Anda di halaman 1dari 10

PENGARUH FAKTOR INDIVIDU, ORGANISASI DAN PSIKOLOGI

TERHADAP KINERJA PETUGAS TB (TUBERKULOSIS) DALAM


PENEMUAN KASUS BARU DI KABUPATEN BIREUEN
TAHUN 2015
The Influence of Individual Factors, Factors and Organizational Psychology Factors
on the Performance Officer in the discovery of new cases of TB
in Bireuen 2015
2

Kafrawi1, Ida Yustina


Heldy BZ2
1
Mahasiswa Program Studi S2 IKM STIKes Helvetia Medan
2
Staf Pengajar Program Studi S2 IKM STIKes Helvetia Medan

dipengaruhi oleh faktor lain. Variabel


yang paling dominan memengaruhi
kinerja petugas TB dalam penemuan
kasus baru adalah beban kerja (Exp
()=104,652).
Disarankan
kepada
kepala
puskesmas dan pihak Dinas Kesehatan
Kabupaten Bireuen untuk memberikan
kesempatan kepada petugas TB untuk
melanjutkan pendidikan, mengatur
beban kerja secara merata, memperbaiki
sistem pemberian imbalan, serta
memotivasi
petugas
TB
agar
melaksanakan tugas dengan baik.

ABSTRAK
Pada tahun 2011, angka
penemuan kasus TB di Kabupaten
Bireuen adalah sebesar 45,5%, pada
tahun 2012 sebesar 48%, pada tahun
2013 sebesar 47,2% dan pada tahun
2104 sebesar 36,7%. Tujuan penelitian
ini untuk menganalisis pengaruh faktor
individu (pendidikan dan pelatihan),
faktor organisasi (beban kerja dan
imbalan) dan faktor psikologi (sikap dan
motivasi) terhadap kinerja petugas TB
dalam penemuan kasus baru.
Penelitian
ini
merupakan
penelitian survei dengan menggunakan
pendekatan
explanatory
research.
Penelitian dilakukan di 18 puskesmas
dalam Kabupaten Bireuen. Penelitian
dilakukan dari bulan Agustus 2014
sampai dengan Maret 2015. Populasi
penelitian adalah seluruh petugas TB di
Kabupaten Bireuen, yaitu 36 orang, dan
seluruh populasi dijadikan sampel
(sensus).
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kinerja petugas TB dalam
penemuan kasus baru di Kabupaten
Bireuen tahun 2015 dipengaruhi oleh
pendidikan (p=0,019), beban kerja
(p=0,000), imbalan (p=0,014) dan
motivasi (p=0,012). Secara bersama,
keempat variabel tersebut memberikan
pengaruh sebesar 88,9% terhadap
kinerja petugas TB dalam penemuan
kasus baru, sedangkan 11,1% lagi

Kata Kunci: Individu, Organisasi,


Psikologi, Kinerja Petugas TB
ABSTRACT
In 2011, the TB case detection
rate in the district is 45.5% Bireuen, in
2012 by 48%, in 2013 amounted to
47.2% and in the year 2104 amounted to
36.7%. The purpose of this study to
analyze the effect of individual factors
(education and training), organizational
factors (workload and remuneration)
and psychological factors (attitudes and
motivation) on the performance of the
officer in the discovery of new cases of
TB.
This study was a survey using
explanatory research approach. The
study was conducted in 18 health
centers in Bireuen district. The study

was conducted from August 2014 to


March 2015. The study population was
all TB officer in Bireuen district, which
is 36 people, and the entire population
sampled (census).
The results showed that the
performance of the officer in the
discovery of new cases of TB in 2015
Bireuen District influenced by education
(p = 0.019), workload (p = 0.000),
reward (p = 0.014) and motivation (p =
0.012). Taken together, the four
variables of 88.9% impact on the
performance of TB officer in the
discovery of new cases, while 11.1%
were influenced by other factors. The
most dominant variable affecting the
performance of the officer in the
discovery of new cases of TB are
workload (Exp () = 104.652).
It is suggested to the head of the
health centers and district health office
Bireuen to provide an opportunity for
TB officers to continue their education,
organize workload evenly, improve
incentive systems, and motivate officers
TB to perform the task well.
Keywords: Individual, Organizational,
Psychology, Performance TB Officer
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah suatu
penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Penyakit TB telah dikenal lebih dari satu
abad
yang
lalu,
yakni
sejak
ditemukannya kuman penyebab TB oleh
Robert Koch pada tahun 1882.1
Penyakit
TB
umumnya
menyerang jaringan paru, tetapi dapat
juga menyerang organ lainnya. Pada
tahun 2014 diperkirakan jumlah
penderita TB di dunia mencapai 9 juta
penduduk dengan angka kematian ratarata mencapai 1,5 juta orang.3
Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan
prevalensi TB di Indonesia adalah
0,7%.4 Sedangkan hasil Riskesdas tahun

