Anda di halaman 1dari 3

Pancasila di Masa Orde Baru

12 Mei 2012 03:55:45 Dibaca : 19,849


Pancasila dalam Perspektif Orde Baru

Orde baru muncul dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Semangat tersebut muncul berdasarkan pengalaman sejarah dari pemerintahan
sebelumnya yang telah menyimpang dari Pancasila serta UUD 1945 demi kepentingan
kekuasaan. Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang
terjadi pada masa orde lama, yaitu Pancasila tetap pada posisinya sebagai alat pembenar rezim
otoritarian baru di bawah Soeharto.

Seperti rezim otoriter pada umumnya lainnya, ideologi sangat diperlukan orde baru sebagai alat
untuk membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Sehingga Pancasila oleh rezim
orde baru kemudian ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membenarkan dan memperkuat
otoritarianisme negara. Maka dari itu Pancasila perlu disosialisasikan sebagai doktrin
komprehensif dalam diri masyarakat Indonesia guna memberikan legitimasi atas segala tindakan
pemerintah yang berkuasa. dalam diri masyarakat Indonesia. Adapun dalam pelaksanaannya
upaya indroktinisasi tersebut dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari pengkultusan Pancasila
sampai dengan Penataran P4.

Upaya pengkultusan terhadap pancasila dilakukan pemerintah orde baru guna memperoleh
kontrol sepenuhnya atas Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah orde baru menempatkan
Pancasila dan UUD 1945 sebagai sesuatu yang keramat sehingga tidak boleh diganggu gugat.
Penafsiran dan implementasi Pancasila sebagai ideologi terbuka, serta UUD 1945 sebagai
landasan konstitusi berada di tangan negara. Pengkultusan Pancasila juga tercermin dari
penetapan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober sebagai peringatan atas kegagalan
G 30 S/PKI dalam upayanya menggantikan Pancasila dengan ideologi komunis.

Retorika mengenai persatuan kesatuan menyebabkan pemikiran bangsa Indonesia yang sangat
plural kemudian diseragamkan. Uniformitas menjadi hasil konkrit dari kebijakan politik
pembangunan yang unilateral. Gagasan mengenai pluralisme tidak mendapatkan tempat untuk
didiskusikan secara intensif. Sebagai pucaknya, pada tahun 1985 seluruh organisasi sosial politik
digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas
tunggal dan setiap warga negara yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang

menolak Pancasila sebagai asas tunggal akan dicap sebagai penghianat atau penghasut. Dengan
demikian, jelaslah bahwa Orde Baru tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga
memonopoli kebenaran. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat dengan
negara dalam prakteknya diperlakukan sebagai pelaku tindak kriminal atau subversif.

Sosialisasi Pancasila melalui Penataran P4

Pada era Orde Baru, selain dengan melakukan pengkultusan terhadap Pancasila, pemerintah
secara formal juga mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui TAP MPR NO II/MPR/1978
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di sekolah dan di masyarakat.
Siswa, mahasiswa, organisasi sosial, dan lembaga-lembaga negara diwajibkan untuk
melaksanakan penataran P4. Tujuan dari penataran P4 antara lain adalah membentuk pemahaman
yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan
persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut
maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
Selain sosialisasi nilai Pancasila dan menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa,
dalam kegiatan penataran juga disampaikan pemahaman terhadap Undang- Undang Dasar 1945
dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pelaksanaan penataran P4 sendiri menjadi tanggung
jawab dari Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(BP7).

Akan tetapi cara melakukan pendidikan semacam itu, terutama bagi generasi muda, berakibat
fatal. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam penataran P4, ternyata justru
mematikan hati nurani generasi muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila tersebut. Hal itu
terutama disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai dengan keteladanan
yang benar. Setiap hari para pemimpin berpidato dengan selalu mengucapkan kata-kata Pancasila
dan UUD1945, tetapi dalam kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari
apa yang mereka katakan. Perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang buruk bagi para
pemimpin serta meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup bernegara, karena masyarakat
menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat) tetapi bukan atau tidak berlaku
bagi para pemimpin. Atau dengan kata lain Pancasila hanya digunakan sebagai slogan yang
menunjukkan kesetiaan semu terhadap pemerintah yang sedang berkuasa.

Kesimpulan

Kecenderungan orde baru dalam memandang Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif
terlihat pada anggapan bahwa ideologi sebagai sumber nilai dan norma dan karena itu harus
ditangani (melalui upaya indoktrinasi) secara terpusat. Pada akhirnya, pandangan tersebut
bermuara pada keadaan yang disebut dengan perfeksionisme negara. Negara perfeksionis adalah
negara yang merasa tahu apa yang benar dan apa yang salah bagi masyarakatnya, dan kemudian
melakukan usaha-usaha sistematis agar kebenaran yang dipahami negara itu dapat diberlakukan
dalam masyarakatnya. Sehingga formulasi kebenaran yang kemudian muncul adalah sesuatu
dianggap benar kalau hal tersebut sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu
dianggap salah kalau bertentangan dengan kehendak penguasa.

Anda mungkin juga menyukai