Yang perlu ditekan kan adalah, dengan hanya tes in vitro, tidak dapat sepenuh
nya memprediksi biokompatibilitas seluruh material.
Cytotoxicity Tests
Uji ini mengkaji sel mati yang disebabkan bahan material dengan mengukur jumlah
sel atau pertumbuhan sel sesudah dan sebelum terkena paparan bahan material. Tes
ini dilakukan dengan uji permiabiltas membran.
kuantitas dan relevansi suatu tes atau uji coba yang mengukur mutagenesis dan
karsinogenesis sangatlah kompleks.
Tes Ames adalah tes yang paling banyak digunakan untuk uji mutagenesis jangka
pendek dan satu-satunya uji jangka pendek yang dianggap benar-benar valid.
2. Animal Tests
Tes hewan untuk biokompatibilitas, biasanya melibatkan mamalia seperti tikus,
hamster, atau kelinci percobaan, yang berbeda dari tes penggunaan atau Usage Tests
(yang juga sering dilakukan pada hewan).
Penggunaan hewan untuk uji biokompatibilitas memungkinkan terjadinya interaksi
kompleks antara bahan material dan fungsi sel , sistem dan reaksi biologi yang
lengkap bisa terjadi. Dengan demikian respons biologis pada binatang percobaan
lebih komprehensif dan mungkin lebih relevan daripada tes in vitro, dan hal ini adalah
keuntungan utama dari tes ini. Kelemahan utama dari tes hewan adalah relevansi tes
untuk penggunaan material pada in vivo (di dalam tubuh) , terutama dalam
memperkirakan kesesuaian spesies hewan untuk mewakili manusia. (lihat table 6.1
diatas)
3. Usage Tests
Usage Tests dapat dilakukan pada hewan atau penelitian manusia. Uji ini berbeda dari
tes hewan karena uji ini mengharuskan bahan materi ditempatkan dalam situasi yang
identik sesuai dengan keadaan klinis yang dimaksudkan. Usage tests pada hewan
biasanya menggunakan hewan yang lebih besar yang memiliki keadaan organ mulut
yang mirip dengan manusia, seperti anjing, babi kecil atau monyet. Ketika manusia
yang digunakan, Usage tests disebut uji klinis. Keuntungan luar biasa untuk usage
tests adalah relevansinya (lihat Tabel 6-1). Tes ini adalah gold standard, karena uji ini
memberikan jawaban akhir apakah iya atau tidak suatu bahan material akan
biokompatibel dan bermanfaat secara klinis. Orang mungkin bertanya, lalu, mengapa
repot-repot melakukan uji in vitro atau tes hewan? Jawabannya adalah terdapat
kemungkinan kerugian yang sangat besar dari uji ini. Tes ini sangat mahal, dilakukan
untuk waktu yang lama, seringkali melibatkan banyak masalah etika dan hukum,
untuk itu sangat sulit untuk mengontrol dan menafsirkan secara akurat, serta dapat
membahayakan peserta tes. Dalam kedokteran gigi, dental pulp, periodonsium, dan
gingiva atau mukosa jaringan gigi adalah target utama usage tests.
Dental Pulp Irritation Tests
Umumnya, bahan material yang akan diuji pada pulpa gigi dilakukan di gigi nonkaries. Pada akhir penelitian, gigi akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis, dengan
jaringan nekrotik dan reaksi inflamasi yang diklasifikasikan menurut intensitas
respon.
Denta Implants in Bone
Saat ini, prediktor terbaik untuk keberhasilan implan adalah hati-hati dalam memilih
pasien dan keadaan klinis yang ideal. Istilah berikut digunakan untuk mendefinisikan
berbagai tingkat keberhasilan:
early implant success for implants surviving 1 to 3 years, intermediate implant
success for implants surviving 3 to 7 years, and long-term success for implants
surviving more than 7 years.
Dengan demikian, ada tiga tes yang biasa digunakan untuk memprediksi keberhasilan
implan: (1) penetrasi probe periodontal sepanjang sisi implan, (2) mobilitas implan,
dan (3) radiografi yang menunjukkan baik integrasi tulang maupun radiolusen sekitar
implan.
Sebuah implan tulang dianggap berhasil jika menunjukkan tidak ada mobilitas, tidak
ada bukti radiografi peri implan radiolusen, memiliki sedikit vertical bone loss dan
benar-benar terbungkus dalam tulang, dan memiliki adanya persisten peri-implan
komplikasi jaringan lunak.
Mucosa and Gingival Usage Tests
Uji ini merupakan respon jaringan terhadap bahan material dengan kontak langsung
dari jaringan gingiva dan mukosa yang dilakukan dengan penempatan rongga mulut
dan perluasan subgingival. Efek material pada jaringan gingiva diamati dan respons
dikategorikan menjadi; sedikit, sedang, atau berat, tergantung pada jumlah sel
inflamasi mononuklear (terutama limfosit dan neutrofil) pada epitel dan jaringan ikat
yang berdekatan. Kesulitan pada jenis penelitian ini adalah seeringkali adanya
peradangan yang sudah ada sebelumnya di jaringan gingiva karena adanya plak
bakteri atau karena kekasaran permukaan bahan restoratif.
4. Inflammatory and Allergic Reactions
Berbagai jenis respons biologis terhadap zat dapat terjadi pada manusia. Termasuk
reaksi inflamasi, alergi, toksik, dan mutagenik. Namun, semua ini tidak hanya karena
terkena paparan bahan material gigi. Respon inflamasi melibatkan aktivasi sistem
kekebalan tubuh inang untuk menangkal beberapa tantangan atau ancaman.
Peradangan dapat terjadi akibat trauma (kekuatan yang berlebihan, luka gores, dan
abrasi), alergi, atau toksisitas. Secara histologis, respon inflamasi ditandai dengan
edema jaringan yang disebabkan awalnya oleh infiltrasi sel inflamasi seperti neutrofil
dan, kemudian pada tahap kronis, dengan tindakan monosit dan sel-sel limfosit.
Hubungan antara bahan material gigi dengan reaksi inflamsi sangatlah penting karena
respon inflamasi kronis dapat berupa radang pulpa dan penyakit periodontal.
Contoh reaksi alergi: