1. Pendidikan Pendidikan dalam definisi maha luas adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsumg dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Pendidikan dalam definisi sempit adalah sekolah. Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan disekolah sebagai lembaga formal. Sedangkan pendidikan dalam definisi alternatif adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintahan, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang ( redja mudyahardjo, 2001: 3,6,11). Pendidikan merupakan kegiatan yang universal dalam kehidupan manusia. Pendidikan telah ada sepanjang peradaban manusia. Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya. Tidak ada kehidupan masyarakat tanpa adanya kegiatan pendidikan. Menurut dr. Daoed joesoef dalam ary h. Gunawan pendidikan diartikan sebagai suatu proses belajar mengajar yang membiasakan para warga masyarakat sedini mungkin untuk menggali, memahami, menyadari, menguasai, menghayati, dan mengamalkan semua nilai yang disepakati sebagai nilai yang terpuji dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan diri pribadi, masyarakat, bangsa, dan negara. Adapun nilai-nilai yang disepakati untuk dikembangkan melalui proses pendidikan bersumber pada: 1 Pikiran (logika), yaitu semua fakta ilmiah yang diakui kebenarannya oleh dunia ilmu pengetahuan. 2.Perasaan (estetika), yaitu semua karya seni yang dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat terlepas dari segi mutunya. 3.Kemauan (etika), yaitu sesuai gbhn, seperti budi pekerti, kepribadian, dan rasa keagamaan. 2.Kebudayaan Kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta, yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Ada pendapat lain mengatakan budaya berasal dari kata budu dan daya. Budi merupakan unsur rohani, sedangkan daya adalah uunsur jasmani manusia. Dengan demikian, budaya merupakan hasil budi dan daya dari manusia. (herimanto,2011: 24-25) Beberapa definisi kebudayaan menurut para ahli, sebagai berikut: a.Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganik. b.Andreas eppink menyatakan bahwa kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, ditambah, lagi dengan segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. c.Edward b. Taylor mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan yang lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. d.Selo soemardjan dan soelaiman soemardi mengatakan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. e.Koentjaraningrat berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar beserta dari hasil budi pekertinya. f.Menurut havighurst dan neugarten dalam bukunya society andeducation mengatakan bahwa “kebudayaan dapat didefinisikan sebagai cara bertingkah laku manusia, meliputi etiket, bahasa, kebiasaan makan, kepercayaan agama dan moral, pengetahuan, sikap, dan nilai-nilai yang merupakan hasil karya manusia seperti bermacam-macam benda termasuk didalamnya alat-alat atau benda-benda hasil teknologi.” ( ary h. Gunawan,2000 : 110 ) Secara historis-religius dikatakan bahwa pendidikan terjadi lebih dahulu dari kebudayaan. Hal ini dapat dijelaskan, tatkala nabi adam akan diturunkan ke bumi, telah dipesan oleh allah agar tidak memakan buah kuldi. Dari peristiwa tersebut telah terjadi pendidikan dari allah kepada nabi adam, sebelum anak cucu nabi adam menghasilkan kebudayaan dan selanjutnya menghasilkan pendidikan sebagai subkebudayaan. Dari sisi lain disebutkan bahwa pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan, dan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Keduanya merupakan gejala dan faktor pelengkap yang penting dalam kehidupan manusia. Sebab manusia selain sebagai makhluk alam, juga berfungsi sebagai makhluk kebudayaan atau makhluk berfikir ( human rationale).
B. Pendidikan sebagai proses sosial budaya
