Anda di halaman 1dari 7

Gie Lewat Gie

Mengenang Rasa Malu

Hilmar Farid

Gie adalah sosok penuh kontradiksi. Ia serius, banyak baca buku, senang diskusi dan
debat tentang segala hal mulai dari politik sampai film serius seperti Dita Sáxova-nya
Antonín Moskalyk. Tapi ia juga betah nongkrong di asrama mahasiswa, ‘ngomong jorok’
dan nonton blue film yang tak berjudul. Awal 1966 ia jadi man of action, turun ke jalan
menuntut Soekarno mundur. Kekuasaan berpindah tangan dan Gie tak menunggu lama
untuk menyerang pemerintah baru yang menggantikan. Ia gencar mengkritik PKI tapi
juga jadi orang pertama yang memprotes pembunuhan massal terhadap anggota dan
pendukung partai itu. Ia ikut dalam sel gerakan bawah tanah yang dipimpin tokoh PSI
Soemitro Djojohadikusumo tapi menyebut para pemimpin partai itu ‘sosialis salon’. Ia
dengan ringan keluar-masuk markas militer saat aktif di KAMI tapi juga sering bikin
panas kuping para perwira karena kritiknya terhadap militerisme. Lantas bagaimana kita
memahami himpunan kontradiksi ini?

Di sini saya kira film Gie karya Riri Riza dan Mira Lesmana adalah sumbangan berharga.
Waktu Gie baru beredar banyak orang ragu. Ada yang menilai film itu kehilangan
momentum karena baru beredar waktu gelombang protes mahasiswa sudah surut dan
reformasi jelas tidak berjalan seperti yang diharapkan. Ada yang bilang Gie gagal
mengangkat Gie karena jalan ceritanya membingungkan, casting tidak pas, dan macam-
macam lagi. Saya bisa mengerti kalau ada orang kecewa. Gie itu tokoh ideal, jadi mereka
yang pernah baca Catatan Seorang Demonstran, yang jadi bahan dasar film itu, tentunya
punya harapan segunung. Sayangnya review yang semestinya membuat penonton atau
calon penonton mengerti malah jadi ajang pamer pengetahuan (dan kadang
ketidaktahuan) tentang film dan sejarah. Bagi saya Gie adalah sebuah statement
mengenai sejarah, bukan cuma film dengan latar sejarah. Karena itu arti pentingnya
bukan pada seberapa jauh dan tepat ia menghadirkan kembali masa lalu, tapi pada apa
yang dilakukannya terhadap kesadaran kita mengenai masa lalu.

Mereka yang lahir dan tumbuh di masa Orde Baru tentu ingat film Pengkhianatan G-30-
S/PKI karya Arifin C. Noer. Entah berapa kali saya nonton film itu. Di sekolah, bioskop
dan juga di televisi. Film itu memang istimewa. Tidak sedikit teman, saudara dan orang
yang saya kenal awalnya menganggap film itu bukan rekaan tapi rekaman kejadian nyata.
Pengaruhnya juga tidak kecil. Kebiasaan orang menyebut ‘G-30-S/PKI’ dan bukan ‘G-
30-S’ saya kira juga karena film ini. Sekalipun tahu bahwa narasi dominan yang menjadi
sumber istilah itu tidak dapat dipercaya, istilahnya tetap dipakai. Image Gerwani dan
Pemuda Rakyat berseragam menyanyi dan menari sambil menyiksa para jenderal dengan
silet sulit hilang dari ingatan, sekalipun dari visum et repertum para jenderal kita tahu
bahwa itu tidak pernah terjadi.

