Kel 4 Rs k3 Rumah Sakit
Kel 4 Rs k3 Rumah Sakit
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan multi etnik dan multi sosial budaya
serta berbagai perbedaan pandangan politik sempit yang diperberat dengan adanya
krisis multi dimensi. Keragaman tersebut berpotensi menimbulkan koflik dengan
kekerasan yang berdampak adanya masalah kesehatan. Konflik dengan kekerasan
menyebabkan terjadinya kedaruratan kompleks yang merupakan bencana karena
ulah manusia termasuk masalah kesehatan yang timbul secara mendadak (akut)
yang ditandai dengan jatuhnya korban manusia. Sehingga penanggulangan
masalah kesehatan akibat kedaruratan kompleks memerlukan keterpaduan dan
kerjasama dengan lintas program dan lintas sektor.
Rumah sakit merupakan tempat kerja yang unik dan kompleks untuk
menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Semakin luas pelayanan
kesehatan dan fungsi rumah sakit tersebut, maka akan semakin komplek peralatan
dan fasilitas yang dibutuhkan. Kerumitan tersebut menyebabkan rumah sakit
mempunyai potensi bahaya yang sangat besar, tidak hanya bagi pasien dan tenaga
medis, tetapi juga pengunjung rumah sakit.
Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi
bahaya-bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu
kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi
listrik, dan sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang
berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi.
Oleh karena itu, sudah seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upayaupaya K3 di RS. Selain itu, agar penyelenggaraan K3 RS lebih efektif, efisien dan
terpadu, diperlukan sebuah pedoman manajemen K3 di RS, baik bagi pengelola
maupun karyawan RS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Rumah Sakit
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal
23 dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus
diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai
risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan
paling sedikit 10 orang. Maka Rumah Sakit (RS) juga termasuk dalam kriteria
tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak
kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di RS, tapi
juga terhadap pasien maupun pengunjung RS. Sehingga sudah seharusnya pihak
pengelola RS menerapkan upaya-upaya K3 di RS. Segala hal yang menyangkut
penyelenggaraan K3 di rumah sakit diatur di dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 432 tentang Pedoman Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah
Sakit termasuk pengertian dan ruang lingkup kesehatan dan keselamatan kerja di
Rumah Sakit.
a. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja
1) Kesehatan Kerja Menurut WHO / ILO (1995)
Kesehatan kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat
kesehatan fisik, mental, dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di
semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja
yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan; perlindungan bagi pekerja dalam
pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan; dan
penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang
disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan psikologisnya. Secara ringkas
merupakan penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan setiap manusia
kepada pekerjaan atau jabatannya.
2) Kesehatan dan keselamatan kerja
Upaya untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat
kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan
penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi
kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.
2
(SOP) K3RS
Pemantauan dan evaluasi kesehatan lingkungan tempat kerja
Pelayanan kesehatan kerja
Pelayanan keselamatan kerja
Pengembangan program pemeliharaan pengelolaan limbah padat,
cair, gas
(9) Pengelolaan jasa, bahan beracun berbahaya dan barang berbahaya
(10) Pengembangan manajemen tanggap darurat
3
peraturan
Menteri
tenaga
kerja
dan
Transmigrasi
RI
dengan
kesehatan
kerja
(Pemantauan/pengukuran
keselamatan/keamanan
sarana,
terhadap pekerja
Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja
Pembinaan dan pengawasan terhadap sanitair
Pembinaan dan pengawasan perlengkapan keselamatan kerja
Pelatihan/penyuluhan keselamatan kerja untuk semua pekerja
Member rekomendasi/masukan mengenai perencanaan, pembuatan
tempat kerja dan pemilihan alat serta pengadaannya terkait
keselamatan/keamanan
(8) Membuat sistem pelaporan kejadian dan tindak lanjutnya
(9) Pembinaan dan pengawasan Manajemen Sistem Penanggulangan
Kebakaran (MSPK)
(10) Membuat evaluasi, pencatatan, dan pelaporan kegiatan pelayanan
keselamatan kerja yang disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit
dan Unit teknis terkait di wilayah kerja kerja Rumah Sakit
3) Standar K3 Sarana, Prasarana, dan Peralatan di Rumah Sakit
Korosif,
Karsinogenik,
Iritasi,
Teratogenik,
dengan
K3
serta
upaya
perencanaan,
pelaksanaan,
prosedur,
sumber
daya,
dan
10
sekaligus
merupakan
informasi
mengenai
keberhasilan
3) Pengorganisasian
Pelaksanaan K3 di RS sangat tergantung dari rasa tanggung jawab
manajemen dan petugas, terhadap tugas dan kewajiban masing-masing serta
kerja sama dalam pelaksanaan K3. Tanggung jawab ini harus ditanamkan
melalui adanya aturan yang jelas. Pola pembagian tanggung jawab, penyuluhan
kepada semua petugas, bimbingan dan latihan serta penegakkan disiplin.
a) Tugas pokok unit pelaksana K3 RS
1) Memberi rekomendasi dan pertimbangan kepada direktur RS
mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan K3.
2) Merumuskan kebijakan, peraturan, pedoman, petunjuk pelaksanaan
dan prosedur.
11
3) Membuat program K3 RS
b) Fungsi unit pelaksana K3 RS
1) Mengumpulkan dan mengolah seluruh data dan informasi serta
permasalahan yang berhubungan dengan K3.
2) Membantu direktur RS mengadakan dan meningkatkan upaya
promosi K3, pelatihan dan penelitian K3 di RS.
3) Pengawasan terhadap pelaksanaan program K3.
4) Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan tindakan
korektif.
5) Koordinasi dengan unit-unit lain yang menjadi anggota K3RS.
6) Memberi nasehat tentang manajemen k3 di tempat kerja, kontrol
bahaya, mengeluarkan peraturan dan inisiatif pencegahan.
7) Investigasi dan melaporkan kecelakaan, dan merekomendasikan
sesuai kegiatannya.
8) Berpartisipasi dalam
perencanaan
pembelian
peralatan
baru,
12
BAB III
ISI DAN PEMBAHASAN
3.1 Studi Kasus
a. Kasus 1
Jakarta, bagi para perawat, bekerja di klinik kanker butuh kehati-hatian
ekstra. Sedikit saja kesalahan tidak hanya membahayakan pasien, tetapi juga diri
sendiri karena kontak langsung dengan obat-obat kemoterapi dapat menyebabkan
keracunan. Para peneliti dari University of Michigan mengungkap, kontak
langsung dengan kulit atau mata bisa membuat obat-obat kemoterapi atau obat
kanker bisa terserap oleh tubuh. Bagi para perawat yang setiap hari menangani
obat-obatan tersebut, hal ini bisa berdampak serius.
Paparan obat kemoterapi yang tidak disengaja bisa membuat para perawat
mengalami gangguan sistem saraf dan reproduksi. Bahkan saat baru terserap dan
masuk ke sistem peredaran darah, racun-racun tesebut juga sudah bisa memicu
risiko kanker darah. "Kontak apapun di permukaan kulit atau mata sama
bahayanya dengan tertusuk jarum suntik. Untuk kecelakaan jarum suntik, perawat
biasanya langsung mendapat pemeriksaan namun pada obat-obat kemoterapi
jarang diperhatikan," ungkap salah seorang peneliti, Dr Christopher Friese seperti
dikutio dari MSN Health, Rabu (24/8/2011). Penelitian yang dilakukan Dr Friese
dan timnya menunjukkan, 17 persen perawat yang bekerja di klinik kanker
mengaku pernah terlibat kontak langsung dengan obat kemoterapi baik di kulit
13
maupun mata. Data ini diperoleh setelah mensurvei 1.339 perawat di seluruh
Amerika.
Lembaga keselamatan dan kesehatan kerja di Amerika Serikat sebenarnya
sudah punya panduan tentang cara penanganan obat kanker yang aman. Namun
karena sifatnya tidak diwajibkan, hanya sebagian saja perawat yang sudah
menerapkan panduan tersebut sedangkan sisanya kurang mematuhinya. Salah satu
imbauan yang tercantum dalam panduan tersebut adalah, para perawat yang
menangani obat-obat kemoterapi harus memakai perlengkapan tertentu untuk
melindungi dirinya. Perlengkapan itu terdiri dari sarung tangan dan juga gaun
khusus untuk melindungi tubuh dari tumpahan obat.
b. Kasus 2
Jakarta, di tempat kerja, ancaman terhadap kesehatan reproduksi bisa
datang dari penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya. Salah satu profesi yang
rentan mengalami gangguan reproduksi akibat penggunaan bahan-bahan tersebut
adalah tenaga kesehatan. Pakar kesehatan kerja dari Universitas Indonesia, Dr dr
Astrid W Sulistomo, MPH, SpOk (spesialis okupansi atau spesialis kesehatan dan
keselamatan kerja) mengatakan pejanan gas-gas anestesi di rumah sakit dalam
jangka panjang bisa memicu ketidaksuburan baik pada pria maupun wanita. Pada
ibu hamil, risikonya adalah kelainan kongenital atau pertumbuhan struktur organ
pada janin.