1. Makna tradisi lisan dalam pendidikan Manusia di sebut makluk budaya, karena manusia adalah sebagai subyek sekaligus objek kebudayaan. Hubungannya dengan pendidikan,maka manusia sebagai subjek pendidikan tidak bisa di lepaskan dari kebudayaan. Oleh karena itu dapat pula di katakan bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan untuk menjadikan manusia lebih baik dan bermakna, sementara itu manusia akan menghasilkan kebudayaan yang baik jika di topang oleh pendidikan yang luas. Dalam konteks inilah antara pendidikan tidak bisa lepas dari kebudayaan dan kebudayaan tidak lepas dari pendidikan. Arus perubahan yang terjadi dalam berbagai struktur masyarakat saat ini, mulai dari pola hubungan sosial, tingkah laku manusia khususnya anak remaja usia sekolah, respon masyarakat terhadap teknologi, dan budaya masyarakat itu sendiri,cenderung mengalami perubahan. Pendidikan seharusnya menjadi tameng bagi penguatan kearifan dan budaya masyarakat tetapi kenyataannya belum berjalan dengan baik, apalagi ketika menjadikan pendidikan sebagai lembaga yangseharusnya melakukan transformasi dan transmisi budaya. Fungsi transformasi yang di maksud adalah pendidikan, khususnya tenaga pendidik mampu melakukan proses perubahan ke arah yang lebih baikdan berkembang,baik dari segi pengetahuan sikap atau karakter maupun dari segi ketrampilan dan emosional peserta didik. Fungsi transmisi berupa upaya pihak – pihak yang terkait dengan pendidikan, khususnya tenaga pendidik, mengantar peserta didiknya untuk selalu mencintai dan mengembangkan dan selanjutnya menginternalisasi budayanya dalam kehidupan sehari- hari. Tidak susah memahami arti dan makna tradisi lisan dalam pendidikan jika di kaitkan dengan pengalaman dan praktik dalam pendidikan selama ini, baik kedudukannya sebagai pendidik, peseta didik atau sebagai pengamat. Lisan sering di artikan dengan bahasa, ucapan tutur yang di ungkapkan dalam bentuk kata dan kalimat – kalimat tertentu. Kaitannya dengan bahasan ini, ada tiga hal penting yaitu ; a.Arti bahasa dalam proses pendidikan Bahasa merupakan alat komunikasi bagi manusia. Setiap komunitas atau entitas manusia pasti memiliki konsesus bersama sebagai simbol – simbol komunikasi antar sesama mereka. Pada awalnya setiap komunitas, biasanya mereka yang bermukim dalam suatu wilayah tertentu menggunakan simbol-simbol tertentu dalam melakukan interaksi, akan tetapi melalui suatu konsensus bersama mereka menyepakati secara informal beberapa kata dan menjadi bahasa komunitas tersebut. Selanjutnya dikernbangkan rnenjadi kebiasaan (sebagai hasil kebudayaan) dalam kelornpok yang lebih besar. Bahasa berkembang sesuai dengan perkernbangan dan ekspansi manusia dalam menjalani hidupnya. Pendidikan sebagai alat transmisi pemikiran dan pandangan manusia kepada rnanusia yang lain (proses pedagogrk) membutuhkan alat komunikasi yang disepakati atau rnenjadi kebiasaan oleh komunitas tersebut. Kaitannya dengan bahasan ini menurut vygotsky seorang ahli psikologi rusia, mengatakan bahwa semakin luas perspektif yang diberikan pada suatu ide, rnaka semakin baik ide tersebut. Ide vygotsky ini dapat dituangkan dalam tiga konsep pokok berikut. 1) Belajar selalu dalarn konteks sosio-kultural. 2) Belajar dalarn lingkupan pengernbanganyang lebih luas. 3) Hubungan antara berpikir dan bahasa, sebagai alat rnenyampaikan pikiran.
b.Hubungan antara berfikir dan bahasa
Bahasa adalah merupakan alat suatu kelompok rnanusia dalam menyampaikan pandangan, idea atau gagasan kepada orang lain. Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari berpikir, karena itu dapat juga dipandang sebagai proses transfer (rnernindahkan) pikiran seseorang kepada orang lain melalui bantuan bahasa. Menurut tilaar antara berpikir dan bahasa terdapat suatu interelasi yang sangat kuat. Menurutnya, antara kata dan ide merupakan satu jalur dua arah. Tanpa bahasa tidak mungkin orang berpikir. Tanpa bahasa pula orang tidak mungkin perkembangan pribadi seseorang akan tumbuh. Oleh sebab itu, dalam suatu rnasyarakat yang beragam masalah bahasa khususnya bahasa lokal merupakan kunci untuk membuka pintu dunia yang lebih luas. (google, 2014). Penjabaran yang lebih operasional, bahasa dipandang sebagai alat untuk rnengkomunikasikan maksud dan kepentingan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Pendidikan adalah proses memberikan pemahaman pada orang lain, rnernbutuhkan komunikasi yang baik antara subjek, termasuk sumber belajar yang juga harus ditelaah dengan cermat melalui fasilitas bahasa. Begitu pentingnya bahasa, sehingga dalarn penetapan standar evaluasi nasional (uan) menjadikan pengetahuan bahasa sebagai salah satu indikator kelulusan peserta didik. Hai ini dianggap penting karena faktor berpikir (alarn pikiran