1
Film ini menjajah kesadaran kolektif, menguasai the unconscious. Gambar kekejaman di
Lubang Buaya itu melekat sedemikian rupa sampai kita tidak lagi ingat dari mana
datangnya dan menjadi sesuatu yang self-generated yang bisa muncul setiap saat tanpa
diminta. Pengkhianatan menjadi signifier yang dipakai sebagai patokan untuk memahami
semua signifier lain. Pernah seorang teman semasa sekolah mengomentari pembunuhan
yang dilakukan seorang kepala sekolah terhadap istrinya. Tubuh istrinya dipotong-potong
lalu dimasukkan ke dalam kotak kardus dan digeletakkan di pinggir jalan. “Ini hanya
mungkin terjadi di negara komunis!” katanya. Pengkhianatan menjadi patokan untuk
memahami semua perbuatan yang mengerikan, dan membuat kesadaran sejarah
terkurung. Dalam konteks ini Gie membuka jalan untuk keluar dari keadaan ini, lepas
dari penjara Pengkhianatan dan membuka berbagai kemungkinan melihat sejarah.

***

Coba kita lihat tokoh Han (yang diperankan Christian Audi dan Thomas Nawilis),
sahabat Gie sejak remaja. Keduanya sempat berpisah lama dan saat bertemu kembali
sudah tumbuh dewasa. Gie jadi aktivis mahasiswa yang mengkritik Soekarno dengan
tulisan sementara Han jadi anggota PKI yang sibuk merekrut anggota di kalangan miskin.
Dalam paradigma Orde Baru keduanya adalah representasi kekuatan yang bertentangan
dan tidak mungkin bertemu, tapi dalam Gie mereka masih bisa duduk dan bicara. Bahkan
ketika aktivis PKI mulai dikejar dan dihabisi, Gie berusaha menyelamatkan Han.
Hubungan seperti ini tidak ada dalam Pengkhianatan. Tentu saja dalam kenyataan ada
pendukung Orde Baru yang ikut menyelamatkan teman atau saudara mereka seperti Gie.
Tapi kenyataan itu tidak bisa diangkat apalagi dirayakan karena akan menabrak narasi
Orde Baru yang hitam-putih.

Lebih jauh Han tidak pernah digambarkan sangar seperti anggota Pemuda Rakyat yang
digambarkan berbaris menyanyi Darah Rakjat dalam Pengkhianatan. Ia adalah pemuda
miskin yang numpang pada tantenya yang pemarah, dan harus kerja keras untuk
menyambung hidup. Saat bertemu kembali ia tetap hangat seperti semula. “Menurut gue,
ini revolusi, Gie!” katanya tanpa ragu-ragu dan mengajak Gie masuk PKI. Tapi Gie
menjawab bahwa Han tidak paham permainan politik tingkat atas dan malah memintanya
keluar dari partai. Han menyela, “Gie denger gue sebentar. Lu mestinya inget dan ngerti
kenapa gue pengen hidup gue berubah. Kenapa gue pengen hidup layak. Dan seperti lu,
gue juga ngerasa gue punya tugas supaya rakyat kita yang miskin bisa hidup layak. Ini
akan tercapai, Gie.” Hok Gie masih berusaha meyakinkan Han, tanpa hasil. Tapi Gie
tidak membenci Han karena itu dan begitu juga sebaliknya.

Gie bukan komunis. Itu pasti. Ia percaya propaganda militer bahwa G-30-S didalangi PKI
dan juga ikut memakai istilah Gestapu/PKI dalam tulisan-tulisannya. Istilah itu
diciptakan Brigjen Sugandhi sebagai bentuk psychological warfare dengan menyamakan
G-30-S dengan polisi rahasia Jerman, Gestapo. Dan Gie tentu tahu bahwa asosiasi itu
mengingkari kenyataan dan kelaziman berbahasa. Dengan kata lain ia terlibat dalam
perang secara sadar. Seperti ribuan mahasiswa saat itu ia percaya Soekarno dan PKI
harus dikalahkan untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman komunis.