Ancaman bagi kehamilan juga bisa datang dari pejanan obat-obat kanker
atau antineoplastik dalam waktu yang lama dan terus menerus. Selain memicu
kelainan kongenital seperti halnya gas anestesi, obat-obat antineoplastik juga bisa
memicu keguguran atau abortus spontan. "Menurut penelitian, pekerja di sektor
kesehatan dan manufaktur paling rentan mengalami gangguan reproduksi. Khusus
di negara berkembang, yang paling rentan adalah pertanian akibat penggunaan
pestisida," ungkap Dr Astrid dalam seminar Kesehatan Reproduksi di Tempat
Kerja di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (1/3/2011).
Selain akibat pejanan bahan-bahan kimia, Dr Astrid mengatakan ancaman
di tempat kerja bisa datang dari pejanan fisik seperti suhu yang terlalu panas.
Pejanan fisik berupa temperatur tinggi antara lain mengancam para pekerja di
peleburan baja, tukang las dan koki atau juru masak. Risikonya memang lebih
14
Taiwan
tengah
diambang
terinfeksi
virus
HIV
(Human
15
dokter yang akan melakukan transplantasi. "Kami sangat meminta maaf atas
kesalahan itu," bunyi pengumuman rumah sakit itu seperti dilansir dari
focustaiwannewschannel, Minggu (4/9/2011).
Pejabat departemen kesehatan Taiwan Shih Chung-liang mengatakan
akan melihat kesalahan dan memutuskan hukuman kepada rumah sakit tersebut.
Jika ditemukan kelalaian yang telah menyebabkan kesalahan fatal itu, rumah sakit
mungkin harus menghentikan program transplantasi selama satu tahun di samping
denda yang akan diberikan.
Si pendonor organ adalah seorang pria berusia 37 tahun yang mengalami
koma setelah jatuh dari ketinggian pada 24 Agustus 2011. Si pendonor memang
telah mendaftarkan untuk donor organ dengan memberikan jantung, hati, paruparu dan 2 ginjalnya yang oleh rumah sakit ditranplantasikan pada hari yang
sama. Kepala departemen kesehatan kota Hsinchu, Ke-wu yao mengecam
transplantasi yang dilakukan rumah sakit itu sebagai kelalaian yang mengerikan.
Kota Hsinchu adalah tempat tinggal si pendonor tersebut. Ke-wu yao mengatakan
rumah sakit bisa menghindari kesalahan tersebut dengan meminta riwayat medis
si pendonor di kota asalnya.
Ke-wu yao mengatakan ke-5 orang penerima donor organ itu sangat
mungkin tertular HIV. Dan pengobatan untuk mereka akan semakin rumit karena
selain minum obat-obatan transplantasi untuk menghindari penolakan terhadap
organ baru, mereka juga harus minum obat untuk HIV. Kekhawatiran juga terjadi
pada petugas medis yang melakukan operasi transplantasi tersebut. Beberapa
dokter dan perawat yang telah melakukan transplantasi mengalami depresi dan di
ambang kepanikan.
National Taiwan University Hospital adalah salah satu rumah sakit
terbaik dan sangat dipercaya di Taiwan terutama dalam operasi transplantasi
organ. Rumah sakit tersebut telah berdiri sejak tahun 1895 dan menjadi pusat riset
medis yang sangat disegani.
3.2 Pembahasan Kasus
Dari ketiga kasus diatas, jelas terlihat bahwa bahaya potensial di rumah
sakit selalu bisa terjadi. Bahaya potensial tersebut dapat menimbulkan dampak
16
kesehatan bagi warga rumah sakit, yaitu pekerja medis, non medis, pasien bahkan
pengunjung dan pengantar pasien. Bahaya potensial di rumah sakit berkaitan
dengan :
1. Faktor biologik (kuman patogen yang berasal umumnya dari pasien),
2. Faktor kimia (pemaparan dalam dosis kecil namun gterus menerus seperti
antiseptik pada kulit, gas anestasi pada hati),
3. Faktor ergonomi (cara duduk salah, cara mengangkat pasien salah),
4. Faktor fisik dalam dosis kecil yang terus menerus (panas pada kulit, tegangan
tinggi pada sistem reproduksi, radiasi pada sistem pemroduksi darah), dan
5. Faktor psikologis (ketegangan di kamar bedah, penerimaan pasien, gawat
darurat dan bangsal penyakit jiwa).
Dalam
kasus
pertama
dan
kedua
telah
dijelaskan
bahwa
ada
kecenderungan dari faktor kimia berupa obat kemoterapi, obat antineoplastik dan
gas anestesi dapat memberikan dampak kesehatan bagi petugas kesehatan. Efek
toksik dari obat kemoterapi adalah berupa keracunan yang dapat memberikan
dampak negatif pada sistem saraf bahkan dapat memicu risiko kanker darah
apabila obat tersebut telah memasuki sirkulasi darah. Setelah diidentifikasi lebih
lanjut, obat kemoterapi ternyata juga termasuk dalam B3 (Barang Berbahaya dan
Beracun) karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak
lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
Petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit dapat terkena paparan obat
kemoterapi melalui kontak langsung dengan kulit dan mata secara terus menerus
saat melayani pasiennya. Oleh karena itu, penggunaan APD berupa perlengkapan
yang terdiri dari sarung tangan serta gaun dan kacamata khusus sangat dianjurkan
untuk melindungi petugas kesehatan yang pekerjaannya sangat terkait dengan
pemakaian obat kemoterapi.
Efek toksik dari pejanan gas lain, yaitu berupa gas anestesi di rumah sakit
dalam jangka panjang bisa memicu ketidaksuburan baik pada pria maupun wanita.
Selain itu, obat antineoplastik juga dijelaskan dapat memicu keguguran maupun
abortus spontan pada pekerja wanita yang hamil. Kasus banyak terpaparnya
tenaga kesehatan di rumah sakit terhadap obat kemoterapi dan bahan kimia lain
yang bersifat karsinogenik tersebut harusnya sudah menjadi sorotan SMK3 di
17
Rumah Sakit (klinik kanker). Hal ini sangat penting terutama apabila tingkat
risiko keterpaparan bahan kimia merupakan hal yang memiliki bahaya potensial
tinggi. Sehingga kasus yang terkait dengan kecelakaan kerja ini semakin urgent
untuk cepat diselesaikan.
Kecelakaan kerja di rumah sakit selain disebabkan beberapa faktor diatas,
juga dapat terjadi sebagai akibat dari kelalaian dan kesalahan prosedur dari
pekerja itu sendiri, yaitu seperti yang telah dijelaskan dalam kasus 3. Akibat
komunikasi yaitu penerimaan informasi tentang hasil tes yang salah, proses
transplantasi organ terhadap pasien yang awalnya diperkirakan sukses ternyata
terdapat kesalahan yang fatal. Rumah sakit tersebut tidak menjalankan prosedur
standar yang telah disyaratkan seperti meminta riwayat medis si pendonor organ.
Bahkan kesalahan tersebut dapat menimbulkan pasien mengidap penyakit HIVAIDS yang sebelumnya tidak ia derita.
Kekhawatiran (efek psikologis) yang ditimbulkan dari kesalahan kinerja
tersebut tidak hanya terjadi pada pasien tetapi juga terjadi pada petugas medis
yang melakukan operasi transplantasi pada kasus 3 diatas. Beberapa dokter dan
perawat yang telah melakukan transplantasi mengalami depresi dan kepanikan.
Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat bahwa virus HIV-AIDS dapat ditularkan
melalui cairan tubuh (dalam kasus ini adalah darah) sehingga kemungkinan dokter
dan perawat tersebut tertular HIV-AIDS meningkat.
Selain contoh-contoh kasus diatas, masalah dalam pelaksanaan K3 di
rumah sakit saat ini masih banyak. Masalah tersebut sebenarnya tidak terlepas dari
peran SMK3 di lingkup Rumah Sakit. Maka sudah seharusnya pihak SMK3 di
rumah sakit mengetahui akan bahaya potensial yang ada di rumah sakitnya. Selain
itu, SMK3 harus mencanangkan dan menjalankan upaya pengendalian bahaya.
Pengendalian bahaya dapat dilakukan dengan cara melakukan evaluasi setelah
identifikasi bahaya potensial di RS untuk menentukan langkah-langkah atau
tindakan yang diperlukan sesuai sifat dan karakteristik dari bahan atau instalasi
yang ditangani sekaligus memprediksi risiko yang mungkin terjadi apabila
kecelakaan terjadi.
Setelah melakukan evaluasi, pihak SMK3 juga memerlukan upaya
pengendalian sebagai alternatif pemecahan masalah berdasarkan identifikasi dan
18
19
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Menurut
Kepmenkes
NOMOR
432/MENKES/SK/IV/2007
tentang
20
21
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI, Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) di Rumah Sakit. Viewed 24 october 2011
<http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/KMK%20432-IV
%20K3%20RS.pdf>
Detik.com, Perawat di Rumah Sakit Rentan Keracunan Obat Kemoterapi, viewed
24 October 2011
<http://www.detikhealth.com/read/2011/08/24/123759/1710100/763/perawat-dirumah-sakit-rentan-keracunan-obat-kemoterapi>
Detik.com, Pekerja Kesehatan Paling Rentan Alami Gangguan Reproduksi,
viewed 24 October 2011
http://www.detikhealth.com/read/2011/03/01/165159/1582368/763/pekerjakesehatan-paling-rentan-alami-gangguan-reproduksi
Detik.com, Orang Terima Donor Organ dari Pasien HIV Akibat Salah Prosedur,
viewed 24 October 2011
http://www.detikhealth.com/read/2011/09/04/160801/1715296/763/5-orangterima-donor-organ-dari-pasien-hiv-akibat-salah-prosedur
22