Anda di halaman 1dari 13

ASPEK FARMAKOKINETIKA KLINIK OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN PADA

PASIEN SIROSIS HATI


DI BANGSAL INTERNE RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
PERIODE OKTOBER 2011 JANUARI 2012
Oleh : Ira Oktaviani Rz*)
Korespondensi : irarazak@ymail.com
Farmakokinetika klinik adalah penerapan prinsip farmakokinetik pada keamanan dan manajemen terapi obat yang
efektif pada seorang pasien. Pada prinsipnya penerapan farmakokinetika klinik bertujuan untuk meningkatkan
efektivitas terapi atau menurunkan efek samping dan toksisitas obat pada pasien. Sirosis hepatis adalah penyakit
yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat,
degenerasi, dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati. Pada sirosis hati,
dapat terjadi akumulasi kadar obat di dalam plasma terutama yang dimetabolisme di hati, konsekuensinya regimen
dosis obat tertentu harus disesuaikan berdasarkan laju metabolisme pasien dengan gangguan fungsi hati.Penelitian
ini dilakukan pada pasien rawat inap di bangsal interne RSUP. DR. M. DJAMIL Padang selama 4 bulan (Oktober
2011Januari 2012). Jenis data yang diambil meliputi masalahmasalah aspek farmakokinetik yang ditemukan
terkait dengan pengunaan obat-obat yang dapat memperburuk fungsi hati yaitu aspek kesesuaian dosis, efek samping
yang merugikan, efek toksik dan interaksi. Untuk penyesuaian dosis individual dilakukan berdasarkan data nilai
child pugh. Data dianalisa secara statistik deskriptif serta dilakukan perhitungan jumlah persentase dan disajikan
dalam bentuk tabulasi dan diagram. Dari penelitian ini diperoleh data pasien menerima 4 jenis obat yang dapat
memperburuk fungsi hati dengan dosis yang masih relatif aman. Persentase pasien sirosis hati berdasarkan nilai
Child Pugh didapatkan 95% berada pada kelas C (keadaan hati berat) dan 5 % berada pada kelas B (keadaan hati
sedang), sedangkan pada kelas A (keadaan hati ringan) tidak ditemukan. Pasien masih menerima polifarmasi sebesar
60% dengan jumlah obat mulai dari 9 14 jenis obat yang sebagian besar dimetabolisme di hati dan dapat
memperparah fungsi hati.

PENDAHULUAN
Farmakokinetik
adalah
studi
yang
menghubungkan antara regimen dosis dan perubahan
konsentrasi obat di dalam tubuh setiap waktunya. Tipe
konsentrasi diukur di dalam darah, serum atau plasma,
dan antara konsentrasi-waktu dideskripsikan dalam
bentuk persamaan. Pengetahuan mengenai hubungan
antara kosentrasi obat di dalam darah dengan respon
klinik atau farmakodinamik, berikut efek terapetik dan
efek toksik, diukur dengan menggunakan profil
konsentrasi-waktu yang juga dapat menggambarkan
respon optimal dan resiko minimum toksisitas. Pasien
dengan parameter farmakokinetik yang berubah,
regimen dosis dari pasien harus diubah pula, untuk
menjamin profil konsentrasi-waktu yang optimal.
(North & Lewis, 2008).
Di
dalam
bidang
farmasi
klinis,
farmakokinetika memiliki beberapa kegunaan yang
cukup penting, yaitu (Santoso, 1985):
a. Untuk memilih rute pemberian obat yang paling
tepat. Apakah harus secara injeksi intravena, atau
bisa dengan rute lain seperti secara oral, rektal dan
lain-lain. Ini dapat dilakukan dengan menilai
ketersediaan biologis obat setelah pemberian

dalam berbagai rute pemberian, dan dengan


mempertimbangkan profil kinetika obat yang
dihasilkan oleh berbagai rute pemberian tersebut.
b. Dengan cara pertimbangan farmakokinetika dapat
dihitung aturan dosis yang tepat untuk setiap
individu (dosage regimen individualisation).
Sampai saat ini prinsip farmakokinetika termasuk
cara yang paling tepat untuk pengindividualisasian
dosis, khususnya untuk obat-obat dengan daerah
kerja terapeutik sempit seperti teofilin, dan lainlain.
c. Data farmakokinetika suatu obat diperlukan dalam
penyusunan aturan dosis yang rasional.
d. Dapat membantu menerangkan mekanisme
interaksi obat, baik antara obat dengan obat
maupun antara obat dengan makanan.
Organ hati memegang peranan penting
sebagai organ yang berfungsi sebagai eliminasi dan
bertanggung jawab terhadap metabolisme beberapa
bagian besar golongan obat. Pada penyakit gangguan
fungsi hati, kemampuan organ tersebut untuk
memetabolisme obat juga akan terganggu. Struktur atau
fungsinya yang abnormal akan mempengaruhi
kemampuan dari hati untuk menangani efektifitas obat
(Barber, Nick, Alan, 2006).

Untuk obat yang metabolisme utamanya melalui hati,


farmakokinetika harus diperhitungkan pada pasien
dengan gangguan fungsi hati (seperti : hepatitis atau
sirosis). Ketika meresepkan obat yang eliminasi utama
melalui hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati,
adalah sangat mungkin untuk melakukan penurunan
dosis pemeliharaan dari dosis normal. Menurunkan
dosis normal dan memperpanjang interval dosis, atau
memodifikasi keduanya. Metoda aktual yang digunakan
untuk menurunkan dosis pada pasien dengan gangguan
fungsi hati dan normal adalah dengan membandingkan
beberapa rute pemberian obat dengan beberapa bentuk
sediaan (Bauer, 2008).
Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai
oleh adanya peradangan difus dan menahun pada hati,
diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi, dan
regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan
dalam susunan parenkim hati. Sirosis hepatis juga
merupakan penyakit hati kronis yang tidak diketahui
penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa
penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit
hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati. Kondisi
ini menyebabkan terbentuknya banyak jaringan ikat dan
regenerasi noduler dengan berbagai ukuran yang
dibentuk oleh sel parenkim hati yang masih sehat.
Akibatnya bentuk hati yang normal akan berubah
disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan
terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya
menyebabkan hipertensi portal. Pada sirosis dini
biasanya hati membesar, teraba kenyal, tepi tumpul, dan
terasa nyeri bila ditekan (Husnul, 2008).
Di Indonesia, data prevalensi sirosis hati
belum ada, hanya laporan-laporan dari beberapa pusat
pendidikan saja, seperti di RS DR.Sarjito Yogyakarta
jumlah pasien sirosis berkisar antara 4,1% dari pasien
yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun
waktu 1 tahun (2004) dan di Medan dalam kurun waktu
4 tahun dijumpai pasien dengan sirosis hati sebanyak
819 (4%) pasien dari seluruh pasien di Bagian Penyakit
Dalam. (Sudoyo, 2007). Di bangsal interne RSUP. DR.
M. Djamil Padang, tercatat jumlah pasien dengan sirosis
hati (tidak spesifik) di temukan data sebesar 220 pasien
yang dirawat selama 2009 dan 317 pasien yang dirawat
selama tahun 2010 (tidak dipublikasikan).
Pada sirosis hati, dapat terjadi akumulasi
kadar obat di dalam plasma terutama yang
dimetabolisme di hati, konsekuensinya regimen dosis
obat tertentu harus disesuaikan berdasarkan laju
metabolisme pasien dengan gangguan fungsi hati. Oleh
karenanya perlu dilakukan
penelitian Aspek
Farmakokinetik Klinik Obat-Obat yang digunakan
pada pasien sirosis hati yang berada di bangsal interne
RSUP. Dr. M. Djamil Padang untuk dapat
meminimalkan toksisitas dan mengoptimalkan kualitas
hidup pasien.
Farmasis, sebagai salah satu profesional

