Anda di halaman 1dari 9

PREPARASI DAN KARAKTERISTIK PADAT ASAM

FENOFIBRAT DENGAN KOFORMER ASETOSAL

PROPOSAL PENELITIAN

Disusun Oleh :
INTAN WULANDARI
NIM: 1901092

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIV RIAU

PEKANBARU

2022
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asam fenofibrat merupakan metabolit aktif dari fenofibrat yang termasuk


dalam Biopharmaceutical Classification System (BCS) II yaitu kelarutan rendah
dan mempunyai permeabilitas tinggi. Asam fenofibrat memiliki bioavailabilitas
yang lebih baik dibandingkan fenofibrat di beberapa saluran gastrointestinal (Zhu
dkk., 2010) Asam fenofibrat adalah obat antihiperlipidemia yang dapat
menurunkan kadar low density lipoprotein (LDL) dan kadar trigliserida serta
meningkatkan kadar high density lipoprotein (HDL). Asam fenofibrat merupakan
metabolit aktif dari fenofibrat. Setelah pemberian oral, fenofibrat dihidrolisis oleh
esterase menjadi metabolit aktif asam fenofibrat (Alagona, 2010). Asam fenofibrat
adalah suatu asam karboksilat yang tidak larut di dalam air, sedangkan fenofibrat
adalah suatu senyawa ester (Rath et al., 2005).

Penggunaaan asam fenofibrat lebih efektif dari fenofibrat karena absorbsinya


lebih baik pada saluran cerna. Asam fenofibrat diabsorbsi di saluran
gastrointestinal, proksimal usus halus, distal usus halus dan kolon masing-masing
sekitar 81%, 88%, 84%, 78% dan untuk fenofibrat 69%, 73%, 66%, 22%. Asam
fenofibrat diabsorbsi dengan baik di seluruh saluran pencernaan dan memiliki
bioavailabilitas lebih besar dari fenofibrat (Zhu dkk., 2010). Dengan demikian
kadar asam fenofibrat dalam plasma lebih tinggi dari fenofibrat terlepas dari
perbedaan individu dengan tingkat motilitas tiap bagian saluran pencernaan (Ling
dkk., 2013). Asam fenofibrat memiliki dosis 105 mg yang bioekuivalen dengan
fenofibrat dengan dosis 145 mg(Godfrey dkk., 2011). Puncak kadar plasma dari
asam fenofibrat dicapai dalam waktu 4-5 jam terlepas dari status puasa (Kuleman,
2011).Peningkatan disolusi asam fenofibrat perlu dilakukan untuk meningkatkan
ketersediaan hayatinya.

Asam fenofibrat merupakan obat baru yang digunakan untuk pengobatan


antihiperlipidemia dan belum beredar di Indonesia. Bentuk aktif dari fenofibrat
telah ditemukan yaitu asam fenofibrat dan bentuk obat aktif ini nantinya akan
menggantikan obat antihiperlipidemia sebelumnya yaitu fenofibrat. Terhadap
obat-obat baru perlu dilakukan pengembangan sehingga dihasilkan bahan aktif
farmasi yang lebih efektif, efisien, aman dan kurang efek samping (Menkes RI,
2013).

Berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk meningkatkan disolusi suatu obat


sehingga dapat meningkatkan ketersediaan hayati. Secara umum pendekatan
tersebut antara lain dengan mengecilkan ukuran partikel, melarutkan senyawa
menjadi bentuk tak terionkan, pembentukan garam, menurunkan kristalinitas dan
kompleksasi (Bossard, 2009). Karakter kelarutan bahan aktif farmasi perlu
diperhatikan dan dikendalikan karena kegagalan pengembangan obat baru salah
satunya adalah karena kelarutan yang buruk didalam air.

Walaupun memiliki tingkat absorbsi yang baik disaluran cerna tetapi


kelarutan asam fenofibrat dalam air hanya 162,5 µg/mL (Kim et al., 2016) dan
masuk dalam kategori sangat sukar larut. Asam fenofibrat termasuk dalam sistem
klasifikasi biofarmasetik kelas II dengan tingkat kelarutan dalam air yang rendah
dan permeabilitas dalam usus yang tinggi (Tsume et al., 2014). Dosis terbesar dari
asam fenofibrat 105 mg diperlukan air sebanyak 646 ml untuk melarutkannya.
Suatu bahan obat dikatakan sangat larut ketika kekuatan dosis tertinggi dapat larut
dalam air < 250 ml pada rentang pH 1 sampai 7,5.(P Chavda, 2017)

Kelarutan dalam air yang rendah dari suatu bahan aktif farmasi (BAF)
merupakan tantangan tersendiri pada pengembangan sediaan farmasi. Kelarutan
BAF yang rendah akan memperlambat laju disolusi yang menjadi tahap penentu
kecepatan dan proses absorbsi BAF pada saluran cerna. Saat ini, sekitar 40% BAF
yang beredar di pasaran dan hampir 90% senyawa dalam tahap penelitian
memiliki sifat kurang larut dalam air (Kalepu & Nekkanti, 2015). Kelarutan asam
fenofibrat yang rendah dalam air menyebabkan laju disolusi dan ketersediaan
hayati menjadi rendah.

