Anda di halaman 1dari 99

USULAN PENELITIAN

PENENTUAN SKALA PRIORITAS PENANGANAN


JALAN KABUPATEN DI PULAU NUSA PENIDA

I PUTU BELA YUSDIANTIKA

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014

DAFTAR IS

BAB I.........................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................3
1.1

Latar Belakang...........................................................................................3

1.2 RUMUSAN MASALAH................................................................................4


1.3 BATASAN MASALAH.................................................................................5
1.4 TUJUAN PENELITIAN...............................................................................5
1.5 MANFAAT PENELITIAN...........................................................................6
1.6 SISTEMATIKA PENULISAN.......................................................................6
BAB II........................................................................................................................8
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................8
2.1 Pengertian Jalan...............................................................................................8
2.2 Klasifikasi Jalan..............................................................................................8
2.2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsinya.........................................................8
2.2.2 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Muatan Sumbu..........................................9
2.2.3 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Administrasi Pemerintahan.......................9
2.3

Volume lalu lintas.....................................................................................10

2.4

Penanganan Jalan......................................................................................11

2.4.1 Pekerjaan Berat.........................................................................................12

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pulau Nusa Penida merupakan bagian dari Kabupaten Klungkung. Bila dilihat
perbandingan komposisi luas wilayahnya dua pertiganya terletak di Pulau Nusa Penida
(20.284 Ha Termasuk Pulau Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan) dan sepertiga Luas
Kabupaten Klungkung terletak di daratan Pulau Bali (11.216 Ha). Meskipun secara
geografis luas wilayahnya lebih besar, namun kondisi sosial-ekonomi dan pembangunan
dirasakan sangat tertinggal dibandingkan dengan kecamatan lainnya yang berada di
daratan Pulau Bali. Kedua wilayah yang dipisahkan oleh laut ini, mengalami kesenjangan
pertumbuhan sosial ekonomi yang mencolok. kesenjangan pertumbuhan ini dapat
diakibatkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah kondisi sarana transportasi di
dalam dan ke wilayah ini yang kurang memadai.
Komposisi perjalanan terbesar ada di wilayah Nusa Penida bagian Utara dan Timur.
Hal ini dikarenakan wilayahnya datar, populasi termasuk padat, adanya berbagai sentra
bisnis, pusat pemerintahan kecamatan, adanya pelabuhan-pelabuhan penyeberangan
utama dan jasa layanan lainnya, sehingga kondisi perjalanan dan lalu-lintas di daerah ini
menunjukkan kepadatan yang relatif tinggi. Sedangkan, perjalanan yang mengarah ke
wilayah bagian Barat dan Selatan Nusa Penida menunjukkan kondisi yang sebaliknya.
(Tim FS Jalan Lingkar Nusa Penida, 2014).
Ruas jalan yang memiliki status jalan kabupaten di Pulau Nusa Penida berjumlah
40 buah dengan total panjang 235 km dan kondisinya 60% sudah rusak (Tim FS Jalan
Lingkar Nusa Penida, 2014). Sehingga menetukan prioritas penanganannya adalah hal
yang tidak mudah. Pemerintah Kabupaten sejak lama menggunakan ketentuan SK No.77
Dirjen Bina Marga, Tahun 1990, yang digunakan sebagai dasar penentuan prioritas
penanganan jalan adalah Lintas Harian Rata-Rata (LHR) dan Net Present Value (NPV).
Namun permasalahannya tidak sesederhana itu, karena jalan kabupaten di Pulau Nusa
Penida umumnya mempunyai volume lalu-lintas yang rendah, dan banyak faktor lain
yang bisa dijadikan pertimbangan misalnya kebutuhan akses masyarakat, potensi
ekonomi, pariwisata, dll.

I Dewa Ayu Alit Putri (2010) dalam pemelitiannya memperoleh bahwa penentuan
skala

prioritas

penanganan

jalan

dengan

metode Analytical Hirarchy Process

(AHP) memeperoleh bobot masing-masing kriteria diurut berdasarkan urutannya yaitu


: kondisi jalan (23,9%), volume lalu lintas (22,9%), ekonomi (22,8%), tata guna lahan
(15,3%) dan kebijakan (15,1%). Perolehan urutan prioritas penanganan jalan dengan
metode AHP berbeda hasilnya dengan menggunakan SK No.77 Dirjen Bina Marga,
Tahun 1990. Hal ini disebabkan tidak hanya mengutamakan nilai NPV tetapi adanya
kombinasi beberapa faktor kriteria. Beberapa perubahan tersebut terlihat pada ruas jalan
yang LHRnya kecil, dengan nilai NPV rendah tetapi dibutuhkan masyarakat
memperoleh urutan skala prioritas tinggi.
Selanjutnya dalam penelitian D.M. Priyantha Wedagama (2012) disebutkan bahwa
metode AHP telah banyak digunakan untuk menentukan bobot kriteria di dalam
penentuan prioritas penanganan jalan. Akan tetapi karena keragu-raguan merupakan hal
yang lazim terjadi di dalam pengambilan keputusan, maka teknik fuzzy dapat
dikombinasikan ke dalam metode AHP. Studi dilakukan pada penentuan prioritas
penanganan jalan kabupaten untuk kondisi rusak berat di Kabupaten Badung, Bali
dengan metode Fuzzy AHP (FAHP) dan (Technique For Others Reference by Similarity
to Ideal Solution) TOPSIS. Metode FAHP digunakan untuk pembobotan kriteria
sedangkan metode TOPSIS digunakan untuk penentuan urutan ruas jalan yang akan
mendapat penanganan. Metode AHP memberikan hasil yang sedikit berbeda dengan
metode SK.NO.77/KPTS/Db/1990. Sementara itu FAHP dan metode TOPSIS
memberikan hasil yang sama dengan metode SK.NO.77/KPTS/Db/1990 karena Volume
lalu lintas merupakan faktor yang paling berpengaruh pada

penelitian

terhadap

penanganan ruas jalan di Kabupaten Badung.


Untuk itu diperlukan suatu penelitian mengenai penentuan prioritas penanganan
ruas jalan kabupaten di Kecamatan Nusa Penida tersebut.

Dalam penelitian ini

ditentukan kriteria yang berpengaruh terhadap prioritas penanganan

selanjutnya

menggunakan fuzzy AHP untuk pembobotan kriteria tersebut. Terakhir, metode TOPSIS
digunakan untuk penentuan urutan ruas jalan yang akan mendapat penanganan. Dengan
demikian penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengambilan keputusan
bagi Dinas/Pejabat yang berwenang untuk mengambil langkah penanganan ruas jalan
kabupaten di Kecamatan Nusa Penida .

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka dirumuskan beberapa

rumusan

masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu:


1. Kriteria-kriteria apa saja yang berpengaruh dalam proses penentuan prioritas
penanganan ruas jalan kabupaten di Pulau Nusa Penida?
2. Ruas jalan yang mana yang menjadi prioritas dalam penanganan?

1.3 BATASAN MASALAH


Untuk menghidari meluasnya pembahasan dalam studi ini, maka perlu adanya
pembatasan masalah yang akan di bahas yaitu antara lain :
1. Lokasi penelitian berada di wilayah Pulau Nusa Penida, Kecamatan Nusa Penida,
Propinsi Bali.
2. Ruas jalan yang diteliti merupakan ruas jalan kabupaten Data jalan kabupaten yang
digunakan pada penelitian tesis ini adalah data jalan kabupaten di D i n a s
P e k e r j a a n U m u m Kabupaten Klungkung tahun anggaran 2014-2016
3. Dalam penelitian ini kriteria dan yang berpengaruh terhadap prioritas penanganan
ruas jalan kabupaten di Pulau Nusa Penida ditentukan terlebih dahulu, kemudian
menggunakan metode AHP untuk pembobotan kriteria dan penyusunan urutan ruas
jalan yang akan ditangani
4. Hasil pembobotan kriteria dan penyusunan urutan ruas dari metode metode fuzzy AHP
dan metode TOPSIS dibandingkan dengan SK.NO.77/KPTS/Db/1990 Bina Marga.
5. Responden yang akan di amati sebagai acuan dalam pengambilan keputusan untuk
mengetahui prioritas pengembangan ruas jalan kabupaten di Kecamatan Nusa Penida
adalah mereka yang memiliki

keahlian,

pemahaman

masalah yang akan di teliti serta seperti Dinas Dinas

dan

kepentingan pada

Pemerintah Kabupaten

Klungkung, Anggota DPRD Kab. Klungkung dan Akademisi (Universitas Udayana).

1.4 TUJUAN PENELITIAN


Adapun tujuan berdasarkan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini
yaitu :
1. Mengetahui kriteria yang berpengaruh terhadap penanganan ruas jalan kabupaten
yang terdapat di Pulau Nusa Penida.

2. Mengetahui prioritas penanganan ruas jalan kabupaten yang terdapat di Pulau Nusa
Penida

1.5 MANFAAT PENELITIAN


Manfaat dari penelitian ini dapat dibedakan atas 2 (dua) sudut pandang yaitu
sudut pandang pemerintah dan sudut pandang masyarakat.
1.

Dari

sudut

Pemerintah

Kabupaten

Klungkung

sebagai

acuan

dalam

manentukan prioritas penanganan jalan kabupaten.


2. Dari sudut masyarakat dapat memberi gambaran yang jelas tentang penanganan
jalan kabupaten di Kabupaten Klungkung dan diharapkan dapat mengoptimalkan
partisipasi masyarakat dalam memberi masukan bagi pembangunan di daerahnya

1.6 SISTEMATIKA PENULISAN


Sistematika penulisan penelitian ini meliputi :
1.

Bab I

Pendahuluan :

Pada Bab I Pendahuluan, akan diuraikan tentang latar belakang, rumusan masalah,
tujuan, manfaat penelitian, ruang lingkup dan sistematika penulisan.
2.

Bab II Tinjauan Pustaka :


Pada

Bab II atau pada Tinjauan

Pustaka, akan diuraikan tentang teori, atau

pendekatan teori, proposisi dan konsep yang relevan untuk digunakan dalam
menyelesaikan masalah yang telah dirumuskan, untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
3.

Bab III Metode Penelitian :


Pada Bab III atau pada Metode Penelitian, akan diuraikan tentang rancangan dan
diagram alir penelitian, lokasi dan objek penelitian, sumber data, serta responden
penelitian.

4.

Bab IV Analisis Data dan Pembahasan :


Pada Bab IV atau pada Analisis Data dan Pembahasan ini, akan diuraikan tentang
data yang akan diperlukan/dipergunakan, proses pengumpulan data tersebut, serta
hasil pengumpulan data dalam bentuk rekapitulasi dan kompilasi data sesuai
kebutuhan data dalam gambar dan tabel. Khusus hasil pengumpulan data yang

ditampilkan dalam bentuk gambar dan tabel yang tidak dapat ditampilkan pada 1
(satu) halaman yang tersedia maka data tersebut akan ditampilkan pada bagian
lampiran. Proses penyelesaian rumusan masalah yang telah dirumuskan untuk
mencapai tujuan dengan menggunakan teori, atau pendekatan teori, propisisi,
konsep yang telah diuraikan pada Bab II (Tinjauan Pustaka) dan Bab III (Metode
Penelitian)
5.

Bab V Simpulan dan Saran :


Pada Bab V atau pada Simpulan dan Saran, akan diuraikan intisari dari hasil
penelitian yang telah dianalisis dan dibahas. Simpulan dalam penelitian ini
merupakan rangkuman jawaban atas rumusan masalah. Sedangkan saran dalam
penelitian ini merupakan anjuran tentang prospek dari hasil penelitian dalam
penerapannya dimasyarakat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Jalan


Menurut UndangUndang RI No.22 Tahun 2009 yang dimaksud dengan jalan
adalah seluruh bagian jalan, termasuk bangunan pelengkapnya yang diperuntukan bagi
lalu lintas umum, yang berada dibawah permukaan tanah, diatas pemukaaan tanah,
dibawah permukaan air, serta diatas pemukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.
Jalan mempunyai peranan untuk mendorong pembangunan semua satuan wilayah
pengembangan, dalam usaha mencapai tingkat perkembangan antar daerah. Jalan
merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan yang mengikat dan menghubungkan
pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah lainnya.
2.2 Klasifikasi Jalan
Berdasarkan UU RI No.22 Tahun 2009,

jalan

dapat diklasifikasikan sebagai

berikut :
2.2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsinya
Pengelompokan jalan menurut fungsinya dapat dibedakan atas :
Jalan Arteri
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri
perjalanan jarak jauh kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi
dengan berdaya guna.

Jalan Kolektor
Merupakan jalan umum yang

berfungsi melayani angkutan pengumpul atau

pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah
jalan masuk dibatasi.
Jalan Lokal
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan
ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak
dibatasi.

2.2.2 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Muatan Sumbu


Untuk keperluan pengaturan penggunaan jalan dan pemenuhan kebutuhan
angkutan, jalan dibagi dalam beberapa kelas yaitu :
Jalan Kelas I
Yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak melebihi
18.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm dan muatan sumbu terberat sebesar 10 ton.
Jalan Kelas II
Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan

yang dapat

dilalui

kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran
panjang tidak melebihi 12.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm dan muatan
sumbu terberat sebesar 8 ton.
Jalan Kelas III
Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan
bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 mm, ukuran panjang tidak melebihi
9.000 mm, ukuran paling tinggi 3.500 mm dan muatan sumbu terberat sebesar 8 ton.
Jalan Kelas Khusus
Yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar
melebihi 2.500 mm, ukuran panjang melebihi 18.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200
mm dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 ton. Disebutkan pula bahwa volume lalu
lintas adalah jumlah kendaraaan yang

melewati suatu titik pengamatan dalam satuan waktu (hari, jam, menit). Satuan
volume yang umum digunakan dalam perhitungan LHR (Lalu lintas harian rata- rata)
adalah smp.
2.2.3 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Administrasi Pemerintahan
Pengelompokan

jalan

dimaksudkan

untuk

mewujudkan

kepastian

jalan

berdasarkan wewenang Pembinaan Jalan. Menurut PP No.26 tahun 1985 tentang jalan,
pengelompokan berdasarkan wewenang tersebut adalah sebagai berikut :
1. Jalan Nasional
Adalah jalan menghubungkan antar ibukota provinsi, yang memiliki kepentingan
strategis terhadap kepentingan nasional di bawah pembinaan menteri atau pejabat yang
ditunjuk, diantaranya:
a. Jalan arteri primer, berfungsi melayani angkutan utama yang merupakan tulang
punggung transportasi nasional yang menghubungkan pintu gerbang utama
(pelabuhan utama dan Bandar udara kelas utama).
b. Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar provinsi.
c. Jalan yang mempunyai nilai strategis kepentingan nasional.

2. Jalan Provinsi
Adalah jalan dibawah pembinaan provinsi atau instansi yang ditunjuk, diantaranya
adalah jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota
kabupaten/kotamadya.

3. Jalan Kabupaten
Adalah jalan dibawah pembinaan kabupaten atau instansi yang ditunjuk diantaranya
:
a.

Jalan kolektor primer yang tidak termasuk dalam jalan nasional atau provinsi.

b. Jalan lokal primer.


c. Jalan yang memiliki strategis untuk kepentingan kabupaten.
4. Jalan Kotamadya
Adalah jalan dibawah pembinaan kotamadya, diantaranya jalan kota dan sekunder
dalam kota.

5. Jalan Desa
Adalah jalan dibawah pembinaan desa yaitu : jalan sekunder yang ada di desa.

Jalan Khusus
Adalah jalan dibawah pembinaaan pejabat atau instansi yang ditunjuk yaitu jalan
yang dibangun secara khusus oleh instansi atau kelompok.

