Anda di halaman 1dari 27

BEBERAPA PERTANYAAN TENTANG BID'AH DAN JAWABANNYA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin
Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya : Bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan
Umar bin Khatab Radhiyallahu 'Anhu setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka'ab dan Tamim
Ad-Dari agar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan para
jama'ah sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata : "inilah sebaik-baik bid'ah ....
dst".
Jawabannya.
Pertama.
Bahwa tak seorangpun di antara kita boleh menentang sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja
selain mereka. Karena Allah Ta'ala berfirman :
"Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa
fitnah atau ditimpa adzab yang pedih". [An-Nuur : 63].
Imam Ahmad bin Hambal berkata : "Tahukah anda, apakah yang dimaksud dengan fitnah ?.
Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak sebagian sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan binasa".
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata : "Hampir saja kalian dilempar batu dari atas langit.
Kukatakan : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan
ucapan Abu Bakar dan Umar".
Kedua.
Kita yakin kalau Umar Radhiyallahu 'anhu termasuk orang yang sangat menghormati firman
Allah Ta'ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Beliaupun terkenal sebagai orang
yang berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan
sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah perempuan yang
berani menyanggah pernyataan beliau tentang pembatasan mahar (maskawin) dengan firman
Allah, yang artinya : " ... sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka
harta yang banyak ..." [An-Nisaa : 20] bukan rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi
melakukan pembatasan mahar.
Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi tentang keshahihahnya, tetapi dimaksudkan dapat
menjelaskan bahwa Umar adalah seorang yang senantiasa berpijak pada ketentuan-ketentuan
Allah, tidak melanggarnya.

Oleh karena itu, tak patut bila Umar Radhiyallahu 'anhu menentang sabda Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata tentang suatu bid'ah : "Inilah sebaik-baik bid'ah",
padahal bid'ah tersebut termasuk dalam kategori sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Setiap bid'ah adalah kesesatan".
Akan tetapi bid'ah yang dikatakan oleh Umar, harus ditempatkan sebagai bid'ah yang tidak
termasuk dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut. Maksudnya : adalah
mengumpulkan orang-orang yang mau melaksanakan shalat sunat pada malam bulan Ramadhan
dengan satu imam, di mana sebelumnya mereka melakukannya sendiri-sendiri.
Sedangkan shalat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, sebagaimana dinyatakan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata : "Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukan qiyamul lail (bersama para sahabat) tiga malam
berturut-turut, kemudian beliau menghentikannnya pada malam keempat, dan bersabda :
"Artinya : Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu, sedanghkan
kamu tidak mampu untuk melaksanakannya". [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim].
Jadi qiyamul lail (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan berjamaah termasuk sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun disebut bid'ah oleh Umar Radhiyallahu anhu
dengan pertimbangan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menghentikannya pada
malam keempat, ada di antara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri, ada yang
melakukannya secara berjama'ah dengan orang banyak. Akhirnya Amirul Mu'minin Umar
Radhiyallahu 'anhu dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu imam.
Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid'ah, bila dibandingkan dengan apa
yang dilakukan oleh orang-orang sebelum itu. Akan tetapi sebenarnya bukanlah bid'ah, karena
pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dengan penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun bagi ahli bid'ah untuk menyatakan
perbuatan bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah.
Mungkin juga di antara pembaca ada yang bertanya : Ada hal-hal yang tidak pernah dilakukan
pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat
Islam, seperti; adanya sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti ini
dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal kebaikan. Lalu bagaimana
hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum Muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah kesesatan ?".
Jawabnya : Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan bid'ah, melainkan sebagai
sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan
zamannya. Sebagaimana disebutkan dalam kaedah : "Sarana dihukumi menurut tujuannya".
Maka sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan ; sarana untuk perbuatan
yang tidak diperintahkan, hukumnya tidak diperintahkan ; sedang sarana untuk perbuatan haram,
hukumnya adalah haram. Untuk itu, suatu kebaikan jika dijadikan sarana untuk kejahatan, akan
berubah hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat.
Firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan". [AlAn'aam : 108].
Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang yang musyrik adalah perbuatan hak dan pada
tempatnya. Sebaliknya, mejelek-jelekan Rabbul 'Alamien adalah perbuatan durjana dan tidak
pada tempatnya. Namun, karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan orangorang musyrik menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka perbuatan tersebut
dilarang.
Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sarana dihukumi
menurut tujuannya. Adanya sekolah-sekolah, karya ilmu pengetahuan dan penyusunan kitabkitab dan lain sebagainya walaupun hal baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana. Sedangkan sarana
dihukumi menurut tujuannya. Jadi seandainya ada seseorang membangun gedung sekolah
dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka pembangunan tersebut hukumnya
adalah haram. Sebaliknya, apabila bertujuan untuk pengajaran ilmu syar'i, maka
pembangunannya adalah diperintahkan.
Jika ada pula yang mempertanyakan : Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam.
"Artinya : Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala
perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".
"Sanna" di sini artinya : membuat atau mengadakan.
Jawabnya :
Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula : "Setiap
bid'ah adalah kesesatan". yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin
sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya,
sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan
seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena
dirinya yang tidak mampu atau karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan
dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam menyatakan : "man sanna fil islaam", yang artinya : "Barangsiapa berbuat
dalam Islam", sedangkan bid'ah tidak termasuk dalam Islam ; kemudian menyatkan : "sunnah
hasanah", berarti : "Sunnah yang baik", sedangkan bid'ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara
berbuat sunnah dan mengerjakan bid'ah.
Jawaban lainnya, bahwa kata-kata "man sanna" bisa diartikan pula : "Barangsiapa menghidupkan
suatu sunnah", yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata "sanna" tidak
berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah

yang telah ditinggalkan.


Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas, yaitu kisah orangorang yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang
amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari
harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak
yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda.
"Artinya : Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala
perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".
Dari sini, dapat dipahami bahwa arti "sanna" ialah : melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti
membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau : "Man Sanna fil Islaami
Sunnatan Hasanan", yaitu : "Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik", bukan membuat atau
mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. berdasarkan sabda beliau : "Kullu bid'atin
dhalaalah".
[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia
Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin,
penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1003&bagian=0

SETIAP BID'AH ADALAH KESESATAN


Oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin

Apabila masalah tadi sudah jelas dan menjadi ketetapan saudara, maka ketahuilah bahwa
siapapun yang berbuat bid'ah dalam agama, walaupun dengan tujuan baik, maka bid'ahnya itu,
selain merupakan kesesatan, adalah suatu tindakan menghujat agama dan mendustakan firman
Allah Ta'ala, yang artinya : " Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu ....." .
Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan bahwa Islam belum
sempurna, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada
Allah belum terdapat di dalamnya.

