Anda di halaman 1dari 46

Tugas Pendidikan Multikultural

Unit 7
PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA
Subunit 2
PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA
Kelas 3C
Kelompok 16

Niko Indrayana
(2014004020)
Khabibah Saniya R (2014004080)

Perluasan Konsepsi Teori Belajar Kultural dikaitkan dengan


Pembelajaran Berbasis Budaya. Teori belajar kultural
menghendaki agar dalam proses pembelajaran individu
dilibatkan secara aktif dalam suatu setting sosial dan
interaksi sosial. Dengan demikian, proses pembelajaran
harus memberikan tempat bagi nilai-nilai budaya.
Pendidikan merupakan salah satu saluran untuk
mewariskan budaya pada generasi muda. Penyelenggaraan
pendidikan
harus
berjalan
dinamis
mengikuti
perkembangan dan kemajuan zaman, tetapi tetap
meneguhkan arti penting kebudayaan sebagai karakteristik
bangsa.

Koentjoroningrat menyatakan bahwa budaya adalah


daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa.
Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa,
dan rasa tersebut (Sujarwa, 2010: 28). Budaya bisa
diikuti secara menyeluruh oleh warga masyarakat
(universe), atau hanya diikuti oleh suatu kelompok
secara khusus (speciality). Ini sama halnya dengan
bahwa budaya dapat dilihat dari wilayah berlakunya,
yakni budaya dalam lingkup makro, dan budaya
dalam lingkup mikro.

Budaya dalam lingkup makro, menunjuk pada budaya


yang dimiliki dan dianut oleh kelompok masyarakat
tertentu dalam cakupan wilayah yang luas. Wilayah
disini tidak hanya mengarah pada wilayah dalam artian
tempat, tetapi juga meliputi wilayah dalam artian orangorang yang menganutnya

Contoh

budaya dalam cakupan makro, yakni:


budaya masyarakat Jawa, budaya Sumatera,
budaya masyarakat urban, dan lain
sebagainya. Budaya dalam lingkup mikro,
menunjuk pada budaya yang dimiliki dan
dianut oleh kelompok masyarakat tertentu
dalam cakupan wilayah yang sempit.
Misalnya budaya sekolah, yang hanya
berlaku di sekolah tersebut, dimana kondisi
pola hubungan, kebiasaan-kebiasaan, tata
aturan yang dimiliki bisa jadi berbeda
dengan sekolah yang lain.

Lebih sempit lagi, yakni budaya individu.


Kaitannya dengan teori belajar kultural adalah
prakarsa belajar seseorang sangat dipengaruhi oleh
individual culture (kultural individu) yang
besangkutan. Individual culture terbentuk dari pola
asuh dan pola didik seseorang dalam lingkungan
keluarganya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor
perkembangan individu

Pada kenyataannya, periode sekolah akan memisahkan


seseorang dari komunitas budayanya, karena sekolah
memiliki budaya sendiri. Di lain sisi, mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah juga memperkenalkan budaya lain (atau
bahkan bertentangan) dengan tradisi budaya komunitasnya.
Tidak heran, jika pada akhirnya, dampak dari proses
pendidikan formal adalah siswa atau lulusan, tidak dapat
menghargai bentuk pengetahuan dan kekayaan tradisional
dalam komunitas budayanya. Hal ini terutama karena jarang
ada sekolah atau guru yang mau atau mampu
mengintegrasikan tradisi budaya siswa, dengan mata pelajaran
yang diajarkannya.

Situasi tersebut merupakan gambaran umum


yang terjadi karena, proses pendidikan formal
sebagai proses pembelajaran ditempatkan
terpisah dari proses akulturasi, dan terpisah
dari konteks suatu komunitas budaya.
Di samping itu, banyak juga orang yang
memandang
mata
pelajaran
disekolah
memiliki tempat yang tinggi (social prestige),
daripada tradisi budaya lokal yang dipandang
tidak berarti dan rendah (discrimination).

