perdarahan post partum dini (early postpartum hemorrhage) adalah perdarahan yang
terjadi setelah bayi lahir dalam 24 jam pertama persalinan.
2. Perdarahan post partum sekunder (late postpartum hemorrhage) adalah perdarahan
yang terjadi setelah 24 jam persalinan, kurang dari 6 minggu pasca persalinan.
Retensio plasenta
Gejala : plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan segera, uterus berkontraksi dan
keras.
Penyulit: tali pusat putus akibat traksi berlebihan, inversio uteri akibat tarikan, perdarahan
lanjutan.
Gejala: plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap,
perdarahan segera.
Penyulit: uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak kurang.
Inversio uteri
Insidensi : 1 dari 2500 kelahiran
Faktor resiko: atonia uteri, traksi tali pusat berlebihan, manual plasenta, plasentasi abnormal,
kelainan uterus dan plasentasi pada fundus.
Gejala: uterus tidak teraba, lumen vagina terisi massa, tampak tali pusat, nyeri perut akut dan
syok (30%).
Penyulit: neurogenik syok, pucat dan limbung.
Ruptur uteri
Insidensi: 1 dari 2000 kelahiran.
Faktor resiko: riwayat pembedahan uterus sebelumnya, persalinan terhambat, pemakaian
oksitosin berlebihan, posisi janin abnormal, manipulasi uterus dalam persalinan.
Plasentasi abnormal
Paling sering adalah plasenta akreta.
Faktor resiko: riwayat pembedahan uterus sebelumnya, plasenta previa, kebiasaan merokok,
multi grande para.
Koagulopati
Koagulopati kongenital dapat menjadi komplikasi pada 1-2 per 10.000 kehamilan.
Penyebab: terapi antikoagulan dan koagulan konsumtif yang disebabkan oleh komplikasi
obstetrik.
PENDAHULUAN
Perdarahan setelah melahirkan atau post partum hemorrhagic (PPH) adalah konsekuensi
perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta, trauma di traktus genitalia dan
struktur sekitarnya, atau keduanya.1
Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya paling sedikit
128.000 wanita mengalami perdarahan sampai meninggal. Sebagian besar kematian tersebut
terjadi dalam waktu 4 jam setelah melahirkan.2 Di Inggris (2000), separuh kematian ibu hamil
akibat perdarahan disebabkan oleh perdarahan post partum.1
Di Indonesia, Sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit, sehingga sering pasien
yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan post partum terlambat sampai ke rumah
sakit, saat datang keadaan umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya mortalitas
tinggi.3 Menurut Depkes RI, kematian ibu di Indonesia (2002) adalah 650 ibu tiap 100.000
kelahiran hidup dan 43% dari angka tersebut disebabkan oleh perdarahan post partum.2
Apabila terjadi perdarahan yang berlebihan pasca persalinan harus dicari etiologi yang
spesifik. Atonia uteri, retensio plasenta (termasuk plasenta akreta dan variannya), sisa
plasenta, dan laserasi traktus genitalia merupakan penyebab sebagian besar perdarahan post
partum. Dalam 20 tahun terakhir, plasenta akreta mengalahkan atonia uteri sebagai penyebab
tersering perdarahan post partum yang keparahannya mengharuskan dilakukan tindakan
histerektomi. Laserasi traktus genitalia yang dapat terjadi sebagai penyebab perdarahan post
partum antara lain laserasi perineum, laserasi vagina, cedera levator ani da cedera pada
serviks uteri.1
TINJAUAN PUSTAKA
I. PERDARAHAN POST PARTUM
Definisi
Perdarahan post partum didefinisikan sebagai hilangnya 500 ml atau lebih darah setelah
anak lahir. Pritchard dkk mendapatkan bahwa sekitar 5% wanita yang melahirkan pervaginam
kehilangan lebih dari 1000 ml darah.