2
“Kalau mahasiswa-ABRI dapat mereka kalahkan maka di tanah air akan lahir
Barisan Soekarno, yang kemudian akan diisi oleh fungsionaris-fungsionaris PKI-
ASU dan kawan-kawan. UI akan dibubarkan (kemudian disusul Unpad, ITB dan
IPB). Kemudian Jakarta akan berdiri Universitas Bung Karno, dengan Achmadi
sebagai rektornya. Setelah itu akan terjadi pembersihan besar-besaran. Guru besar
seperti Prof. Dr. Imam Slamet Santoso akan ‘dicomot’, dan kemudian diikuti
rekan-rekannya yang lebih muda seperti Nugroho, Fuad Hasan, Widjojo dan lain-
lainnya. Setelah itu mahasiswa-mahasiswa seperti: Marsilam Simanjuntak, Liem
Bian Koen, Firdaus dan kaum ‘ekstremis’ akan ditendang dari bangku kuliah.”
(Zaman Peralihan: 117).

Tapi ia membaca Marx dan Lenin, mungkin lebih banyak dari mahasiswa kiri di masa itu.
Sewaktu SMA ia memprotes pelarangan Harian Rakjat dan Indonesia Raja atas nama
kebebasan berbicara. “Mereka yang berani menyerang koruptor-koruptor, mereka semua
ditahan...” katanya, sebelum dipotong oleh gurunya (Mulyohadi Purnomo). Berbeda
dengan intelektual dan politisi anti-komunis yang memainkan peran mereka dalam
‘perang dingin yang panas’ dengan setia, ia menolak intervensi Amerika di Vietnam dan
mendukung penarikan pasukan Amerika dari sana. Seperti mahasiswa progresif-kiri di
Amerika dan Eropa ia juga terinspirasi oleh perjuangan rakyat Vietnam. Ia memprotes
perlakuan terhadap tahanan PKI dan keluarga mereka yang diperlakukan sewenang-
wenang oleh penguasa, dan menjadi orang pertama yang menulis tentang pembunuhan
massal di Bali. Karena tulisan ini ia mulai dapat masalah. Ia hampir ditabrak mobil dan
pengemudinya melempar gulungan kertas yang bertuliskan Tjina + PKI = Mati. Gie
mendatangi Soenarto (Ella Gayo), pemimpin sel bawah tanah yang dekat dengan militer,
dan marah-marah menuduh militer berada di belakang serangan ini. Soenarto hanya
meminta Gie agar hati-hati bicara. Tanda bahwa tuduhan Gie tidak ditampiknya.

Dalam salah satu tulisannya ia menyesali perlakuan terhadap Prof Soekirno, guru besar
FKUI dan ketua HSI yang meninggal di tahanan karena tidak mendapat bantuan medis.
Pemakamannya dihadiri banyak orang. “Persahabatan dan rasa hormat dari murid-
muridnya terhadap profesor tua ini, lebih besar dari prasangka-prasangka dan slogan-
slogan anti-komunis yang telah ditanamkan di tanah air kita.” (Zaman Peralihan: 171).
Banyak yang kemudian menganggapnya kiri karena sikap semacam itu, sementara Gie
sendiri hanya ingin bicara kebenaran dan melawan ketololan Perang Dingin yang kejam.

Gie tidak sendirian. Dalam soal kritik terhadap rezim Orde Baru ia sehaluan dengan Arief
Budiman, abangnya yang kemudian melanjutkan studi ke Universitas Harvard, menulis
disertasi tentang pemerintahan Salvador Allende yang kiri di Chile, dan secara terbuka
mengumumkan dirinya sebagai Marxis. Gie, seperti juga Arief, memang menyempal dari
logika Perang Dingin dan ‘politik aliran’ yang biasa dipakai para ahli untuk membingkai
sejarah politik Indonesia. Dan ia juga tidak selalu sejalan dengan kawan-kawannya dalam
organisasi. Dalam Gie ia diperlihatkan bergabung dengan gerakan bawah tanah anti-
Soekarno yang dipimpin Soemitro Djojohadikusumo, tokoh PSI. Gie direkrut Ben (Ayez
Kassar), yang memperkenalkan diri sebagai aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis. Gie
diperkenalkan kepada anggota sel bawah tanah yang lain, Roeli (Agastya Kandou) dan
Yossy (Wyan Sonatha), dan bersama mereka menerbitkan kritiknya dalam bentuk

3
selebaran. Tapi keterlibatan itu tidak membuatnya memegang ‘garis partai’ seperti
layaknya kader yang setia. Justru kritiknya terhadap kelompok ini teramat tajam.