rnanusia) hanya bisa di telaah dengan pemahaman bahasa yang baik. Begitu pula dengan kemampuan bahasa sangat didukung oleh faktor berpikir yang luas saling rnendukung dan menopang dalam kegiatan pendidikan, baik pendidikan formal,infomnal, maupun non formal. c.Arti tradisi lisan dalam proses pembelajaran Tradisi lisan sering dipahami sebagai kebiasaan-kebiasaan tutur atau berbicara antar manusia dalam komunitasnya. Tradisi iisan suatu kebudayaan yang berkaitan dengan menyampaikan kehendak, ide dan maksud seseorang melalui bahasa lisan dengan makna yang dalam. Para ahli antropologi seperti margaret mead, mengatakan bahwa suatu hal yang penting di dalam konsep pendidikan adalah terjadinya suatu pergeseran dari kebutuhan seorang individu untuk belajar mengenai hal-hal yang disetujui orang dalam masyarakat berubah menjadi keinginan individu untuk rnengajar seseorag tentang hal-hal yang dianggap sebagai sesuatu yang perlu dipelajari (google, 2014). 2.Sekolah sebagai agen pembudayaan Menurut goble dalm bukunya the changing role of the teacher mengatakan bahwa secara umum terdapat empat fungsi utama dalam sekolah, yaitu: a.Custodial function, dimana orang tua pada umumnya menyerahkan anaknya ke sekolah untuk mendapatkan pengawasan yang aman selama beberapa jam dalam sehari. b.Indoctrination, dimana sebagian besar orang tua mengharapkan agar sekolah mampu untuk mengajak anak-anak mereka berfikir seperti yang mereka lakukan dan tidak menantang keyakinan mereka. c.Vicational function, di mana sekolah dapat menyiapkan tenaga kerja yang relevan dengan tuntutan pembangunan masyarakat. d.Credential function, dimana hasil pendidikan dari sekolah dapat memberikan keuntungan status sosial yang lebih baik. Menurut rasyidin dalam sukardjo dkk, pendidikan dimulai di kelurga atas anak yang belum mandiri, kemudian diperluas di lingkungan tetangga atau komunitas sekitar, lembaga prasekolah, persekolahan formal dan lain-lain tempat anak-anak mulai dari kelompok kecil sampai rombongan relatif besar dengan pendidikan dimulai dari guru rombongan/kelas yang mendidik secara mikro dan menjadi pengganti orangtua. Sekolah sebagai pusat pendidikan formal lahir dan berkembang dari pemikiran efisiensi dan efektifitas dalam pemberian pendidikan kepada warga masyarakat. Fungsi pemberian pendidikan bukan sepenuhnya diserahkan kepada sekolah, sebab pengalaman pada dasarnya dapat diperoleh sepanjang hayat manusia, kapan pun dan dimana pun dia berada, termasuk di lingkungan keluarga dan di masyarakat. Sekolah merupakan partnerdalam memberikan pendidikan kepada warga masyarakat. Jadi sekolah, keluarga, dan masyarakat merupakan pusat- pusat pendidikan yang potensial, ketiganya saling berpengaruh, termasuk mendayagunakan sumber-sumber belajar dalam masyarakat, seperti narasumber, perpustakaan, museum, kebun binatang, dan sebagainya. Telah diketahui bahwa keluarga, sekolah, dan masyarakat merupakan tri pusat pendidikan. Sekolah memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan proses pendidikan, karena sekolah merupakan suatu lembaga sosial yang telah dipolakan secara sistematis, memiliki tujuan yang jelas, kegiatan-kegiatan yang terjadwal, tenaga-tenaga pengelola yang khusus, didukung oleh fasilitas yang terprogram, sehingga tepatlah dijadikan sebagai pusat kebudayaan. Untuk mendukung fungsi tersebut, sekolah perlu memiliki ciri-ciri khusus, antara lain: (ary h. Gunawan,2000:115-118) 1.Meningkatkan mutu pendidikan Meningkatkan suatu pendidikan di sekolah sangat ditentukan oleh meningkatnya proses belajar mengajar (pbm), antara lain ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: a.Rumusan tujuan pendidikan yang sesuai dengan akhir dan kompetensi yang ingin dicapai b.Sarana dan prasarana pendidikan yang memadai c.Metodologi yang digunakan dalam kegiatan instruksionalnya tepat/sesuai dengan disainnya d.Para pengajarnya telah terlatih serta inovatif e.Kepala sekolahnya profesional, dan memiliki akte kekepalasekolahan f.Hasil pendidikannya senantiasa siap-pakai dan relevan dengan tuntutan dunia kerja, karena para peserta didiknya dibekali dengan pengetahuan teorin serta keterampilan pratikum dengan etos kerja yang tinggi. 2.Menciptakan masyarakat belajar Sekolah hendaknya mampu membuat para peserta didik senantiasa harus belajar, melakukan penelitian, dan menghasilkan penemuan-penemuan yang bermanfaat bagi masyarakat dan pendidikan. 