Anda di halaman 1dari 6

3 Cara Ampuh Agar Tidak Menjadi Pengangguran Intelektual

Angka pengangguran di kalangan lulusan S1, atau pengangguran intelektual , cukup


tinggi di negri ini; yakni sebanyak 600 ribu orang (pastikan Anda bukan salah satunya).
Tidak ada yang lebih pedih selain setelah susah-susah kuliah, malah jadi sarjana
pengangguran. *Sakitnya tuh disini*
Jika Anda punya anak, adik, keponakan/sodara yang masih atau akan kuliah; dan tidak
ingin mereka kelak jadi pengangguran terdidik, tulisan ini layak Anda simak.
Sebab sebentar lagi, akan disajikan kiat ampuh agar mereka jadi orang sukses. Dan
bukan jadi jobless generation.
Setidaknya ada tiga faktor yang layak dipertimbangkan agar kelak anak, adik atau
kerabat Anda itu tidak menjadi pengangguran intelektual.
Anti Jobless # 1 : Memilih Jurusan Kuliah yang Benar. Oke ini mungkin lebih relevan
bagi anak, keponakan atau adik-adik Anda yang akan masuk kuliah.
Jurusan kuliah yang akan dimasuki acapkali menjadi penentu nasib seseorang. Ada
sejumlah jurusan yang memang agak susah mendapatkan pekerjaan kelak setelah lulus.
Contoh : jurusan sosiologi, hukum (too many), sastra jawa (kecuali Anda mau jadi dalang)
atau juga jurusan filsafat.
Sebaliknya ada jurusan favorit dan memang relatif lebih mudah mendapatkan pekerjaan
kelak setelah lulus. Contoh yang lulusannya dicari : IT, elektro, mesin, perminyakan dan
sejenisnya.
Jurusan lain yang lumayan favorit : pendidikan guru (sekarang laris manis karena gaji
guru lumayan bagus), psikologi, teknik sipil (karena infrastruktur adalah masa depan
bangsa); atau juga kedokteran dan manajemen serta akuntansi.
Masuk ke jurusan yang relatif favorit akan lebih menjamin masa depan karir yang
cemerlang. Meski bukan berarti pasti akan sukses. Sebab hidup kadang penuh dengan
misteri.

Anti Jobless # 2 : Kalau Anda ingin anak atau adik Anda kelak menjadi entrepreneur
yang sukses, mungkin kuliah di S1 justru bukan pilihan satu-satunya yang harus diambil
(sebab lulusan S1 kadang lebih suka melamar pekerjaan kantoran dibanding berjibaku
membangun usaha sendiri. Mungkin karena gengsi).
Kalau mau jadi entrepreneur, mungkin cukup sekolah di SMK pada jurusan yang sesuai
dengan bidang yang mau diambil + kursus yang praktikal.
Contoh : kalau mau jadi enterpreneur di bidang fashion / busana muslim, mungkin cukup
sekolah di SMK jurusan tata busana + kursus satu tahun di sekolah desain ESMOD.
Hasilnya bisa lebih fenomenal dibanding kuliah susah-susah kuliah 4 tahun di jurusan
Ekonomi atau Teknik Industri.
Contoh : Pengusahan fashion kondang Dian Pelangi yang hanya sekolah SMK + kursus
Esmod setahun. Penghasilan dia per bulan? Sekitar 100 juta-an.
Ilmu SMK + kursus bisa lebih praktikal dan down to earth dipake untuk merintis bisnis
dan membesarkannya. Dibanding kuliah yang hanya melulu teori.
Maka jika mau jadi enterpreneur kuliner, jauh lebih bagus sekolah di SMK jurusan tata
boga + D3 tata boga daripada kuliah mentereng di sekolah bisnis macam Prasetya Mulya
atau bahkan UI sekalipun.
(Yang sering terjadi : sudah susah-susah kuliah S1 Teknik Elektro atau Geologi, begitu
lulus malah pengin bisnis kuliner. Lhah ngapain kuliah di jurusan Teknik. Kenapa dulu
ndak sekolah di SMK Tata Boga saja. Ini namanya opportunity cost yang mahal).
Anti Jobless # 3 : Kalau Memang Sudah Kuliah, Bergiatlah di Beragam Aktivitas Ekstra
Kurikuler.
Kini banyak perusahaan multinasional yangs saat melihat CV pelamar, bukan IP yang
pertama dilihat, namun langsung melihat pengalaman organisasi mereka. Apakah pernah
ikut kegiatan mapala, pers mahasiswa, atau kegiatan organisasi lain yang relevan.
Sebab para recruiters itu paham : pengalaman organisasi amat bagus untuk menempa
leadership skill, teamwork dan communication skills beragam elemen yang amat
penting dalam dunia kerja.

Itulah kenapa mereka lebih tertarik dengan kandidat fresh graduates yang aktif di
berbagai kegiatan ekstra kurikuler dibanding yang hanya kuliah melulu.
Demikianlah sekilas tiga langkah yang layak dicermati saat Anda (atau juga anak,
adik dan sodara Anda semua) tidak ingin menjadi pengangguran terdidik.
Acapkali nasib hidup tidak hanya semata bergantung pada kompetensi; namun ada satu
elemen yang kadang lebih krusial, yakni : DECISION dalam sejumlah aspek kunci
kehidupan.
Keputusan yang salah dalam memilih jurusan kuliah, dalam memilih strata pendidikan
yang mau ditekuni, atau dalam memilih pekerjaan acapkali akan memberi dampak amat
panjang dalam sejarah kehidupan Anda.
Anda boleh pintar dan punya bekal pendidikan yang bagus. Namun jika Anda SALAH
dalam MENGAMBIL KEPUTUSAN (decision making) dalam aspek kunci kehidupan; nasib
Anda bisa stagnan dan tenggelam dalam bayang-bayang kekecewaan.
Selamat hari Senin, teman. Have a productive week.
- See more at: http://strategimanajemen.net/2014/11/17/apa-yang-harus-dilakukan-agarsetelah-lulus-kuliah-tidak-jadi-pengangguran/?
utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed
%3A+strategimanajemen+%28www.strategimanajemen.net%29#sthash.okKfCU0U.dpuf