Anehnya, ada orang yang melakukan bid'ah berkenan dengan dzat, asma' dan sifat Allah Azza wa
Jalla, kemudian ia mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk mengagungkan Allah, untuk
mensucikan Allah, dan untuk menuruti firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah". [Al-Baqarah : 22]
Aneh, bahwa orang yang melakukan bid'ah seperti ini dalam agama Allah, yang berkenan dengan
dzat-Nya, yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf, mengatakan bahwa dialah yang
mensucikan Allah, dialah yang mengagungkan Allah dan dialah yang menuruti firman-Nya :
"Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah", dan barangsiapa yang
menyalahinya maka dia adalah mumatstsil musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya), atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya.
Anehnya lagi, ada orang-orang yang melakukan bid'ah dalam agama Allah berkenaan dengan
pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan perbuatannya itu mereka menganggap
bahwa dirinyalah orang yang paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang
mengagungkan beliau, barangsiapa yang tidak berbuat sama seperti mereka maka dia adalah
orang yang membenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau menuduhnya dengan
sebutan-sebutan jelek lainnya yang biasa mereka pergunakan terhadap orang yang menolak
bid'ah mereka.
Aneh, bahwa orang-orang semacam ini mengatakan : "Kamilah yang mengagungkan Allah dan
Rasul-Nya". Padahal dengan bid'ah yang mereka perbuat itu, mereka sebenarnya telah bertindak
lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta'ala telah berfirman.
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [AlHujuraat : 1]
Pembaca Yang Budiman.
Disini penulis mau bertanya, dan mohon -demi Allah- agar jawaban yang anda berikan berasal
dari hati nurani bukan secara emosional, jawab yang sesuai dengan tuntunan agama anda, bukan
karena taklid (ikut-ikutan).
Apa pendapat anda terhadap mereka yang melakukan bid'ah dalam agama Allah, baik yang
berkenan dengan dzat, sifat dan asma' Allah Subhanahu wa Ta'ala atau yang berkenan dengan
pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian mengatakan : "Kamilah yang
mengagungkan Allah dan Rasulullah ?".
Apakah mereka ini yang lebih berhak disebut sebagai pengagung Allah dan Rasulullah, ataukah
orang-orang yang mereka itu tidak menyimpang seujung jaripun dari syari'at Allah, yang
berkata : "Kami beriman kepada syari'at Allah yang dibawa Nabi, kami mempercayai apa yang
diberitakan, kami patuh dan tunduk terhadap perintah dan larangan ; kami menolak apa yang
tidak ada dalam syari'at, tak patut kami berbuat lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya atau
mengatakan dalam agama Allah apa yang tidak termasuk ajarannya ?".

Siapakah, menurut anda, yang lebih berhak untuk disebut sebagai orang yang mencintai serta
mengagungkan Allah dan Rasul-Nya .?
Jelas golongan yang kedua, yaitu mereka yang berkata : "Kami mengimani dan mempercayai apa
yang diberitakan kepada kami, patuh dan tunduk terhadap apa yang diperintahkan ; kami
menolak apa yang tidak diperintahkan, dan tak patut kami mengada-adakan dalam syari'at Allah
atau melakukan bid'ah dalam agama Allah". Tak syak lagi bahwa mereka inilah orang-orang
yang tahu diri dan tahu kedudukan Khaliqnya. Merekalah yang mengagungkan Allah dan RasulNya, dan merekalah yang menunjukkan kebenaran kecintaan mereka kepada Allah dan RasulNya.
Bukan golongan pertama, yang melakukan bid'ah dalam agama Allah, dalam hal akidah, ucapan,
atau perbuatan. Padahal, anehnya, mereka mengerti sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa
sallam.
"Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru adalah bid'ah, setiap bid'ah
adalah kesesatan, dan setiap kesesatan masuk dalam neraka".
Sabda beliau : "setiap bid'ah " bersifat umum dan menyeluruh, dan mereka mengetahui hal itu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyampaikan maklumat umum ini, tahu akan
konotasi apa yang disampaikannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang
paling fasih, paling tulus terhadap umatnya, tidak mengatakan kecuali apa yang dipahami
maknanya, Maka ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Kullu bid'atin dhalalah",
Beliau menyadari apa yang diucapkan, mengerti betul akan maknanya, dan ucapan ini timbul
dari beliau karena beliau benar-benar tulus terhadap umatnya.
Apabila suatu perkataan memenuhi ketiga unsur ini, yaitu : diucapkan dengan penuh ketulusan,
penuh kefasihan dan penuh pengertian, maka perkataan tersebut tidak mempunyai konotasi lain
kecuali makna yang dikandungnya.
Dengan pernyataan umum tadi, benarkah bahwa bid'ah dapat kita bagi menjadi tiga bagian, atau
lima bagian ?
Sama sekali tidak benar. Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa ada bid'ah
hasanah, maka pendapat tersebut tidak lepas dari dua hal.
Pertama : kemungkinan tidak termasuk bid'ah tapi dianggapnya sebagai bid'ah.
Kedua : kemungkinan termasuk bid'ah, yang tentu saja sayyi'ah (buruk), tetapi dia tidak
mengetahui keburukannya.
Jadi setiap perkara yang dianggapnya sebagai bid'ah hasanah, maka Jawabannya adalah demikian
tadi.
Dengan demikian, tak ada jalan lagi bagi ahli bid'ah untuk menjadikan sesuatu bid'ah mereka

sebagai bid'ah hasanah, karena kita telah mempunyai senjata ampuh dari Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, yaitu :
"Artinya : Setiap bid'ah adalah kesesatan"
Senjata itu bukan dibuat di sembarang pabrik, melainkan datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan dibuat sedemikian sempurna. Maka barangsiapa yang memegang senjata ini tidak
akan dapat dilawan oleh siapapun dengan bid'ah yang dikatakannya sebagai hasanah, sementara
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyatakan : "Setiap bid'ah adalah kesesatan".
[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia
Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin,
penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=982&bagian=0

SYARAT YANG HARUS DIPENUHI DALAM IBADAH


Oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin

Perlu diketahui bahwa mutaba'ah (mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak akan
tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara.
Pertama : Sebab.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan,
maka ibadah tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh : Ada orang yang
melakukan shalat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam
itu adalah malam Mi'raj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit).
Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid'ah.
Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari'at. Syarat ini -yaitu :
ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam sebab - adalah penting, karena dengan demikian dapat

diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah
bid'ah.
Kedua : Jenis.
Artinya : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima.
Contoh : Seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi
ketentuan syari'at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.
Ketiga : Kadar (Bilangan).
Kalau seseorang yang menambah bilangan raka'at suatu shalat, yang menurutnya hal itu
diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan
ketentuan syari'at dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima
raka'at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.
Keempat : Kaifiyah (Cara).
Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah
wudhunya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari'at.
Kelima : Waktu.
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah,
maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.
Saya pernah mendengar bahwa ada orang bertaqarub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan
menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid'ah, karena tidak ada sembelihan yang
ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai kurban, denda haji dan akikah. Adapun
menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i'tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut
sebagaimana dalam Idul Adha adalah bid'ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan
dagingnya, boleh saja.
Keenam : Tempat.
Andaikata ada orang beri'tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i'tikafnya. Sebab tempat
i'tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri'tikaf di dalam
mushalla di rumahnya, maka tidak sah i'tikafnya, karena tempat melakukannya tidak sesuai
dengan ketentuan syari'at, Contoh lainnya : Seseorang yang melakukan thawaf di luar Masjid
Haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, tahawafnya tidak sah, karena tempat
melakukan thawaf adalah dalam Baitullah tersebut, sebagaimana firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf". [Al-Hajj : 26].
Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwa ibadah seseorang tidak termasuk amal shaleh kecuali
apabila memenuhi dua syarat, yaitu :

Pertama : Ikhlas
Kedua : Mutaba'ah.
Dan Mutaba'ah tidak akan tercapai kecuali dengan enam perkara yang telah diuraikan tadi.