2013 menyebutkan bahwa prevalensi


TB di Indonesia adalah 0.4%.5 Data
Riskesdas tahun 2013 menunjukkan
prevalensi TB di Provinsi Aceh adalah
0,3%
dan
menempati
peringkat
kesembilan dalam kelompok 10 besar
provinsi di Indonesia dengan prevalensi
penyakit TB tertinggi.5
Data Profil Kesehatan Indonesia
menunjukkan jumlah kasus baru TB di
Provinsi Aceh adalah 96 per 100.000
penduduk di tahun 2011, 86 per 100.000
penduduk di tahun 2012, dan 73 per
100.000 penduduk di tahun 2013.6,7,8 Di
Kabupaten Bireuen, jumlah kasus baru
TB adalah 73 per 100.000 penduduk di
tahun 2011, 77 per 100.000 penduduk di
tahun 2012, 75 per 100.000 penduduk di
tahun 2013 dan 59 per 100.000
penduduk di tahun 2014.9
Upaya pengendalian TB di
Indonesia telah dilaksanakan secara
nasional sejak tahun 1995 melalui
strategi DOTS.2 Sejak tahun 2009,
Indonesia telah mampu mencapai target
global pengendalian TB, di mana angka
penemuan kasus/ Case Detection Rate
(CDR) mencapai angka 73%.10 Pada
periode selanjutnya, angka penemuan
kasus (CDR) TB di Indonesia selalu
mampu mencapai target global, yaitu
83,5% di tahun 2011, 82,4% di tahun
2012 dan 80,9% di tahun 2013.6,7,8
Meskipun secara nasional CDR
TB berhasil mencapai target global,
tetapi di tingkat provinsi masih banyak
provinsi yang belum mampu mencapai
target.11 Provinsi Aceh merupakan salah
satu provinsi yang belum mampu
mencapai target CDR TB. Data Profil
Kesehatan Indonesia menunjukkan CDR
TB di Provinsi Aceh adalah 50,1% di
tahun 2011, 53,3% di tahun 2012 dan
56,2% di tahun 2013.6,7,8
Salah satu kabupaten yang
memberikan
kontribusi
terhadap
rendahnya CDR TB di Provinsi Aceh
adalah Kabupaten Bireuen. CDR TB di
Kabupaten Bireuen adalah 45,5% di
tahun 2011, 48% di tahun 2012, 47,2%

di tahun 2013 dan 36,7% di tahun 2014.


Diantara 23 kabupaten/kota, Kabupaten
Bireuen menempati peringkat ke-12
kabupaten dengan CDR TB terendah.9
Data diatas menunjukkan bahwa dalam
tiga tahun terakhir, CDR TB di
Kabupaten Bireuen cenderung menurun
dari tahun ke tahun dan pencapaian
tersebut masih jauh dari target MDGs
(70%) dan target renstra (90%).
Penemuan kasus TB merupakan
salah satu komponen kunci dalam
strategi DOTS dan langkah pertama
dalam kegiatan tatalaksana penderita
TB. Penemuan kasus TB bertujuan
untuk mendapakan kasus TB melalui
penjaringan terhadap suspek TB,
pemeriksaan fisik dan laboratorium.2
Salah satu masalah yang
dihadapi dalam program pengendalian
TB di Indonesia adalah lemahnya
kinerja tenaga kesehatan TB dalam
penemuan kasus TB.11 Secara teoritis,
kinerja merupakan penampilan hasil
karya personel baik kuantitas maupun
kualitas dalam suatu organisasi.13
Keberhasilan suatu organisasi
dalam meningkatkan kinerja karyawan
ditentukan oleh bagaimana manajemen
mengelola dan memberdayakan sumber
daya manusia sebagai masukan (input)
organisasi.13
Upaya memaksimalkan kualitas
sumber daya manusia dalam suatu
organisasi dimulai dari pemilihan
karyawan yang berpengalaman dengan
tingkat pendidikan yang tinggi, sehingga
karyawan memiliki kompetensi untuk
bersaing. Selain itu, manajemen sumber
daya manusia dalam suatu organisasi
juga harus selalu memberikan pelatihan
kepada karyawan, sehingga karyawan
mampu
beradaptasi
dengan
perkembangan yang terjadi dalam
organisasi dan pekerjaannya dan
akhirnya mempengaruhi kinerjanya.14
Penelitian Duhri mengungkap
bahwa variabel tingkat pendidikan
memengaruhi
kinerja
petugas
puskesmas dalam penemuan penderita

TB Paru.15 Penelitian Afrimelda


mengungkap bahwa variabel pelatihan
paling dominan memengaruhi kinerja
pengelola program P2 TB dalam capaian
CDR penyakit TB.16
Variabel beban kerja dan
imbalan yang diterima juga dapat
memengaruhi kinerja tenaga kesehatan
di puskesmas, jika beban kerja tenaga
kesehatan terlalu tinggi sedangkan
imbalan yang diterima rendah, maka
motivasi kerja tenaga kesehatan akan
turun, sehingga kinerja tenaga kesehatan
menjadi tidak baik.13 Sikap juga
merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi kinerja individu dalam
suatu organisasi. Apabila sikap individu
baik terhadap objek tertentu atau
peristiwa tertentu, maka kinerja individu
tersebut akan semakin baik.12
Penelitian Maryun mengunkap
bahwa variabel pelatihan, beban kerja,
imbalan, motivasi dan sikap mempunyai
hubungan dengan kinerja petugas
program TB Paru terhadap cakupan
penemuan kasus baru BTA postif.17
Penelitian Gari juga mengungkap bahwa
beban kerja merupakan salah satu
variabel yang memengaruhi kinerja
petugas dalam penemuan kasus TB.18
Penelitian
Kusumawardani
menyimpulkan bahwa variabel motivasi
berhubungan dengan kinerja petugas
dalam meningkatkan cakupan penemuan
penderita baru TB Paru.19 Penelitian
Afrimelda juga mengungkap bahwa
motivasi merupakan salah satu variabel
yang
ikut
memengaruhi
kinerja
pengelola program P2 TB dalam capaian
CDR penyakit TB.16
Kabupaten Bireuen memiliki 18
puskesmas dalam wilayah kerjanya,
masing-masing puskesmas terdapat dua
orang petugas TB, sehingga jumlah
seluruh petugas TB di Kabupaten
Bireuen adalah 36 orang. Data di Profil
Kesehatan
Kabupaten
Bireuen
menunjukkan bahwa pada tahun 2014,
semua puskesmas dalam wilayah kerja
Kabupaten Bireuen belum mampu

mencapai target CDR TB. Terdapat 5


puskesmas yang mendekati target CDR
TB. Sedangkan 13 puskesmas lainnya
masih jauh dari target.
Hasil wawancara dengan wakil
supervisor P2 TB Paru Dinas Kesehatan
Kabupaten Bireuen, diperoleh informasi
bahwa program penanggulangan TB
Paru di Kabupaten Bireuen belum
mampu
mencapai
target
yang
diharapkan, dimana CDR TB di
Kabupaten Bireuen adalah sebesar 48%
di tahun 2012, 47,2% di tahun 2013 dan
36,7% di tahun 2014. Supervisor P2 TB
Paru Dinas Kesehatan Kabupaten
Bireuen berasumsi bahwa penyebab atas
fenomena tersebut adalah lemahnya
kinerja tenaga kesehatan TB dalam
penemuan kasus TB.
Untuk memperkuat asumsi
tersebut, maka dilakukan survei awal
dengan mewawancarai 10 orang tenaga
kesehatan TB di Puskesmas dalam
wilayah kerja Kabupaten Bireuen.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut
diperoleh informasi bahwa banyak
kendala yang dihadapi oleh petugas TB
dalam menemukan kasus baru TB,
diantaranya adalah belum mendapatkan
pelatihan tentang program TB, beban
kerja yang terlalu tinggi karena memiliki
tugas rangkap. Beban kerja yang tinggi
tidak disertai dengan pemberian imbalan
yang sesuai, sehingga petugas TB tidak
termotivasi untuk melaksanakan tugas
dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas,
penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pengaruh faktor
individu, organisasi dan psikologi
terhadap kinerja petugas TB dalam
penemuan kasus baru.
Tujuan penelitian adalah untuk
menganalisis pengaruh faktor individu
(pendidikan dan pelatihan), faktor
organisasi (beban kerja dan imbalan)
dan faktor psikologi (sikap dan
motivasi) terhadap kinerja petugas TB
dalam penemuan kasus baru di
Kabupaten Bireuen tahun 2015.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah
survey explanatory yang bertujuan
untuk menjelaskan pengaruh kausal
antar variabel melalui pengujian
hipotesis. Penelitian ini dilaksanakan di
18 puskesmas dalam wilayah Kabupaten
Bireuen mulai bulan Februari tahun
2014 sampai dengan bulan Maret tahun
2015. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh petugas TB yang
bertugas di puskesmas dalam wilayah
Kabupaten Bireuen, sebanyak 36 orang.
Seluruh populasi dijadikan sampel
penelitian
(sensus).
Data
yang
digunakan adalah data primer dan
sekunder. Analisis data bivariat
dilakukan dengan uji statistik ChiSquare, dengan taraf signifikansi ()
yang digunakan adalah 0,05. Analisis
data multivariat dilakukan dengan uji
regresi logistik berganda metode
forward stepwise (conditional).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Data Univariat
Hasil peneltian diperoleh jenis
kelamin responden yang paling banyak
adalah perempuan sebanyak 61,1%.
Umur responden yang paling banyak
adalah 3140 tahun sebanyak 38,3%.
Pendidikan responden lebih banyak
menempuh
pendidikan
tinggi
sebanyak 61,1% dan sebanyak 38,9%
menempuh pendidikan rendah.
Pelatihan responden lebih banyak
mendapatkan pelatihan kategori kurang
sesuai sebanyak 55,6% dan sebanyak
44,4% mendapatkan pelatihan kategori
sesuai. Beban kerja responden lebih
banyak mempunyai beban kerja tinggi
sebanyak 52,8% dan sebanyak 47,2%
mempunyai beban kerja rendah.
Imbalan responden lebih banyak berada
pada kategori kurang sesuai sebanyak
52,8%
dan
sebanyak
47,2%
mendapatkan imbalan dengan kategori
sesuai.
Sikap responden lebih banyak
berada pada kategori kurang baik
sebanyak 52,8% dan sebanyak 47,2%