2.3

Volume lalu lintas


Menurut Pedoman Pengumpulan data lalu lintas jalan Direktorat Jendral

Perhubungan Darat Departemen Perhubungan (1999), Pada moda transportasi darat


pergerakan lalu lintas dikelompokkan berdasarkan atas beberapa hal, diantaranya
berdasarkan jenis kendaraan yang digunakan akan ada pergerakan dengan kendaraan
bermotor dan tanpa kendaraan bermotor. Pergerakan dengan kendaraan bermotor
dikelompokkan atas beberapa hal diantarannya berdasarkan kepemilikannya

yang

dikelompokan menjadi pergerakan dengan kendaraan pribadi dan kendaraan umum.


Berdasarkan jenis muatan yang dipindahkan akan ada pergerakan angkutan barang dan
pergerakan angkutan orang.
Dalam

survey tahunan Dinas

Pekerjaan Umum Kabupaten Klungkung

dilakukan survey terhadap jumlah volume lalu lintas masing-masing kendaraan


diantaranya : truk ringan, truksedang/berat, kendaraan roda empat

dan sepeda

motor. Adapun salah satu tujuan dalam survey tahunan tersebut adalah untuk
mendapatkan volume lalu lintas harian rata-rata (LHR).

2.4

Penanganan Jalan
Menurut SK No. 77 Dirjen Bina Marga, Tahun 1990 (modul 1. Gambaran umum,

halaman 6), jaringan jalan dibagi dalam 2 (dua) bagian yaitu :


1. Jalan dengan kondisi yang mantap (stabil ) adalah jalan yang selalu dapat
diandalkan untuk dilalui kendaraan roda 4 sepanjang tahun, terutama yang
kondisinya sudah baik/sedang yang hanya memerlukan pemeliharaan.

2. Jalan dengan kondisi tidak

mantap adalah jalan yang tidak dapat

diandalkan untuk dilalui kendaraan roda 4 sepanjang tahun, terutama


kondisinya

rusak/rusak

berat

yang

memerlukan

pekerjaan

berat

(rehabilitasi, perbaikan, konstruksi) termasuk jalan tanah yang saat ini


tidak dapat dilewati kendaraan roda 4.
Pada prinsipnya, semua kondisi jalan yang mantap setiap tahunnya

harus

mendapat prioritas untuk ditangani dengan pemeliharaan rutin dan berkala. Untuk itu
informasi survei terbaru diperlukan dalam menentukan kebutuhan teknis yang tepat,
yang biasanya disebut survei tahunan. Survei tahunan sangat perlu dilakukan untuk
memperbaharui informasi inventarisasi jalan sebagai bagian dari prosedur perencanaan
pemeliharaan tahunan.

Untuk keperluan perencanaan dan penyusunan program, menurut SK No.77


pembagian pekerjaan bila ditinjau dari nilainya, dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Pekerjaan Berat, meliputi: pembangunan baru, peningkatan dan rehabilitasi.
2. Pekerjaan Ringan, meliputi: pemeliharaan, penyangga, dan darurat.

2.4.1 Pekerjaan Berat


Pekerjaan berat dimaksudkan untuk meningkatkan jalan yang sesuai dengan
tingkat lalu lintas yang diperkirakan dengan membangun kembali perkerasan. Pekerjaan
berat ini dapat

berupa pembangunan jalan baru, peningkatan jalan dan rehabilitasi

jalan. Peningkatan dan rehabilitasi dengan umur rencana paling sedikit 10 tahun,
diperkirakan hampir menyerap semua dana yang tersedia setelah dikurangi dengan
biaya pemeliharaan.
1. Pembangunan Jalan Baru
Pada umumnya terdiri atas pekerjaan untuk meningkatkan jalan tanah atau jalan
setapak agar dapat dilalui kendaraan roda 4, kondisi jalan yang berat ini memerlukan
biaya yang besar dan pekerjaan tanah yang besar pula.

2. Peningkatan Jalan
Peningkatan ini dapat dikatakan

sebagai usaha untuk meningkatkan standar

pelayanan jalan yang ada, baik membuat lapisan permukaan menjadi lebih halus,
seperti pengaspalan jalan yang belum diaspal atau dengan menambah Lapis Tipis
Aspal (Laston) atau Hot Roller Sheet (HRS) kepada jalan yang menggunakan
Lapis Penetrasi (Lapen), atau menambah lapisan struktural yang berarti menambah
kekuatan perkerasan atau memperlebar lapisan perkerasan yang ada.

3. Rehabilitasi Jalan
Diperlukan bila pekerjaan pemeliharaan rutin yang secara teratur harus
dilaksanakan itu diabaikan atau pemeliharaan berkala (pelapisan ulang) terlalu lama
ditunda sehingga keadaan permukaan lapisan semakin memburuk. Yang termasuk
katagori ini adalah perbaikan terhadap kerusakan lapisan permukaan seperti lubang
lubang dan kerusakan struktural seperti amblas atau kerusakan tersebut kurang dari (15
20)% dari seluruh perkerasan yang berkaitan dengan lapisan aus baru.
Pembangunan kembali secara total biasanya diperlukan apabila struktural sudah
tersebar luas sebagai akibat dari diabaikannya pemeliharaan, atau kekuatan desain
yang tidak sesuai, atau karena umur rencana tidak terlampaui.

2.4.2 Pemeliharaan Jalan


Pemeliharaan jalan merupakan kegiatan penanganan jalan yang berkondisi
baik/sedang yang harus mendapat prioritas untuk ditangani, agar jalan dapat berfungsi
sesuai dengan yang diperhitungkan dan menjaga agar permukaan ruas jalan mendekati
kondisi semula. Pemeliharaan yang dilakukan disini dibagi menjadi dua bagian yaitu
pemeliharaan rutin jalan dan pemeliharaan berkala jalan.

a. Pemeliharaan Rutin Jalan


Pemeliharaan rutin jalan adalah pekerjaan yang skalanya cukup kecil dan
dikerjakan tersebar diseluruh jaringan jalan secara rutin. Dengan melaksanakan
pemeliharaan rutin diharapkan tingkat penurunan nilai kondisi struktural
perkerasan akan sesuai dengan kurva kecenderungan yang diperkirakan pada
tahap desain.

b. Pemeliharaan Berkala Jalan


Pemeliharaan berkala dibedakan dengan pemeliharaan rutin dalam hal ini
periode waktu antar kegiatan pemeliharaan yang diberikan.Pemeliharaan
berkala dilakukan dalam selang waktu beberapa tahun, sedangkan pemeliharaan
rutin di lakukan beberapa kali atau terus menerus sepanjang tahun.
Pemeliharaan dilakukan secara berkala tersebut adalah pemberian lapisan aus
menyeluruh dan lapisan tambahan fungsional.

2.4.3 Pekerjaan Penyangga dan Pekerjaan Darurat Jalan


Pekerjaan penyangga jalan adalah pekerjaan tahunan dengan biaya rendah yang
diperlukan untuk perbaikan jalan agar kondisi jalan tidak semakin memburuk
atau semakin parah. Hal ini dilakukan bila pekerjaan berat (peningkatan/rehabilitasi)
yang harus dilakukan tidak dibenarkan karena tingkat lalu lintas yang melintasi jalan
tersebut rendah atau dana yang tersedia untuk melaksanakan pekerjaan berat seperti
rahabilitasi atau peningkatan tidak mencukupi. Dana yang digunakan untuk
melaksanakan kegiatan penyangga jalan ini perlu selalu dicadangkan dengan jumlah
dana

yang

cukup.

Sedangkan pekerjaan darurat adalah pekerjaan yang sangat

diperlukan untuk membuka kembali jalan yang baru saja tertutup untuk lalu lintas
kendaraan roda empat karena mendadak terganggu, misalnya akibat tebing longsor.
Dana pekerjaan darurat tidak dapat disiapkan sebelumnya, tetapi perlu dicadangkan
dalam jumlah yang cukup.

2.5 Sumber Dana Penanganan Jalan


Sumber dana penanganan jalan, baik itu dana pemeliharaan rutin, pemeliharaan
berkala, rehabilitasi

maupun

peningkatan jalan diperoleh dari beberapa sumber

antara lain :
a. Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) seperti :
DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus)
b. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi (APBD Prov.)
c. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten (APBD Kab.) termasuk
PAD (Pendapatan Asli daerah)
d. Bantuan Luar Negeri (BLN)

2.6 Kebijakan Penanganan Jalan


Secara umum kebijakan adalah suatu proses akomodasi dari suatu perbedaan agar
menjadi bersamaan yang dapat diemplementasikan yang merupakan kewenangan
Kepala Daerah.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Surat Edaran bersama antara Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan
Nomor

18/M.PPN/02/200.050/244/SJ

tanggal

14

Pebruarai

2006 tentang

Musrenbang, Pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Daerah Klungkung


perencanaan pembangunan jalan diwujudkan dalam bentuk usulan pengajuan program
penanganan jalan pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah yaitu
Musrenbang

Kecamatan,

Musrenbang

Kabupaten,

Musrenbang Provinsi, dan

Anggaran Biaya Tambahan (ABT).


Dalam penentuan usulan kegiatan yang lolos Musrenbang Kecamatan didasarkan
atas hasil musyawarah di kecamatan dengan diikuti oleh wakilwakil masyarakat desa
yang dikirim ke kecamatan. Hasil dari musyawarah kecamatan dibawa ke kabupaten
dan disaring kembali oleh pihak kabupaten melalui wakil- wakil masyarakat di tingkat
kabupaten. Sehingga akhirnya dilakukan musyawarah di provinsi terhadap hasil
Musrenbang Kabupaten ditingkat provinsi, yang selanjutnya disebut

Musrenbang

Provinsi.
Pada beberapa kegiatan yang belum 100% selesai

dipandang perlu oleh

pemerintah untuk dilanjutkan pembangunannya diperlukan biaya tambahan untuk


penyelesaian kegiatan tersebut melalui Anggaran Biaya Tambahan (ABT).

2.6.1 Metode-Metode Dalam Pengambilan Keputusan


Ada

beberapa

metode

pengambilan

keputusan

yang

digunakan

dan

diterima oleh banyak kalangan secara umum yaitu (Mulyono, 2006)


1. Metode Rasional Komprehensif
Metode Rasional Komprehensif adalah metode pengambilan keputusan
dimana pembuatan keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu
yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain

atau setidaknya dinilai

sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain

(dapat diurutkan menurut prioritas masalah). Adapun kriteria-kriteria


pengambilan keputusaan dengan metode ini adalah sebagai berikut:
a. Tujuantujuan, nilai-nilai dan sasaran yang menjadi pedoman pembuat
keputusan sangat jelas dan dapat diuraikan prioritas- prioritasnya.
b. Bermacam-macam alternatif untuk

memecahkan

masalah diteliti

secara seksama.
c. Asas biaya manfaat atau sebab akibat digunakan untuk menentukan
prioritas.
d. Setiap alternatif dan implikasi yang

menyertainya dipakai untuk

membandingkan dengan alternatif lain.


e. Pembuat keputusan akan memilih alternatif terbaik untuk mencapai
tujuan, nilai dan sasaran yang ditetapkan.
Metode pengambilan keputusan ini menuntut hal-hal yang tidak rasional dalam
diri pengambilan keputusan. Asumsinya adalah seorang pengambilan keputusan
memiliki cukup informasi mengenai berbagai alternatif sehingga mampu meramalkan
secara tepat akibat-akibat dari pilihan alternatif yang ada. Pengambil keputusan sering
memiliki komplik kepentingan antara nilai-nilai sendiri dengan nilai-nilai

yang

diyakini oleh masyarakat. Karena metode ini mengasumsikan bahwa fakta-fakta dan
nilai-nilai yang ada dapat dibedakan dengan cara mudah akan tetapi kenyataannya sulit
membedakan antara fakta dilapangan dengan nilai- nilai yang ada. Ada beberapa
masalah diberbagai negara berkembang seperti di Indonesia untuk menerapkan metode
rasional komprehensif ini karena beberapa alasan yaitu informasi dan data yang tidak
lengkap sehingga tidak bisa dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan. Kalau
dipaksakan maka akan terjadi sebuah keputusan yang kurang akurat.
1.

Metode Inkremental
Adalah metode pengambilan keputusan dengan cara menghindari banyak

masalah yang harus dipertimbangkan dan merupakan model yang sering ditempuh
oleh

pejabat-pejabat

pemerintah

dalam

pengambilan

keputusan.

Dasar

pengambilan Keputusan dengan metode ini adalah pemilihan tujuan atau sasaran
dan analisis tindakan emperis yang diperlukan untuk mencapainya merupakan hal
yang saling terkait.

Kelemahan penerapan metode Inkremental adalah :

a. Keputusan-keputusan yang diambil akan lebih

mewakili atau mencerminkan

kepentingan dari kelompok yang kuat/mapan, sehingga kepentingan kelompok


lemah terabaikan.
b. Keputusan yang diambil lebih ditekankan pada keputusan jangka pendek
dan tidak memperhatikan berbagai macam alternatif lain.

2.7

Tata Guna Lahan


Tata Guna Lahan (land use) adalah suatu upaya dalam merencanakan pembagian

wilayah dan merupakan kerangka kerja yang meliputi lokasi, kapasitas dan jadwal
pembuatan jalan, jaringan air bersih dan pusat-pusat pelayanan serta fasilitas umum
lainnya. Pembagian wilayah dibagi berdasarkan fungsi-fungsi kawasan diantaranya
kawasan permukiman, industri , pariwisata dan lainnya.
Adapun maksud dari perencanaan tata guna lahan kawasan adalah sebagai
pedoman untuk :
1. Penyusunan rencana rinci tata ruang kota
2. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan dan pengendalian ruang di wilayah
kota.
3. Mewujudkan

keterpaduan,

keterkaitan

dan

kesinambungan perkembangan

antar kawasan wilayah kota serta keserasian antar sektor.


4. Penetapan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan masyarakat.
5.

Pelaksanaan pembangunan dalam

memanfaatkan

ruang

bagi kegiatan

pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.


Dalam pengelolaan lahan yang berkelanjutan sangat perlu dipahami dalam
melihat

permasalahan

pengelolaan

sumber

daya

lahan

di

indonesia. Pada

dasarnya penggunaan lahan dibedakan atas dua kelompok yaitu untuk kawasan
terbangun dan kawasan tidak terbangun. Untuk kawasan terbangun digunakan untuk
perumahan dan fasilitas umum

( http://tata-guna-lahan/html, 2014).

Menurut Peraturan Bupati Klungkung No.6 tahun 2006, tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Klungkung, tata guna lahan atau peruntukan wilayah
Daerah Klungkung dibedakan atas 4 (empat) peruntukan yaitu :
1. Bidang Pertanian, mencakup kawasan pertanian dalam arti luas yaitu
pertanian tanaman pangan lahan basah dan lahan kering.

2. Bidang

Pendidikan,

mencakup

kawasan

pendidikan

untuk

pembangunan sekolah-sekolah.
3. Bidang Sosial Budaya, mencakup tempat tinggal, tempat suci dan obyek
wisata.
4. Perdagangan Jasa, mencakup pasar dan pusat perbelanjaan serta usaha
jasa.

2.8 Penentuan Skala Prioritas Jalan berdasarkan SK.No.77 Dirjen


Bina Marga, Tahun 1990

Metode

SK

No

77/KPTS/Db

/1990

dari

Dijen

Bina

Marga

adalah

merupakan pedoman perencanaan jalan kabupaten yang diterbitkan oleh Dirjen Bina
Marga sebagai acuan dalam menentukan urutan prioritas penanganan jalan kabupaten
(Dirjen Bina Marga, 1990). Pada

persiapan program tahunan dijelaskan beberapa

kriteria peringkat prioritas penanganan jalan (SK No.77, Th.1990 pada modul 6 :
tugas 5, hal. 5E-1 sampai 5E-2 ) yaitu :
1. Kriteria pokok yang dipakai untuk pemilihan prioritas adalah NPV/Km,
dengan memberikan prioritas pertama pada proyek yang NPV/Km-nya
tertinggi.
2. Kode evaluasi proyek juga diberikan pada proyek-proyek dengan tanda
kisaran NPV/Km untuk petunjuk pemilihannya, dengan petunjuk pemilihan
adalah sebagai berikut :
a.

