Anda di halaman 1dari 5

Muhammad Aldi Gunawan

1506686993
Review Novel “Pulang”
Mata Kuliah Stratifikasi Sosial

REVIEW

Novel Pulang karya Leila S. Chudori mengisahkan tiga peristiwa bersejarah yakni
September 1965, Prancis Mei 1986 dan kerusuhan Indonesia Mei 1998. Kedua peristiwa yang
bersejarah bagi Indonesia, merupakan gambaran kondisi sosial masyarakat Indonesia. Secara
sederhana, kedua peristiwa (1965-1998) tersebut dianggap sebagai awal-akhir dari kekejaman
rezim Soeharto saat menuntas PKI sampai ke akar-akarnya. Pengarang telah membongkar
sejarah kelam yang dilupakan oleh pemerintah pasca peristiwa G30S PKI yaitu kehidupan para
eksil politik yang tertahan di luar negeri.

Di pembukaan novel ini, pengarang menceritakan para eksil politik yang menjadi
pengelana di berbagai negara eropa yang berujung menetap di perancis, sebagai konsekuensi
dari eksklusi sosial totaliter rezim Soeharto. Lantaran mereka lebih memilih menjadi eksil
ketimbang pulang ke Indonesia yang kemudian menjadi tahanan politik. Para eksil politik yang
mengelana ini adalah Dimas, Nugroho, Risjaf, dan Tjai. Mereka berempat hidup dalam
ketidakpastian dan ketidaktenangan yang disebabkan menolak legitimasi pemerintahan
Soeharto. Ekslusi sosial tertera secara tersembunyi dari pencabutan identitas
kewarganegaraannya (Stateless) dan paspor. Hal itu membuat Dimas tidak memiliki peluang
sama sekali untuk bermobilitas sosial naik, karena ia tidak memiliki bekal untuk menjalankan
hidup yang lebih baik.

Sistem stratifikasi yang dapat ditelaah dalam kondisi tahun 1965 itu ialah stratifikasi
semi terbuka. Karena di tahun tersebut, penguasa politik memiliki pengaruh untuk membentuk
stratifikasi yang ia inginkan. Menurut Max Weber, kekuasaan adalah peluang bagi seseorang
untuk mewujudkan keinginan mereka sendiri melalui suatu tindakan komunal meskipun
mengalami tentangan dari orang lain yang ikut serta dalam tindakan komunal itu. Dampaknya,
para individu yang berpaham komunis dan sekelilingnya (keluarga, kerabat, PKI) menjadi
bagian kelas terbawah yang tidak memiliki peluang untuk bermobilitas sosial naik. Sehingga
dapat dikatakan pemerintahan Indonesia waktu itu telah menutup stratifikasi yang ada bagi
orang-orang yang dianggap pengkhianat negara. Kekuasaan politik tersebut bisa dikaitkan
dengan teori elite yang menyatakan adanya kelompok kecil masyarakat yang mampu
mengendalikan masyarakat luas baik melalui kekuatan maupun paksaan.
Beralih ke masa revolusi Mei 1968 pemerintahan De Gaulle dipaksa untuk turun oleh
gerakan mahasiswa dan buruh di Paris. Pada masa ini, kondisi yang terjadi membuat atmosfer
pada saat itu sangatlah terbuka terhadap masalah apapun termasuk para eksil politik. Disinilah
terlihat bahwa sistem stratifikasi dan mobilitas sosial di Prancis bersifat terbuka, para eksil
memiki kesempatan untuk memperbaiki kehidupan dengan membangun restoran tanah air.
Berbeda dengan pemerintah Indonesia, karena para eksil saat ini tidak memiliki
kewarganegaraan, mereka terlanjur mengikuti sistem sosial yang ada di Perancis. Sistem itu
memiliki sifat inklusi yang terbukti dari keleluasaan untuk mendirikan restoran tanah air.
Penyebab utama, sistem yang terinternalisasi pada Dimas itu berasal dari statusnya dengan
Vivienne yang telah menikah. Mobilitas intragenerasi yang terjadi pada Dimas adalah naik.
Dari rentetan kejadian 1965 yang sebelumnya berada di strata menengah-bawah yakni
wartawan menjadi strata menengah-atas yakni pengusaha menengah (Sujatmiko, 1996).
Kondisi yang mendukung mobilitas intragenerasinya adalah kesempatan dan modal sosial yang
dimiliki Dimas, bukan faktor pendidikan. Menurut teori, faktor kesempatan Dimas bersumber
dari tingkat penghasilan dan kelas sosial yang ditentukan oleh keterampilan dan ambisinya
serta dimensi eksklusi sosial yang terdepak dan tergantikan dengan inklusi sosial. Sedangkan
faktor modal sosial berasal dari teman seperjuangan Dimas yakni Nugroho, Risjaf, dan Tjai
yang memberikan dukungan secara sosial untuk membangun restoran tersebut.

