Anda di halaman 1dari 19

Wisnu Adji Pamungkas

A4/28
2141000510384
Dimensi Ilmu Dalam Pendidikan Olahraga
A. Kajian Olahraga Secara Filosofis
Kesadaran bahwa olahraga merupakan ilmu secara internasional mulai
muncul pertengahan abad 20, dan di Indonesia secara resmi dibakukan melalui
deklarasi ilmu olahraga tahun 1998. Beberapa akademisi dan masyarakat awam
memang masih pesimis terhadap eksistensi ilmu olahraga, khususnya di Indonesia, terutama dengan
melihat kajian dan wacana akademis yang masih sangat terbatas dan kurang integral. Namun sebagai
suatu ilmu baru yang diakui
secara luas, ilmu olahraga berkembang seiring kompleksitas permasalahan yang
ada dengan ketertarikan-ketertarikan ilmiah yang mulai bergairah menunjukkan
eksistensi ilmu baru ini ke arah kemapanan.
Filsafat, dalam hal ini dianggap memiliki tanggung jawab penting dalam
mempersatukan berbagai kajian ilmu untuk dirumuskan secara padu dan mengakar menuju ilmu
olahraga dalam tiga dimensi ilmiahnya (ontologi, epistemologi dan aksiologi) yang kokoh dan sejajar
dengan ilmu lain. Ontologi
membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan
pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu berhubungan
dengan materi yang menjadi obyek penelaahan ilmu, ciri-ciri esensial obyek itu
yang berlaku umum. Ontologi berperan dalam perbincangan mengenai pengembangan ilmu, asumsi
dasar ilmu dan konsekuensinya pada penerapan ilmu.
Ontologi merupakan sarana ilmiah untuk menemukan jalan penanganan masalah secara ilmiah (Van
Peursen, 1985: 32). Dalam hal ini ontologi berperan dalam proses konsistensi ekstensif dan intensif
dalam pengembangan ilmu.

Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk
memperoleh pengetahuan. Ini terutama berkaitan dengan metode keilmuan dan sistematika isi ilmu.
Metode keilmuan merupakan suatu
prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan
tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan yang
telah ada. Sedangkan sistimatisasi isi ilmu dalam hal ini berkaitan dengan batang tubuh ilmu, di mana
peta dasar dan pengembangan ilmu pokok dan ilmu cabang
dibahas di sini.
Aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari
pengetahuan yang didapatnya. Bila persoalan value free dan value bound ilmu
mendominasi fokus perhatian aksiologi pada umumnya, maka dalam hal pengembangan ilmu baru
seperti olahraga ini, dimensi aksiologi diperluas lagi
sehingga secara inheren mencakup dimensi nilai kehidupan manusia seperti etika,
estetika, religius (sisi dalam) dan juga interrelasi ilmu dengan aspek-aspek kehidupan manusia dalam
sosialitasnya (sisi luar aksiologi). Keduanya merupakan aspek dari permasalahan transfer pengetahuan.
Relevansi filosofis ini pada gilirannya mensyaratkan pula komunikasi lintas, inter dan
muiltidisipliner ilmu-ilmu terkait dalam upaya menjawab persoalan dan tantangan yang muncul dari
fenomena keolahragaan. Dengan kata lain, proses timbal balik yang sinergis antara khasanah keilmuan
dan wilayah praksis muncul, dan menjadi tanggungjawab filsafat untuk mengkritisi, memetakan dan
memadukan hal tersebut. Filsafat ilmu olahraga, dengan titik tekan utama pada tiga dimensi keilmuan ini
ontologi, epistemologi, aksiologi mengeksplorasi ilmu olahraga ini secara mendalam. Ekstensifikasi
dan intensifikasi menjadi permasalahan yang amat menentukan eksistensi dan perkembangan ilmu
keolahragaan lebih jauh dari hasil eksplorasi ini.
B. Akar Eksistensi Olahraga
Olahraga, sebagaimana yang dikatakan Richard Scaht (1998: 124), seperti

