Anda di halaman 1dari 17

2

Ketika mulai menginjak usia 10 tahun, ia membantu ayahnya bekerja di


sawah atau di kebun. Jarang sekali ia hanya diam ataupun bermain. Bahkan
kadang ia membantu mencangkul sawah ibu Mariamin.
Mariamin mulai bersekolah ketika berumur 7 tahun. Sekarang Mariamin
duduk di kelas 2 sedangkan Aminuddin di kelas 4. Jika sekolah telah usai,
keduanya pulang ke rumah bersama-sama. Saat pukul 7 pagi Mariamin sudah di
depan rumah Aminuddin supaya dapat pergi ke sekolah bersama-sama. Kedua
anak itu benar-benar sangat kuat tali persaudaraannya.
Pada suatu petang, ketika mereka sedang di sawah, Mariamin yang sedang
menyiangi sawah padinya dipanggil oleh Aminuddin dari atas sawah. Karena hari
sudah semakin gelap dan hujan akan turun, ia berusaha membujuk Mariamin
untuk pulang. Namun, Mariamin ingin menyelesaikan pekerjaannya terlebih
dahulu. Aminuddin pun menurutinya. Bahkan, ia membantunya menyiangi sawah
tersebut.
Langit pun makin lama makin gelap karena tertutup awan yang tebal. Hari
yang terang itu pun menjadi kelam. Suara guruh terdengar perlahan. Tetapi kedua
anak itu masih asyik bekerja.
Mereka sudah berada di sebuah pondok kecil ketika huja turun dengan
lebat dengan diiringi kilat dan suara guruh yang menderu-deru. Dengan sabar
kedua anak itu duduk menunggu hujan reda. Selama mereka duduk, sudah
beberapa kali Mariamin memandang wajah Aminuddin dan merasa heran melihat

Aminuddin hanya diam saja dan terlihat bimbang. Karena penasaran Mariamin
pun menanyakan hal tersebut. Setelah dibujuk ia pun mengatakannya bahwa
Aminuddin merasa merinding dan hatinya berdebar, mungkin akan ada bahaya
yang datang. Mendengar itu, Mariamin ketakutan. Tetapi, ditenangkan kembali
oleh Aminuddin agar jangan takut. Ia juga menghiburnya dengan menceritakan
beberapa kisah.
Selesai bercerita, mereka pun pulang ke rumah meskipun hujan belum
benar-benar berhenti. Tidak lama, mereka pun sampai di tepi sungai yang akan
mereka seberangi. Mariamin terkejut melihat sungai itu banjir. Air yang penuh
dengan buih itu mengalir dengan deras dan menghanyutkan batu dan kayukayuan.

Meskipun

begitu,

karena

hari

sudah

gelap

ia

harus

tetap

menyeberanginya.
Aminuddin menyeberang duluan, jika sudah sampai seberang barulah
Mariamin yang menyeberang. Akan tetapi, ketika baru pertengahan Aminuddin
menyeberang Mariamin sudah mengikuti dari belakang. Tiba-tiba terdengar suara
Mariamin menjerit. Ia meminta tolong. Dengan sekejap, dilihatnya Mariamin
jatuh ke air. Cangkul dibahunya pun dilemparkannya setelah bajunya dilepaskan.
Lalu, Aminuddin melompat ke dalam air hendak menyusul Mariamin yang telah
hanyut oleh derasnya banjir. Aminuddin berenang sekuat-kuatnya berusaha
menolong gadis malang tersebut.
Makin lama suara Mariamin makin tidak terdengar, dengan sedih dan
hampir putus asa ia tetap berenang mencarinya. Meskipun ia mati, ia tidak akan