3.Menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya Sekolah dapat menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya yaitu terbentuknya masyarakat belajar yang membentuk pribadi gemar belajar sepanjang hayatnya. Tersedianya sarana dan prasarana belajar yang dimanfaatkan oleh seluruh sivitas akademika demi kemajuan belajar dan penelitian. 4.Menjadi pengembang masyarakat sekitarnya Sekolah juga dapat menjadi pengembang masyarakat sekitarnya, khususnya terhadap masyarakat desa tertinggal agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya dan meningkatkan taraf kemiskinannya. 5.Membentuk manusia indonesia seutuhnya Pembentukan manusia indonesia seutuhnya wajib dilaksanakan oleh seluruh lembaga pendidikan yaitu keluarga, sekolah, masyarakat. Sebagai lingkungan yang terorganisasi secara sistematis sekolah merupakan wadah yang menempatkan anak dalam kelompok-kelompok tertentu berdasarkan tingkat kemampuan dan kesesuian umur, sehingga anak mempunyai wilayah interaksi secara intens dengan teman sebaya yang sedikit banyak memiliki kesamaan wawasan dan kemampuan. Berbeda dengan sekolah, di dalam keluarga, anak menempatkan posisi subordinat di bawah kendali orangtua dan tidak mendapatkan hubungan sebaya sebagiamana yang ia dapatkan dalam lingkungan sebaya di sekolah. Kedua pola komunikasi yang berbeda tersebut merupakan dua dunia yang berbeda bagi anak. Keluarga adalah dunia referensi bagi anak untuk membangun nilai hidup dan cita-cita, sedangakan dunia sebaya yang ditemui anak dalam sekolah adalah wilayah pengembangan diri secara sosial bersama-sama dengan teman-teman sebaya yang relatif dalam kualifikasi kemampuan dan wawasan yang sama. Hubungan antara keluarga dan sekolah terjadi pada kerja sama orangtua dengan pihak guru. Kerja sama tersebut dibutuhkan untuk memantau kemajuan anak dalam proses pendidikan, baik kemajuan dalam ranah intelektual maupun psikologis. Secara intelektual sekolah adalah lingkungan yang secara sistematis melakukan perencanaan pengembangan melalui berbagai pelajaran yang diberikan dalam kurikulum ( abdul kadir, 2012: 180 ). Kebudayaan sekolah 1.Kenaikan kelas Belajar dengan rajin agar naik kelas merupakan patokan yang mempengaruhi kehidupan anak selama bersekolah. Untuk itu ia harus menguasai bahan pelajaran yang ditentukan oleh kurikulum yang sering diolah dalam bentuk buku pelajaran, diktat atau catatan. Angka rapor menjadi dasar bagi kenaikan kelas. Pemberian rapor dan penentuan kenaikan kelas sering dilakukan dengan upacara tertentu sekalipun sederhana. Mereka yang naik kelas memasuki fase baru dalam hidupnya dan makin tinggi tingkat kelas, makin banyak yang diharapkan misalnya kelakuan yang lebih matang. Tinggal kelas merupakan maslah yang berat bagi murid. Bagi anak yang bersangkutan ini berarti bahwa ia akan ditinggalkan oleh temannya selama selama satu tahun dan ia harus masuk kelompok anak-anak yang lebih muda. Ia merasa malu dan ingin pindah kesekolah lain. Oleh sebab itu kenaikan kelas merupakan hal yang terpenting bagi murid maka murid biasanya belajar untuk memperoleh angka yang baik. 2.Upacara-upacara Peristiwa yang biasa dilakukan dengan upacara ialah penerimaan murid baru. Upacara yang selalu mengimbirakan adalah upacara wisuda yang melepaskan para siswa yang telah lulus, yang kemudian akan melanjutkan pelajaran pada lembaga pendidikan yang lebih tinggi atau mengadu nasibnya dalam dunia pekerjaan. Hari wisuda juga melambangkan perpisahan dari teman-teman selama beberapa tahun belajar bersama disekolah sambil mengalami suka-dukanya. Maka hari wisuda merupaka hari kegembiraan dan keharuan. 3.Upacara bendera Suatu upacara yang diwajibkan bagi setiap sekolah di negara kita ialah upacara bendera pada hari senin tiap minggu dan pada tiap tanggal 17 agustus. Upacara ini bertujuan untuk menanamkan rasa kebangsaan dengan meresapkan dasar pikiran, dan cita-cita serta norma-norma yang terkandung dalam undang-undang dasar 1945, pancasiladan sumpah pemuda. Kesempatan ini juga dapat digunakan oleh kepala sekolah untuk berbagai pengumuman dan petunjuk- petunjuk lainnya demi kebaikan sekolah. Upacara dipandang sebagai kesempatan yang penting untuk menyampaikan dan menerima pesan-pesan. 