Berikan prioritas pada kelompok proyek-proyek yang mempunyai


kelayakan tertinggi.

b. Berikan

prioritas

terendah

kepada

kelompok

proyek-proyek

berkelayakan rendah.
c. Berikan prioritas kepada proyek-proyek luncuran, terutama penyelesaian
proyek

yang

pelaksanaannya

pelaksanaannya secara
pada panjang

dipisah

(split)

atau

proyek

yang

bertahap. Penyelesaian proyek-proyek sampai

yang telah direncanakan semula atau sesuai rencana

desain awal, akan sangat penting untuk memberikan manfaat secara penuh
atas investasinya.

d. Hindari proyek yang sangat panjang (umumnya proyek yang panjangnya


lebih dari 15 km) harus sudah dihindari pada tahap penentuan proyek.
e. Berikan prioritas pada ruas-ruas jaringan jalan strategis

yang telah

ditentukan
f.

Berikan

prioritas

pada

proyek-proyek

yang

memenuhi

sasaran

pembangunan kabupaten dan provinsi (namun proyek-proyek tersebut harus


tetap distudi dan hasilnya layak berdasarkan prosedur standar).

2.9

Penentuan Skala Prioritas Dengan Analytical Hierarchy Process (AHP)


Analytical Hierarchy Process (AHP) atau Proses Hirarki Analitik dalam
buku Proses Hirarki Analitik Dalam Pengambilan Keputusan Dalam Situasi
yang Kompleks(Saaty, 1986), adalah suatu metode yang sederhana dan fleksibel
yang menampung kreativitas dalam rancangannya terhadap suatu masalah.
Metode ini merumuskan masalah dalam bentuk hierarki dan masukan
pertimbangan pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif.

Dalam penyelesaian persoalan dengan metode AHP dalam buku Saaty


(1986) tersebut, dijelaskan pula beberapa prinsip dasar Proses Hirarki Analitik
yaitu :
1.

Dekomposisi. Setelah mendifinisikan permasalahan, maka perlu


dilakukan dekomposisi yaitu memecah persoalan utuh menjadi unsurunsurnya sampai yang sekecil kecilnya.

2. Comparative Judgment. Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang


kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam
kaitannya dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari
AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen.
3.

Synthesis of Priority. Dari setiap matriks pairwise comparison


vector eigen-nya mendapat prioritas lokal, karena pairwise comparison
terdapat pada setiap tingkat, maka untuk melakukan global harus
dilakukan sintesis diantara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesis
berbeda menurut bantuk hirarki.

3. Logical Consistency. Konsistensi memiliki dua makna yang pertama


bahwa

obyek-obyek

keragaman

yang

serupa

dapat

dikelompokkan

sesuai

dan relevansinya. Kedua adalah tingkat hubungan antar obyekobyek yang didasarkan pada kriteria tertentu.
Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah :
1. Dapat memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk
beragam persoalan yang tak berstruktur.
2. Dapat memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem
dalam memecahkan persolan kompleks.
3. Dapat menangani saling ketergantungan elemenelemen dalam suatu
sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
4.

Mencerminkan kecendrungan alami pikiran untuk memilahmilah


eleman- elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat belaian dan
mengelompokan unsur-unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

5. Memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk
mendapatkan prioritas.
6.

Melacak

konsistensi

logis dari pertimbangan-pertimbangan yang

digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.


7. Menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebijakan setiap
alternatif.
8.

Mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor


sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan
tujuan- tujuan mereka.

9. Tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil representatif


dari penilaian yang berbeda-beda.

10. Memungkinkan orang

memperluas definisi mereka pada

suatu

persoalan dan memperbaiki pertimbangan serta pengertian mereka


melalui pengulangan.
AHP dapat digunakan dalam memecahkan berbagai masalah diantaranya
untuk mengalokasikan sumber daya, analisis keputusan manfaat atau biaya,
menentukan peringkat beberapa alternatif, melaksanakan perencanaan ke masa
depan yang diproyeksikan dan menetapkan prioritas pengembangan suatu
unit

usaha

dan

permasalahan

kompleks

lainnya

(http://www.itelkom.ac.id/ahp/library/1998).
Hirarki adalah alat yang paling mudah untuk memahami masalah yang
kompleks dimana

masalah tersebut

diuraikan ke dalam elemen-elemen

yang bersangkutan, menyusun elemen-elemen tersebut secara hirarki dan


akhirnya melakukan penilaian atas elemen tersebut sekaligus menentukan
keputusan mana yang diambil. Proses penyusunan elemen secara hirarki meliputi
pengelompokan elemen komponen yang sifatnya homogen dan menyusunan
komponen tersebut dalam level hirarki yang tepat. Hirarki juga merupakan
abstraksi struktur suatu sistem yang mempelajari fungsi interaksi antara
komponen dan dampaknya pada sistem. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang
saling terkait tersusun dalam suatu sasaran utama (ultimate goal) turun ke subsub tujuan, ke pelaku (aktor) yang memberi dorongan dan turun ke tujuan
pelaku,

kemudian kebijakan-kebijakan, strategi-strategi tersebut. Adapun

abstraksi susunan hirarki keputusan seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.1.
berikut ini :
Level 1

: Fokus/sasaran/goal

Level 2

: Faktor/kriteria

Level 3

: Alternatif/subkriteria

oal

Kriteria
Kriteria 2

Subkriteria
Subkriteria

1
eria 3

Krit

Subkriteria

ia 4

Kriter

Subkriteria

Gambar 2.1 Abstraksi Susunan Hirarki


Keputusan
Sumber : Saaty
(1986)

Sedangkan kelemahan metode AHP adalah : ketergantungan model AHP


pada input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga
dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi
tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru.
Beberapa contoh aplikasi AHP adalah sebagai
berikut:

1. Membuat suatu set alternatif.


2. Perencanaan, merancang system.

3. Menentukan prioritas.
4. Memilih kebijakan terbaik setelah menemukan satu set alternatif.
5. Alokasi sumber daya dan memastikan stabilitas sistem.
6. Menentukan kebutuhan/persyaratan.

2.9.1 Penentuan Prioritas dalam Metode AHP


Dalam pengambilan keputusan hal yang perlu diperhatikan adalah
pada saat pengambilan data, dimana data ini diharapkan dapat mendekati nilai
sesungguhnya. Derajat

kepentingan

pelanggan

dapat

dilakukan

dengan

pendekatan perbandingan berpasangan. Perbandingan berpasangan sering


digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari elemen dan kriteria yang
ada. Perbandingan berpasangan tersebut diulang untuk semua elemen dalam tiap
tingkat. Elemen dengan bobot paling tinggi adalah pilihan keputusan yang layak
dipertimbangkan untuk diambil. Untuk setiap kriteria dan alternatif kita harus
melakukan

perbandingan

berpasangan

(Pairwise

comparison)

yaitu

membandingkan setiap elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki secara
berpasangan sehingga nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat
kualitatif.
Untuk mengkuantitifkan pendapat kualitatif tersebut digunakan skala
penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kualitatif).
Menurut Saaty (1986) untuk berbagai permasalahan skala 1 sampai dengan 9
merupakan skala terbaik dalam mengkualitatifkan pendapat, dengan akurasinya
berdasarkan nilai RMS (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median
Absolute Deviation). Nilai dan difinisi pendapat kualitatif dalam skala
perbandingan Saaty seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Skala Matrik Perbandingan


Berpasangan
Intensitas

Definisi
Penjelasan

Kepentingan
1
Elemen
yang
sama
pentingnya
Kedua
elemen
dibanding dg elemen yang lain (Equal menyumbang sama besar
importance)
pd sifat tersebut.
3

Elemen yang satu sedikit lebih penting

Pengalaman

dari pada elemen yg lain (Moderate menyatakan


more importance)

berpihak

sedikit
pd

satu

elemen
5

Elemen yang satu jelas lebih penting


dari pada elemen lain (Essential,

Pengalaman
menunjukan

Strong more importance)

secara kuat memihak


pada satu elemen

Elemen yang satu sangat jelas lebih

Pengalaman

penting dari pada elemen yg lain

menunjukan

(Demonstrated importance)

kuat

secara

disukai

dominannya

dan
terlihat

dlm praktek

Elemen yang satu mutlak lebih

penting dari

menunjukan satu elemen

elemen yg lain ( Absolutely

sangat jelas lebih penting

more importance)
2,4,6,8

Pengalaman

Apabila ragu-ragu antara dua nilai


ruang berdekatan (grey area)
Sumber : Saaty (1986)

Nilai
kompromi

ini

2.9.2

diberikan

bila

diperlukan

Proses-proses dalam Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)

Adapun Proses-proses yang terjadi pada metode AHP adalah sebagai


berikut (Saaty, 1986) :
1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.
2.

Membuat struktur hirarki yang diawali tujuan umum dilanjutkan


dengan kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria
paling bawah.

3. Membuat matrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan


kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap kriteria yang
setingkat di atasnya.
4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh judgment
(keputusan) sebanyak n x ((n-1)/2)bh, dengan n adalah banyaknya
elemen yang dibandingkan.
5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya jika tidak konsisten
maka pengambilan data diulangi lagi.
6. Mengulangi langkah 3,4 dan 5 untuk setiap tingkatan hirarki.
7.

Menghitung vector eigen dari setiap matrik perbandingan

berpasangan.
8. Memeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih dari 10 persen maka
penilaian data judgment harus diperbaiki.

2.9.3 Matrik Perbandingan Berpasangan


Skala perbandingan berpasangan didasarkan pada nilainilai
fundamental AHP dengan pembobotan dari nilai 1 untuk sama penting sampai 9
untuk sangat penting sekali sesuai dengan Tabel 2.1 (Skala Matrik Perbandingan
Berpasangan). Dari susunan matrik perbandingan berpasangan dihasilkan
sejumlah prioritas yang merupakan pengaruh relatif sejumlah elemen pada
elemen di dalam tingkat yang ada diatasnya. Perhitungan eigen vector dengan
mengalikan elemen-elemen pada setiap baris dan mengalikan dengan akar n,
dimana n adalah elemen. Kemudian melakukan normalisasi untuk menyatukan

jumlah kolom yang diperoleh. Dengan membagi setiap nilai dengan total nilai
pembuat keputusan

bisa menentukan tidak hanya urutan ranking prioritas setiap tahap


perhitungannya tetapi juga besaran prioritasnya. Kriteria tersebut dibandingkan
berdasarkan opini setiap pembuat keputusan dan kemudian diperhitungkan
prioritasnya. Perbandingan Kriteria berpasangan seperti yang diperlihatkan pada
Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Perbandingan Kriteria Berpasangan

P
Krit
Krit
Krit
Krit

Kri
1

Kri

Kri

Krit

Krit

Pri

1,00eria D
Sumber : Saaty (1986)

1
1
,00

Kriteria

2.9.4 Perhitungan Bobot Elemen


Perhitungan bobot elemen dilakukan dengan menggunakan suatu matriks.
Bila dalam suatu sub sistem operasi terdapat n elemen operasi yaitu elemenelemen operasi A1, A2, A3, ...An maka hasil perbandingan secara berpasangan
elemen-elemen tersebut akan membentuk suatu matrik pembanding.
Perbandingan berpasangan dimulai dari tingkat hirarki paling tinggi,
dimana suatu kriteria digunakan sebagai dasar pembuatan perbandingan. Bentuk
matrik perbandingan berpasangan bobot elemen seperti yang diperlihatkan pada
Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Matrik Perbandingan Berpasangan Bobot


Elemen

A1

A2

..

An
A1

A11

Ann

..

A1n

Sumber : Saaty (1986)


Bila elemen A dengan parameter i, dibandingkan dengan elemen
operasi A dengan parameter j, maka bobot perbandingan elemen operasi Ai
berbanding Aj dilambangkan dengan Aij maka :
a(ij) = Ai / Aj, dimana : i,j = 1,2,3,...n

..................................

Pers.

(2.1)
Bila vektor-vektor pembobotan operasi A1,A2,... An maka hasil
perbandingan berpasangan dinyatakan dengan vektor W, dengan W = (W1, W2,
W3....Wn) maka nilai Intensitas kepentingan elemen operasi Ai terhadap Aj yang
dinyatakan sama dengan aij.
Dari penjelasan tersebut diatas maka matrik perbandingan berpasangan
(pairwise comparison matrik), dapat digambarkan menjadi matrik perbandingan
preferensi seperti diperlihatkan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Matrik Perbandingan Berpasangan Intensitas
Kepentingan

W
1 W
2

W
n

W1/

W1/

W
W1/

W1

W2/

W2

W2/

..

Wn

W2/

W1

W2

..

Wn

..

..


Wn/
W1

Sumber : Saaty (1986)


Wn/
W2

..

..

..

Wn/

Wn

Nilai Wi/Wj dengan i,j = 1,2,,n dijajagi dengan melibatkan Responden


yang memiliki kompetensi dalam permasalahan yang dianalisis. Matrik
perbandingan preferensi tersebut diolah dengan melakukan perhitungan pada
tiap baris tersebut dengan menggunakan rumus :
n

Wi = (ai1 x ai2 x ai3,.x ain)

.....Pers.

(2.2)
Matrik yang diperoleh tersebut merupakan eigen vector yang juga
merupakan
bobot kriteria. Bobot kriteria atau Eigen Vektor adalah ( Xi),
dimana :

Xi = (Wi / Wi)

...........................................Pers.

(2.3)

Dengan nilai eigan vector terbesar (maks)


dimana :
maks = aij.Xj

......Pers.

(2.4)

2.9.5 Perhitungan Konsistensi Dalam Metode


AHP
Matrik

bobot

yang

diperoleh

dari

hasil

perbandingan

secara

berpasangan tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal sebagai


berikut:
1. Hubungan Kardinal : aij ajk = aik

2. Hubungan ordinal : Ai > Aj, Aj > Ak maka Ai > Ak


Hubungan diatas dapat dilihat dari dua hal sebagai
berikat :
a.

Dengan melihat preferensi multiplikatif misalnya keselamatan lalu


lintas lebih penting 4 kali dari kerusakan jalan, dan kerusakan jalan lebih
penting
2 kali dari kemacetan maka keselamatan lalu lintas lebih penting
8 kali dari kemacetan.

b. Dengan melihat preferensi trasitif, misalnya keselamatan lalu lintas lebih


penting dari kerusakan jalan dan kerusakan jalan lebih penting dari
kemacetan, maka keselamatan lalu lintas lebih penting dari kemacetan.
Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa

penyimpangan dari

hubungan tersebut, sehingga matrik tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini
dapat terjadi karena tidak konsisten dalam preferensi seseorang, contoh
konsistensi matrik
sebagaimana
Gambar 2.2

diperlihatkan

A
=

pada

i
1
1
/4 1

i
j
k

j
4
1
2

k
2
/2 1

Gambar/22.2 Konsistensi
Matrik
Sumber : Saaty
(1986, hal.86)

Matrik A tersebut konsisten karena :


aij x ajk = aik ----

=4x

= 2 aik x akj = aij ----

=2x

2 = 4 ajk x aki = aji ----

=x

=
Permasalahan di dalam metode Analytical Hierarchy Process
(AHP) pengukuran pendapat terhadap responden, karena konsistensi tidak dapat
dipaksakan. Pengumpulan pendapat antara satu kriteria dengan kriteria yang

lain adalah bebas satu sama lain, dan hal ini dapat mengarah pada tidak
konsistennya jawaban yang diberikan.