kesehatan, perlu mengetahui pengaruh penyakit hati


pada farmakokinetika dan perlakuan terhadap obat,
untuk memastikan bahwa obat diresepkan dengan tepat
dengan resiko reaksi obat merugikan dan toksisitas
diminimalkan. Farmasis juga diharuskan mengerti dan
mengetahui perubahan data laboratorium untuk menilai
perubahan keadaan klinik yang signifikan dari pasien
dengan gangguan fungsi hati (Barber, Nick, Alan,
2006; Aslam, et al, 2004).
METODOLOGI
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan kurang lebih selama 4
bulan (Oktober 2011 sampai Januari 2012) di bangsal
interne RSUP. DR. M. Djamil Padang.
Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
data observasi prospektif yang dilengkapi dengan
wawancara langsung terhadap pasien dan keluarga
pasien yang dirawat di bangsal interne RSUP. DR. M.
Djamil Padang.
Jenis Data
1) Data Kuantitatif
Meliputi persentase penggunaan obat-obat yang
dapat memperburuk fungsi hati di bangsal interne
RSUP. DR. M. Djamil Padang.
2) Data Kualitatif
Meliputi masalahmasalah aspek farmakokinetik
yang ditemukan terkait dengan pengunaan obatobat yang dapat memperburuk fungsi hati yaitu
aspek kesesuaian dosis, efek samping yang
merugikan, efek toksik dan interaksi yang terjadi
yang bermakna klinik.
Pengambilan Data
Data yang diambil adalah data reka medik
pasien dan observasi langsung kepada pasien atau
keluarga pasien yang dirawat inap di bangsal interne
RSUP. DR. M. Djamil Padang. Kemudian obat yang
digunakan dicatat pada formulur yang tersedia. Adapun
data yang dibutuhkan pada reka medik antara lain:
nama pasien, jenis kelamin, umur, obat yang digunakan,
kadar SGPT, kadar SGOT, waktu protombin, kadar
albumin darah, kadar bilirubin total, asites, ensefalopati
hepatika dan data-data lain yang diperlukan.
Analisa Data
Evaluasi gejala klinis pada pasien yang terlihat
dengan peningkatan intensitas efek samping atau efek
toksik akibat interaksi obat maupun menurunnya
metabolisme karena sirosis hati. Data dianalisis secara
deskriptif serta dilakukan perhitungan jumlah
persentase dan disajikan dalam bentuk tabulasi dan
diagram

HASIL
Setelah dilakukan penelitian mengenai aspek
farmakokinetika klinik obat-obat yang digunakan pada
pasien sirosis hati di bangsal interne RSUP DR. M.
Djamil Padang berdasarkan data prospektif pasien yang
dirawat selama bulan Oktober 2011 sampai Januari
2012 terhadap 20 orang pasien diperoleh hasil sebagai
berikut :
1. Dari hasil observasi terhadap sampel
a. Persentase pasien dengan diagnosis sirosis hati
berdasarkan jenis kelamin (n = 20), yaitu pria
55% (11 pasien), wanita 45% (9 pasien)
dengan lama rawatan antara 8 39 hari.
b. Persentase pasien sirosis hati berdasarkan
rentang usia (n=20) yaitu dewasa (17-65 tahun)
80% (16 pasien) dan usia lanjut (>65 tahun) 20
c. Persentase pasien sirosis hati berdasarkan
kebiasaan hidup (n=20) yaitu dengan riwayat
peminum alkohol sebanyak 20%, pasien
dengan riwayat mengkonsumsi obat-obat
penghilang nyeri sebanyak 25%, pasien dengan
riwayat pekerja keras dengan pola tidur tidak
teratur sebanyak 20%, dan faktor penyebab
lainnya yang tidak diketahui sebanyak 35%.
d. Terapi yang diterima pasien yaitu: Curcuma,
NTR, Spironolakton, Sukralfat, Vitamin K,
KSR(KCl),
Kalitake(Ca
polystyrene
sulfonate), Transamin(Asam traneksamat),
Ceftriaxon,
Lactulax(Lactulosa),

Ciprofloxacin, Sistenol (Paracetamol 500mg,


n-acetylcysteine 200 mg), Madopar(Levodopa
100mg,
benserazide
HCl
25
mg),
Ascardia(Asam
asetilsalisilat),
Novorapid(Insulin aspart), Levemir(Insulin
detemir),
Bisolvon(Bromheksin
HCl),
Ambroksol, Cefotaxim, Deksametason, Liver
Care, Azytromicin, Ventolin(Salbutamol
sulfat),Metilprednison, Dulcolax(Bisacodyl),
Captopril. Obat yang dimetabolisme terutama
di hati yang diterima pasien yaitu propanolol
pada 7 pasien, lansoprazol pada 4 pasien. Obat
dengan indeks terapi sempit yaitu warfarin
pada 1 pasien. Obat yang dapat menyebabkan
ensefalopati hepatik yaitu Diuretika furosemid
pada 9 pasien. Data dapat dilihat pada tabel 1.
e. Persentase pasien dengan kriteria nilai Child
Pugh berdasarkan derajat keparahan gangguan
fungsi hati diketahui pengelompokan rentang
skor nilai Child Pugh kelas A (<7 poin), kelas
B (7-9 poin), dan kelas C (10-15 poin) masingmasing 0%, 5%, dan 95%. Data dapat dilihat
pada tabel 2.
2. Persentase jumlah pengelompokan rentang
skor nilai Child Pugh berdasarkan besar
pengurangan
dosis
diketahui
besar

3.

4.

pengurangan dosis pada nilai skor lebih dari 10


poin adalah 100% yang terjadi pada
lansoprazol.
Pasien yang mengalami gejala objektif
hepatotoksik yang meliputi peningkatan kadar
SGOT/SGPT, penurunan serum albumin,
penurunan serum protein total, peningkatan
kadar bilirubin, peningkatan waktu protombin
yaitu persentase pasien yang mengalami
peningkatan kadar SGOT/AST sebanyak 50%,
persentase pasien dengan nilai SGOT/AST
normal sebanyak 25%, dan data tidak lengkap
sebanyak 25%. Persentase pasien yang
mengalami peningkatan kadar SGPT/ALT
sebanyak 30%, pasien dengan nilai SGPT/ALT
normal sebanyak 45%, dan data tidak lengkap
sebanyak
25.Persentase
pasien
yang
mengalami
penurunan
serum
albumin
sebanyak 50%, pasien dengan nilai serum
albumin normal sebanyak 40%, dan data tidak
lengkap sebanyak 10%. Persentase pasien yang
mengalami penurunan serum protein total
sebanyak 45%, pasien dengan nilai serum
protein total normal sebanyak 35%, dan data
tidak lengkap sebanyak 20%. Persentase
pasien yang mengalami peningkatan kadar
bilirubin sebanyak 25%, pasien dengan nilai
bilirubin normal sebanyak 15%, dan data tidak
lengkap sebanyak 60%. Persentase pasien yang
mengalami peningkatan waktu protombin
sebanyak 25%, pasien yang tidak mengalami
perpanjangan waktu protombin sebanyak 15
%, dan data tidak lengkap sebanyak 60%.
Dari gejala subjektif yang dialami pasien,
maka persentase pasien yang mengalami lemah
sebesar 90%, penurunan berat badan sebesar
85%, mual/muntah sebesar 60%, perut tidak
nyaman sebesar 90%, sedikit demam sebesar
65%, dan yang mengalami kebingungan
sebesar 35%.

PEMBAHASAN
Penelitian ini membahas tentang aspek
farmakokinetika klinis obat-obat yang digunakan pada
pasien sirosis hati di bangsal interne RSUP. DR. M.
Djamil Padang selama empat bulan.
Gambaran Umum Pasien
Pengambilan data penelitian secara prospektif
di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang yaitu
pasien sirosis hati. Dari hasil observasi terhadap 20
orang sampel diketahui bahwa jumlah data pasien
sirosis hati berdasarkan jenis kelamin di bangsal interne
RSUP. DR. M. Djamil Padang dari bulan Oktober 2011
hingga bulan Januari 2012 diperoleh persentase data
pasien laki-laki dengan sirosis hati sebesar 55% (11
pasien) dan persentase data pasien perempuan dengan