Keadaan ini diperburuk dengan kenyataan bahwa


hanya sebagian orang memiliki akses terhadap
pendidikan
karena
berbagai
kendala
(sosioekonomik, geografik, waktu, kemampuan),
sehingga pendidikan menjadi bersifat elit, dan
disebut ivory tower. Padahal, proses pendidikan
sebagai proses pembudayaan memiliki nilai hanya
jika hasilnya dapat diterapkan untuk memecahkan
permasalahan yang timbul dalam konteks suatu
komunitas budaya, dan hanya jika lulusannya dapat
berguna bagi pembangunan suatu komunitas budaya
lokal, maupun nasional.

Proses pendidikan sebagai proses pembudayaan terjadi di


mana-mana, secara formal maupun informal, dan bagi
siapa saja sepanjang masa. Ini karena, pada dasarnya
setiap orang memiliki kemampuan belajar. Budaya
memberikan cara untuk mengetahui, sama seperti mata
pelajaran lain memberikan cara untuk mengetahui
bidang-bidang tertentu dalam kehidupan manusia.
Budaya menjadi konteks tempat mata pelajaran
dipelajari, serta tempat hasil pendidikan diterapkan dan
dikembangkan lebih lanjut. Proses pendidikan sebagai
proses pembudayaan harus mampu menjadikan budaya
sebagai bagian yang terintegrasi dalam mata pelajaran
yang ditawarkan, serta menjadikan mata pelajaran yang
diperoleh siswa sebagai bagian dari budayanya, dan bagi
pengembangan komunitas budayanya.

Pembelajaran berbasis budaya merupakan strategi


penciptaan lingkungan belajar dan perancangan
pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya
sebagai bagian dari proses pembelajaran (Dirjen
Dikti,2004:12).
Pembelajaran
berbasis
budaya
dilandaskan pada pengakuan terhadap budaya sebagai
bagian yang fundamental (mendasar dan penting) bagi
pendidikan, ekspresi dan komunikasi suatu gagasan, dan
perkembangan pengetahuan. Budaya merupakan alat yang
sangat
baik
untuk
memotivasi
siswa
dalam
mengaplikasikan pengetahuan, bekerja secara kooperatif,
dan mempersepsikan keterkaitan antara berbagai mata
pelajaran. Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya
yang diintegrasikan menjadi alat bagi proses belajar.

Pembelajaran berbasis budaya sebagai strategi


pembelajaran mendorong terjadinya proses
imaginatif, metaforik, berpikir kreatif, dan juga
sadar budaya.
Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya
menjadi sebuah metode bagi siswa untuk
mentranspormasikan hasil observasi mereka ke
dalam bentuk-bentuk dan prinsip-prinsip yang
kreatif tentang alam. Dengan demikian, siswa
menciptakan makna, pemahaman, dan arti dari
informasi yang diperolehnya.

Pengetahuan merupakan koleksi ( repertoire )


tentang pemikiran, perilaku, keterkaitan, prediksi
dan perasaan, hasil transformasi dari beragam
informasi yang diterimanya. Jadi, pembelajaran
berbasis budaya bukan sekadar mentransfer atau
menyampaikan budaya atau perwujudan budaya
kepada siswa, tetapi menggunakan budaya untuk
menjadikan siswa mampu menciptakan makna,
menembus batas imajinasi dan kretivitas untuk
mencapai pemahaman yang mendalam tentang mata
pelajaran yang dipelajarinya.

