Referat Sindrom Stevens Johnson
Referat Sindrom Stevens Johnson
Disusun oleh
Rani Afriyani (05-008)
JAKARTA 2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas anugerah dan kesempatan yang
diberikan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan tugas referat Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin yang berjudul Sindrom Stevens Johnson. Refarat ini disusun untuk memenuhi tugas
akhir kepaniteraan bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin periode kepaniteraan 17 mei 2010
s/d 12 juni 2010.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua dosen pembimbing di Bagian. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin di RS. Pelabuhan. Mohon maaf jika referat ini masih banyak
kekurangan. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata pengantar X
Daftar isi .. XX
BAB I : Pendahuluan . 1
BAB II : Tinjauan pustaka
Definisi. 2
Epidemiologi
Etiologi. 3
Patogenesis 5
Gejala klinis 6
Diagnosis 9
Diagnosis banding 10
Komplikasi. 13
Pengobatan 13
Prognosis 15
BAB III : Kesimpulan 17
Daftar pustaka.. 18
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/ bula,
dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium serta mata disertai
gejala umum bervariasi dari ringan sampai berat.[3]
Menurut Websters New World Medical Dictionary, SSJ didefinisikan sebagai
reaksi alergi sistemik (sistemik = menyerang keseluruhan tubuh) dengan karakteristik
berupa rash atau kemerahan yang mengenai kulit dan selaput lendir, termasuk selaput
lendir mulut. Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif (alergi) terhadap obat
atau virus tertentu.[3]
Nama ini berasal dari Dr. Albert Mason Stevens dan Dr. Frank Chambliss
Johnson, dokter anak di Amerika pada tahun 1922 bersama-sama mempublikasikan
kumpulan gejala ini dalam American Journal Penyakit Anak.[4]
Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger- Rendu
bulosa
[3]
, sindrom mukokutaneo-okular
multiform mayor
[5]
[3]
, dermatostomatitis
[3]
[3]
, eritema poliform
, eritema eksudativum
[6]
pluriorifisialis [6].
II.2. Epidemiologi
Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi yang jarang terjadi, di Amerika
Serikat, terdapat 300 kejadian melaporkan sekitar 2,6 menjadi 6,1 kasus per juta
orang per tahun.[4] Kondisi ini sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan pada
anak-anak.[4] Sebagian besar terjadi pada dekade ke 2 dan ke 4 kehidupan, namun
kasus ini telah dilaporkan terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan. [7] Perempuan lebih
sering terkena daripada pria dengan rasio 2:3. [4] SSJ juga telah dilaporkan lebih sering
terjadi pada ras Kaukasia.[7]
Suatu studi di Jerman barat melaporkan insiden SSJ dan NET 0,93 dan 1,1
kasus perjuta populasi pertahun.[8] SSJ dan NET dapat terjadi pada semua ras. Studi
epidemiologi menunjukkan bahwa wanita lebih banyak dari pria, dengan rasio pria
dibanding wanita berkisar antara 0,5:0,7 (Mockenhaupt,1998; Klein, 2006). [8]
Di Indonesia jarang terjadi, hanya sekitar 1-6 per juta orang. Dengan kata lain,
rata-rata jumlah kasus sindrom ini hanya sekitar 0,03%. [3] Penelitian menunjukkan
bahwa SSJ adalah kasus yang langka. Hanya 1 dari 2000 orang yang mengkonsumsi
antibiotik penisilin yang terkena SSJ.[3]
II. 3. Etiologi
Terdapat empat kategori etiologi yaitu (1) infeksi, (2) drug-induced, (3)
keganasan, dan (4) idiopatik.[7]
Obat dan keganasan yang paling sering terlibat sebagai etiologi pada orang
dewasa dan orang tua.[7]
Pada anak-anak lebih sering disebabkan karena infeksi daripada keganasan
atau reaksi terhadap suatu obat.[7]
Oxicam NSAID dan sulfonamides yang paling sering terlibat di negara-negara
barat. Di Asia Tenggara, allopurinol adalah yang paling sering. [7]
Obat seperti sulfa, fenitoin, atau penisilin telah ditentukan sebelumnya,
ditemukan lebih dari dua pertiga dari semua pasien dengan sindrom StevensJohnson (SSJ). Antikonvulsi karbamazepin, asam valproat, lamotrigin, dan
barbiturat juga telah terlibat. Mockenhapupt et al menekankan bahwa
antikonvulsi-induced SSJ terjadi pada 60 hari pertama penggunaan. Hallgren et
al melaporkan ciprofloxacin dapat menginduksi sindrom Stevens Johnson pada