4.Kunjungan pihak sekolah ke rumah anak didik Cara ini berdampak positif bagi anak karena merasa selalu diperhatikan, dan juga bagi orangtua karena termotivasi untuk selalu mengadakan kerja sama dengan sekolah (abdul kadir, 2012: 180-181). 5.Kunjungan orangtua ke sekolah Kalau ada cara yang diselengarakan oleh sekolah yang memungkinkan untuk dihadiri orangtua maka akan berdampak positif jika orangtua diundang untuk menghadiri acara tersebut. Kegiatan tersebut bisa berupa class meeting yang berisi lomba-lomba, pameran hasil karya dan sebagainya. 6.Case conference Merupakan rapat atau konferensi tentang kasus tertentu yang berkaitan dengan proses yang ada disekolah dan keluarga. Kebiasaan ini dilaksanakan dalam konteks bimbingan dan konseling. 7.Adanya daftar nilai rapor Daftar nilai atau rapor adalah media yang menghubungkan antara sekolah dan orangtua untuk saling mengomunikasikan proses dan hasil belajar yang dilakukan oleh anak didik. C. Peningkatan apresiasi budaya dalam proses pendidikan 1.Kebangkitan nasional sampai dengan orde baru Kebangkitan nasional sebagai cikal bakal dari kebangkitan kebudayaan dan pendidikan nasional. Hal ini ditandai dengan adanya gerakan budi utorno secara terarah, dilakukan sebagai simbol kekuatan dari budaya bumi putra dalam menentang pendidikan kolonial yang legregatis/non-demokratis, mengasingkan budaya nusantara dan melakukan lebih dalam supremasi budaya eropa. Agregasi dan hegemoni kebudayaan eropa yang dilakukan oleh kolonial beranda saat itu sangat efektif dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan baik secara forrnal pendidikan kolonial maupun melaalui pendekatan non formal. Dalam konteks inilah sebagian anak bangsa melihat perlu adanya langkah-langkah gerakan untuk melawan dominasi sistem pendidikan kolonial yang dimotori oleh budi utomo. Peran tokoh-tokoh yang mengenyam pendidikan di zaman kolonial sangat besar terhadap kebangkitan dan perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Terlepas dari aspek pengaruh budaya kolonial merasuk pada lembaga pendidikan dan nalar masyarakat saat itu, perjuangan dan komitmen beberapa anak bangsa yang melakukan gerakan perjuangan kemerdekaan tidak terlepas dari pemahaman mereka terhadap arti dan pentingnya budaya nasional sebagai perekat bangsa indonesia, sehingga harus tetap dipertahankan. Bukan saja dari lembaga pendidikan, akan tetapi lebih jauh dari itu termasuk aspek kehidupan sehari-hari masyarakat. Pada zaman ini, sangat jelas memadukan antara pendidikan dengan penguatan kebudayaan nasional sebagai perekat bangsa. Merujuk pada sejarah, maka the fauding father dalam bpupki dan ppki (28 mei 1945/22 agustus 1945) dengan jelas telah merumuskan posisi kebudayaan nasional dalam pendidikan nasional. Bentuk-bentuk rumusan tersebut antara lain : Pendidikan nasional bersendi kepada nilai-nilai agama dan kebudayaan bangsa menuju kepada keselamatan dan kebahagiaan. Kebudayaan bangsa tumbuh dan berkembang sebagai hasil usaha budidaya rakyat indonesia seluruhnya. Ada hal yang mendasar jika melihat hubungan antara pendidikan dengan budaya pada era orde lama dengan orde baru. Pada orde lama, ketika itu pendidikan merupakan bagian dari gerakan politik untuk menggalang kekuatan rakyat, antara lain, di dalam perang dingin dan perang dalam mewujudkan integritas bangsa, pendidikan telah dijadikan sebagai alat politik, baik dalam arti yang negatif maupun positif. Dalam kerangka ini, dilahirkannya konsep panca wardana yang berarti lirna program pendidikan, untuk mencapai tujuan politik saat itu. Pandangan ini secara sepintas bersifat parsial akan tetapi untuk kepentingan politik saat itu sangat baik. Sedangkan pada masa orde baru, tampak pendidikan tidak lagi diarahkan kepada perkembangan pribadi yang mandiri dan kritis akan tetapi mulai tunduk kepada proses indoktrinasi. Walaupun dalam perkembangannya ada proses indoktrinasi, akan tetapi ada beberapa kebijakan tentunya patut mendapatkan apresiasi. Misalnya kebijakan nkk-bkk yang saat itu ditelurkan oleh daoed joesoef sebagai menteri p dan k. Memang, banyak mengkritisi, misalnya ada yang melihat bahwa kebijakan ini sebagai upaya mengisolasikan kehidupan kampus dari kehidupan nyata. Menjelang akhir periode orde baru muncul konsep link and match, menempatkan pendidikan sebagai ajang untuk mernpersiapkan peserta didik masuk pada wilayah kerja. Pendidikan tunduk pada kebutuhan pasar, pendidikan nasional di adakan semata-mata untuk kebutuhan tenaga kerja semata. Pandangan ini tentunya bertentangan dari makna filosofi tujuan pendidikan, begitu pula dengan tujuan pendidikan nasional. Olehnya rnendudukkan peran dan fungsi pendidikan harus dilihat secara menyeluruh (holistic), apalagi jika dikaitkan dengan kebudayaan. 