Epidemiologi
Perdarahan post partum dini jarang disebabkan oleh retensi potongan plasenta yang kecil,
tetapi plasenta yang tersisa sering menyebabkan perdarahan pada akhir masa nifas.1 Kadangkadang plasenta tidak segera terlepas. Bidang obstetri membuat batas-batas durasi kala tiga
secara agak ketat sebagai upaya untuk mendefenisikan retensio plasenta shingga perdarahan
akibat terlalu lambatnya pemisahan plasenta dapat dikurangi. Combs dan Laros meneliti
12.275 persalinan pervaginam tunggal dan melaporkan median durasi kala III adalah 6 menit
dan 3,3% berlangsung lebih dari 30 menit. Beberapa tindakan untuk mengatasi perdarahan,
termasuk kuretase atau transfusi, menigkat pada kala tiga yang mendekati 30 menit atau
lebih.1
Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah pada sebelum hamil dan derajat
anemia saat kelahiran. Gambaran perdarahan post partum yang dapat mengecohkan adalah
nadi dan tekanan darah yang masih dalam batas normal sampai terjadi kehilangan darah yang
sangat banyak.1
Klasifikasi
Klasifikasi perdarahan postpartum :1,4,9
1. Perdarahan post partum primer / dini (early postpartum hemarrhage), yaitu
perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utamanya adalah atonia
uteri, retention plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan lahir. Banyaknya terjadi pada
2 jam pertama
2. Perdarahan Post Partum Sekunder / lambat (late postpartum hemorrhage), yaituperdarahan yang terjadi setelah 24 jam pertama.
Etiologi
Etiologi dari perdarahan post partum berdasarkan klasifikasi di atas, adalah :1,9
a. Etiologi perdarahan postpartum dini :
1. Atonia uteri
Faktor predisposisi terjadinya atoni uteri adalah :
Uterus terlalu regang dan besar misal pada gemelli, hidromnion / janin besar
Kelainan pada uterus seperti mioma uteri, uterus couveloair pada solusio plasenta
2. Laserasi Jalan lahir : robekan perineum, vagina serviks, forniks dan rahim. Dapat
menimbulkan perdarahan yang banyak apabila tidak segera di reparasi.
3. Hematoma
Hematoma yang biasanya terdapat pada daerah-daerah yang mengalami laserasi atau pada
daerah jahitan perineum.
4. Lain-lain
Sisa plasenta atau selaput janin yang menghalangi kontraksi uterus, sehingga masih ada
pembuluh darah yang tetap terbuka, Ruptura uteri, Inversio uteri
b. Etiologi perdarahan postpartum lambat :
1. Tertinggalnya sebagian plasenta
2. Subinvolusi di daerah insersi plasenta
3. Dari luka bekas seksio sesaria
Diagnosis
Untuk membuat diagnosis perdarahan postpartum perlu diperhatikan ada perdarahan yang
menimbulkan hipotensi dan anemia. apabila hal ini dibiarkan berlangsung terus, pasien akan
jatuh dalam keadaan syok. perdarahan postpartum tidak hanya terjadi pada mereka yang
mempunyai predisposisi, tetapi pada setiap persalinan kemungkinan untuk terjadinya
perdarahan postpartum selalu ada. 9
Perdarahan yang terjadi dapat deras atau merembes. perdarahan yang deras biasanya akan
segera menarik perhatian, sehingga cepat ditangani sedangkan perdarahan yang merembes
karena kurang nampak sering kali tidak mendapat perhatian. Perdarahan yang bersifat
merembes bila berlangsung lama akan mengakibatkan kehilangan darah yang banyak. Untuk
menentukan jumlah perdarahan, maka darah yang keluar setelah uri lahir harus ditampung
dan dicatat. 9
Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina, tetapi menumpuk di vagina
dan di dalam uterus. Keadaan ini biasanya diketahui karena adanya kenaikan fundus uteri
setelah uri keluar. Untuk menentukan etiologi dari perdarahan postpartum diperlukan
pemeriksaan lengkap yang meliputi anamnesis, pemeriksaan umum, pemeriksaan abdomen
dan pemeriksaan dalam. 9
Pada atonia uteri terjadi kegagalan kontraksi uterus, sehingga pada palpasi abdomen uterus
didapatkan membesar dan lembek. Sedangkan pada laserasi jalan lahir uterus berkontraksi
dengan baik sehingga pada palpasi teraba uterus yang keras. Dengan pemeriksaan dalam
dilakukan eksplorasi vagina, uterus dan pemeriksaan inspekulo. Dengan cara ini dapat
ditentukan adanya robekan dari serviks, vagina, hematoma dan adanya sisa-sisa plasenta.9
Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman (termasuk upaya
pencegahan perdarahan pasca persalinan)
Lakukan observasi melekat pada 2 jam pertama pasca persalinan (di ruang persalinan)
dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (di ruang rawat gabung).
Segera lakukan penlilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan
masalah dan komplikasi
Atasi syok
Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukam pijatan uterus,
berikan uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infus 20 IU dalam 500cc NS/RL dengan 40
tetesan permenit.
Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir.
Lakukan eksplorasi (bila servik terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau
jaringan. Bila servik hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa
plasenta dengan AMV atau dilatasi dan kuretase
Bila kadar Hb<8 gr% berikan transfusi darah. Bila kadar Hb>8 gr%, berikan sulfas
ferosus 600 mg/hari selama 10 hari. 5
2.
Teknik pelaksanaan
Fundus uterus dipegang oleh tangan kanan sedemikian rupa, sehingga ibu jari terletak
pada permukaan depan uterus sedangkan jari lainnya pada fundus dan permukaan
belakang. setelah uterus dengan rangsangan tangan berkontraksi baik, maka uterus
ditekan ke arah jalan lahir. gerakan jari-jari seperti meremas jeruk. perasat Crede
tidak boleh dilakukan pada uterus yang tidak berkontraksi karena dapat menimbulkan
inversion uteri
Perasat Crede dapat dicoba sebelum meningkat pada pelepasan plasenta secara
manual.
B. MANUAL PLASENTA
Indikasi
Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada keadaan perdarahan pada kala tiga
persalinan kurang lebih 400 cc yang tidak dapat dihentikan dengan uterotonika dan masase,
retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti
forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir dan tali
pusat putus.7
Teknik Plasenta Manual
Sebelum dikerjakan, penderita disiapkan pada posisi litotomi. Keadaan umum penderita
diperbaiki sebesar mungkin, atau diinfus NaCl atau Ringer Laktat. Anestesi diperlukan kalau
ada constriction ring dengan memberikan suntikan diazepam 10 mg intramuskular. Anestesi
ini berguna untuk mengatasi rasa nyeri. Operator berdiri atau duduk dihadapan vulva dengan
salah satu tangannya (tangan kiri) meregang tali pusat, tangan yang lain (tangan kanan)
dengan jari-jari dikuncupkan membentuk kerucut.8
Gambar 2. Ujung jari menelusuri tali pusat, tangan kiri diletakkan di atas fundus
Melalui celah tersebut, selipkan bagian ulnar dari tangan yang berada di dalam antara
dinding uterus dengan bagian plasenta yang telah terlepas itu. Dengan gerakan tangan seperti
mengikis air, plasenta dapat dilepaskan seluruhnya (kalau mungkin), sementara tangan yang
di luar tetap menahan fundus uteri supaya jangan ikut terdorong ke atas. Dengan demikian,
kejadian robekan uterus (perforasi) dapat dihindarkan.8
Etiologi
Syok hemoragik pada pasien obstetrik/ginekologik dapat terjadi karena perdarahan akibat
abortus, kehamilan ektopik terganggu, cedera pada pembedahan, perdarahan antepartum,
perdarahan postpartum atau koagulopati. 11
Klasifikasi
1. Syok ringan, terjadi kalau perdarahan kurang dari 20% volume darah. timbul,
penurunan perfusi jaringan dan organ non vital. Tidak terjadi perubahan kesadaran,
volume urin yang keluar normal atau sedikit berkurang, dan mungkin (tidak selalu
terjadi asidosis metabolik).
