Anda di halaman 1dari 28

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asam Usnat

2.1.1 Monografi

Asam usnat mempunyai nama kimia 2,6-diacetyl-7,9-dihydroxi-8,9b-

dimethyl-1,3(2H,9bH)-dibenzo-flurandione dengan rumus molekul C18H16O7,

dengan bobot molekul 344 g/mol (Fanun, 2010; Maulidiyah et al., 2015). Asam

usnat berupa kristal kuning padat dan memiliki kelarutan pada suhu 25°C (g/100

ml) : Air < 0,01; alkohol 0,02; Aseton 0,77; Etil asetat 0,88. Titik lebur asam usnat

adalah 204ºC dengan berat molekul 344 g/mol (O’Neil, 2001; Maulidiyah et al.,

2015). Struktur asam usnat dapat dilihat pada Gambar 1 sebagai berikut:

Gambar 1. Struktur Asam Usnat (Fanun, 2010).

Asam usnat adalah turunan dibenzofuran yang ditemukan pada beberapa

spesies lichen (Su et al., 2014) yaitu Usnea longissima, U. articulata, U.

complanata, U. meridionalis, U. barbata dan Cladonia arbuscula (White et al.,

2014).

6
2.2.2 Tinjauan Farmakologi

a. Tinjauan Farmakodinamik

Lichen dan ekstrak yang mengandung asam usnat telah dimanfaatkan

sebagai obat, wewangian, dan kosmetik (Ingolfsdottir, 2002). Asam usnat

diketahui memiliki berbagai aktivitas farmakologi, di antaranya: antivirus,

antibiotik, antitumor, antipiretik, analgesik, antioksidan dan antiinflamasi (Su et al.,

2014), antipoliferasi (Campanella, et al., 2002), antikanker (Mayer, et al., 2005).

Asam usnat sebagai antiinflamasi dapat menghambat sekresi sitokin pro-inflamasi

dan mediator seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin-6 (IL-6),

interleukin-1 beta (IL-1b), induced nitric oxide (iNOS) dan cyclooxygenase-2

(COX-2), serta meningkatkan pelepasan molekul antiinflamasi seperti IL-10 dan

IL-10 dan HO-1 (Huang et al., 2014).

Asam usnat juga mempunyai aktivitas antikanker. Kegiatan antiproliferatif

yang pertama kali dilaporkan terhadap karsinoma paru-paru dan kemudian

berdemonstrasi menentang berbagai macam sel kanker manusia. Berdasarkan

literatur yang ada, asam usnat merupakan produk lumut ekslusif. Tidak ada turunan

sintetis yang lebih efektif dari pada bentuk alami asam usnat (Cocchietto et al.,

2002). namun demikian khasiat asam usnat lebih di tekankan atau lebih banyak

penggunaannya sebagai antibiotik di karenakan asam usnat merupakan agen

selektif terhadap spesies Streptococcus mutans yang dapat menghambat kuat

bakteri gram positif, seperti Staphylococcus epidermidis, S. aureus, Enterococcus

faecalis, Enterococcus faecium, Mycobacterium tuberculosis dan beberapa jamur

patogen (Pires et al., 2012). Selain itu, asam usnat dapat menghambat secara

signifikan bakteri gram positif seperti Bacillus subtilis dan Staphylococcus aureus

7
dengan menggunakan konsentrasi asam usnat yang rendah (0,5-1 µg/L). Aktivitas

antibakteri asam usnat umumnya disebabkan oleh penghambatan sintesis RNA dan

mekanisme langsung seperti menganggu replikasi DNA pada Bacillus subtilis dan

Staphylococcus aureus (Dorszynska et al., 2014). Penggunaanan asam usnat dalam

terapi masih terbatas karena kelarutannya yang rendah dalam air (Cocchietto et al.,

2002). Kelarutan asam usnat yang rendah di dalam air menyebabkan disolusi dan

bioavailabilitas asam usnat menjadi rendah, sehingga efektivitas terapinya menurun

(Pramyothin et al., 2003).

b. Tinjauan Farmakokinetik

Farmakokinetik asam usnat satu – satunya dilakukan oleh Yenkataramana

& Krishna (1993) yang dilakukan evaluasi pada hewan percoba kelinci setelah

pemberian secara intravena dengan dosis 5 mg/Kg dan secara oral 20 mg/Kg,

menunjukkan rata-rata konstan waktu paruh (t½) pada masing-masing cara

pemberian secara intavena lebih kurang 4,6-10,7 jam dan secara oral lebih kurang

2,8-11,4 jam. Bioavailabilitas dosis asam usnat pada pemberian secara oral yang

dinormalisasi 77,8 % dengan konsentrasi maksimal (Cmax) 32,45 μg/mL lebih

kurang 6,84 μg/mL dan waktu sesuai dengan nilai Cmax lebih kurang 3,5-16,6 jam.

Konsentrasi pada plasma sekitar 30 μg/mL untuk di pertahankan 24 jam. Diikuti

dengan penurunan sekitar 10 μg/mL selama 48 jam (Fanun, 2010).

c. Tinjauan Toksikologi

Data toksikologi asam usnat, dinyatakan sebagai dosis yang mematikan

pada 50% subyek, ditentukan pada hewan yang berbeda setelah pemberian

intravena. Nilai dosis yang mematikan ini adalah 25,30 dan 40 mg/kg masing –

masingnya pada mencit dan tikus, kelinci, dan anjing. Efek samping alergi dari

8
isomer (-)asam usnat telah dikenal sejak tahun 1960an, namun tidak sampai tahun

1980an menunjukkan bahwa kedua isomer (+) dan (-) asam usnat bersifat alergi dan

individu dapat bereaksi terhadap satu atau kedua enansiome (Fanun, 2010). Selain

reaksi alergi, asam usnat juga menginduksi hepatoksisitas. Hal ini dibuktikan oleh

Durazo et al (2014) yang melaporkan satu kasus wanita sehat yang mengkonsumsi

asam usnat murni dengan dosis 500 mg/hari yang ditujukan untuk menurunkan

berat badan mengalami gagal hari dan membutuhkan transplantasi hati setelah dua

minggu penggunaan (Guo et al., 2017).