“Dari grup mereka ini (sisa-sisa PSI) sudah terlalu senang dan terpandang,
borjuis, sehingga mereka menjadi pengecut. Sosialisme bagi mereka adalah
slogan-slogan dan lip service saja. ‘Musuh kami adalah kemiskinan dan
kebodohan’ adalah slogan yang paling kosong yang pernah mereka dengungkan.
Itulah sebabnya PSI telah kalah dan tidak disenangi rakyat.” (Catatan Seorang
Demonstran: 158)

Ia juga mengkritik gerakan PRRI, yang antara lain melibatkan para petinggi PSI dan
membuat partai ini kemudian dilarang oleh Soekarno. Ia menaruh simpati pada orang
yang berjuang “demi cita-cita yang murni.” Tapi pada saat bersamaan mengecam keras
para pemimpin yang menggunakan uang perjuangan untuk foya-foya di Hongkong dan
Singapura (Zaman: 80). Ia juga tidak bisa menerima ideologi anti-Jawa yang kental di
kalangan ini.

“Dan pemimpin-pemimpin yang berani bicara tentang imperialis Jawa sebenarnya


bajingan murahan. Jadi kaum intelektual yang menyerang ‘rezim Sukarno dengan
kedok Jawa’, bagiku sama dan bahkan lebih jahat dari garong-garong istana
sendiri. Kekecewaan seperti ini yang aku jumpai di PRRI. Bagiku sungguh
menggembirakan bahwa PRRI mati, karena mereka adalah racun dengan konsepsi
anti Jawanya.” (Catatan Seorang Demonstran: 145)

Gie sering disebut sebagai idealisasi sosok Gie dan gerakan mahasiswa di masa itu. Saya
kira tidak. Jika dihadapkan pada narasi dari tokoh mahasiswa dari masa itu seperti Yozar
Anwar, Sulastomo atau Nurcholish Madjid, sosok Gie agak berbeda. Mereka sama-sama
berani, militan dan tidak kenal lelah dalam berjuang. Tapi kalau para tokoh ini sepertinya
selalu tahu harus berbuat apa, Gie dalam Gie seringkali bimbang, ragu dan sering
merenung. Adegan paling mengesankan adalah saat mahasiswa kocar-kacir karena
diserang tentara, Gie hanya berdiri setengah mematung menyaksikan semua itu sebelum
perlahan mundur dan menghilang dari pandangan. Ia bukan pemuda pemberani di
Lapangan Tiananmen yang menghadang panser dengan tas plastiknya. Bukan juga tipe
laskar mahasiswa yang menenteng pistol pinjaman ke mana-mana (walau pernah
dipinjami juga).

Gerakan mahasiswa sendiri jauh dari ideal. Masa mahasiswa di film itu penuh dengan
pertentangan dan bahkan perkelahian di antara mahasiswa sendiri. Gie sendiri sempat
dihardik Jaka (Doni Alamsyah) yang menganggapnya tidak tegas dan cuma sibuk nonton
film dan naik gunung. Saat ada demonstrasi di depan kampus UI Salemba, Gie membawa
Roeli dan Yossy. Dengan enteng Gie meminta Herman (Lukman Sardi) yang ketua senat
untuk memberi identitas kepada dua temannya itu. Adegan kecil yang mengkonfirmasi
adanya non-mahasiswa dan non-pelajar dalam barisan KAMI dan KAPPI. Dalam
Catatan Seorang Demonstran, Gie sendiri mengakui keberadaan preman yang direkrut
dari sekitar Salemba dalam barisan mereka.