2.Kebudayaan dalam pradigma baru pendidikan nasional Semangat reformasi memberikan banyak harapan bagi seluruh rakyat indonesia. Salah satu harapan yang paling besar dari keberadaan reformasi adalah bidang pendidikan. Betapa pada era orde baru, pendidikan kerap kali dijadikan sebagai alat hegernoni kekuasaan pada saat itu, upaya melakukan pembunuhan daya kritik masyarakat, atau dalam pandangan ivan illich yaitu pendidikan pembodohan, karena peserta didik dibawa pada kesadaran nisbi/naif yaitu kesadaran yang tidak berbasis pada nilai kritis yang rnendalam terhadap pengetahuan yang diperoleh. Salah satu tekad yang selalu di paparkan dalam berbagai gerakan reformasi yaitu, membangun suatu karakter masyarakat indonesia baru, yaitu masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang dimaksud dalam pandangan ini berupa masyarakat yang cerdas, kritis dan memiliki karakter yang baik. Manusia yang cerdas bukan saja cerdas intelektual, tetapi juga memiliki berbagai kecerdasan, yaitu: kecerdasan emosional, kecerdasan etika, dan estetika. Dengan demikian, masyarakat yang cerdas sebagai harapan indonesia baru adalah manusia yang terdidik dan berbudaya, educated and civilized human being, yaitu proses mengernbangkan rnanusia yang terdidik dan memiliki budaya dan menjaga peradaban manusia yang lebih baik. Paradigma baru reformasi pendidikan nasional harus didasarkan kepada: Kebudayaan indonesia yang bhirrneka dan merupakan suatu totaritas milik bangsa lndonesia. Kebhinekaan budaya nusantara yang menuntut eksistensi, artinya menuntut pemeliharaan dan komitmen untuk menyumbang sebagai sumbangan unsur-unsur budaya lokar bagi terwujudnya budaya nasional. Paradigrna baru reformasi pendidikan nasional yang berdasarkan kebudayaan nasional, harus dirurnuskan dalarn bentuk visi dan misi serta program pendidikan nasional yang selanjutnya perlu dijabarkan dalam berbagai program lembaga kehidupan bermasyarakat termasuk lembaga pendidikan. Pendidikan harus marnpu menerjemahkan dalam aspek operasional teknis yang berbasis pada kebudayaan masyarakat. Salah satu diantaranya penguatan fungsi lembaga-lembaga pendidikan baik dalam skala nasional, propinsi, kabupaten maupun di pedesaan yang lebih dekat dan berhubungan langsung dengan masyarakat. Pemahaman tentang lembaga-lernbaga pendidikan adalah lembaga pendidikan informal (keluarga), lembaga pendidikan formal (sekolah), dan lembaga pendidikan nonformal (di lingkungan masyarakat), semuanya satu kesatuan lembaga pendidikan yang tidak boleh dipisahkan. Keseluruhan lembaga tersebut dipandang sebagai satu kesatuan sistem, bagian dari pranata social yang menjadi tumpuan kesinambungan hidup bersarna yang diikat oleh nilai-nilai kebudayaan. Pendidikan tanpa nilai-nilai kebudayaan maka seyogyanya katanya lembaga tersebut perlu diberi hak hidup di negeri ini. Singkatnya, lembaga pendidikan berbasis pada kebudayaan adalah suatu keharusan. Keberadaan lernbaga-lembaga pendidikan, jika dilihat dari segi fungsinya ada 3, yaitu: (1) melestarikan budaya, (2) melakukan formulasi budaya, dan (3) mengembangkan budaya baru. Proses pelestarian dilakukan dalam bentuk transformasi budaya dari leluhur baik melalui bahasa tulisan maupun bahasa lisan kepada generasi muda. Proses transformasi nilai-nilai budaya dilakukan melalui dua prinsip, yaitu : pertama, pengakuan adanya kenyataan budaya yang dirniliki oleh masyarakat indonesia, kedua, nilai-nilai budaya yang ada di dalam masyarakat indonesia yang bhinneka perlu dipilah-pilah untuk memilih nilai-nilai yang luhur yang perlu dipertahankan serta meninggalkan nilai-nilai yang tidak berfungsi lagi dalam menghadapi perubahan. Asumsi transformasi budaya berupa adanya fungsi-fungsi imanen dan transenden. Fungsi imanen yaitu memelihara nilai-nilai luhur di dalam kebudayaan. Fungsi