2.2 Polivinilpirolidon

Polivinilpirolidon (PVP) dikenal juga dengan nama povidone, kollidone,

dan polyvidone dengan rumus molekul (C6H9NO)n. PVP berbentuk serbuk halus,

bewarna putih atau putih kekuningan, tidak berbau atau berbau lemah, tidak berasa

dan higroskopis. Kelarutannya sangat larut dalam asam, kloroform, etanol 95%,

keton, metanol dan air (Rowe et al., 2009). Apabila dikeringkan, PVP akan

membentuk suatu lapisan yang jernih, mengkilap dan keras (Lachman et al., 1994).

Struktur PVP dapat dilihat pada Gambar 2 sebagai berikut :

Gambar 2. Struktur kimia PVP (Rowe et al., 2009).

Menurut USP 32, PVP merupakan polimer sintetik kelompok 1-vinyl-2-

pyrrolidinone dengan bobot molekul berkisar antara 2.500-3.000.000 tergantung

9
pada derajat polimerisasinya (Rowe et al., 2009). PVP di klasifikasi berdasarkan

viskositas dalam larutan air yang dinyatakan sebagai nilai K dengan rentang 10-

120. Viskositas larutan povidon tergantung dari konsentrasi dan bobot molekulnya.

PVP K-30 memiliki bobot jenis 1,17-1,18 g/cm3 dan titik lebur 150ºC dan larutan

5% dalam air memiliki pH 3-7 dengan berat molekul rata-rata 50.000. Selain itu,

PVP K-30 telah diteliti secara luas sebagai pembawa yang efesien dan

menghasilkan kemampuan untuk memperlambat dan menghambat rekristalisasi

obat (Wang et al., 2005). PVP dapat digunakan sebagai agen penstabil dalam

sejumlah sediaan topikkal, solutio dan suspensi oral.(Rowe et al., 2009). Menurut

Shi, molekul besar dan kompleks memberikan sifat stabilitas yang baik. PVP

memiliki struktur yang panjang dan bercabang, ini menunjukkan stabilisasi sterik

yang baik (Kristanti et al., 2013). Selain itu, PVP juga memiliki sifat amphiphilic

sehingga memungkinkan akan membentuk stuktur seperti vesikel (Koczkur et al.,

2015).

2.3 Nanopartikel

2.3.1 Defenisi Nanopartikel

Nanopartikel merupakan partikel obat yang memiliki ukuran partikel yang

berada dikisaran nanometer yaitu dibawah 1000 nm. Partikel obat ini distabilkan

dengan stabilisator (surfaktan, polimer, atau keduanya) penggunaan stabilisator

digunakan untuk mencegah terjadinya agregasi (Moschwitzher & Muller, 2007).

Dispersi nanopartikel kedalam media cair disebut anosuspensi. Media dispersi yang

digunakan dapat berupa air, larutan air atau media yang tidak mengandung air

seperti PEG dan minyak. Selain kristal obat, nanopartikel juga mengandung

10
stabilisator yang dapat berupa surfaktan ataupun polimer (Junghanns & Muller,

2008).

Nanopartikel dapat digunakan untuk mengatasi masalah disolusi dan

bioavailabilitas dari obat yang sukar larut (Junyaprasert & Morakul, 2014).

Pembentukan nanopartikel akan meningkatkan luas permukaan partikel sehingga

laju disolusi dari obat meningkat dan pada akhirnya bioavailabilitas dari obat juga

akan meningkat. Meningkatnya laju disolusi juga meningkatkan mula kerja obat

menjadi lebih cepat (Moschwitzer, 2012). Menurut Gibbs, adanya peningkatan luas

permukaan dapat mengakibatkan meningkatnya energi bebas Gibbs sehingga

sistem nanosuspensi menjadi tidak stabil. Diperlukan stabilisator untuk

menstabilkan nanosuspensi karena dapat mengurangi tegangan permukaan (Allen

et al., 2009). Stabilisator yang dipilih harus mampu membasahi permukaan kristal

obat dan memberikan halangan sterik atau ion agar efektif (Merisko-Liversidge et

al., 2003).

2.3.2 Jenis – Jenis Nanopartikel

a. Nanocarrier

Nanocarrier merupakan suatu sistem pembawa dalam ukuran nanometer.

Nanocarrier terdiri dari bahan biodegradable yang berbeda seperti polimer alami

atau sintetis, lipid atau fosfolipid dan senyawa organologam lainnya (Rawat et al.,

2006). Macam – macam nanocarrier yaitu ;

1. Nanotube adalah lembaran atom yang diatur menjadi bentuk tube dalam skala

nanometer, memiliki rongga di tengah dan struktur yang menyerupai sangkar

berbahan dasar karbon. (Rawat et al., 2006).

11
2. Liposom merupakan konsentrat vesikel lapis ganda yang terdapat cairan

didalamnya yang dibungkus dengan membran lipid lapis ganda yang terbuat

dari fosfolipid alam umumnya (Rawat et al., 2006).

3. Nanopartikel Lipid padat adalah pembawa koloidal berbahan dasar lipid

dengan ukuran 20-1000 nanometer yang terdispersi dalam air atau larutan

surfaktan dalam air, berisi inti hidrofob padat disalut oleh fosfolipid lapisa

tunggal. Inti padat ini berisi senyawa obat yang didispersikan dalam matriks

lemak padat yang mudah mencair (Rawar et al., 2006).