Pembelajaran berbasis budaya dibedakan menjadi


empat macam, yaitu :
1. Belajar tentang budaya
Proses belajar tentang budaya sudah cukup dikenal selama ini,
misalnya mata pelajaran kesenian dan kerajinan tangan, seni dan
sastra, seni suara,melukis / menggambar, seni musik, seni drama,
seni tari dan lain-lain. Mata pelajaran tersebut tidak terintegrasi
dengan mata pelajaran lain, dan tidak berhubungan satu sama
lain. Ada sekolah-sekolah tertentu yang menyediakan sumber
belajar ( alat musik, peralatan drama dan lain-lain ) untuk
mempelajari budaya sehingga sekolah tersebut akan berkembang
relatif baik. Sedangkan sekolah-sekolah yang tidak memiliki
sumber belajar yang memadai, pelajaran budaya menjadi mata
pelajaran hafalan dari buku atau cerita guru ( yang juga belum
tentu benar).

Dengan kondisi seperti itu, pada akhirnya, mata pelajaran


budaya menjadi tidak bermakna bagi siswa, guru, sekolah,
maupun pengembangan budaya dalam komunitas tempat
sekolah berada. Inilah gambaran tentang ketidakberhasilan
mata pelajaran budaya yang sekarang ini ada. Selanjutnya,
mata pelajaran budaya, dan pengetahuan tentang budaya
tidak pernah memperoleh tempat yang proporsional dalam
kurikulum maupun dalam pengembangan pengetahuan
secara umum. Sementara mata pelajaran lain, misalnya
matematika, IPA, IPS, dianggap penting sebagai suatu
bukti kemajuan negara. Maka dari itu mata pelajaran
budaya menjadi semakin tersisihkan.

2. Belajar dengan Budaya


Terjadi pada saat budaya diperkenalkan kepada siswa
sebagai cara atau metode untuk mempelajari suatu mata
pelajaran tertentu. Belajar dengan budaya meliputi
pemanfaatan beragam bentuk perwujudan budaya. Dalam
belajar dengan budaya, budaya dan perwujudannya menjadi
media pembelajaran dalam proses belajar, menjadi konteks
dari contoh-contoh tentang konsep atau prinsip dalam suatu
mata pelajaran, serta menjadi konteks penerapan prinsip
atau prosedur dalam suatu mata pelajaran.

Misalnya:
untuk memperkenalkan bentuk bilangan (bilangan positif,
bilangan negatif) dalam satu garis bilangan, digunakan garis
bilangan yang menggunakan Cepot (tokoh jenaka dalam wayang
Sunda). Cepot akan memandu siswa berinteraksi dengan garis
bilangan dan operasi bilangan dalam pembelajaran matematika.
diwujudkan ketika seorang pengajar mempergunakan sempoa
(alat untuk menghitung yang biasa digunakan oleh orang
Tionghoa). Pengajar dapat menunjukkan kedudukan satuan,
puluhan, ratusan, ribuan dan seterusnya serta menunjukkan cara
penambahan dan pengurangan bahkan untuk perkalian dan
pembagian.

seorang pengajar pada saat pelajaran fisika


menggunakan angklung, calung atau berbagai bentuk
dan ukuran gong untuk memperkenalkan konsep bunyi,
gelombang bunyi, dan gema. Guru seni suara pun bisa
menggunakan angklung itu untuk memperkenalkan
nada dan mengiringi lagu.

Gambar seorang anak sedang memainkan alat musik angklung

Gambar berbagai macam gong dan pada getombang bunyi yang terjadi.

Dari kedua gong di atas, permukaan gong A lebih besar daripada


Permukaan gong B sehingga apabila kedua gong tersebut dipukul
maka besarnya intensitas (kekuatan) bunyi yang terdengar adalah
berikut ini.
I adalah intensitas (kekuatan) bunyi (W/m`), P adalah daya (W), dan
A adalah besarnya leas permukaan gong (m).
Dari persamaan tersebut terlihat bahwa semakin kecil luas
permukaan gong, akan semakin kuat intensitas bunyinya. Jadi dari
kedua gong di atas maka gong B memiliki intensitas terbesar.
Dengan demikian, semakin besar intensitas suatu gelombang bunyi
akan semakin nyaring pulalah suara yang terdengar

Dalam belajar dengan budaya maka budaya dan perwujudannya


menjadi media pembelajaran dalam proses belajar, menjadi
konteks dari. Contoh-contoh tentang konsep atau prinsip dalam
suatu mata pelajaran, menjadi konteks penerapan prinsip atau
prosedur dalam suatu mata pelajaran.
3. Belajar melalui budaya
merupakan strategi yang memberikan kesempatan siswa untuk
menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang
diciptakannya dalam suatu mata pelajaran melalui ragam
perwujudan budaya.