Cara Mudah Membangun Mindset dan Motivasi Kerja yang Mak Nyus

Para Manajer SDM mungkin akan bersorak


penuh sumringah kalau saja para pegawai yang bekerja di kantornya memiliki motivasi
kerja yang menjulang dan perilaku yang penuh dedikasi. Kita sendiri mungkin juga akan
mendesis kegirangan kalau saja kita selalu punya mindset positif yang senantiasa
berkibar-kibar.
Cuman soalnya, menjelujurkan spirit motivasi yang terus meruap-ruap sepanjang waktu
ternyata tak semudah membikin indomie rebus. Banyak pengelola SDM yang merasa
gundah lantaran menyaksikan motivasi kerja para pegawainya kian meredup. Banyak
juga dari kita yang merasa frustasi lantaran self-motivation kita kok kayaknya kian
termehek-mehek. Doh.
Lalu harus bagaimana? Apa yang kudu diracik agar motivasi dan perilaku kerja kita selalu
bergerak ke arah yang kian cemerlang dan mak nyus?

Sebelum kita menelisik jawabannya, kita mau melihat betapa banyak perusahaan (dan
mungkin kita sendiri) yang memberikan solusi keliru dalam proses memperbaiki perilaku
dan motivasi kerja. Disini kita kita melihat kalau ada karyawan yang motivasi kerjanya
melorot, atau yang mindset-nya amburadul, kita segera berasumsi bahwa mereka adalah
karyawan atau SDM yang buruk; atau pegawai yang tidak mau berubah ke arah yang
lebih baik.
Asumsi itu sering saya dengar dari para pengelola SDM : wah pak, disini karyawannya
susah diajak melakukan perubahan. Wah pak, disini mindset karyawannya sulit untuk
diajak maju. Atau wah disiplin dan motivasi para pegawainya disini kurang bagus pak.
Para pakar perilaku (human behavior) menyebut asumsi itu sebagai fundamental
attribution error. Atau asumsi yang segera menyalahkan aspek SDM/aspek manusianya ketika menyaksikan berbagai keburukan.
Error itu suka muncul, misalnya ketika kita menyaksikan para pengendara sepeda motor
di jalanan kota Jakarta (atau kota besarnya) yang mengendarai kendaraan dengan
pecicilan. Pak polisi dengan mantap langsung menyebut : disiplin para pengendara
sepeda motor di Jakarta sangat memprihatinkan. Atau komenter yang lebih ekstrem :
mentalitas para pengendara sepeda motor sungguh tak bermartabat.
Komentar atau asumsi semacam itu disebut sebagai fundamental error sebab
melupakan satu elemen yang amat penting, yakni : konteks, atau situasi.
Motivasi para karyawan menjadi kacau lantaran konteks/situasi telah membuat ia seperti
itu. Para pengendara sepeda motor cenderung bertindak ugal-ugalan lantaran SITUASI
telah mendorong mereka mengendarai sepeda motornya seperti itu.
Dengan kata lain, bukan SDM atau manusianya yang brekele; namun situasi atau konteks
yang telah membuat mereka bertindak seperti itu.
Orang mengalami demotivasi lantaran mungkin situasi lingkungan kerjanya yang tidak
kondusif (jadi bukan orang itu yang buruk motivasinya). Orang mengendarai sepeda
motor dengan liar lantaran mungkin tidak adanya jalur khusus untuk sepeda motor atau
karena sistem transportasi publik yang buruk. Dan orang tumbuh dengan mindset yang
negatif karena mungkin ia bekerja dalam konteks yang membuat ia menjadi seperti itu.

Konteks. Situasi. Ini elemen yang amat penting ketika kita mau melakukan perubahan
perilaku ke arah yang lebih baik (lebih disiplin, lebih tekun, lebih gigih, dan lebih
cemerlang).
Dalam lingkungan organisasi atau perusahaan, konteks yang menjadi penentu bagus
tidaknya mindset para karyawan (atau juga motivasi kerja mereka) antara lain adalah
ini : pola komunikasi atasan bawahan; target kinerja yang jelas, terukur dan fair; atau
mekanisme reward yang berbasis prestasi; kompetisi yang fun, asyik dan yang sehat
antar bagian; atau juga lokasi/tata letak kantor yang mudah dijangkau dan nyaman. Dan
tentu saja ada banyak contoh konteks/situasi lainnya.
Untuk melakukan perubahan perilaku dan mindset yang sukses, Anda harus kreatif
dalam mengutak-utik beragam contoh KONTEKS tersebut diatas.
Artinya, untuk mengubah perilaku dan mindset orang, kita sebenarnya ndak perlu
banyak petuah, ceramah, sesi motivasi, beragam sosialisasi dan himbauan verbal
lainnya. Cukup ubah konteks dan situasi dimana mereka bekerjadan perubahan
perilaku akan dengan sendirinya segera terjadi.
- See more at: http://strategimanajemen.net/2011/02/21/cara-mudah-membangunmindset-dan-motivasi-kerja-yang-mak-nyus/#sthash.idllHbvu.dpuf

Anda mungkin juga menyukai