halnya sex, terlalu penting untuk dikacaukan dengan tema lain. Ini tidak hanya tentang latihan demi
kesehatan. Tidak hanya permainan untuk hiburan, atau menghabiskan waktu luang, atau untuk
kombinasi dari maksud sosial dan rekreasional. Olahraga adalah aktivitas yang memiliki akar eksistensi
ontologis sangat alami, yang dapat diamati sejak bayi dalam kandungan sampai dengan bentuk-bentuk
gerakan terlatih.
Olahraga juga adalah permainan, senada dengan eksistensi manusiawi sebagai makhluk
bermain (homo ludens-nya Huizinga). Olahraga adalah tontonan, yang memiliki akar sejarah yang
panjang, sejak jaman Yunani Kuno dengan arete, agon, pentathlon sampai dengan Olympic Games di
masa modern, di mana dalam sejarahnya, perang dan damai selalu mengawal peristiwa keolahragaan
itu. Olahraga adalah fenomena multidimensi, seperti halnya manusia itu sendiri.
Mitos dan agama Yunani awal menampilkan suatu pandangan dunia yang membantu
perkembangan kesalinghubungan intrinsik antara makna olahraga dan budaya dasar. Keduanya juga
merefleksikan kondisi terbatas dari eksistensi keduniaan, dan bukan sebagai kerajaan transenden dari
pembebasan. Nuansa keduniawian tampak pula pada ekspresi naratif tentang kehidupan, rentang luas
pengalaman manusiawi, situasionalnya dan suka dukanya. Manifestasi kesakralan terwujud dalam
prestasi dan kekuasaan duniawi, kecantikan visual dan campuran dari daya persaingan mempengaruhi
situasi kemanusiaan (Hatab, 1998: 98).
Budaya Yunani Kuno juga sepenuhnya bersifat agon, persaingan. Puisipuisi. Homer dan Hesiod
menampilkan diri sebagai konflik di antara daya-daya persaingan. Wajah realitas Yunani Kuno juga
mewujud dalam daya-daya persaingan ini: atletik, keindahan fisik, kerajinan tangan, seni-seni visual,
nyanyian, tarian, drama dan retorika (Crowell, 1998: 7). Signifikansi agon dapat lebih dipahami dari
pandangan tentang ideal kepahlawanan. Dalam Iliad-nya Homer, keberadaan manusia secara esensial
adalah mortal dan terarah pada takdir negatif melampaui kendali manusia.
Kematian dapat mencapai kompensasi istimewa: keduniawian, kejayaan dan kemasyhuran
melalui pengambilan resiko dan pengkonfrontasian kematian pada medan perang, melalui pengujian
keberanian manusia melawan satria lain dan kekuatan nasib. Hal terpenting di sini adalah bahwa makna

