Anda di halaman 1dari 25

Gie:

Representasi Berwajah Ganda[1]


oleh Veronika Kusuma
Pendahuluan
Film Gie dibuat oleh sutradara Riri Riza dengan produser Mira Lesmana pada tahun 2005, 35
tahun setelah Soe Hok Gie meninggal. Film ini meraih 3 piala Citra dari 12 nominasi, salah
satunya sebagai film terbaik di FFI 2005. Film ini bercerita tentang Soe Hok Gie, seorang
pemuda keturunan Tionghoa yang hidup di saat Indonesia sedang mengalami perubahan besar.
Film ini mengangkat kisah nyata kehidupan Soe Hok Gie, selanjutnya disingkat sebagai SHG
saja, aktivis angkatan '66. Dbuat dengan melibatkan lebih dari 2.500 pemain dan kru dan
syuting di Jakarta, Semarang, Jogjakarta, kaki gunung Merapi, puncak Pangrango, dan lembah
Mandalawangi.
SHG adalah wakil dari golongan menengah berpendidikan. Ia putra keempat dari seorang penulis
dan redaktur berbagai surat kabar seperti Tjin Po, Panorama, Hwa Po, dan masih banyak lagi.
Ayahnya bernama Soe Lie Piet dengan nama lokal, Salam Sutrawan. SHG lahir 17 Desember
1942, ketika Jepang baru saja masuk ke Indonesia. Nama Soe Hok Gie berasal dari dialek
Hokkian dari nama Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin. Leluhurnya berasal dari Provinsi Hainan,
RRT.
Pada umur lima tahun, SHG masuk sekolah Sin Hwa School, sebuah sekolah khusus untuk warga
keturunan Tionghoa. Ia lalu melanjutkan ke SMP Strada dan Kolese Kanisius Jakarta, yang
merupakan salah satu sekolah terbaik dengan populasi siswa Tionghoa yang cukup besar [2].
Sejak kecil, SHG telah menunjukkan bakat sebagai anak yang cerdas, setia kawan dan memiliki
sikap kritis. Hal ini sering menimbulkan situasi yang menyulitkan dirinya. Semasa menjadi
mahasiswa di Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, SHG tumbuh menjadi pribadi yang cerdas
dan idealis.
Situasi politik saat itu membuat mahasiswa terbagi atas berbagai kelompok yang saling bentrok.
Pada bulan September 1965, terjadi peristiwa G-30 S sebagai puncak pertentangan antara pihak
militer dan Partai Komunis Indonesia. Peristiwa ini diikuti demonstrasi besar-besaran yang
dilakukan mahasiswa, jatuhnya Presiden Soekarno, dan pembubaran PKI yang diikuti
pembantaian massal yang menimbulkan korban hingga lebih dari 1 juta orang.
SHG merasa sangat kecewa. Ia adalah mahasiswa yang turut berdemonstrasi menuntut
pengunduran diri Soekarno, tetapi setelah Soekarno tidak lagi berkuasa, dan digantikan

Soeharto, teman-temannya justru ikut bermain di panggung politik nasional. Ia kecewa karena ia
merasa teman-temannya telah mengkhianati idealismenya. SHG tetap kritis dan menyampaikan
kekritisannya baik secara langsung maupun lewat tulisan-tulisannya di media massa. Ia menjadi
musuh bagi teman-temannya. SHG meninggal pada bulan Desember 1969 di puncak gunung
Semeru dalam usia yang masih belia.[3]
Soal SARA
Film ini menarik karena mengetengahkan bukan saja ikon anak muda, tapi juga sosok cukup
kontroversial dalam gerakan pemuda di Indonesia. Selain karena sikapnya yang konsisten, lebih
baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan, ia dikenal sebagai pemuda keturunan
Tionghoa yang terjun ke gerakan dan politik praktis.
Film Gie sendiri merupakan film pertama generasi pasca-1998 yang mengangkat sosok sejarah
yang pernah benar-benar ada dalam sejarah Indonesia. Tetapi lebih dari itu, film ini penting
dicatat karena menghadirkan satu persoalan penting yang melingkupi wacana film Indonesia,
yakni persoalan representasi etnis, terutama etnis Tionghoa dalam film Indonesia. Dalam film
Indonesia, terutama masa Orde Baru, masalah ras dan representasi identitas baik yang
berdasarkan suku, agama, dan ras, apalagi kelas adalah masalah yang pelik dan sensitif. Bukan
hanya dalam kehidupan nyata tapi juga di media. Ada larangan untuk membicarakan SARA
karena membicarakan SARA, termasuk di dalamnya persoalan kelas sosial bisa jadi subversif.
SARA dan kelas sosial dianggap ancaman terhadap kesatuan nasional.
Tionghoa adalah persoalan kedua. Menjadi Tionghoa di Indonesia bisa merupakan persoalan
yang benar-benar rumit. Meski memiliki banyak peran dalam perkembangan sejarah Indonesia,
etnis Tionghoa dianggap minoritas dan jahat secara ekonomi karena sejak masa kolonial
mereka mendapatkan hak istimewa sebagai pedagang perantara antara kaum kolonial dan apa
yang disebut bangsa pribumi.
Sebenarnya, setelah reformasi politik pada tahun 1998, Nia Dinata telah mulai menggarap dan
menghadirkan sosok Tionghoa dalam filmnya, Cau Bau Kan (2001). Film yang juga
menggunakan pendekatan sejarah ini, menceritakan tentang seorang perempuan Betawi yang
menjadi istri seorang Tionghoa, Tan Peng Liang pada masa awal abad 20. Seluruh film Cau Bau
Kan menceritakan tentang kehidupan kelompok-kelompok Tionghoa dan hubungannya dengan
penduduk non-Tionghoa (sering disebut pribumi, seperti Jawa, Betawi, Sunda, dan sebagainya).
Tetapi posisi film Gie menjadi pantas dibahas karena tidak seperti sosok Peng Liang yang
pedagang / pebisnis tembakau, sebuah pekerjaan stereotip etnis Tionghoa, film Gie
menghadirkan representasi yang sangat berbeda dari etnis Tionghoa kebanyakan. Di sinilah
wacana representasi etnis dalam film Indonesia menjadi menarik. Gie sebagai teks sejarah

maupun teks film menghadirkan dilema dan kontradiksi dalam soal representasi etnis tertentu
dalam film.
Riri sendiri tidak mengakui bahwa film ini memiliki sentimen ras tertentu. Ia menjelaskan,
"Film Gie adalah sebuah film yang berfokus pada seorang karakter yang pernah hidup di sebuah
masa yang bisa dibilang paling penting dalam sejarah modern Indonesia, dan ia mencatat
pergolakan pikiran, perasaan, dan situasi-situasi yang terjadi di sekelilingnya melalui sebuah
catatan harian. Namun, sama sekali tidak ada unsur subversif maupun SARA di dalamnya."
Meski demikian, nanti kita akan melihat bahwa dalam hal representasi etnis, filmGie akan
menduduki posisi yang sangat sentral.
Pembahasan representasi Tionghoa dalam sinema Indonesia mungkin bisa dibilang hal yang
cukup baru. Meski dibangun dan dikembangkan oleh kaum Tionghoa, cerita atau tema (subjectmatter) etnis Tionghoa dalam sinema Indonesia relatif jarang diangkat. Soal representasi etnis
pun dibahas terbatas, pada misalnya etnis Betawi yang merajai film-film dekade 1970-an (Si
Doel anak Betawi, film-film yang dibintangi oleh Benyamin Suaeb, dan sebagainya). Namun
sebelum bicara soal etnis ini, lebih dahulu bicara soal representasi.
Representasi
Stuart Hall, seorang pakar kajian budaya, mengajukan sebuah konsep untuk memahami tentang
representasi. Secara singkat, representasi mengacu pada proses produksi makna melalui
bahasa. Merepresentasikan berarti menggambarkan / mendeskripsikan sesuatu. Deskripsi ini
hanya bisa terjadi di dalam bahasa, yakni melalui kata-kata yang digunakan. Kata-kata
merepresentasikan konsep tentang sesuatu.[4] Dalam representasi ada 2 sistem yang bekerja.
Pertama, sistem di mana semua obyek, manusia dan peristiwa saling berkorelasi membentuk
satu konsep atau representasi mental. Tanpa konsep-konsep itu, kita tidak bisa menginterpretasi
segala sesuatu di dunia. Jadi pemaknaan atas dunia sangat tergantung pada sistem konsep dan
gambaran yang terbentuk/yang kita bawa.
Sistem ini juga mensyaratkan berbagai konsep mengorganisir, mengelompokkan, menyusun dan
mengklasifikasi konsep-konsep yang telah kita miliki. Proses ini hanya bisa dilakukan apabila kita
bisa saling mempertukarkan konsep dan pemaknaan. Dan kita hanya bisa melakukannya kalau
kita memiliki akses pada bahasa yang sama. Di sinilah, bahasa merupakan sistem representasi
kedua karena dengan bahasalah kita mengkonstruksi makna atas dunia.[5]
Film sebagai bahasa memberikan tanda-tanda tempat makna diproduksi. Singkatnya, citraan
visual dalam film merupakan konsep-konsep yang akan dipertukarkan dalam proses
representasi. Proses ini melibatkan pembuat film dan penontonnya.

Representasi selalu bekerja dalam dua operasi: inklusi dan eksklusi. Atribusi sifat-sifat negatif
(stereotip) selalu dilakukan dalam operasi eksklusi, pemisahan. Pihak-pihak yang terkena
stereotip adalah pihak-pihak yang dieksklusi dari mayoritas atau normal. Di sini, proses
representasi membedakan kita dan mereka, dengan mereka adalah pihak-pihak yang kita
eksklusi.[6]

Gie
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa

Gie

Sutradara

Riri Riza

Produser

Mira Lesmana

Penulis

Riri Riza

Pemeran

Nicholas Saputra

Wulan Guritno
Indra Birowo
Lukman Sardi
Sita Nursanti
Thomas Nawilis
Jonathan Mulia
Christian Audy
Donny Alamsyah
Robby Tumewu
Tutie Kirana
Gino Korompis
Surya Saputra
Happy Salma

Distributor

Sinemart Pictures

Durasi

147 menit

Anggaran

Rp 7-10 milyar (perk.)

Gie (2005) adalah sebuah film garapan sutradara Riri Riza. Gie mengisahkan seorang tokoh bernama Soe
Hok Gie, mahasiswa Universitas Indonesiayang lebih dikenal sebagai demonstran dan pecinta alam.
Film ini diangkat dari buku Catatan Seorang Demonstran karya Gie sendiri, namun ditambahkan beberapa
tokoh fiktif agar ceritanya lebih dramatis. Menurut Riri Riza, hingga Desember 2005, 350.000 orang telah
menonton film ini. Pada Festival Film Indonesia 2005, Gie memenangkan tiga penghargaan, masing-masing
dalam kategori Film Terbaik, Aktor Terbaik (Nicholas Saputra), dan Penata Sinematografi Terbaik (Yudi Datau).

[sunting]Sinopsis
Perhatian: Bagian di bawah ini mungkin akan membeberkan isi cerita yang penting atau akhir
kisahnya.
Soe Hok Gie dibesarkan di sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang tidak begitu kaya dan berdomisili
di Jakarta. Sejak remaja, Hok Gie sudah mengembangkan minat terhadap konsep-konsep idealis yang
dipaparkan oleh intelek-intelek kelas dunia. Semangat pejuangnya, setiakawannya, dan hatinya yang dipenuhi
kepedulian sejati akan orang lain dan tanah airnya membaur di dalam diri Hok Gie kecil dan membentuk
dirinya menjadi pribadi yang tidak toleran terhadap ketidakadilan dan mengimpikan Indonesia yang didasari

oleh keadilan dan kebenaran yang murni. Semangat ini sering salah dimengerti orang lain. Bahkan sahabatsahabat Hok Gie, Tan Tjin Han dan Herman Lantang bertanya "Untuk apa semua perlawanan ini?". Pertanyaan
ini dengan kalem dijawab Soe dengan penjelasan akan kesadarannya bahwa untuk memperoleh kemerdekaan
sejati dan hak-hak yang dijunjung sebagaimana mestinya, ada harga yang harus dibayar, dan memberontaklah
caranya. Semboyan Soe Hok Gie yang mengesankan berbunyi, "Lebih baik diasingkan daripada menyerah
pada kemunafikan."
Masa remaja dan kuliah Hok Gie dijalani di bawah rezim pelopor kemerdekaan Indonesia Bung Karno, yang
ditandai dengan konflik antara militer denganPKI. Soe dan teman-temannya bersikeras bahwa mereka tidak
memihak golongan manapun. Meskipun Hok Gie menghormati Sukarno sebagai founding father negara
Indonesia, Hok Gie begitu membenci pemerintahan Sukarno yang diktator dan menyebabkan hak rakyat yang
miskin terinjak-injak. Hok Gie tahu banyak tentang ketidakadilan sosial, penyalahgunaan kedaulatan, dan
korupsi di bawah pemerintahan Sukarno, dan dengan tegas bersuara menulis kritikan-kritikan yang tajam di
media. Soe juga sangat membenci bagaimana banyak mahasiswa berkedudukan senat janji-janji manisnya
hanya omong kosong belaka yang mengedoki usaha mereka memperalat situasi politik untuk memperoleh
keuntungan pribadi. Penentangan ini memenangkan banyak simpati bagi Hok Gie, tetapi juga
memprovokasikan banyak musuh. Banyak interest group berusaha melobi Soe untuk mendukung
kampanyenya, sementara musuh-musuh Hok Gie bersemangat menggunakan setiap kesempatan untuk
mengintimidasi dirinya.
Tan Tjin Han, teman kecil Hok Gie, sudah lama mengagumi keuletan dan keberanian Soe Hok Gie, namun
dirinya sendiri tidak memiliki semangat pejuang yang sama. Dalam usia berkepala dua, kedua lelaki
dipertemukan kembali meski hanya sebentar. Hok Gie menemukan bahwa Tan telah terlibat PKI tetapi tidak
tahu konsekuensi apa yang sebenarnya menantinya. Hok Gie mendesak Tan untuk menanggalkan segala
ikatan dengan PKI dan bersembunyi, tetapi Tan tidak menerima desakan tersebut.
Hok Gie dan teman-temannya menghabiskan waktu luang mereka naik gunung dan menikmati alam Indonesia
yang asri dengan Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) UI. Selain itu, mereka juga gemar menonton dan
menganalisa film, menikmati kesenian-kesenian tradisional, dan menghadiri pesta-pesta.
Film ini menggambarkan petualangan Soe Hok Gie mencapai tujuannya untuk menggulingkan rezim Sukarno,
dan perubahan-perubahan dalam hidupnya setelah tujuan ini tercapai.

[sunting]Tokoh

tambahan

Tan Tjin Han, figur yang menjadi sahabat Gie semasa kecil, adalah seorang tokoh fiktif yang diilhami oleh dua
orang sahabat Hok Gie, Djin Hok danEffendi. Dari buku harian Hok Gie memang terdapat referensi tentang
Djin Hok yang menjadi korban kekerasan tantenya, tetapi di masa dewasa Hok Gie namanya tak pernah lagi
disebut-sebut. Teman Hok Gie yang menjadi korban razia PKI adalah Effendi.

Ira dan Sinta adalah dua perempuan yang mewakili wanita-wanita dalam hidup Hok Gie. Meskipun Hok Gie
memang pernah berpacaran dengan beberapa gadis UI, Ira dan Sinta dalam film ini adalah tokoh-tokoh
fiktif. Riri Riza, pembuat film ini bahkan menyempatkan diri ke luar negeri untuk mewawancarai salah seorang
wanita yang pernah dekat dengan Soe, tetapi beliau menolak untuk membiarkan identitasnya diketahui publik
dan tidak mau membeberkan detail-detail hubungan mereka dengan Hok Gie. Buku harian Hok Gie memang
menyebutkan keterlibatannya dengan tiga perempuan, tetapi tidak dengan jelas menyatakan apakah dia
memang mencintai salah satu di antara mereka.
Ira adalah seorang wanita muda yang cerdas dan hidup dengan semangat pejuang untuk impian-impian
idealistis yang juga dimiliki Hok Gie. Ira adalah sahabat dan pendukung Hok Gie yang paling setia dan selalu
hadir, baik saat Gie sedang kerja maupun main. Sempat terlihat tanda-tanda asmara yang subtil antara Hok
Gie dengan Ira, tetapi baru sekali kencan keduanya sudah tidak berani melanjutkannya menjadi sebuah kisah
cinta.
Selang beberapa tahun, muncullah seorang gadis menawan bernama Sinta. Orang tua Sinta yang berada
mengagumi karya-karya tulis Hok Gie. Jelas terlihat bahwa Hok Gie dan Sinta secara fisik memang tertarik
satu sama lain, tetapi tidak berhasil menjalin hubungan hati-ke-hati yang mantap. Kelihatannya Sinta sekadar
suka ditemani Hok Gie dan bangga menjadi pacar seorang tokoh yang dihormati, tetapi sebenarnya tidak
betul-betul peduli dengan hal-hal yang menjadi obsesi hati Hok Gie. Sebaliknya, Hok Gie tidak tahu bagaimana
mengambil hati Sinta dan merasa tidak puas dengan hubungan mereka. Kehadiran Sinta menimbulkan
kerikuhan antara Gie dengan Ira.
Kisah cinta Hok Gie dan Sinta mungkin diilhami oleh pacar Hok Gie yang terdekat. Pacar Hok Gie adalah putri
sebuah pasangan kaya yang mengagumi karya-karya Hok Gie. Namun, begitu hubungan Hok Gie dengan
pacarnya semakin intim, orang tua si gadis mulai membuat-buat dalih untuk menghalang-halangi putrinya dan
Hok Gie untuk saling bertemu. Menurut orang tuanya, adalah terlalu riskan bila sang putri menikahi seorang
pria yang keuangannya sulit dan sering menjadi target intimidasi dan macam-macam ancaman.
Film ini menggambarkan Ira sebagai cewek yang selalu siap bergabung dengan para cowok untuk naik
gunung. Saat Hok Gie cs. menaiki Gunung Semeru, hadirlah seorang wanita bernama Wiwiek Wiyana--tokoh
yang tidak pernah disebut-sebut dalam film. Akan tetapi, apakah pengilhaman karakter Ira ada hubungannya
dengan Wiwiek Wiyana bisa diragukan, karena menurut film ini, sementara Hok Gie naik ke Semeru, Ira
sedang bersantai di rumahnya ditemani alunan tembang romantis yang membangkitkan cerita lama.
Tokoh-tokoh tambahan lainnya antara lain Denny (salah seorang sahabat Hok Gie yang periang, lucu, dan
ramai), Jaka (tokoh PMKRI yang kemungkinan besar adalah Cosmas Batubara) dan Santi (seorang pelacur
yang diperkenalkan kepada Soe oleh para cowok yang berusaha mendorong Soe untuk memburu potensi
berkembangnya persahabatannya dengan Ira menjadi kisah cinta).

[sunting]Pranala

luar

Sinopsis:
Soe Hok Gie dibesarkan di sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang tidak begitu kaya dan berdomisili
di Jakarta. Sejak remaja, Hok Gie sudah mengembangkan minat terhadap konsep-konsep idealis yang
dipaparkan oleh intelek-intelek kelas dunia. Semangat pejuangnya, setiakawannya, dan hatinya yang
dipenuhi kepedulian sejati akan orang lain dan tanah airnya membaur di dalam diri Hok Gie kecil dan
membentuk dirinya menjadi pribadi yang tidak toleran terhadap ketidakadilan dan mengimpikan
Indonesia yang didasari oleh keadilan dan kebenaran yang murni. Semangat ini sering salah dimengerti
orang lain. Bahkan sahabat-sahabat Hok Gie, Tan Tjin Han dan Herman Lantang bertanya "Untuk apa
semua perlawanan ini?". Pertanyaan ini dengan kalem dijawab Soe dengan penjelasan akan kesadarannya
bahwa untuk memperoleh kemerdekaan sejati dan hak-hak yang dijunjung sebagaimana mestinya, ada
harga yang harus dibayar, dan memberontaklah caranya. Semboyan Soe Hok Gie yang mengesankan
berbunyi, "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan."
Masa remaja dan kuliah Hok Gie dijalani di bawah rezim pelopor kemerdekaan Indonesia Bung Karno,
yang ditandai dengan konflik antara militer dengan PKI. Soe dan teman-temannya bersikeras bahwa
mereka tidak memihak golongan manapun. Meskipun Hok Gie menghormati Sukarno sebagai founding
father negara Indonesia, Hok Gie begitu membenci pemerintahan Sukarno yang diktator dan
menyebabkan hak rakyat yang miskin terinjak-injak. Hok Gie tahu banyak tentang ketidakadilan sosial,
penyalahgunaan kedaulatan, dan korupsi di bawah pemerintahan Sukarno, dan dengan tegas bersuara
menulis kritikan-kritikan yang tajam di media. Soe juga sangat membenci bagaimana banyak mahasiswa
berkedudukan senat janji-janji manisnya hanya omong kosong belaka yang mengedoki usaha mereka
memperalat situasi politik untuk memperoleh keuntungan pribadi. Penentangan ini memenangkan
banyak simpati bagi Hok Gie, tetapi juga memprovokasikan banyak musuh. Banyak interest group
berusaha melobi Soe untuk mendukung kampanyenya, sementara musuh-musuh Hok Gie bersemangat
menggunakan setiap kesempatan untuk mengintimidasi dirinya.
Tan Tjin Han, teman kecil Hok Gie, sudah lama mengagumi keuletan dan keberanian Soe Hok Gie,
namun dirinya sendiri tidak memiliki semangat pejuang yang sama. Dalam usia berkepala dua, kedua
lelaki dipertemukan kembali meski hanya sebentar. Hok Gie menemukan bahwa Tan telah terlibat PKI
tetapi tidak tahu konsekuensi apa yang sebenarnya menantinya. Hok Gie mendesak Tan untuk
menanggalkan segala ikatan dengan PKI dan bersembunyi, tetapi Tan tidak menerima desakan tersebut.
Hok Gie dan teman-temannya menghabiskan waktu luang mereka naik gunung dan menikmati alam
Indonesia yang asri dengan Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) UI. Selain itu, mereka juga gemar
menonton dan menganalisa film, menikmati kesenian-kesenian tradisional, dan menghadiri pesta-pesta.
Film ini menggambarkan petualangan Soe Hok Gie mencapai tujuannya untuk menggulingkan rezim
Sukarno, dan perubahan-perubahan dalam hidupnya setelah tujuan ini tercapai.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan dan politik adalah dua elemen yang sangat penting dalam sistem
sosial politik disetiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang.
Keduanya sering dilihat sebagai bagian yang terpisah dan tidak memiliki hubungan
apa-apa, tetapi keduanya saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga
dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik
masyarakat di Negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga - lembaga dan proses
politik di suatu Negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan
disuatu Negara tersebut.

Pendapat Herman yang dikutip oleh Sirozi (2005:19) menyatakan bahwa jika
politik dipahami sebagai praktik kekuatan, kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat
dan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang lokasi sumber daya dan nilainilai
sosial, maka pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis politik. Semua lembaga
pendidikan baik pemerintah maupun non pemerintah dalam batas-batas tertentu tidak
terlepas dari bisnis pembuatan keputusan-keputusan yang disertai otoritas dan yang
dapat diberlakukan. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam praktik
kekuatan, kekuasaan, dan otoritas. Dengan kata lain, politik adalah bagian dari paket
kehidupan lembaga - lembaga pendidikan.
2

Pendapat Baldridge yang dikutip oleh Sirozi (2005:20) menyatakan bahwa


lembaga- lembaga pendidikan dapat dipandang sebagai sistem-sistem politik-mikro,
yang melaksanakan semua fungsi utama dari sistem-sistem politik. Dengan demikan
politik dan pendidikan adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling
mempengaruhi. Berbagai aspek pendidikan mengandung unsur-unsur politik.
Sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek-aspek kependidikan.
Pendidikan politik adalah aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan
menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada indvidu. Ia meliputi keyakinan
konsep yang meiliki muatan politis, meliputi juga loyalitas dan perasaan politik
serta pengetahuan dan wawasan politik yang menyebabkan seseorang memiliki
kesadaran terhadap persoalan politik dan sikap politik. Di samping itu, ia
bertujuan agar setiap individu mampu memberikan partisipasi politik yang aktif
di masyarakatnya. Pendidikan politik merupakan aktivitas yang terus berlanjut
sepanjang hidup manusia dan itu tidak mungkin terwujud secara utuk kecuali
dalam sebuah masyarakat yang bebas. (http://cuap-cuap-ah.bogjurnalistik onlain.com/wordpress/?p=15)
Wacana pendidikan politik dapat dilihat melalui kampanye partai politik di
kampus atau di Universitas yang telah mengisi opini publik, namun pihak-pihak yang
terkait dengan wacana ini tidak merespon secara lebih serius. Dengan adanya politik
masuk kampus atau universitas diharapkan agar mendapatkan perhatian yang lebih
dan penerapannya bagi demokratisasi Indonesia jangka panjang.
Secara potensial, selalu ada ancaman pergolakan mahasiswa dari kampus
perguruan tinggi yang menginginkan adanya transparansi. Hal ini disebabkan oleh
adanya kesenjangan pada penerapan kekuasaan antara kaum tua dan kaum muda.
Kesenjangan itu menunjukkan adanya komunikasi yang terputus, sedangkan pihak
3

penguasa yang menjadi penghubung seringkali merupakan faktor hambatan dan


selalu didahului oleh anak-anak muda.
Dewasa ini, perkembangan film di Indonesia semakin diterima oleh masyarakat,
baik melalui pandangan yang positif ma upun pandangan yang negatif. Banyaknya
film yang dibuat untuk menghibur masyarakat, terdapat beberapa film yang
memberikan pesan-pesan di dalamnya. Dalam banyak penelitian tentang dampak film
terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami. Artinya,
film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan di
dalamnya. Kritik yang muncul didasarkan bahwa film adalah potret dari masyarakat,
dimana film itu dibuat. Film- film yang sering muncul baik didalam televisi, VCD
maupun di bioskop, biasanya film yang mempunyai pesan-pesan moral bahkan ada
cerita yang diangkat dari suatu pandangan masyarakat mengenai hal-hal yang
bernuansa mistik.

Film adalah gambar- hidup, juga sering disebut movie (semula pelesetan untuk
berpindah gambar). Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Gambarhidup
adalah bentuk seni, bentuk populer dari hiburan, dan juga bisnis. Film
dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figur
palsu) dengan kamera, dan/atau oleh animasi. (http://muhamadikhsan.multiply.
com/journal/item/46).
Film yang sering ditayangkan tersebut hanya menarik perhatian masyarakat
sesaat saja. Selain film-film remaja dan film- film mistik, masih ada sebuah film yang
mempunyai makna tersendiri untuk masyarakat khususnya mahasiswa, dimana film
ini menceritakan tentang seseorang yang mempunyai peranan sangat luar biasa. Gie
adalah seorang yang mempunyai watak khas, dia begitu teguh, mempertahankan
4

idealismenya. Gie adalah sosok pemuda yang mencerminkan kegigihan, kesederhanaan,


dan keberanian. Soe Hok Gie adalah seorang pemuda Indonesia
keturunan cina yang tumbuh dan berkembang dalam pergolakan ini dan merekamnya
dalam catatan harian. Gie lahir pada tanggal 17 desember 1942. Gie bersekolah di
SMP Strada kemudian SMA Kanisius. Setelah lulus SMA, Gie melanjutkan ke
Universitas indonesia pada tahun 1961. Dimasa kuliah inilah Gie menjadi aktivis
kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap
tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengkritik tajam Orde
Baru.
Pada dasarnya Gie adalah manusia biasa seperti masyarakat Indonesia lainnya,
namun latar belakang keluarga dan lingkungannya secara tidak sengaja membentuk
kepribadiannya yang unik dan khas. Ketika Gie bersekolah di kanisius dan
Universitas Indonesia, pada masa itu tidak lazim dibaca oleh anak muda seumurannya
dan sangat cepat diresapi dan dipahami. Gie sering sekali membaca buku idealis dan
filsafat, ternyata dapat merubah pemikiran, karakter, watak seseorang, sehingga
menghasilkan pemikiran baru dalam konteks tersendiri.
Gie begitu teguh untuk mempertahankan idealismenya, bahkan cenderung
terbuka. Gie selalu berupaya untuk mempertahankan kemurnian perjuangan
khususnya pada gerakan Mahasiswa. Pada waktu Gie duduk di bangku kuliah, Gie
dan teman-temannya mendirikan Mapala, salah satu kegiatan pentingnya adalah naik
gunung. Di puncak semeru, pada tanggal 16 desember 1949, sehari sebelum ulang
5

tahunnya yang ke 27, Gie meninggal akibat menghirup gas beracun. Gie menghembuskan
nafas terakhirya dipangkuan sahabat karibnya Herman Lantang.
B. Identifikasi masalah
Wacana pendidikan politik akan terwujud apabila mahasiswa bisa menempatkan
diri pada setiap situasi yang ditentukan bukan hanya dirinya sendiri, melainkan juga
oleh orang-orang lain serta lingkungan disekitarnya. Pembentukan wacana
pendidikan politik bagi mahasiswa dapat dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling
terkait, baik yang berasal dari dalam diri mahasiswa (internal) maupun dari luar
mahasiswa (eksternal), yang keduanya itu secara otomatis dapat mewujudkan
wacana pendidikan politik bagi mahasiswa. Dalam konteks memahami politik perlu
dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik,
komunikasi politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik dan juga tidak
kalah pentingnya untuk mengetahui tentang seluk beluk tentang partai politik.
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka penulis
tertarik untuk mengadakan penelitian tentang Wacana Pendidikan Politik dalam

Film Gie (Analisis Semiotik Konstruktivisme).