sirosis hati sebesar 45% (9 pasien). Banyak faktor yang


mempengaruhi hasil penelitian bahwa pria lebih rentan
menderita gangguan fungsi hati, seperti kebiasaan
kebanyakan pria merokok dan sering mengkonsumsi
alkohol, dimana terlihat pada penelitian ini, faktor
pasien yang masuk dengan riwayat pecandu alkohol
sebanyak 20% dan sebagian besar merupakan perokok
berat, disamping itu berdasarkan wawancara terhadap
pasien, kebanyakan dari pasien pria mengaku memulai
waktu tidur lebih malam, dan beberapa dari mereka
merupakan seorang supir yang terkadang bekerja pada
waktu malam hari. Seperti diketahui proses
detoksifikasi yang dilakukan oleh hati terjadi antara
rentang pukul 11 malam hingga pukul 1 pagi, dimana
proses ini akan berlangsung bila seseorang dalam
keadaan tidur nyenyak. Angka kejadian di Indonesia
menunjukkan penderita sirosis hati lebih banyak
dijumpai pada kaum laki-laki jika dibandingkan dengan
kaum wanita sekitar 1,6 : 1 dengan umur rata-rata
terbanyak antara golongan umur 30 59 tahun dengan
puncaknya sekitar 40 49 tahun (Sutadi, 2003).
Pendapat ini juga didukung lagi dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sudoyo dan kawan-kawan selama tahun
2006, sirosis hati lebih banyak ditemukan pada pria
dibandingkan kaum wanita dengan rasio perbandingan
2-4 : 1 (Sudoyo, 2007). Pada aspek farmakokinetika
obat terdapat adanya perbedaan berdasarkan jenis
kelamin. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Offie P
dan kawan-kawan menunjukkan adanya perbedaan
metabolisme obat tertentu berdasarkan jenis kelamin
(Soldin, Chung, Mattison, 2011).
Sirosis hati merupakan penyakit yang sering
dijumpai di seluruh dunia termasuk di Indonesia, kasus
ini lebih banyak dijumpai dengan umur rata-rata
terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun dengan
puncaknya sekitar 40-49 tahun (Hadi, 2008).
Berdasarkan perbandingan persentase jumlah data
pasien dengan sirosis berdasarkan pengelompokan umur
di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang,
terlihat pasien dengan umur antara 17-65 tahun
sebanyak 80% (16 orang), dan pasien diatas 65 tahun
sebanyak 20% (4 orang). Pada penelitian ini, terdapat
80% pasien dengan rentang umur dewasa yang
mengalaminya, ini mungkin dapat terjadi akibat bahanbahan kimia yang meracuni hati, obat-obatan, alkohol
dan gaya hidup orang dewasa yang tidak sehat, seperti
tidur larut malam, pekerja keras, dan kebiasaan
mengkonsumsi minuman penambah energi. Penyakit ini
juga dapat terjadi akibat infeksi virus hepatitis namun
pada penelitian ini berdasarkan hasil wawancara dan
riwayat penyakit terdahulu dari pasien, tidak terdapat
pasien dengan riwayat penyakit akibat infeki virus
ataupun yang telah mengalami penyakit hepatitis. Dari
hasil wawancara yang dilakukan terhadap pasien
dimana sebagian besar pasien merupakan pecandu
alkohol, petani yang bekerja keras, mereka yang suka

meminum obat-obatan penghilang rasa sakit. Dan dari


kebiasaan hidup ini berdasarkan data demografinya
didapatkan bahwa pasien dengan riwayat peminum
alkohol sebanyak 20%, pasien dengan riwayat
mengkonsumsi obat-obat penghilang rasa nyeri
sebanyak 25%, pasien dengan riwayat pekerja keras
dengan pola tidur tidak semestinya sebanyak 20%, dan
faktor penyebab lainnya yang tidak diketahui sebanyak
35%.
Gambaran Penggunaan Obat Pasien
Etiologi
sirosis
hati
mempengaruhi
penanganannya.
Penatalaksanaan
sirosis
hati
mempunyai tujuan untuk mengurangi progresi penyakit,
menghindari bahan-bahan yang bisa menambah
kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
Prinsip pengobatan berupa simtomatis, supportif seperti
istirahat yang cukup, pengaturan makanan yang cukup
dan seimbang, pengobatan berdasarkan etiologi. Serta
pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan
diberikan jika telah terjadi komplikasi seperti asites,
spontaneous bacterial peritonitis BP, varises esofagus,
ensefalopati hepatik.
Dari hasil penelitian, terapi yang diberikan
kepada pasien belum sepenuhnya sesuai dengan standar
terapi ilmu penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil
Padang, dapat terlihat dari terapi yang diterima pasien
yang banyak menerima terapi simtomatis, sedangkan
berdasarkan standar terapi, untuk tindakan awal pasien
harus membatasi kerja fisik, menghindari obat-obat
hepatotoksik, diet yang kaya kalori dan protein. Adapun
terapi simtomatis yang diberikan yaitu Curcuma 3 x 1
tablet, NTR 2 x 1 tablet, Liver Care 2 x 1 tablet.
Terapi penyerta seperti Spironolakton, digunakan untuk
komplikasi udem dan asites pada 18 orang, bila terapi
ini belum menunjukkan efek yang optimal maka
diberikan kombinasi dengan furosemid, pasien yang
mendapatkan terapi Furosemid (Lasix) pada 12 orang.
Lansoprazol digunakan untuk pencegahan dan
pengobatan komplikasi esofagus atau varises esofagus
pada 4 orang. Propanolol digunakan untuk penanganan
hipertensi portal pada 8 orang. Antibiotik digunakan
untuk penanganan peritonitis bakterial spontan adalah
Ceftriakson pada 8 orang, Cefotaksim pada 7 orang,
Ciprofloksasin pada 7 orang. Sukralfat digunakan untuk
penanganan ulkus peptik pada 2 orang. Vitamin K
digunakan untuk penanganan perdarahan akibat varises
esofagus yang dialami pasien 7 orang. Transamin yang
dikombinasikan untuk penanganan perdarahan akibat
varises esofagus pada 5 orang. Laktulosa digunakan
untuk penanganan ensefalopati hepatik pada 9 orang.
Madopar digunakan untuk terapi parkinson simptomatis
pasca ensefalitis pada 6 orang. Ambroksol digunakan
dalam penanganan batuk pasien pada 7 orang. Sistenol
digunakan sebagai antipiretik pada 13 orang. Dan
penggunaan obat lainnya seperti Novorapid dan

Levemir pada 2 orang, Warfarin digunakan sebagai


antikoagulan dalam menangani gagal jantung kongestif
yang dialami pada 1 orang, Ascardia sebanyak 1 orang,
Deksametason sebanyak 2 orang, Azytromicin
digunakan untuk penanganan pneumonia yang dialami
pasien yaitu 3 orang. Selama pengamatan dalam
penelitian bahwa terapi sirosis hati yang diterima pasien
masih belum sesuai dengan standar terapi, dimana
disetiap pasien yang masuk diberikan terapi simtomatis
seperti neurotropik dan livercare yang mungkin saja
dapat memperberat kerja hati pasien.
Dari hasil pengamatan, terapi yang diterima
pasien dengan sirosis hati ini begitu kompleks dan
banyak, mengingat penyakit ini merupakan bentuk akhir
kerusakan hati dengan digantinya jaringan rusak oleh
jaringan fibrotik yang akan menyebabkan terjadinya
penurunan fungsi hati. Oleh karenanya hendaknya
terapi yang diberikan kepada pasien langsung saja
menuju sasaran, tidak menambahkan pengobatan yang
dirasa tidak perlu. Meskipun penyakit ini bersifat
irreversible, tetapi dengan pengobatan yang baik maka
pembentukan jaringan ikat dapat dikurangi dan
peradangan yang terjadi dapat dihentikan. Dapat dilihat
pada pasien dengan kode I yang berumur 76 tahun
dimana pasien menerima terapi sebanyak 14 macam
obat. Melihat kondisi klinis pasien, pasien mengalami
ensefalopati grade I-II dimana pasien hanya tertidur
lemah, mengigau, pandangan kosong dan selalu gelisah.
Pasien masuk dengan keluhan perut membuncit
meningkat semenjak 2 hari sebelum masuk rumah sakit,
BAK seperti teh pekat dan BAB hitam sepeti aspal,
mata kuning dan mengalami demam yang hilang
timbul. Diagnosa yang ditegakkan kepada pasien yaitu
sirosis hati post nekrotik stadium dekompensata, anemia
ringan normositik normokrom, syok sepsis, dan BP
duplek. Pada hari ketiga rawatan pasien mengalami
precoma hepatik, terjadi peningkatan kadar SGOT
namun tidak pada kadar SGPT, terjadi penurunan kadar
albumin, peningkatan kadar bilirubin dan perpanjangan
waktu protombin. Pasien mendapatkan terapi antibiotik
yang berganti sebanyak tiga kali, yaitu ceftriakson,
setelah 7 hari rawatan pasien menerima cefotaksim
yang diberikan bersamaan dengan ciprofloksasin.
Antibiotik ini perlu dalam penanganan peritonitis
bakteri spontan, dimana terjadinya infeksi spontan pada
cairan asites tanpa adanya sumber infeksi yang jelas
dari intraabdomen (Ghassemi, et al, 2007). Menurut
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI), antibiotik
pilihan utama dalam penanganan SBP adalah
cefotaksim karena antibiotik ini berspektrum luas,
efektifitasnya tinggi dan aman untuk hati. Jadi
sebaiknya pasien diberikan terapi cefotaksim dari awal
pengobatan dan pemberian bersamaan dengan antibiotik
ciprofloksasin yang dieliminasi utama di ginjal dirasa
kurang tepat, mengingat prognosis penyakit pasien yang
semakin memburuk. Sebagaimana diketahui bahwa

kerusakan hati lanjut dapat menyebabkan penurunan


perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan perfusi
glomerulus (Nurdjanah, 2007). Selanjutnya pasien
mendapatkan terapi vitamin K 3 x 1 ampul (1 ampul:
10mg/ml) dan transamin 3 x 1 ampul yang digunakan
dalam penanganan varises esofagus yang dialami
pasien. Dalam hal ini pemberian vitamin K dianggap
sudah tepat, dimana pasien sirosis hati dengan
peningkatan kadar bilirubin dan perpanjangan waktu
protombin akan mengalami defisiensi vitamin K.
Dengan pemberian vitamin K 10 mg secara oral atau
subkutan, biasanya kondisi pasien akan membaik
setelah 24 jam, sehingga pemberian kombinasi dengan
transamin dirasa kurang perlu (Lata, et al, 2003). Dalam
penanganan ensefalopati hepatik pasien berdasarkan
pedoman diagnosa dan terapi RSUP DR. M. Djamil,
untuk pengelolaan ensefalopati hepatik akut, dapat
dengan mengatasi faktor-faktor pencetus seperti
perdarahan, alkohol, antibiotik, infeksi, transfusi darah;
pengosongan usus dari bahan-bahan yang mengandung
nitrogen, hentikan obat-obatan yang mengandung
nitrogen; diet tanpa protein; sterilisasi usus dengan
neomisin, kanamisin oral; hentikan penggunaan
diuretik/ pemeriksaan elektrolit serum; pertahanan
keseimbangan kalori cairan elektrolit. Untuk
ensefalopati menahun dapat dengan menghindari obatobatan yang mengandung nitrogen; diet miskin protein
(50g/24 jam); laktulosa 10-30 ml 3 kali sehari. Pasien
disini menerima terapi lactulax(Laktulosa) 3 x 30 ml
dan Madopar (Levodopa 100mg; Benserazide HCl 25
mg) yang digunakan sebagai terapi simtomatis pasca
ensefalopati. Pada penelitian ini, penanganan
ensefalopati pasien tidak sepenuhnya sesuai dengan
PDT RSUP DR. M. Djamil Padang dimana pemberian
Madopar dirasakan kurang tepat dikarenakan tujuan
pemberiannya tidak jelas. Penanganan ensefalopati
seharusnya diberikan laktulosa 10 30 ml 3 x sehari
untuk membantu pasien mengeluarkan amonia dan bila
perlu ditambahkan dengan neomisin untuk mengurangi
bakteri usus penghasil amonia (Katzung, 2004; PDT
RSUP DR. M. Djamil Padang, 2007). Pasien juga
mendapatkan terapi deksametason 3 x 1 ampul yang
dirasa tidak ada tujuan pemberiannya pada kasus ini,
sehingga pemberian deksametason dianggap kurang
tepat. Mengingat pasien seorang usia lanjut, pemberian
obat dalam jumlah banyak hendaknya dihindari, karena
perlu adanya perhatian yang khusus terhadap pasien
dengan usia lanjut yang mengalami sirosis hati, dimana
pada pasien usia lanjut yang mengalami gangguan
fungsi hati dikarenakan aliran darah ke hati pada pasien
umur >60 tahun berkurang hingga 50-60 %
dibandingkan pada pasien usia muda sekitar 20 30
tahun (Katzung, 2004). Kemampuan hati untuk
memetabolisme obat tidak akan sama berdasarkan
perbedaan umur untuk semua jenis obat. Riwayat
penyakit hati pada orang tua harus menjadi acuan dalam

pemberian terapi yang eliminasinya terutama melalui


hati (Katzung, 2004).
Gambaran
Penggunaan
Obat
Berpotensi
Hepatotoksik
Dari hasil pengamatan terhadap penggunaan
obat-obatan pada pasien sirosis hati di bangsal interne
RSUP. DR. M. Djamil Padang didapatkan beberapa
jenis obat yang berpotensi dapat menambah kerusakan
fungsi hati pasien, diantaranya obat yang dimetabolisme
terutama di hati yaitu propanolol, lansoprazol. Obat
dengan indeks terapi sempit yaitu warfarin. Obat yang
dapat menyebabkan ensefalopati hepatik yaitu diuretika
furosemid, data dapat dilihat pada tabel 1.
Propanolol
merupakan
obat
golongan
penghambat reseptor -adrenergik yang pada sirosis
hati bertujuan dalam penanganan hipertensi portal yang
digunakan untuk mencegah perdarahan awal dan
perdarahan kembali dari varises pada pasien sirosis
(Sukandar, 2008). Propranolol diabsorbsi melalui
saluran cerna, akan berikatan dengan jaringan hati dan
mengalami first-pass metabolisme, selain itu propanolol
terikat dalam jumlah besar dengan protein plasma
sehingga pada pasien kerusakan hati dan sirosis hati
dimana terjadi penurunan massa sel hati akan
menurunkan metabolisme lintas pertama dan akan
berakibat juga pada peningkatan bioavailabilitas obatobat tersebut. Sehingga dengan adanya peningkatan
bioavailabilitas tersebut diperlukan dosis yang lebih
kecil dan normal. Dalam penelitian lain yang
menyatakan tentang penggunaan propranolol pada
pasien penyakit hati harus hati-hati, berdasarkan
penelitian yang dilakukan Wood dan kawan-kawan
didapatkan bahwa adanya peningkatan konsentrasi
propanolol di dalam darah pasien sirosis hati yang
dibandingkan dengan kontrol. Waktu paruh untuk dua
grup tersebut yaitu 11,2 jam dan 4 jam (Wood, et al,
1978). Penelitian farmakokinetika propanolol lainnya
menunjukkan bahwa pada pasien dengan sirosis hati
dan hipertensi portal terdapat hasil yang menyatakan
bahwa pemakaian propranolol dengan dosis 20 mg,
terdeteksi adanya konsentrasi obat yang tinggi
dibandingkan normal, dan pada pasien dengan
penurunan fungsi hati propanolol ditemukan setelah 24
jam setelah pemberian dosis tunggal. Pada penelitian ini
diindikasikan bahwa pasien dengan gangguan fungsi
hati (serum albumin <30 g/l, Child grade C)
menunjukkan kinetika farmakokinetik propanolol yang
berubah dengan efek yang terlalu banyak. Oleh
karenaya, diharapkan ketika propanolol diberikan pada
pasien dengan gangguan fungsi hati perlu adanya
pengamatan terhadap pasien di rumah sakit (Susla &
Artkinson, 2007; Cales, et al, 1989). Dari hasil
pengamatan terhadap pasien sirosis hati di bangsal
interne RSUP DR. M. Djamil Padang, pasien menerima
propanolol sebesar 1 x 10 mg hingga 2 x 10 mg, dosis
ini dianggap aman karena telah dimulai dari dosis kecil