keutamaan terhubung dengan batas-batas dan resiko. Dapat digeneralisir dalam Iliad itu bahwa
tanpa kemungkinan untuk kalah atau gagal, kemenangan atau keberhasilan tak akan berarti apa-apa
(Hatab, 1998: 98).
Atletik (olahraga, dalam tulisan ini kadang-kadang disebut dengan atletik
untuk kepentingan penyesuaian konteks) berperan penting dalam dunia Yunani
Kuno. Kata atletik berarti konflik atau perjuangan, dan dapat secara langsung diasosiasikan dengan
persaingan, di mana kompetisi di tengah-tengah kondisi keterbatasan mambangkitkan makna dan
keutamaan. Apa yang membedakan kontes atletik dari hal-hal lain dalam budaya Yunani adalah bahwa
atletik menampilkan dan mengkonsentrasikan elemen-elemen duiniawi dalam penampilan fisik dan
keahlian, keindahan tubuh, dan hal-hal khusus dari tontonan dramatis (Hatab, 1998: 99).
Kontes atletik, seperti yang tampak dalam Iliad, menunjukkan penghargaan yang tinggi
masyarakat Yunani terhadap olahraga yang terrepresentasikan sebagai semacam ritual agama dan
terorganisir dalam mana kompetisi-kompetisi fisik ditampilkan sebagai analog mimetic (secara
menghibur) dari penjelasan agama baik tentang nasib dan kepahlawanan dan sebagai penjelmaan
rinci signifikansi kultural agon.
Sekarang, signifikansi olahraga menurun di dunia Yunani, justru dengan datangnya statemenstatemen filsafat sebagai kompetitor kultural. Nilai penting dari tubuh dan aksi secara bertahap
dikalahkan oleh tekanan pada pikiran dan refleksi intelektual. Ketertarikan terhadap transendensi
spiritual dan tertib alam menggeser pengaruh mitos-mitos dan religi seperti dijelaskan di atas. Meskipun
Plato dan Aristoteles mengusung nilai penting latihan fisik dalam pendidikan, namun mereka memulai
sebuah revolusi intelektual yang meremehkan nilai penting kultural keolahragaan remeh justru
karena keterkaitan erat olahraga dengan tubuh, aksi, perjuangan, kompetisi dan prestasi kemenangan
(Hatab, 1998: 99).
C. Ekspresi Filosofis Kultur Olahraga
Friederich Nietzsche (terkenal dengan tesisnya: Tuhan telah mati) termasuk filsuf yang
pemikiran-pemikirannya berhutang banyak pada dunia Yunani Kuno yang menghargai atletik sejajar

dengan intelek. Nietzsche adalah seorang filsuf kontroversial yang paling banyak dirujuk sebagai
penyumbang tak langsung debat akademis tentang kaitan pemikiran filsafat dan ilmu keolahragaan.
Bahkan beberapa penulis, seperti Richard Schacht, menyebut filsafat olahraga Nietzscheian sebagai
istilah penting dalam bahasan ilmiahnya, Nietzsche and Sport, meskipun istilah ini masih perlu dicurigai
sebagai terlalu maju dan ahistoris, oleh karena pemikir lain seperti Lawrence J. Hatab (1998: 78)
menyatakan bahwa Nietzsche sedikit sekali atau bahkan tak pernah bicara tentang aktivitas atletik dan
olahraga secara langsung. Hatab mengeksplorasi Nietzsche hanya dalam kaitan pemikirannya yang
dapat diasosiasikan dan mengarah pada tema keolahragaan.
Hatab mengeksplorasi beberapa pemikiran Nietzsche seperti will to power, sublimation,
embodiment, spectacle dan play yang terarah pada aktivitas atletikdan event-event olahraga (Hatab,
1998: 102). Dari sini, dapat dimaknai bahwaarah pemikiran yang berhubungan secara historis pada
dunia keolahragaantermasuk dalam ekspresi pemikiran filosofis, dan oleh karenanya, ilmukeolahragaan
memiliki akar filosofisnya.
Perspektif naturalistik Nietzsche ini menjelaskan mengapa banyak orang menyukai permainan
dan menyaksikan pertandingan olahraga, dan kenapa halhal tersebut dapat dianggap memiliki nilai dan
manfaat yang besar. Pertunjukan atletik adalah penampilan dan proses produksi makna kultural penting.
Ini dapat dilihat dari efek kesehatan dan pengembangan keahlian fisik. Selain itu, pertunjukan olahraga
juga dapat dipahami sebagai tontonan publik yang mendramatisir keterbatasan dunia yang hidup,
prestasi teatrikal dari keadaan umat manusia, pengejaran, perjuangan-perjuangan sukses dan gagal.
Dari sudut pandang pengembangan sumber daya manusia, sudah jelas bahwa olahraga dapat
menanamkan kebajikan-kebajikan tertentu dalam keikutsertaan disiplin, kerja tim, keberanian dan
intelegensi praktis (Hatab, 1998: 103).
Konsekuensi dari semua itu, permainan olahraga adalah cukup serius untuk diangkat ke
tingkat penghargaan budaya yang lebih tinggi (Hatab, 1998: 106), sehingga filsafat mau tak mau harus
berani mengkaji ulang tradisinya sendiri yang menekankan jiwa atas tubuh, harmoni atas konflik, dan
mengakui bahwa olahraga memiliki kandungan nilai-nilai fundamental bagi keberadaan manusia.