4. Misel merupakan agregat molekul ampifatik dalam air dengan bagian nonpolar

didalam dan polar diluar pada bagian yang terpapar air. Dengan struktur itu

obat yang bersifat hidrofob terdisposisi di bagian dalam inti misel sehingga

cocok sebagai pembawa obat yang tidak larut air (Rawat et al., 2006).

5. Dendrimer merupakan makromolekul yang terdiri atas cabang-cabang di

sekeliling inti pusat yang bentuk dan ukurannya dapat diubah sesuai yang

diinginkan. Molekul obat dapat dimuat baik dalam dendrimer atau diabsorpsi

pada permukaannya (Rawat et al., 2006).

b. Nanokristal

Nanokristal adalah gabungan dari banyak molekul yang membentuk suatu

kristal, merupakan senyawa obat murni dengan penyaluran tipis menggunakan

surfaktan. Nanokristal tidak membutuhkan banyak surfaktan agar stabil karena

gaya elektrostatik sehingga mengurangi kemungkinan keracunan oleh bahan

tambahan. Nanokristal memungkinkan pengembangan formulasi melalui rute

pemberian dimana ukuran partikel merupakan faktor kritis, seperti obat tetes mata,

cairan infus, dan obat suntik (Rawat et al., 2006).

12
1. Penggunaan Nanokristal

Secara umum nanokristal dapat digunakan sebagai teknologi untuk obat

yang sukar larut dalam air. Bioavaibilitas obat yang sukar larut juga dapat

ditingkatkan dengan teknologi nanokristal. Pengecilan ukuran partikel dapat

meningkatkan bioavaibilitas senyawa yang sukar larut dengan signifikan

(Moschwitzer, 2012). Menurut Noyes-Whitney pengecilan ukuran partikel

menyebabkan meningkatnya luas permukaan. Luas permukaan berbanding lurus

dengan laju disolusi, sehingga peningkatan luas permukaan menyebabkan laju

disolusi meningkat (Muller et al., 2001). Keuntungan – keuntungan lain dalam

menggunakan nanopartikel sebagai sistem penghantar obat adalah kemudahan

dalam memanipulasi ukuran partikel dan karakteristik permukaan untuk mencapai

drug targeting baik secara pasif maupun aktif dalam pemberian parenteral,

kemudahan dalam mengontrol pelepasan obat selam transport obat ke jaringan

target dan banyak variassi rute yang dapat dipakai dalam nanopartikel seperti oral,

nasal, parenteral, intraokular (Mohanraj & Chen, 2006). Selain itu, nanokristal obat

dapat meningkatkan drug loading yang lebih besar sehingga pemberian dosis dapat

lebih kecil dan dapat mengurangi efek samping pada obat (Junyaprasert & Morakul,

2014).

2. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Nanokristal

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pembuatan nanokristal,

yaitu sebagai berikut :

a. Waktu Penggilingan

Waktu penggilingan yang lama akan menyebabkan lebih banyak energi

untuk dapat memecah partikel menjadi kecil. Semakin kecil dan semakin seragam

13
partikel, maka nanosuspensi yang terbentuk juga semakin baik. Lamanya

penggilingan akan memberikan molekul stabilisator yang cukup untuk berdifusi

dan terabsorbsi pada permukaan partikel obat. Peningkatan waktu penggilingan

yang berlebihan sangat tidak menguntungkan karena akan membuat distribusi

ukuran partikel tidak tercapai karena adanya penurunan ukuran partikel. Bahkan

mungkin waktu penggilingan yang berlebih tidak akan menurunkan ukuran partikel

tetapi akan membuat sedikit pertumbuhan pada ukuran partikel (Liu et al., 2011;

Liu, 2013).

b. Jenis dan Konsentrasi Stabilisator

Konsentrasi dan jenis stabilisator mempengaruhi ukuran partikel dan

distribusi ukuran (Liu et al., 2011). Jenis stabilisator yang berbeda dengan

konsentrasi yang berbeda akan membuat kestabilan nanosuspensi yang berbeda

pula (Jacobs et al., 2001). Stabilisator dapat terdiri dari surfaktan atau polimer. BM

surfaktan mempengaruhi kemampuan atau kecepatan difusi untuk melapisi

permukaan kristal. Semakin tinggi BM surfaktan maka kecepatan untuk melapisi

permukaan kristal menjadi semakin lambat (Mishra et al., 2009). Polimer harus

memiliki bagian yang hidrofobik untuk mendorong penurunan energi bebas

sehingga adsorbsi menjadi lebih baik (Lee et al., 2008).

c. Rasio Perbandingan Antara Bahan Obat dan Stabilisator

Rasio obat-stabilisator merupakan faktor penting dalam stabilitas

nanokristal dengan meminimalkan aglomerasi atau pertumbuhan kristal (Ghosh et

al., 2012). Formulasi stabil untuk pembentukan nanokristal didapat dengan

perbandingan bahan obat dan stabilisator adalah 20:1 sampai 2:1 (Merisko-

Liversidge et al., 2003).

14
d. Konsentrasi Stabilisator

Konsentrasi stabilisator adalah faktor penting yang mempengaruhi stabilitas

fisik prooduk akhir nanokristal (Gulsun et al., 2010). Konsentrasi stabilisator yang

terlalu banyak akan menyebabkan sistem nanosuspensi semakin kental. Viskositas

yang tinggi akan menghalangi pergerakan dari media penggilingan (Cerdeira et al.,

2010). Interaksi antara stabilisator dan bahan obat tergantung pada banyak variabel,

seperti adanya gugus – gugus fungsional dan energi permukaan. Konsentrasi serta

berat molekul yang tinggi dari polimer memberikan kekuatan deplesi lebih besar,

menyebabkan peningkatan stabilitas dari sistem dispersi (Zhang et al., 2015).

e. Berat Molekul Stabilisator

Berat molekul polimer merupakan faktor penting pada polimer sebagai

stabilisator berkaitan dengan viskositas. Rantai polimer harus cukup panjang,

sehingga mampu mengurangi gaya van der waals. Polimer rantai pendek

memberikan halangan sterik sangat kecil dan mudah terbentuk agregasi, sedangkan

lapisan yang terlalu tebal juga dapat menyebabkan partikel bergabung. Pada

umumnya digunakan polimer dengan rantai 5000-25000 g/mol sebagai stabilisator

dari nanokristal (Peltonen & Hirvonen, 2010). Berat molekul surfaktan

mempengaruhi kemampuan atau kecepatan difusi untuk melapisi permukaan

kristal. Semakin tinggi berat molekul surfaktan maka kecepatan untuk melapisi

permukaan kristal menjadi semakin lambat (Mishra et al., 2009).

2.3.3 Metode Pembuatan Nanopartikel

Metode pembuatan nanokristal dibagi menjadi 3 metode yaitu top-down,

bottom-up, dan metode kombinasi antar keduanya (Tuomela, 2015).

15
a. Metode Bottom Up

Metode bottom up merupakan proses fisikokimia yang melibatkan prinsip

tingkat kelompok atau penggabungan atom atau molekul (Srivalli & Mishra, 2014).

Pada metode bottom up, molekul obat dilarutkan pada pelarut yang sesuai dan pada

umumnya merupakan pelarut organik yang tidak larut air. Larutan obat ini

kemudian diendapkan dengan penambahan pelarut lain yang bukan pelarutnya

misalnya air (Keck & Muller, 2006). Dalam metode bottom up pertumbuhan

partikel sangat sulit untuk dikontrol, sehingga metode ini jarang digunakan dalam

industri farmasi (Moschwitzer, 2012). Disamping itu, permasalahan untuk

menghilangkan sisa pelarut organik dengan sempurna dimana sisa pelarut ini dapat

menyebabkan efek toksik dan juga tambahan biaya untuk proses tersebut

(Moschwitzer & Muller, 2007; Junyaprasert & Morakul, 2014). Ilustrasi skema

metode bottom up dapat dilihat pada Gambar 3 sebagai berikut :

Gambar 3. Ilustrasi skema metode bottom up (Lu et al., 2016)

b. Metode Top Down

Metode top down merupakan proses fisikomekanik karena melibatkan

penghancuran atau prinsip gesekan atau fragmentasi. Metode top down

menggunakan prinsip fisikomekanik dengan penghancuran partikel. Dari partikel

berukuran besar dalam kisaran mikrometer direduksi ke dalam ukuran nanometer

16
(Muller et al,. 2011). Dibandingkan dengan metode bottom up, metode top down

memiliki kelebihan yaitu penggunaan pelarut organik dapat dihindari dan proses

scale up lebih mudah. Metode top down dapat dilakukan dengan penggilingan

basah atau dengan homogenisasi tekanan tinggi (Liu et al., 2011).

1. Penggilingan Basah

Metode penggilingan basah ini banyak digunakan pada pembuatan

nanokristal di industri farmasi. Metode ini memiliki beberapa keuntungan seperti

peralatan yang digunakan dapat dibuat sederhana (Moschwitzer, 2012), dapat

menggunakan pelarut non organik sehingga lebih murah dan ramah lingkungan

(Zhang et al., 2015), ukuran yang dihasilkan lebih kecil dan homogen, dan drug

load yang dihasilkan lebih tinggi (Liu, 2013). Penggilingan basah dapat dilakukan

menggunakan dua cara, yaitu dengan energi tinggi dan dengan energi rendah

(Moschwitzer, 2012). Pada penggilingan basah dengan energi rendah, bahan obat

didispersikan pada larutan media dispersi yang sebelumnya sudah ditambahkan

pada media penggilingan dan diberikan suatu energi seperti pengadukan

menggunakan pengaduk magnetik atau mesin dengan energi pengaduk tinggi,

sehingga akan terjadi interaksi antara media penggilingan dengan partikel obat

(Muller et al., 2011).

Menurut Hannert et al., pengecilan partikel dalam penggilingan basah

disebabkan oleh abrasi, pembelahan, dan pematahan. Untuk penggilingan basah

dengan energi rendah, dapat diasumsikan bahwa mekanisme utamanya adalah

abrasi dan pembelahan, sehingga untuk menghasilkan partikel yang sangat kecil

dibutuhkan waktu yang cukup lama (Muller et al., 2011). Dalam pembuatan

nanokristal dengan metode penggilingan basah, nanosuspensi yang terbentuk

17
selama penggilingan tidak stabil secara termodinamika dan akan membentuk

aglomerisasi. Untuk mencegah terjadinya aglomerasi diperlukan penambahan

stabilisator kedalam sistem tersebut (Eerdenbrugh et al., 2008).

Partikel padat dalam nanosuspensi terdapat dalam 2 bentuk, yaitu amorf dan

kristal (Bi et al., 2015). Untuk mengubah kristal nanosuspensi menjadi bentuk

sedian padat, nanosuspensi harus dikeringkan sampai membentuk padatan. Bentuk

padatan ini yang kemudian dapat dibuat menjadi tablet atau kapsul. Cara yang

paling sering digunakan untuk mengeringkan nanosuspensi ini adalah spray dry dan

freeze dry (Kumar et al., 2014). Ilustrasi Proses penggilingan basah dapat dilihat

pada Gambar 4 sebagai berikut :

Gambar 4. Ilustrasi Proses penggilingan basah (Lu et al., 2016).

2. Homogenisasi Tekanan Tinggi

Pengecilan ukuran partikel disebabkan oleh gaya geser, kekuatan kavitasi

dan tumbukan partikel karena kondisi tekanan tinggi. Ada dua tipe yaitu

microfluidization dan piston-gap homogenization. Microfluidization juga disebut

18
sebagai air-jet milling atau jet steam homogenization, dimana partikel

difragmentasi dalam udara bertekanan tinggi yang disebabkan oleh tumbukan aliran

fluida. Piston-gap homogenization menggunakan tekanan tinggi untuk memaksa

cairan suspensi melalui celah sempit atau channel dalam pipa. Jika media aqueous,

gelembung terbentuk di dalam celah akibat berkurangnya tekanan statis yang

kemudian pecah saat keluar dari celah sempit. Pemecahan dari partikel dicapai oleh

adanya energi kavitas. Jika media tersebut adalah minyak atau pelarut nanoqueous,

penumbukan partikel difasilitasi oleh geseran tinggi dan tumbukan melalui celah

(Keck & Muller, 2006). Ilustrasi Proses homogenisasi tekanan tinggi dapat dilihat

pada Gambar 5 sebagai berikut :

Gambar 5. Ilustrasi Proses homogenisasi tekanan tinggi (Lu et al., 2016)

c. Metode Kombinasi Bottom Up-Top Down

Dalam metode kombinasi, teknik bottom up dan top down digunakan secara

bersamaan. Kombinasi dari bottom up dan top down dapat mengatasi kekurangan

dari masing – masing metode tersebut (Srivalli & Mishra, 2014). Pada dasarnya

metode kombinasi terdiri dari langkah pra-perlakuan diikuti oleh proses top-down

energi tinggi. Metode kombinatif pertama yaitu teknologi NanoedgeTM, terdiri dari

fase pra-fase mikro-presipitasi klasik yang diikuti oleh HPH (High-Preasure

19
Homogenization). Biasanya, fase kedua menghambat pertumbuhan kristal lebih

lanjut dan agregasi setelah pengendapan, dan mengubah bentuk kristal menjadi

amorf dan dapat meningkatkan stabilitas kristal (Moschwitzer, 2012). Baru – baru

ini, teknologi rekombinasi baru yaitu PLH (Preparation-Lyophilization-

Homogenization) untuk pembuatan nanokristal telah dikemukakan oleh

Junyaprasert et al., (2013). Ilustrasi metode kombinasi proses PLH (Preparation-

Lyophilization-Homogenization) dapat dilihat pada Gambar 6 sebagai berikut :

Gambar 6. Ilustrasi metode kombinasi proses PLH (Preparation-Lyophilization-


Homogenization) (Junyaprasert & Morakul, 2014)

2.4 Metode Pengeringan Nanosuspensi

2.4.1 Freeze Dry

Freeze dry atau liofilisasi merupakan proses menghilangkan air dari sampel

beku melalui proses sublimasi dan desorbsi dibawah tekanan. Proses ini terdiri dari

3 tahap yaitu pembekuan (solidifikasi), pengeringan pertama (sublimasi es), dan

pengeringan kedua (desorbsi dari air yang terabsorbsi). Pada proses pembekuan

akan terbentuk kristal es dari air yang tidak terikat sehingga akan meningkatkan

konsentrasi dan viskositas dari sampel. kemudian proses pengeringan pertama,

dengan menaikkan suhu, kristal es akan mengalami sublimasi dan berubah menjadi

bentuk uap air. Uap air yang terbentuk kemudian akan dialirkan menuju

20
kondensator. Selanjutnya adalah proses pengeringan kedua yaitu prooses desorbsi,

yaitu menghilangkan air yang terikat pada sampel. Air yang tidak terikat ini tidak

berubah menjadi kristal es pada proses pembekuan dan tidak mengalami sublimasi

pada pengeringan pertama. Prinsip kerja freeze drying adalah dengan sublimasi

yaitu mengubah dari bentuk liquid menjadi solid yang berada dibawah tiga titik dari

air. Keuntungan pengeringan menggunakan freeze dry adalah meningkatkan shelf

life selama penyimpanan, cocok untuk bahan obat yang tidak stabil terhadap

pemanasan (Abdelwahed et al., 2006).

2.4.2 Siklus Freeze Drying

1. Pembekuan (Freezing)

Pembekuan adalah proses perubahan bentuk dari liquid menjadi es yang

dilakukan pada temperatur rendah. Proses pembekuan biasanya mewakili struktur

mikro dari produk kering. Pengeringan beku adalah perubahan dari fase padat ke

fase gas sehingga bahan yang akan dibeku-keringkan harus mengalami pra-

pembekuan yang memadai. Untuk mencapai pengeringan beku, dibutuhkan suhu

yang cukup rendah agar terjadi pemadatan pada produk. Kebanyakan sampel yang

dikering-bekukan adalah eutektik yang merupakan campuran dari zat yang

membeku pada suhu yang lebih rendah dari air disekitarnya (temperatur eutektik).

Titik eutektik adalah titik dimana ketiga fase yaitu padat, cair dan gas berada dalam

keseimbangan. Hal ini sangat penting dalam freeze drying untuk pra-pembekuan

produk dibawah suhu eutektik sebelum memulai proses pengeringan beku

(Nireesha et al., 2013).

21
2. Pengeringan Primer (Primary Drying)

Proses ini untuk menghilangkan es dari produk beku dengan proses

sublimasi pada vakum bertekanan tinggi sehingga akan terbentuk serpihan kering

dari produk obat yang dikeringkan. Kecepatan sublimasi dan bentuk es pada produk

beku tergantung pada perbedaan tekanan uap produk dibandingkan dengan tekanan

uap kolektor es. Molekul berpindah dari sampel dari tekanan tinggi ke tekanan

rendah sehingga diperlukan suhu produk yang lebih hangat dibandingkan suhu ice

collector. Hal ini sangat penting dimana suhu produk beku kering seimbang dengan

suhu yang mempertahankan integritas produk beku dengan suhu yang

memaksimalkan tekanan uap produk. Keseimbangan ini merupakan kunci untuk

pengeringan yang optimal (Nireesha et al., 2013).