Meloncat pada masa kerusuhan Indonesia 1998, Presiden Soeharto terpaksa lengser
dari kekuasaan 32 tahun lamanya. Kelengseran ini dapat ditelaah melalui perjuangan kelas oleh
seluruh mahasiswa Indonesia. Kejadian demonstrasi besar-besaran, merupakan reaksi
mahasiswa atas permasalahan sosial ekonomi politik seperti inflasi, KKN, dan budaya bisu.
Peran mahasiswa sebagai agent of change, di latarbelakangi oleh kesadarannya sebagai kaum
intelektual yang memiliki suara untuk menyuarakan aspirasi masyarakat dan mengkritisi
pemerintah. Kesadaran itu dapat dikatakan sebagai kesadaran kelasnya Marx1 yang berupaya
menentang ke-totaliteran rezim Soeharto dengan harapan memberikan perubahan bagi
Indonesia. Akhir dari kelengseran Presiden Soeharto, memberikan dampak pada stratifikasi
bagi para eksil politik di luar negeri.

SINOPSIS

Dimas Suryo adalah seorang eksil politik yang meninggalkan tanah air yang sangat
dicintainya pada tahun 1965. Saat itu, Dimas yang bekerja sebagai redaktur Kantor Berita

1
Mahasiswa berada pada strata kelas menengah-bawah (Sujatmiko, 1996)
Nusantara sedang mengikuti konferensi jurnalis bertaraf internasional di Santiago, Cile. Pada
waktu peristiwa 30 September 1965 terjadi, ia tidak bisa pulang ke Indonesia. Ia dituduh
terlibat Partai Komunis Indonesia yang dianggap sebagai dalang terbunuhnya para Pahlawan
Revolusi. Dimas Suryo akhirnya terdampar di Paris bersama tiga rekan kerjanya -Nugroho
Dewantoro, Risjaf, dan Tjai Sin Soe. Setelah mengerjakan berbagai pekerjaan serabutan,
keempat pria yang menamakan diri Empat Pilar Tanah Air ini mendirikan Restoran Tanah Air,
restoran yang menyajikan masakan Indonesia di Rue de Vaugirard, Paris.

Pada Mei 1968, saat baru tinggal di Paris dan kota itu sedang bergolak oleh gerakan
mahasiswa dan buruh yang menentang pemerintah De Gaulle, Dimas Suryo bertemu Vivienne
Deveraux. Mereka menikah, dan dari pernikahan ini, lahir putri semata wayang Dimas, Lintang
Utara.

Selama menetap di Paris, berulang kali Dimas berusaha pulang ke Indonesia, tapi selalu
gagal mendapatkan visa. Rezim Soeharto yang mengukuhkan sikap anti komunis dengan
menegakkan berbagai peraturan yang bahkan berada di luar batas kemanusiaan, tidak
memberikannya izin untuk pulang. Padahal, bertahun-tahun bermukim di Paris, kota itu hanya
sekadar menjadi rumah persinggahan. Bagi Dimas, Indonesia adalah rumah sejatinya, tujuan
kerinduannya untuk pulang. Bertahun-tahun menjadi penduduk Paris, bukan Cimetiere du Pere
Lachaise, melainkan pemakaman Karet-lah yang ingin dijadikannya peraduan terakhir.

"Aku ingin pulang ke rumahku, Lintang. Ke sebuah tempat yang paham bau, bangun tubuh, dan
jiwaku. Aku ingin pulang ke Karet," kata Dimas pada putrinya (hlm. 282).

