Anda di halaman 1dari 12

1

BAB II TEORI REAKSI KIMIA TERKAIT KINETIKA KIMIA

Seperti telah disebut pada Bab I bahwa sasaran pokok daripada aspek
teoritis kinetika kimia adalah perhitungan laju dari reaksi reaksi yang
mendasarkan pada suatu pengetahuan laju dari reaksi reaksi yang mendasarkan
pada suatu pengetahuan tentang sifat sifat dasar daripada molekul molekul
pereaksi. Sifat sifat itu antara lain: massa, dan sebagainya. Ada dua pendekatan
teoritik dalam menjelaskan laju reaksi, yaitu Teori Tumbukan (collision theory)
dan Teori Laju Reaksi Absolut atau Teori Keadaan Peralihan (transisi).

A. TEORI TUMBUKAN
Teori tumbukan didasarkan atas teori kinetika gas. Misalnya, dipelajari
reaksi reaksi sederhana (elementer) bimolekul yang secara umum digambarkan:
A + B hasil reaksi . . . . (2. 1)
Berdasarkan teori kinetika gas, laju reaksi per satuan waktu antara dua jenis
molekul, A dan B, sama dngan jumlah tumbukan yang terjadi per satuan waktu
antara kedua jenis molekul trsebut.
Anggapan dasar teori tumbukan bagi reaksi 2. 1 di atas adalah:
a. Tiap molekul pereaksi A dan B dianggap sebagai bola, masing masing
dengan diameter A dan B, dengan massa mA dan mB.
b. Tiap tumbukan yang berlangsung antar A dan B menghasilkan suatu reaksi.
Menurut teori kinetika gas jumlah tumbukan tersebut adalah:
{

)}

[ ][ ] . . . . (2. 2)

Dengan:
AB = jarak terdekat antara molekul A dan molekul B.
mA = massa molekul A
mB = massa molekul B
kB = tetapan Boltzmann

rA
rA

AB

Gambar 2. 1 Jarak terdekat antara dua molekul

Atas dasar dua anggapan di atas, maka laju reaksi per satuan volum sama dengan
jumlah tumbukan antar A dan B, per satuan volum per satuan waktu, sama dengan
Z, yaitu:
{

)}

[ ][ ] . . . . (2. 3)

Bila ungkapan ini dituliskan dalam bentuk:


r = k [A] [B] . . . . (2. 4)
Menghasilkan ungkapan bagi tetapan laju:
{

)}

. . . . (2. 5)

Perhitungan tetapan laju reaksi dari reaksi reaksi dengan menggunakan


ungkapan 9. 5 ternyata memberikan hasil yang jauh terlalu besar, sekitar 103 108
kali lebih besar dari hasil k yang diamati. Hal ini dapat dimengerti, mengingat
teori sederhana ini didasarkan anggapan bahwa tiap tumbukan antara molekul A
dan molekul B akan menghasilkan reaksi. Dengan kata lain, teori ini mengabaikan
kenyataan bahwa tumbukan yang terjadi antara dua molekul dapat berlangsung
mulai dengan yang berenergi rendah hingga ke yang berenergi tinggi.
Untuk mengkoreksi ini, dimasukkan konsep Arrhenius tentang energi
pengaktifan, Ea, dipostulatkan bahwa tida semua tumbukan menghasilkan reaksi.
Hanya molekul molekul yang memiliki energi sama dengan atau lebih besar dari
energi pengaktifan dapat menghasilkan reaksi.

