Anda di halaman 1dari 6

TUGAS 

FARMAKOKINETIK KLINIK
“RANGKUM JURNAL PENILAIAN DOSIS”

Dosen Pengampu:
Apt. Septi Muharni, M.Farm

Oleh:
Intan Wulandari
1901092
S16C

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIV RIAU
2021/2022
Jurnal 1

“Evaluasi Kualitatif Terapi Antibiotik pada Pasien Pneumonia di Rumah Sakit Pendidikan
Surabaya Indonesia”
Hasil Rangkuman :
Antibiotik empirik merupakan pengobatan awal pada pasien pneumonia. Penundaan
pemberian antibiotika lebih dari 4 jam dapat meningkatkan risiko kematian. Evaluasi
penggunaan antibiotik dil lakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Evaluasi secara kuantitatif
dapat dilakukan dengan rumus DDD per 100 hari rawat (DDD per 100 bed days), untuk evaluasi
jenis dan jumlah antibiotik yang digunakan. Evaluasi secara kualitatif dapat dilakukan antara lain
dengan metode Gyssens, untuk evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik. Penelitian ini
bertujuan untuk evaluasi penggunaan antibiotic secara kualitatif pada pasien pneumonia
menggunakan metode Gyssens.
Antibiotika yang diberikan pada pasien diberikan secara empiris selama 3 hari. Apabila
ada perbaikan kondisi pasien, maka antibiotik dilanjutkan sampai 7-14 hari. Apabila tidak ada
perbaikan, maka dilakukan penggantian antibiotik sesuai dengan data mikrobiologi dan uji
kepekaan. Antibiotika yang diberikan pada pasien sudah sesuai dengan Pedoman Terapi Pasien
Pneumonia yang disusun oleh Persatuan Dokter Paru Indonesia dan diterbitkan tahun 2003.

Kategori kedua yang kami temukan berdasarkan metode Gyssens adalah kategori IIA.
Pasien dewasa yang berusia 78 tahun dengan BB<40 kg mendapat gentamisin 2x160 mg. Dosis
gentamisin berdasarkan pustaka adalah 4-7 mg/kg/hari, sehingga dosis gentamisin yang
seharusnya diperoleh pasien adalah 160-280 mg/ hari. Pemberian gentamisin perlu monitoring
fungsi ginjal untuk menghindari nefrotoksik dari gentamisin. Pasien mendapatkan terapi
gentamisin, ceftazidime dan albumin 20% selama di RS. Tidak ditemukan interaksi obat
merugikan pada pasien.
Pasien yang tidak membaik dengan antibiotika empiris ditinjau dari segi obat dan bakteri
dapat disebabkan obat tidak tepat, dosis/ cara pemberian tidak tepat, interaksi obat, bakteri
resisten terhadap antibiotik, mikrobakteria atau nokardia atau bakteri penyebab nonbakterial
(jamur atau virus). Penggunaan antibiotika di RS Pendidikan Surabaya dilakukan evaluasi secara
berkala oleh apoteker yang bekerja sama dengan dokter dan perawat untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien dan meminimalkan resistensi antibiotika.