2. Syok sedang, sudah terjadi penurunan perfusi pada organ yang tahan terhadap iskemia
waktu singkat (hati, usus, dan ginjal). Sudah timbul oliguri (urin <0,5 ml/kg BB/Jam)
dan asidosis metabolik, tetapi kesadaran masih baik
3. Syok berat, perfusi dalam jaringan otak dan jantung sudah tidak adekuat. mekanisme
kompensasi vasokonstriksi pada organ lainnya sudah tidak dapat mempertahankan
perfusi di dalam jaringan otak dan jantung. sudah terjadi anuria, penurunan kesadaran
(delirium, stupor, koma) dan sudah ada gejala hipoksia jantung. 11
Patofisiologi
Pada syok ringan terjadi penurunan perfusi darah tepi pada organ yang dapat bertahan lama
terhadap iskemia (kulit, lemak, otot, dan tulang). pH arteri normal. Pada syok sedang terjadi
penurunan perfusi sentral pada organ yang hanya tahan terhadap iskemia waktu singkat (hati,
usus, dan ginjal) terjadi asidosis metabolik. Pada syok berat sudah terjadi penurunan perfusi
pada jantung dan otak, asidosis metabolic berat, dan mungkin terjadi pula asidosis
respiratorik. 11
Gejala Klinik
1. Syok ringan, takikardi minimal, hipotensi sedikit, vasokonstriksi darah tepi ringan,
kulit dingin, pucat, basah. urin normal/ sedikit berkurang. keluhan merasa dingin
2. Syok sedang, takikardi 100-120 permenit, hipotensi dengan sistolik 90-100 mmHg,
oliguri/ anuria. keluhan haus
3. Syok berat, takikardi lebih dari 120 permenit, hipotensi dengan sistolik <60 mmHg,
pucat, anuri, agitasi, kesadaran menurun
Perdarahan postpartum adalah sebab penting kematian ibu ; dari kematian ibu yang
disebabkan oleh perdarahan ( perdarahan postpartum, plasenta previa, solution
plaentae, kehamilan ektopik, abortus dan ruptura uteri ) disebabkan oleh perdarahan
postpartum. Perdarahan postpartum sangat mempengaruhi morbiditas nifas karena
anemia mengurangkan daya tahan tubuh. Perdarahan postpartum diklasifikasikan
menjadi 2, yaitu :
1. Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrhage, atau
Perdarahan Postpartum Primer, atau Perdarahan Pasca Persalinan Segera).
Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama.
Penyebab utama perdarahan pasca persalinan primer adalah atonia uteri,
retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri.
Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2. Perdarahan masa nifas (PPH kasep atau Perdarahan Persalinan Sekunder
atau Perdarahan Pasca Persalinan Lambat, atau Late PPH). Perdarahan
pascapersalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca
persalinan sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim
yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.
1. GEJALA KLINIS
Gejala klinis berupa pendarahan pervaginam yang terus-menerus setelah bayi lahir.
Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita
pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lainlain. Penderita tanpa disadari dapat kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat
bila pendarahan tersebut sedikit dalam waktu yang lama.
terjadi di luar rumah sakit, perdarahan post partum merupakan sebab utama kematian
dalam persalinan.
Atonia uteri merupakan penyebab tersering dari pendarahan pasca persalinan. Sekitar
50-60% pendarahan pasca persalinan disebabkan oleh atonia uteri. Faktor-faktor
predisposisi atonia uteri antara lain :
1. Grandemultipara
2. Uterus yang terlalu regang (hidramnion, hamil ganda, anak sangat besar (BB >
4000 gram)
3. Kelainan uterus (uterus bicornis, mioma uteri, bekas operasi)
4. Plasenta previa dan solutio plasenta (perdarahan antepartum)
5. Partus lama (exhausted mother)
- Partus precipitatus
- Hipertensi dalam kehamilan (Gestosis)
- Infeksi uterus
- Anemi berat
6. Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi partus)
7.Riwayat PPH sebelumnya atau riwayat plasenta manual
8.Pimpinan kala III yang salah, dengan memijit-mijit dan mendorong-dorong uterus
sebelum plasenta terlepas
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih
aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri setinggi pusat
atau lebih dengan kontraksi yang lembek.
Penanganan atonia uteri yaitu :
1). Masase uterus + pemberian utero tonika (infus oksitosin 10 IU s/d 100 IU dalam
500 ml Dextrose 5%, 1 ampul Ergometrin I.V, yang dapat diulang 4 jam kemudian,
suntikan prostaglandin.
2). Kompresi bimanuil
Jika tindakan poin satu tidak memberikan hasil yang diharapkan dalam waktu yang
singkat, perlu dilakukan kompresi bimanual pada pada uterus. Tangan kiri penolong
dimasukkan ke dalam vagina dan sambil membuat kepalan diletakkan pada forniks
anterior vagina. Tangan kanan diletakkan pada perut penderita dengan memegang
fundus uteri dengan telapak tangan dan dengan ibu jari di depan serta jari-jari lain
dibelakang uterus. Sekarang korpus uteri terpegang dengan antara 2 tangan; tangan
kanan melaksanakan massage pada uterus dan sekalian menekannya terhadap tangan
kiri.
Gambar 1. Kompresi bimanual
3). Tampon utero-vaginal secara lege artis, tampon diangkat 24 jam kemudian.
Tindakan ini sekarang oleh banyak dokter tidak dilakukan lagi karena umumnya
dengan dengan usaha-usaha tersebut di atas pendarahan yang disebabkan oleh atonia
uteri sudah dapat diatasi. Lagi pula dikhawatirkan bahwa pemberian tamponade yang
dilakukan dengan teknik yang tidak sempurna tidak menghindarkan pendarahan
dalam uterus dibelakang tampon. Tekanan tampon pada dinding uterus menghalangi
pengeluaran darah dari sinus-sinus yang terbuka; selain itu tekanan tersebut
menimbulkan rangsangan pada miometrium untuk berkontraksi.
1. Robekan jalan lahir
Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan
pascapersalinan. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan
pascapersalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh
robekan serviks atau vagina.
1. Robekan serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang
multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan
serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen
bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun
plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi baik, perlu
dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks uteri. Setelah
persalinan buatan atau kalau ada perdarahan walaupun kontraksi uterus baik
dan darah yang keluar berwarna merah muda harus dilakukan pemeriksaan
dengan speculum. Jika terdapat robekan yang berdarah atau robekan yang
lebih besar dari 1 cm, maka robekan tersebut hendaknya dijahit. Untuk
memudahkan penjahitan, baiknya fundus uteri ditekan ke bawah hingga
cerviks dekat dengan vulva. Kemudian kedua bibir serviks dijepit dengan
klem dan ditarik ke bawah. Dalam melakukan jahitan robekan serviks ini yang
penting bukan jahitan lukanya tapi pengikatan dari cabang cabang arteria
uterine.
2. Perlukaan vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering
dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering
terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin
harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada
pemeriksaan spekulum.
Kolpaporeksis
Kolpaporeksis adalah robekan melintang atau miring pada bagian atas vagina.
Hal ini terjadi apabila pada persalinan yang disproporsi sefalopelvik terjadi
regangan segmen bawah uterus dengan servik uteri tidak terjepit antara kepala
janin dengan tulang panggul, sehingga tarikan ke atas langsung ditampung
oleh vagina, jika tarikan ini melampaui kekuatan jaringan, terjadi robekan
vagina pada batas antara bagian teratas dengan bagian yang lebih bawah dan
yang terfiksasi pada jaringan sekitarnya. Kolpaporeksis juga bisa timbul
1. Robekan perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak
jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi
di garis tengan dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat,
sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu
panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia
suboksipito bregmatika. Perdarahan pada traktus genetalia sebaiknya
dicurigai, ketika terjadi perdarahan yang berlangsung lama yang menyertai
kontraksi uterus yang kuat. Tingkatan robekan pada perineum:
Tingkat 1: hanya kulit perineum dan mukosa vagina yang robek
Perbedaan perdarahan pasca persalinan karena atonia uteri dan robekan jalan lahir
adalah :
Atonia Uteri
1. Kontraksi uterus lembek,
lemah dan membesar ( fundus
uteri masih tinggi)
2. Perdarahan terjadi beberapa
menit setelah anak lahir
3. Bila kontraksi lemah, setelah
masase atau pemberian
uterotonika, kontraksi yang
lemah tersebut menjadi kuat.
1. Retensio plasenta
Keadaan dimana plasenta belum lahir dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta:
1. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks;
kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari
uterus; serta pembentukan constriction ring.
2. Kelainan dari placenta dan sifat perlekatan placenta pada uterus.
3. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus
yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan
kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktu
1.
Tanya dan dengar :
1.
Kapan melahirkan ?
2.
Kapan mulai mengalami perdarahan?
3.
Berapa banyak perdarahan?
4.
Apakah plasenta sudah dilahirkan?
5.
Apakah ibu sudah diberi obat?
2.
Lihat dan Raba (Lihat tanda-tanda syok)
1.
Tekanan darah turun
2.
Kulit dingin dan lembab
3.
Denyut nadi lemah dan cepat
Segera setelah terlihat perdarahan:
1. Raba uterus untuk memastikan uterus keras dan berkontraksi
2. Lihat jalan lahir, apakah servik dan vagina robek?
3. Lihat plasenta (bila sudah lahir) secara teliti untuk memastikan bahwa
tidak ada bagian yang tertinggal
Penanganan Retensio Plasenta dengan plasenta manual
1. Sebaiknya pelepasan plasenta manual dilakukan dalam narkosis, karena relaksasi
otot memudahkan pelaksanaannya tertutama bila retensi telah lama, sebaiknya
juga dipasang infus NaCl 0,9% sebelu tindakkan dilakukan. Setelah disinfektan
tangan dan vulva termasuk daerah seputarnynya, labia dibeberkan dengan tangan
kiri sedangkan tangan kanan dimasukkan secara obstetrik ke dalam vagina.
2. Sekarang tangan kiri menahan fundus untuk mencegah kolporeksis. Tangan kanan
dengan posisi obstetrik menuju ostium uteri dan terus ke lokasi plasenta, tangan
dalam ini menyusuri tali pusat agar tidak terjadi salah jalan.
3. Supaya tali pusat mudah diraba, dapat diregangkan oleh asisten. Setelah tangan
dalam sampai ke plasenta, maka tangan tersebut dipindahkan ke pinggir plasenta
dan mencari bagian plasenta yang sudah lepas untuk menentukan bidang
pelepasan yang tepat. Kemudian dengan sisi tangan kanan sebelah kelingking
( ulner ), plasenta dilepaskan pada bidang antara bagian plasenta yang sudah
terlepas dan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dengan dinding rahim.
Setelah seluruh plasenta terlepas, plasenta dipegang dan dengan perlahan-lahan
ditarik keluar.
4. Kesulitan yang mungkin dijumpai pada waktu pelepasan plasenta secara manual
adalah adanya lingkaran kontriksi yang hanya dapat dilalui dengan dilatasi oleh
tangan dalam secara perlahan-lahan dan dalam nakrosis yang dalam. Lokasi
plasenta pada dinding depan rahim juga sedikit lebih sukar dilepaskan daripada
lokasi di dinding belakang. Ada kalanya plasenta tidak dapat dilepaskan secara
manual seperti halnya pada plasenta akreta, dalam hal ini tindakan dihentikan.
Setelah plasenta dilahirkan dan diperiksa bahwa plasenta lengkap, segera
lakukan kompresi bimanual uterus dan dapat disuntikkan Ergometrin 0.2 mg IM
atau IV sampai kontraksi uterus baik. Pada kasus retensio plasenta, resiko atonia
uteri tinggi, oleh karena itu harus dilakukan tindakan pencegahan perdarahan
postpartum.
4. Inversio Uteri
Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau seluruhnya masuk
ke dalam kavum uteri. Uterus dikatakan mengalami inverse jika bagian dalam menjadi diluar
saat melahirkan plasenta. Reposisi sebaiknya segera dilakukan dengan berjalannya waktu,
lingkaran konstriksi sekitar uterus yang terinversi akan mengecil dan uterus akan terisi darah.
Inversio uteri dapat menyebabkan pendarahan pasca persalinan segera, akan tetapi kasus
inversio uteri ini jarang sekali ditemukan. Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki
kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Inversio
uteri terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar.
Inversio uteri bisa terjadi spontan atau sebagai akibat tindakan. Pada wanita dengan atonia
uteri kenaikan tekanan intraabdominal dengan mendadak karena batuk atau meneran, dapat
menyebabkan masuknya fundus ke dalam kavum uteri yang merupakan permulaan inversio
uteri. Tindakan yang dapat menyebabkan inversio uteri adalah perasat Crede pada korpus
uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta yang belum
lepas dari dinding uterus.
Pada penderita dengan syok, perdarahan, dan fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang
lazim pada kala III atau setelah persalinan selesai, pemeriksaan dalam dapat menunjukkan
tumor yang lnak di atas serviks atau dalam vagina sehingga diagnosis inversio uteri dapat
dibuat. Pada mioma uteri submukosum yang lahir dalam vagina terdapat pula tumor yang
serupa, akan tetapi fundus uteri ditemukan dalam bentuk dan pada tempat biasa, sedang
konsistensi mioma lebih keras daripada korpus uteri setelah persalinan. Selanjutnya jarang
sekali mioma submukosum ditemukan pada persalinan cukup bulan atau hampir cukup
bulan.