[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia
Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin,
penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1192&bagian=0

PENGERTIAN BID'AH MACAM-MACAM BID'AH DAN HUKUM-HUKUMNYA


Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

PENGERTIAN BID'AH
Bid'ah menurut bahasa, diambil dari bida' yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh.
Sebelumnya Allah berfirman.
Badiiu' as-samaawaati wal ardli
"Artinya : Allah pencipta langit dan bumi" [Al-Baqarah : 117]
Artinya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman Allah.
Qul maa kuntu bid'an min ar-rusuli
"Artinya : Katakanlah : 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul". [Al-Ahqaf : 9].
Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah
Ta'ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah
mendahuluiku.
Dan dikatakan juga : "Fulan mengada-adakan bid'ah", maksudnya : memulai satu cara yang
belum ada sebelumnya.
Dan perbuatan bid'ah itu ada dua bagian :
[1] Perbuatan bid'ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-penemuan baru
dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai
macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat
(kebiasaan) adalah mubah.
[2] Perbuatan bid'ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu
adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan
kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)". Dan di
dalam riwayat lain disebutkan : "Artinya : Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan

didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak".


MACAM-MACAM BID'AH
Bid'ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :
[1] Bid'ah qauliyah 'itiqadiyah : Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapanucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompokkelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.
[2] Bid'ah fil ibadah : Bid'ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang
tidak disyari'atkan oleh Allah : dan bid'ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :
[a]. Bid'ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah
yang tidak ada dasarnya dalam syari'at Allah Ta'ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak
disyari'atkan, shiyam yang tidak disyari'atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak
disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.
[b]. Bid'ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti
menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.
[c]. Bid'ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya
tidak disyari'atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama'ah dan
suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar
dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
[d]. Bid'ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari'atkan, tapi tidak dikhususkan
oleh syari'at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya'ban (tanggal 15 bulan
Sya'ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di
syari'atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.
HUKUM BID'AH DALAM AD-DIEN
Segala bentuk bid'ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
"Artinya : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena
sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat". [Hadits
Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
"Artinya : Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya
tertolak".
Dan dalam riwayat lain disebutkan :

"Artinya : Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka
amalannya tertolak".
Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam)
adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat dan tertolak.
Artinya bahwa bid'ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.
Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid'ahnya, ada diantaranya yang
menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri
kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan
itu, berdo'a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya. Begitu juga
bid'ah seperti bid'ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan
Jahmiyah dan Mu'tazilah. Ada juga bid'ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti
membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo'a disisinya. Ada juga bid'ah yang merupakan
fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid'ah Khawarij, Qadariyah dan Murji'ah dalam
perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid'ah yang
merupakan maksiat seperti bid'ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga
memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima' (bersetubuh).
Catatan :
Orang yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah syayyiah (jelek) adalah
salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Artinya : Sesungguhnya
setiap bentuk bid'ah adalah sesat".
Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid'ah itu
adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid'ah) mengatakan tidak setiap bid'ah itu sesat, tapi
ada bid'ah yang baik !
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitabnya "Syarh Arba'in" mengenai sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah sesat", merupakan (perkataan yang
mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut dan itu
merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang senada dengan sabdanya : "Artinya : Barangsiapa
mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak". Jadi setiap
orang yang mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada
dasarnya dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri
darinya ; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir
maupun batin.
Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa bid'ah itu ada yang
baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu 'anhu pada shalat Tarawih : "Sebaik-baik
bid'ah adalah ini", juga mereka berkata : "Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)",
yang tidak diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur'an menjadi satu kitab, juga
penulisan hadits dan penyusunannya".

Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa sesungguhnya masalah-masalah ini ada
rujukannya dalam syari'at, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar Radhiyallahu 'anhu :
"Sebaik-baik bid'ah adalah ini", maksudnya adalah bid'ah menurut bahasa dan bukan bid'ah
menurut syariat. Apa saja yang ada dalilnya dalam syariat sebagai rujukannya jika dikatakan "itu
bid'ah" maksudnya adalah bid'ah menurut arti bahasa bukan menurut syari'at, karena bid'ah
menurut syariat itu tidak ada dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya.
Dan pengumpulan Al-Qur'an dalam satu kitab, ada rujukannya dalam syariat karena Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-Qur'an, tapi penulisannya masih
terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para sahabat Radhiyallahu anhum pada satu mushaf
(menjadi satu mushaf) untuk menjaga keutuhannya.
Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat secara berjama'ah
bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak bersama mereka (sahabat)
khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para sahabat terus sahalat Tarawih secara
berkelompok-kelompok di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup juga
setelah wafat beliau sampai sahabat Umar Radhiyallahu 'anhu menjadikan mereka satu jama'ah
di belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan hal ini
bukan merupakan bid'ah dalam Ad-Dien.
Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam syariat. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadist kepada sebagian
sahabat karena ada permintaan kepada beliau dan yang dikhawatirkan pada penulisan hadits
masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara umum adalah ditakutkan tercampur dengan
penulisan Al-Qur'an. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah
kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur'an sudah sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan
hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya
tidak hilang ; semoga Allah Ta'ala memberi balasan yang baik kepada mereka semua, karena
mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka Shallallahu 'alaihi wa sallam agar
tidak kehilangan dan tidak rancu akibat ulah perbuatan orang-orang yang selalu tidak
bertanggung jawab.
[Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus Dimusuhi
oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan
Solo, hal 47-55, penerjemah Endang Saefuddin.]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=439&bagian=0

PENGERTIAN BIDAH MENURUT SYARIAT

Oleh
Muhammad bin Husain Al-Jizani
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]

Banyak sekali hadits-hadits nabawi yang mengisyaratkan makna syar'i dari kata bid'ah, di
antaranya:
[1]. Hadits Al Irbadh Ibnu Sariyah, di dalam hadits ini ada perkataan Nabi Shalallahu 'Alaihi
Wasallam:
"Jauhilah hal-hal yang baru (muhdatsat), karena setiap yang baru itu adalah bid'ah dan setiap
bid'ah itu sesat." [Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan teksnya milik Abu Dawud
4/201 no. 4608, Rmu Majah 1/15 No. 42, At-Tirmidzi 5/44 no. 2676 dan beliau berkata bahwa
ini hadits hasan shahih dan hadits ini dishahihkan oleh Al Albaniy dalam Dhilaalul Jannah fii
Takhriijissunnah karya lbnu Abi Ashim: no. 27]
[2]. Hadits Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam pernah berkata dalam
khuthbahnya:
"Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebagus-bagusnya tuntunan adalah
tuntunan Mnbammad dan urusan yang paling jelek adalah sesuatu yang diada-adakan (dalam
agama) dan setiap yang diada-adakan (dalam agama) itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat
dan setap kesesatan itu (tempatnya) di neraka." [Dikeluarkan dengan lafadz ini oleh An- Nasa'i
dalam As-Sunan 3/188 dan asal hadits dalam Shahih Muslim 3/153. Untuk menambah wawasan
coba lihat kitab Khutbat Al-Haajah, karya Al-Albany]
Dan jika telah jelas dengan kedua hadits ini, bahwa bid'ah itu adalah al-mubdatsah (sesuatu yang
diada-adakan dalam agama), maka hal ini menuntut (kita) untuk meneliti makna ibda' (mengadaadakan dalam agama) di dalam sunnah, dan ini akan dijelaskan dalam hadits-badits berikut:
[3]. Hadits Aisyah Radhiyallahu 'Anha. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Barangsiapa mengada-ada (sesuatu) dalam urusan (agama) kami ini, padahal bukan termasuk
bagian di dalamnya, maka dia itu tertolak." [Hadits Riwayat Al-Bukhari 5/301 no. 2697, Muslim
12/61 dan lafadz ini milik Muslim]