mempunyai sikap kategori baik.


Motivasi responden lebih banyak
mempunyai motivasi rendah sebanyak
55,6% dan sebanyak 44,4% mempunyai
motivasi tinggi. Kinerja responden lebih
banyak berada pada kategori kurang
baik sebanyak 55,6% dan sebanyak
44,4% mempunyai kinerja kategori
baik.
Analisis Data Bivariat
Analisis data bivariat dilakukan
dengan uji statistik Chi-Square, dengan
taraf signifikansi () yang digunakan
adalah 0,05. Jika dalam uji Chi-Square
terdapat sel dengan frekuensi 5, maka
digunakan perhitungan Fishers Exact
Test.
Variabel
bebas
dikatakan
berhubungan dengan variabel terikat jika
nilai p (p-value) < 0,05.
Tabel 1

Pendidi
kan
Rendah
Tinggi

Hubungan
Pendidikan
dengan Kinerja Petugas TB

Kinerja
Kurang
Baik
f
%
f
%
12 85,7
2
14,3
8
36,4 14 63,6

Total
F
14
22

%
38,9
61,1

p
0,006

Hubungan pendidikan dengan


kinerja petugas TB menunjukkan bahwa
responden dengan pendidikan tinggi
sebanyak 61,1%, diantaranya sebanyak
36,4% mempunyai kinerja kurang baik
dan lebih banyak mempunyai kinerja
baik sebanyak 63,6%, sedangkan
responden dengan pendidikan rendah
sebanyak 38,9%, diantaranya sebanyak
14,3% mempunyai kinerja baik dan
lebih banyak mempunyai kinerja kurang
baik sebanyak 85,7%. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p sebesar 0,006<0,05
artinya ada hubungan pendidikan dengan
kinerja petugas TB dalam penemuan
kasus baru.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan
penelitian
Duhri
yang
mengungkap bahwa variabel tingkat
pendidikan
memengaruhi
kinerja
petugas puskesmas dalam penemuan
penderita TB Paru.15 Hasil penelitian

Pangaribuan
mengungkap
bahwa
pendidikan merupakan variabel yang
paling dominan memengaruhi kinerja
pengelola obat.25
Mathis14 menjelaskan bahwa
upaya memaksimalkan kualitas sumber
daya manusia dalam suatu organisasi
dimulai dari pemilihan karyawan yang
berpengalaman
dengan
tingkat
pendidikan yang tinggi, sehingga
karyawan memiliki kompetensi untuk
bersaing.
Keberhasilan
pelaksanaan
program pengendalian penyakit TB di
puskesmas juga sangat ditentukan oleh
kualitas sumber daya manusia petugas
TB. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan
untuk
memaksimalkan
kualitas sumber daya manusia petugas
TB di puskesmas adalah dengan
memberikan kesempatan kepada petugas
TB dengan latar belakang pendidikan
yang rendah untuk melanjutkan
pendidikannya.
Jika latar belakang pendidikan
petugas TB sudah tinggi, petugas TB
akan memiliki kompetensi untuk bekerja
dan pada akhirnya dapat meningkatkan
kinerja mereka. Hal ini terlihat dari hasil
penelitian ini yang membuktikan bahwa
petugas TB dengan latar belakang
pendidikan tinggi berpeluang untuk
mempunyai kinerja baik 30,8 kali
dibandingkan dengan petugas TB
dengan latar belakang pendidikan
rendah.
Tabel 2