Walaupun inversio uteri kadang-kadang bisa terjadi tanpa gejala dengan penderita tetap
dalam keadaan baik, namun umumnya kelainan tersebut menyebabkan keadaan gawat dengan
angka kematian tinggi (15-70%). Reposisi secepat mungkin memberi harapan yang terbaik
untuk keselamatan penderita.
Pembagian inversion uteri :
1. Inversio uteri ringan : fundus uteri terbalik menonjol ke dalam kavumuteri namun
belum keluar dari ruang rongga rahim.
2. Inversio uteri sedang : terbalik dan sudah masuk ke dalam vagina.
3. Inversio uteri berat : uterus dan vagina semuanya terbalik dan sebagian sudah
keluar vagina.
tumor lunak.
Kavum uteri sudah tidak ada (terbalik).
Penanganan inversio uteri :
1. Pencegahan : hati-hati dalam memimpin persalinan, jangan terlalu
mendorong
rahim atau melakukan perasat Crede berulang-ulang dan hati-hatilah dalam
menarik tali pusat serta melakukan pengeluaran plasenta dengan tajam.
2. Bila telah terjadi maka terapinya :
Bila ada perdarahan atau syok, berikan infus dan transfusi darah serta
perbaiki
keadaan umum.
Segera itu segera lakukan reposisi kalau perlu dalam narkosa.
Bila tidak berhasil maka lakukan tindakan operatif secara per abdominal
(operasi Haultein) atau per vaginam (operasi menurut Spinelli).
Di luar rumah sakit dapat dibantu dengan melakukan reposisi ringan yaitu
dengan tamponade vaginal lalu berikan antibiotik untuk mencegah infeksi.
1. PENANGANAN PERDARAHAN PASCAPERSALINAN
Penanganan perdarahan pasca persalinan pada prinsipnya adalah hentikan perdarahan,
cegah/atasi syok, ganti darah yang hilang dengan diberi infus cairan (larutan garam
fisiologis, plasma ekspander, Dextran-L, dan sebagainya), transfusi darah, kalau perlu
oksigen. Walaupun demikian, terapi terbaik adalah pencegahan. Mencegah atau
sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus kasus yang disangka akan terjadi
perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu
bersalin, namun sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan "antenatal care"
yang baik. Ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan post partum
sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit. Di rumah sakit, diperiksa kadar fisik,
keadaan umum, kadar Hb, golongan darah, dan bila mungkin tersedia donor darah.
Sambil mengawasi persalianan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan
penguat rahim.
Anemia dalam kehamilan, harus diobati karena perdarahan dalam batas batas normal
dapat membahayakan penderita yang sudah menderita anemia. Apabila sebelumnya
penderita sudah pernah mengalami perdarahan post partum, persalinan harus
berlangsung di rumah sakit. Kadar fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan
banyak, kematian janin dalam uterus, dan solutio plasenta.
Dalam kala III, uterus jangan dipijat dan didorong kebawah sebelum plasenta lepas
dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah perdarahan
pascapersalinan. Sepuluh satuan oksitosin diberikan intramuskular segera setelah anak
lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir, hendaknya
diberikan 0,2 mg ergometrin, intramuskular. Kadang-kadang pemberian ergometrin
setelah bahu depan bayi lahir pada presentasi kepala menyebabkan plasenta terlepas
segera setelah bayi seluruhnya lahir; dengan tekanan pada fundus uteri, plasenta dapat
dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari
pemberian ergometrin setelah bahu bayi lahir adalah terjadinya jepitan (trapping)
terhadap bayi kedua pada persalinan gameli yang tidak diketahui sebelumnya. Pada
perdarahan yang timbul setelah anak lahir, ada dua hal yang harus segera dilakukan,
yaitu menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan.
Tetapi apabila plasenta sudah lahir, perlu ditentukan apakah disini dihadapi
perdarahan karena atonia uteri atau karena perlukaan jalan lahir. Pada perdarahan
yang disebabkan oleh atonia uteri, dengan segera dilakukan massage uterus dan
suntikan 0,2 mg ergometrin intravena.