[4]. Dalam Riwayat Lain:


"Barangsiapa mengamalkan amalan yang tidak ada dasarnya dalam urusan(agama) kami, maka
dia akan tertolak." [Hadits Riwayat. Muslim 12/16]
Keempat hadits di atas, jika diteliti secara seksama, maka kita akan mendapatkan bahwa
semuanya menunjukkan batasan dan hakikat bid'ah menurut syari'at. Maka dari itu bid'ah
syar'iyyah memiliki tiga batasan (syarat) yang khusus. Dan sesuatu tidak bisa dikatakan bid'ah
menurut syari'at, kecuali jika memenuhi tiga syarat, yaitu:
[a]. Al-Ihdaats (mengada-adakan)
[b]. Mengada-adakan ini disandarkan kepada agama
[c]. Hal yang diada-adakan ini tidak berpijak pada dasar syari'at, baik secara khusus maupun
umum.

[Disalin dari kitab Qawaaid Marifat Al-Bida, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani,
edisi Indonesia Kaidah Memahami Bidah, Pustaka Azzam]
PENGERTIAN BIDAH MENURUT SYARIAT

Oleh
Muhammad bin Husain Al-Jizani
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan [2/3]

[A]. Al-Ihdats (Mengada-ada) Sesuatu yang Baru


Dalil syarat ini adalah sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam
"Artinya : Barang siapa mengada-ada (sesuatu yang baru)."
Dan sabdanya:
"Artinya : Dan setiap yang diada-adakan itu adalah bid'ah."
Jadi yang dimaksud al-ihdaats adalah mendatangkan sesuatu yang baru, dibuatbuat, dan tidak ada contoh sebelumnya. [1]
Maka masuk di dalamnya: segala sesuatu yang diada-adakan, baik yang
tercela maupun yang terpuji, baik dalam agama atau bukan.

Dan dengan batasan ini maka yang tidak diada-adakan tidak dapat disebut bid'ah
misalnya melaksanakan semua syi'ar agama seperti shalat fardlu, puasa ramadlan,
dan melakukan hal-hal yang sifatnya duniawi seperti makan, pakaian dan lain-lain.
Karena hal yang baru itu bisa terjadi dalam urusan duniawi dan urusan agama
(dien) untuk itu perlu adanya pembatasan dalam dua batasan berikut ini:

[B]. Sesuatu Yang Baru Itu Disandarkan Kepada Agama


Dalil batasan ini adalah sabda Rasuhdlah Shalallahu 'Alaihi Wasallam:
"Artinya : Dalam urusan (agama) kami ini."
Dan yang dimaksud dengan urusan nabi di sini adalah agama dan syari'atnya.
[Lihat Jami'ul Uluum wal Hikam 1/177]
Maka makna yang dimaksud dalam bid'ah itu adalah bahwa sesuatu yang baru itu
disandarkan kepada syari'at dan dihubungkan dengan agama dalam satu sisi dari
sisi-sisi yang ada, dan makna ini bisa tercapai bila mengandung salah satu dari tiga
unsur berikut ini:
Pertama : Mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari'atkan.
Kedua : Keluar menentang (aturan) agama.
Ketiga : Yaitu hal-hal yang bisa menggiring kepada bid'ah.
Dengan batasan (syarat) yang ke dua ini, maka hal-hal yang baru dalam masalahmasalah materi dan urusan-urusan dunia tidak termasuk dalam pengertian bid'ah,
begitu juga perbuatan-perbuatan maksiat dan kemungkaran yang baru, yang belum
pernah terjadi pada masa dahulu, semua itu bukan termasuk bid'ah, kecuali jika halhal itu dilakukan dengan cara yang menyerupai taqarrub (kepada Allah) atau ketika
melakukannya bisa menyebabkan adanya anggapan bahwa hal itu termasuk bagian
agama.
[C]. Hal Yang Baru Ini Tidak Berlandaskan Syari'at, Baik Secara Khusus
Maupun Umum.
Dalil batasan (syarat) ini adalah sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
Wasallam:
"Artinya : Sesuatu yang bukan darinya."
Dan sabdanya:
"Artinya : Yang tidak ada dasarnya dalam urusan kami."

Dengan batasan ini, maka keluar dari pengertian bid'ah hal-hal baru yang
berhubungan dengan agama, tapi mempunyai landasan syar'i yang umum ataupun
khusus.
Di antara sesuatu yang baru dalam agama ini tapi masih berlandaskan pada dalil
syar'i yang umum adalah hal-hal yang ditetapkan melalui al-mashalih al-mursalah,
seperti pengumpulan Al Qur'an oleh para sahabat, adapun contoh yang khusus
adalah pelaksanaan shalat tarawih secara berjama'ah pada zaman Umar bin
Khaththab.
Dengan melihat makna lughawi (bahasa) untuk kata al-ihdats, maka hal-hal yang
berlandaskan kepada dalil syar'i dapat dinamakan muhdatsat, karena hal-hal syar'i
ini dilakukan kedua kalinya setelah ditinggalkan dan dilupakan (orang), ini adalah
ihdats nisbiy (pengada-adaan yang relatif).
Sudah dimaklumi bahwa setiap hal yang baru keabsahannya telah ditunjukan oleh
dalil syar'i, maka hal ini tidak dinamakan -dalam kacamata syariat- sebagai bentuk
ibtida' (mendatangkan bid'ah), karena ibtida' menurut pandangan syariat- hanya
dikaitkan dengan sesuatu yang tidak mempunyai dalil.
Supaya lebih jelas dan lebih yakin tentang tiga batasan itu, berikut kita simak
ungkapan para ulama berikut ini:
Ibnu Rajab berkata: "Setiap orang yang mengada-ada sesuatu yang baru dan
menisbatkannya kepada agama, padahal tidak ada landasan yang bisa dijadikan
rujukan, maka hal semacam ini adalah sesat dan agama lepas
darinya." [Jamiul Ulum wal Hikam 2/128]
Beliau juga berkata : "Dan yang dimaksud dengan bid'ah adalah sesuatu yaug
diada-ada yang sama sekali tidak mempunyai dasar tujukan dalam syariat.
Adapun sesuatu yang mempunyai dasar rujukan dari syariat, maka tidak dinamai
bid'ah, meskipun secara bahasa masih dikatakan bid'ah." [Jamiul Ulum wal Hikam
2/128]
Ibnu Hajar berkata: "Dan yang dimaksud sabda nabi "Setiap bid'ah itu adalah
sesat", yaitu sesuatu yang diada-adakan, sedangkan dia tidak mempunyai dalil
syar'i, baik dalil khusus maupun umum." [Fathul Bari 13/253]
Beliau juga berkata: "Dan hadits ini (yaitu hadits : Barangsiapa mengada-ada
sesuatu dalam urusan agama kami ini yang padahal bukan termasuk bagian di
dalamnya, maka di tertolak) termasuk kaidah yang utama dalam agama Islam,
karena sesungguhnya orang yang mendatangkan sesuatu yang baru dalam agama
ini, padahal tidak termasuk dalam salah satu pokok (ajaran Islam), maka dia akan
tertolak." [Fathul Bari 5/302, lihat juga Ma'arijul Qabuul 2/426 dan Syarhu Lu'matul
I'tiqad 23]

Definisi Bid'ah dalam Syari'at


Dari uraian di atas, maka kita bisa menentukan pengertian bid'ah secara syari'at,
yaitu hal-hal yang memenuhi tiga batasan di atas, oleh sebab itu definisi bid'ab
syar'iyyah secara komprehensif adalah:
"Setiap hal yang diada-ada dalam agama Allah yang sama sekali tidak mempunyai
landasan dalil, baik dalil yang umum ataupun yang khusus."
Atau dengan ungkapan yang lebih ringkas:
"Setiap hal yang diada-ada dalam agama Allah tanpa landasan dalil."