3. Pengeringan Sekunder (Secondary Drying)

Pengeringan sekunder dilakukan untuk menghilangkan sisa air yang tersisa

serpihan yang telah terbentuk dengan cara desorpsi. Pada pengeringan sekunder

temperatur akan naik secara perlahan tetapi jika kenaikan temperatur terlalu cepat

akan menyebabkan kerusakan pada bahan aktif yang digunakan. Secara umum laju
o
pompa yang aman untuk bahan yang amorf adalah 0.1-0.15 C/min. Pada

pengeringan sekunder temperatur yang digunakan seharusnya pada suhu 10-50 oC

(Xiaolin et al., 2003).

2.5 Karakterisasi Nanokristal

2.5.1 Sifat Organoleptis

Sifat organoleptis dapat diamati secara visual. Untuk mengatahui dari

nanokristal dilakukan pengamatan bentuk, warna, bau dan lain – lain. Proses ini

22
dilakukan dengan meletakkan sejumlah kecil nanokristal obat ditempat yang

diterangi dengan baik (Kaushik et al., 2015).

2.5.2 SEM (Scanning Electron Microskop)

SEM (Scanning Electron Microscop) merupakan jenis mikroskop elektron

yang menghasilkan gambar sampel dengan memindai dengan sinar terfokus

elektron. Elektron yang berinteraksi dengan elektron dalam sampel, menghasilkan

berbagai sinyal yang dapat dideteksi dan yang mengandung informasi tentang

permukaan sampel topografi dan komposisi. Dalam SEM, berkas elektron yang

dipancarkan dilengkapi dengan tungstren filament katoda berkas elektron, yang

biasanya memiliki energi berkisar antara 0,2 keV sampai 40 keV, difokuskan oleh

satu atau dua lensa kondensor ke tempat sekitar 0,4 nm sampai 5 nm diameter.

Ketika berkas elektron primer berinteraksi dengan sampel elektron kehilangan

energi dengan hamburan acak.

Jika seberkas elektron ditembakkan pada permukaan sampel, maka sebagian

dari elektron tersebut akan dipantulkan kembali dan sebagian lagi akan diteruskan.

Apabila permukaan sampel tidak rata, banyak lekukan atau berlubang, maka tiap

bagian dari permukaan sampel tersebut akan memantulkan elektron dengan jumlah

dan arah yang berbeda, sehingga diperoleh gambaran yang jelas dari permukaan

sampel tersebut dalam bentuk tiga dimensi. Sampel yang dianalisis harus

mempunyai permukaan dengan konduktivitas yang tinggi. Sampel yang

mempunyai konduktivitas rendah harus dilapisi dengan bahan konduktor yang tipis.

Bahan konduktor yang biasa digunakan adalah emas atau campuran emas dan

paladium (Gennaro, 1985).

23
2.5.3 Differential Scanning Calorimetry (DSC)

Keadaan termodinamik mempengaruhi struktur material yang

mempengaruhi sifat – sifatnya. Variasi dalam keadaan termodinamika suatu

material dapat menyebabkan variasi sifat – sifat materialnya. Dengan menggunakan

Differential scanning calorimetry (DSC) kita dapat lebih memahami transisi fasa

dan reaksi inmaterial, dan bagaimana mereka berkontribusi pada sifat dan

karakteristik material. Dalam industri DSC digunakan untuk menentukan transisi

polimerik, titik leleh, kaca transisi (softening point), riwayat termal, suhu

kristalisasi, persen kristalinitas, stabilitas termal, dan efek aditif (plasticizer, dll)

(Lukas & Maire, 2009).

DSC merupakan salah satu jenis metode analisa termal material yang

berbasis pada pengukuran perbedaan suhu antara referensi inert dengan sampel

ketika suhu lingkungan berubah dengan laju pemanasan konstan. Salah satu tujuan

utama DSC adalah mengidentifikasi suatu materi. Dalam bahan yang terdiri dari

beberapa fase atau komponen yang berbeda, DSC dapat menunjukkan beberapa

transisi peleburan (Lukas & Maire, 2009). Profil DSC yang berperan dalam

peleburan suatu materi dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9 sebagai berikut:

24
Gambar 8. Profil DSC : Perbandingan aliran panas eksotermik dengan
temperatur (Lukas & Maire, 2009).

Gambar 9. Profil DSC : Perbandingan aliran panas endotermik dengan


temperatur (Lukas & Maire, 2009).

Pada Gambar 8 dan 9, menunjukkan bahwa pemanas sampel memasok lebih

banyak energi per satuan waktu dibandingkan dengan panas pembanding, dan suhu

material pada titik leleh akan tetap konstan sampai material mengalir dari fase padat

ke fase cair. Setelah padatan telah menjadi cair, cairan kemudian dapat melanjutkan

memanas. Jadi dalam grafik aliran panas dengan suhu, aliran panas ke sampel harus

meningkat secara dramatis agar sampel meleleh dan tetap mempertahankan laju

pemanasan yang sama dengan pan pembanding. Puncak kurva adalah suhu leleh

25
dan area di bawah kurva dapat digunakan untuk menemukan panas laten (Lukas &

Maire, 2009).

Gambar 8 menunjukkan kisaran transisi. Bahan amorf pertama-tama akan

mengalami transisi kaca di mana kapasitas panasnya meningkat, tetapi tidak ada

panas laten yang hadir. Bahan tersebut kemudian akan mengkristal dan melepaskan

energi. Materi dapat mengalami transisi fase padat-padat dengan re-kristalisasi ke

dalam pengaturan yang berbeda, hal ini dikenal sebagai polimorfisme, diikuti

akhirnya oleh peleburan dan mungkin mengalami perubahan fase tambahan dalam

fase cair. Bahan kristal hanya dapat mengalami transisi padat ke padat dan

kemudian meleleh. Tergantung pada keadaan termodinamika dari bahan itu dapat

mengalami transisi padat ke gas dalam proses yang dikenal sebagai sublimasi, dan

panas laten sublimasi dapat diukur (Lukas & Maire, 2009).