Pelatihan
Kurang
Sesuai

Hubungan Pelatihan dengan


Kinerja Petugas TB
Kinerja
Kurang
Baik
f
%
f
%
16 80
4
20
4
25 12 75

Total
F
20
16

%
55,6
44,4

p
0,002

Hubungan pelatihan dengan


kinerja petugas TB menunjukkan bahwa
responden yang mendaptkan pelatihan
kategori sesuai sebanyak 44,4%,
diantaranya sebanyak 25% mempunyai
kinerja kurang baik dan lebih banyak

mempunyai kinerja baik sebanyak 75%,


sedangkan responden yang mendaptkan
pelatihan kategori kurang sesuai
sebanyak 55,6%, diantaranya sebanyak
20% mempunyai kinerja baik dan lebih
banyak mempunyai kinerja kurang baik
sebanyak 80%. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p sebesar 0,002<0,05
artinya ada hubungan pelatihan dengan
kinerja petugas TB dalam penemuan
kasus baru.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Maryun yang
mengungkap bahwa ada hubungan
pelatihan dengan kinerja petugas
program TB Paru terhadap cakupan
penemuan kasus baru BTA postif.17
Menurut
Kementerian
Kesehatan RI10, program pengendalian
penyakit TB harus dilaksanakan oleh
petugas yang mempunyai kemampuan
yang baik. Kebutuhan akan pelatihan
bagi petugas TB merupakan tantangan
baru yang dihadapi.
Pelatihan petugas TB harus
menjadi perhatian pihak manajemen
puskesmas dan Dinas Kesehatan
Kabupaten Bireuen dalam upaya
meningkatkan kinerja petugas TB.
Pelatihan
yang
diberikan
harus
menyampaikan
informasi
terbaru
tentang program TB, serta membantu
petugas TB dalam melaksanakan tugas
untuk mencapai target yang harus
dicapai dalam program TB.
Tabel 3

Beban
Kerja
Tinggi
Rendah

Hubungan Beban Kerja


dengan Kinerja Petugas TB

Kinerja
Kurang
Baik
f
%
f
%
15 78,9
4
21,1
5
29,4 12 70,6

Total
F
19
17

%
52,8
47,2

p
0,006

Hubungan beban kerja dengan


kinerja petugas TB menunjukkan bahwa
responden dengan beban kerja rendah
sebanyak 47,2%, diantaranya sebanyak
29,4% mempunyai kinerja kurang baik
dan lebih banyak mempunyai kinerja
baik sebanyak 70,6%, sedangkan

responden dengan beban kerja tinggi


sebanyak 52,8%, diantaranya sebanyak
21,1% mempunyai kinerja baik dan
lebih banyak mempunyai kinerja kurang
baik sebanyak 78,9%. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p sebesar 0,006<0,05
artinya ada hubungan beban kerja
dengan kinerja petugas TB dalam
penemuan kasus baru.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Maryun yang
mengungkap bahwa ada hubungan
beban kerja dengan kinerja petugas
program TB Paru terhadap cakupan
penemuan kasus baru BTA postif.17
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian Gari yang mengungkap
bahwa beban kerja ikut memengaruhi
kinerja petugas dalam penemuan
penderita TB.18
Menurut Sulaeman13, beban
kerja yang tinggi akan menimbulkan
keluhan pada pekerja, dan dapat berefek
menurunnya kinerja. Penelitian ini
membuktikan bahwa tingginya beban
kerja memberikan risiko 104,6 kali
untuk kurang baiknya kinerja petugas
TB, maka kepala puskesmas di
Kabupaten Bireuen harus segera
mengatur pembagian tugas kepada
semua pegawai secara berimbang, agar
kinerja petugas TB dalam penemuan
kasus baru menjadi baik.
Kepala puskesmas hendaknya
memperhatikan kemampuan, kebutuhan
serta risiko yang harus dihadapi oleh
petugas TB dalam melaksanakan tugas.
Jika pembagian tugas sudah diatur
secara berimbang, maka beban kerja
semua akan merata, sehingga petugas
TB menjadi nyaman dalam bekerja dan
pada
akhirnya
akan
mampu
meningkatkan kinerjanya.
Tabel 4