Perayaan Hari Kelahiran Nabi [Maulid Nabi]

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin : Apa hukum perayaan hari kelahiran Nabi?
Jawaban
Pertama: Malam kelahiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti,
tapi sebagian ulama kontemporer memastikan bahwa itu pada malam kesembilan Rabi'ul Awal,
bukan malam kedua belasnya. Kalau demikian, perayaan pada malam kedua belas tidak benar
menurut sejarah.
Kedua: Dipandang dari segi syari'at, perayaan itu tidak ada asalnya. Seandainya itu termasuk
syari'at Allah, tentu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukannya dan telah
menyampaikan kepada umatnya, dan seandainya beliau melakukannya dan menyampaikannya,
tentulah syari'at ini akan terpelihara, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman,
"Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benarbenar memeliharanya" [Al-Hijr : 9].

Karena tidak demikian, maka diketahui bahwa perayaan itu bukan dari agama Allah, dan jika
bukan dari agama Allah, maka tidak boleh kita beribadah dengannya kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala dan mendekatkan diri kepadaNya dengan itu. Untuk beribadah dan mendekatkan diri
kepada Allah, Allah telah menetapkan cara tertentu untuk mencapainya, yaitu yang diajarkan
oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bagaimana mungkin kita, sebagai hamba biasa,
mesti membuat cara sendiri yang berasal dari diri kita untuk mengantarkan kita mencapainya?
Sungguh perbuatan ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Subhanahu wa Ta'ala karena kita
melaksanakan sesuatu dalam agamaNya yang tidak berasal dariNya, lain dari itu, perbuatan ini
berarti mendustakan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmatKu" [Al-Ma'idah : 3]
Kami katakan: Perayaan ini, jika memang termasuk kesempurnaan agama, mestinya telah ada
semenjak sebelum wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan jika tidak termasuk
kesempurnaan agama, maka tidak mungkin termasuk agama, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah berfirman,.
"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu." [Al-Ma'idah :3]
Orang yang mengklaim bahwa ini termasuk kesempurnaan agama dan diadakan setelah wafatnya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ucapannya mengandung pendustaan terhadap ayat
yang mulia tadi. Tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang menyelenggarakan perayaan hari
kelahiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah hendak mengagungkan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menunjukkan kecintaan terhadap beliau serta membangkitkan
semangat yang ada pada mereka. Semua ini termasuk ibadah, mencintai Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam juga merupakan ibadah, bahkan tidak sempurna keimanan seseorang sehingga
menjadikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih dicintai daripada dirinya sendiri,
anaknya, orang tuanya dan manusia lainnya.
Mengagungkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga termasuk ibadah. Demikian juga
kecenderungan terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk bagian dari agama karena
mengandung kecenderungan terhadap syari'atnya. Jadi, perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan RasulNya merupakan
ibadah. Karena ini merupakan ibadah, sementara ibadah itu sama sekali tidak boleh dilakukan
sesuatu yang baru dalam agama Allah yang tidak berasal darinya, maka perayaan hari kelahiran
ini bid'ah dan haram.
Kemudian dari itu, kami juga mendengar, bahwa dalam perayaan ini terdapat kemungkarankemungkaran besar yang tidak diakui syari'at, naluri dan akal, di mana para pelakunya
mendendangkan qasidah-qasidah yang mengandung ghuluw (berlebih-lebihan) dalam
mengagungkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sampai-sampai memposisikan beliau

lebih utama daripada Allah. Na'udzu billah. Di antaranya pula, kami mendengar dari kebodohan
para pelakunya, ketika dibacakan kisah kelahiran beliau, lalu bacaannya itu sampai pada kalimat
'wulida al-musthafa mereka semuanya berdiri dengan satu kaki, mereka berujar bahwa ruh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hadir di situ maka kami berdiri untuk memuliakannya.
Sungguh ini suatu kebodohan. Kemudian dari itu, berdirinya mereka itu tidak termasuk adab,
karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri tidak menyukai orang berdiri untuknya.
Para sahabat beliau merupakan orang-orang yang paling mencintai dan memuliakan beliau, tidak
per-nah berdiri untuk beliau, karena mereka tahu bahwa beliau tidak menyukainya, padahal saat
itu beliau masih hidup. Bagaimana bisa kini khayalan-khalayan mereka seperti itu?
[Majalah Al-Mujahid, edisi 22, Syaikh Ibnu Utsaimin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syariyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama
Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]

HUKUM PERKAWINAN DENGAN AHLUL BID'AH

Oleh
Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]

Pernikahan dengan Ahlul Bidah terlarang secara global menurut Ahlus Sunnah wal
Jamaah, karena akan memberi dampak negatif yang besar, dan bertentangan
dengan hal-hal yang disepakati dalam syariat, yaitu: tidak ber-wala (loyalitas), tidak
mencintai mereka (Ahlul Bidah), wajib mengisolir mereka, dan menjauhi mereka
(Penguraian masalah ini akan dijelaskan dengan membawakan riwayat-riwayat yang
menunjukan hal itu, yaitu ucapan-ucapan para Salaf dan contoh-contoh sebagian
kerusakan yang ditimbulkan karena pernikahan dengan Ahlul Bidah.)
Hukumnya haram mengadakan pernikahan dengan mereka dan menikahi wanitawanita mereka. Tentang hukum kepastian rusak dan sahnya akad-akad pernikahan
mereka dengan Ahlus Sunnah tergantung dengan jauh dekatnya mereka terhadap
agama. Oleh karena itu hukum terhadap mubtadi (Ahlul Bidah, yaitu orang yang
mengada-adakan atau menambahi dalam perkara agama yang tidak ada contoh