2.5.4 Difraksi Sinar-X (XRD)

Sinar-X merupakan salah satu bentuk radiasi elektromagnetik yang

mempunyai energi antara 200 eV-1 MeV dengan panjang gelombang antara 0,5-2.

Panjang gelombang hampir sama dengan jarak antara atom dalam kristal. Apabila

suatu bahan dikenai sinar-X, maka intensitas sinar-X yang ditransmisikan lebih

kecil dari intensitas sinar datang. Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh bahan

dan juga penghamburan oleh atom-atom material tersebut. Berkas sinar yang

dihantarkan tersebut ada yang saling menghilangkan karena fasenya berbeda dan

ada juga yang menguatkan karena fasenya sama. Berkas sinar-X yang saling

menguatkan disebut sebagai berkas difraksi (Gennaro, 1985).

26
2.5.5 Fourier Transformation Infra Red (FT-IR)

Cahaya tampak terdiri dari beberapa range frekuensi elektromagnetik yang

berbeda dimana setiap frekuensi bisa dilihat sebagai warna yang berbeda. Radiasi

inframerah juga mengandung beberapa range frekuensi tetapi tidak dapat dilihat

oleh mata. Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah cahaya

inframerah tengah yaitu pada panjang gelombang 2,5-50 µm atau bilangan

gelombang 4000-200 cm-1. Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan

menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul. Pita absorbsi inframerah sangat

khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi. Metode ini

sangat berguna untuk mengidentifikasi senyawa organik dan organometalik

(Dachriyanus, 2004).

2.5.6 Disolusi

Disolusi adalah suatu proses dimana bahan padat melarut ke dalam medium

pelarutnya. Proses ini dikontrol oleh afinitas antara zat padat dengan medium.

Disolusi dari suatu obat akan mempengaruhi bioavailabilitas dan penyampaian obat

pada reseptornya (Lachman et al., 1994).

Pada saat partikel obat mengalami disolusi, molekul-molekul obat pada

permukaan mula-mula akan masuk kedalam larutan dan menciptakan suatu lapisan

jenuh obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat yang disebut

dengan lapisan difusi. Dari lapisan ini molekul obat akan keluar melewati cairan

yang melarut dan berhubungan dengan membran biologis dan absorbsi pun terjadi.

Jika molekul-molekul obat terus meninggalkan lapisan difusi, molekul-molekul

obat tersebut akan diganti dengan obat yang dilarutkan dari permukaan partikel obat

dan absorbsi obat akan terus berlanjut (Ansel, 2008).

27
Metode penentuan disolusi ada beberapa macam, yaitu (Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia, 2014):

1. Metode Keranjang

Pada metoda ini digunakan pengaduk bentuk keranjang. Alat ini terdiri dari

sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert,

suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan keranjang

berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai,

berukuran sedemikian sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada

37±0,5°C selama pengujian berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam

tangas air halus dan tetap. Bagian dari alat, termasuk lingkungan tempat alat

diletakkan tidak boleh menimbulkan gerakan, goncangan atau getaran signifikan

yang melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk.Penggunaan alat yang

memungkinkan pengamatan dan pengadukan selama pengujian berlangsung.

2. Metode Dayung

Pada metoda ini digunakan pengaduk bentuk dayung. Metode ini

sebenarnya sama dengan metode keranjangkecuali pada alat ini digunakan dayung

yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi

sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu

vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Daun

melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Dayung memenuhi

spesifikasi pada jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dalam dasar wadah

dipertahankan selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang

merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai.

Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar.

28
Sepotong kecil bahan yang tidak bereaksi seperti gulungan kawat berbentuk spiral

dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan.

3. Metode silinder kaca bolak-balik

Pada metoda ini digunakan alat silinder kaca bolak-balik. Alat ini terdiri dari

satu rangkaian labu kaca berlaras rata berbentuk silinder, rangkaian silinder kaca

yang bergerak bolak-balik, penyambung inert dari baja tahan karat (tipe 316 atau

setara) dan kasa polipropilen yang terbuat dari bahan yang sesuai, inert dan tidak

mengabsorbsi, dirancang untuk menyambungkan bahan bagian atas dan alas

silinder yang bergerak bolak balikdan sebuah motor serta sebuah kemudi untuk

menggerakkan selinder bolak balik secara vertikal dalam labu dan, jika perlu

selinder dapat digeser secara horizontal dan diarahkan ke deretan labu yang lain.

Labu tercelup sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai dengan ukuran

sedemikian sehingga dapat mempertahankan suhu di dalam wadah pada 37±0,5°C

selama pengujian berlansung.

4. Metode sel yang dapat dialiri

Sel besar dan sel kecil untuk tablet dan kapsul. Alat terdiri dari sebuah

wadah dan sebuah pompa untuk media disolusi, sebuah sel yang dapat dialiri,

sebuah tangas air yang dapat mempertahankan suhu media disolusi pada 37±0,5°C.

Ukuran sel dinyatakan dalam masing-masing monografi.Pompa mendorong media

disolusi ke atas melalui pompa sel. Pompa memiliki kapasitas aliran antara 240 mL

per jam dan 960 mL per jam, dengan laju alir baku 4 mL, 8 mL, dan 16 mL per

menit. Alat memberikan aliran konstan (± 5 % dari laju alir), profil aliran adalah

sinusoidal dengan 120±10 pulsa/ denyut per menit. Pompa tanpa denyut juga dapat

29
digunakan. Bagaimanapun juga, uji disolusi menggunakan sel yang dapat dialiri

harus memperhatikan laju aliran dan denyut.

2.5.7 Ukuran Partikel dan Indeks Polidispersitas

Ukuran partikel dan distribusi ukuran adalah karakteristik yang paling

penting dari sistem nanopartikel, dimana dapat menentukan distribusi in vivo, nasib

biologis, toksisitas dan kemampuan penargetan sistem nanopartikel. Selain itu, juga

dapat mempengaruhi pemuatan obat, pelepasan obat dan stabilitas nanopartikel.