Imbalan
Kurang
Sesuai

Hubungan Imbalan dengan


Kinerja Petugas TB
Kinerja
Kurang
Baik
f
%
f
%
17 89,5
2
10,5
3
17,6 14 82,4

Total
F
19
17

%
52,8
47,2

p
0,000

Hubungan imbalan dengan


kinerja petugas TB menunjukkan bahwa
responden yang mendapatkan imbalan
kategori sesuai sebanyak 47,2%,
diantaranya sebanyak 17,6% mempunyai
kinerja kurang baik dan lebih banyak
mempunyai kinerja baik sebanyak
82,4%, sedangkan responden yang
mendapatkan imbalan kategori kurang
sesuai sebanyak 52,8%, diantaranya
sebanyak 10,5% mempunyai kinerja
baik dan lebih banyak mempunyai
kinerja kurang baik sebanyak 89,5%.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p
sebesar
0,000<0,05
artinya
ada
hubungan imbalan dengan kinerja
petugas TB dalam penemuan kasus baru.
Menurut Mathis14, imbalan
merupakan balas jasa yang diterima oleh
karyawan atas usaha yang telah
dilakukan dalam proses aktivitas
organisasi dalam jangka waktu tertentu.
Pemberian imbalan merupakan
masalah yang penting dalam pelayanan
kesehatan di puskesmas, karena pegawai
termasuk petugas TB mempunyai
pengharapan sesuatu dari puskesmas
sebagai penghargaan atas jerih payahnya
melaksanakan semua tugas pokok dan
fungsinya. Sistem pemberian imbalan
yang kurang baik menyebabkan kinerja
pegawai menjadi kurang baik.
Hal ini terlihat dalam hasil
penelitian ini yang menunjukkan ada
pengaruh imbalan terhadap kinerja
petugas TB dalam penemuan kasus baru
di Kabupaten Bireuen.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Maryun yang
mengungkap bahwa ada hubungan
imbalan dengan kinerja petugas program
TB Paru terhadap cakupan penemuan
kasus baru BTA postif.17 Hasil
penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian Syahputra yang mengungkap
bahwa variabel imbalan merupakan
variabel
yang
paling
dominan
memengaruhi kinerja petugas P2P
program DBD.28
Penelitian ini membuktikan
bahwa sesuainya pemberian imbalan

memberikan peluang 18,6 kali untuk


baiknya kinerja petugas TB, maka
kepala puskesmas di Kabupaten Bireuen
harus segera memperbaiki sistem
pemberian imbalan kepada petugas TB.
Sistem pemberian imbalan harus
memperhatikan beban kerja setiap
pegawai, pelaksanaan tugas diluar jam
kerja, pelaksanaan pekerjaan diluar
tugas pokok dan harus tepat waktu.
Perbaikan sistem pemberian imbalan
kepada pegawai puskesmas dapat
dilakukan dengan membagi jasa medis
dari dana kapitasi JKN secara
proporsional sesuai dengan beban kerja
setiap pegawai puskesmas. Selain itu,
alternatif lain yang dapat dilakukan
untuk menyediakan imbalan adalah
dengan mengalokasikan uang pengganti
transport kepada petugas TB ketika
melaksanakan tugas ke lapangan yang
bersumber dari dana BOK.
Tabel 5

Sikap
Kurang
Baik

Hubungan Sikap dengan


Kinerja Petugas TB
Kinerja
Kurang
Baik
f
%
f
%
16 84,2
3
15,8
4
23,5 13 76,5

Total
F
19
17

%
52,8
47,2

p
0,001

Hubungan sikap dengan kinerja


petugas TB menunjukkan bahwa
responden yang mempunyai sikap
kategori
baik
sebanyak
47,2%,
diantaranya
sebanyak
23,5%
mempunyai kinerja kurang baik dan
lebih banyak mempunyai kinerja baik
sebanyak 76,5%, sedangkan responden
yang mempunyai sikap kategori kurang
baik sebanyak 52,8%, diantaranya
sebanyak 15,8% mempunyai kinerja
baik dan lebih banyak mempunyai
kinerja kurang baik sebanyak 84,2%.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p
sebesar
0,001<0,05
artinya
ada
hubungan sikap dengan kinerja petugas
TB dalam penemuan kasus baru.
Hasil penelitian ini berbeda
dengan
penelitian
Tobing
yang
menunjukkan variabel sikap merupakan

variabel yang paling besar memengaruhi


kinerja petugas promosi kesehatan
puskesmas.28
Menurut Rahayuningsih22, sikap
merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap stimulus tersebut dengan caracara tertentu. Menurut Ilyas12, sikap
merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi kinerja karyawan. Apabila
sikap karyawan baik terhadap objek
tertentu atau peristiwa tertentu, maka
kinerja karyawan tersebut akan baik.12
Bagi petugas TB, sebaiknya
harus mempunyai sikap yang baik
terhadap pekerjaannya, karena sebagai
tenaga profesional seharusnya petugas
TB selalu senang dan mencintai
pekerjaannya, sehingga akan melahirkan
ketekunan dalam bekerja.
Tabel 6

Moti
vasi
Rendah
Tinggi

Hubungan Motivasi dengan


Kinerja Petugas TB
Kinerja
Kurang
Baik
f
%
f
%
16
80
4
20
4
25
12
75

Total
F
20
16

%
55,6
44,4

p
0,002

Hubungan motivasi dengan


kinerja petugas TB menunjukkan bahwa
responden yang mempunyai motivasi
tinggi sebanyak 44,4%, diantaranya
sebanyak 25% mempunyai kinerja
kurang baik dan lebih banyak
mempunyai kinerja baik sebanyak 75%,
sedangkan responden yang mempunyai
motivasi rendah sebanyak 55,6%,
diantaranya sebanyak 20% mempunyai
kinerja baik dan lebih banyak
mempunyai kinerja kurang baik
sebanyak 80%. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p sebesar 0,002<0,05
artinya ada hubungan motivasi dengan
kinerja petugas TB dalam penemuan
kasus baru.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Afrimelda yang
mengungkap bahwa motivasi ikut
memengaruhi kinerja pengelola program
P2 TB dalam capaian CDR penyakit
TB.16