ini dengan fungsi transmisi budaya yaitu rnernelihara atau pendidikan sebagai pewaris budaya. Sedangkan fungsi transenden yaitu memilah – milah nilai-nilai yang ada untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tuntutan perubahan kehidupan masyarakat modern. Proses pengembangan budaya baru, dilakukan melalui pengembangan inovasi dalam bentuk produk baru, aturan baru, dan aktivitas baru. Contoh: disain pakaian, disain rumah, penemuan jenis pupuk, sistem panenan padi rnemakai alat perontok rnenggantikan ani – ani. 3.Apresiasi budaya dalam pendidikan formal Sistem pendidikan nasional tahun 2003 mengatur bahwa pendidikan formal adalah pendidikan melalui jalur sekolah baik yayg dikelola oleh pemerintah maupun swasta, dalam berbagai jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan prasekolah, tk, sd, smp, sma sampai perguruan tinggi (pt). Maestro pendidikan indonesia ki hajar dewarntara, telah membuat pemetaan wilayah pendidikan manusia indonesia, yaitu pendidikan keluarga, pendidikan lingkungan sosial masyarakat, dan pendidikan sekolah. Lebih masyhur pembagian tiga area pendidikan tersebut dengan nama tripusat pendidikan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Dalam konsep sistem pendidikan nasional, tiga bagian ini disebut dengan sistem pendidikan, merupakan satu kesatuan, saling mendukung dalam proses pendidikan nasional. Sekalipun tiga jalur pendidikan tersebut telah ditetapkan sebagai satu kesatuan, akan tetapi kenyataannya sampai saat ini pendidikan formal (sekolah) masih tetap menjadi alat ukur utama terhadap tingkat pengetahuan dan keterampilan masyarakat di indonesia. Bagaimanapun tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh seseorang warga negara tanpa didukung oleh ijazah,.maka secara formal juga tidak dapat di terima sebagai tenaga kerja khususnya pns. Di lihat dari aspek pengetahuan, termasuk human deaelopment lndeks (hdi) tetap saja menjadikan sekolah sebagai alat ukur utama yang dipakai selarna ini. Artinya bahwa sekolah yang merupakan lembaga pendidikan utama bagi pembangunan manusia indonesia seutuhnya yaitu cerdas dalam arti multi aspek. Kaitannya dengan pembangunan budaya di indonesia, maka sekolah sebagai pendidikan formal memliki arti dan peran yang sangat vital bagi transformasi budaya nasional di indonesia. Sehingga dalam apresiasi budaya, sekolah dan stakeholclers yang terkait di dalamnya harus mampu mengaktualisasikan fungsi dan peran tersebut dalam kegiatan pendidikan. Pelaku pendidikan, khususnya guru, sekalipun dari latar ilmu eksakta. Ia harus memaharni keberadaan budaya setempat di mana ia bekerja, baik dari aspek pengetahuan maupun dari aspek sikap. Dalam konteks inilah pentingnya kognisi bagi apresiasi budaya dalam individu seseorang. Da1am konteks inilah perlunya pemahaman tiga tahap dalam kebudayaan yaitu: tahap mitis, ontologism, dan fungsional. Tahap ontologis dan fungsional tidak dapat berkembang tanpa tahap mitis yang sangat membutuhkan kemampuan apresiasi yang sangat bersifat emosional. Untuk itulah paradigrna pendidikan nasional pada masa lalu cenderung kepada pandangan yang segrnentaris, diganti dengan suatu pandangan yang komprehensif dan didasarkan kepada realitas kehidupan yang dihidupi oleh kebudayaan baik lokal maupun nasional. Sementara proses implementasi pendidikan nasional selama ini melalui sekolah, secara spesifik belum sepenuhnya menjadikan kemajemukan budaya sebagai kekayaan budaya nasional terapresiasi dalam setiap komunitas pendidikan (sekolah) dimana mereka merupakan bagian dari lingkup budaya tertentu dalam masyarakat. Kaitannya dengan apresiasi budaya dalam pendidikan formal tidak bisa dipisahkan dari konteks jenjang pendidikan yang dihadapi oleh seorang pendidik. Pertama, tingkat pendidikan dasar. Pentingnya mengintegrasikan pendidikan dari dan untuk masyarakat berupa hidupnya nilai-nilai kebudayaan di dalam kurikulum pendidikan dasar. Sebagaimana fungsi sekolah, sebagai lembaga social yang mengandung visi nasional secara berangsur-angsur mengembangkan apresiasi terhadap budaya nasional seperti bahasa indonesia dan pengenalan terhadap budaya-budaya lokal atau etnis lainnya. Hai ini dapat dicapai bukan saja melalui sumber-sumber tertulis dan tradisi lisan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, tetapi