untuk mereka dengan penurunan fungsi hati. Pada


Handbook of Clinical Drug, terapi dengan dosis rendah
diberikan pada pasien hipotiroid atau penyakit dengan
gangguan fungsi hati, dimulai dengan dosis rendah dan
ditingkaatkan secara perlahan berdasarkan respon klinis
pasien. Dosis lebih baik diberikan 1 kali 10 mg,
kemudian ditingkatkan dosisnya secara perlahan sesuai
klinis pasien.
Lansoprazol merupakan golongan obat
penghambat pompa proton yang dalam terapi sirosis
hati digunakan untuk pencegahan dan pengobatan
komplikasi esofagus atau varises esofagus (Lodato, et
al, 2008). Bersihan lansoprazol akan menurun pada
pasien lanjut usia dan pasien penyakit hati (Hussein, et
al, 1993). Menurut penelitian klinis, metabolisme
lansoprazol akan diperpanjang bila terdapat gangguan
fungsi hati berat. Berdasarkan penelitian oleh Landes
dan kawan-kawan dengan penggunaan lansoprazol
dosis 30 mg/hari dan penelitian yang dilakukan oleh
Lodato dan kawan-kawan dengan penggunaan
lansoprazol dosis 40mg/hari sebaiknya dilakukan
penurunan dosis pada pasien dengan sirosis hati,
dimana terjadi peningkatan AUC dari lansoprazol dan
pemanjangan waktu paruh menjadi 6,1 jam pada dosis
30mg/hari dan 4 hingga 8 jam pada dosis 40mg/hari,
sehingga terjadinya resiko peningkatan akumulasi dari
obat (Landes, Petite, Flouvat,1995; Lodato, et al, 2008).
Dikarenakan ketakutan akan terjadinya akumulasi obat
pada pasien sirosis hati sehingga perlu adanya perhatian
khusus dan penurunan dosis pun perlu dilakukan. Dari
hasil penelitian terhadap pasien sirosis hati di bangsal
interne RSUP DR. M. Djamil Padang diperoleh dosis
yang digunakan adalah 1x 30 mg/hari, dimana
seharusnya dosis lansoprazol diberikan berdasarkan
dosis indvidualnya. Dosis lansoprazol adalah 15-30
mg/hari, sehingga untuk mereka dengan nilai child pugh
B setelah dikurangi 25% maka didapatkan dosis
lansoprazol adalah 11,25-22,50 mg/hari, dan mereka
dengan nilai child pugh C setelah dikurangi 50% maka
didapatkan dosis lansoprazol adalah 7,5 15 mg.
Furosemid merupakan obat golongan diuretik
jerat Henle yang dapat digunakan dalam pengobatan
asites sebagai dampak dari komplikasi penyakit sirosis
hati. Mekanisme kerja furosemid adalah menghambat
reabsorbsi sodium dan klorida di proksimal bagian dari
jerat henle (Ehrenpreis & Ehrenpreis, 2001). Furosemid
yang bebas dapat meningkat pada mereka dengan
gangguan fungsi hati, ginjal dan sirosis hati. Disamping
itu furosemid tidak boleh diberikan pada pasien dengan
keadaan pre-koma yang berkaitan dengan sirosis hati,
karena pada gangguan fungsi hati dapat meningkatnya
nilai volume distribusi dari furosemid (Ponto, 1990).
Pemberian furosemid yang berlebih juga menjadi faktor
pemicu terjadinya ensefalopati hepatik. Mekanisme
kerjanya melalui induksi hipokalemia dan alkalosis
metabolik, dimana alkalosis memicu difusi amonia

nonionik dan amin lainnya ke dalam sistem saraf pusat,


demikian juga asidosis intraseluler yang dapat
menjebak amoniak dengan cara mengkonversinya
kembali menjadi ion amonium (Gerber, et al, 2000;
Blei, 2000). Pada pasien penyakit jantung kronik dan
kerusakan fungsi hati yang sedang, terapi furosemid
dosis tinggi dapat meningkatkan enzim-enzim hati
sehingga akan menginduksi terjadinya hepatitis. Oleh
karenanya, perlu perhatian khusus bagi pasien sirosis
hati dengan komplikasi ensefalopati hepatik terhadap
dosis terapi furosemid, sehingga perburukan keadaan
pasien dapat dihindari. Dalam pedoman penanganan
asites pada sirosis hati, furosemid diberikan dengan
dosis 40mg/hari dan dapat ditingkatkan dosisnya hingga
tidak lebih dari 160mg/hari setiap 2-3 hari (Moore,
Aithal, 2006). Dari hasil pengamatan terhadap pasien
sirosis hati di bangsal interne RSUP DR. M.Djamil
Padang, pasien menerima terapi furosemid sebesar 2 x 1
ampul (40 mg) dengan peningkatan dosis 2 x 40 mg.
Dosis furosemid yang diterima pasien dapat dikatakan
aman, karena pasien menerima furosemid dengan dosis
terendah sehingga peyesuaian dosis tidak perlu
dilakukan.
Warfarin merupakan antikoagulan oral. Lebih
dari 90% dari warfarin terikat pada albumin plasma,
yang mungkin menjadi penyebab kenapa volume
distribusinya kecil (ruang albumin), jika albumin
plasma rendah maka obat bebas dari warfarin ini akan
meningkat, oleh karenanya ia disebut obat dengan
indeks terapi sempit (Katzung, 2004; Jaffer, Bragg,
2003). Berdasarkan rasio ekstraksinya, warfarin
merupakan obat dengan rasio ekstraksi rendah, dimana
tidak menunjukkan ekstraksi lintas pertama yang
bermakna setelah pemberian oral. Dengan menurunnya
massa sel hati, maka menurun pula lah eliminasi dari
obat ini sehingga menyebabakan adanya resiko
akumulasi (Kenward & Tan, 2003). Pada penelitian ini
pasien menerima terapi warfarin sebagai terapi
antikoagulan dalam menangani penyakit gagal jantung
kongestif yang dialami pasien. Pengobatan dengan
warfarin harus didahului dengan dosis kecil harian
sebesar 5 mg. Penelitian prospektif secara acak
menunjukkan bahwa pasien lebih memungkinkan
memiliki nilai INR (International Normal Ratio) 3
hingga 5 hari setelah penggunaan warfarin dengan dosis
5 mg dibandingkan dengan 10mg. Dan dengan dosis 10
mg didapatkan hasil dimana nilai INR berada diluar
batas terapi (Harrison, L., Johnston, M., Massicotte,
M.P., 1997; Crowther, M. A., et al, 1999). Dari hasil
pengamatan pasien sirosis hati yang menggunakan
warfarin di bangsal interne RSUP DR. M.Djamil
Padang, pasien menerima warfarin 1 kali 2mg, dimana
diperhatikan selama 7 hari, bila nilai INR meningkat
maka dosis diturunkan 20% nya dan bila nilai INR
menurun maka dosis ditingkatkan 20% nya untuk
minggu selanjutnya. Pemberian warfarin dengan dosis

rendah ini direkomendasikan untuk mereka dengan


gangguan fungsi hati dan pasien dengan gagal jantung
(Jaffer & Bragg, 2003).
Analisa Farmakokinetik Obat Hepatotoksik
Dari hasil penelitian, pasien sirosis hati yang
fungsi hatinya telah menurun menerima kombinasi
terapi obat obat yang dapat memperparah fungsi hati.
Dari hasil analisa pengamatan farmakokinetik, dari 20
orang pasien sirosis hati di bangsal interne RSUP. DR.
M. Djamil Padang, 18 orang (90%) menerima terapi
obat-obat yang dapat memperparah fungsi hati dan 2
orang (10%) lainnya menerima terapi lebih dari 8
macam obat. Dari 20 orang pasien yang menerima obat
yang dapat memperparah fungsi hati tersebut
berdasarkan perhitungan nilai child pugh nya untuk
lansoprazol dimana 4 orang yang menerima terapi ini
didapatkan semua pasien (100%) menerima dosis yang
melebihi dosis individual. Untuk propanolol dimana 8
orang yang menerima terapi ini telah mendapatkan
dosis yang tepat, yaitu dosis terendah 1 x 10 mg yang
ditingkatkan menjadi 2x10 mg. Untuk furosemid dari
10 orang yang menerima terapi ini juga telah menerima
terapi dengan dosis yang tepat yaitu 2 x 1 ampul
(20mg). Keseluruhan dosis individual ini dihitung
berasarkan data nilai Child Pugh. Dari hasil
pengamatan tersebut, didapatkan bahwa sebagian besar
obat yang berpotensi memperparah fungsi hati yang
diterima pasien telah berada dalam dosis terapi yang
tepat, namun tetap perlu adanya pemantauan
penggunaan obat yang dapat memperparah fungsi hati
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pengukuran Nilai Child Pugh
Pengklasifikasian ini sangat penting karena
dapat digunakan untuk menetapkan tingkat keparahan
penyakit sirosis dan memprediksi kemampuan pasien
untuk bertahan, keadaan setelah operasi dan resiko
terjadinya perdarahan variceal (Dipiro, 2005).
Nilai
Child-Pugh
dengan
poin
8-9
menggambarkan penurunan yang sedang pada dosis
obat awal (~25%) untuk bahan yang dimetabolisme
pada hati (60%), dan pada poin 10 atau lebih
mengindikasikan penurunan yang signifikan pada
pemberian dosis awal (~50%) dibutuhkan untuk obat
yang metabolisme utamanya pada hati (Dipiro, 2005).
Dari data di atas, banyak kasus yang memerlukan
perhatian penting dalam pemberian dosis obat-obat
yang dapat mempengaruhi fungsi hati pasien.
Dari
pengamatan
berdasarkan
data
laboratorium pasien maka parameter nilai Child Pugh
berdasarkan derajat keparahan fungsi hati pada bulan
Oktober 2011 hingga Januari 2012 di bangsal interne
RSUP. DR. M. Djamil Padang terlihat persentase kelas
C merupakan skor yang paling banyak yaitu 95% (19
orang) dibandingkan kelas B yaitu 5% (1 orang), dan
tidak ditemukannya pasien dengan nilai pada kelas A,
data dapat dilihat tabel 2. Hal ini menunjukkan bahwa