Teknik peningkatan kelarutan dapat dikelompokkan berdasarkan modifikasi


fisika dan modifikasi kimia molekul BAF dan teknik lainnya. Pengurangan ukuran
partikel seperti teknik mikronisasi dan nanosuspensi, modifikasi fase kristalin
seperti polimorf metasabil, pembentukan fase amorf, kristal multikomponen dan
sistem dispersi bahan aktif farmasi dalam polimer hidrofilik termasuk dalam
modifikasi fisika. Modifikasi kimia seperti perubahan pH, penggunaan dapar,
derivatisasi, kompleksasi dan pembentukan garam.Sedangkan teknik lainnya ialah
pengunaan surfaktan, peningkat kelarutan (solubilizer), co-solven, hidrotopi dan
sebagainya (Savjani et al., 2012) Berbagai upaya dapat dilakukan untuk
meningkatkan disolusi obat yang sukar larut dalam air antara lain pengurangan
ukuran partikel, pembentukan garam, polimorf dan pseudopolimorf, kompleksasi,
solubilisasi menggunakan hidrotrop, penggunaan surfaktan, dan pembentukan
prodrugs yang larut. Pembentukan dispersi padat permukaan dilaporkan dapat
meningkatkan disolusi obat dengan mekanisme pengurangan atau penurunan
ukuran partikel obat.(Khatry dkk., 2013).

Teknik rekayasa kristal dengan pembentukan kristal multikomponen dapat


meningkatkan sifat fisikokimia senyawa obat seperti kelarutan, laju disolusi,
stabilitas dan kompresibilitas dengan cara memodifikasi struktur kristal tanpa
mengubah aktivitas farmakologinya (Putra et al., 2016 ). Kristal multikomponen
terdiri atas, solvat, hidrat, garam, kokristal, dan campuran eutektik. Kristal
multikomponen dapat dirancang dengan memilih eksipien (koformer) yang cocok
yang dapat berinteraksi dengan molekul obat dengan ikatan nonkovalen untuk
membentuk fase kristalin baru (Grothe et al., 2016). Pembentukan kristal
multikomponen ini dapat dilakukan dengan berbagai metode yaitu metode
penguapan pelarut (solvent evaporation), solvent drop grinding, solid state
grinding dan metode melting (Kotak et al., 2015).

Interaksi antara bahan aktif farmasi dengan koformer pada pembentukan


kristal mutikomponen akan membentuk kisi kristal dengan energi yang lebih
rendah dibandingkan kisi kristal sebelumnya. Penurunan energi kisi akan
meningkatkan afinitas terhadap pelarut, dalam hal ini kristal multikomponen
mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi keduanya. Disamping itu adanya
gugus-gugus fungsi yang dapat berinteraksi dengan molekul airpada koformer
berperan dalam meningkatkan afinitas bahan aktif farmasi dengan air sehingga
akan meningkatkan kelarutan BAF itu sendiri (Thakuria et al., 2013).

Kristal multikomponen termasuk kristal komponen turunan nonkovalen yang


dibentuk dengan menggabungkan satu atau lebih molekul koformer kedalam
matrik molekul induk melalui gaya non kovalen. Kristal multikomponen dapat
meningkatkan kelarutan laju disolusi dan stabilitas senyawa sukar larut karena
pengaruh (Cherukuvada & Nangia, 2012)

Beberapa metode yang sudah dikembangkan untuk meningkatkan kelarutan


asam fenofibrat diantaranya adalah dengan penambahan bahan pengalkalis
MgCO3 (Kim et al., 2016), dibuat campuran dengan MgCO3 perbandingan 2:1,
pembentukan dispersi padat terner asam fenofibrat dengan asam hialuronat dan
polietilenglikol (Yousaf et al., 2019). Pembentukan garam asam fenofibrat dengan
menggunakan basa kolin, dietanolamin, trometamine, kalsium, etanolamin, dan
piperazin (Us et al., 2007). Pembentukan dispersi padat permukaan dengan
menggunakan natrium kroskarmelosa (Windriyati et al., 2020). Pembentukan Self
Nanoemulsi asam fenofibrat untuk meningkatkan laju disolusi (Suhery et al.,
2020).

Pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan dan karakterisasi kristal asam
fenofibrat dalam bentuk kristal multikomponen dengan koformer asetosal.
Asetosal telah digunakan sebagai koformer dalam pembentukan ko-kristal dengan
meloxicam (Cheney dkk.,2010). Asetosal adalah bahan yang aman untuk
dikonsumsi manusia sehingga memenuhi persyaratan sebagai zat yang dapat
digunakan sebagai koformer .asetosal atau aspirin merupakan obat terapeutik yang
paling umum digunakan di seluruh dunia sebagai analgesik, antipiretik dan
antiinflamasi. Aspirin termasuk dalam kelompok obat AINS dan digunakan juga
sebagai obat pencegah serangan jantung, stroke, pembekuan darah(Indra
dkk,2019)
Tujuan penelitian ini adalah mendesain kristal multikomponen asam fenofibrat
menggunakan koformer asetosal dalam upaya meningkatkan kelarutan asam
fenofibrat. Kristal multikomponen yang dihasilkan akan dikarakterisasi secara
fisikokimia meliputi uji disolusi dan kelarutan, analisa FT-IR, difraksi sinar-x
dengan menggunakan alat XRD, mikroskopis dengan alat SEM,analisa termal
menggunakan alat DSC, pemisahan molekul dengan menggunakan alat
HPLC,melihat adanya Kristal pada sampel dengan menggunakan mikroskop
polarisasi.
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Asam Fenofibrat

Asam fenofibrat memiliki nama kimia 2-[4-(4-Chlorobenzoyl)phenoxy]-2-


methylpropionic acid merupakan metabolit aktif dari fenofibrat (Ling, 2013).
Setelah pemberian oral fenofibrat dihidrolisis oleh esterase menjadi bentuk
metabolit aktif asam fenofibrat yang terdeteksi dalam plasma, sedangkan
fenofibrat utuh dilaporkan tidak terdeteksi. Asam fenofibrat terkonjugasi dengan
asam glukoronat dan diekskresikan dalam urin (Alagona,2010)

Asam fenofibrat memiliki warna hampir putih, tidak berbau, hambar dengan
rumus molekul C17H15ClO4 memiliki bobot molekul 318,8 g/mol,bersifat sangat
lipofil dengan nilai koefisien partisi (Log P = 5,24) (Munoz et al., 1994), titik
lebur 179-182 oC tidak larut dalam air dengan nilai kelarutan 162,5 µg/ml, larut
dalam pelarut organik seperti etanol, dimetilsulfooksida (DMSO) dan dimetil
formamida dengan kelarutan 16,2-14 mg/ml. (Number et al., 1920). Struktur kimia
asam fenofibrat memiliki 1 donor dan 4 akseptor ikatan hidrogen yang membuka
peluang untuk terbentuknya senyawa molekular baru (kristal multikomponen) bila
berinteraksi dengan senyawa pembentuk kristal multikomponen. Bioavailabilitas
absolut asam fenofibrat yang diberikan kepada tikus adalah 40% (Wei et al.,
2017). Asam fenofibrat sukar larut dalam asam lemah, nilai pKa 4, relatif tidak
larut dalam pH lambung dan larut baik dalam pH usus (Alagona, 2010)
DAFTAR PUSTAKA

Alagona Jr, P. (2010). Fenofibric acid: a new fibrate approved for use in
combination with statin for the treatment of mixed dyslipidemia. Vascular
health and risk management, 6, 351.

Bossard, G., Nicolai, H., & Stelle, K. S. (2009). Universal BPS structure of
stationary supergravity solutions. Journal of High Energy Physics,
2009(07), 003.

Chawda, P. J., Shi, J., Xue, S., & Young Quek, S. (2017). Co-encapsulation of
bioactives for food applications. Food Quality and Safety, 1(4), 302-309.

Cheney, M. L., Shan, N., Healey, E. R., Hanna, M., Wojtas, L., Zaworotko, M.
J., ... & Sanchez-Ramos, J. R. (2010). Effects of crystal form on solubility
and pharmacokinetics: a crystal engineering case study of lamotrigine.
Crystal Growth & Design, 10(1), 394-405.

Cherukuvada, S., & Nangia, A. (2012). Fast dissolving eutectic compositions of


two anti-tubercular drugs. CrystEngComm, 14(7), 2579-2588

Godfrey, A. R., DiGiacinto, J., & Davis, M. W. (2011). Single-dose


bioequivalence of 105-mg fenofibric acid tablets versus 145-mg
fenofibrate tablets under fasting and fed conditions: a report of two phase I,
open-label, single-dose, randomized, crossover clinical trials. Clinical
therapeutics, 33(6), 766-775.

Grothe, E., Meekes, H., Vlieg, E., Ter Horst, J. H., & de Gelder, R. D. (2016).
Solvates, salts, and cocrystals: a proposal for a feasible classification
system. Crystal Growth & Design, 16(6), 3237-3243.