Begitulah, di dunia Yunani Kuno, lokus asal muasal pemikiran filsafat Barat, olahraga tak hanya
populer, tetapi menempati penghargaan kultural terhormat.
Namun demikian, Steven Galt Crowell (1998: 113) dengan mengeksplorasi secara mendalam
feneomena olahraga sebagai tontonan dan permainan, mengungkap sisi-sisi buramnya: brutalitas,
agresifitas, dan merusak kesehatan. Dalam hal yang terakhir, olahraga disebutnya sebagai alat
alamiah untuk war ondrugs, olahraga ditampilkan sebagai alternatif pengobatan ketika para praktisi
terkemuka menemukan obat-obatan sebagai bagian alami dari gaya hidup atlit olahraga.
Apabila di jaman Yunani Kuno atlitnya mendemonstrasikan atletik dengan keahlian yang
langsung berimplikasi pada keseharian si atlit, di mana nilai-nilai keksatriaan dimunculkan, pada atlit
sekarang keberanian sedemikian otonomnya, sehingga yang menampak adalah demonstrasi
ketiadaartian kecakapan. Tontonan menawarkan individu-individu yang mengkonsentrasikan seluruh
keberadaannya, ke dalam satu permasalahan. Individu-individu tersebut meniru apa yang oleh Nietzsche
disebut inverse cripples (ketimpangan terbalik), di mana keberadaan manusia kurang segala
sesuatunya kecuali untuk satu hal yang mereka terlalu banyak memilikinya keberadaan manusia yang
adalah tak lain daripada mata besar, mulut besar, perut besar, segalanya serba besar (Crowell, 1998:
115). Atlit sekarang bukanlah Tuan, tetapi Budak, bukan teladan dari apa artinya menjadi manusia,
tetapi sekedar fokus untuk hidup yang tak dialami sendiri dari penonton yang pujian-pujiannya menjadi
rantai yang mengikat atlit itu sendiri (teralienasi - dalam bahasa patologi sosialnya Erich Fromm). Dari
tontonan kompetitif seperti ini, tak ada artinya aturan urutan juara: kemenangan di beli dan
dibayarkan, olahraga sebagai tontonan, dan ini secara esensial berarti bicara tentang hidup yang tak
dialami sendiri.
D. Deklarasi Ilmu Olahraga
Beberapa pendapat di atas bagaimanapun mencerminkan suatu perhatian filosofis yang
diakronik terhadap olahraga sebagai fenomena yang monumental di jaman ini (setidaknya dengan
mengukur antusiasme masyarakat awam terhadap tontonan olahraga baik langsung di stadion maupun
di televisi, atau dengan larisnya majalah atau kolom keolahragaan, berikut fenomena megasponsor

dan perjudian di dalamnya). Lalu, bagaimana tuntutan perkembangan keolahragaan sebagai ilmu itu di
Indonesia khususnya dan masyarakat akademis dunia pada umumnya?
Terdorong oleh rasa ingin mencari jawaban tepat terhadap pertanyaan apakah olahraga
merupakan ilmu yang berdiri sendiri, dan sebagai tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya, maka
diselenggarakanlah pada tahun 1998 di Surabaya suatu Seminar Lokakarya Nasional Ilmu
Keolahragaan. Seminar ini mampu melahirkan kesepakatan tentang pendefinisian pengertian olahraga
yang dikenal dengan nama Deklarasi Surabaya 1998 tentang Ilmu Keolahragaan, sebagai jawaban
bahwa olahraga merupakan ilmu yang mandiri. Sebagai ilmu yang mandiri, olahraga harus dapat
memenuhi 3 kriteria: obyek, metode dan pengorganisasian yang khas, dan ini dicakup dalam paparan
tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi (Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan, 2000: 1-2, 6). Dari
sini, filsafat ilmu muncul sebagai suatu kebutuhan. Earle F. Zeigler (1977) mengaitkan pendidikan
keolahragaan dengan filsafat olahraga dengan mencoba mengurai berbagai aspek yang dianggap terkait
dengan berbagai dimensi yang muncul dari fenomena keolahragaan, terutama dalam hal dimensi
edukatifnya. Tampaknya banyak penelitian serupa yang menggagas filsafat ilmu keolahragaan dalam
tinjauan yang kurang lebih diasalkan pada pendidikan jasmani. C.A. Bucher dengan bukunya
Foundation ofPhysical Education and Sport (1995), William H. dalam buku Physical Education and
Sport a Changing Society (1987), adalah beberapa karya yang bernuansa filsafat ilmu keolahragaan,
namun pembahasan yang diambil lebih merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu terkait untuk
membangun dasardasar ilmu keolahragaan, sedangkan hakikat dimensi ontologi, epistemonogi dan
aksiologi belum sepenuhnya digarap mendalam dan mengakar.
Aspek pertama, ontologi, setidaknya dapat dirunut dari obyek studi ilmu keolahragaan yang unik
dan tidak dikaji ilmu lain. Sebagai rumusan awal, UNESCO mendefinisikan olahraga sebagai setiap
aktivitas fisik berupa permainan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain,
ataupun diri sendiri. Sedangkan Dewan Eropa merumuskan olahraga sebagai aktivitas spontan, bebas
dan dilaksanakan dalam waktu luang. Definisi terakhir ini merupakan cikal bakal panji olahraga di

dunia Sport for All dan di Indonesia tahun 1983, memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan
masyarakat (Rusli dan Sumardianto, 2000: 6).
Aktivitas, sebagai kata yang mewakili definisi olahraga, menunjukkan suatu gerak, dalam hal
ini gerak manusia, manusia yang menggerakkan dirinya secara sadar dan bertujuan. Oleh karena itu,
menurut KDI keolahragaan, obyek material ilmu keolahragaan adalah gerak insani dan obyek formalnya
adalah gerak manusia dalam rangka pembentukan dan pendidikan. Dalam hal ini, raga/tubuh adalah
sasaran yang terpenting dan paling mendasar.
Penelitian filosofis untuk itu sangat diharapkan menyentuh sisi tubuh manuisiawi sebagai kaitan
tak terpisah dengan jiwa/pikiran, apalagi dengan fenomena maraknya arah mode atau tekanan kecintaan
masyarakat luas terhadap bentuk tubuh ideal.
Seneca, seorang filsuf dan guru kaisar Nero mengatakan: oran dum es ut sit Mens Sana in
Corpore Sano yang secara bebas dapat ditafsirkan bahwamenyehatkan jasmani dengan latihan-latihan
fisik adalah salah satu jalan untukmencegah timbulnya pikiran-pikiran yang tidak sehat yang membawa
orangkepada perbuatan-perbuatan yang tidak baik (Noerbai, 2000: 35).
Ilmu keolahragaan sebagai satu konsekuensi ilmiah fenomena keolahragaan berarti
pengetahuan yang sistematik dan terorganisir tentang fenomena keolahragaan yang dibangun melalui
sistem penelitian ilmiah yang diperoleh dari medan-medan penyelidikan (KDI Keolahragaan, 2000: 8).
Aspek kedua sebagai dimensi filsafat ilmu adalah epistemologi yang mempertanyakan
bagaimana pengetahuan diperoleh dan apa isi pengetahuan itu. Ilmu keolahragaan dalam
pengembangannya didekati melalui pendekatan multidisipliner, lintasdisipliner dan interdisipliner.
Pendekatan multidisipliner ditandai oleh orientasi vertikal karena merupakan penggabungan beberapa
disiplin ilmu. Interdisipliner ditandai oleh interaksi dua atau lebih disiplin ilmu berbeda dalam bentuk
komunikasi konsep atau ide. Sedangkan pendekatan lintasdisipliner ditandai orientasi horisontal karena
melumatnya batas-batas ilmu yang sudah mapan.
Ketiga pendekatan di atas dalam khasanah ilmu keolahragaan membentuik batang tubuh ilmu sebagai
jawaban atas pertanyaan apa isi ilmu keolahragaan itu.