keluar dari sungai itu sebelum menemukan Mariamin, begitulah pikirnya. Sekilas
terlihat Mariamin mengapung sebentar. Dengan cepat ia pun menangkap gadis itu,
lalu didekapnya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya berenang.
Meskipun ia sudah kepayahan, kedinginan dan tenaganya hampir habis, ia
berenang perlahan-lahan. Lalu, membawa Mariamin ke sebuah pondok terdekat.
Kemudian, ia berlari ke rumah untuk memberitahukan orang tua Mariamin
tentang hal tersebut. Semua orang terkejut mendengar kabar tersebut lalu berlari
ke pondok. Dengan pertolongan orang-orang kampung, gadis kecil itu pun
akhirnya sadar.
Empat belas hari lamanya Mariamin baru sembuh dan dapat bersekolah
kembali. Sejak kecelakaan itu, persahabatan Mariamin dan Aminuddin lebih kuat
lagi. Mariamin pun selalu merasa bahwa ia berutang nyawa kepada Aminuddin
yang telah mengorbankan nyawanya sendiri untuk menyelamatkannya.
Kisah sedih Mariamin bermula setelah kematian ayahnya, Sutan Barigin.
Sebelum ayahnya meninggal, kehidupan mereka serba berkecukupan, tak kurang
suatu apa pun. Rumah bagus, sawah yang luas, binatang ternak juga banyak.
Semua harta yang banyak itu akhirnya lenyap habis. Harta yang habis itu
diakibatkan oleh perilaku Sutan Barigin itu sendiri. Sutan barigin memiliki sifat
tamak, rakus, keras kepala, tidak peduli pada istri serta mudah terkena hasutan
orang lain. Ini semua karena cara didik yang salah oleh orang tua Sutan Baringin.
Orang tua Sutan Baringin termasuk golongan orang berada dan Sutan Baringin
merupakan anak tunggal Karenanya, setiap Sutan Baringin meminta sesuatu pasti

dituruti oleh orang tuanya. Meskipun ia salah ataupun kelakuannya tidak baik,
namun sangat jarang dimarahi. Jika ayahnya marah kepadanya, ibunya akan
datang dan membela anaknya, jadilah ia anak yang manja dan buruk tabiatnya.
Ketika anak itu semakin besar, tabiat yang buruk semakin menjalar di hatinya.
Ketika Sutan Baringin tumbuh semakin besar, ibunya mulai
berpikiran untuk memperistrikannya dengan seorang wanita. Wanita itu bernama
Nuria, adalah seorang perempuan yang mempunyai perilaku yang baik. Ia adalah
seseorang yang penyabar dan tutur bahasanya lemah lembut, pengiba ramah, serta
menghormati orang. Sangat berkebalikan dengan Sutan Baringin yang sifatnya
pemarah dan perkataannya tidak menyenangkan hati bagi orang yang
mendengarnya, bengis, angkuh, dan sangat tinggi hati, tidak hormat kepada orang
lain. Meskipun Sutan Baringin kurang menyayangi istrinya itu, namun Nuria tidak
akan meminta talak kepada suaminya tersebut. Justru malah menyembunyikan hal
tersebut dari orang lain. Hal ini membuktikan adat Batak bahwa perkawinan
disana sangat kukuh. Sangat jarang orang yang berumah tangga mengalami
perceraian. Selain itu, bagi perempuan yang bercerai hal tersebut akan mencoreng
namanya dan tidak akan ada yang mau menikahinya lagi. Karena apa yang
dipikirkan orang tentang perempuan yang seperti itu adalah seorang perempuan
yang tidak setia kepada suaminya.
Sudah sepuluh tahun lamanya Sutan Baringin dan istrinya bersama-sama,
mereka pun memiliki anak. Yang sulung adalah seorang perempuan bernama
Mariamin. Sedangkan yang bungsu adalah seorang laki-laki. Dari luar terlihat