4
Berulangkali ia menyebut peran gerakan mahasiswa seperti koboi kota, pejuang kesepian
yang turun gunung untuk mengusir kekuatan jahat, lalu kembali mengembara dalam sepi.
Saat membaca baris-baris itu dalam bukunya saya teringat pada lukisan Sudjojono Maka
Lahirlah Angkatan ’66, seorang pelajar dengan topi KAPPI memegang kuas dengan
tangan kanan dan kaleng cat dengan tangan satunya, berdiri kaku di tengah dengan kaki
dan kepala melampaui frame. Di latar belakang terlihat gedung dan tembok yang
dipenuhi coret-coretan menentang Soekarno. Pelajar itu memakai jaket yang dibuka
kancingnya dan dari pinggangnya menyembul pistol, seperti koboi dalam film yang
mungkin baru semalam ditontonnya. Di sisi kanan lukisan seorang ibu berjalan melawan
arah seperti tidak ada hubungannya dengan apapun yang dilakukan oleh pelajar itu.
Padahal dalam narasi dominan perjuangan mahasiswa dan pelajar ini justru untuk
membela rakyat seperti ibu itu. Sudjojono menangkap kontradiksi ini dengan baik, sama
halnya seperti Gie memperlihatkan arak-arakan mahasiswa melewati penduduk yang
sepertinya sibuk dengan kegiatan mereka sendiri.

Dalam adegan lain terlihat Gie makan es di bawah pohon. Ibunya (Tutie Kirana)
kebetulan lewat, menghampiri. Dari pembicaraan dengan Arief (Gino Korompis) di
kampus kita tahu bahwa Gie sudah lama tidak pulang. Tapi saat bertemu, ibunya hanya
bilang, “Gie, kamu kotor sekali. Bau lagi.” Tidak ada sambutan meriah seperti layaknya
pahlawan yang pulang bertempur. Sungguh kontras dengan pasukan RPKAD yang dielu-
elukan orang di pinggir jalan dalam Pengkhianatan.

Hal lain yang menarik adalah image militer dan hubungan antara militer dengan
mahasiswa. Dalam narasi dominan militer digambarkan sebagai penyelamat republik
dengan menumpas ‘oknum’ yang memberontak. Gie sebaliknya mengakui ada
perpecahan antara mereka yang mendukung Soekarno dan PKI dengan mereka yang
menentang. Dan itu juga terjadi di tubuh militer. Saat bertemu kembali dengan Han itu
juga yang dikatakannya. Selama ini hubungan militer dengan mahasiswa digambarkan
sebagai ‘partnership’ dan Pengkhianatan menghadirkan hubungan itu dengan gambar
mahasiswa menaiki panser militer berpawai keliling kota. Dalam Gie militer baru
belakangan muncul di layar dan itu pun dengan cara yang aneh pula.

Saat itu G-30-S baru terjadi dan Gie berusaha mencari keterangan dari teman-temannya
di gerakan bawah tanah. Tapi setiba di rumah tempat mereka biasa kumpul, seorang yang
tak dikenalnya membuka pintu. Soenarto, yang bertubuh besar, lebih tua, dan kelihatan
percaya diri, menjelaskan bahwa ia kini menggantikan Ben yang sudah dipindahkan ke
sel lain. Kesan misterius begitu kuat. Gie hanya berdiri mematung sementara Soenarto
sibuk mencari kunci mobil. Ia kemudian mengajak Gie, Roeli dan Yossy naik mobil.
Dalam perjalanan ketiganya hanya diam dan Soenarto pun tak merasa perlu menjelaskan
tujuan mereka. Sesampai di tujuan yang rupanya markas militer, prajurit penjaga
langsung mengenali Soenarto, memberi hormat dengan memanggilnya ‘mas’ dan
mempersilakannya masuk. Tentu tidak semua orang sipil di masa itu bisa masuk ke
markas militer membawa orang yang tidak dikenal tanpa pemeriksaan, kecuali yang
bersangkutan punya hubungan khusus atau malah bekerja di sana.