Pengulangan wawancara pada sejumlah responden dalam waktu yang


sama kadang diperlukan apabila derajat tidak konsestennya atau penyimpangan
terhadap konsistensi dinilai besar.
Penyimpangan terhadap konsistensi dinyatakan dengan indeks
konsistensi didapat rumus :

maks. n
CI =

.............................................................Pers.

(2.5)
-1
Dimana,

maks = Nilai Eigen Vektor Maksimum,


n

= Ukuran Matrik.

Matrik random dengan skala penilaian 1 sampai dengan 9 beserta


kebalikannya sebagai Indeks Random (RI). Dengan Indeks Random (RI) setiap
ordo matriks seperti diperlihatkan pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Random Indek
O
rdo

R
0
0
Sumber : Saaty (1986)

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan 500 sampel, jika


keputusan numerik diambil secara acak dari skala 1/9, 1/8, ..,1, 2, ,9 akan
memperoleh rata-rata konsistensi untuk matriks dengan ukuran berbeda.

Perbandingan antara CI dan RI untuk suatu matriks didefinisikan sebagai


Ratio Konsistensi (CR).

Untuk model AHP matrik perbandingan dapat diterima jika nilai ratio
konsisten tidak lebih dari 10% atau sama dengan 0,1
CI
CR =

0,1 (OK)

RI

.......................................... Pers. (2.6)

2.9.6 Pembobotan Kriteria Total Responden


Pembobotan kriteria dari masing-masing responden telah diperoleh
perhitungan dan dilanjutkan dengan menjumlahkan tiap kriteria pada masingmasing responden. Nilai ini kemudian dirata-ratakan dengan cara membaginya
dengan jumlah responden, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Rekapitulasi Bobot Seluruh Responden
Krit
eria A
B

Res
p.1

Res
p.2

Res
p.3

Res
p.n

C
D
E
Sumber : Saaty (1986)

2.9.7 Model Matematis


Model matematis adalah suatu system persamaam matematik yang
digunakan

untuk

meyelesaikan

penyelesaiannya lebih sederhana.

suatu

permasalahan,

sehingga

Dari pembobotan kriteria


rata- ratanya

selanjutnya

total responden diatas setelah dihitung

dihitung prioritasnya dengan sistem persamaan

matematis menurut Brodjonegoro (1991) adalah :


Y= A (a1 x bobot a1 + .+ a6 x bobot a6 + +D(d1 x bobot d1 +
+ d5 x bobot d5)

................. Pers.

(2.7)
Dimana :
Y

= Skala prioritas

A s/d D =

Bobot

Alternatif

level

(berdasar analisa

responden)
a1, a2, , .d4, d5 = Bobot Alternatif level 3 (berdasar
analisa responden)
bobot a1, bobot a2, ., bobot d5 = Bobot Alternatif
level 3 (berdasarkan analisis data)

2.10

Metode Fuzzy AHP


Metode Fuzzy AHP (FAHP) merupakan pengembangan dari AHP. F-AHP adalah

salah satu meode perankingan. FAHP merupakan gabungan metode AHP dengan
pendekatan konsep fuzzy (Raharjo dkk, 2002). F-AHP menutupi kelemahan yang terdapat
pada AHP,yaitu permasalahan terhadap kriteria yang memiliki sifat subjektif lebih
banyak. Ketidakpastian bilangan direpresentasikan dengan urutan skala. Untuk
menentukan derajat keanggotaan pada F-AHP, digunakan aturan fungsi dalam bentuk
bilangan fuzzy segitiga atau Triangular Fuzzy Number(TFN) yang disusun berdasarkan
himpunan linguistik. Jadi, bilangan pada tingkat intensitas kepentingan pada AHP
ditransformasikan ke dalam himpunan skala TFN.

Chang (1996) mendefinisikan nilai intensitas AHP ke dalam skala fuzzy segitiga
yaitu membagi tiap himpunan fuzzy dengan 2, kecuali untuk intensitas kepentingan 1.
Skala fuzzy segitiga yang digunakan Chang dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1 Skala nilai fuzzy segitiga (Chang, 1996)
Intensitas
Kepentinga
n AHP

Himpunan Linguistik

Perbandingan elemen yang sama


(Just Equal)

Pertengahan (Intermediate)

Elemen satu cukup penting dari


yang lainnya (moderately
important)

Pertengahan (Intermediate) elemen


satu lebih cukup penting dari yang
lainnya)

Elemen satu kuat pentingnya dari


yang lain (Strongly Important)

Pertengahan (Intermediate)

Elemen satu lebih kuat pentingnya


dari yang lain (Very Strong)

Pertengahan (Intermediate)

Elemen satu mutlak lebih penting


dari yang lainnya (Extremely
Strong)

Triangular
Fuzzy
Number (TFN)
(1, 1, 1)
(1/2, 1, 3/2)

(1, 3/2, 2)

Reciprocal
(Kebalikan)
(1, 1, 1)
(2/3, 1, 2)

(1/2, 2/3, 1)

(3/2, 2, 5/2)

(2/5, 1/2,
2/3)

(2, 5/2, 3)

(1/3, 2/5,
1/2)

(5/2, 3, 7/2)

(2/7, 1/3,
2/5)

(3, 7/2, 4)

(1/4, 2/7,
1/3)

(7/2, 4, 9/2)

(2/9, 1/4,
2/7)

(4, 9/2, 9/2)

(2/9, 2/9,
1/4)

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan


pembobotan F-AHP. Pada teori F-AHP yang dikembangkan oleh Chang telah banyak
diterapkan dalam penyelesaian beberapa studi kasus, seperti jurnal Kahraman (2004),
Hwang (2009). Menurut Chang (1996) dalam sebuah jurnal (international journal of
science direct), adapun langkah penyelesaian F-AHP adalah :
1.

Membuat struktur hirarki masalah yang akan diselesaikan dan menentukan


perbandingan matriks berpasangan antar kriteria dengan skala TFN (tabel 1)

2.

Menentukan nilai sintesis fuzzy (Si) prioritas dengan rumus, Si

3.

Jika hasil yang diperoleh pada setiap matrik fuzzy, M2 = (l2, m2,u2) M1 = (l1,
m1, u1) dapat didefinisikan sebagai nilai vector.

4.

Jika hasil nilai fuzzy lebih besar dari k fuzzy, Mi (i=, 1, 2, , k) yang dapat
difenisikan sebagai nilai ordinat

5.

Normalisasi bobot vector atau nilai prioritas criteria yang telah diperoleh,
W = (d (A1 ), d (A2 ), , d (An ) Dimana W adalah bilangan non- fuzzy.

2.11

Metode TOPSIS
Metode TOPSIS didasarkan pada konsep bahwa alternatif terpilih yang terbaik
tidak hanya memiliki jarak terpendek dari solusi ideal positif tetapi juga memiliki
jarak terpanjang dari solusi ideal negatif.

2.11.1 Tahapan Metode TOPSIS


Adapun tahapan dalam metode TOPSIS :

Membuat matriks keputusan yang ternormalisasi


Membuat matriks keputusan yang ternormalisasi terbobot
Menentukan matriks solusi ideal positif dan matriks solusi ideal negatif
Menentukan jarak antara nilai setiap alternatif dengan matriks solusi ideal

positif dan negatif


Menentukan nilai preferensi untuk setiap alternatif

2.11.2 Perangkingan dan Solusi Metode TOPSIS


TOPSIS membutuhkan ranking kinerja setiap alternatif Ai pada setiap kriteria Cj
yang ternormalisasi yaitu :

dengan i=1,2,....m; dan j=1,2,......n;

Solusi ideal positif A+ dan solusi ideal negatif A- dapat ditentukan berdasarkan
ranking bobot ternormalisasi (yij) sebagai berikut :

dengan i=1,2,...,m dan j=1,2,...,n

Nilai preferensi untuk setiap alternatif (Vi) diberikan sebagai :

i=1,2,...,
m
Nilai Vi yang lebih besar menunjukkan bahwa alternatif Ai lebih dipilih

2.12

Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel


Pengertian populasi secara sederhana dapat dikatakan bahwa
populasi adalah semua obyek penelitian. Nilai populasi adalah semua nilai baik
hasil perhitungan maupun pengukuran, baik kuantitatif mengenai karakteristik
tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin
dipelajari sifatnya (Hasan, 2003).
Ditinjau dari banyaknya anggota populasi, menurut Usman (1996) maka
populasi dapat dibagi menjadi: populasi terbatas (terhingga) dan populasi tak
terbatas (tak terhingga). Namun dalam kenyataannya populasi terhingga

selalu menjadi populasi yang tak hingga. Ditinjau dari sudut sifatnya, maka
populasi dapat bersifat homogen dan populasi heterogen.

2.12.1 Teknik Sampling Dalam Penelitian


Menurut Sugiyono (2009), Teknik Pengambilan Sampel adalah suatu teknik
untuk mendapatkan sampel pada suatu penelitian agar sampel tersebut
representatif terhadap populasi yang mewakilinya. Teknik sampling dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :
1.

Probability

Sampling,

yaitu

teknik

pengambilan

sampel

yang

mana memberikan peluang yang sama untuk setiap unsur/anggota populasi


(untuk penelitian kuantitafif) yang dijadikan sebagai sampel. Teknik

ini

terdiri dari : a. Sampling Random Sampling :


Sampel yang diambil pada teknik ini dilakukan secara acak dan
tanpa ada strata/tingkatan karena anggota/unsur dalam populasi pada
teknik ini dianggap homogen.
b. Proportionate Stratified Random Sampling :
Sampel yang diambil pada teknik ini dilakukan secara acak secara
proporsional pada strata/tingkatan tertentu. Pada teknik ini populasi
memiliki strata/tingkatan tertentu dan bersifat homogen pada suatu
strata/tingkatan memiliki peluang yang sama pada tingkat yang sama.
c. Disproportionate Stratified Random Sampling :
Sampel yang diambil pada teknik ini dilakukan secara acak secara
proporsional
jumlah

pada

strata/tingkatan

dengan

unsur/anggota

dengan

yang banyak dan diambil secara keseluruhan pada strata/tingkatan


dengan unsur unsur

yang

sangat

kecil,

sehingga pada setiap

tingkatan tidak bersifat proporsional.


d. Area/Cluster Sampling :
Merupakan

suatu

teknik

pengambilan

sampel

berdasarkan

pembagian suatu wilayah, karena lokasi penelitian terletak pada wilayah


yang cukup luas

dengan

karakteristik

wilayah

yang

satu

tidak

sama dengan karakteristik wilayah yang lain.


2. Non Probability Sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang mana
memberikan peluang yang tidak sama untuk setiap unsur/anggota populasi
(untuk penelitian kuantitafif) untuk menjadi sampel. Teknik pengambilan
sampel ini terdiri dari :
a. Sistematis Sampling :
Merupakan teknik pengambilan sampel berdasarkan nomor urut
tertentu dari anggota populasi yang telah diberi nomor urut tertentu.
b. Sampling Kuota :
Merupakan teknik pengambilan sampel pada suatu populasi yang
telah memenuhi jumlah unsur/anggota tertentu.

c. Sampling Incedental :
Merupakan teknik pengambilan sampel secara insedental atau
kebetulan. Sampling ini digunakan pada penelitian yang sangat umum
dan semua unsur/anggota populasi memenuhi topik penelitian.
d. Purposive Sampling :
Merupakan teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan
tertentu, sesuai dengan persyaratan yang diisyaratkan dalam penelitian
yangakan dilaksanakan, karena tidak semua unsur/anggota populasi
memahami

tentang

topik

dari

penelitian

tersebut.

Umumnya

sampel/responden dalam metode ini memiliki keahlian sesuai dengan


topik penelitian yang dilaksanakan. Sampel/responden yang diambil pada
metode ini umumnya disebut dengan respon exspert. Menurut Sogiyono,
(2009), respon yang dianggap sebagai pakar/ahli/expertist adalah mereka
yang

memiliki

kompetensi

terdiri

kewewenangan/kebijakan untuk

dari

mereka

memutuskan, tugas

yang
yang

memiliki
bersifat

rutinitas dan profesi sehubungan dengan topik yang diteliti, atau mereka
yang memiliki kemampuan akademik, sesuai dengan topik penelitian.
e. Sampel Jenuh :
Merupakan teknik pengambilan sampel dengan mengambil semua
unsur/anggoata populasi menjadi sampel. Metode ini disebabkan karena
jumlah unsur/anggota populasi sangat sedikit.

f.

Snowball Sampling :
Merupakan teknik pengambilan sampel yang diawali dengan jumlah

yang kecil, dan bilamana data yang akan diambil kurang memenuhi
peryaratan sesuai dengan yang diperlukan maka sampel ini ditambah
sampai semua data yang diperlukan didapat.
Pada dasarnya teknik sampling berguna agar :
1. Mereduksi anggota populasi menjadi anggota sampel yang mewakili
populasinya (representatif), sehingga kesimpulan terhadap populasi dapat
dipertanggung jawabkan.
2.

Lebih teliti menghitung yang sedikit dari pada yang banyak.

3.

Menghemat waktu, tenaga dan biaya.

Beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam pengambilan sampel


adalah sebagai berikut :
1.

Tentukan

dulu

daerah

generalisasinya.

Banyak

penelitian

menurun mutunya karena generalisasi kesimpulannya terlalu luas,


penyebabnya adalah karena peneliti ingin agar hasil penelitiannya berlaku
secara meluas dan menganggap sampel yang dipilihnya sudah mewakili
populasinya.
2.

Berilah batas-batas yang tegas tentang sifat-sifat populasi. Populasi


tidak harus manusia. Populasi dapat berupa benda-benda lainnya. Semua
benda- benda yang akan dijadikan populasi harus ditegaskan batas-batas
karakteristiknya,
kebingungan.

sehingga

dapat

menghindari

kekaburan

dan

3.

Tentukan

sumber-sumber

informasi

tentang

populasi.

Ada

beberapa sumber informasi yang dapat memberi petunjuk tentang


karakteristik suatu populasi, misalnya didapat dari dokumen-dokumen.
4.

Pilihlah teknik sampling dan hitunglah besar anggota sampel yang


sesuai dengan tujuan penelitiannya.

2.13 Kuisioner
Kuisioner adalah intsrumen pengumpulan data atau informasi yang
dioperasionalisasikan ke dalam bentuk item atau pertanyaan. Subyek penelitian
adalah orang yang dilibatkan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan
terkait pertanyaan penelitian (http:SPSS-Metode kuisioner penanganan jalan- online
blongspot.com, 2008). Adapun tujuan pokok pembuatan kuisioner adalah :
1. Untuk mendapatkan informasi yang relevan dan tujuan survei.
2. Untuk memperoleh informasi dengan reliabilitas dan validitas setinggi
mungkin.
Agar kuisioner yang dibuat dapat mencapai sasaran sesuai dengan tujuan
maka pertanyaan yang dibuat hendaknya, singkat, tepat, sederhana dan berkaitan
langsung dengan tujuan penelitian.

2.13.1 Petunjuk Pembuatan Kuisioner


Kuisioner yang baik hendaklah memperhatikan petunjuk-petunjuk sebagai
berikut :
1. Bahasa harus singkat, jelas dan sederhana
2. Kata-kata yang digunakan tidak mengandung makna rangkap
3. Hindari pertanyaan yang relatif lama, sehingga sukar diingat responden
4. Hindari kata-kata yang membingungkan atau kurang dimengerti oleh
responden
5. Hindari pertanyaan-pertanyaan yang memalukan dan menakutkan
masyarakat.
6. Buatlah pertanyaan atau pernyataan yang mangandung makna positif dan negatif
yang disusun secara acak.
7. Jangan membuat kuisioner yang banyak menyita waktu responden, karena
jika responden bosan maka angket tidak diisi dan dikembalikan.

