B1
Ketua : Much tanwirul qulubi r 1102013176
Sekretaris : Marissa
1102013162
Anggota :
Mahirrohman Difa 1102013161
Marlita Adelina P 1102013163
Mauren Anastasya PP 1102013164
Much Alfiansyah 1102013177
M Ansori Bastian1102013178
M Faisal Alvianto 1102013179
Nova anggar kusuma ningrum 1102009207
Skenario 2
Seorang perempuan berusia 20 tahun, datang ke
dokter dengan keluhan gatal-gatal serta bentol-bentol
merah yang hampir merata di seluruh tubuh, timbul
bengkak pada kelopak mata dan bibir sesudah minum
obat penurun panas (parasetamol). Pada pemeriksaan
fisik didapatkan angioedema dimata dan bibir serta
urtikaria di seluruh tubuh. Dokter menjelaskan
keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi
(hipersensitivitas tipe cepat), sehingg ia mendapatkan
obat anti histamin dan kortikosteroid. Dokter
memberikan saran agar selalu berhati-hati dalam
meminum obat serta berkonsultasi dulu dengan dokter.
Lo.1.1 Definisi
Lo.1.2 Etiologi
Lo.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan waktu
1. Reaksi cepat
2. Reaksi intermediet
3. Reaksi lambat
. Berdasarkan Gell and coombs
1. Hipersensitivitas tipe I
2. Hipersensivitas tipe II
3. Hipersensivitas tipe III
4. Hipersensivitas tipe IV
Lo.2.1 Definisi
Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah
suatu reaksi yang terjadi secara cepat
atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi
mengikuti kombinasi suatu antigen
dengan antibodi yang terlebih dahulu
diikat pada permukaan sel basofilia (sel
mast) dan basofil.
Lo.2.2 Mekanisme
Mekanisme hipersensivitas tipe 1di bagi
menjadi 3 fase, yaitu :
Fase sensitasi
Fase aktivasi
Fase efektor
a. Reaksi lokal
b. Reaksi sistemik anafilaksis
c. Reaksi pseudoalergi atau
anafilaktoid
Manifestasi klinis khas : anafilaksis
sistemik dan lokal seperti rinitis, asma,
urtikaria, alergi makanan dan ekzem .
Lo.3.1 Definisi
Lo.3.2 Mekanisme
1. Reaksi transfusi
3. Anemia Hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penisilin,
sefalosporin, dan streptomisin dapat
diabsorbsi non spesifik pada protein
membran SDM yang membentuk kompleks
serupa kompleks molekul hapten pembawa
Pada beberapa penderita, kompleks
membentuk ab yang selanjutnya mengikat
obat pada SDM dan dengan bantuan
komplemen menimbulkan lisis dengan dan
anemia progresif.
Lo.4.1 Definisi
Lo.4.2 Mekanisme
1. Kompleks Imun Mengendap di Dinding
Pembuluh Darah
2.Kompleks Imun Mengendap di Jaringan
Lo.5.1 Definisi
Lo.5.2 Mekanisme
Hipersensivitas tipe IV dibagi menjadi 2
fase:
1. Fase sensitisasi
2. Fase efektor
Dematitis kontak
Hipersensitivitas tuberculin
Reaksi Jones Mote
Penyakit CD8+
Anti-histamine
1). Antagonis reseptor H1 (AH1)
a. Farmakodinamik
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh
darah, bronkus, bermacam otot polos, selain itu
AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai
penglepasan histamin endogen berlebihan .
b. Farmakokinetik :
Efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit
setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2
jam.
c. Indikasi :
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik
berbagai penyakit alergi dan mencegah atau
mengobati mabuk perjalanan.
d. Efek samping :
Efek samping yang paling sering adalah
sedasi. Efek samping yang berhubungan dengan
AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah, penat,
inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia,
gelisah, insomnia, tremor, nafsu makan
berkurang, mual, muntah, dll.
b. Farmakokinetik :
Absorpsi simetidin diperlambat oleh makan,
sehingga simetidin diberikan bersama atau
segera setelah makan dengan maksud untuk
memperanjang efek pada periode pasca makan.
c. Indikasi :
Efektif untuk mengtasi gejala akut tukak
duodenum dan mempercepat
penyembuhannya. Selain itu, juga efektif
untuk mengatasi gejala dan mempercepat
penyembuhan tukak lambung. Dapat pula
untuk gangguan refluks lambung-esofagus.
d. Efek samping :
Efek sampingnya rendah, yaitu
penghambatan terhadap resptor H2, seperti
nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual,
diare, konstipasi, ruam, kulit, pruritus,
kehilangan libido dan impoten.
2) Famotidin
a. Farmakodinamik :
Famotidin merupakan AH2sehingga dapat
menghambat sekresi asam lambung pada
keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi
oleh pentagastrin
b. Farmakokinetik :
Famotidin mencapai kadarpuncak di plasma
kira kira dalam 2 jam setelah penggunaan secara
oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam
c. Indikasi :
Efektifitas pbat ini untuk tukak duodenum dan
tukak lambung, refluks esofagitis, dan untuk
pasiendengan sindrom Zollinger-Ellison.
d. Efek samping :
Efek samping ringan dan jarang terjadi,
seperti sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare,
dan tidak menimbulkan efek antiandrogenik.
3) Nizatidin
a. Farmakodinamik :
Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam
lambung.
b. Farmakokinetik :
Kadar puncak dalam serum setelah
pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa paruh
plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai
dengn 10 jam, disekresi melalui ginjal.
c. Indikasi :
Efektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu
atau dua kali sehari selama 8 minggu, tukak
lambung, refluks esofagitis, sindrom ZollingerEllion.
d. Efek samping :
Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi,
dan tidak memiliki efek antiandrogenik
Kortikosteroid
a. Farmakodinamik :
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu juga
mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot
lurik, sistem saraf dan organ lain.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan
menjadi dua golongan besar yaitu glukokortikoid dan
mineralokortikoid.
Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan
glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan
pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil.
Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap
keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya
pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.
b. Farmakokinetik :
Perubahan struktur kimia sangat
mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja
dan lama kerja karena juga mempengaruhi
afinitas terhadap reseptor dan ikatan protein.
c. Indikasi :
Dari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan
sebelum obat ini digunakan:
Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan
dengan trial dan error dan harus di evaluasi dari waktu ke waktu
sesuai dengan perubahan penyakit.
Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya
kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis
sangat besar.
Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih dari
hingga dosis melebihi dosis substisusi, insidens efek samping dan
efek letal potensial akan bertambah.
Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan
merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif
karena efek anti-inflamasinya.
Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan
dosis besar, mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan
dapat mengancam jiwa pasien.
d. Efek samping :
Efek samping dapat timbul karena
peenghentian pemberian secara tibatiba atau pemberian terus-menerus
terutama dengan dosis besar.
Pemberian kortikosteroid jangka
lama yang dihentikan tiba-tiba dapat
menimbulkan insifisiensi adrenalm akut
dengan gejala demam, malgia,
artralgia dan malaise.
TERIMA KASIH