Jurnal 2
“PEMANTAUAN KADAR OBAT INDEKS TERAPI SEMPIT MELALUI ESTIMASI
KADAR OBAT DI DALAM DARAH PADA PASIEN RAWAT INAP DI RSUD PROF. DR.
MARGONO SOEKARDO, PURWOKERTO”
Hasil Rangkuman :
Subjek pada penelitian kali ini adalah pasien rawat inap yang mendapatkan terapi aminofilin
intravena (iv), fenitioin (iv), dan digoksin per oral (po) di bangsal paru,syaraf dan jantung
(penyakit dalam) RSUD Prof,Margono Soekardjo purwokerto selama bulan juni-agustus
2019,tujuannya Untuk mengetahui estiminasi kadar obat indeks terapi sempit di dalam darah
sesuai dosis yang diberikan pada pasien inap di rumah sakit.
Pemantauan kadar obat di dalam darah dapat dilakukan dengan peninjauan secara
farmakokinetika yaitu dengan cara menghitung estimasi kadar obat didalam darah melalui dosis
dan frekuensi pemberian obat yang diberikan pada pasien. Kadar obat di dalam darah dapat
ditafsirkan dengan emlalui pendekatan farmakokinetika klinis agar dapat dilakukan perkiraan
secara kuantitatid antara dosis dan efek. Sehingga nanti nya diperoleh gambaran/estimasi kadar
obat dalam darah pada pasien untuk menghindari efek toksik dan meningkatkan patient safety
efek toksik dan ketepatan dosis yang diberikan pada pasien.
Dalam penelitian ini terdapat 3 kelompok responden yang menggunakan obat indeks
terapi sempit yaitu aminofilin, teofilin, dan digoksin. Aminofilin memiliki indikasi yaitu
mengatasi keluhan sesak nafas pada pasien asma dan PPOK. Aminofilin adalah salatu satu obat
dengan indeks terapi yang sempit (10-20 mg/L) yang memiliki potensi yang tinggi untuk
menginduksi adverse drug reaction (ADR). Dosis pemeliharaan aminofilin iv drip yang
dilarutkan dengan cairan infus RL yaitu 0,5-1 mg/kgBB/jam durasinya selama <5 hari
Sedangkan fenitoin merupakan agen anti epilepsy yang efektif digunakan untuk
menangani kejang parsial dan kejang tonik klonik. Fenitoin memiliki indeks terapi sempit
dengan misaran terapi 10-20 mg/L (40-80 μmol/L) dan memiliki profil farmakokinetika yang
non linear. Hal ini disebabkan sistem enzim yang terlibat dalam metabolism fenitoin secara
bertahap ikut jenuh sehingga menyebabkan eliminasi fenitoin menjadi menurun dan dosis obat
dalam darah meningkat. Dosis pemberian fenitoin iv adalah 100 mg/hari dan 200 mg/hari
pemberian dosis tersebut telah sesuai dengan dosis pemeliharaan fenitoin iv yang
direkomendasikan yaitu 200-400 mg/hari. Ada beberapa factor yang dapat mempengaruhi
estimasi kadar fenitoin dalam darah pada penelitian ini yaitu dosis yang diberikan. Dosis awal
diberikan 300 mg/hari tanpa melihat berat badan pasien. Estimasi kadar fenitoin dalam darah
dibawah kisaran rentang terapi (<10 mg/L). factor lainnya adalah parameter michaelis dan
menten yaitu nilai Vmax dan Km dapat mempenagruji perubahan kadar fenitoin di dalam plasma
Dan digoksin dapat digunakan untuk terapi gagal jantung yg memiliki indeks terapi
sempit kisaran terapi 0,5-0,9 ng/mL sebab kadar digoksin >1,0 ng/mL dapat meningkatkan
resiko terjadinya toksisitas digoksin dan mortalitas pada pasien namun kadar digoksin dalam
darah 1,00 -2,00 ng/mL bukan termasuk dalam kadar rentang toksik. Pemberian dosis digoksin
adalah sebagar 0,125 mg/hari dan 0,250 mg/hari. Dosis harian digoksin yang direkomendasikan
untuk penderita CHF adalah 0,0625 – 0,125 mg/hari dan untuk penderita AF adalah 0,125-0,250
mg/hari. Durasi penggunaan digoksin po pada pasien terbanyak adalah 5-10 hari. Factor yang
mempengaruji tingginya kadar digoksin dalam penelitian ini adalah karena penggunaan dosis
digoksin serta kondisi ginjal pasien yang tidak normal dilihat dari tingginya nilai serum kreatinin
pasien
Pada pasien dengan gangguan jantung dan gangguan hati itu akan berpengaruh pada nilai
waktu paruh (T1/2) dan Klirens (Cl) yang merupakan parameter farmakokinetika yang primer yg
nilainya tergantung pada factor fisiologi tubuh.
 