2.13.2 Isi Pertanyaan


Isi pertanyaan ataupun pernyataan yang ada dalam kuisioner harus sesuai
dengan tujuan penelitian, untuk itu pertanyaan pertanyaan harus berisi :
1. Pertanyaan mengenai penilaianan tingkat kepentingan antar kriteria.
2. Pertanyaan mengenai penilaian tingkat kepentingan antar subkriteria.

2.13.3 Jenis Pertanyaan


Dalam

pembuatan

kuisioner,

dikelompokan dalam beberapa jenis yaitu

pertanyaan-pertanyaan

dapat

1. Pertanyaan tertutup yaitu, pertanyaan yang kemungkinan jawabannya


sudah ditentukan terlebih dahulu oleh peneliti, responden tidak diberi
kesempatan memberikan jawaban lain.
2. Pertanyaan terbuka yaitu, pertanyaan yang boleh dijawab sendiri oleh
responden.
3. Kombinasi terbuka dan tertutup yaitu, pertanyaan yang diberikan
kepada responden berupa pertanyaan kombinasi sebagaian jawaban
sudah ditentukan oleh peneliti dan sebagian dapat dijawab sendiri
oleh responden.
4. Pertanyaan semi terbuka, yaitu jawabannnya sudah disusun tetapi
masih kemungkinan penambahan jawaban.

2.13.4 Skala Pengukuran Kuisioner


Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan
untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur,
sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan
data kuantitatif. Ada beberapa jenis skala pengukuran yaitu (Firdaus, 2008):
1. Skala Guttman
Adalah skala pengukuran yang digunakan bila peneliti ingin mendapat
jawaban yang tegas yaitu ya-tidak, benar-salah dan lain-lain.
2. Semantik Deferential
Adalah

skala

pengukuran

yang

digunakan

untuk

mengukur

sikap/karakteristik seseorang. Bentuknya tidak pilihan ganda atau ceklist,


tetapi tersusun dalam satu garis kontunue yang jawabannya sangat
positifnya paling kanan dan sangat negatifnya paling kiri.yang didasarkan

pada ranking, diurutkan dari jenjang yang lebih tinggi sampai jenjang
yang lebih rendah atau sebaliknya.

3. Rating Schale
Adalah skala pengukuran dimana data mentah yang diperoleh berupa
angka kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif.
4.

Skala Likert
Adalah suatu interval pengukuran sikap, pendapat dan persepsi seseorang
atau sekelompok orang tentang fenomena. Variabel yang akan diukur
dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut
dijadikan titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat
berupa pernyataan atau pertanyaan.

2.14 Jenis Penelitian


Setiap penelitian harus menyajikan data yang telah diperoleh baik yang
diperoleh melalui observasi, wawancara, kuisioner maupun dokumentasi. Prinsip
dasar penyajian data adalah komunikatif dan lengkap dalam arti data yang
disajikan dapat menarik perhatian pihak lain untuk membacanya dan mudah
memahami isinya.
Menurut

Hasan (2003), ada beberapa jenis data menurut kriteria yang

menyertainya baik menurut susunannya, sifatnya, waktu pengambilannya, sumber


pengambilannya dan skala pengukurannya. Menurut sumber pangambilannya
data dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu (Hasan, 2003):
1. Data primer yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang
yang melakukan

penelitian atau

yang

bersangkutan

memerlukannya. Data primer disebut juga data asli atau data baru.

yang

2.

Data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan dari


sumber- sumber yang ada. Data ini biasanya diperoleh dari
perpustakaan atau dari laporan peneliti yang terdahulu. Data sekunder
disebut juga data tersedia.

BAB II
STUDI PUSTAKA

Studi

pustaka merupakan ciri yang penting dalam penelitian ilmiah untuk

mendapatkan data data yang dibutuhkan. Berikut penjelasan untuk tiap tiap tinjauan
yang digunakan.

2.1 Peran Jalan


Berdasarkan Undang Undang 38 Tahun 2004 Tentang

Jalan.

Jalan

memiliki peran yang sangat penting yaitu :


1. Jalan

sebagai

bagian

bidang ekonomi, sosial

prasarana
budaya,

transportasi mempunyai peran penting dalam

lingkungan

hidup,

politik, pertahanan

dan

keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat.


2. Jalan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara.
3. Jalan

yang merupakan

satu kesatuan sistem jaringan jalan menghubungkan

dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia.

2.2 Kawasan Strategis


Berdasarkan Perda No. 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Provinsi Bali, Kawasan strategis adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup Propinsi
terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/ atau lingkungan.

2.3 Gambaran Umum Kecamatan Nusa Penida


2.3.1 Potensi Wilayah
Potensi dan kondisi ekonomi akan digunakan dalam melihat tingkat pertumbuhan
penduduk serta kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang akan mempengaruhi tingkat
pertumbuhan kendaraan dan selanjutnya untuk prediksi terhadap kebutuhan prasarana pada

wilayah studi. Kondisi ekonomi dapat dilihat dari perkembangan PDRB melaluidua sektor
yang paling dominan yaitu aktivitas sektor pertanian, dan aktivitas perdagangan, hotel dan
restoran.
PDRB Kabupaten Klungkung dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan,
pada tahun 2012 atas dasar harga berlaku nilai PDRB sebesarRp. 3.347.198,61 juta, dan
atas dasar harga konstan tahun 2000 sebesar Rp.1.467.352,42 juta. Data PDRB atas dasar
harga berlaku digunakan untuk melihat perubahan struktur ekonomi suatu daerah dan untuk
menghitung besarnya pendapatan per kapita dari penduduknya. Sedangkan, data PDRB atas
dasar harga konstan digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi suatu daerah, karena
data ini mencerminkan pertumbuhan produksi barang dan jasa secara riil dari satu tahun ke
tahun berikutnya. PDRB Kabupaten Klungkung dalam 3 tahun terakhir disajikan dalam
Tabel 2.1.

Tabel 2.1 PDRB Kabupaten Klungkung


N

PDRB

2010

2011

2012

2.748.354,

3.022.786,

3.347.198,

59

71

61

12,55

9,99

10,73

16.115.31

17.365.05

19.121.05

7,47

2,08

8,25

Nilai PDRB (jt


Rp.)

1.307.888,

1.383.890,

1.467.352,

95

23

42

Laju
pertumbuhan
(%)
DPRB
per
kapita(Rp.)

5,43

5,81

6,03

7.668.968,

7.950.056,

8.382.332,

85

75

33

o
Atas

dasar

harga berlaku

1.

Nilai

PDRB (jt Rp.)


2.

Laju

pertumbuhan (%)
3. PDRB per
kapita (Rp.)
I
I

Atas
harga

Dasar
konstan

tahun 2000
1.
2.

3.

Sumber: BPS Klungkung dalam Angka 2013

Pertumbuhan ekonomi Klungkung selama 2010-2012 adalah rata-rata sebesar 5,75 %


per tahun. Selisih antara pertumbuhan ekonomi denga pertumbuhan penduduk merupakan
cerminan makro dari kenaikan taraf kehidupan ekonomi masyarakat.Tahun 2012

pertumbuhan PDRB perkapita atas harga berlaku adalah 10,11%, sedangkan pertumbuhan
tahun yang sama atas harga konstan tahun 2000 adalah 5,43% persen.
Dilihat dari kontribusi masing-masing sektor dalam pembentukan PDRB pada tahun
2010-2012 nampaknya sektor pertanian masih mendominasi. Distribusi persentase PDRB
Kabupaten Klungkung dari sektor-sektor lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun
2010-2012 disajikan dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Distribusi persentase PDRB Kabupaten Klungkung atas harga berlaku
N

Lapangan

2010

2011

2012

Usaha
1

Pertanian

30,77

29,28

28,33

Perdaganga

20,77

21,32

22,11

n,

Hotel

dan

Restoran
3

Jasa-jasa

15,84

16,55

16,63

Industri

10,40

10,24

9,89

pengolahan
5

Bangunan

7,68

8,01

8,43

Pengangku

6,29

6,44

6,57

Pertamban

3,63

3,47

3,26

Keuangan

2,99

3,02

2,99

1,62

1,68

1,80

100,00

100,00

100,00

2.748.354,

3.022.786,

3.347.198,

59

71

61

tan

dan

komunikasi
7
gan
8

persewaan

dan

jasa perusahaan
9

Listrik,
Gas dan Air
PDRB

PDRB (juta rupiah)

Sumber: BPS Klungkung Dalam Angka, 2013.

Berdasarkan PDRB atas dasar harga berlaku ada 2 sektor yang mempunyai peranan
cukup besar dalam pembentukan PDRB Kabupaten Klungkung yaitu: sektor pertanian,dan
sektor perdangan, hotel dan restoran.

1) Sektor Pertanian
Sektor pertanian menunjukkan peranan yang paling dominan dalam pembentukan
PDRB Kabupaten Klungkung. Kondisi ini menunjukkan bahwa struktur perekonomian
Kabupaten Klungkung masih bercorak agraris. Peranan sektor pertanian terus mengalami
penurunan dari tahun 2010 (30,77%), tahun 2011 (29,28%), dan tahun 2012(28,33%).
Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya peranan sub sektor Tabama (Tanaman Bahan
Makanan), dibandingkan tahun sebelumnya dimana terjadi penurunan luas panen dan
produksi.
Selain sub sektor Tabama, sub sektor perikanan juga mempunyai andil yang cukup
besar dalam pembentukan PDRB sektor pertanian, karena kabupaten Klungkung
mempunayai laut yang luas dimana produksi ikan laut cukup banyak. Selain ikan laut di
Kabupaten Klungkung juga banyak menghasilkan rumput laut dari Kecamatan Nusa Penida
yang diekspor ke luar negeri. Rumput laut merupakan setor andalan di kabupaten
Klungkung, dengan produksi rata-rata disajikan dalam Tabel 2.3, berikut.

Tabel 2.3 Data produksi rumput laut Nusa Penida


Tahun

Produksi (ton)

Nilai (Rp.)

2010

101.514,6

99.939.014.000

2011

106.951,4

224.125.654.000

2012

100.197,1

83.713.830.000

2013

100.859,5

118.462.865.000

Sumber: Statistik Perikanan Budidaya Provinsi Bali, 2007-2013

Budidaya rumput laut saat ini sudah menjadi pekerjaan utama bagi masyarakat
pesisir Utara Pulau Nusa Penida, hal ini karena permintaan rumput laut untuk memenuhi
pasar ekspor cukup tinggi. Rumput laut kering dikirim ke Denpasar atau Surabaya,
selanjutnya di ekspor ke negara-negara tujuan seperti Jepang, Cina, Taiwan, Australia, dan
negara lainya.
Sub sektor peternakan walaupun sumbangannya belum sebesar sub sektor perikanan,
tetapi sub sektor ini juga memberikan andil dalam pembentukan PDRB sektor pertanian.
Peternakan yang banyak di Kabupaten Klungkung, khususnyadi kecamatan Nusa Penida
adalah ternak sapi dan babi.

2) Sektor perdagangan, Hotel dan Restoran

Sektor perdagangan, hotel dan restoran menduduki urutan ke dua, dimana


peranannya cendrung terus meningkat, pada tahun 2010 kontribusinya 20,77%, tahun 2011
meningkat menjadi 21,32%, dan tahun 2012 menjadi 22,11%. Sub sektoryang mendukung
sektor ini adalah sub sektor perdagangan besar dan eceran serta sub sektor restoran/rumah
makan, sedangkan sub sektor hotel memberikan sumbangan paling rendah. Tingginya share
sub sektor perdagangan disebabkan karena kabupaten Klungkung memiliki pasara Galiran
yang merupakan sentra perekonomian di Bali bagian Timur. Bahkan pedagang dari Denpasar
banyak yang bertransaksi secara grosir di pasar Galiran. Hotel memberikan share yang
terendah karena jumlah hotel di kabupaten Klungkung sangat sedikit.

2.3.1 Infrastruktur Transportasi


Sistem jaringan jalan yang terdapat di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung terdiri
dari 2 (dua) klasifikasi jalan berdasarkan penanganannya, yaitu jalan kabupaten dan jalanjalan desa yang berfungsi lokal. Struktur jaringan jalan saat ini di Kecamatan tersebut
diperlihatkan pada Gambar 2.1. Secara garis besar bahwa sistem jaringan jalan lingkar
hanya berkembang di bagian Utara dan Timur pulau Nusa Penida yang relatif datar.
Sedangkan, wilayah Barat dan Selatan yang berbukit-bukit, jaringan jalan belum begitu
berkembang. Pembangunan jalan yang menyusuri pantai di wilayah ini belum ada sama
sekali. Namun beberapa ruas jalan penghubung antar-desa telah mencapai pantai barat dan
Selatan.

Gambar 2.1 Peta Jaringan Jalan Di Kecamatan Nusa Penida


Sumber : Dinas Pu Bina Marga Kabupaten Klungkung, 2012

Tabel 2.4 Data Ruas Jalan di Kecamatan Nusa Penida, Klungkung - Bali
N

o.

o.

Uru

Ruas

Nama Ruas Jalan

Klasif
ikasi Ruas

P
anjang

Keteran
gan

Km)
1

Telaga Klumpu

JJS

5,

Jln.

56
2

0
1

Kutampi Ptg. Batukandik

LU

57
3

Ptg. Batukandik Sekartaji

LU

58
Ptg. Batukandik Batukandik
Ptg. Batumadeg Batukandik
Ambengan Pelilit
Caruban Sekartaji
Toyapakeh Suana
Toyapakeh Sebunibus

Klumpu Sakti

70

Ptg.

Klumpu

Ptg.

Ptg. Batumadeg Sebuluh

LU

Suana Soyor

Jungutbatu Lembongan

73
1

Tanglad Wates

Pondokhe Senangka

Sekartaji Sedehing

Suana Karang

Kab.

Ponjok Jurangbatu

9,

LU

Lembongan Tjg Sanghyang

LU

Jln.
Kab.

6,
6

Jln.
Kab.

0
2

Jln.

4,

LU

01
2

7,

LU

92

Jln.
Kab.

0
1

5,

LU

91

Jln.
Kab.

6
1

LU

90

Jln.
Kab.

0
1

Kab.

2,9

80

Jln.

PA
R

Kab.

0,0
1

Jln.

4,

LU

72
1

3,

2
1

Jln.
Kab.

71
1

9,

LU

Batumadeg

Jln.
Kab.

0
1

3,

LU

69

Jln.
Kab.

4
1

LU

68

Jln.
Kab.

8,0
1

8,

LU

67

Jln.
Kab.

1
1

4,

LU

62

Jln.
Kab.

3
1

4,

LU

61

Jln.
Kab.

1
1

2,

LU

60

Jln.
Kab.

6
1

8,

LU

59

Jln.
Kab.

1
1

1
2,4

Kab.

Jln.
Kab.

1,

Jln.

02
2

3
2

Batukandik Guyangan

LU

14
2

Mentigi Geria Tengah

LU

86

Pejukutan Gepuh

Paku Dungkap

Prapat Klumpu

Sakti Penida

Tulad Tiagan

o.

Uru

Ruas

Nama Ruas Jalan

6,

Klasif
ikasi Ruas

Jln.
Kab.

3
N

o.

4,

LU

91

Jln.
Kab.

6
2

7,

LU

90

Jln.
Kab.

7
2

6,

LU

89

Jln.
Kab.

5
2

8,

LU

88

Jln.
Kab.

0
2

4,

LU

87

Jln.
Kab.

3
2

6,
0

Kab.

Jln.
Kab.

P
anjang

Keteran
gan

Km)
2

2
92

2
9

Ceningan Kawan Ceningan

LU

Kangin
2

Karang Atuh

0
LU

93
3

Bunga Mekar Pura Kalibun

Penangkidan Pasih Uug

Sental Kawan Sental Kangin

Pendem Iseh

Bunga Mekar Sompang

Kutapang Maos

Br. Bodong Br. Pendem

2,

LU

Pelilit Atuh

LU

Jln.
Kab.