dari Rasulullah, ed.) yang telah sampai ke derajat kufur disebabkan karena
kebidahannya tidaklah sama terhadap orang yang kebidahannya belum sampai ke
derajat kufur, sebagaimana juga berbedanya hukum pernikahan mereka dengan
wanita-wanita Ahlus Sunnah dan pernikahan Ahlus Sunnah dengan para wanita
mereka di sebagian keadaan.
Berikut ini perincian hukum tentang masalah di atas menurut keadaan yang
disebutkan tadi:
Adapun hukum pernikahan Ahlul Bidah yang telah dihukumi dengan kekafiran
adalah haram secara mutlak. Ini disebabkan kekufuran dan kemurtadan mereka dari
agama.
Adapun jika si mubtadi tidak kafir, maka yang menjadi masalah dalam
pernikahannya dengan wanita Ahlus Sunnah yaitu berkaitan dengan masalah
sekufu dalam pernikahan. Hal itu teranggap berkaitan dalam sahnya pernikahan
atau tidak? Tempat pembahasan hal ini dengan luas ada dalam kitab-kitab fiqih.
Saya di sini hanya menyebutkan ucapan-ucapan para ulama tentang masalah ini
menurut bentuk yang global, agar semakin terang dalam hukum pernikahan
mubtadi tadi.
Global pendapat dalam masalah ini adalah bahwa para ulama berselisih tentang
persyaratan "kufu" dalam pernikahan. Sebagian mereka berpendapat bahwa
persyaratan kufu bukan syarat kesahan pernikahan dan juga bukan keharusan
pernikahan. Itu diriwayatkan oleh Al-Hasan Basyri dan Sufyan Ats-Tsauri, dan
demikian juga pendapat Al-Khurkhi dari kalangan Hanafiyah.
Dan jumhur para ulama, di antaranya tokoh empat madzhab, berpendapat bahwa
kufu adalah syarat keharusan pernikahan dan syarat kesahan pernikahan. Bila
seorang wanita menikah tanpa sekufu, maka akad tersebut benar. Para walinya
memiliki hak untuk menolak sang pria dan menuntut fasakh-nya untuk menolak
bahaya-bahaya yang memalukan dari diri-diri mereka. Jika mereka menggugurkan
hak mereka dalam menolak, maka itu boleh. Demikian juga kalau sang wali
menikahkan maula wanitanya tanpa sekufu, maka wanita tersebut memiliki hak
untuk menolak dan membatalkan akad, kecuali kalau dia (si wanita) tidak mau
menggunakan haknya, maka boleh.
Masalah sekufu dalam pernikahan adalah hak bagi sang wanita dan walinya. Hakini
tetap berlaku bagi keduanya menurut persetujuan, yakni kalau salah
satunyamenggugurkan haknya, tidak bisa yang lain ikut gugur kecuali bila dia juga
menggugurkan. Kalau keduanya sepakat untuk menggugurkan hak ini, akad bisa
dilaksanakan.Ini berbeda bila kufu adalah syarat dalam kesahan akad, maka akad
pernikahan tanpa sekufu tidak sah, hingga kalau para wali dan sang wanita
menggugurkan hak mereka untuk menolak. Sebab, syarat sah tidak bisa gugur
dengan digugurkan oleh pemiliknya. Inilah perbedaan antara syarat yang mesti dan
syarat sah. [Lihat Syarh Fathul Qadir, Ibnul Hamman 2/417, Syarh Al-Kabir, Ahmad
Ad-Darrudir dengan Hasyiyah Ad-Dasiki 2/249, Mughnil Muhtaj, Muhammad AsySyarbini 3/249, Raudlatuth Thalibin, An-Nawawi 7/84, Kasyful Qana, Al-Bahuti 5/72

dan Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Az-Zuhaili 7/234]


Kemudian -setelah mereka sepakat untuk menganggap kufu adalah syarat
keharusan nikah- jumhur berselisih dalam keberbilangan bagian yang dianggap
dalam kekufuan. Kita bukan merinci perbedaan mereka dalam hal itu karena tidak
ada keterkaitannya dengan tema kita. Yang kita maukan di sini adalah menganggap
"keagamaan" termasuk bagian kufu dalam pernikahan. Inilah yang menjadi tempat
ijma mayoritas fuqaha yang telah disampaikan tadi, kecuali Muhammad bin AlHasan (Lihat Syarh Fathul Qadir, Ibnul hamman 2/422, Taqrirat) dari Hanafiyah,
karena beliau tidak menganggap kekufuan dalam masalah agama. Beliau berkata,
"Karena ini masalah akhirat sedangkan kufu termasuk hukum-hukum dunia."
[Badaiush Shanai, Al-Kasani 2/320, Syarh Fathul Qadir, Ibnu Hamman 2/423]
Perlu diperingatkan, yang dimaksud dengan "keagamaan" di sini adalah
sebagaimana yang ditafsirkan para ulama dengan "takwa dan wara", yaitu sang
pria bukan seorang yang fasik dan mubtadi (Syaikh Maa Ulaisy terhadap AsySyarhul Kabir yang dicetak dengan footnote Ad-Dasuqi 2.249.). Bukanlah yang
dimaksudkan dengan "keagamaan" adalah beragama Islam, karena agama Islam
syarat kesahan akad menurut ijma, dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi,
sebagaimana telah lalu keterangannya di awal pasal.
Inilah ucapan-ucapan para fuqaha dalam menganggap permasalahan kufu dalam
keagamaan, sebagaimana dinukil oleh para peneliti empat madzhab:
Dari Madzhab Hanafi:
Penulis kitab Badaiush Shanai berkata di bawah judul "Hal yang dianggap
termasuk kekufuan": "Di antaranya: Agama. Menurut pendapat Abu Hanifah dan
Abu Yusuf, hingga kalau seorang wanita yang termasuk anak-anak para orang shalih
bila menikahkan dirinya kepada seorang pria fasik, maka para walinya berhak untuk
menolak, sebab membanggakan diri dengan agama lebih pantas daripada
berbangga dengan keturunan, status orang merdeka dan harta. Penjelekan akibat
kefasikan lebih jelek dari berbagai kejelekan-kejelekan yang ada." [Badaiush
Shanai, Al-Kasani 2/320]
Itu juga dinukil dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf Burhanuddin Al-Marghinani,( Dia
adalah Ali bin Abu Bakar bin Abdul Jalil Al-Farghani Al-Marghinani, pengarang AlHidayah. Dia seorang Imam, faqih, hafidz, muhaddits (ahli hadits), ahli tafsir lagi
pengumpul ilmu. Wafat tahun 593 H. Lihat Al-Fawaid Al-Bahiyyah dalam Tarajimul
Hanafiyah, Al-Kinani hal. 141). pengarang Al-Hidayah, dia berkata, "Dan itu benar
(Al-Hidayah dengan Syarh Fathul Qadir 2/422.) yaitu: Termasuk madzhab keduanya
menurut yang diterangkan Ibnu Hamman dalam Syarh Fathul Qadir." [Syarh Fathul
Qadir 2/422]
Sebagaimana masing-masing, tiga para peneliti menyetujui pendapat Abu Hanifah
dan Abu Yusuf dalam konteks ucapan mereka.