C. Pembatasan Masalah
Permasalahan yang dikaitkan dengan judul di atas sangat luas, sehingga tidak
mungkin dari banyak permasalahan yang ada dapat dijangkau dan terselesaikan
6

semua. Oleh karena itu guna menghindari kemungkinan adanya kesalahpahaman dan
penafsiran yang berbeda-beda yang akan mengakibatkan penyimpangan terhadap
judul di atas, maka perlu adanya pembatasan dan perumusan masalah, sehingga
persoalan yang akan diteliti menjadi jelas dan kesalahpahaman dapat dihindari.
Dalam hal ini penulis membatasi ruang lingkup dan fokus masalah sebagai berikut:
1. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah aspek-aspek dari subjek penelitian yang menjadi
sasaran penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah wacana
pendidikan politik dalam film Gie.
D. Perumusan Masalah
Perumusan masalah atau sering diistilahkan problematika merupakan kegiatan
penting yang harus ada dalam penulisan suatu karya ilmiah. Oleh karena itu seorang
peneliti sebelum melakukan penelitian harus mengetahui terlebih dahulu permasalahan
yang ada. Dengan adanya permasalahan yang lebih jelas maka proses
pemecahannya akan terarah dan terfokus pada permasalahan tersebut. Berkaitan
dengan perumusan masalah, Hamidi (2004:43) berpendapat bahwa:
Permasalahan penelitian pada hakikatnya merupakan bentuk lain dari
pernyataan permasalahan seperti yang terdapat dalam latar belakang
permasalahan. Dalam permasalahan penelitian, pernyataan permasalahan
penelitian dinyatakan dalam kalimat pertanyaan, bukan lagi dalam kalimat
pernyataan. Istilah permasalahan disini bukan berarti sesuatu yang mengganggu
atau menyulitkan tetapi sesuatu yang masih gelap, sesuatu yang belum
diketahui, sesuatu yang ingin diketahui.
7

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan suatu


permasalahan yaitu, bagaimana konstruksi wacana pendidikan politik pada
mahasiswa dalam film Gie?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan titik pangkal untuk kegiatan yang akan dilakukan,
sehingga perlu dirumuskan dengan jelas. Dalam penelitian ini perlu adanya tujuan
yang berfungsi sebagai acuan pokok terhadap masalah yang diteliti agar dapat bekerja
secara terpusat dalam mencari data sampai pada langkah pemecahan masalah.
Berkaitan dengan tujuan penelitian, Hamidi (2004:48) berpendapat bahwa:
Menulis tujuan penelitian sebenarnya ingin memperjelas apa sebenarnya yang
hendak diteliti. Esensinya adalah sama dengan kalimat judul, pernyataan
permasalahan dan permasalahan penelitian. Tujuan penelitian ini bisa
diungkapkan dengan kata-kata, ingin mengetahui atau secara lengkapnya:
tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui.
Adapun tujuan dari penelitian in i adalah untuk mengetahui konstruksi wacana
pendidikan politik pada mahasiswa dalam film Gie.
F. Manfaat atau Kegunaan Praktis
1. Manfaat atau kegunaan teoritis
a. Sebagai karya lmiah maka hasil penelitian diharapkan memberi konstribusi bagi
perkembangan ilmu pada umumnya, mengenai wacana pendidikan politik pada

mahasiswa dalam film Gie.


8

b. Menambah cakrawala pengetahuan khususnya mengenai wacana pendidikan


politik pada mahasiswa dalam film Gie.
2. Manfaaat atau kegunaan praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan masukan yang
berguna bagi mahasiswa terhadap nilai- nilai politik yang terrdapat di dalam film
Gie.
b. Memberi sumbangan pengetahuan dan informasi kepada mahasiswa Universitas
maupun masyarakat mengenai pentingnya pendidikan politik bagi mahasiswa.
G. Sistematika Penulisan
Guna mempermudah memahami skripsi ini, maka sangat perlu dikemukakan
sistematika penulisan. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut ini.
Bagian awal meliputi: Halaman Judul, Halaman Persetujuan, Halaman
Pengesahan, Halaman Motto, Halaman Persembahan, Kata Pengantar, Daftar Isi,
Daftar Tabel, Daftar Lampiran, dan Abstrak.
Bagian pokok skripsi ini dibagi dalam lima bab. Bab I Pendahuluan yang
meliputi Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah,
9

Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat atau Kegunaan Penelitian, serta


Sistematika Penulisan.
Bab II Landasan Teori dimulai dengan Tinjauan Pustaka yang mengemukakan
hasil- hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Selanjutnya,
Kerangka Teoritik yang dimulai dengan Tinjauan Teoritis mengenai Wacana
Pendidikan Politik pada Mahasiswa yang menguraikan tentang: Pengertian Wacana,
Pengertian Pendidikan, Pengertian Politik, Pengertian Sistem Politik, Pengertian
Mahasiswa, Hak dan Kewajiban Mahasiswa, serta Wacana Pendidikan Politik pada
Mahasiswa. Kerangka teoritik terakhir adalah Analisis Semiotik Konstruktivisme
yang meliputi: Pengertian Analisis, Level Analisis, Pengertian Semiotik, Prinsip prinsip Teori Semiotika, Macam- macam Semotik, Pengertian Konstruktivisme,
Asumsi Dasar Pemikiran Konstruktivisme, Macam- macam Konstruktivisme, Doktrin
Konstruktivisme. serta Analisis Semiotik yang dilanjutkan dengan penyusunan
Kerangka Pemikiran.
Bab III Metode Pene litian berisi uraian, Bentuk dan Strategi Penelitian, Sumber
Data, Teknik Pengumpulan Data, Validitas Data, Analisis Data, serta Prosedur
Penelitian.
Bab IV Hasil Penelitian yang berisi uraian meliputi Deskripsi Lokasi
Penelitian, Deskripsi Permasalahan Penelitian serta Tinjauan Studi yang dihubungkan
dengan Kajian Teori.

Kritis, berani dan jujur. Begitulah sosok seorang pemuda di awal


tahun 1960-an, Soe Hok Gie. Dalam pandangannya, Presiden Soekarno
adalah lanjutan dari pada raja-raja Jawa. Beristri banyak dan
mendirikan keraton-keraton dan lain-lain. Tajam!
Diangkat dari buku 'Soe Hok Gie: catatan seorang demonstran',
Mira Lesmana dan Riri Riza menuangkan dalam versi layar lebar

dengan interpretasi sendiri. Tak menyeluruh mengikuti naskah


bukunya, mereka mengambil garis besar buah pikir dan kehidupan
Gie yang cukup kompleks dan diproses untuk sebuah tontonan
komersil.
Dan itu tak mudah. Setting cerita di tahun 1960-an cukup sulit
dicari. Akhirnya, Semarang menjadi lokasi syuting utama yang
dianggap sangat dekat dengan penggambaran Jakarta kala itu.
Mobil-mobil yang berseliweran di dalam film tersebut, juga dengan
penuh perjuangan untuk mendapatkannya. Selain pinjam, ada juga
yang direnovasi kanan-kiri agar mendekati mobil a la tahun 1960an.
Hasilnya, cukup memuaskan. Layak menjadi tontonan bagi siapa pun
yang berkesan dengan pemikiran orisinil seorang Gie dan mencari
tontonan alternatif di tengah maraknya film bergenre remaja dan
horor.
Mengintip Sosok Gie Dalam Film
Sejak usia 15 tahun, Gie yang duduk di bangku SMP sudah mulai
menggoreskan kesehariannya dalam sebuah buku. Inilah awal pembuka
film yang harus menjalani proses produksi selama tiga tahun.
Suara Nicholas Saputra yang memerankan tokoh Gie, memperkenalkan
dirinya.
Saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang
tengah berkecamuk di Pasifik. Kira-kira pada umur lima tahun
saya masuk sekolah Sin Hwa dan seterusnya.
Gambar dimulai dengan keresahan masyarakat akan revolusi di tahun
1957. Tembok-tembok menjadi sasaran inspirasi mereka atas
keinginan akan perubahan yang cepat menuju perbaikan hidup yang
layak. Sosok Gie, yanga bercelana pendek dan berkaos oblong,
menjadi saksi mata akan ketidakpuasan sebagian bangsa Indonesia
kala itu.
Walau terbilang masih cukup muda, Gie sudah memiliki pemikiranpemikiran yang tak terbendung. Jika ada yang tak berkenan dan
salah menurut pandangannya, ia tak segan-segan membantah. Ia
berani mengoreksi gurunya yang mengatakan Chairil Anwar adalah
pengarang prosa Pulanglah dia si anak hilang. Gie yakin
pengarangnya adalah Andre Gide, seorang sastrawan yang bukunya
sudah dilahapnya dan Chairil hanyalah penerjemah. Sang guru tadi
tetap ngotot akan pendapatnya. Tak ada yang mengalah, Gie dipaksa
mengulang kelas. Dan itu kembali diprotesnya.
Sejak SMP, Gie memang sudah haus dengan dunia sastra. Buku karya