kehidupan Sutan Baringin dan keluarganya benar-benar terlihat bahagia. Namun,


itu semua sangat berbeda dengan yang terjadi sesungguhnya. Apalagi setelah ibu
Sutan Baringin meninggal, Sutan Baringin semakin bebas melakukan hal yang
diinginkannya karena tidak ada lagi yang akan menasihatinya.
Awal mulanya, Sutan Baringin sering keluar malam. Dan kebiasaan itu
semakin sering terjadi semenjak ibunya meninggal. Pernah pada suatu malam, ia
tidak pulang sama sekali.
Malam itu sangat dingin. Angin berhembus kencang bercampur dengan
hujan dan petir yang menggelegar. Sutan baringin belum pulang ke rumah. Nuria,
istrinya sudah memejamkan matanya dan membulatkan pikirannya untuk tidur,
namun ia tidak bisa tertidur juga. Jika ia sudah mulai tertidur, tiba-tiba ia
terperanjat dan bangun kembali. Ia duduk sebentar untuk memikirkan sebabnya.
Pada akhirnya karena lelah, ia pun tertidur juga. Lalu ia pun bermimpi. Di dalam
mimpinya itu ada matahari sedang bersinar cerah, tiba-tiba ditutupi awan yang
sangat hitam dan tebal. Puncak-puncak gunung yang tinggi itu sudah tidak terlihat
lagi dan seluruh Sipirok tertutup kabut. Perlahan-lahan terdengar suara guruh
yang semakin dekat dan keras, sedang gunung Sibualbuali mengeluarkan asap
yang bergumpal. Tanah pun bergetar karena gempa. Banyak orang berlarian
karena merasa akan ada bahaya besar yang datang. Begitu pula dengan Nuria,
seraya membawa kedua anaknya ia berlari keluar rumah. Lalu terlihat olehnya
tanah dibawah rumahnya merekah dan terbentuk lubang. Rumah mereka pun jatuh
ke dalam lubang tersebut. Ia terkejut dan menangis karena suaminya, Sutan

Baringin masih di dalam rumah tersebut. Lalu, tanah itu pun kembali tertutup dan
rumah mereka terkubur di dalamnya. Pada saat itu juga terdengar suara yang
sangat keras yang berasal dari gunung Sibualbuali yang meletus. Asap dan
belerang cair yang mengalir membinasakan semua yang dilaluinya, termasuk
sawah dan ladang Nuria. Akan tetapi, ia dan anaknya sempat melarikan diri.
Tiba-tiba ia terbangun dari tidurnya. Hatinya gundah gulana, karena ia
tidak mengerti akan takwil mimpinya itu.
Ibu mariamin menunggu suaminya datang, supaya dapat sarapan bersamasama. Sutan Baringin baru datang dari kantor pos, membawa sebuah bungkusan
kiriman dari Deli. Itulah sebabnya ia datang terlambat. Kiriman itu adalah sebuah
kain yang diiringi sepucuk surat dari Baginda Mulia bahwa ia akan pindah ke
Sipirok. Dalam sepuluh hari ia akan berangkat dari Binjai dan akan tiba dalam
sebulan.
Meskipun Sutan Baringin termasuk orang yang kaya di seantero penduduk
Sipirok, namun ia sangat suka mencari perkara. Harta warisan yang seharusnya
dibagikan kepada saudara yang berbeda nenek yaitu Baginda Mulia, tetapi Sutan
Barigin tidak mau membaginya. Bukannya malah senang akan berita tersebut,
Sutan Baringin justru berpikir lain. Ia berpikir bahwa kedatangan adiknya tersebut
untuk meminta sawah bagiannya tersebut untuk meminta sawah bagiannya
tersebut serta menagih utangnya. Begitulah pikirnya, kain yang mahal dan bagus
itu tidak dipedulikannya. Pikiran yang buruk itu timbul dalam hatinya. Padahal
Baginda Mulia memandang Sutan Baringin sebagai saudara yang sangat