Belajar melalui budaya merupakan salah satu bentuk


multiple representation of learning (Dirjen Dikti,
2004: 15), atau bentuk menilaian pemahaman dalam
beragam bentuk. Misalnya siswa tidak perlu
mengerjakan tes untuk mengerjakan topik tentang
lingkungan hidup, tetapi siswa dapat membuat poster,
membuat karangan, lukisan, lagu atau puisi yang
melukiskan tentang lingkungan hidup. Mereka bebas
mengekspresikan lewat karyanya tentang kekeringan,
banjir, hutan yang gundul, gunung yang asri dan
sebagainya. Dengan menganalisis produk budaya
yang diwujudkan siswa, pengajar dapat menilai
sejauh mana siswa memperoleh pemahaman dalam
topik lingkungan, dan bagaimana siswa menjiwai
topik tersebut.

Belajar melalui budaya memungkinkan siswa untuk


memperlihatkan kedalaman pemikirannya, penjiwaannya
terhadap konsep atau prinsip yang dipelajari dalam suatu
mata pelajaran, serta imajinasi kreatifnya dalam
mengekspresikan pemahamannya. Belajar melalui budaya
dapat dilakukan di sekolah dasar, sekolah menengah atau
pun perguruan tinggi, dan dalam mata pelajaran apa pun.
4. Belajar berbudaya
Merupakan bentuk mengejawantahan budaya itu dalam
perilaku nyata sehari-hari siswa. Misalnya, anak
dibudayakan untuk selalu menggunakan bahasa Krama
Inggil pada hari Sabtu melalui Program Sabtu Budaya.

Bentuk dan nilai-nilai yang dikembangkan dalam


Wujud budaya Berbasis
itu dapat Budaya
berupa wujud idiil (adat tata
Pembelajaran

kelakuan) yang abstrak yang terletak di alam pikiran


masyarakat. Wujud kedua adalah sistem sosial mengenai
kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sifatnya
kongkrit, bisa diobservasi. Wujud ketiga adalah
kebudayaan fisik yang bersifat paling kongkrit dan berupa
benda yang dapat diraba dan dilihat. Ketiga wujud dari
kebudayaan di atas dalam kenyataan kehidupan masyarakat
tidak terpisah satu dengan yang lain.

cerita daerah (misalnya Malin Kundang, Rara Mendut,


asal nama kota Banyuwangi),
BENTUK-BENTUK
BUDAYA DAERAH ITU
Tari-tarian (Tari Kancet Papatai / Tari Perang Suku
DAPAT
BERUPA
Dayak)

Tembang/lagu-lagu daerah (Ilir-ilir, Sluku-sluku


bathok),
Permainan (benthik, Jamuran, dakon)
Seni pertunjukan (wayang, ketoprak, reog ponorogo)
Kebiasaan/tradisi setempat (tahlil, yasinan, bersih
deso, tradisi larung sesaji, sekaten)
Benda-benda dan makna filosofisnya (mandau,
perisai,keris,dan benda-benda tradisional lainnya).