Spengles, Amir Hamzah, Chairil Anwar dan Shakepeare sudah


dicernanya dalam otak. Namun itu juga dikritisinya habis-habisan.
Misalnya saja kisah legendaris 'Romeo and Juliet'. Romantisme
yang tertuang di dalamnya dianggap tak masuk akal dan menjemukan.
Dengan alur cerita maju, Riri Riza berhasil menuangkan dengan
baik peralihan Gie dari ia masih bercelana pendek hingga
bercelana panjang. Keterangan waktu yang penting di film ini
menjadi pembuka babak penting kehidupan Gie. Dari SMP menginjak
SMA, Gie diperankan oleh Jonathan Mulia. Saat ia menginjak bangku
kuliah di Universitas Indonesia pada tahun 1962, sosok Gie dewasa
beralih ke Nicholas Saputra. Tampak 'rapi', wajah Gie kecil dan
Gie dewasa cukup memiliki kemiripan.
Tak semua tokoh yang ada dalam film Gie ini pernah ada. Misalnya
Shinta dan Ira. Dua wanita yang digambarkan dekat dengan Gie itu
hanyalah nama yang diciptakan. Pujaan hati Gie sesungguhnya
bernama Maria. Dalam kenyataannya, Gie tak bisa memiliki Maria
karena keluarganya tidak setuju.
Diam menjadi kekuatan karakter sosok Gie. Pada nyatanya, menurut
Riri, Gie memang sangat pendiam. Menurut pengakuan Riri yang
sempat mewawancara Arif Budiman, kakak beradik itu pernah tak
bicara selama 10 tahun hanya karena mempertahankan pandangan
masing-masing. Dan syukurnya, Nicholas akhirnya berhasil melepas
karakter 'jaim' Rangga di Ada Apa dengan Cinta dan bermain baik
mulai di pertengahan film. Sosok Gie yang diam, dewasa, memiliki
idealisme tinggi, tampak dikuasai olehnya. Bahkan dari cara
menirukan jalan Gie yang sedikit 'kemayu'.
Menjadi bumbu penyegar, tak lupa film ini diselipkan kisah
romansa sang demonstran di tengah-tengah kesibukannya membagi
pemikiran-pemikiran di kampusnya. Gie yang kaku, harus menahan
rasa sukanya pada Ira, teman seperjuangannya di kampus. Kendati
begitu, ciuman pertamanya bersarang di bibir Sinta, seorang
wanita yang pada akhirnya digambarkan menyerah pada kekayaan
material. Dan itu tak dimiliki Gie.
Namun hidup terus berjalan untuknya. Ia makin kritis kepada
pemerintah yang mulai bertindak sewenang-wenang menaikkan harga.
Hatinya miris melihat rakyat yang mengantri demi mendapatkan
kebutuhan pokok. Dan buah pikirnya menjadi sajian koran-koran
terkemuka sekaligus menampar pemerintah. Akibat perbuatannya itu,
ia mulai dicari-cari 'seseorang' untuk 'diamankan'.
Hati Gie semakin terpaku melihat teman seperjuangannya mulai
melupakan keidealisannya. Mereka menduduki bangku parlemen dan

mulai mengecap enaknya berbahagia di atas penderitaan rakyat


kecil. Gie pun mulai menarik diri dari keterasingannya. Di puncak
Semeru, 16 Desember 1969, sang demonstran merasakan sesaknya
menghirup gas beracun. Sehari menjelang usianya ke 27 tahun, Soe
Hok Gie yang enggan berganti nama menghembuskan nafas terakhir
disaksikan sahabat karibnya, Herman Lantang.
Catatan Harian Soe Hok Gie: Senin, 22 Januari 1962
'Seorang filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah
tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda dan yang
tersial adalah umur tua. Rasanya memang begitu, bahagialah mereka
yang mati muda.'
Saksikan Gie mulai 14 Juli 2005.

NASIONALISME DAN ETNIS CINA DALAM FILM GIE


Pengarang: Akhmad Zakky

Indonesia adalah negara yang masyarakatnya terdiri dari berbagai etnis dan agama. Dalam sejarah Indonesia, etnis China
adalah kelompok masyarakat yang selalu terpinggirkan; sejak zaman penjajahan sampai dengan era reformasi mereka
selalu dijadikan tumbal kekuasaan. Namun, tidak berarti mereka tidak mempunyai rasa nasionalisme. Salah satunya
tergambar dalam film Gie yang diangkat dari catatan harian seorang mahasiswa beretnis China bernama Soe Hok Gie.
Melalui film ini kita bisa melihat nasionalisme seorang etnis China lewat tokoh utamanya, yaitu Gie. Tokoh Gie digambarkan
sebagai mahasiswa yang kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah, dengan setting waktu pada tahun 1960-an. Film
Gie berhasil memberikan perspektif baru dalam melihat nasionalisme etnis China di Indonesia, memberikan bukti bahwa
etnis China sebagai bagian dari masyarakat Indonesia mempunyai rasa nasionalisme yang sama dengan kelompok
masyarakat lainnya. Dalam tulisan ini penulis berusaha menjawab pertanyaan: bagaimana nasionalisme etnis China
tergambar dalam film Gie? Filmyang merupakan bagian dari sastramempunyai peluang besar untuk menyampaikan
pesan mengenai nasionalisme kepada penikmatnya, karena film mempunyai penikmat yang tak mengenal usia.

Kata kunci: Etnis china, Nasionalisme, Soe Hok Gie.

Pendahuluan

Etnis Cina yang kedatangannya diperkirakan telah datang ke Indonesia berabad-abad yang lalu datang ke bumi Nusantara
sebagai seorang pedagang; hal yang sangat lumrah, mengingat pada masa lalu berdagang adalah hal yang bisa membuat

manusia dari berbagai penjuru dunia saling berhubungan. Setelah kolonialisasi Belanda atas Indonesiaatau juga disebut
Hindia Belandadimulai, Belanda berusaha untuk membuat pemisahan dalam strata sosial masyarakat pada masa itu.
Menurut Onghokham, Masyarakat Hindia belanda dibagi kedalam tiga golongan: pertama golongan Eropa atau Belanda,
kedua golongan golongan Timur Asing: termasuk Cina, Arab, India dan seterusnya, ketiga golongan pribumi (Onghokham
2008: 3). Politik segregasi seperti ini mulai diterapkan mulai tahun 1854, dengan tujuan awal untuk membedakan
kedudukan hukum masing-masing golongan. Ini mengingatkan kita pada politik apartheid di Afrika, yang juga sama-sama
pernah menjadi koloni Belanda di masa lalu.
Pemisahan-pemisahan seperti ini juga sangat merugikan kalangan etnis Cina, karena Belanda sering menjadikan mereka
sebagai tameng. Orang-orang Cina dimasa lalu sering dijadikan tuan-tuan tanah pemungut pajak oleh Belanda, sehingga
apabila ada gejolak dalam masyarakat merekalah yang akhirnya dijadikan tumbal. Hal seperti inilah yang membuat
hubungan etnis Cina dan pribumi selalu tidak harmonis. Sejarah juga mencatat benturan-benturan antara pribumi dengan
etnis Cina di beberapa kota, diantaranya kerusuhan pernah terjadi di Kudus dan Tangerang. Ini semakin memperkuat
stigma negatif terhadap etnis Cina di Indonesia. Dalam konteks kekinian, ada semacam redefinisi kelas di Indonesia; etnis
Cina sekarang seolah-olah adalah warga kelas dua, dan sering dianggap tidak Indonesia seratus persen. Sehingga
pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah mereka masih memiliki rasa nasionalisme terhadap Indonesia? Dalam
bentuk apakah rasa nasionalisme itu? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang coba dijawab dalam makalah ini melalui analisa
film Gie.
Film Gie adalah alih wahana dari sebuah catatan harian seorang mahasiswa bernama Soe Hok Gie yang berasal dari
kalangan etnis Cina. Film yang dibuat pada tahun 2005 ini disutradarai oleh sutradara muda, yaitu Riri Reza, dan
diproduseri oleh Mira Lesmana. Dalam rangka pembuatan film ini, tim produksi juga melakukan riset sejarah mengenai
tokoh Gie ini, bahkan John Maxwell yang pernah menulis khusus tentang Soe Hok Gie dijadikan konsultan sejarahnya. Ada
semacam upaya serius untuk menghadirkan sosok Gie yang sesungguhnya dalam film ini. Konflik-konflik antar faksi yang
ada pada saat itu ikut tergambar dalam film ini, dan kita bisa melihat respon Gie atas hal ini.
Kajian yang dilakukan seputar film ini telah cukup banyak dilakukan, beberapa hal yang dianalisa antara lain mengenai
partsipasi politik Tionghoa dalam film Gie, identitas ke-Cina-an, dan analisa lirk-lirik dari lagu latar dalam fim ini. Dalam
tulisannya, Ariel Heryanto menganggap tokoh Soe Hok Gie sebagai contoh dari orang Indonesia berperanakan Cina yang
bisa dikatakan sebagai pahlawan aktivis 1960an. Selain itu, pembuat film ini mencoba untuk membangkitkan kembali
optimisme masyarakat Indonesia setelah reformasi lewat bernostalgia dengan aktivisme pada tahun 1960an (Heryanto
2008, 84). Film ini banyak disorot sebagai karya yang lahir setelah reformasi, yang membicarakan sebuah gerakan politik
anti golongan, dan cukup merepresentaikan perjuangan seorang muda yang berasal dari etnis Cina.
Giebegitu ia biasa dipanggilsendiri adalah mahasiswa jurusan sejarah di Universitas Indonesia yang termasuk aktivis

mahasiswa angkatan 66, jadi ia termasuk orang yang ikut menggulingkan kekuasaan Soekarno pada saat itu. Bahkan John
Maxwell yang berasal dari Australia khusus menulis buku tentang Gie dengan judul Soe Hok Gie, Pergulatan Intelektual
Muda Melawan Tirani. Ini menunjukkan ada daya tarik khusus dalam diri Soe Hok Gie. Melalui tokoh Gie yang ada dalam
film ini juga kita bisa melihat bentuk nasionalisme yang hadir dalam diri tokoh Giebaik Gie sebagai bangsa Indonesia
maupun sebagai orang yang berasal dari etnis Cina. Jadi penulis menganggap film ini sangat menarik untuk dikaji,
sehingga kita dapat menangkap pesan berharga yang ada di dalamnya.