Imdad, A., Mullany, L. C., Baqui, A. H., El Arifeen, S., Tielsch, J. M., Khatry, S.
K., ... & Bhutta, Z. A. (2013). The effect of umbilical cord cleansing with
chlorhexidine on omphalitis and neonatal mortality in community settings
in developing countries: a meta-analysis. BMC public health, 13(3), 1-11.

Indra, I., Fauzi, A., & Aryani, R. (2019). Karakterisasi dan Uji Disolusi Aspirin
Hasil Rekristalisasi Penguap Pelarut. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 6(2),
164-170.

Kalepu, S., & Nekkanti, V. (2015). Insoluble drug delivery strategies: review of
recent advances and business prospects. Acta Pharmaceutica Sinica B,
5(5), 442-453.
Kim, K. S., Kim, J. H., Jin, S. G., Kim, D. W., Kim, D. S., Kim, J. O., ... & Choi,
H. G. (2016). Effect of magnesium carbonate on the solubility, dissolution
and oral bioavailability of fenofibric acid powder as an alkalising
solubilizer. Archives of pharmacal research, 39(4), 531-538.

Kotak, U., Prajapati, V., Solanki, H., Jani, G., & Jha, P. (2015). Co-crystallization
technique its rationale and recent progress. World J Pharm Pharm Sci, 4(4),
1484-508.

Kulemann, V., Schima, W., Tamandl, D., Kaczirek, K., Gruenberger, T., Wrba, F.,
... & Ba-Ssalamah, A. (2011). Preoperative detection of colorectal liver
metastases in fatty liver: MDCT or MRI?. European journal of radiology,
79(2), e1-e6.

Ling, H., Luoma, J. T., & Hilleman, D. (2013). A review of currently available
fenofibrate and fenofibric acid formulations. Cardiology research, 4(2), 47.

Menkes RI, 2013, Peraturan Menteri Kesehatan No 87 tahun 2013 Tentang Peta
Jalan Pengembangan Bahan baku Obat

Putra, O. D., Furuishi, T., Yonemochi, E., Terada, K., & Uekusa, H. (2016). Drug–
drug multicomponent crystals as an effective technique to overcome
weaknesses in parent drugs. Crystal Growth & Design, 16(7), 3577-3581.

Rath, N. P., Haq, W., & Balendiran, G. K. (2005). Fenofibric acid. Acta
Crystallographica Section C: Crystal Structure Communications, 61(2),
o81-o84

Savjani, K. T., Gajjar, A. K., & Savjani, J. K. (2012). Drug solubility: importance
and enhancement techniques. International Scholarly Research Notices,
2012.

SUHERY, W. N., SUMIRTAPURA, Y. C., PAMUDJI, J. S., & MUDHAKIR, D.


(2020). Development and characterization of self-nanoemulsifying drug
delivery system (SNEDDS) formulation for enhancing dissolution of
fenofibric acid. J Res Pharm, 24(5), 738-47.

Thakuria, R., Delori, A., Jones, W., Lipert, M. P., Roy, L., & Rodríguez-Hornedo,
N. (2013). Pharmaceutical cocrystals and poorly soluble drugs.
International journal of pharmaceutics, 453(1), 101-125.

Tsume, Y., Mudie, D. M., Langguth, P., Amidon, G. E., & Amidon, G. L. (2014).
The Biopharmaceutics Classification System: subclasses for in vivo
predictive dissolution (IPD) methodology and IVIVC. European Journal of
Pharmaceutical Sciences, 57, 152-163.
Us, I. L., Long, M. A.-, Us, I. L., Morris, J. B., & Boyer, M. (2007). United States
Patent Cink et a ]. SALTS OF FENOFIBRIC ACID AND ( 45 ) Date of
Patent : 2(12).

Windriyati, Y. N., Sumirtapura, Y. C., & Pamudji, J. S. (2020). Comparative in


vitro and in vivo evaluation of fenofibric acid as an antihyperlipidemic
drug. Turkish Journal of Pharmaceutical Sciences, 17(2), 203.

Yousaf, A. M., Ramzan, M., Shahzad, Y., Mahmood, T., & Jamshaid, M. (2019).
Fabrication and in vitro characterization of fenofibric acid-loaded
hyaluronic acid–polyethylene glycol polymeric composites with enhanced
drug solubility and dissolution rate. International Journal of Polymeric
Materials and Polymeric Biomaterials, 68(9), 510-515.

Zhu, T., Ansquer, J. C., Kelly, M. T., Sleep, D. J., & Pradhan, R. S. (2010).
Comparison of the gastrointestinal absorption and bioavailability of
fenofibrate and fenofibric acid in humans. The Journal of Clinical
Pharmacology, 50(8), 914-921.

Anda mungkin juga menyukai