Sebenarnya, selain cinta kepada Indonesia, Dimas memendam cinta lain di Indonesia.
Dimas tidak pernah bisa melupakan Surti Anandari, mantan kekasih yang meninggalkannya
dan menikahi rekan kerja Dimas, Hananto Prawiro. Surti telah melahirkan tiga orang anak bagi
suaminya dan menamai mereka dengan nama-nama yang awalnya direncanakan menjadi nama
anak-anak Dimas. Cinta Dimas yang belum ditamatkan ini menjadi sumber keretakan dalam
pernikahannya dengan Vivienne. Surti-lah yang membuat Vivienne memilih bercerai dengan
Dimas, sekalipun tetap mencintai pria ini.

Ketika Lintang Utara berpacaran dengan Narayana Lafebre, pemuda blasteran Prancis-
Indonesia tapi bukan anak eksil, hubungan Lintang dengan Dimas merenggang. Sikap Dimas
yang tidak menyenangkan terhadap Narayana membuat Lintang terluka dan tidak ingin melihat
wajah ayahnya lagi. Tapi saat Dimas jatuh sakit, tidak ada yang menahan langkah Lintang
untuk mengunjungi ayahnya dan menyampaikan rencana perjalanan ke Indonesia guna
merekam korban peristiwa 30 September 1965.
Sebagai anak dari eksil politik, tidak mudah bagi Lintang untuk masuk Indonesia.
Apalagi kedatangannya ke Indonesia terkait dengan upaya menyingkapkan kembali tabir hitam
dalam sejarah Indonesia. Di balik tabir itu, bertaburan darah orang-orang tidak berdosa yang
dituduh komunis atau berhubungan dengan komunis. Untunglah Narayana memiliki koneksi
di KBRI, para diplomat yunior berpikiran terbuka yang bersedia mengusahakan visa bagi
Lintang.

Lintang tiba di Jakarta tatkala Indonesia sedang panas bergolak pada Mei 1998. Terjadi
demonstrasi besar-besaran, mahasiswa melakukan unjuk rasa terkait kenaikan harga BBM dan
KKN yang menjurus kepada tuntutan reformasi. Presiden Soeharto, diminta turun diri dari
bangku presiden yang telah didudukinya selama 32 tahun. Atas inisiatif Segara Alam, anak
bungsu Hananto Prawiro yang bekerja di LSM Anak Bangsa, Lintang menyusup ke dalam
kerusuhan terbesar dalam sejarah Indonesia, kerusuhan Mei 1998. Dan di tengah panasnya
kondisi politik dan rentannya keamanan yang semakin meningkat itu, Lintang berusaha
merekam film yang mengangkat para korban sejarah Indonesia. Seiring dengan itu, ia tidak
bisa menampik perasaan yang timbul dalam interaksinya dengan Alam, hasrat untuk
berpacaran.

Hananto yang menghilang dari peredaran sejak 30 September 1965, dijadikan target
perburuan, ternyata bersembunyi di Jakarta. Sedihnya, sebenarnya Hananto-lah yang
seharusnya berada di Santiago, Cile untuk mengikuti konferensi. Walaupun telah menikahi
Surti Anandari, ia sering melakukan berhubungan badan dengan wanita lain. Menjelang
peristiwa Gestapu, Surti ingin meninggalkannya dan Hananto bertekad mempertahankan
pernikahannya. Itulah sebabnya, Dimas Suryo yang menggantikannya pergi ke Santiago. Pada
akhirnya keinginan Dimas Suryo untuk dapat pulang ke Indonesia menjadi kenyataan. Tanah
di daerah Karet yang delama ini dirindukan dan selalu ia sebut kepada Lintang kini telah
menjadi tempat persemayamannya.
DAFTAR PUSTAKA

Pattinasarany, Indera R.A. 2016. Stratifikasi dan Mobilitas Sosial. Jakarta: Yayasan Obor
Nusantara

Chudori, Leila S. 2012. Sebuah Novel: Pulang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

http://erakini.com/teknologi-pertanian/ yang diakses pada 21 November 2017 pukul 23.27

Anda mungkin juga menyukai