dicintainya, akan tetapi ia dipandang Sutan Baringin sebagai orang yang


menyusahkannya.
Hati cemburu, loba, tamak, dan dengki, yang sudah tertanam dalam
dirinya itulah yang akan merusak dirinya.
Ketika ayah Baginda Mulia masih muda, ia pergi merantau ke Deli, karena
pada zaman itu pekerjaan sangat mudah di Sumatra Timur. Orang yang pandai
menulis tidak sulit mendapat gaji yang besar dan sangat mudah dicari. Banyak
jalan menjadi orang kaya, karena pada waktu itu Deli masih baru, kebun banyak
dibuka dan pencarian pekerja sangat banyak. Sedang masih banyak anak yang
belum bersekolah. Baginda Mulia juga mengikuti jejak ayahnya. Setelah berusia
15 tahun, ia merantau ke Deli. Ia lebih beruntung dari ayahnya. Berkat usahanya,
ia dapat bekerja menjadi guru di sebuah sekolah Desa. Kemudian ia ditempatkan
di sekolah Gubernemen. Namun, setelah sekian lama merantau ia merasa jemu
dan ingin pulang ke kampung halamannya. Ia tidak mempunyai kakak atau adik
kandung. Oleh sebab itu, ia menganggap Sutan Baringin sebagai kakak
kandungnya. Saat kesulitan maupun kesedihan, mereka selalu berkirim surat.
Baginda Mulia berbuat demikian karena cinta akan saudara, sedangkan Sutan
Baringin karena tipu muslihat.
Surat yang dikirim oleh Baginda Mulia kepada Sutan Baringin dengan hati
yang tulus justru menimbulkan efek yang buruk pada Sutan Baringin. Ekspresi
wajahnya masam, dahinya berkerut, seperti sedang berpikir. Hanya suara iblis
yang berbisik di dalam hatinya saja yang didengarnya. Istrinya datang dan

membaca surat tersebut. Ia pun senang akan berita tersebut. Ia juga memuji kain
kiriman Baginda Mulia. Pujian itu tidak diindahkan oleh Sutan Baringin karena ia
sedang sibuk berpikir. Kemudian ia pun berkata bahwa Baginda Mulia tidak dapat
dipercayai. Karena tutur katanya manis, sehingga tidak ada yang tahu maksud
jahat di dalamnya. Istrinya pun heran akan perkataan suaminya tersebut. Ia tidak
menyangka suaminya memiliki prasangka seburuk itu terhadap saudaranya
sendiri. Istrinya

pun menasihatinya. Akan tetapi, malah menyebabkan

pertengkaran diantara mereka.


Sutan Baringin pun pergi menemui Marah Sait, sahabatnya. Lalu, ia
menceritakan tentang rencana kedatangan Baginda Mulia ke Sipirok. Marah Sait
pun memberikan saran kepada Sutan Baringin. Ia pun menurutinya. Sayangnya,
itu bukanlah saran yang baik. Marah Sait hanyalah seseorang yang hanya
memanfaatkan uang Sutan Baringin dan berkata tanpa alasan.
Sesampainya Baginda Mulia dari Deli. Sutan Baringin sungguh-sungguh
mengacuhkannya, menyapa dengan sepatah kata pun tidak. Baginda Mulia pun
memikirkan jalan untuk menyadarkan Sutan Baringin.
Ditengah hujan rintik-rintik, malam itu pun Baginda Mulia pergi ke rumah
kakaknya tersebut. Ia ingin mengajak Sutan Baringin bermusyawarah. Dengan
tutur kata yang halus dan perlahan-lahan ia membujuknya. Tetapi apa daya, iblis
telah tumbuh dan berkembang dalam hati Sutan Baringin. Ia menjawab perkataan
adiknya tersebut dengan kata-kata yang penuh prasangka buruk.