[Diambil dari kitab "Mauqif Ahlus Sunnah wal Jamaah min Ahlul Ahwa wal Bida "
cetakan Maktabah Al-Ghuroba Al-Atsariah jilid I hal 373-388]
[Hukum Perkawinan Dengan Ahlul Bid'ah, Penulis Syaikh DR Ibrahim bin Amir ArRuhaili, Penerjemah Muhammad Ali Ismah Al-Medany, Penerbit Pustaka Al-Ghuraba'
Press, hal 13-25]
Dari Madzhab Malik:
Ahmad Ad-Darudir, (Dia Abul Barakat Ahmad bin Asy-Syaikh Ash-Shalih Muhammad
Al-Adawi, Al-Anshari, Al-Khalwati yang terkenal dengan Ad-Darudir, Syaikh
penduduk Mesir di masanya. Beliau seorang yang beramar maruf dan nahi munkar.
Wafat 1201 H. Lihat Syajaratun Nur Az-Zakiyah 1/359.) penulis Asy-Syarhul Kabir,
"Kekufuan adalah agama dan keadaan, dan baginya dan wali boleh
meninggalkannya."( Asy-Syarhul Kabir dengan Hasyiyah Ad-Dasuqi 2/249.) AdDasuqi (Dia Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi Al-Maliki, dari daerah
Dasuq, Mesir. Beliau termasuk pengajar di Al-Azhar. Dia belajar dan tinggal serta
wafat di Kairo. Wafat tahun 1230 H. Lihat Al-Alam Az-Zarkali 6/17.) menyetujui itu
dalam Hasyiyah-nya terhadap Asy-Syarh [Lihat Hasyiyah Ad-Dasuqi ala Asy-Syarhul
Kabir 2/249). Dan demikian Syaikh Muhammad Ulaisy dalam Taqrirat-nya [Lihat
Taqriqat Muhammad Ulaisy ala Asy-Syarhul Kabir 2/249]
Dari Madzhab Syafii:
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syirazi,( Dia Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf AsySyirazi, Al-Fairuz Abadi, orang yang diberi julukan Jamaluddin, tinggal di Baghdad
dan ber-tafaqquh (mendalami) sekelompok orang tertentu. Menulis beberapa tulisan
yang berguna dari kitab Muhadzdzab, Tanbih, Luma dan lain-lain. Lihat Fawayantul
Ayan 1/29). pengarang Muhadzdzab, "Kekufuan adalah pria fasik tidak dianggap
sekufu dengan wanita yang terhormat." (Juz 2/50).
Imam An-Nawawi berkata ketika memaparkan jumlah bagian masalah kufu, "Dan
juga iffah (kehormatan), maka seorang yang fasik tidak sekufu dengan wanita
yang afifah (terhormat)." [Al-Minhaj maa Mughnil Muhtaj 3/166]
Muhammad Asy-Syarbini (Dia Muhammad bin Muhammad Asy-Syarbini, Al-Qahiri,
Asy-Syafii, Al-Khatib Al-Imam Al-Allamah. Ijma orang-orang Mesir atas
keshalihannya dan ahli-ahli ilmu mensifati beliau orang yang berilmu dan beramal,
zuhud dan wara. Dia men-syarah kitab Al-Minhaj dan Tanbih dengan dua syarh
yang besar. Wafat tahun 977 H. Lihat Syadzaratul Dzahab 8/384) berkata,
"Keempat: Al-Iffah. Yaitu agama, keshalihan,dan mampu menahan diri dari hal-hal
yang tidak dihalalkan. Maka, seorang pria yang fasik tidak sekufu dengan wanita
yang memiliki iffah, karena adanya dalil yang menunjukkan tidak samanya
Beliau berkata, "(Pernikahan) seorang pria mubtadi dengan wanita Sunni sama
seperti (pernikahan) pria fasik dengan wanita yang memiliki iffah." [Mughnil Muhtaj
3/166]
Dari Madzhab Hambali:
Ibnu Qudamah berkata dalam Syarh-nya terhadap ucapan Al-Khurqi,22 "Dan
kekufuan: Yang memiliki kebaikan agama dan kedudukan

" Riwayat tentang pendapat Imam Ahmad tentang syarat kekufuan berbeda-beda.
Beliau memiliki dua syarat: kebaikan agama dan kedudukan. Itu saja. Dan, juga ada
yang meriwayatkan dari beliau lima hal, dua di antaranya yang tadi, ditambah
dengan status sebagai orang merdeka, pekerjaan dan harta. Beliau berkata tentang
dianggapnya agama sebagai kekufuan adalah berdalil dengan ayat:
"Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak
sama." [As-Sajdah: 18]
Seorang fasik itu terhina, tertolak kesaksiannya dan ceritanya, tidak bisa dipercaya
mengurus orang dan harta, gugur kewaliannya, rendah di sisi Allah dan di sisi
makhluk-Nya, serta miskin di dunia dan akhirat. Maka, dia tidak boleh sekufu
dengan wanita yang menjaga kehormatannya. Pria itu tidak sama dengannya, tapi
sekufu dengan wanita sejenisnya." (Al-Mughni 9/391).
Dengan pemaparan pendapat-pendapat para ulama tentang masalah kekufuan
dalam pernikahan maka tetaplah, bahwa: kekufuan dalam pernikahan merupakan
syarat keharusan pernikahan, sebagaimana disepakati jumhur para ulama dari
tokoh empat madzhab. Tidak ada yang menyelisihi dalam hal itu kecuali Al-Hasan
Al-Bashri, Sufyan Ats-Tsauri, dan Al-Khurkhi yang tidak mensyaratkan ke-kufu-an
sebagai dasar dalam pernikahan. Dan, Muhammad bin Al-Hasan yang tidak
menganggap kebaikan dalam kekufuan.
Berdasarkan hal tadi, maka hukum pernikahan pria mubtadi -yang bidahnya tidak
membawanya kepada kekafiran- dengan wanita Ahlus Sunnah, boleh jika telah
terjadi. Tetapi akadnya tidak mesti diterima, kecuali dengan persetujuan dari setiap
wanita dan para walinya untuk melakukannya. Ini disebabkan karena sang mubtadi
tidak sekufu dengan wanita Sunni tersebut, sebagaimana seorang pria fasik tidak
sekufu dengan wanita yang menjaga kehormatannya. Kekufuan adalah hak bagi
sang wanita dan hak para walinya. Masing-masing dari keduanya memiliki hak tolak
untuk menikahkan sang mubtadi dan untuk menggugurkan akad karena tidak
sekufu. Keduanya juga memiliki hak untuk menggugurkan haknya dalam hal itu
dan melaksanakan pernikahan sehingga pernikahan tersebut sah. Wallahu alam.
Adapun menikahnya seorang pria dari Ahlus Sunnah dengan seorang wanita yang
bidahnya tidak sampai ke batas kekufuran, maka pernikahannya dengan sang
wanita itu sah. Alasannya, karena kekufuan hanya disyaratkan pada pihak sang
pria yaitu syarat sekufu dengan sang wanita, dan tidak disyaratkan kekufuan bagi
sang wanita untuk sekufu dengan sang pria. Inilah yang diyakini jumhur ulama.
Mereka berkata: Karena hal tersebut, maka sang pria tidak bisa dicela disebabkan
sang istri lebih rendah darinya, dan dia tidak akan mendapat bahaya dengan sebab
tersebut. Berbeda dengan wanita, dia akan dicela dengan memiliki suami yang
lebih rendah dari dia, dan wanita tersebut akan terganggu dengan hal itu karena
sang pria bisa saja men-thalaq (cerai)-nya di setiap waktu. Dia (sang pria) bisa
berlaku leluasa terhadap dirinya, berbeda dengan wanita tersebut. [Lihat Al-Mughni,
Ibnu Qudamah 9/397, Hasyiyah, Ibnu Abidin 3/85, Al-Fiqhul Islami, Dr. Wahbah AzZuhaili 7/239, Al-Fiqh Alal Mazahibil Arbaah, Abdurrahman Al-Jazairi 4/57, dan AzZuwaj wa Ath-Thalaq fil Islam, Badran Abul Ainain hal. 162]