5
Adegan selanjutnya lebih menarik lagi. Soenarto membawa ketiganya masuk ke markas
itu dan memperkenalkan mereka kepada Wiyono (Tio Djarot). Soenarto dan Wiyono
masuk ke ruangan sementara ketiganya berpandangan tanda tidak tahu kenapa dan untuk
apa mereka berada di sana. Musik Thoersi Argeswara mengalun pelan menguasai latar
suara. Setelah duduk dan mulai bicara, Soenarto berjalan ke arah pintu lalu menutupnya.
Ruangan itu kini tertutup dari dunia luar dan kita bisa melihat Wiyono bicara. Dari peta
yang digambari anak panah kita tahu bahwa Wiyono sedang menjelaskan sebuah rencana.
Tapi penonton tetap tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan karena musik terus
mengalun. Gie dan kedua temannya diam mendengarkan. Soenarto tampak antusias,
sesekali tersenyum sambil mengangguk-angguk. Di akhir adegan Gie menelan ludah, lalu
kita melihatnya termenung sendirian di dalam bis.

Ini jelas bukan representasi yang gemilang dari ‘partnership’ antara militer dan
mahasiswa yang dirayakan dalam narasi Orde Baru. Segalanya terasa misterius dan
begitu kontras dengan rapat dan debat mahasiswa di kampus yang selalu terbuka dan bisa
didengar semua orang.

Dalam sebuah tulisannya Gie menjelaskan partnership ini dengan lugas. Ia mengatakan
aksi-aksi mahasiswa sejak awal mendapat dukungan militer yang tidak berani muncul
secara terbuka karena ingin menghindari perpecahan di tubuh mereka sendiri. Dengan
menampilkan mahasiswa mereka bisa mengelak dari tuduhan melawan Soekarno, dan
tidak perlu berhadapan langsung dengan pasukan yang masih setia kepadanya. Strategi
itu juga akan memberi wajah simpatik kepada militer bahwa mereka tidak mengejar
kekuasaan semata. Singkatnya, “universitas sebagai pusat ilmu memberikan wajah yang
manis pada Pemerintah AD sejak tahun 1966 ... yang terjadi adalah kerjasama yang
saling menguntungkan. Kasarnya saling tunggang-menunggangi.” (Zaman: 58-59).

***

Begitulah, Gie mengikuti hidup Gie yang penuh kontradiksi. Sementara Pengkhianatan
melihat sejarah sebagai garis lurus, Gie melihatnya sebagai mosaik yang rumit. Sejarah
tidak dibelah garis tegas yang membatasi ‘sini’ dan ‘sana’. Gie tidak mungkin
mencampakkan Han, sahabatnya sejak kecil, dan memeluk Wiyono atau Soenarto yang
baru dikenalnya sebagai gantinya. Gie menyediakan ruang bagi kebimbangan dan
ketidakpastian, wilayah abu-abu, yang tidak mungkin ada dalam dunia kontras hitam-
putih yang digambarkan Pengkhianatan dan narasi Orde Baru. Sebagai hiburan Gie boleh
jadi tidak berhasil dan membuat penonton gamang setelah dua jam disuguhi kumpulan
narasi yang sepertinya tidak koheren. Sebaliknya Pengkhianatan oleh para pengkritiknya
pun disebut sebagai film yang berhasil. Bagi saya tidak jadi soal kalau Gie tidak
menghibur tetapi mengajak berpikir, daripada sebaliknya menghibur tapi membuai dalam
sesat pikir.