10

Setelah satu bulan lamanya, perkara itu pun sampai ke tangan pengadilan
di Padangsidempuan. Pada masa itu asisten residenlah yang menjadi kepala
pengadilan tersebut. Pada hari yang ditentukan, dibukalah perkara Sutan Baringin
dan Baginda Mulia. Pertama-tama kepala pengadilan memberi nasihat supaya
mereka berdua berdamai saja. Akan tetapi, Sutan Baringin tetap tidak ingin
berdamai.
Setelah tiga hari, keputusan pun dikeluarkan. Tentu saja Sutan Barigin
kalah, Karena Baginda Mulia adalah saudaranya dan berhak mendapatkan separuh
dari warisan neneknya.
Sutan Baringin meminta saran dari Marah Sait lagi. Ia pun minta banding
lagi ke Pengadilan Tinggi di Padang. Berapa ratus kerugian sudah tidak
dipedulikannya. Bujukan Marah Sait amat manis. Ibu Mariamin di rumah
melakukan apa yang diperintah suaminya, menjual sawah lalu mengirimkan
uangnya segera.
Ia kalah di Pengadilan Tinggi di Padang lalu minta banding lagi ke
Pengadilan tertinggi di Jakarta.
Ia kalah lagi dan baru mengerti sekarang perkataan istrinya yang baik hati
itu, kebenaran nasihat kaunya, dan kebenaran kepala pengadilan Sipirok.
Sekarang tidak terhingga rasa menyesalnya, karena ia menolak permintaan
saudaranya dan mengusirnya malam itu. Sekarang ia pulang ke kampungnya
seorang diri, Karena Marah Sait mengambil jalan yang lain untuk meninggalkan

11

Sutan Baringin. Habis manis sepah dibuang, itulah perbuatan Marah Sait pada
dirinya.
Dengan hati yang tidak pasti istrinya menunggu kedatangan suaminya.
Sekarang harta benda mereka sudah habis terjual ke pembayar hutang. Dulu
mereka tinggal di sebuah rumah besar, sekarang mereka hanya tinggal di sebuah
rumah bambu kecil di pinggir sungai.
Sutan Baringin tidur di atas sebuah tikar pandan. Bantal hanya ada sebuah
dan hanya diselimuti selimut tua yang sudah terkoyak. Kurus dan pucat orang
tersebut, seperti halnya orang yang sedang sakit. Matanya dipejamkan, tetapi ia
tidak tertidur. Napasnya kencang. Peluhnya mengalir di wajahnya, sebentarsebentar dihapus oleh istrinya. Dengan suara yang mengeluh orang tersebut
meminta air untuk memuaskan dahaganya.
Sutan Baringin yang sedang sakit itu merasa kesal serta sedih, melihat
wajah yang muram serta air mata yang berlinang-linang, hancurlah hati laki-laki
yang keras kepala itu. Matanya dipejamkannya kembali sambil mengenang
perbuatannya yang telah berlalu.
Asal mula penyakit Sutan Baringin itu adalah karena kesedihan yang
sangat mendalam. Ia lebih baik mati daripada menanggung malu dan kemelaratan
yang besar tersebut.
Ia merasa ajalnya semakin mendekat, ia pun memanggil istrinya dan anakanaknya untuk mendekat dan mendengarkan perkataannya untuk yang terakhir.

12

Dia menyampaikan rasa penyesalannya yang sangat besar di dalam kata-katanya.