Penelitian ini membuktikan


bahwa
tingginya
motivasi
kerja
memberikan peluang 22,9 kali untuk
baiknya kinerja petugas TB, maka
kepala puskesmas di Kabupaten Bireuen
harus berusaha memotivasi petugas TB
agar bekerja dengan baik. Strategi yang
dapat
dilakukan
adalah
dengan
melakukan pengawasan pelaksanaan
program TB, mengatur pembagian tugas
secara berimbang, memperbaiki sistem
pemberian
imbalan,
memberikan
penghargaan
serta
menciptakan
lingkungan kerja yang nyaman bagi
petugas TB.
Menurut Sulaeman13, pemberian
motivasi kepada pegawai puskesmas
hanya akan berhasil dengan baik jika
target yang ditetapkan oleh puskesmas
sejalan dengan target semua pegawai
sebagai tim kerja. Jika target puskesmas
tidak tidak sejalan tujuan pegawai, maka
pegawai akan sulit untuk mau berbuat
sebagaimana yang diharapkan. Selain
itu, diusahakan agar pekerjaan diberikan
harus sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki oleh pegawai puskesmas.
Analisis Data Multivariat
Analisis data multivariat dengan
uji regresi logistik berganda dilakukan
dalam dua langkah, yaitu memilih
variabel-variabel bebas yang potensial
dimasukkan ke dalam model analisa data
multivariat (variabel bebas dengan nilai
p < 0,25), selanjutnya variabel bebas
dengan nilai p < 0,25 dimasukkan
kedalam model uji regresi logistik
berganda dan diseleksi dengan metode
forward stepwise (conditional).
Tabel 7

Variabel
Pendidikan
Beban Kerja
Imbalan
Motivasi
Constant

Hasil
Analisis
Data
Multivariat Uji Regresi
Logisitik Berganda
B
3,428
4,651
2,926
3,132
-21,986

Overal Percentage = 88,9%

Sig.
0,019
0,000
0,014
0,012
0,013

Exp ()
30,820
104,652
18,661
22,930

Hasil analisis data multivariat


dengan uji regresi logistik berganda
menunjukkan bahwa variabel yang
berpengaruh signifikan terhadap kinerja
petugas TB dalam penemuan kasus baru
adalah pendidikan, beban kerja, imbalan
dan motivasi. Variabel yang tidak
berpengaruh signifikan terhadap kinerja
petugas TB dalam penemuan kasus baru
adalah sikap dan pelatihan.
Hasil analisis data multivariat
juga menunjukkan bahwa variabel bebas
yang paling dominan memengaruhi
kinerja petugas TB dalam penemuan
kasus baru adalah variabel beban kerja
dengan nilai Exp () sebesar 104,652.
Secara keseluruhan model ini
dapat memprediksi besarnya pengaruh
variabel bebas (pendidikan, beban kerja,
imbalan dan motivasi) terhadap kinerja
petugas TB, yaitu sebesar 90,3%,
sedangkan 9,7% lagi dipengaruhi oleh
faktor lain yang tidak termasuk dalam
model, yaitu sikap dan pelatihan.
Berdasarkan model persamaan
regresi logistik diperoleh hasil bahwa
semua variabel bebas (pendidikan,
beban kerja, imbalan) mempunyai
koefesien regresi () bernilai positif,
artinya
semua
variabel
bebas
mempunyai pengaruh positif terhadap
kinerja petugas TB dalam penemuan
kasus baru.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini hanya meneliti
beberapa variabel, sedangkan secara
teoritis masih ada variabel-variabel lain
yang memengaruhi kinerja. Penilaian
kinerja petugas TB dalam penelitian ini
masih
menggunakan
metode
pengumpulan data melalui kuesioner,
belum
menggunakan
metode
pengamatan langsung yang lebih akurat.
Penelitian ini hanya menunjukkan
besarnya kemaknaan pengaruh antara
variabel bebas dengan variabel terikat.