4,
0

Jln.
Kab.

00
3

4,

LU

99

Jln.
Kab.

0
2

8,

LU

98

Jln.
Kab.

0
2

6,

LU

97

Jln.
Kab.

5
2

4,

LU

96

Jln.
Kab.

5
2

6,

LU

95

Jln.
Kab.

0
2

3,

LU

94

Jln.
Kab.

1
2

3,

Jln.
Kab.

1,

Jln.

01
3

Calik Salang

LU

02
3

Kab.
3,

1
3

Behu Bunga Mekar

LU

03
4

Kab.
1,

1
3

Pikat Sompang

04

Jln.

LU

Jln.
Kab.

6,
0

JUMLAH

Jln.
Kab.

2
35,0

Jln.
Kab.

Sumber: Surat Pernyataan Bupati Klungkung No.: 620/06/2008, tgl. 6 Okt 2008

Permasalah umum lalu lintas di Nusa Penida, dalam keterkaitan dan hubungan antar
dan intra wilayah, khususnya antar desa, ada kesenjangan sistem jaringan jalan antara Nusa
Penida Utara dan Timur dengan Nusa Penida Barat dan Selatan. Hal ini jelas terlihat baik
dari status, fungsi jalan, panjang jalan, kondisi perkerasan serta geometrik dan beban lalu
lintasnya. Ketimpangan ini diperjelas dari aspek pelayanan jalan dimana sistem jaringan
jalan di Nusa Penida bagian Utara dan Timur relatif padat dengan permasalahan lalulintas
yang juga lebih banyak dan krusial. Permasalahan ini timbul sebagai hasil dari besarnya
tarikan perjalanan (Trip Atraction) dan produksi perjalanan (Trip Production) yang
diakibatkan oleh keberadaan 7 (tujuh) pelabuhan di bagian wilayah ini. Sedangkan Nusa
Penida Barat dan Selatan dengan jaringan jalan yang jarang dan permasalahan lalu lintas
yang lengang dengan jarak tempuh yang sangat panjang dalam pemenuhan kebutuhan
sehari-hari masyarakat setempat.
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Tim Feasibility Study (FS) Jalan Lingkar
Nusa Penida dari Universitas Udayana th. 2014 terhadap lokasi dan distribusi jaringan
eksisting, tampak bahwa kebutuhan pengadaan infrastruktur jalan sangat mendesak dalam
pemerataan pengembangan wilayah Kecamatan Nusa Penida khususnya, yang tentunya
harus didukung oleh alternatif solusi lainnya secara terpadu seperti pengembangan sistem
angkutan umum dan manajemen lalu lintas. Untuk percepatan proses pertumbuhan
perekonomian wilayah Nusa Penida, serta dalam upaya pemerataan pembangunan,
diperlukan peningkatan aksesibilitas diantaranya dengan menyediakan prasarana jalan yang
representatif dan memadai menghubungkan langsung antar desa, sehingga aksesibitas
menjadi relatif sama.
Jalan Lingkar Nusa Penida merupakan jaringan jalan kolektor yang mendesak untuk
ditingkatkan berdasarkan arahan RTRWP Bali dan RTRW Kabupaten Klungkung untuk

menghubungkan dan melayani transportasi wilayah secara merata. Pembangunan jalan ini
dimaksudkan untuk:
1) meningkatkan dan pemerataan pembangunan wilayah Nusa Penida.
2) pelayanan lalu lintas yang semakin tinggi volumenya, khususnya pada jaringan jalan
Ibu Kota Kecamatan (IKK).
3) memperbaiki jari-jari tikungan yang tajam dan mengurangi besar landai jalan,
sehingga perjalanan menjadi lebih nyaman.
4) menunjang pengembangan sistem transportasi jalan raya yang sekaligus mendukung
Rencana Pengembangan Wilayah Nusa Penida sebagai Daerah Tujuan Wisata.
Dengan demikian pembangunan jalan lingkar Nusa Penida pada hakekatnya adalah
pemerataan pembangunan dan pengembangan wilayah untuk mengantisipasi masa depan
Nusa Penida yang memiliki banyak objek-objek wisata menarik di sepanjang pantai Nusa
Penida dan sangat potensial untuk dikembangkan dalam rangka menyejahterakan
masyarakat.

2.4 Metode Analytical Hirarchy Process (AHP)


Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dikembangkan oleh Thomas L. Saaty
pada tahun 70 an ketika di Warston school. Metode AHP merupakan salah satu metode
yang dapat digunakan dalam sistem pengambilan keputusan dengan memperhatikan faktor
faktor persepsi, preferensi, pengalaman dan intuisi. AHP menggabungkan penilaian
penilaian dan nilai nilai pribadi ke dalam satu cara yang logis.
Analytic Hierarchy Process (AHP) dapat menyelesaikan

masalah multikriteria

yang kompleks menjadi suatu hirarki. Masalah yang kompleks dapat di artikan bahwa
kriteria dari suatu masalah yang begitu banyak (multikriteria),struktur masalah yang belum
jelas, ketidakpastian pendapat dari pengambil keputusan, pengambil keputusan lebih dari
satu orang, serta ketidakakuratan data yang tersedia. Menurut Saaty, hirarki didefinisikan
sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur
multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub
kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu
masalah yang kompleks dapat

diuraikan

ke

dalam

kelompok-kelompoknya

yang

kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih
terstruktur dan sistematis.

Metode ini adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif
atas persoalan dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan
dengan memecahkan persoalan tersebut kedalam bagian bagiannya, menata bagian atau
variabel ini dalam suatu susunan hirarki, memberi nilai numerik pada

pertimbangan

subjektif tentang pentingnya tiap variabel dan mensintesis berbagai pertimbangan ini
untuk menetapkan variabel yang mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak
untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Metode

ini

juga

menggabungkan

kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu
mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam menjadi hasil yang cocok dengan
perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang dipersentasikan pada pertimbangan yang
telah dibuat.
Analytic Hierarchy Process (AHP) mempunyai landasan aksiomatik yang terdiri dari :
1. Reciprocal Comparison, yang mengandung arti si pengambil keputusan harus
bisa membuat perbandingan dan menyatakan preferensinya. Preferensinya itu sendiri
harus memenuhi syarat resiprokal yaitu kalau A lebih disukai dari B dengan skala x,
maka B lebih disukai dari A dengan skala
2.

Homogenity, yang mengandung arti preferensi seseorang harus dapat dinyatakan


dalam skala terbatas atau dengan kata lain elemen- elemennya dapat dibandingkan satu
sama lain. Kalau aksioma ini tidak dapat dipenuhi maka elemen-elemen yang
dibandingkan tersebut tidak homogenous dan harus dibentuk suatucluster (kelompok
elemen- elemen) yang baru.

3. Independence, yang berarti preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa


kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif- alternatif yang ada melainkan oleh objektif
secara keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa pola ketergantungan atau pengaruh dalam
model AHP adalah searah keatas, Artinya perbandingan antara elemen-elemendalam
satu level dipengaruhi atau tergantung oleh elemen-elemen dalam level di atasnya.
4. Expectations,

artinya untuk

tujuan

pengambilan

keputusan,

struktur hirarki

diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka si pengambil keputusan
tidak memakai seluruh kriteria dan atau objektif yang tersedia atau diperlukan sehingga
keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap.
Tahapan tahapan pengambilan keputusan dalam metode AHP pada dasarnya
adalah sebagai berikut :
1. Mendefenisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan
2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan
kriteria-kriteria dan alternatif - alternatif pilihan yang ingin di rangking.

3.

Membentuk

matriks

perbandingan

berpasangan

yang

menggambarkan

kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau
kriteria yang setingkat diatas. Perbandingan dilakukan berdasarkan pilihan atau
judgement dari pembuat keputusan dengan menilai tingkat-tingkat kepentingan suatu
elemen dibandingkan elemen lainnya.
4. Menormalkan data yaitu dengan membagi nilai dari setiap elemen di dalam matriks
yang berpasangan dengan nilai total dari setiap kolom.
5.

Menghitung nilai eigen vector dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten maka
pengambilan data (preferensi) perlu diulangi. Nilai eigen vector yang dimaksud adalah
nilai eigen vector maksimum yang diperoleh dengan menggunakan matlab maupun
dengan manual.

6. Mengulangi langkah, 3, 4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki.


7.

Menghitung eigen vector dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai eigen
vector merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk mensintetis pilihan dalam
penentuan prioritas elemen pada tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan.

8.

Menguji konsistensi hirarki. Jika tidak memenuhi dengan CR < 0,100 maka
penilaian harus diulangi kembali.

2.4.1 Prinsip Dasar Analytic Hierarchy Process (AHP)


Dalam menyelesaikan persoalan dengan metode AHP ada beberapa prinsip dasar
yang harus dipahami antara lain :
1. Decomposition
Pengertian decomposition adalah memecahkan atau membagi problema yang utuh
menjadi unsur unsurnya ke bentuk hirarki proses pengambilan keputusan, dimana setiap
unsur atau elemen saling berhubungan. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan
dilakukan terhadap unsur unsur sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih
lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan yang hendak dipecahkan.
Struktur hirarki keputusan

tersebut

dapat

dikategorikan

sebagai

complete

dan

incomplete. Suatu hirarki keputusan disebut complete jika semua elemen pada suatu
tingkat memiliki hubungan terhadap semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya,
sementara hirarki keputusan incomplete kebalikan dari hirarki complete. Bentuk
struktur dekomposisi yakni :
Tingkat pertama

: Tujuan keputusan

(Goal)
Tingkat kedua

: Kriteria kriteria

Tingkat ketiga
alternatif

: Alternatif
Tujuan

Kriteria I

Alternatif I

Kriteria II

Alternatif II

Kriteria III

Kriteria N

Alternatif M

Gambar 2.2 Struktur Hirarki

Hirarki masalah disusun untuk membantu proses pengambilan keputusan dengan


memperhatikan seluruh elemen keputusan yang terlibat dalam sistem. Sebagian besar
masalah menjadi sulit untuk diselesaikan karena proses pemecahannya dilakukan tanpa
memandang masalah sebagai suatu sistem dengan suatu struktur tertentu.

2. Comparative Judgement
Comparative judgement dilakukan dengan penilaian tentang kepentingan relatif
dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan diatasnya.
Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap urutan prioritas
dari elemen elemennya. Hasil dari penilaian

ini

lebih

mudah

disajikan

dalam

bentuk matriks pairwise comparisons yaitu matriks perbandingan berpasangan memuat


tingkat preferensi beberapa alternatif untuk tiap kriteria. Skala preferensi yang digunakan
yaitu skala 1 yang menunjukkan tingkat yang paling rendah (equal importance) sampai
dengan skala 9 yang menujukkan tingkatan paling tinggi (extreme importance).
3. Synthesis of Priority
Synthesis of priority dilakukan dengan menggunakan eigen vector method untuk
mendapatkan bobot relatif bagi unsur unsur pengambilan keputusan.
4. Logical Consistency
Logical consistency merupakan karakteristik penting AHP. Hal ini dicapai dengan
mengagresikan seluruh eigen vector yang diperoleh dari berbagai tingkatan hirarki dan
selanjutnya diperoleh suatu vektor composite tertimbang yang menghasilkan urutan
pengambilan keputusan.
2.4.2 Penyusunan Prioritas
Setiap elemen yang terdapat dalam hirarki harus diketahui bobot relatifnya satu
sama lain. Tujuan adalah untuk mengetahui tingkat kepentingan pihak pihak yang
berkepentingan dalam permasalahan terhadap kriteria dan struktur hirarki atau sistem
secara keseluruhan.

Langkah pertama dilakukan dalam menentukan prioritas kriteria adalah menyusun


perbandingan berpasangan, yaitu membandingkan dalam bentuk berpasangan seluruh
kriteria untuk setiap sub sistem hirarki. Perbadingan tersebut kemudian ditransformasikan
dalam bentuk matriks perbandingan berpasangan untuk analisis numerik.

Misalkan terhadap sub sistem hirarki dengan kriteria C dan sejumlah n


alternatif dibawahnya,

sampai

. Perbandingan antar alternatif untuk sub sistem

hirarki itu dapat dibuat dalam bentuk matris n x n, seperti pada dibawah ini.

Tabel 2.1 Matriks Perbandingan Berpasangan


C

Nilai

adalah nilai perbandingan elemen

(baris) terhadap

(kolom)
yang menyatakan hubungan :
a.

Seberapa jauh tingkat kepentingan

(baris) terhadap

kriteria C
dibandingkan dengan
b. Seberapa jauh dominasi

(kolom) atau
(baris) terhadap

c. Seberapa banyak sifat kriteria C terdapat pada


dengan

(kolom).

(kolom) atau
(baris) dibandingkan

Nilai numerik yang dikenakan untuk seluruh perbandingan diperoleh dari


skala perbandingan 1 sampai 9 yang telah ditetapkan oleh Saaty, seperti pada
tabel berikut ini :

Tabel 2.2 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan


Ti
ngkat

Defini

si

Kepent
1

Keter
angan

Sama

Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama.

Pentingny
3

Agak
a
lebih
penting
yang satu
cukup
penting
Sangat
penting
Mutlak
lebih

5
7
9

satu

elemen dibandingkan dengan pasangannya.


Pengalaman dan keputusan menunjukkan
kesukaan
Pengalaman dan keputusan menunjukkan
kesukaan
Satu
elemen
mutlak
lebih
disukai
dibandingkan

penting
2,4,6

,8

nilai
tengah
diantara
dua

okal

Resipr

Pengalaman dan penilaian sangat memihak

dengan

pasangannya,

pada

tingkat

keyakinan
tertinggi. dibutuhkan
Bila kompromi

nilai

keputusan yang
Kebalikan

skala

Jika elemen i memiliki salah satu angka dari


perbandingan 1 sampai 9 yang telah ditetapkan

oleh Saaty ketika dibandingkan dengan elemen j,


maka j memiliki kebalikannya ketika dibandingkan
asio

rasio yang dengan elemen i


did

r
apat

langsung
dari

Seorang decision maker akan memberikan penilaian, mempersepsikan ataupun


memperkirakan kemungkinan dari suatu hal/peristiwa yang dihadapi. Penilaian
tersebut akan dibentuk kedalam matriks berpasangan pada setiap level hirarki.

Contoh Pair Wise Comparison Matrix pada suatu level of hierarchy,


yaitu :

[
]
Baris 1 kolom 2 : Jika K dibandingkan L, maka K sedikit lebih penting/cukup penting
dari L yaitu sebesar 3, artinya K moderat pentingnya daripada L,
dan seterusnya.

Angka 3 bukan berarti bahwa K tiga kali lebih besar dari L, tetapi K moderat
importance dibandingkan dengan L, sebagai ilustrasi perhatikan matriks resiprokal
berikut ini :

[
]
Membacanya/membandingkannya, dari kiri ke kanan. Jika K dibandingkan
dengan L, maka L very strong importance daripada K dengan nilai judgement sebesar
7. Dengan
demikian pada baris 1 kolom 2 diisi dengan kebalikan dari 7 yakni
Artinya, K

dibanding L maka L lebih kuat


dari K.
Jika K dibandingkan dengan M, maka K extreme importance daripada M
dengan nilai
judgement sebesar 9. Jadi baris 1 kolom 3 diisi dengan 9, dan
seterusnya.

2.2.2 Eigen value dan Eigen vector

Apabila pengambil keputusan sudah memasukkan persepsinya atau penilaian


untuk setiap perbandingan antara kriteria kriteria yang berada dalam satu level
(tingkatan) atau yang dapat diperbandingkan maka untuk mengetahui kriteria mana
yang paling disukai atau paling penting, disusun sebuah matriks perbandingan disetiap
level (tingkatan).