Nasionalisme dan Etnis Cina


Nasionalisme adalah suatu ideologi yang meletakkan bangsa dipusat masalahnya, dan berupaya mempertinggi
keberadaannya (Smith 2003: 10). Dari pemahaman tersebut kita bisa melihat nasionalisme sebagai ideologi yang
bertujuan untuk menjadikan sebuah bangsa bisa eksis dan meletakkan permasalahan bangsa di atas kelompok atau
golongan. Tentu saja nasionalisme akan hadir pada diri seseorang yang mempunyai keterkaitan dengan bangsa tersebut,
tanpa harus melihat asal-usul orang tersebut. Rasa cinta dan peka terhadap keadaan bangsa adalah kunci penting dalam
nasionalisme. Dalam konteks Indonesia, sebagai negara yang terdiri dari berbagai etnis dan suku bangsa, nasionalisme
bisa hadir dan tumbuh pada setiap orang, tidak terkecuali bagi orang yang berasal dari kalangan etnis Cina. Semua orang
mempunyai potensi yang sama dalam menghayati nasionalisme.
Nasionalisme mempunyai banyak bentuk dalam perwujudannya. Setiap zaman dan setiap keadaan bisa memunculkan
bentuk nasionalisme yang berbeda. Pada zaman perang kemerdekaan, dengan ikut berperang bisa dikatakan sebagai
perwujudan dari rasa nasionalisme. Tetapi setelah zaman kemerdekaan, dengan menjadi wakil Indonesia di ajang olah
raga internasional atau wakil Indonesia untuk olimpiade matematika bisa juga dikatakan sebagai perwujudan rasa
nasionalisme. Jadi, perwujudan rasa nasionalisme tidak hanya berbentuk perjuangan politik semata. Ini semua juga
berlaku pada kalangan etnis Cina. Sejarah juga mencatat keterlibatan mereka dalam proses kemerdekaan, walaupun tidak
banyak orang yang berusaha mengingatnya.
Kesadaran politik etnis Cina sebenarnya telah lama tumbuh, setidaknya politik segregasi yang diterapkan oleh Belanda
disinyalir sebagai salah satu faktor yang membangkitkan perlawanan secara politis. Walaupun mereka ditempatkan pada
kelas kedua dalam strata sosial masyarakat Hindia Belanda pada saat itu, ternyata secara hukum mereka dirugikan (Benny
G. Setiono 2004: 460-461). Ketidakadilan yang dialami oleh etnis Cina pada saat itu telah membangkitkan perlawanan
yang bersifat politis, dengan tidak mengatasnamakan sebagai orang yang berasal dari rasa tau etnis tertentu, namun atas
nama kelompok yang menjadi bagian dari penduduk Hindia Belanda. Nasionalisme yang mensyaratkan adanya rasa cinta
terhadap negara mulai tumbuh dalam diri mereka. Dalam perkembangannya, orang-orang yang berasal dari etnis Cina ikut
terlibat dalam proses awal kemerdekaan Indonesia, sehingga kita bisa menemukan beberapa nama dari kalangan etnis

Cina yang menjadi mentri dimasa kepemimpinan Soekarno.


Dalam bidang politik, posisi etnis Cina sangat tidak diuntungkan. Seperti yang dikatakan oleh Charles. A Coppel, bahwa
etnis Cina diibaratkan memakan buah simalakama. Jika mereka terlibat dalam politik kalangan oposisi, mereka dicap
subversif. Apabila mereka mendukung penguasa waktu itu, mereka dianggap oportunis. Bila mereka menjauh dari politik,
mereka juga dianggap oportunis, sebab mereka akan dikatakan hanya mencari keuntungan belaka (Coppel 1994: 53).
Disini etnis Cina benar-benar terlihat sangat tidak bebas menentukan pilihan secara politis. Imbas dari politik segregasi
yang diterapkan oleh Belanda di masa lalu masih terinternalisasi dalam masyarakat Indonesiaada kesan etnis Cina selalu
dicurigai segala gerak-geriknya. Kebijakan-kebijakan penguasa turut membuat mereka hanya terpojok dalam satu dunia
saja, yaitu dunia bisnis. Mereka tidak mempunyai kesempatan yang sama seperti etnis-etnis lain yang ada di Indonesia
untuk ikut merasakan dunia lain selain bisnismisalnya kita hampir tidak menemukan mereka dalam dunia militer.
Sehingga ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1998 mereka menjadi tumbal, karena dianggap menghancurkan
ekonomi Indonesia.
Setelah reformasi bergulir, mereka mencoba untuk masuk kembali ke dalam dunia politik dengan ide mendirikan sebuah
partai yang mengatas namakan etnis Cina atau Tionghoa. Ini adalah salah satu usaha untuk menunjukkan eksistensi
mereka sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Walaupun beberapa kalangan yang berasal dari etnis Cina sendiri menolak
gagasan ini, namun ini bisa dianggap sebagai usaha mereka untuk ikut andil dalam membangun bangsa lewat jalur politis.
Hal ini bisa juga dilihat sebagai usaha untuk merebut kembali hak politik mereka setelah sekian lama terabaikan.
Apabila kita cermati lebih dalam, sebenarnya etnis Cina telah banyak memberikan sumbangsih kepada Indonesia lewat
jalur olah raga, khususnya pada cabang bulu tangkis. Nama-nama seperti Rudi Hartono, Liem Swi King, Alan Budi Kusuma,
dan Susi Susanti yang telah mengahrumkan nama Indonesia di pentas dunia, sebenarnya sudah bisa dijadikan sebagai
bukti dari rasa nasionalisme dalam bentuk yang lainkarena sebagai atlit yang mempunyai prestasi dnuia, bisa saja
mereka membela negara lain dengan cara berganti status warga negara. Ini adalah bentuk lain dari perwujudan rasa
nasionalisme kepada sebuah bangsa. Kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus bisa mengakui dan mencatat ini
sebagai bagian dari perwujudan rasa nasionalisme rakyat Indonesia.

Nasionalisme dalam Film Gie


Nasionalisme mengharuskan rasa cinta yang mendalam kepada negara yang dicintainya, dan rasa cinta ini tentu saja
memiliki banyak bentuk. Dengan kritik-kritik yang tajam terhadap pemerintah pada saat itu, sebenarnya tokoh Gie telah
menunjukkan rasa nasionalismenya terhadap Indonesia. Tokoh Gie digambarkan sebagai orang yang idealis dan tidak bisa
berkompromi dengan hal yang menurutnya salah. Ia tidak menyukai perjuangan-perjuangan yang didasari atas semangat
kelompok dan golongan. Menurutnya, perjuangan harus didasari oleh kebenaran dan keadilan.

Simbol-simbol perjuangan, kekuasaan, kemegahan direpresentasikan lewat adegan-adegan, simbol-simbol, dan setting
yang terdapat dalam film ini. Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa saat menuntut turunnya Soekarno digambarkan dengan
penuh semangat perjuangan: bendera merah putih yang dibawa oleh demonstran, spanduk-spanduk yang berisi berbagi
tuntutan kepada pemerintah, long march yang dilakukan saat demonstrasi, dan ditambah dengan latar musik tentang
revolusi. Kekuasaan digambarkan dengan kemewahan dan kemegahan istana presiden Soekarno, dengan pakaian yang
gagah, Soekarno digambarkan sebagai seorang presiden yang sangat berkuasa saat itu.
Sebaliknya, film ini juga menggambarkan masyarakat yang semakin miskin karena keadaan yang kacauseperti dalam
adegan seorang laki-laki yang sedang memakan buah dari sebuah tempat sampah. Ini jelas sebuah ironi yang coba
ditampilkan dalam film ini; sebuah kemewahan dan kemegahan istana dengan kondisi rakyat yang miskin. Dengan latar
sosial seperti inilah Gie hidup dan bergulat dengan pemikiran-pemikirannya. Kondisi sosial di sekitarnya membuat ia
semakin berfikir dan bertindak kritis kepada pemerintah pada saai itu.
Tokoh Gie dikenal sebagai orang yang tidak bisa berkompromi dengan hal yang ia anggap salah, bahkan ketika masih di
sekolah ia berani untuk mendebat guru sastranya karena ia menganggap pendapatnya itu salah. Karena tindakannya itu ia
tidak bisa naik kelas. Walaupun ibunya menyarankan untuk mengulangnya, ia tetap saja tidak bisa menerima dan meminta
untuk pindah ke sekolah yang lain. Ia menolak untuk tinggal kelas, karena ia menganggap kritik yang ia sampaikan bukan
merupakan sebuah kesalahan. Gie berkata pada ibunya:

Ga bisa ma, saya yakin nilai-niai saya baik, saya jauh lebih pintar dari anak-anak yang lain. Ini pasti karena guru dendam
pada saya.

Lalu ibunya berkata:


Sudah lah Gie, kamu mengulang saja, pa Can bilang masih bisa mengulang, belum rugi umur.

Tapi langsung dipotong oleh Gie:


Ga bisa ma. Sekarang begini, mama percaya sama saya ga? Saya bisa, saya pintar, saya banyak membaca, mama
percaya ga?
Pokoknya saya ga mau mengulang! Carikan saya sekolah yang lain, saya buktikan nanti.

Dalam hatinya Gie berkata:


Kalau angkaku ditahan oleh model guru yang tak tahan kritik, aku akan mengadakan koreksi habis-habisan, aku tidak
mau minta maaf!

Pada sekuen yang lain terlihat juga pandangan Gie yang melihat demokrasi terpimpin sebagai hal yang otoriter, ini terlihat
dalam adegan saat diskusi kelas:
Jadi menurutmu demokrasi terpimpin sama sekali bukan demokrasi?

Tanya sang guru. Lalu Gie menjawab:


Jelas pak! Lihat apa yang terjadi dengan pers akhir-akhir ini, seperti Indonesia Raya atau Harian Rakyat. Saya bukan
simpatisan komunis, tetapi apa yang terjadi terhadap Harian Rakyat adalah contoh pelanggaran terhadap demokrasi. Kita
seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat, yang
merugikan pemerintah. Mereka yang berani menyerang koruptor-koruptor, mereka semua ditahan. Lihat apa yang terjadi
dengan Mochtar Lubis, menurut saya itu adalah tanda-tanda kediktatoran.

Dalam dialog-dialog diatas jelas terlihat karakter Gie yang tidak bisa berkompromi dengan sesuatu yang ia anggap salah.
Ada keyakinan dalam diri Gie, bahwa semua orang, tanpa melihat status, harus bisa menerima kritik dari orang lain.
Karakter seperti ini yang dikemudian hari membuat ia terus bersifat kritis terhadap pemerintah. Dengan bersifat kritis
terhadap segala kebijakan pemerintah, bukan berarti ia tidak cinta kepada negaranya, namun sebaliknya, ini malah
menunjukkan rasa cintanya kepada negara. Karena cinta kepada negara berarti mengaharapkan yang terbaik untuk
negara, inilah perwujudan dari rasa nasionalisme.
Kondisi sosial masyarakat Indonesia yang kacau di awal 1960an dengan ditandai kekacauan politik dan kenaikan harga
cukup meresahkan jiwa Gie. Ia menganggap seorang intelektual harus bisa berbuat sesuatu bagi negaranya. Ini terekam
dalam dialog ketiaka ia sedang berdiskusi dengan teman-temannya:

Bidang seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru, mereka harus bisa bebas disegala arus-arus masyarakat
yang kacau. Tetapi mereka tidak bisa lepas dari fungsi-fungsi sosialnya, yakni bertindak demi tanggung jawab sosialnya
apabila keadaan telah mendesak. Kaum intelegensia yang terus berdiam di dalam keadaan yang mendesak telah
melunturkan sebuah kemanusiaan.

Dialog ini juga menekankan sisi praxis dari kaum intelektual. Fungsi-fungsi sosial harus bisa dilaksanakan oleh mereka:
masyarakat akan sangat membutuhkan bantuan seorang intelektual agar bisa keluar dari keterpurukan. Oleh karena itu,
Gie sendiri akhirnya turun ke jalan untuk berdemonstrasi, sebagai bentuk dari fungsi sosial seorang intelektual.
Bagi Gie berjuang harus atas nama keadilan dan kemanusiaan, tidak atas dasar segelintir kelompok atau golongan. Ia
pernah menolak ajakan kawannya, yaitu Jaka, yang mengajaknya bergabung ke dalam organisasi PMKRI (Persatauan
Mahasiswa Katolik Republik Inonesia), karena Jaka tahu Gie adalah seorang Katolik. Penolakan ini tentu saja didasari oleh

keyakinannya untuk berjuang atas nama kemanusiaan dan di atas semua golongan. Kelompok-kelompok seperti inilah
yang dikemudian hari mendapat jatah di parlemen. Pada salah atau adegan setelah pemutaran film Jaka menghampiri
Gie dan bertanya lu tuh kiri apa kanan sih Gie? Sontak saja Gie terkaget-kaget, seolah-olah perjuangan itu harus
berpihak pada salah satu kelompok kiri atau kanan.
Jaka pada awalnya adalah salah satu teman dekat Gie, tetapi setelah peristiwa penolakan Gie untuk bergabung dengan
PMKRI mereka menjadi jauh. Dalam film ini juga digambarkan kebertolak belakangan jalan mereka dalam berjuang; dalam
adegan demonstrasi tergambar Gie dan Jaka yang saling menatap namun berjalan ke arah yang berlawanan. Gie
berdemonstrasi atas nama senat mahasiswa sastra UI, sebaliknya Jaka atas nama PMKRI.
Gie melihat politik partai dan golongan telah memasuki kampus, organisasi mahasiswa yang besar seperti GMNI, HMI,
sampai yang terkecil PMKRI bergerak dan berteriak atas nama golongan. Ia benar-benar tidak simpati dengan semua ini,
yang menjadi harapannya adalah mahasiswa tersebut mengambil keputusan atas dasar kebenaran, bukan atas dasar
agama, ormas atau golongan apapun. Oleh karena itu, saat menjelang pemilihan senat mahasiswa sastra, ia berusaha
untuk membujuk sahabatnya Herman Lantang untuk mengajukan diri sebagai calon ketua. Ia tahu bahwa Herman
dianggap orang yang tidak punya keberpihakan politik, hal ini yang dianggap kelebihan dari diri seorang Herman, dan tidak
dimiliki oleh calon-calon lain. Dengan tidak mempunyai keberpihakan politik, berarti bisa menjaga independensi
perjuangan. Walaupun begitu, ia tetap mendorong sikap kritis terhadap pemerintah. Dalam salah satu dialog ia berkata
kepada Herman:

Kita isi aja kegiatan senat dengan kegiatan yang kita suka, musik, nonton film, naik gunung. Tapi, sekali-kali kita harus
hantam pemerintah tentunya.

Gie sendiri pernah berkata tentang manifesto politik pembaharuannya:

Setelah kemerdekaan tercapai, kenyataan menunjukkan bahwa kita masih jauh dari tujuan. Kita melihat dengan penuh
kecemasan bahwa pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan kini telah membawa bangsa Indonesia kepada keadaan
yang sangat mengkhawatirkan. Diktator perseorangan yang berkuasa bukan lagi merupakan bahaya diambang pintu,
tetapi telah menjadi suatu kenyataan. Cara-cara kebijaksanaan negara dan pemerintahan bukan saja bertentangan dengan
azas-azas kerakyatan dan musyawarah, bahkan menindas dan memperkosanya. Jelas sudah bagi kita bahwa istilah
demokrasi terpimpin dipakai sebagai topeng belaka, justru tidak lain untuk menindas dan menumpas azas-azas demokrasi
itu sendiri. Tiba saatnya bagi patriot Indonesia untuk bangkit menggalang kekuatan dan bertindak menyelamatkan bangsa
dari jurang malapetaka.

Dari manifesto politiknya ini, kita bisa melihat Gie dengan sadar telah melihat keadaan yang terus memburuk, dan jelas
telah jauh dari cita-cita kemerdekaan. Pemimpin negara yang telah menjadi seorang diktator dianggap sebagai salah satu
penyebab dari semua keterpurukan rakyat. Ia mengakui bahwa manifestonya ini tidak jauh berbeda dengan manifesto
politik pak Mitro, seorang tokoh yang ia anggap sebagai seorang idealis yang harus terasing ke luar negeri. Ia terlihat
sebagai orang yang lebih suka berdiri dibelakang menyusun strategi, dari pada menjadi pemimpin organisasi.
Pada salah satu adegan, saat mereka naik gunung, Herman pernah bertanya kepada Gie mengenai perjuangan dan
perlawanannya:

Gie, gua lama pengen tanya sama lu. Sebenarnya untuk apa sih perlawan ini semua?

Lalu Gie menjawab:


Iya. Gua jadi ingat temen kecil gua Man, di Kebun Jeruk. Dulu dia juga nanya sama gua, kenapa gua selalu jadi tukang
protes? Padahal hidup gua lebih baik dari dia. Sekarang gini Man, kita punya pemimpin, kita punya bapak yang kita akui
sebagai founding father di negeri ini, tapi buat gua bukan berarti dia punya kekuasaan absolut untuk menentukan hidup
kita, nasib kita. Apalagi kalau kita sadar ada penyelewengan, ketidak adilan. Kalau kita hanya menunggu, menerima nasib,
kita tidak akan pernah tahu kesempatan apa yang sebenarnya kita miliki dalam hidup ini. Sederhanyanya, gua cuma ingin
perubahan, supaya hidup kita lebih baik. Satu-satunya cara Soekarno harus jatuh!