Jurnal 3
“ASPEK FARMAKOKINETIKA KLINIK OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN PADA
PASIEN SIROSIS HATI DI BANGSAL INTERNE RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
PERIODE OKTOBER 2011 – JANUARI 2012”
Farmakokinetik adalah studi yang menghubungkan antara regimen dosis dan perubahan
konsentrasi obat di dalam tubuh setiap waktunya. Tipe konsentrasi diukur di dalam darah, serum
atau plasma, dan antara konsentrasi-waktu dideskripsikan dalam bentuk persamaan. Pasien
dengan parameter farmakokinetik yang berubah, regimen dosis dari pasien harus diubah pula,
untuk menjamin profil konsentrasi-waktu yang optimal. (North & Lewis, 2008).
Organ hati memegang peranan penting sebagai organ yang berfungsi sebagai eliminasi
dan bertanggung jawab terhadap metabolisme beberapa bagian besar golongan obat. Pada
penyakit gangguan fungsi hati, kemampuan organ tersebut untuk memetabolisme obat juga akan
terganggu. Struktur atau fungsinya yang abnormal akan mempengaruhi kemampuan dari hati
untuk menangani efektifitas obat
Untuk obat yang metabolisme utamanya melalui hati, farmakokinetika harus
diperhitungkan pada pasien dengan gangguan fungsi hati (seperti : hepatitis atau sirosis). Ketika
meresepkan obat yang eliminasi utama melalui hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati,
adalah sangat mungkin untuk melakukan penurunan dosis pemeliharaan dari dosis normal.
Menurunkan dosis normal dan memperpanjang interval dosis, atau memodifikasi keduanya.
Metoda aktual yang digunakan untuk menurunkan dosis pada pasien dengan gangguan fungsi
hati dan normal adalah dengan membandingkan beberapa rute pemberian obat dengan beberapa
bentuk sediaan (Bauer, 2008).
Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun
pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi, dan regenerasi sel-sel hati,
sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati. Sirosis hepatis juga merupakan
penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa
penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari
hati.
Pada sirosis hati, dapat terjadi akumulasi kadar obat di dalam plasma terutama yang
dimetabolisme di hati, konsekuensinya regimen dosis obat tertentu harus disesuaikan
berdasarkan laju metabolisme pasien dengan gangguan fungsi hati. Oleh karenanya perlu
dilakukan penelitian Aspek Farmakokinetik Klinik Obat-Obat yang digunakan pada pasien
sirosis hati.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data observasi prospektif yang dilengkapi
dengan wawancara langsung terhadap pasien dan keluarga pasien yang dirawat di bangsal interne
RSUP. DR. M. Djamil Padang.
Propanolol merupakan obat golongan penghambat reseptor β-adrenergik yang pada
sirosis hati bertujuan dalam penanganan hipertensi portal yang digunakan untuk mencegah
perdarahan awal dan perdarahan kembali dari varises pada pasien sirosis Propranolol diabsorbsi
melalui saluran cerna, akan berikatan dengan jaringan hati dan mengalami first-pass metabolism.
Sehingga dengan adanya peningkatan bioavailabilitas tersebut diperlukan dosis yang lebih kecil
dan normal. Pada Handbook of Clinical Drug, terapi dengan dosis rendah diberikan pada pasien
hipotiroid atau penyakit dengan gangguan fungsi hati, dimulai dengan dosis rendah dan
ditingkaatkan secara perlahan berdasarkan respon klinis pasien. Dosis lebih baik diberikan 1 kali
10 mg, kemudian ditingkatkan dosisnya secara perlahan sesuai klinis pasien
Lansoprazol merupakan golongan obat penghambat pompa proton yang dalam terapi
sirosis hati digunakan untuk pencegahan dan pengobatan komplikasi esofagus atau varises
esofagus (Lodato, et al, 2008). Menurut penelitian klinis, metabolisme lansoprazol akan
diperpanjang bila terdapat gangguan fungsi hati berat. Berdasarkan penelitian oleh Landes dan
kawan-kawan dengan penggunaan lansoprazol dosis 30 mg/hari dan penelitian yang dilakukan
oleh Lodato dan kawan-kawan dengan penggunaan lansoprazol dosis 40mg/hari sebaiknya
dilakukan penurunan dosis pada pasien dengan sirosis hati.
Furosemid merupakan obat golongan diuretik jerat Henle yang dapat digunakan dalam
pengobatan asites sebagai dampak dari komplikasi penyakit sirosis hati. Mekanisme kerja
furosemid adalah menghambat reabsorbsi sodium dan klorida di proksimal bagian dari jerat
henle. Pada pasien penyakit jantung kronik dan kerusakan fungsi hati yang sedang, terapi
furosemid dosis tinggi dapat meningkatkan enzim-enzim hati sehingga akan menginduksi
terjadinya hepatitis. Oleh karenanya, perlu perhatian khusus bagi pasien sirosis hati dengan
komplikasi ensefalopati hepatik terhadap dosis terapi furosemid, sehingga perburukan keadaan
pasien dapat dihindari. Dalam pedoman penanganan asites pada sirosis hati, furosemid diberikan
dengan dosis 40mg/hari dan dapat ditingkatkan dosisnya hingga tidak lebih dari 160mg/hari
setiap 2-3 hari (Moore, Aithal, 2006).
Warfarin merupakan antikoagulan oral. Lebih dari 90% dari warfarin terikat pada
albumin plasma, yang mungkin menjadi penyebab kenapa volume distribusinya kecil (ruang
albumin), jika albumin plasma rendah maka obat bebas dari warfarin ini akan meningkat, oleh
karenanya ia disebut obat dengan indeks terapi sempit (Katzung, 2004; Jaffer, Bragg, 2003).
Pengobatan dengan warfarin harus didahului dengan dosis kecil harian sebesar 5 mg. Penelitian
prospektif secara acak menunjukkan bahwa pasien lebih memungkinkan memiliki nilai INR
(International Normal Ratio) 3 hingga 5 hari setelah penggunaan warfarin dengan dosis 5 mg
dibandingkan dengan 10mg

Anda mungkin juga menyukai