Untuk melengkapi pembahasan tentang eigen value dan eigen vector maka
akan diberikan definisi definisi mengenai matriks dan vector.

1.

Matriks

Matriks adalah sekumpulan elemen berupa angka/simbol tertentu yang


tersusun dalam baris dan kolom berbentuk persegi. Suatu matriks biasanya
dinotasikan dengan huruf kapital ditebalkan (misal matriks A, dituliskan dengan A).
Sebagai contoh matriks, perhatikan tabel yang memuat informasi biaya pengiriman
barang dari 3 pabrik ke 4 kota berikut ini:
Tabel 2.3 Biaya Pengiriman Barang dari Pabrik ke Kota

Pa
brik
ik 1
ik 2
ik 3

ota

ota

ota
K

K
ota

ota

Pabr

15

22

31

44

Pabr

Pabr

Tabel ini jika disajikan dalam bentuk matriks akan menjadi seperti berikut:

Matriks A memiliki tiga baris yang mewakili informasi Pabrik (1, 2, dan 3)
dan empat kolom yang mewakili informasi Kota (1, 2, 3, dan 4). Sedangkan informasi
biaya pengiriman dari masing masing pabrik ke tiap tiap kota, diwakili oleh
perpotongan baris dan kolom. Sebagai contoh, perpotongan baris 1 dan kolom 1
adalah 5, angka 5 ini menunjukkan informasi biaya pengiriman dari pabrik 1 ke kota
1,

dan

seterusnya.

Secara umum, bentuk matriks A dapat dituliskan seperti berikut:


[

dimana, pada notasi elemen matriks, angka sebelah kiri adalah informasi baris
sedangkan angka di kanan adalah informasi kolom, contoh a23 berarti nilai yang
diberikan oleh baris ke dua dan kolom ke tiga. Jika informasi baris dinotasikan dengan
m dan informasi kolom dengan n maka matriks tersebut berukuran (ordo)
Matriks dikatakan bujur sangkar (square matrix) jika

Dan skalar skalarnya

berada di baris ke-i dan kolom ke-j yang disebut (ij) matriks entri.

2.

Vektor dari n

dimensi

Suatu vector dengan n dimensi merupakan suatu susunan elemen elemen


yang teratur berupa angka angka sebanyak n buah, yang disusun baik menurut baris,
dari kiri ke kanan (disebut vektor baris atau Row Vector dengan ordo

) maupun

menurut kolom, dari atas ke bawah (disebut vektor kolom atau Colomn Vector dengan

ordo

). Himpunan semua vektor dengan n komponen dengan entri riil

dinotasikan dengan

3.

Eigen value dan Eigen Vector

Definisi : Jika A adalah matriks

maka vector tak nol x di dalam

dinamakan
Eigen Vector dari A jika Ax kelipatan skalar , yakni

A
x=
Skalar dinamakan eigen value dari A dan x dikatakan eigen vektor yang
bersesuaian dengan . Untuk mencari eigen value dari matriks A yang berukuran n x n
maka dapat ditulis pada persamaan berikut :
x=

Atau secara ekivalen


(I
A)x = 0
Agar menjadi eigen value, maka harus ada pemecahan tak nol dari
persamaan ini. Akan tetapi, persamaan diatas akan mempunyai pemecahan tak nol jika
dan hanya jika :
det(I
A)x = 0
Ini dinamakan persamaan karakteristik A, skalar yang memenuhi persamaan
ini adalah eigen value dari A.
Bila diketahui bahwa nilai perbandingan elemen

terhadap elemen

adalah
, maka secara teoritis matriks tersebut berciri positif berkebalikan, yakni
Bobot yang dicari dinyatakan dalam vektor

). Nilai

menyatakan bobot kriteria An terhadap keseluruhan set kriteria pada sub


sistem
tersebut.
Jika

mewakili derajat kepentingan i terhadap faktor j dan

menyatakan

kepentingan dari faktor j terhadap faktor k, maka agar keputusan menjadi konsisten,
kepentingan I terhadap k harus sama dengan

atau jika

untuk

semua i, j, k maka matriks tersebut konsisten. Untuk suatu matriks konsisten dengan
vektor

, maka elemen

dapat ditulis menjadi :


;

(1)

Jadi matriks konsisten adalah :


(2)

Seperti yang di uraikan diatas, maka untuk pair wise comparison matrix
diuraikan
seperti berikut ini :
(3)

Dari persamaan tersebut di atas dapat dilihat bahwa :


(4)
Dengan demikian untuk pair-wise comparison matrix yang konsisten menjadi :

Persamaan diatas ekivalen dengan bentuk persamaan matriks di bawah ini :


(7)
Dalam teori matriks, formulasi ini diekspresikan bahwa

adalah eigen

vector dari matriks A dengan eigen value n. Perlu diketahui bahwa n merupakan
dimensi matriks
itu sendiri. Dalam bentuk persamaan matriks dapat ditulis sebagai berikut
:

[
[

]
]

]
Pada prakteknya, tidak dapat dijamin bahwa :

Salah satu factor penyebabnya yaitu karena unsur manusia (decision maker)
tidak selalu dapat konsisten mutlak (absolute consistent) dalam mengekspresikan
preferensinya terhadap elemen elemen yang dibandingkan. Dengan kata lain, bahwa
judgement yang diberikan untuk setiap elemen persoalan pada suatu level hierarchy
dapat saja inconsistent.
J
ika :

1). Jika

adalah bilangan bilangan yang memenuhi

persamaan :

Ax =

(10)

Dengan eigen value dari matriks A dan jika

i = 1,2,,n; maka

dapat ditulis :

kalau

Miasalkan
ataupun

suatu

pair

wise

comparison

matrix

bersifat

memenuhi kaidah konsistensi seperti pada persamaan (2), maka perkalian


elemen matriks sama dengan satu.

[
Eigen

value

maka

(12)

dari

matriks A,

|
(13) Kalau diuraikan lebih jauh untuk persamaan (13), hasilnya menjadi :

|
|

Dari persamaan (14) kalau diuraikan untuk mencari harga eigen value
maximum
(

) yaitu :

Dengan demikian matriks pada persamaan (12) merupakan matriks yang


konsisten, dengan nilai
Jadi untuk n

sama dengan harga ordo matriksnya.


, maka semua harga eigen value nya sama dengan nol dan

hanya ada satu eigen value yang sama dengan n (konstan dalam kondisi matriks
konsisten).

2). Bila ada perubahan kecil dari elemen matriks maka

eigen value nya

akan berubah semakin kecil pula.

Dengan menggabungkan kedua sifat matriks (aljabar linier), jika :


a.

Elemen diagonal matriks A

b.

Dan untuk matriks A yang konsiten, maka variasi kecil dari


akan membuat harga eigen value
yang lain
mendekati nol.

2.2.3

Uji Konsistensi Indeks dan Rasio

Salah satu utama model AHP yang membedakannya dengan model model
pengambilan keputusan yang lainnya adalah tidak adanya syarat konsistensi mutlak.
Dengan model AHP yang memakai persepsi decision maker sebagai inputnya maka
ketidakkonsistenan mungkin terjadi karena manusia memiliki keterbatasan dalam
menyatakan persepsinya secara konsisten terutama kalau harus membandingkan

banyak kriteria. Berdasarkan kondisi ini maka decision maker dapat


menyatakan persepsinya tersebut akan konsisten nantinya atau tidak.
Pengukuran konsistensi dari suatu matriks itu sendiri didasarkan atas eigen
value maksimum. Thomas L. Saaty telah membuktikan bahwa indeks konsistensi dari
matriks berordo n dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut :

CI

= Rasio Penyimpangan (deviasi) konsistensi (consistency indeks)


Nilai eigen terbesar dari matriks berordo n
= Orde matriks

Apabila CI bernilai nol, maka matriks pair wise comparison tersebut konsisten.
Batas ketidakkonsistenan (inconsistency) yang telah ditetapkan oleh Thomas L. Saaty
ditentukan dengan menggunakan Rasio Konsistensi (CR), yaitu perbandingan indeks
konsistensi dengan nilai Random Indeks (RI) yang didapatkan dari suatu eksperimen
oleh Oak Ridge National Laboratory kemudian dikembangkan oleh Wharton School
dan diperlihatkan seperti tabel 2.3. Nilai ini bergantung pada ordo matriks n. Dengan
demikian, Rasio Konsitensi dapat dirumuskan sebagai berikut :

Rasio
Konsitensi

Indeks
Random

Tabel 2.4 Nilai Random Indeks (RI)


n

,00

2
0

,00

0
49

3
0

,58

1
1,

51

4
0

,90

5
0

2
1,

48

,12

6
1

1,

,24

3
56

8
1

,32

4
1,

57

,41

9
1

5
1,

,45

59

1
1,

Bila matriks pair - wise comparison dengan nilai CR lebih kecil dari 0,100
maka ketidakkonsistenan pendapat dari decision maker masih dapat diterima jika tidak
maka penilaian perlu diulang.

2.3

Analisis Sensitivitas Pada Analytical Hierarchy Proses (AHP)

Analisa sensitivitas pada AHP dapat dipakai untuk memprediksi keadaan


apabila terjadi perubahan yang cukup besar, misalnya terjadi perubahan bobot
prioritas atau urutan prioritas dan kriteria karena adanya perubahan kebijaksanan
sehingga muncul usulan pertanyaan bagaimana urutan prioritas alternatif yang baru
dan tindakan apa yang perlu dilakukan. Dalam suatu hirarki tiga level, level dua dan
hirarki tersebut dapat disebut sebagai variabel eksogen sedangkan level tiganya adalah
variabel endogen. Analisa sensitivitas dan hirarki tersebut adalah melihat pengaruh
dan perubahan pada variabel eksogen terhadap kondisi variabel endogen.
Apabila dikaitkan dengan suatu periode waktu maka dapat dikatakan bahwa
analisa sensitivitas adalah unsur dinamis dari sebuah hirarki. Artinya penilaian yang
dilakukan pertama kali dipertahankan untuk suatu jangka waktu tertentu dan adanya
perubahan kebijaksanaan atau tindakan yang cukup dilakukan dengan analisa

sensitivitas untuk melihat efek yang terjadi. Analisa sensitivitas ini juga akan
menentukan stabil tidaknya sebuah hirarki. Makin besar deviasi atau perubahan

prioritas yang terjadi maka makin tidak stabil hirarki tensebut. Meskipun begitu,
suatu hirarki yang dibuat haruslah tetap mempunyai se

.
A.

KAJIAN PENELITI SEBELUMNYA


Renny Ardiyanti (2006)

Judul penelitian adalah penetapan prioritas


pembangunan jaringan jalan lintas strategis potensi studi kasus di wilayah
Malang Raya. Metode yang digunakan adalah menggunakan metode Analytical
Hirarchy Process (AHP). Adapun kriteria tersebut antara lain : tata ruang,
ekonomi, finansial, lalu lintas pariwisata dan lingkungan.

Analisis pembobotan

kriteria dan alternatif menggunakan metode Analytical Hirarchy Process (AHP)


dengan stakeholders masing masing mewakili Bappeda, Dinas Perhubungan, Dinas
Pekerjaan umum Bina Marga, dari ketiga wilayah dan para akademisi yang
kompeten baik dari segi pemahaman teoritis serta pengenalan lapangan.

B.

Anhes Intan (2004)

Judul penelitian adalah Analisis Penanganan dan Pengembangan Jaringan


Jalan Propinsi di Propinsi Maluku. Menggunakan metode Analytical Hirarchy
Process (AHP). Adapun kriteria kriteria yang digunakan adalah kriteria
kondisi,

kriteria

hirarki, kriteria pemerataan, kriteria antar moda, kriteria wilayah

dan kriteria efisiensi biaya.

C.

Yoniman Ronting. (2009)

Judul penelitian adalah Strategi dan Prioritas Pengembangan Prasarana Jalan


Dalam Rangka Mendukung

Kapet

Seram.

Metode

yang

digunakan adalah

metode Analytical Hirarchy Process (AHP). Adapun kriteria kriteria yang


digunakan adalah pengembangan kawasan ekonomi, aspek multi moda, perbandingan
manfaat biaya, pengembangan regional, arus lalulintas, aksesibilitas dan hirarki
jalan.

TOPSIS (

Technique For Others Reference by Similarity to Ideal

Solution) adalah salah satu metode pengambilan keputusan multikriteria yang pertama
kali diperkenalkan oleh Yoon dan Hwang (1981). TOPSIS menggunakan prinsip bahwa
alternatif yang terpilih harus mempunyai jarak terdekat dari solusi ideal positif dan
terjauh dari solusi ideal negatif dari sudut pandang geometris dengan menggunakan jarak
Euclidean untuk menentukan kedekatan relatif dari suatu alternatif dengan solusi optimal.
Solusi ideal positif didefinisikan sebagai jumlah dari seluruh nilai terbaik yang
dapat dicapai untuk setiap atribut, sedangkan solusi negatif-ideal terdiri dari seluruh nilai
terburuk yang dicapai untuk setiap atribut.
TOPSIS mempertimbangkan keduanya, jarak terhadap solusi ideal positif dan jarak
terhadap solusi ideal negatif dengan mengambil kedekatan relatif terhadap solusi ideal
positif. Berdasarkan perbandingan terhadap jarak relatifnya, susunan prioritas alternatif
bisa dicapai.
Metode ini banyak digunakan untuk menyelesaikan pengambilan keputusan secara
praktis. Hal ini disebabkan konsepnya sederhana dan mudah dipahami, komputasinya
efisien,dan memiliki kemampuan mengukur kinerja relatif dari alternatif-alternatif
keputusan.

PROSEDUR TOPSIS

Menghitung separation measure

Menentukan jarak antara nilai setiap alternatif dengan matriks solusi ideal positif
dan negatif

Menentukan nilai preferensi untuk setiap alternatif

Decision matrix D mengacu terhadap m alternatif yang akan dievaluasi


berdasarkan n kriteria yang didefinisikan sebagai berikut:

Dengan xij menyatakan performansi dari perhitungan untuk alternatif ke-i


terhadap atribut ke-j.
Langkah-langkah metode TOPSIS
1.

