Anda di halaman 1dari 4

NAMA : TSABIT AL HASBY

KELAS : X IPS 4

SOE HOK GIE

Biografi Soe Hok Gie


Soe Hok Gie adalah merupakan keturunan Tionghoa yang lahir pada 17 Desember 1942. Ia
adalah putra dari Soe Lie Pit atau dikenal dengan nama Salam Sutrawan seorang novelis, dan
ibunya bernama Nio Hoe An.
Dalam biografi Soe Hok Gie diketahui bahwa ia adalah anak keempat dari lima bersaudara,
Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief
Budiman.

Masa Kecil Soe Hok Gie


Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi
perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.
Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan
umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.
Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan
sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer.
Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat
dengan sastra.
Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief
Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah
Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir.

Masa Remaja Soe Hok Gie


Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen
Pramoedya: “..Cerita dari Blora”. Pada waktu kelas dua di sekolah menengah ini, prestasi Soe
Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang.
Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak
adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku
sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa
mengulang.
Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius
jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi
lain jurusan, yakni ilmu alam.
Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus
dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari
sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Masa Kuliah di Universitas Indonesia


Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie
dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemudian kakak beradik ini melanjutkan
ke Universitas Indonesia.
Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah, sedangkan Hok Djin masuk ke
fakultas psikologi. Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan.

Kritis Terhadap Pemerintah


Ketika kuliah di UI, ia banyak mengkritisi kebijakan Presiden Ir Soekarno. Selain itu ia juga
banyak mengkritisi mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kala itu sangat
berkembang di Indonesia.
Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya
Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rezim Orde Baru.
Hal ini terlihat dari tulisan-tulisannya mengenai pembantaian massal terhadap anggota
dan simpatisan PKI pasca G30S/PKI pecah.
Ia menulis artikel “Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali.”
yang kemudian diterbitkan oleh Mahasiswa Indonesia Jawa Barat pada bulan Desember
1967. Dalam pemikiran Soe Hok Gie, ia mengkritisi cara-cara pemerintah orde baru yang
menindak anggota dan simpatisan PKI dengan cara-cara diluar kemanusiaan.
Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi
tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus
berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang
bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Pendiri Mapala Universitas Indonesia


Soe Hok Gie diketahui merupakan salah satu tokoh pendiri Mapala UI. Salah satu
kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet
3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “…Now I see the secret of the
making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.
Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya
tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian.
Dalam biografi Soe Hok Gie diketahui bahwa pada tahun 1968 Gie sempat
berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di
bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan
meneruskan menjadi dosen di almamaternya.
Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya
3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan
Gie berkata kepada teman-temannya:

….Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-
manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi
dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal
objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia
bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula
pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.

Wafatnya Soe Hok Gie di Gunung Semeru


Tanggal 8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan
catatannya:
…Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian
Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada
kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan
juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas
kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.
Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang
tahunnya yang ke-27. Penyebab kematian Soe Hok Gie akibat menghirup asap beracun di
gunung tersebut.
Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan
selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung
tersebut.
Pada tanggal 24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo,
namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang.
Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan
lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia
meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung.
Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya
disebar di puncak Gunung Pangrango.

Kata Bijak Dalam Catatan Soe Hok Gie


…SEORANG FILSUF YUNANI PERNAH MENULIS NASIB TERBAIK ADALAH
TIDAK DILAHIRKAN, YANG KEDUA DILAHIRKAN TAPI MATI MUDA, DAN
YANG TERSIAL ADALAH UMUR TUA. RASA-RASANYA MEMANG BEGITU.
BAHAGIALAH MEREKA YANG MATI MUDA.”

…KEHIDUPAN SEKARANG BENAR-BENAR MEMBOSANKAN SAYA. SAYA


MERASA SEPERTI MONYET TUA YANG DIKURUNG DI KEBUN BINATANG DAN
TIDAK PUNYA KERJA LAGI. SAYA INGIN MERASAKAN KEHIDUPAN KASAR
DAN KERAS… DIUSAP OLEH ANGIN DINGIN SEPERTI PISAU, ATAU BERJALAN
MEMOTONG HUTAN DAN MANDI DI SUNGAI KECIL… ORANG-ORANG SEPERTI
KITA INI TIDAK PANTAS MATI DI TEMPAT TIDUR.”
…YANG PALING BERHARGA DAN HAKIKI DALAM KEHIDUPAN ADALAH
DAPAT MENCINTAI, DAPAT IBA HATI, DAPAT MERASAI KEDUKAAN..

Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production kemudian meluncurkan film
berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno,
Lukman Sardi dan Thomas Nawilis.

Anda mungkin juga menyukai