Selesai berkata-kata, ia menyuruh istrinya mendekatkan telinganya ke mulutnya.
Sutan Baringin mengucapkan selamat tinggal untuk yang terakhir kali. Setelah itu,
ia menarik napas yang panjang. Kaki dan tangannya sudah tidak bergerak lagi,
dadanya tidak naik turun lagi. Namun, ia sempat dapat membuka mata sesaat.
Setelah itu, matanya kembali terpejam. Saat itulah, nyawanya sudah benar-benar
pergi dari tubuhnya.
Senja itu, seorang perempuan muda sedang duduk di sebelah rusuk rumah
yang beratap ijuk dekat sungai yang mengalir di tengah-tengah kota Sipirok. Ia
sedang memandangi pohon beringin di tepi sungai tersebut. Meskipun ia sedang
memandangi pohon tersebut namun, pikirannya melayang entah kemana. Ia
sedang menunggu kehadiran seseorang dan bertanya-tanya keberadaan orang
tersebut di benaknya.
Seorang pemuda menghampiri gadis itu. Ia bertanya pada gadis itu sambil
memanggil namanya. Perempuan itu terkejut seraya memandang pemuda itu.
Rupanya pemuda itu adalah Aminuddin, orang yang sedang ditunggu oleh gadis
itu, Mariamin. Terpancar kesedihan pada raut wajah pemuda itu. Mariamin pun
bertanya adakah masalah yang menimpa Aminuddin. Setelah dibujuk oleh
Mariamin, Aminuddin pun mengatakan masalahnya. Aminuddin akan pergi ke
Deli untuk mencari pekerjaan agar dapat menikahi Mariamin. Mendengar hal
tersebut, Mariamin pun sangat sedih mendengarnya. Ia tidak pernah menyangka

13

bahwa ia akan berpisah dengan orang yang paling dikasihinya tersebut. Sampaisampai ia menangis karenya.
Hari semakin gelap, suara adzan isya mulai bergema. Aminuddin pun
pergi setelah menanyakan keadaan ibu Mariamin. Kemudian, Mariamin masuk ke
dalam rumahnya. Ia menemui ibunya yang sakit dan melihat keadaanya. Ketika
mereka makan, ibunya melihat ada masalah yang sedang menimpa Mariamin.
Ketika ditanya oleh ibunya, Mariamin hanya tersenyum.
Ketika di kamar, Mariamin tidak kuasa menahan kesedihannya. Tangisnya
pun pecah. Setelah air matanya surut, ia mulai memikirkan makna dari kata-kata
Aminuddin. Tiba-tiba terdengar suara ibunya dari pintu. Rupanya si ibu terjaga
dari tidurnya dan melihat cahaya lampu yang datang dari pintu bilik Mariamin. Ia
mendengar suara Mariamin sedang berkeluh kesah. Mariamin pun menceritakan
hal yang sebenarnya tentang Aminuddin kepada ibunya.
Sepeninggalnya Aminuddin ke Deli, Mariamin tetap menjalani kehidupan
sehari-harinya dengan membantu ibunya. Meskipun umurnya sudah cukup untuk
berkeluarga, ia belum mau menikah karena ia masih menunggu kembalinya
Aminuddin. Bahkan beberapa orang pemuda yang datang melamarnya pun ia
tolak. Jika Mariamin dan ibunya sedang bercakap-cakap tentang Aminuddi, maka
akan menimbulkan rasa rindu yang mendalam pada dirinya. Perkataan
Aminuddin ketika akan berpisah seolah-olah terbayang lagi olehnya. Apalagi
mereka juga berjabat tangan dengan air mata yang bercucuran dan berjanji tidak
saling melupakan.