Dalam dialog ini Gie berusaha untuk mengatakan alasan tentang segala sikap kritisnya. Terlihat sekali keinginannya untuk
bisa melihat Indonesia menjadi lebih baik, bukan sebuah sikap yang mengaharapkan pamrih, apalagi oportunis. Ia juga
menekankan untuk segera merubah bangsa nasib dengan tangan kita sendiri, karena kesempatan belum tentu datang
untuk kedua kalinya.
Setelah kejadian G30SPKI, kekerasan terhadap PKI terjadi dimana-mana. PKI sedemikian dibenci, seakan darah mereka
halal untuk dibunuh. Entah kenapa etnis Cina ikut terbawa-bawa dalam peristiwa itu, seperti dalam salah satu adegan
terdapat bacaan di dinding PKI andjing! Tjina andjing! Timbul kesan seolah-olah seorang PKI boleh dibunuh, apalagi ia
berasal dari etnis Cina. Disini lagi-lagi etnis Cina dijadikan sebagai tumbal. Gie tidak setuju dengan pembantaianpembantaian itu, ia menganggap kemanusiaan harus menjadi tolak ukur setiap perbuatan. Ia sendiri bukan simpatisan
PKI, namun PKI yang dianggap sebagai musuh bersama pada saat itu tidak patut untuk diperlakukan secara biadab dan
tidak berprikemanusiaan.
Jatuhnya Soekarno dan masuknya aktivis-aktivis mahasiswa untuk menjadi anggota parlemen cukup merisaukan Gie,
karena ternyata para aktivis-aktivis itu dianggap telah berkhianat terhadap nilai-nilai perjuangan. Gie menyebutnya
dengan istilah penghianatan intelektual. Mereka yang telah masuk dalam lingkaran kekuasaan kemudian berubah secara

drastis. Pada tahun 1966 pemerintah melakukan perubahan parlemen, anggota-anggota yang yang pro komunis dan pro
Soekarno diganti, dan saat itu terdapat tiga belas pemimpin mahasiswa dalam parlemen. Sebagai anggota, mereka punya
hak yang sama dengan anggota-anggota lain. Beberapa tokoh mahasiswa yang sebelumnya melarat tiba-tiba punya mobil
bagus, mondar-mandir ke luar negeri dan dijebak golongan pemilik modal. Seperti yang tergambar dalam dialog antara
Jaka dan Gie ketika bertemu disuatu tempat, pada saat itu ia melihat Jaka dengan mobil barunya: Jaka menghampiri Gie
dan berkata:
Gua tau betul apa yang terlintas di kepala lu Gie, gua ga perlu dengan semua pendapat lu Gie, gua berhak memilih
dimana gua harus berjuang.
Lalu Gie memotong pembicaraannya, dan berkata:
Gua ngerti cita-cita lu, mungkin sama juga dengan cita-cita gua, tapi semoga dengan apa yang lu perjuangkan ga luntur
dengan diplomasi-diplomasi dan lobi-lobi untuk mempertahankan posisi lu disana.

Ketakutan Gie akan hilangnya nilai perjuangan untuk membawa Indonesia kepada keadaan yang lebih baik sangat terlihat
disini. Nilai-nilai idealisme kaum muda yang sebelumnya menjadi ruh perjuangan, lambat laun bisa hilang dengan
masuknya mereka ke dalam lingkaran kekuasaan. Dengan menggadaikan idealisme perjuangan, Gie menyebut ini sebagai
bagian dari penghianatan intelektual. Seperti yang ia katakana sebelumnya bahwa seorang intelektual mempunyai fungsi
sosial, yang berarti harus bisa merasa peka terhadap keadaan rakyat.

Penutup

Nasionalisme yang menjunjung kepentingan bangsa diatas kepentingan golongan atau kelompok coba dihadirkan dalam
sosok Soe Hok Gie dalam film Gie. Sebagai orang yang berasal dari kalangan etnis Cina, ia tidak pernah berjuang atas
nama etnis Cina ataupun agama yang ia anut. Bagi tokoh Gie, rasa nasionalisme itu adalah perjuangan yang tidak berpijak
atas dasar nama golongan, berjuang bisa tetap dilakukan dengan tanpa menjadi bagian dari kelompok tertentu saja. Ia
pernah menolak ajakan temannya untuk bergabung bersama PMKRI yang merupakan wadah bagi mahasiswa Katolik
seperti dirinya.
Film ini juga menunjukkan kepada kita bahwa setiap orang yang menjadi bagian dari Indonesia mempunyai potensi yang
sama untuk menunjukkan rasa cintanya kepada negara, terlepas dari asal-usul orang tersebut. Etnis Cina yang selama ini
dianggap sebagai kelompok yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya sendiri, coba ditepis oleh film ini. Ini
memberikan kesempatan pada kita untuk memberikan stereotype yang baru terhadap etnis Cina, dengan tidak lagi
mengacu pada stereotype negatif. Lewat dialog-dialog dan adegan-adegan yang terdapat dalam film ini, kita bisa melihat
sosok Gie yang kritis terhadap keadaan sekitarnya. Sering sekali tulisan-tulisannya mengandung kritik yang tajam,

sehingga bagi beberapa pihak ini kurang menyenangkan, akibatnya ia sering tidak disukai. Sisi kemegahan penguasa dan
kemelaratan rakyat pada saat itu ikut dihadirkan dalam film ini. Simbol kebangsaan dan perjuangan bisa kita temukan
lewat bendera merah putih dan spanduk-spanduk yang dibawa oleh para demonstran.
Film Gie ini kembali mengingatkan kita akan pentingnya sebuah perjuangan. Cita-cita Soe Hok Gie untuk melihat Indonesia
yang bersih dari korupsi dan kehidupan politik yang tidak berpihak pada golongan, rasa tau agama. Selain itu, film ini
berusaha mengingatkan kita untuk selalu menjalankan fungsi sosial sebagai seorang intelektual, dan memberikan kita
warning untuk tidak melakukan penghianatan intelektual. Menghidupkan kembali tokoh Soe Hok Gie berarti menyalakan
kembali api perjuangan untuk melawan ketidak adilan.

Daftar Pustaka

Coppel, Charles A, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (terj.), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Heryanto, Ariel (Ed.), Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics, New York: Routledge,
2008.
Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia, Depok: Komunitas Bambu,
2008.
Setiono, Benny G, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta: Elkasa, 2004.
Smith, Anthony. D, Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah (terj.), Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003.

KOMUNIKASI POLITIK DALAM FILM GIE (Studi Analisis Isi


pada Film GIE karya Riri Riza)
WULAN NOVIARINA ANGGRAINI

Abstract
Salah satu produk seni dan budaya yang dapat mengkomunikasikan kejadian dan fenomena lingkungan
dimana ia dibuat adalah film. Film dapat menggambarkan atau sabagai potret dari masyarakat, kemudian
diproyeksikan ke atas layar. Film yang diproduksi memiliki pesan-pesan di dalam ceritanya yang dikemas
sedemikian rupa dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menghibur dan memberi informasi, namun
ada pula yang mencoba memasukkan dogma-dogma tertentu yang secara perlahan mengajak pada
penontonnya.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah berapa porsi dan proporsi komunikasi politik dalam film Gie?
Dengan tujuan penelitian untuk mengetahui berapa porsi dan proporsi komunikasi politik yang terdapat
dalam film Gie dan mendeskripsikan berapa porsi proporsi komunikasi politik dalam film Gie. Penelitian ini
menggunakan teori sumber sebagai dasar acuan untuk mengamati dan mendeskripsikan porsi proporsi
komunikasi politik yang terdapat dalam film Gie.
Penelitian ini menggunakan metode analisis isi dengan perangkat statistik deskriptif . Tujuan dari analisis isi

adalah merepresentasikan kerangka pesan secara akurat. Penelitian ini menggunakan unit analisis dialog
dan adegan sebagai bagian penting dari sebuah film, dengan struktur kategori berupa konflik dengan
indikator perselisihan pendapat dan indikator perbedaan pandangan, kategori penyelesaian dengan indikator
damai dan indikator kekerasan dan kategori abstain dengan indikator netral dan independen. Ketiga kategori
tersebut muncul sebagai bagian dari komunikasi politik. Penelitian ini menggunakan satuan ukur durasi per
detik kemunculan scene yang mengandung unsur komunikasi politik.
Penelitian menunjukkan bahwa komunikasi politik dalam film Gie adalah sebanyak 3866 detik sebagai total
kemunculan scene yang diamati. Film ini lebih mengedepankan sisi independensi Gie dan kawan ? kawan
dalam kategori abstain dengan porsi sebanyak 2302 detik atau sebesar 59,54%. Kemudian disusul oleh
kategori konflik dengan kemunculan sebanyak 1086 detik atau sebesar 28,09%. Dan kategori penyelesaian
dengan kemunculan sebanyak 478 detik atau sebesar 12,36%. Dominasi kategori abstain dalam film ini
menunjukkan bahwa Gie dan kawan ? kawan lebih memilih untuk tetap independen dan netral dalam
melakukan kegiatan politiknya, dan berusaha untuk tidak memihak kepada kubu manapun atau mengikuti
partai politik/ organisasi politik apapun.
Kesimpulan dari penelitian menunjukkan komunikasi politik dalam film ini mengungkapkan bahwa setiap
manusia disadari atau tidak pasti pernah melakukan kegiatan politik, dimana didalamnya terdapat konflik,
penyelesaian dan sikap abstain. Kegiatan politik yang paling dominan dalam fil Gie ini adalah sikap abstain,
yang diartikan sebagai tidak adanya konflik dan hal yang harus diselesaikan. Ini membuktikan bahwa dunia
politik tidak selalu identik dengan konflik dan penyelesaian. Karena Gie dan kawan ? kawannya berusaha
untuk selalu independen dan menyampaikan ide, pikiran, keinginan dan informasi melalui media secara
damai dan berusaha untuk menghindari untuk menjadi sumber konflik.
Keyword : komunikasi politik; analisis isi film Gie

Anda mungkin juga menyukai