Tumbukan yang terjadi dengan energi yang lebih rendah dari Ea tak akan
menghasilkan reaksi, dan karena itu tak memberikan sumbangan pada harga
tetapan laju k.
Ungkapan bagi tetapan laju di 2. 5 dengan demikian harus dikalikan dengan suatu
faktor yang memberikan fraksi dari molekul molekul yang bertumbukan dengan
energi yang lebih besar dari Ea. Dari distribusi Boltzman dapat diturunkan bahwa
besar faktor tersebut adalah e-Ea/RT, sehingga diperoleh ungkapan:
{

)}

. . . (2. 6)

Perbandingan persamaan 9. 6 dengan hokum Arrhenius:

. . . . (2. 7)

Menunjukkan bahwa faktor frekuensi A adalah:


{

)}

. . . . (2. 8)

Penggunaan ungkapan 2. 6 untuk perhitungan tetapan laju, dengan


menggunakan data tentang ukuran dan massa dari molekul molekul pereaksi
serta harga energi pengaktifan yang diamati, ternyata menghasilkan harga k yang
cukupdekat dengan harga yang diamati. Simpangan terkecil antara harga k yang
dihitung dengan yang diamati adalah untuk reaksi antara atom atom atau
molekul molekul sedrhana. Simpangan tersebut bertambah besar dengan makin
besar serta makin rumitnya molekul, dimana harga k yang diamati adalah lebih
rendah dari yang dihitung.
Bagi molekul molekul rumit, yang diamati dapat lebih rendah dengan faktor
antara 10-2 ingga 10-6.
Bahwa teori tumbukan ini kurang berhasil bagi molekul molekul rumit
dapat ditelusuri dari anggapan dasar yang digunakan, yaitu bahwa laju berbandng
dengan jumlah tumbukan dan bahwa dalam tumbukan tiap molekul dianggap
sebagai bola bola. Dalam kenyataan, tiap molekul mempunyai bangun ruang
tertentu dan semakin rumit suatu molekul, makin rumit pula bangun ruangnya.
Bagi molekul molekul yang demikian, reaksi umumnya terjadi tidak asal
bertumbukan dengan molekul lain dengan energi tertentu, tetapi juga hanya bila

bagian bagian tertentu dari suatu molekul bertemu dengan bagian tertentu dari
molekul yang lain pula. Dengan demikian maka jumlah tumbukan yang
menghasilkan reaksi akan berkurang lagi dari yang dihitung menurut ungkapan
2.6. Karena rendahnya hasil yang diamati ini disebabkan oleh faktor kesesuaian
arah ruang dari molekul molekul pereaksi, gejala ini disebut sebagai efek sterik
(dari kata stereo yang berarti ruang).
Adanya efek sterik yang sangat khusus bagi tiap reaksi tidak memungkinkan
dikembangkannya perbaikan lebih lanjut dari teori tumbukan.
Meskipun teori tumbukan hanya dapat menjelaskan reaksi yang sederhana saja,
namun dapat disimpulkan hal hal seperti berikut:
a. Laju reaksi bergantung pada konsentrasi reaksi, karena jumlah tumbukan
per detik bertambah jika konsentrasi bertambah.
b. Laju reaksi bergantung pada sifat pereaksi karena energi pengaktifan yang
berbeda.
c. Laju reaksi bergantung pada suhu (T) karena jumlah molekul berenergi
cukup untukbereaksi merupakan fungsi suhu.

Contoh Soal:
Pada 700K tetapan laju reaksi dari reaksi:
H2

+ I2

2 HI

adalah 6, 42 x 10-2 liter/ mol detik.


Besar energi pengaktifan, Ea = 167 kJ.
Hitung tetapan laju yang diprediksikan berdasar teori tumbukan. Data lain yang
diketahu

= 225 pm dan

= 559 pm, yang didapat dari pengukuran

viskositas. Bandingkan tetapan laju ini dengan tetapan laju hasil eksperimen.
Jawab:
Rumusan pada persamaan (2. 6) bila dinyatakan dalam satuan cc molekul-1 det-1,
sedangkan bila ingin dinyatakan dengan cc mol-1 det-1, maka harus dikalikan
dengan N; bilangan Avogadro, sehingga persamaan (2. 6) dapat ditulis kembali:

)}

Dari soal di atas diketahui:


kB = 1, 3807 x 10-23 J K-1
=

N = 6, 02 x 1023 molekul mol-1


T = 700K
AB = 392 pm = 392. 10-12 m
Ea = 167 kJ
R = 0, 08206 liter. atm. K-1 mol-1= 8, 3144 J K-1 mol-1
Penting juga untuk diketahui:
J = kg. m2. det-2
N = kg. m. det-2
J = N. m
AB2 = 1, 53664. 10-19 m2

{
{

}
}

TUMBUKAN MOLEKUL (klarifikasi ke literatur lain oleh penulis)


Perhatikan dua jenis gas, A dan B, dengan molekul molekulnya yang dianggap
kaku dan dengan diameter masing masing dA dan dB. Tabrakan antara molekul
A dengan molekul B akan terjadi apabila jarak antara titik pusat kedua molekul ini
. Andaikan bahwa molekul molekul B diam dan

adalah

molekul A bergerak dengan kecepatan rata rata melalui volum yang berisi
molekul molekul B. Dalam waktu satu detik molekul A akan melalui volum
sebesar dAB2 . Bila jumlah molekul B per satuan volum adalah NB, maka
jumlah molekul B yang ditabrak oleh molekul A per satuan volum per satuan
waktu adalah:

maka jumlah tabrakan yang

Bila jumlah molekul A per satuan volum adalah

terjadi antara molekul molekul A dan molekul molekul B dalam satuan volum
per satuan waktu adalah:

Persamaan di atas memerlukan koreksi karena pada persamaannya dianggap


bahwa molekul molekul B tersebut bergerak. Bila molekul molekul B
bergerak dengan kecepatan rata rata , maka dalam persamaan tersebut
harus diganti dengan
kecepatan relative

, yaitu kecepatan rata rata A relative terhadap B.

dapat diperoleh sebagai selisih vector antara dan .

Kecepatan relatif:

Jadi,

Dapat dibuktikan (lihat Moore 5th ed, hal 150 152) bahwa

dengan adalah massa tereduksi


sehingga

. (1)

Bila A = B, yaitu bila hanya ada satu jenis gas, maka kecepatan relatif menjadi,

sehingga

. . . . (2)

Dan

. . . . (3)

Persamaan (3) menyatakan jumlah tabrakan molekul yang terjadi dalam satuan
volum per satuan waktu. Faktor dipastikan untuk tidak menghitung tiap tabrakan
dua kali.
Uraian sendiri
Dari persamaan (3):

Konsentrasi [ ]
(Catatan: Klarifikasi apakah sesuai dengan Wilknison, 1980:105)

[ ]

Contoh:
Hitung jumlah tabrakan per detik per molekul dan jumlah mol tabrakan per liter
per detik untuk gas oksigen pada 250C dan 1 atm. Diameter molekul oksigen =
3,61 A.
Jawab:
Jumlah tabrakan per detik per molekul diberikan oleh persamaan (2):

N0 = bilangan Avogadro

P = 1 atm

Jumlah tabrakan total per cm3 per detik diberikan oleh persamaan (3)
(

Soal Latihan:
Pada sauhu 700K tetapan laju dari reaksi bimolekul berikut:
HI

HI

H2

I2

Adalah: 3, 3 x 10-3 dm3 mol-1 detik-1. Besar energi pengaktifan Ea = 170 k J mol-1.
Diameter tumbukan dari HI diperkiran 3, 5 , dengan massa molekul relative HI
= 128.
Hitung tetapan laju yang diprediksi berdasar teori tumbukan. Hitung faktor
koreksinya (faktor sterik).

B. TEORI KEADAAN TRANSISI


Bagi reaksi antara molekul molekul yang rumit telah dikembangkan teori
yang lebih sempurna daripada teori tumbukan, dimana diperhitungkan pula
struktur kimia dari masing masing pereaksi. Teori ini yang dikenal sebagai teori
keadaan perelihan/ transisi atau teori laju absolute.