Kegamangan dan ketidakpastian tidak membuat kisah Gie dalam Gie menjadi tidak jelas.
Ia tetap pemikir-aktivis yang kesepian. Keluarganya sendiri, kecuali abangnya, tidak tahu
banyak tentang apa yang dikerjakannya. Ibunya bahkan menggugat, “kadang Mama
berfikir untuk apa kamu lakukan semua ini?” Hanya ada seorang anak muda yang selalu

6
menyapanya di jalan. Bagi yang lain, Gie orang biasa. Dalam sebuah adegan terlihat Gie
pulang ke rumah malam hari. Sebuah barikade dipasang merintangi jalan yang dijaga
orang kampung. Melihat Gie mereka datang berkerumun. “Mau ke mana?” Ia menjawab
baru pulang dari rumah dosen. Salah seorang yang mencegat dan berkalung sarung
menyuruhnya pulang. “Daripada nanti disangka komunis, bisa dibunuh orang kamu.”

Gie jelas bukan bagian dari pemenang. Tidak seperti Jaka yang sudah ‘sukses’ naik
mobil, berbaju safari, berjalan di koridor gedung DPR. Segera saja ia sadar bahwa
korupsi, kebobrokan moral dan kesewenangan terus berlanjut, dan kini melibatkan
mereka yang pernah berjuang bersamanya menentang semua itu. Segera ia kehilangan
teman karena mencoba konsisten. Soemitro yang dulu memimpin jaringan bawah tanah
diangkat jadi Menteri Perdagangan dalam kabinet Soeharto yang pertama. Rumah
tempatnya berkumpul kelihatan lama tidak didatangi. Roeli dan Yossy juga seperti
kehilangan semangat dan hanya duduk menunggu. “Kita lihat saja nanti,” jawab Gie
ketika mereka bertanya apakah Soemitro, pemimpin mereka, bisa konsisten dengan apa
yang diperjuangkannya dulu.

Kehidupan di kampus juga sudah berubah. Fakultas Sastra tidak lagi hangat seperti dulu.
Dosen dan mahasiswa sama malas sementara Gie dituding keras kepala dan selalu cari
perkara. Mahasiswa tidak lagi menyapa, sementara dosen lain langsung ke luar ruangan
dan banting pintu saat Gie masuk. Di titik inilah ia berkata, “lebih baik saya diasingkan
daripada menyerah kepada kemunafikan.” Renungan Hok Gie selanjutnya menunjukkan
keberanian yang naif. “Saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi
seorang yang ingin selalu mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi, juga
ketidak-populeran. Ada sesuatu yang lebih besar: kebenaran.” (Catatan Seorang
Demonstran: 203).

Sikap ini mengingatkan saya pada Inge Scholl yang dikutipnya saat berdiskusi dengan
mahasiswa di kampus. Inge, anak walikota Forchtenberg di zaman Nazi, bersama
saudaranya Hans dan Sophie, membentuk kelompok Mawar Putih di Universitas Munich
tempat mereka kuliah. Mereka gencar menerbitkan pamflet bawah tanah mengkritik
kediktatoran Nazi dan politik anti-Semit yang mirip politik anti-Cina di Indonesia. Hans
dan Sophie kemudian ditangkap dan dihukum mati. Inge selamat dan menulis Students
Against Tyranny yang besar kemungkinan jadi acuan Gie saat mengutip pengalaman
mereka dalam buku hariannya. Gie terkesan padanya karena berani bicara di tengah
penindasan yang hebat.

Scholl bersaudara adalah anak pejabat Jerman di masa Nazi. Seperti Gie dan Djin,
mereka adalah anak Neue Ordnung, sebuah tatanan baru yang menjanjikan hari depan
lebih baik. Tapi segera mereka menyadari bahwa semua itu janji kosong. Mereka malu
melihat ketidakadilan menguasai negeri mereka, seperti Gie yang malu melihat orang
makan kulit mangga di pinggir jalan, dan mungkin seperti kita hari ini yang malu melihat
orang makan nasi aking dan gaplek, sementara para pembesar hidup bergelimang
kemewahan. Di tengah timbunan skandal dan krisis yang melanda negeri ini hari ini, Gie
membawa kenangan pada rasa malu yang sudah lama hilang. Rasa malu yang mendorong
orang selama bergenerasi bergerak membuat perubahan.

Anda mungkin juga menyukai