KESIMPULAN
Kinerja petugas TB dalam
penemuan kasus baru di Kabupaten
Bireuen tahun 2015 dipengaruhi oleh
faktor individu (pendidikan), faktor
organisasi (beban kerja dan imbalan)
dan faktor psikologi (motivasi).
Sedangkan variabel pelatihan dan sikap
tidak berpengaruh terhadap kinerja
petugas TB.
Variabel yang paling dominan
memengaruhi kinerja petugas TB dalam
penemuan kasus baru di Kabupaten
Bireuen tahun 2015 adalah beban kerja
dengan nilai Exp () sebesar 104,652.
Secara bersama, variabel beban
kerja, imbalan, pendidikan dan motivasi,
memberikan pengaruh sebesar 88,9%
terhadap kinerja petugas TB dalam
penemuan kasus baru di Kabupaten
Bireuen tahun 2015, sedangkan 11,1%
lagi dipengaruhi oleh faktor lain, yaitu
sikap dan pelatihan.
SARAN
Kepada kepala puskesmas di
Kabupaten Bireuen disarankan untuk
mengatur pembagian tugas kepada
semua pegawai termasuk petugas TB
secara berimbang, sehingga beban kerja
di
puskesmas
menjadi
merata.
Memberikan
kesempatan
kepada
petugas
TB
untuk
melanjutkan
pendidikan atau mengikuti pelatihan
tentang TB. Memotivasi petugas TB
untuk melaksanakan tugas dengan rajin
melalui
pengawasan
pelaksanaan
program TB. Memperbaiki sistem
pemberian imbalan kepada petugas TB
secara teratur dan tepat waktu dengan
memperhatikan beban kerja.
Kepada
Dinas
Kesehatan
Kabupaten Bireuen, disarankan untuk
meningkatkan
kegiatan
supervisi,
monitoring dan evaluasi hasil kerja
program TB di puskesmas, terutama
kegiatan penemuan kasus baru, agar
kinerja petugas TB menjadi baik dan
pada akhirnya dapat meningkatkan
angka penemuan kasus (CDR) TB.

10

DAFTAR PUSTAKA
1. Danusantoso H. Buku saku ilmu
penyakit paru. Jakarta: EGC; 2012.
2. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Pedoman
nasional
pengendalian tuberkulosis. Jakarta:
Ditjen PP & PL; 2011.
3. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Strategi
nasional
pengendalian TB Paru di Indonesia
2010 2014. Jakarta: Ditjen PP &
PL; 2011.
4. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Laporan situasi terkini
perkembangan
tuberkulosis
di
Indonesia Tahun 2011. Jakarta:
Ditjen PP & PL; 2012.
5. Ilyas Y. Kinerja, teori, penilaian dan
penelitian. Jakarta: Pusat Kajian
Ekonomi
Kesehatan
FKM
Universitas Indonesia; 2001.
6. Sulaeman
ES.
Manajemen
kesehatan; teori dan praktek di
Puskesmas. Surakarta: Penerbit FK
USM; 2009.
7. Mathis RL, Jackson JH. Human
resource management. Edisi 10.
Jakarta: Salemba Empat; 2006.
8. Duhri AP, Thaha IL, Ansariadi.
Kinerja petugas puskesmas dalam
penemuan penderita TB Paru di
Puskesmas Kabupaten Wajo. Jurnal
Penelitian UNHAS. Makassar: FKM
UNHAS; 2012.
9. Afrimelda dan Retnaningsih E.
Model prediksi kinerja pengelola
program dalam capaian case
detection rate penyakit TB di
Provinsi Sumatera Selatan. [ejournal].
2013
[diunduh
14
September 2014]. 7 (2) Tersedia
dari: http://balitbangnovdasumsel.
com
/data/download
/20140129095847.pdf
10. Maryun M. Beberapa faktor yang
berhubungan dengan kinerja petugas
petugas program TB Paru terhadap
cakupan penemuan kasus baru BTA
positif di Kota Tasikmalaya. [Tesis].
Semarang: FKM UNDIP; 2007.

11. Gari N.N. Pengaruh motivasi kerja


terhadap kinerja petugas TB Paru
puskesmas
dalam
penemuan
penderita TB Paru pada program
P2TB di Kota Medan [dokumen di
internet]. 2009 [diunduh 14
September 2014]. Tersedia dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/
pdf
12. Kusumawardani N. Faktor-faktor
yang
berhubungan
antara
pengetahuan, keterampilan dan
motivasi petugas dengan kinerja
dalam
meningkatkan
cakupan
penemuan penderita baru TB Paru
di Dinas Kesehatan Kabupaten
Kampar Provinsi Riau. [Skripsi].
Jakarta: FKM UI; 2012.
13. Widoyono. Penyakit tropis :
epidemiologi,
penularan,
pencegahan dan pemberantasannya.
Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.
14. Wibowo.
Manajemen
kinerja.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada;
2007.
15. Rahayuningsih, S.U. Psikologi
umum [dokumen di internet]. 2008
[diunduh 14 September 2014].
Tersedia
dari:http://nurul_q.
staff.gunadarma.ac.id/Downloads/
files/9095/bab1-sikap-1.pdf
16. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasardasar metodelogi penelitian klinis.
Edisi Ketiga. Jakarta: CV. Sagung
Seto; 2010.
17. Nazir M. Metode penelitian. Jakarta:
Penerbit Ghalia Indonesia; 2009.

Anda mungkin juga menyukai