sirosis hati merupakan penyakit hati stadium akhir


dimana pasien pada kelas C memiliki prognosa yang
lebih jelek dibandingkan pada kelas B dan A. Pada
penelitian ini, tidak ditemukannya kolom khusus untuk
penentuan nilai child pugh, peneliti mengelompokkan
sendiri data-data yang termasuk ke dalam kriteria nilai
child pugh dari hasil laboratorium yang ada di
rekamedik pasien, sehingga ada beberapa data yang
tidak diperiksa padahal sangat penting dalam
perhitungan nilai child pugh, mengakibatkan beberapa
dari pasien sirosis hati yang tidak dapat ditentukan nilai
child pugh nya yang sebenarnya merupakan parameter
penentuan tingkat keparahan penyakit ini yang berujung
pada penentuan dosis yang akan diterima pasien.
Kelompok pasien dengan kerusakan hati pada
nilai Child Pugh C dengan skor nilai 12 salah satunya
adalah pasien dengan kode K berumur 54 tahun dengan
berat badan 52 kg. Pasien merupakan seorang supir
dengan kebiasaan meminum alkohol. Masuk rumah
sakit dengan keluhan utama BAB hitam sejak masuk ke
rumah sakit dan muntah darah, BAK berwarna teh pekat
serta nafsu makan yang menurun. Pasien telah dikenal
menderita sirosis hati 6 bulan yang lalu, dengan
penyakit penyerta bronkopneumonia dupleks dan
diabetes mellitus tipe 2. Pada data laboratorium
berdasarkan Child Pugh menunjukkan nilai bilirubin
total 1,51 mg/dl, serum albumin 2,7 g/dl, waktu
protombin 14,7 detik, mengalami asites pada tahap
moderate, dan mengalami ensefalopati hepatik dengan
grade I. Pada kondisi klinis pasien tampak terdapatnya
udem pada kedua kaki, pasien masih tertidur lemah,
hanya bisa berbaring, perut dengan keadaan asites yang
terasa menyesak, dan tidak mengalami perubahan yang
berarti. Terapi yang diterima pasien yaitu curcuma 3 x 1
tab, sistenol 3 x 1 tab, propanolol 2 x 10mg,
spironolakton 1 x 100mg, lactulac 3 x 30cc, ambroksol
3 x 1 cth, cefotaksim 2 x 1g, sukralfat 3 x 1 cth, 1 x 30
mg, novorapid 3 x 12 ui, levemir 1 x 12 ui,
lasix(furosemid) 2 x 1 ampul, data dapat dilihat pada
Lampiran 7, Tabel 25. Dari kondisi pasien dengan nilai
Child Pugh C, maka pemberian obat yang dapat
memperburuk fungsi hati yaitu propanolol, lansoprazol,
dan obat yang dapat meningkatkan perburukan
ensefalopati hepatik yaitu furosemid sebaiknya
dihindari karena dikhawatirkan dapat memperburuk
prognosa penyakit pasien. Pasien menerima propanolol
2 x 10 mg, meskipun dosis ini telah aman pada pasien
sirosis hati, namun pemberian dosis propanolol dengan
dosis terendah 1 x 10 mg lebih baik dilakukan dan
beriring dengan keadaan klinis pasien, peningkatan
dosis dapat dilakukan. Sedangkan dosis lansoprazol
yang diterima perlu adanya penyesuaian dosis dengan
pengurangan 50% nya sehingga dosis yang seharusnya
diterima pasien yaitu 15 mg/hari. Bila diperlukan juga
hendaknya pemakaian ketiga obat ini dipantau sehingga
akumulasi dari obat dapat dihindari. Dari hasil

pengamatan selama pasien dirawat yaitu lebih kurang 1


bulan, tidak ditemukannya perbaikan yang signifikan
meskipun pasien tidak mengeluhkan adanya efek
samping apapun dari obat-obat yang diterima kecuali
keresahan akan perut yang semakin membesar dan
terasa menyesak. Namun berdasarkan dari data
laboratorium klinik pasien diduga terjadinya penurunan
fungsi hati dimana nilai SGPT yang meningkat menjadi
2 kali normal yaitu 66,85 u/l (normal : 0-33 u/l),
penurunan serum albumin yaitu 2,5 g/dl (normal: 4,05,2 g/dl), penurunan protein total yaitu 5,4 g/dl (normal:
6,6-8,7 g/dl), peningkatan waktu protombin yaitu 13,2
detik (normal: 9,8-12,6 detik). Pasien diperbolehkan
pulang setelah dilakukan parasintesis terhadap cairan
asites nya.
Nilai child pugh kelas B (8 poin) dialami
pasien dengan kode T, seorang pasien berumur 42 tahun
yang berprofesi sebagai petani, masuk rumah sakit
dengan keluhan utama susah tidur sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Pasien tidak memiliki
keluhan yang spesifik yang menunjukkan pasien sirosis
hati, pasien hanya mengalami sakit perut sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit, nafsu makan
menurun, demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit, BAB dan BAK biasa, tidak terdapat tanda-tanda
mata kuning dan kulit kuning. Pasien didiagnosa sirosis
hati stadium dekompensata post nekrosis dengan
hipertensi stage 1 dan dengan penyakit penyerta
bronkopneumonia dupleks. Pada kriteria nilai child
pugh didapatkan nilai total bilirubin 0,4 mg/dl, serum
albumin 2,9 g/dl, waktu protombin <4 detik, asites pada
tahap slight, dan belum terlihat tanda-tanda ensefalopati
heaptik. Pada kondisi klinis pasien, pasien dapat duduk
namun terlihat lemah, tidak terdapat udem pada kedua
kaki ataupun kedua tangan, pasien tidak terlihat
bingung, dapat berkomunikasi dengan baik kepada
orang disekitar, dapat dikatakan kondisi klinis pasien
baik. Namun, pasien menerima terapi sebanyak 12
macam, yaitu cefotaksim 2 x 1 g, azitromycin 1 x
500mg, sistenol 3 x 1 tablet, curcuma 3 x 1 tablet,
ambroksol 3 x 1 tablet, madopar 3 x 1 tablet, propanolol
2 x 10 mg, hari kedua rawatan diturunkan menjadi 1 x
10 mg, lactulac 3 x 30 ml, hari ke-8 rawatan diturunkan
menjadi 3 x 15 ml, spironolakton 2 x 100 mg,
lasix(furosemid) 1 x 20 mg, data dapat dilihat pada
Lampiran 7, Tabel 25. Pemberian obat sebanyak 12
macam ini seharusnya tidak perlu dilakukan, karena
pemberian obat yang banyak pada pasien ditakutkan
dapat memperburuk fungsi hati pasien meskipun tidak
semua obat yang diterima dimetabolisme utama di hati.
Diketahui bahwa pasien berada dalam kriteria sirosis
hati sedang yang dihitung berdasarkan nilai child pugh,
namun prognosa penyakit dapat saja menjadi
memburuk akibat penggunaan obat yang banyak,
ditambah pula pasien menerima obat yang dapat
memperburuk fungsi hati. Pasien menerima 2 macam