Membangun normalized decision matrix


Elemen rij hasil dari normalisasi decision matrix R dengan metode Euclidean length

of a vector adalah:

2. Membangun weighted normalized decision matrix


Dengan bobot W= (w1, w2,..,wn), maka normalisasi bobot matriks V adalah :

3. Menentukan solusi ideal dan solusi ideal negatif.


Solusi ideal dinotasikan A*, sedangkan solusi ideal negatif dinotasikan A- :

4. Menghitung separasi
Si* adalah jarak (dalam pandangan Euclidean) alternatif dari solusi ideal
didefinisikan sebagai:
Dan jarak terhadap solusi negatif-ideal didefinisikan sebagai:

5. Menghitung kedekatan relatif terhadap solusi ideal

6. Merangking Alternatif

Alternatif dapat dirangking berdasarkan urutan Ci*. Maka dari itu, alternatif
terbaik adalah salah satu yang berjarak terpendek terhadap solusi ideal dan berjarak
terjauh dengan solusi negatif-ideal.
HUBUNGAN TOPSIS DAN AHP (Analytic Hierarchy Process)

Pada dasarnya TOPSIS tidak memiliki model inputan yang spesifik dalam
penyelesaian suatu kasus, TOPSIS menggunakan model inputan adaptasi dari metode lain
(ex. AHP,UTA,ELECTRE,TAGUCHI dll)
Dalam menyelesaikan suatu kasus multikriteria, AHP membandingkan tiap kriteria
menggunakan matriks perbandingan berpasangan untuk setiap alternatif kemudian
hasilnya adalah sebuah matriks keputusan yang menunjukkan skor setiap alternatif pada
semua kriteria.
Alternatif terbaik adalah alternatif dengan skor tertinggi setelah dikalikan dengan
vektor bobot Sedangkan pada metode TOPSIS, matriks keputusan yang dihasilkan dari
metode AHP merupakan modal awal/inputan awal dalam perhitungan selanjutnya.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tahapan Penelitian


Langkah-langkah dalam penelitian ini di mulai dengan melakukan studi
pendahuluan

yang meliputi : pengenalan daerah studi, tinjauan pustaka, identifikasi

data dan perangkat lunak yang digunakan. Dari studi pendahuluan yang dilakukan,
dilanjutkan identifikasi masalah sehingga dapat disusun latar belakang masalah dan
rumusan masalah serta penetapan tujuan penelitian ini. Selanjutnya dilakukan
pengumpulan data baik diperoleh dari data primer maupun dari data sekunder. Data
primer dalam penelitian ini diperoleh melalui kuisioner atau wawancara kepada pihakpihak (stakeholders) yang berkompeten dalam penanganan

jalan

kabupaten

di

Kabupaten Klungkung. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari
data penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Klungkung pada tahun anggaran 2014
2016 serta pedoman perencanaan jalan kabupaten sesuai SK No.77/KPTS/Db/1990.
Langkah selanjutnya akan dilakukan penentuan urutan prioritas penanganan jalan
kabupaten dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) yang diawali dengan
penyusunan hirarki yaitu dengan penentuan kriteria dan penentuan subkriteria.
Selanjutnya dilakukan analisis pembobotan dalam penentuan skala prioritas jalan
dengan metode AHP. Hasil dari ,etode AHP dibandingkan dengan Fuzzy AHP,
TOPSIS dan SK No.77/KPTS/Db/1990. Adapun

langkah-langkah

diperlihatkan pada Diagram Alir Penelitian pada Gambar 3.1.

penelitian

ini,

Studi Pendahuluan (Penentuan lokasi


studi,tinjauan pustaka,identifikasi data
dan perangkat lunak yg digunakan)

Latar belakang dan rumusan masalah

Tujuan Penelitian

Pengumpulan Data
Data Sekunder

Data Primer
-

- Data Penanganan Jalan Kab.


Klungkung T.A.2014-2016

Kuisioner/
Wawancara

- Pedoman Perenc. Jalan Kab


(SK
No.77/KPTS/Db/1990)

Penyusunan

Hirarki

Model
Analisis penentuan skala

AHP
-

Penentuan Kriteria
Penentuan Subkriteria

prioritas jalan Berdasarkan


SK No.77/KPTS/ Db/1990

Analisis Pembobotan
dalam penentuan skala prioritas
jalan dg Metode AHP

Uji Konsistensi CR1

T
Y
I

Analisis Skala Prioritas dg


FAHP, dan TOPSIS

Perbandingan hasil Skala Prioritas


dengan SK No.77/KPTS/Db/1990

Simpulan dan Saran

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian.

3.2 Studi Pendahuluan


Kegiatankegiatan yang dilakukan di dalam sudi pendahuluan ini pada dasarnya
adalah untuk mengidentifikasi ketersediaan sarana pendukung dalam melakukan
penelitian ini. Hal-hal tersebut meliputi pemilihan lokasi studi, ketersediaan data,
ketersediaan pustaka atau literatur referensi dan ketersediaan alat bantu dalam hal ini
perangkat lunak untuk melakukan anlisis data. Hal ini dilakukan mengingat suatu studi
tentu dibatasi oleh ketersediaan waktu dan dana. Hasil dari studi pendahuluan ini adalah
sebagai berikut :
1. Lokasi Penelitian di Kabupaten Klungkung (Lamp.A Gambar Peta Wilayah
Studi).

2. Waktu penelitian, penelitian ini dilakukan dari pagi hingga sore selama jam
kerja pemerintahan.
3.

Obyek penelitian dilakukan pada Asisten Pembangunan Setda Kabupaten


Klungkung, Bidang Bina Marga Dinas PU Kab.Klungkung, Badan
Pembangunan Daerah
Klungkung,

Anggota

(Bappeda)

Kab.Klungkung,

Camat

se-Kab

DPRD pada Komisi Pembangunan dan beberapa

tokoh masyarakat yang memahami penanganan jalan di wilayahnya masingmasing.


4. Data perencanaan penanganan jalan kabupaten tahun anggaran 2014- 2016 di
dapat dari Badan Perencanaan dan Pembangunan

Daerah Kabupaten

Klungkung dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Klungkung


5. Pustaka atau literatur referensi sebagai acuan landasan teori diperoleh dari
beberapa textbook yang berkaitan dengan metode Fuzzy Analytical Hierarchy
(Fuzzy AHP ) dan TOPSIS dan acuan berdasarkan Surat keputusan Dirjen
Bina Marga No.77/KPTS/Db/1990 tentang Petunjuk Teknis

Perencanaan

dan Pengendalian Pembangunan di Daerah.


6. Perangkat lunak sebagai alat bantu yang digunakan

dalam melakukan

analisis dapat digunakan program Microsoft Office Excel 2013.

3.3 Latar Belakang dan Rumusan Masalah


Selama ini penentuan prioritas proyek jalan kabupaten yang disusun Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten Klungkung dibuat berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 77/KPTS/Db/1990 tentang Petunjuk Teknis Perencanaan
dan Pengendalian Pembangunan di Daerah. Penentuan usulan proyek.
jalan hanya mempertimbangkan lalu lintas harian rata-rata (LHR) dan manfaat
lalulintas (NPV) saja. Dengan metode tersebut masih banyak jalan yang belum
mendapat penanganan baik pemeliharaan maupun peningkatan serta aspirasi
masyarakat

melalui musrenbang di tingkat desa dan tingkat

kecamatan hanya

sebagaian kecil direalisasikan dalam APBD. Berdasarkan hal tersebut perlu penerapan
metode lain yang dapat mengatasi permasalahan tersebut. Adapun metode yang
akan digunakan adalah Metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Penggunaan
metode dengan sistem hirarki sudah diterapkan di Kabupaten Badung , Kabupaten
Gianyar, dan Kabupaten Bangli dalam penentuan prioritas jalan kabupaten. Adapun

parameter atau kriteria yang digunakan adalah : faktor kondisi jalan,

faktor

volume lalu lintas, faktor ekonomi, faktor kebijakan dan faktor tata guna lahan.
Penentuan prioritas proyek dengan metode hirarki yang akan di laksanakan

dapat

memberi hasil yang lebih representatif dalam penentuan prioritas penanganan jalan
di Kabupaten Klungkung.

3.4 Tujuan Penelitian


Dari permasalahan tersebut kemudian ditetapkan tujuan penelitian. Tujuan
penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah seperti yang disebutkan pada
BAB I Pendahuluan, hal.6.

3.5 Pengumpulan data


Dalam studi ini dilakukan pengumpulan data yang meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer

yang diperoleh adalah data

yang dicatat

dan didapat

langsung dari obyek penelitian melalui wawancara/intervew dan data sekunder


diambil langsung dari instansi pemerintah Kabupaten Klungkung. Adapun langkahlangkah pengumpulan data pada penelitian ini dijelaskan pada sub bab berikut.
3.5.1 Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dimaksudkan untuk menentukan skala prioritas
penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Klungkung. Data sekunder diperoleh dari
instansi Pemerintah Kabupaten Klungkung yaitu Bappeda Kabupaten Klungkung dan
Dinas PU Bidang Bina Marga Kabupaten Klungkung. Adapun data tersebut
meliputi : data kondisi jalan, data volume lalu lintas, dana anggaran/biaya penanganan
jalan per meter persegi, kebijakan dan tata guna lahan serta pedoman perencanaan jalan
kabupaten berdasarkan SK No.77 Dirjen Bina Marga Tahun
1990. Adapun langkah-langkah pengumpulan data sekunder adalah :
1. Permintaan data diajukan secara tertulis, dimana data yang diminta adalah :
a. Kriteria yang dipakai untuk menentukan skla prioritas penanganan jalan
kabupaten di Kabupaten Klungkung.
b.

Data

yang

berhubungan

dengan

kriteria

yang

dipakai

untuk

penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Klungkung.

2. Setelah data yang sesuai dengan diktum 1 didapat, maka data tersebut direkapitulasi
dan

dikompilasi

ke

masing-masing

unsur

kelompok penanganan jalan

kabupaten, dengan tujuan :


a. Sebagai dasar dalam penyusunan struktur hirarki,
b. Sebagai dasar olahan dalam penentuan skala prioritas penanganan jalan
kabupaten yang akan ditinjau.
3.

Setelah struktur hirarki disusun, selanjutnya disusun kuisioner untuk dipakai


sebagai instrumen dalam melaksanakan pengumpulan data primer. Rancangan
kuisioner pada penelitian ini diperlihatkan pada lampiran B, Dalam penelitian ini,
penyusunan kuisioner yang digunakan pada penelitian ini dengan melibatkan
beberapa stake holders yang berkompeten dalam penanganan jalan di Kabupaten.
Skala pengukuran sikap responden dalam penentuan prioritas penanganan jalan
kabupaten di Kabupaten Klungkung digunakan skala Penilaian Saaty (1986). Untuk
mempermudah responden dalam memberi jawaban atas penilaiannya maka
kuisioner disusun

dalam bentuk interval dalam skala

1 sampai dengan

berdasarkan nilai preferensi berpasangan dari Saaty (1986) dan dengan melingkari
salah satu angka pada interval terhadap penilaian yang diberikan,

dimana masing-

masing skala menunjukan

kriteria

dibandingkan terhadap

tingkat
indikator

kepentingan
kriteria

indikator

yang

melingkupinya.

yang
Dalam

penelitian ini dilakukan penyebaran kuisioner dengan wawancara langsung


kepada responden

yang

bidang penanganan

mempunyai

dan

tugas,

perencanaan

fungsi

jalan

dan

kabupaten

pengalaman
di

di

Kabupaten

Klungkung. Penyebaran kuisioner kepada 25 (dua puluh enam) responden dipilih


secara Purposive yaitu pemilihan responden berdasarkan pertimbangan dengan
persyaratan responden yang

dipilih

memiliki pengetahuan dan kompetensi

dibidang penanganan jalan. Adapun respon expert yang dipilih terdiri dari :
1. Pemerintah Kabupaten Klungkung
Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setda Kab. Klungkung (1 orang), Kadis
PU Kab. Klungkung (1 orang), Kabid

Bina Marga (1 orang), Kasi

Pemeliharaan dan Rehabilitasi Jalan Bidang Bina Marga (1 orang), Kasi


Peningkatan dan Pembangunan Jalan Bidang Bina Marga (1 orang), Staf
Perencana Bidang Bina Marga (1 orang), Ka. Bidang Fisik dan Prasarana
di Bappeda (1 orang), Kasubdin Tata Ruang di Bappeda (1 orang), Staf dari
Bappeda (1 orang).
2. Badan Legislatif
Anggota DPRD Klungkung Komisi C (1 orang).

3. Pemerintah Kecamatan dan Desa


Camat Kecamatan Nusa Penida, Kades Batununggul, Kades Suana, Kades
Toyapakeh, Kades Kutampi Kaler, Kades Sakti (6 Orang)
4. Tokoh Masyarakat (6 orang) yaitu dari Kaur Pembangunan Desa Se
Kabupaten Klungkung.
5. Akademisi Universitas Udayana (3 Orang)
Sedangkan waktu penyebaran kuisioner kepada responden dilaksanakan selama
3 (tiga) bulan yaitu dari bulan Maret sampai bulan Mei 2015.

3.5.1 Pengumpulan Data Primer


Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada penelitian ini pengumpulan data primer
mempergunakan metode kuisioner/interview. Adapun tahapan dalam melakukan
interview kepada responden pada penelitian ini adalah :
1.

Sebelum dilaksanakan interview terlebih dahulu responden diberikan


pertanyaan

secara

tertulis

dengan

model

pertanyaan

berupa

skala

penilaian.
2.

Bersamaan dengan pertanyaan yang diserahkan/diberikan, kepada para


responden dijelaskan secara umum tentang maksud dan cara menjawab dari
masing-masing pertanyaan yang harus dijawab.

3. Interview dilaksanakan sesuai dengan waktu dan tempat yang disepakati oleh
para responden dengan mempertimbangkan :
a.

Waktu dari para responden untuk mempelajari dan memahami


pertanyaan yang harus dijawab,

b. Waktu yang terluang untuk melaksanakan interview,


c. Beban fisikologis responden saat menjawab pertanyaan.
4.

Akibat pertimbangan pada item 3.c para responden diharapkan menjawab


pertanyaan pada saat tidak terjadi beban fisikologis, sehingga interview hanya
dilaksanakan

terhadap

hal-hal

atau

pertanyaan

yang

meragukan/membingungkan responden.
5. Pada saat dilakukan interview, terlebih dahulu responden ditanyakan
apakah dari pertanyaan yang akan ditanyakan membingungkan/meragukan
responden apa tidak?, dan apabila ada pertanyaan yang membingungkan
bagi responden maka interview tidak dapat dilanjutkan sampai pada batas
responden mengerti betul terhadap pertanyaan yang akan dijawab. Dan apabila

ada pertanyaan/hal-hal yang masih meragukan/membingungkan responden


maka dilakukan penjelasan ulang terhadap pertanyaan yang akan dijawab.
6.

Hasil jawaban penilaian level hiraki yang diperoleh dari responden sangat
menentukan besarnya bobot elemen level hirarki, apabila ditemukan hasil
penilaian responden setelah diuji tingkat konsisten (rasio konsisten) jawaban
responden melebihi batas 10%

maka

dilakukan pengulangan interview

sampai memperoleh tingkat konsistensi 10%.

3.6

Variabel Penelitian
Variabel yang dipakai pada penelitian ini terdiri dari kriteria/pertimbangan yang

menjadi latar belakang prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Klungkung,


variabel pada penelitian ini baru akan dirumuskan dalam bentuk struktur hirarki setelah
didapatkan data sekunder.
Dalam penelitian ini penyusunan level hiraki yang digunakan dalam metode
Analytical Hierarchy Process (AHP) terdiri dari 3 (tiga) level yaitu :
1. Level 1 (tujuan), adalah menentukan prioritas jalan yang mendapat prioritas
penanganan jalan secara rutin dan berkala, rehabilitasi jalan dan peningkatan
jalan.
2.

Level II (Kriteria) terdiri dari beberapa kriteria dalam menentukan


prioritas jalan. Kriteria tersebut adalah :

Faktor Kondisi Jalan (A), Faktor

Volume Lalu Lintas (B), Faktor Ekonomi (C), Faktor Kebijakan (D)
dan Faktor Tata Guna Lahan (E).
3. Level III (Pengembangan dari Level II, yang selanjutnya disebut subkriteria),
Sub kriteria kondisi jalan, volume lalu lintas, ekonomi diperoleh dari SK No.77
Dirjen Bina Marga, Tahun 1990 sedangkan sub kriteria kebijakan dan tata
guna

lahan

diperoleh

melalui wawancara responden yang berperan dalam

pengambilan kebijakan di pemerintahan.


Selanjutnya Penyusunan level hirarki yang terdiri dari 3 (tiga) level tersebut
diperlihatkan pada Gambar 3.2.

3.7

Analisis Data
Analisis data merupakan pekerjaan yang terintegrasi setelah data didapatkan,

kemudian dikumpulkan untuk direkapitulasi sesuai kebutuhan dan selanjutnya dianalisis


dengan menggunakan metode AHP dan membandingkan hasil analisis tersebut dengan
hasil analisis yang didapat berdasarkan Fuzzy AHP, TOPSIS dan SK No.77 Dirjen
Bina Marga Tahun 1990 sehingga diperoleh kelebihan dan kelemahan penentuan
skala prioritas penanganan jalan dari keempat metode tersebut.

Anda mungkin juga menyukai