14

Meskipun berada dalam jarak yang jauh, Aminuddim dan Mariamin


sering surat-menyurat dan saling mengabarkan keadaan satu sama lain.
Aminuddin juga menulis surat kepada ayahnya, kepala kampung dusun A. Dalam
surat itu, ia meminta orang tuanya untuk mencarikannya perempuan untuk
menjadi istrinya. Dan perempuan yang dimaksud adalah Mariamin. Karena hanya
gadis itu saja yang diinginkannya. Ia menulis pula sepucuk surat untuk Mariamin
yang isinya bahwa mereka akan bertemu dalam waktu dekat. Selambat-lambatnya
dua bulan lagi mereka akan bersama-sama seperti dulu. Surat itu pun sampai di
tangan Mariamin. Ia menerimanya dengan gembira. Terlihat sukacita dalam
dirinya terkenang akan kekasihnya.
Orang tua Aminuddin dengan besar hati menerima kabar yang baik itu.
Anaknya sudah mendapatkan pekerjaan dan memiliki gaji yang cukup. Dulu ia
tidak ingin menikah tapi, sekarang ia sendiri yang memintanya. Ibu Aminuddin
sangat riang mendengar surat yang dibacakan suaminya itu. Mereka pun sepakat
untuk mencarikannya seorang istri. Tapi sayangnya sang ayah tidak setuju untuk
menikahkan anaknya dengan Mariamin. Menurutnya, karena mereka adalah orang
yang kaya, apalagi ia adalah seorang kepala kampung yang disegani. Sementara,
Mariamin hanyalah orang miskin dan tidak pantas untuk menjadi istri
Aminuddin. Istrinya sudah mencoba membujuknya supaya menuruti keinginan
anaknya. Kalau Mariamin telah menjadi menantunya, tentu akan ada perubahan
pada status kemiskinan Mariamin, begitulah pikir ibu Aminuddin. Akan tetapi,
suaminya tetap saja tidak setuju dengan istrinya tersebut. Namun, ia tidak dapat
menolaknya. Setelah seminggu berlalu, ayah Aminuddin mengusulkan agar

15

meminta saran ke dukun Naserdung. Keesokan harinya, mereka pun pergi ke


tempat dukun tersebut. Dukun itu mengatakan nasib yang buruk jika Aminuddin
menikah dengan Mariamin. Karena perkataan dukun tersebut, ibu Aminuddin
akhirnya menuruti suaminya.
Sementara itu di rumahnya, Mariamin sedang menanti-nanti kedatangan
ayah Aminuddin. Sejak menerima surat Aminuddin, ia mulai menyiapkan hal
yang diperlukan. Seperti pakaian, seprai, maupun mengayam tikar. Ia hanya
menunggu dan menunggu tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang.
Orang tua Aminuddin yang telah bermusyawarah tentang calon istri
Aminuddin pun sepakat bahwa mereka akan menikahkan anknya dengan seorang
gadis bermarga Siregar. Gadis itu adalah seorang anak kepala kampung yang tidak
jauh dari Sipirok. Setelah ditentukan harinya, anak gadis itu pun dijemput dan
dibawa ke rumah ayah Aminuddin, supaya esok atau lusa dapat langsung
berangkat ke Deli. Hal ini dilakukan secara rahasia agar tidak ketahuan oleh
Mariamin dan ibunya. Baginda Mulia dan gadis itu pergi ke Deli dan akan sampai
disana lima hari kemudian. Baginda Mulia juga mengirim surat kepada
Aminuddin bahwa ia membawa calon istrinya dan memintanya untuk menjemput
mereka di stasiun.
Hari yang telah dinantikan pun tiba. Sehabis mandi dan berpakaian,
Aminuddin pun pergi ke stasiun terdekat, yaitu satsiun Pulau Berayan dengan
menggunakan sado. Ia juga ditemani oleh kerabatnya, sepasang suami istri. Pada
pukul sepuluh pagi, kereta api yang ditunggu-tunggu pun akhirnya datang.

16

Seketika terlihat ayahnya turun dari kereta. Ia langsung berlari menghampirinya.