juga melalui lembaga-lernbaga atau situs-situs budaya yang berada di sekitar anak didik. Berikut diperikan sistem dan tahapan proses transformasi budaya kepada peserta didik pada jalur pendidikan formal. Pertama, pada tingkat sekolah dasar (sd) adalah masa dimana anak-anak mulai mengenali siapa dirinya dan berada di lingkungan mana. Pada tahap ini sangat tepat mengenalkan kepada mereka sejak dini tentang cerita-cerita rakyat dalam bentuk sederhana. Hasil penelusuran terakhir dari penelitian kecil-kecilan pada beberapa sekolah oleh jumwal seorang wartawan di kendari (2007), menunjukkan anak sd sama sekali tidak mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan budaya yang berkembang di lingkungannya. Cerita-cerita rakyat yang mengandung ketokohan dan keteladanan yang baik, semakin pudar dalam ingatan dan pengetahuan anak-anak saat ini. Padahal cerita rakyat, tarian nyanyian khas daerah, seharusnya dari kecil diperkenalkan kepada anak sedini mungkin, sehingga rnereka memiliki kecintaan akan budaya sendiri. Pada saat bersamaan penguatan budaya nasional untuk memupuk nasionalisme juga sedini mungkin agar dapat ditanamkan kepada mereka. Persoalan yang paling besar generasi muda saat ini adalah pudarnya nasionalisme, pengetahuan tentang budayanya, dan terlalu mudah melakukan adopsi atas perubahan modernisasi tanpa filter yang baik. Filter yang paling baik adalah melalui pendidikan mulai dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat. Fakta-fakta tersebut dapat rnenjadi pertirnbangan mendasar, betapa pentingnya penguatan niai-nilai budaya dalam kurikulum sd baik sebagai pelajaran inti maupun sebagai muatan lokal. Kedua, pada tingkat sekolah menengah pertarna (smp), penyajian budaya lokal sekitar sekolah/lingkungan sekitar peserta didik dapat dilakukan melalui pemaknaan dan nilai pada setiap unsur budaya. Sehingga mereka dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, pada tingkat pendidikan menengah (sma/smk). Para siswa yang berada pada tingkat pendidikan menengah seharusnya sudah diperkenalkan tentang unsur-unsur kebudayaan yang lebih luas dan lebih beragarn. Siswa sebaiknya tidak hanya disodorkan rnengenai fakta-fakta budaya, tetapi pada aspek ini, sudah mulai mengembangkan kemampuan penalaran terhadap nilai – nilai budaya. Pada tahap ini sesungguhnya mereka sudah dapat melakukan proses analisis secara kritis mengenai nilai-nilai adat istiadat mana yang bermanfaat, dan mana yang dapat ditinggalkan dan nilai – nilai apa saja yang perlu dikembangkan. Contoh: bagi masyarakat tolaki, nilai-nilai apa saja yang patut dikembangkan, begitu pula siswa yang tinggal pada wilayah masyarakat buton, muna, dan wakatobi. Akhirnya, apresiasi budaya pada tingkat sekolah menengah telah mulai di perkaya dengan nilai-nilai budaya yang lebih luas dari kebudayaan regional bahkan kebudayaan dunia. Keempat, pada tingkat pendidikan tinggi, maka perkembangan fungsional kebudayaan meminta kemampuan penalaran secara kritis mengenai nilai-nilai yang ada. Hal ini berarti lembaga- lembaga pendidikan tinggi bukan hanya merupakan pusat riset untuk ilmu pengetahuan tetapi juga pusat riset untuk kebudayaan. Dengan demikian kaitannya dengan apresiasi budaya oleh pendidikan tinggi, maka diperlukan suatu bentuk kajian-kajian konseptual mengenai pengembangan nilai-nilai dan sikap toleransi dari bangsa indonesia yang majemuk. Terjadinya konflik antar etnik yang sering melanda pada beberapa permukiman mahasiswa tidak terlepas dari minimnya kesadaran akan pentingnya sikap toleransi, kearifan menerima pluralisrne dan kemajemukan budaya. Mahasiswa yang seharusnya secara implementatif sudah dapat melakukan upaya transformasi sikap budaya yang baik, justru sebagian masih memberikan sikap yang bertentangan dengan semangat kebhinekaan. Pada tahap ini, bukan saja bentuk kajian-kajian budaya yang mendalam, akan tetapi kontektualisasi nilai, nilai tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Fakta rnenunjukkan bahwa bangsa ini berdiri tidak terlepas dari kemampuan menerjemahkan perbedaan budaya dalam satu kesatuan budaya nasional. Di samping itu tanpa harus melakukan proses pembunuhan nilai budaya lokal yang selama ini telah menjadi identitas setiap komunitas etnik dan suku bangsa yang ada di negeri ini.