10

Teori ini dikembangkan oleh H. Eyring pada tahun 1935.


Teori ini telah menghasilkan perhitungan yang cukup dekat dengan hasil yang
diamati bagi molekul yang tak terlalu rumit. Mengingat pembahasan dari teori ini
sangat sulit disajikan pada buku ini, maka hanya akan diberikan gagasan dasar
yang mendasarinya.
Anggapan dasar teroi ini adalah bahwa proses yang dijalani molekul
molekul pereaksi dari keadaan awal ke keadaan akhir, yang berupa hasil reaksi,
harus dilampaui suatu keadaan yang disebut keadaan peralihan.
Keadaan ini memiliki energy potensial yang labih tinggi dari keadaan awal
maupun keadaan akhir. Oleh sebab itu, keadaan ini sering disebut kompleks
teraktifkan.
Bagi reaksi umum seperti berikut:
A

+ B

= P

+ Q

. . . . (2. 9)

Bila teori keadaan transisi diterapkan pada reaksi ini, maka pertama kali A dan B
membentuk suatu keadaan peralihan yang biasa disebut X.
A

+ B

X p

+ q . . . . (2. 10)

Kompleks teraktifan, X umumnya dianggap dalam kesetimbangan dalam A dan


B.
A

+ B

X . . . . (2. 11)

Dan konstanta kesetimbangan adalah:


[

. . . . (2. 12)

[ ][ ]

Dalam keadaan 2. 11 jarak antara A dan B cukup dekat, sedangkan bagian


bagian yang akan terlepas menjadi P dan Q sudah mulai merenggang, tetapi belum
terlepas.
Keadaa X bukan keadaan antara yang dapat dipisahkan, tetapi hanyalah keadaan
transisi/ peralihan, karena akan segera mengalami penguraian menjadi P dan Q.
X P + Q . . . . (2. 13)
Laju pembentukan P sebanding dengan konsentrasi X dan frekuensi pecahnya X
per satuan waktu.
[

. . . . (2. 14)

11

Dengan

= frekuensi pecahnya X.

Berdasarkan persamaan 2. 12 maka persamaan 2. 14 dapat ditulis kembali:


[ ][ ] . . . . (2. 15)
Atau
[ ][ ] . . . . (2. 16)
Dengan:
Jadi, bila pada teori tumbukan dipersoalkan berapa jumlah molekul yang
bertumbukan per satuan waktu, sedangkan pada teori keadaan transisi
dipertanyakan berapa frekuensi pecahnya kompleks teraktifan per satuan waktu.
Bila digambarkan energi potensial dari sistem reaksi, mulai dari keadaan
awal hingga menjadi keadaan akhir, diperoleh gambaran seperti pada Gambar 2. 2.

Ea
A+B
Keadaan awal

P+Q
Keadaan akhir

Gambar 2. 2. Perubahan potensial system reaksi, menurut teori


keadaam transisi, dengan Ea = energi pengaktifan

Dalam Gambar 2. 2 terlihat bahwa selisih energi potensial antara keadaan


awal dengan keadaan transisi adalah energi pengaktifan, Ea, agar dapat mencapai
keadaan peralihan/ transisi X dan kemudian pecah menjadi hasil hasil reaksi P
dan Q. Bagi molekul molekul pereaksi yang energi kinetiknya lebih rendah dari
Ea akan memerlukan waktu tambahan, baik melalui tumbukan dengan sesamanya
maupun dengan dinding, untuk mendapatkan pertambahan energi hingga dapat
mencapai yang diperlukan.

12

Efek dari kenaikan suhu adalah memperbesar energi kinetik rata rata dari sistem,
sehingga akan lebih banyak molekul yang memiliki energi Ea dan dengan
demikian lebih banyak yang dapat mencapai keadaan transisi.
Dengan kata lain, laju reaksi akan diperbesar.

Anda mungkin juga menyukai