Dan Di Sini Perlu Diberi Peringatan Penting, Yaitu Permasalahan Sahnya Pernikahan
Seorang Pria Mubtadi Dengan Wanita Sunni.
Secara syariat, kesepakatan sang wanita dan para walinya dan sahnya pernikahan
seorang pria Ahlus Sunnah dengan wanita Ahlul Bidah, tidaklah menunjukkan
ditekankannya (atau dibolehkannya tanpa ada bahaya, ed.) pernikahan Ahlus
Sunnah dengan Ahlul Bidah. Hukum sahnya pernikahan mereka setelah
terpenuhinya syarat-syarat kesahannya merupakan suatu masalah, dan keridlaan
terhadap pernikahan mereka adalah suatu masalah lain lagi. Bahkan, telah jelas
larangan keras menikahnya pria-pria Ahlul Bidah dengan wanita-wanita Sunni
menurut Ahlus Sunnah, disebabkan karena sangat besarnya bahaya-bahaya yang
dapat terjadi akibat pernikahan para pria Ahlul Bidah dengan para wanita Ahlus
Sunnah.
Syariat memberi keterangan bahwa sahnya akad mereka itu bisa memberikan
kerugian kepada masing-masing pihak, seperti kepada sang wanita dan para
walinya. Inilah yang dimaukan akal sehat, yakni mereka menolak pernikahan itu
karena akan timbul bahaya-bahaya akibat mereka menikahkannya dengan sang
pria Ahlul Bidah. Jika mereka setuju, berarti masing-masing pihak telah menyianyiakan hak dirinya dan hak lainnya akibat pernikahan ini.
Seorang pria Ahlus Sunnah bila dia menikahi wanita Ahlul Bidah, dia telah dianggap
berlaku jelek dalam pilihan tersebut. Dia berarti telah menyia-nyiakan hak dirinya
dengan menikahi wanita tersebut, karena pernikahan tersebut memberikan dampak
negatif terhadap diri dan keluarganya. Sebagaimana juga, dia telah menyia-nyiakan
hak anak-anaknya dengan memilihkan untuk mereka seorang ibu yang tidak shalih.
Sang ibu memiliki pengaruh yang besar dalam membimbing anak-anaknya dalam
akidah dan akhlak, juga bisa menyimpangkan mereka dari agama yang lurus,
sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam: "Tidaklah setiap anak yang
dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam dan suci). Maka orang
tuanyalah yang membuat dia menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi.
Sebagaimana binatang ternak melahirkan binatang ternak yang sehat (Yakni bersih
dari aib-aib yang terkumpul padanya anggota badan yang sempurna (sehat) maka
tidak ada kecacatan da kay (ditusuk dengan besi panas). (An-Nihayah oleh Ibnu
Katsir 1/296). apakah kalian melihat padanya ada kecacatan (Yakni terputus
ujungnya atau dari salah satu darinya (anggota badan itu). An-Nihayah oleh Ibnu
Katsir 1/247)." (HR. Bukhari Kitabul Janaiz Bab Idza Aslama Shabiyyu Hal Yushalla
Alaih, Fathul Bari 3219 no. 1358. Muslim Kitabul Qadr Bab Makna Kullu Mauludin
Yuladu Alal Fitrah 4/2047 no. 2658). Selain ini, juga cercaan yang didapat sang
anak karena memiliki ibu yang Ahlul Bidah.
Demikian juga sang wanita, bila dia ridla dengan dinikahi sang mubtadi, berarti dia
sedang menuntun bahaya menuju keluarganya secara umum akibat adanya
hubungan pernikahan dengan sang mubtadi tersebut. Ikatan mushaharah
(hubungan karena pernikahan) dan berkumpul dengan sang mubtadi ini dapat
memberikan efek negatif kepada rumah tersebut. Sebagaimana hal ini (wali) bisa
menyakiti wanita yang dia tanggung khususnya, karena dia menikahkannya dengan

sang mubtadi tersebut yang dia tidak bisa memilih dengan baik. Dan wanita
tersebut (perlu selalu, ed.) dinasihati untuk bersikap (benar sesuai syariat, ed.)
terhadap sang pria karena dikhawatirkan dia (sang wanita) dengan keberaniannya
menikah -akan membuatnya menyimpang dari akidah yang benar dan mengikuti
akidah sang suami- karena wanita bisa dikuasai, lemah, dan sedikit kesabarannya.
Oleh karena itu, Al-Fudhail bin Iyadh berkata, "Siapa yang menikahkan saudara
wanitanya dengan sang pria mubtadi, berarti dia telah memutus hubungan
kekeluargaannya dengan sang wanita." [Al-Barbahari dalam Syarhus Sunnah hal.
60, Al-Lalikai dalam Syarh Ushul Itiqad Ahlus Sunnah 2/733, Ibnul Jauzi dalam Talbis
Iblis hal 19, dan As-Suyuthi dalam Al-Amru bi Ittiba hal. 81]
Yang lebih parah dari itu dalam pernikahan dengan pria Ahlul Bidah -jika dia
termasuk yang mendakwahkan bidahnya- berarti mereka (sang wanita dan para
walinya, ed.) tidak menyikapinya dengan benar, seperti mengisolirnya,
membentaknya agar dia bertaubat dari bidahnya, dan hal-hal yang bisa
memberikan kebaikan kepadanya di dunia dan akhirat. Dan sebelum itu, dalam
pernikahan tersebut mereka menyia-nyiakan hak Allah yang harus ditunaikan
dengan mereka ber-wala (loyalitas) kepada musuh-musuh-Nya, mencintai mereka,
mendekati mereka, tidak membenci serta menjauhi mereka karena Allah.
Ringkasnya, pernikahan dengan Ahlul Bidah yang masih dianggap termasuk
muslimin, baik pria maupun wanita, adalah makruh (dibenci) menurut Ahlus Sunnah
dengan kebencian yang keras, karena akan menimbulkan efek-efek negatif, menyianyiakan hak dan kebaikan-kabaikan. Oleh karena itu, para Salaf melarangnya untuk
menjaga hal tersebut.
Imam Malik berkata, "Ahlul Bidah jangan dinikahkan (dengan wanita Ahlus Sunnah),
jangan menyerahkan kepada mereka untuk dinikahi, jangan mengucapkan salam
kepada mereka, jangan shalat di belakang mereka, dan jangan iringi jenazahjenazah mereka." [Al-Mudawanah 1/84]
Imam Ahmad berkata, "Siapa yang tidak menomor-empatkan Ali bin Abi Thalib
dalam khilafah, maka kalian jangan mengajak bicara dan menikahkannya."
[Thabaqatul hanabilah, Ibnu Abi Yala 1/45].
Dengan ini saya tutup pasal ini setelah menerangkan sikap Ahlus Sunnah dalam hal
pernikahan dengan Ahlul Bidah, apakah mereka Ahlul Bidah yang kafir atau
muslim, sama saja, pria atau wanita, menurut nash-nash yang sesuai dengan
syariat dan riwayat-riwayat para Salaf dalam hal tersebut. Alhamdulillah dengan
karunia dan taufik-Nya.
[Diambil dari kitab "Mauqif Ahlus Sunnah wal Jamaah min Ahlul Ahwa wal Bida "
cetakan Maktabah Al-Ghuroba Al-Atsariah jilid I hal 373-388]
[Hukum Perkawinan Dengan Ahlul Bid'ah, Penulis Syaikh DR Ibrahim bin Amir ArRuhaili, Penerjemah Muhammad Ali Ismah Al-Medany, Penerbit Pustaka Al-Ghuraba'
Press hal 25-36]

Anda mungkin juga menyukai