Pakaian (setiap daerah memiliki pakaian daerah


masing-masing)

Gambar Tari Kancet Papatai / Tari Perang Suku Dayak)

Gambar permainan tradisonal jamuran dan dakon

Gambar pertunjukan wayang kulit

Gambar pertunjukan ketoprak dan reog ponorogo

Gambar tradisi bersih desa,larung sesaji,dan sekaten

Gambar perisai

Gambar mandau

Gambar keris

Gambar Pakaian Adat Tradisional


Daerah Sumatera Selatan

Gambar Pakaian AdatTradisional


Daerah Bengkulu

Pakaian Adat Jawa Tengah

Nilai-nilai yang terdapat dalam budaya daerah sangat


beragam tergantung pada bentuk yang ada. Nilai-nilai
ini memiliki kearifan budaya yang dapat
dikembangkan dan dilakukan upaya pembelajarannya.
Sekedar contoh saja, nilai-nilai yang terdapat pada
budaya daerah itu antara lain:
1. Nilai-nilai yang terdapat pada cerita daerah
Kepatuhan dan penghormatan pada orang tua
(Malin Kundang)
Emansipasi wanita (Rara mendut)
Kesetiaan seorang istri/wanita (Banyuwangi)

2. Tari

- Kepahlawan, kelincahan, kegesitan, dan


semangat. (Tari Kancet Pepatay suku Dayak
Kenyah, Tari Cakalele Maluku Utara).
- Spiritual (Tari Kecak Bali, Tari Saman Aceh,
Tari Bedhaya Ketawang)
- Kesabaran ,penghormatan (Tari Makan Sirih
atau tari persembahan Riau)
- Sopan Santun,memuliakan orang lain (Tari
Zapin Melayu)

3. Tembang/Lagu-lagu daerah
- Religius (Ilir-ilir)
- Kegembiraan (Sluku sluku bathok)

- Mengajarkan rendah hati ,tidak sombong (gundul-

gundul pacul)
- Kedisiplinan (jamuran)
- Solidaritas,penghargaan terhadap alam semesta
(Padhang Rembulan)
- Hormat dan santun (Jaranan)

4. Permainan
- Kelenturan, kecermatan, kegesitan (benthik)
- Kebersamaan/kerjasama (jamuran)
- Bekerja keras (engklek atau suda manda)
- Kecepatan, kesabaran, dan daya pikir dalam
bertaktik.(benteng)

- Kekompakan,strategi,pertahanan (gobak sodor atau


galasin)
- Kerja keras, keuletan dan sportivitas (egrang bambu)
- Kekuatan atau Kecakapan ( gobag bunder, bangkat,
benthik, uncal, jelungan, obrong, tembung, bandulan,
genukan)
- Melatih Pancaindra (gatheng, dhakon, macanan,
sumbar suru, sumbar manuk, sumbar dulit, kubuk, adu
kecik, klereng, jirak bengket, pathon, dhakepan, layanglayang)

5. Seni Pertunjukan
- Tuntunan (ketoprak dan wayang)
- Ketuhanan, heroisme, keindahan (wayang)
- Sejarah (Ludruk)
6. Kebiasaan/tradisi
- Religius (sekaten, tahlil, yasinan)
- keselarasan, keserasian dan keseimbangan
(bersih deso, larung sesaji)
7. Benda-benda dan makna filsofisnya
- Harga diri (Celurit Madura)
- Kepahlawanan dan kekuatan (mandau, perisai dan
baju perang, alat musik Sampe dari Suku Dayak).

- Kehormatan, keberanian dan ketuhanan (Rencong Aceh)


- Kebersamaan, kerukunan dan harmoni (rumah Gadang)
- Kehormatan, kedewasaan, keperkasaan dan nilai spiritual
(Keris)
- Jati diri,mistik (Batik)
8. Pakaian
Pakaian adalah kulit sosial dari kebudayaan kita. Pakaian adalah
perpanjangan tubuh yang menghubungkan sekaligus
memisahkan antara tubuh dan dunia luar.