Pelepasan obat dipengaruhi oleh ukuran partikel. Partikel yang lebih kecil memiliki

luas permukaan yang lebih besar, oleh karena itu, sebagian besar obat yang terikat

akan berada di atau dekat permukaan partikel yang mengarah ke pelepasan obat

yang cepat. Partikel yang lebih besar memiliki inti besar yang memungkinkan lebih

banyak obat yang akan dienkapsulasi dan perlahan-lahan berdifusi keluar. Partikel

yang lebih kecil juga memiliki risiko agregasi partikel yang lebih besar selama

penyimpanan dan transportasi dispersi nanopartikel. Hal inilah yang selalu menjadi

tantangan untuk merumuskan nanopartikel dengan ukuran sekecil mungkin namun

tetap memiliki stabilitas yang maksimum (Mohanraj & Chen, 2006).

Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel dapat ditentukan dengan

menggunakan teknik hamburan cahaya dan transmisi atau pemidaian mikroskop

elektron (Kharia et al., 2012). Metode yang paling umum digunakan untuk

karakterisasi partikel menggunakan hamburan cahaya dinamis (Dynamic Light

Scattering/DLS) (Cho et al., 2013). Hamburan cahaya dinamis adalah teknik non-

invasif dan baik untuk mengukur ukuran dan distribusi ukuran partikel di wilayah

submikron dan juga dapat digunakan untuk mempelajari perilaku cairan kompleks

seperti konsentrat larutan polimer (Jonnasen, 2014).

30
Indeks polidispersitas adalah parameter yang menyatakan distribusi ukuran

partikel dari sistem nanopartikel (Nidhin et al., 2008), dimana rentang nilai 0,1 –

0,25 menunjukkan distribusi ukuran sempit, sementara nilai lebih dari 0,5

menunjukkan distribusi yang luas. Nilai ini menunjukkan hasil perhitungan dari

berat rata – rata berat molekul dibagi dengan jumlah rata – rata berat molekul.

Semakin mendekati nol berarti distribusinya semakin baik (Haryono et al., 2012).

2.5.8 Potensial Zeta

Lapisan cair yang mengelilingi partikel ada dua bagian, yaitu wilayah dalam

(stern layer) dimana ion terikat kuat dan bagian luar (diffuse) dimana ion kurang

terkait erat. Di dalam lapisan ada pembatas dimana ion dan partikel membentuk

entitas stabil. Ketika partikel bergerak ion yang berada dalam batas tersebut yang

memindahkannya. Potensi yang berada pada batas ini yang disebut dengan

potensial zeta (Hunter, 1981). Skema ilustrasi potensial zeta dapat dilihat pada

Gambar 7 sebagai berikut :

Gambar 9. Skema ilustrasi potensial zeta (Nanocomposix, 2012).

Besarnya potensial zeta memberikan indikasi stabilitass potensial dari

sistem koloid. Jika semua partikel dalam suspensi memiliki potensial zeta negatif

31
atau positif yang besar, maka akan cenderung untuk saling menolak satu sama lain

dan tidak akan ada kecenderungan partikel – partikel untuk menyatu. Namun, jika

partikel mempunyai nilai potensial zeta rendah maka akan tidak ada kekuatan untuk

mencegah partikel untuk bersatu kembali. Nanopartikel dengan nilai potensial zeta

lebih positif dari +30 mV dan lebih negatif dari -30 mV biasanya dianggap stabil.

Potensial zeta biasanya digunakan untuk mengkarakterisasi sifat muatan

permukaan nanopartikel, berkaitan dengan interaksi elektrostatik akan menentukan

kecenderungan agregasi dan tolak menolak. Selain itu potensial zeta juga dapat

digunakan sebagai parameter prediksi stabilitas jangka panjang (Hunter, 1981;

Nanocomposix, 2012). Potensial zeta nanopartikel juga mempengaruhi

efektivitasnya sebagai sistem penghantaran obat. Partikel bermuatan negatif dapat

dengan cepat dibersihkan oleh makrofag. Selain itu sistem retikuloendotelial,

terutama di hati dan limpa, menjadi kendala utama untuk pentargetan aktif karena

kemampuannya untuk mengenali sistem ini, menghapusnya dari sirkulasi sistemik,

dan akibatnya menghindari pengiriman efektif obat nano ke organ lain (Honary &

Zahir, 2013).

Perletakan antara nanopartikel dengan membran sel juga terpengaruh oleh

muatan permukaan partikel. Nanopartikel dengan muatan permukaan tinggi sangat

terikat pada membran sel dan menunjukkan serapan seluler tinggi, dimana interaksi

elektrostatik antara membran anionik dan nanopartikel kationik memfasilitasi

penyerapan tersebut. Setelah adsorpsi nanopartikel pada membren sel, penyerapan

terjadi melalui beberapa mekanisme yang mungkin seperti pinositosis, endositosis

dan fagositosis. Senyawa kationik juga dapat memiliki efek positif pada permeasi

kulit, dimana komponen penyusun jaringan kulit seperti fosfatidil kolin dan

32
karbohidrat yang ditemukan di sel mamalia mengandung gugus bermuatan negatif.

Nanopartikel dengan muatan positif lebih cenderung diserap oleh sel tumor dan

waktu retensi yang lebih lama dibandingkan dengan partikel bermuatan negatif atau

netral karena fosfatidil serin, residu bermutan negatif, ditranslokasikan

kepermukaan sel kanker dan nanopartikel dengan muatan positif dapat

ditranslokasikan oleh sel - sel tumor baik melalui endositosis, atau interaksi muatan

dan penambatan ligan-reseptor (Honary & Zahir, 2013).

33

Anda mungkin juga menyukai