obat yang dapat memperburuk fungsi hati, yaitu


propanolol dan lasix(furosemid). Dari hasil
laboratorium pasien yang dapat dijadikan petunjuk
adanya penurunan fungsi hati, hanya nilai protein total,
albumin, dan globulin yang selalu dimonitor. Dimana
nilai-nilai tersebut tidak memperlihatkan perbedaan
nilai yang berarti dari hari ke hari, dimana tetap terjadi
penurunan nilai protein total, penurunan kadar albumin,
dan peningkatan kadar globulin. Dari ketiga data
tersebut memperlihatkan bahwa pasien mengalami
penurunan fungsi hati. Sedangkan berdasarkan keadaan
klinis pasien, pasien masih tetap kelihatan lemah, tidak
terdapat udem, namun perut mulai tampak membuncit.
Disini dapat disimpulkan bahwa keadaan pasien mulai
terjadi penurunan, dan pasien meminta pulang setelah
12 hari rawatan dalam keadaan perut sedikit
membuncit.
Efek Samping dan Interaksi Obat
Efek samping dari beberapa obat yang diterima
pasien ini dapat ditoleransi dengan baik dan bersifat
ringan (Martindale, 2007). Adanya gejala efek samping
pada pasien relatif rendah bahkan bisa dikatakan tidak
ada. Karena berdasarkan hasil wawancara terhadap
pasien, pasien tidak merasakan efek apapun setelah
memakan semua jenis obat, hanya saja pasien selalu
merasakan mual, perut tidak nyaman. Ini mungkin saja
akibat gejala penyakit yang dideritanya, dan mungkin
saja efek samping obat yag tersamarkan oleh gejala
penyakit.
Interaksi obat terjadi ketika agen terapetik
berubah konsentrasi (interaksi farmakokinetik) atau
adanya efek biologis dari agen lainnya (interaksi
farmakodinamik). Interaksi farmakokinetik dapat terjadi
pada tingkat absorpsi, distribusi, atau bersihan dari
senyawa obat (Fradgley, 2004). Pada penelitian ini tidak
ditemukannya interaksi yang berarti pada pengobatan
yang diterima pasien. Adapun interaksi yang terjadi
antara lain antara propanolol dan furosemid dengan
nilai signifikansi 5 dengan jumlah kasus sebanyak 5
kasus. Pada penelitian ini terdapat interaksi dengan nilai
signifikansi 3 yaitu interaksi antara warfarin dengan
ceftriaxon bila digunakan bersamaan maka akan terjadi
peningkatan efek antikoagulan warfarin. Dimana
terjadinya peningkatan sensitifitas warfarin pada pasien
setelah menerima ceftriaxon yang ditandai dengan
terjadinya hipoprotombinemia atau perpanjangan waktu
perdarahan. Mekanisme dari interaksi ini yaitu
terjadinya pengurangan sintesis vitamin K yang
tergantung faktor pembekuan darah (Fradgley, 2004).
Interaksi ini terjadi pada pasien dengan kode Q,
peningkatan efek antikoagulan warfarin yang ditandai
dengan
terjadinya
hipoprotombinemia
ataupun
perpanjangan waktu perdarahan dapat dilihat dari waktu
protombin pasien yang melebihi nilai normal yaitu 16,6
detik (normal: 9,8-12,6 detik). Namun perpanjangan
waktu protombin ini memang akan selalu dijumpai pada

pasien sirosis hati (Husadha, 1996). Oleh karena itu


perlu adanya perhatian khusus pada pasien sirosis hati
yang menggunakan warfarin.
Jenis interaksi yang terjadi ini membutuhkan
monitoring berdasarkan pengetahuan akan perubahan
farmakokinetik atau farmakodinamik yang mungkin
terjadi, maka manajemen pemberian obat harus
disesuaikan. Para klinisi harus lebih tanggap akan
interaksi yang potensial dan lebih mengetahui mengenai
substrat, inhibisi, dan induksi dari berbagai macam
enzim yang bertanggung jawab terhadap metabolisme
obat. Ini akan meningkatkan penggunaan obat yang
rasional dan kombinasi obat yang lebih baik (Leucuta &
Vlase, 2006).
Analisa Gejala Objektifitas dan Subjektifitas
Hepatotoksik
Pada penelitian ini juga melakukan penentuan
gejala objektifitas dan subjektifitas adanya kerusakan
hati. Gejala objektifitas yang pertama yaitu peningkatan
kadar SGOT sebesar 50% dan peningkatan kadar SGPT
sebesar 30. Pada penelitian ini didapatkan bahwa pasien
dengan peningkatan kadar SGOT dan SGPT tidak
dialami lebih dari separuh pasien, bahkan ada beberapa
pasien yang berada pada nilai normal yaitu sebesar 25%
untuk SGOT, dan 45% untuk SGPT. Kenaikan nilai
SGOT dan SGPT yang tidak terlalu besar atau bahkan
normal dapat dijumpai pada penyakit hati kronis seperti
obstructive jaundice ataupun sirosis. Ini disebabkan
karena pada sirosis hati terjadi fibrosis pada sel-sel
hatinya dan juga hati yang mengkerut sehingga sel-sel
hati yang normal jumlahnya semakin sedikit, karena
jumlah sel-sel hati yang sedikit ini menyebabkan sekresi
dari kedua enzim ini juga menurun (Kenward & Tan,
2003).
Tes fungsi hati selanjutnya yang dapat
dijadikan petunjuk adanya kerusakan hati yaitu
penurunan serum albumin dan serum protein total.
Albumin plasma disintesis di hati dan perubahan
konsentrasi serumnya merupakan petunjuk yang
berguna terhadap fungsi sintesis hati maupun tingkat
penyakit hati kronis. Konsentrasi albumin plasma
menurun pada penyakit hati kronis tetapi cenderung
normal pada tingkat awal hepatitis akut karena waktu
paruhnya yang panjang sekitar 20 hari (Kenward &
Tan, 2003). Pada penelitian ini terjadi penurunan serum
albumin dan serum protein total yaitu 50% dan 45%,
dimana terjadi penurunan hampir separuh dari pasien
yang menderita sirosis hati. Penurunan ini dapat terjadi
karena sel hati yang merupakan tempat satu-satunya
serum albumin dibentuk mengalami kerusakan sehingga
produksinya pun akan menurun (Kenward & Tan,
2003).
Serum bilirubin juga merupakan petunjuk
kerusakan yang terjadi pada hati. Dimana bilirubin
adalah pigmen empedu primer yang berasal dari
perusakan sel darah merah di limpa dan sum-sum

tulang. Bilirubin merupakan hasil akhir degradasi


bagian heme (yang mengandung besi) haemoglobin
yang terkandung di dalam sel darah merah. Bila
bilirubin langsung rendah sedangkan bilirubin total
tinggi, hal ini menunjukkan adanya kerusakan pada hati
atau pada saluran cairan empedu didalam hati (Kenward
& Tan, 2003). Pada penelitian ini pasien dengan
peningkatan kadar bilirubin total ini sebesar 25%, yang
tidak mengalami peningkatan sebesar 15% serta data
yang tidak lengkap sebesar 60%. Dimana terlihat lebih
banyak pasien yang mengalami peningkatan kadar
bilirubin daripada yang tidak mengalami peningkatan
bilirubin total, namun disayangkan banyak dari pasien
yang tidak dilakukan pemeriksaan terhadap kadar ini.
Peningkatan kadar bilirubin total ini disebabkan karena
produksi dari bilirubin ini berlebihan namun bersihan di
hati menurun karena hati telah rusak.
Tes selanjutnya yaitu protombine time (PT)
yang merupakan waktu yang diperlukan untuk
dihasilkannya fibrin clot dalam plasma pada kondisi
standar. Tes ini sebenarnya relatif lebih sensitif
terhadap defisiensi faktor V dan koagulasi protein yang
tergantung vitamin K daripada terhadap kelainan
protombin atau fibrinogen. Waktu protombin sangat
bermanfaat untuk memperkirakan tingkat keparahan
penyakit penyakit hati, baik yang akut maupun yang
kronis (Kenward & Tan, 2003). Pada penelitian ini
pasien yang mengalami peningkatan waktu protombin
sebesar 25%, yang tidak mengalami peningkatan
sebesar 15. Hasil yang kecil ini juga didukung dengan
pengukuran PT yang hanya sekali saja dilakukan
terhadap pasien, bahkan ada dari beberapa pasien yang
tidak dilakukan pengukuran dari protombine time ini
yaitu sebesar 60%.
Gejala subjektif ini merupakan gejala-gejala
awal terjadinya penurunan fungsi hati. Gejala subjektif
meliputi keadaan lemah, penurunan berat badan,
mual/muntah, perut terasa tidak nyaman, sedikit
demam, kebingungan, penurunan nafsu makan dan
rentan terhadap pendarahan (Siregar & Endang, 2006).
Dari data yang didapat 100% pasien sirosis hati di
bangsal interne RSUP DR. M. Djamil Padang
mengalami gejala subjektif hepatotoksik dengan rincian
persentase pasien yang mengalami lemah sebesar 90%,
penurunan berat badan sebesar 85%, mual/muntah
sebesar 60%, perut tidak nyaman sebesar 90%, demam
sebesar 65%, dan yang mengalami kebingungan sebesar
35%. Dari data ini tampak gejala penurunan fungsi hati
dialami oleh hampir sebagian besar pasien, dapat
disimpulkan bahwa sangat pentingnya pemeriksaan
fungsi hati secara berkala bila pasien mengkonsumsi
obat berpotensi hepatotoksik, lebih baik lagi bila
dilakukan monitoring obat di dalam darah terhadap
terapi yang diterima pasien.