Nilai nilai yang terkandung dari sebuah


pakaian :
- identitas, status, hierarki, gender dan ekspresi
cara hidup (pakaian adat semua daerah)
- ekspresi cara hidup tertentu (koteka).
hubungan
kekuasaan
(pakaian
pengantin/pakaian raja)
- Perbedaan dalam pandangan sosial, politik
dan religius (pakaian umroh,jilbab)

Nilai-nilai yang terdapat dalam budaya daerah :


- Kepatuhan dan penghormatan pada orang tua
- Emansipasi wanita
- Kesetiaan seorang istri/wanita
- Kepahlawan, kelincahan, kegesitan, dan semangat.
- Religius
- Kegembiraan
- Kelenturan, kecermatan, kegesitan
- Kebersamaan/kerjasama
- Tuntunan/petuah
- Ketuhanan, heroisme, keindahan

Keselarasan, keserasian dan keseimbangan


- Kepahlawanan dan kekuatan
- Kebersamaan, kerukunan dan harmoni
- Kehormatan, keberanian dan ketuhanan

Model Pembelajaran berbasis budaya


1)Model

Pembelajaran berbasis berbasis budaya


melalui permainan tradisional dan lagu-lagu
daerah.
Nilai-nilai yang terkandung dalam permainan
tradisional dan lagu-lagu daerah
(demokrasi, pendidikan, kepribadian, keberanian,
kesehatan,persatuan, moral)
.

Contoh-contoh permainan tradisional :


dhakon(congklak),gobag sodor,benteng, egrang
bambu,engklak,bandhulan,genukan(kelereng),ja
muran,benthik,galasin(gangsing).

Gambar beberapa permainan tradisional

2) Model Pembelajaran berbasis budaya melalui cerita


rakyat.
Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat
demokrasi, pendidikan,kepribadian, keberanian,
kesehatan, persatuan, moral.
Contoh-contoh cerita rakyat :
Malin Kundang,Roro Jonggrang,Timun Mas,Keong
Mas,Danau Toba,Sangkuriang,Cindelaras,Lutung
Kasarung,Bawang Merah dan Bawang Putih

Gambar cerita rakyat danau toba

3) Model Pembelajaran berbasis budaya melalui


penggunaan alat-alat tradisional
Nilai-nilai yang terkandung dalam penggunaan alat-alat
tradisional
(demokrasi, pendidikan, kepribadian, keberanian,
kesehatan, persatuan, moral)
Contoh-contoh penggunaan alat-alat tradisional
(pakaian, senjata, perabotan -dsb.).

Gambar Rencong senjata tradisional Aceh

Pakaian adat ulos Sumatera Utara

Perabotan tradisional indonesia

Pembelajaran
berbasis
budaya
yang
berlandaskan pada konstruktivisme memerlukan
beragam bentuk pengukuran untuk penilaian hasil
belajar. Penilaian hasil belajar tidak semata-mata
diperoleh dari siswa mengerjakan tes akhir atau tes
hasil belajar yang berbentuk uraian ( terbatas ) atau
obyektif saja. Konsep penilaian hasil belajar dalam
pembelajaran budaya adalah beragam perwujudan
(multiple representation ). Hal ini berarti hasil
belajar siswa dinilai melalui beragam cara dan
perwujudan; guru menggunakan beragam teknik dan
alat ukur, siswa mengekspresikan keberhasilannya
dalam beragam bentuk.

Teknik dan alat ukur yang digunakan adalah teknik dan


alat ukur yang memungkinkan untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan. Selain itu, hasil belajar siswa dapat
dilakukan melalui cara alternatif apabila siswa memiliki
keterbatasan dalam mengerjakan tes-tes tertentu. Siswa
takut mengerjakan tes, tetapi sangat baik jika diminta untuk
mengarang atau menulis puisi tentang hal-hal yang sudah
dipelajarinya. Dengan demikian guru memberi kesempatan
kepada siswa untuk menunjukkan hasil belajarnya dalam
beragam bentuk berdasarkan karakteristiknya masingmasing.

Anda mungkin juga menyukai