pasien muda di Swedia. Metry et al melaporkan sindrom
Stevens Johnson
terjadi pada 2 pasien HIV yang diobati dengan nevirapine. Para penulis
berspekulasi bahwa masalah ini dapat juga disebabkan oleh non nukleosida
reverse transcriptase inhibitor yaitu indinavir.[7]
6
Infeksi virus yang telah dilaporkan menyebabkan SSJ adalah herpes simplex
virus (HSV), AIDS, infeksi virus coxsackie, influenza, hepatitis, gondok,
Sumber:http://ww
w.ebmedicine.net/t
opics.php?
paction=showTopicSeg&topic_id=54&seg_id=1021
[9]
II.3. Patogenesis
Patogenesisnya masih belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
alergi tipe III dan IV.[3] Reaksi alergi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigenantibodi yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen.
7
[3]
[3]
Reaksi alergi
tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi oleh suatu antigen, berkontak kembali
dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi
radang.[3]
Reaksi
Hipersensitivitas
Tipe
III
(Reaksi
Kompleks
Imun)
Reaksi
Hipersensitivitas
Tipe
IV
(Reaksi
Alergi
Seluler
Tipe
Lambat)
Syndrome
merupakan
penyakit
hipersensitivitas
yang
diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat,
infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang
mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak
terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi. [7]
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin
dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan
bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia,
dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol
membawa HLA-B58 (alel B*5801 frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%),
mengindikasikan
bahwa
resiko
alel
berbeda
antar
suku/etnik,
lokus
HLA-B
http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview
Gambar 1
Gambar 2
[7]
Gambar 3
[6]
terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta hitam
yang tebal. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
[12]
kemampuan pasien untuk makan atau minum dan sulit menutup mulut sehingga air
liurnya menetes.[13] Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus
respiratorius bagian atas, dan esofagus. Adanya pseudomembran di faring dapat
menyebabkan keluhan sukar bernafas. [12] Kelainan pada lubang alat genital akan
menyebabkan sulit buang air kecil disertai rasa sakit. Kadang-kadang selaput lendir
saluran pencernaan dan pernapasan juga terlibat, menyebabkan diare dan sesak
napas.[13]
Gambar 2
Gambar 2
Gambar 3
[6]
c. Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis.[12] Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen,
blefarokonjungtivitis, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis,
kelopak mata edema, penuh dengan nanah sehingga sulit dibuka, dan disertai rasa
sakit.[13] Pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat
menyebabkan kebutaan.[3] Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik
11
dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai
onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa
bulan sampai 31 tahun.[3]
Gambar 3
Gambar 2
[4]
[6]
II.5. Diagnosa
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat
lesi berbentuk target, iris atau mata sapi disertai gejala prodormal. Selain itu didukung
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik,
biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan
histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan,
leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi bila meninggi penyebabnya adalah
infeksi sekunder, terdapat peningkatan eosinofil jika penyebabnya alergi. Kadar IgG
dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi
adanya kompleks imun yang beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. [3]
Gambaran histopatologinya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari
perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan
berupa :[12]
Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superfisial
12
asam
basa.
Pemeriksaan
bronchoscopy,
esophagogastro
Etiologi
SSSS
Staphylococcus aureus,
Obat
NET
SSJ
Obat, infeksi,
keganasan, post
vaksinasi, radiasi,
makanan.