Tabel

I.Jenis Obat yang Berpotensi Menambah


Kerusakan Fungsi Hati di bangsal interne
RSUP. DR. M. Djamil Padang yang dirawat
selama bulan Oktober 2011- Januari 2012

No.

Nama Obat

Jumlah Kasus

1.

Propanolol

2.

Furosemid

10

3.

Lansoprazol

4.

Warfarin

Tabel II. Persentase pasien dengan kriteria nilai Child


Pugh berdasarkan Derajat Keparahan Fungsi
Hati di bangsal interne RSUP. DR. M.
Djamil Padang yang dirawat selama bulan
Oktober 2011- Januari 2012 (n=20)
No.

Nilai Child
Pugh

Jumlah
(orang)

Persentase
(%)

1.

Kelas A (<7
poin)

2.

Kelas B (79 poin)

3.

Kelas C
(10-15
poin)

19

95

20

100

Jumlah

KESIMPULAN
Setelah melakukan penelitian mengenai aspek
farmakokinetik klinik obat yang digunakan pada pasien
sirosis hati di bangsal penyakit dalam RSUP DR. M.
Djamil Padang selama bulan Oktober 2011 hingga
Januari 2012, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Persentase pasien sirosis hati berdasarkan nilai
Child Pugh didapatkan 95% berada pada kelas C
(keadaan hati berat) dan 5 % berada pada kelas B
(keadaan hati sedang), sedangkan pada kelas A
(keadaan hati ringan) tidak ditemukan.
2. Pasien masih menerima polifarmasi sebesar 60%
dengan jumlah obat mulai dari 9 14 jenis obat
yang sebagian besar dimetabolisme di hati dan
dapat memperparah fungsi hati.
3. Pasien menerima 4 jenis obat yang dapat

memperburuk fungsi hati dengan dosis yang masih


relatif aman, namun tetap perlu adanya
pengawasan terhadap fungsi hati sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Aslam, Moh, Chik Kaw Tan, Adji Prayitno, Farmasi
Klinis- Menuju Pengobatan Rasional dan
Penghargaan Pilihan Pasien, Penerbit PT. Alex
Media Komputindo Jakarta, 2004; hal 155-175
Barber, Nick and Alan W., Churchills Pocket Book of
Clinical Pharmacy, Churchills Pocket Book of
Clinical Pharmacy, Second Edition, Elsevier
Health Scinces, 2006 ; hal 211-212
Bauer,

Larry
A.,
2008,
Applied
Clinical
Pharmacokinetics, Second Edition, USA: Mc.
Graw Hill Medical Companies. Inc.

Blei, A.T., 2000, Diagnosis and Treatment of Hepatic


Encephalopathy. Bailliers Best Pract Res Clin
gastroenterol; 14:959
Cales,P., Grasset, D., Ravaud, A., Meskens, C., Blanc,
M., Vinel, J.P., Cotonat, J., & Pascal, J.P., 1989,
Pharmacodynamic and Pharmacokinetic study
of propanolol in Patients with Cirrhosis and
Portal Hypertension, Br. J. Clin. Pharmac., 27,
763-770
Di Piro, J.T., Concepts in Clinical Pharmakokinetics, A
Self-Instructional Course, ASHP, 1988
Fradgley, S., 2004, Farmakokinetika Klinis dalam
Farmasi Klinis- Menuju Pengobatan Rasional
dan Penghargaan Pilihan Pasien, Editor Aslam,
Moh, Chik Kaw Tan, Adji Prayitno, Jakarta:
Penerbit PT. Alex Media Komputindo
Gerber, T., Schomerus, H., 2000, Hepatic
Encephalopathy
in
Liver
Cirrhosis:
pathogenesis, diagnosis, and management.
Drugs; 60(6): 1353-70
Ghasemmi, S., Garcia, T.G., 2007, Prevention and
Treatment of Infections in Patient with
Cirrhocis, Best Pract Res Clin Gastroenterol;
21:77-93
Harrison L, Johnston M, Massicotte MP, et al,
Comparison of 5 mg and 10 mg loading doses
in initiation of warfarin therapy, Ann Intern
Med 1997; 126:133136

Husnul, M., 2008 Sirosis Hati (Sirosis Hepatis),


Available
from
http://cetrione.blogspot.com/2008/05/sirosishati-sirosis-hepatis.html
Husadha, Y., 1996, Fisiologi dan Pemeriksaan
Biokimiawi Hati, Dalam : Buku Ajar Penyakit
Dalam Jilid I, edisi ketiga, editor Sjaifoellah
Noer dkk, Jakarta: Balai Penerbit FKUI ;
224-232
Jaffer, A., Bragg, L., 2003, Practical Tips for Warfarin
Dosing and Monitoring, Cleveland Clinic
Journal of Medicine, Vol.70, Number 4,
Katzung, B.G., 2004, Farmakologi Dasar dan Klinik.
Edisi kedelapan, Penerjemah:
Agoes, A,
Jakarta: Salemba Medika
Kenward, R., Tan, C.K., 2004, Penggunaan Obat Pada
Gangguan Hati dalam Farmasi Klinis- Menuju
Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan
Pasien, Editor Aslam, Moh, Chik Kaw Tan, Adji
Prayitno, Jakarta: Penerbit PT. Alex Media
Komputindo
Landes, B.D., Petite, J.P., Flouvat, B., Clinical
Pharmacokinetics of Lansoprazole, Clin.
Pharmacokinet, 1995; 28(6): 458-70
Lata, J., Hulek, P., Vanasek, T., 2003, Management of
Acute Variceal Bleeding, Dig Dis, 21:6-15
Leucuta, S.E., Vlase, L., Pharmacokinetics and
Metabolic Drug Interactions, Current Clinical
Pharmacology, 2006, I, 5-20
Lodato, F., Azzaroli, F., Girolamo, M.D., Feletti, V.,
Cecinato, P., Lisotti, A., Festi, D., Roda, E.,
and Mezzella, G., Proton Pump Inhibitors in
Cirrhocis: Tradition or Evidence based
Practice?, World J Gastroenteterol, 2008,
14(19): 2980-2985
Martindale, 2007, The Extra Pharmacopoeia, Ed.35,
London : The Pharmaceutical Press
Moore, K.P., Aithal, G.P., 2006, Guidlines on the
Management of Ascites in Cirrhosis, Gut
Bmjjournals, 55; 1-12
North, P. & Lewis, 2008, Drug and Liver; A guide to
drug
handling
in
liver
disfunction,
Pharmaceutical Press British, UK ; 103-110
Panitia Diagnosa dan Terapi (PDT), 2007, Standar
Terapi Rumah Sakit Perjan RSUP DR. M.
Djamil Padang., edisi IV., Padang

Santoso, B., 1985, Cermin Dunia Kedokteran,


Farmakokinetika Klinik, edisi No.37, hal 8-12
Siregar, C.J.P.& Endang, K., 2006, Farmasi Klinik
Teori dan Terapan, Jakarta: EGC
Soldin, O.P., Chung, S.,H., Mattison, D., R., 2011, Sex
Differences in Drug Disposition, Journal of
biomedicine and Biotechnology, vol 2011,
article ID 187103, 14 pages
Sudoyo, A.W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi,
Marcellus Simadibrata K., dan Siti Setiati.,
2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1,
Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dala, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 443
Sukandar, E.Y., dkk, 2008, Iso Farmakoterapi, Cetakan
I, Jakarta, penerbit PT ISFI
Susla, G.M., Artkinson, A.J., 2007, Effect of Liver
Disease
on
Pharmacokinetics,
Dalam:
Principles of Clinical Pharmacology Second
Edition, Editor: Arthur J.K., Barrell, R.A.,
Charles, E.D., Robert, L.D., and Sanford, P.M.,
United States of America: Academic Press
Sutadi, S.M., 2003, Sirosis Hepatis, Bagian Ilmu
Penyakit
Dalam
Fakultas
Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Wood, A.J.J., Kornhauser, D.M., Wilkinson, G.R.,
Shand, D.G., & Branch, R.A., 1978, The
Influence of Cirrhocis on Steady State Blood
Consentrations of Unbound Propanolol after
Oral Administration, Clin. Pharmacokin., 3,
478-487

Anda mungkin juga menyukai