Ayahnya membawa seorang gadis yang cantik. Tapi, itu bukan Mariamin. Sedih
dan pilu, kesal dan kecewa yang didapat oleh hati pemuda itu dari pertemuan
tersebut. Pada akhirnya, Aminuddin terpaksa mengikuti perkataan ayahnya. Ia
tidak bisa menolaknya karena akan mempermalukan keluarganya jika seorang
gadis yang telah dijemput ayahnya itu dikembalikan lagi kepada orang tuanya.
Aminuddin lalu menulis surat kepada Mariamin untuk memberi tahukan hal
tersebut sekaligus menyampaikan rasa menyesal yang amat dalam.
Surat itu pun sampai di tangan Mariamin. Belum habis membaca surat
tersebut, wajah Mariamin berubah pucat dan peluhnya mengalir di seluruh
tubuhnya. Lalu, ia pun pingsan. Bahkan gadis itu sempat sakit karena surat
tersebut. Wajahnya yang gembul sekarang berubah kurus dan pucat. Cahaya di
matanya juga sudah redup.
Setelah Mariamin sembuh, Baginda Mulia datang bersama istrinya dengan
membawa nasi bungkus ke rumah Mariamin. Dengan wajah yang ramah,
Mariamin melayani tamunya tersebut. Ada rasa menyesal dalam diri ayah
Aminuddin melihat budi pekerti gadis miskin tersebut. Ia menyesal karena
merasa telah merenggut kebahagiaan Aminuddin dan Mariamin. Maksud
kedatangan Baginda Mulia adalah untuk meminta maaf dan berjanji bahwa tali
persaudaraan diantara kedua keluarga tersebut akan bertambah erat. Setelah itu,
para tamu itu pun mohon diri untuk pergi.

17

Sudah berlalu lamanya semenjak kabar perjodohan Aminuddin. Mariamin


lebih sibuk bekerja daripada yang biasanya, seolah-olah melakukan persediaan
untuk perjalanan. Hanya saja ia tidak dengan senang hati melakukan
pekerjaannya, ada kebimbangan di hatinya karena ia akan dinikahkan dengan
seorang pemuda dari Padangsidempuan. Meskipun Mariamin telah merasakan
nasib buruk yang akan menimpanya dalam perkawinan tersebut namun, ia tidak
kuasa menolaknya karena itu adalah permintaan ibunya.
Orang yang menjadi suami Mariamin itu pekerjaanya kerani yang bernama
Kasibun. Raut wajahnya panjang, sedikit kurus, hidungnya pendek dan bibirnya
tebal, cahaya matanya tajam dan berkilat-kilat yang menyatakan bahwa ia pintar
dan cerdik, tetapi pintar dan cerdik dalam tipu daya. Setelah tinggal dengan
bersama Kasibun, Mariamin mengetahui kalau Kasibun mengidap penyakit
berbahaya dan bisa menular. Oleh sebab itu, Mariamin berusaha melindungi
dirinya sekuat mungkin agar tidak terkena penyakit tersebut.
Suatu hari, Aminuddin datang ke rumah Mariamin. Mariamin yang
teringat kembali akan lukanya itu tidak kuasa menahan pedih di hatinya dan
akhirnya jatuh pingsan. Setelah sadar, Mariamin melihat Aminuddin menangis
yang akhirnya membuatnya ikut menangis juga. Mereka pun bercakap-cakap
sebentar. Pukul setengah dua belas, Aminuddin pergi dari rumah tersebut.
Matanya basah oleh air mata karena pertemuan itu adalah pertemuan yang terakhir
kalinya bagi mereka.

18

Sementara itu, pikiran jahat mulai timbul dalam benak Kasibun, terlebih
setelah ia mendengar bahwa Aminuddin datang ke rumahnya tatkala ia sedang
berada di kantor. Sejak saat itu, ia sangat membenci Mariamin. Pertengkaran pun
kerap terjadi, bahkan Kasibun tidak segan-segan menganiaya Mariamin.
Pada suatu pagi, Mariamin pergi dari rumah tersebut. Ia berlari ke jalan
besar, lalu naik kereta yang ada di sana dan menuju kantor polisi. Sesampainya
disana, ia dibawa ke hadapan menteri polisi dan menceritakan semua perbuatan
buruk suaminya padanya.
Setelah diperkarakan, Kasibun yang jahat itu hanya didenda 25 rupiah dan
pernikahan mereka pun diceraikan. Setelahnya, Mariamin terpaksa pulang ke
kampung halamannya dengan membawa nama yang tercemar, rasa malu,
menambah azab dan sengsara bagi dirinya dan ibunya sampai akhir hayatnya.

Anda mungkin juga menyukai