13
Pasien
Gejala klinis
Dewasa
Akut
Gejala prodormal
KU buruk
Eritem generalisata,
vesikel, bula,
granulosum
purpura
Kulit, mukosa bibirmulut, orifisium
genital
Epidermolisis +
Nikolsky sign +
PA : celah pada
subepidermal
Komplikasi
Selulitis, pneumonia,
epidermal
Bronkopneumonia
septikemia
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Edisi 5, 2007. [12]
Sumber:
http://www.ebmedicine.net/topics.php?
paction=showTopicSeg&topic_id=54&seg_id=1021
[9]
II.7. Komplikasi
Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, sekitar 16%. Komplikasi lain ialah
kehilangan cairan/ darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok, pada mata
dapat terjadi ulserasi kornea, uveitis anterior, kebutaan karena gangguan lakrimasi.
[12]
Pada gastroenterologi teriadi esofageal striktur, pada genitourinari dapat terjadi nekrosis
tubular ginjal, gagal ginjal, jaringan parut pada penis, vagina stenosis, dan pada
kutaneus terdapat
II.8. Pengobatan
Pertama, dan paling penting adalah harus segera menghentikan penggunaan
obat penyebab yang dicurigai. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan.
Orang dengan SSJ biasanya dirawat inap. [2] Bila mungkin, pasien NET dirawat dalam
unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari
infeksi. Pasien SSJ biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim,
yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit
dan makanan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk membantu
pemulihan. Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti
sepsis.[2]
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/NET.
Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari
pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai.
[2]
Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko terjadinya
infeksi yang gawat, apalagi pada ODHA dengan sistem kekebalan yang sudah lemah. [2]
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umum berat sehingga
terapi yang diberikan biasanya adalah : [2]
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen
maleat(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis,
untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk
cetirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1
Nacl 9%, dan Ringer laktat berbanding 1:1:1 dalam satu labu, setiap 8 jam. [12]
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. [3]
Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin perak. [12]
Pada kasus purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau
1000 mg iv sehari.[12]
Lesi mulut diberi kenalog in orabase, betadine gargle, dan untuk bibir yang
kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya
krim urea 10%.[12]
Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis
setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya
Transfusi darah 300 cc selama 2 hari jika tidak ada perbaikan dalam 2 hari. [13]
Efek transfusi darah (whole blood) ialah imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia
prognosisnya menjadi buruk, setelah pemberian transfusi leukosit cepat menjadi
normal. Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi
meningkatkan daya tahan tubuh.[12]
Indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan NET ialah : [12]
-
Bila telah diobati dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan.
Setelah sembuh dari SSJ tidak boleh menggunakan kembali agen atau senyawa
yang penyebab. Obat dari kelas farmakologis yang sama dapat digunakan asalkan obat
tersebut secara struktural berbeda dengan obat penyebabnya. [7] Karena faktor genetik
diduga berperan dalam kerusakan kulit dan timbulnya lepuh akibat obat, sehingga obat
yang dicurigai tidak boleh digunakan dalam darah pasien. Tidak ada statistik khusus
tentang risiko penggunaan ulang obat yang salah atau kemungkinan desensitisasi pada
pasien dengan SSJ.[7]
II.9. Prognosis
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi
mengancam nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan cepat dan
tepat, maka prognosis cukup memuaskan.[4]
Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi
sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa. [7]
Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada
keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat menyebabkan
kematian.[12] Pengembangan gejala sisa yang serius, seperti kegagalan pernafasan,
gagal ginjal, dan kebutaan, menentukan prognosis. [7] Sampai dengan 15% dari semua
pasien dengan sindrom Stevens-Johnson (SSJ) meninggal
SCORTEN
merupakan
sejumlah
variable
yang
digunakan
meramalkan faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan dan juga pada TEN. [7]
Skor SCORTEN
Faktor prognosis
Umur > 40 tahun
Skor mortalitas
SCORTEN 0-1 > 3.2%
Keganasan
18
untuk
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
20
22