Inti kajian ilmu keolahragaan adalah Teori Latihan, Belajar Gerak, Ilmu Gerak, Teori Bermain
dan Teori Instruksi yang didukung oleh ilmu-ilmu Kedokteran Olahraga, Ergofisiologi, Biomekanika,
Sosiologi Olahraga, Pedagogi Olahraga, Psikologi Olahraga, Sejarah Olahraga dan Filsafat Olahraga.
Akar dari batang tubuh ilmu keolahragaan terdiri dari Humaniora terwujud dalam antropokinetika;
Ilmu Pengetahuan Alam terwujud dalam Somatokinetika; dan Ilmu Pengetahuan Sosial terwujud
dalam Sosiokinetika (KDI Keolahragaan, 2000: 33-34).
Aksiologi - aspek ketiga - berkaitan dengan nilai-nilai, untuk apa manfaat suatu kajian. Secara
aksiologi olahraga mengandung nilai-nilai ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan strategis dalam
pengikat ketahanan nasional (KDI Keolahragaan, 2000: 36). Sisi luar aksiologis ini menempati porsi
yang paling banyak, dibandingkan sisi dalamnya yang memang lebih sarat filosofinya.
Kecenderungan-kecenderungan sisi aksiologi keolahragaan ini secara akademis menempati sisi
yang tak bisa diabaikan, bahkan cenderung paling banyak diminati untuk dieksplorasi. Ini termasuk dari
sisi estetisnya, di mana Randolph Feezell mengulasnya secara fenomenologis, selain dimensi naratifnya
(Feezell, 1989: 204-220). Kemungkinan nilai etisnya, Dietmar Mieth (1989: 79- 92) membahasnya
secara ekstensif dan komprehensif. Thomas Ryan (1989: 110- 118) membahas kaitan olahraga dengan
arah spiritualitasnya. Nancy Shinabargar (1989: 44-53) secara sosiologis membahas dimensi feminis
dalam olahraga. Yang tersebut di atas adalah beberapa contoh cakupan dimensi ilmu keolahragaan
dalam filsafat ilmu, di mana ekstensifikasi dan intensifikasi masih luas menantang.
Bertaburan dan tumbuh suburnya ilmu-ilmu yang berangkat dari dimensi ontologi, epistemologi
dan aksiologi, membuktikan bahwa apa yang Paul Weiss tulis dalam bukunya Sport: A Philosophy
Inquiry (1969: 12) bahwa semakin banyak renungan filosofis yang mengarahkan keingintahuan
mendalam dan keterpesonaan terhadap olahraga, memiliki daya prediktif, persuasif dan benar adanya.
Ini perlu dimaknai secara operasional-ilmiah. Sampai dengan abad 21 ini, fenomena signifikansi dan
kejelasan transkultural dari olahraga menempati salah satu koridor akademis ilmiah yang membutuhkan
lebih banyak penggagas dan kreator ide (Hyland, 1990: 33).

Kecenderungan minat keilmuan yang makin ekstensif dan intensif ini membawa implikasi logis
bagi filsafat untuk mengasah mata pisau keibuannya, mengingat dari sejarahnya, filsafat dianggap
mater scientarum: ibunya ilmu, dalam memberi tempat bagi pertanyaan dan jawaban mendasar atau
inti isi ilmu keolahragaan sekaligus mengasuh cabang-cabang ranting ilmu keolahragaan ini.
* Olahraga dari Segi Dimensi Ilmu
A.
Olahraga secara ontologis
Ontologi (dari Yunani, genitive: "menjadi" (partisip netral dari : "menjadi")dan,-logia: ilmu, penelitian, teori) adalah studi filosofis tentang hakikat ini, eksistensi atau kenyataan
seperti itu, serta menjadi kategori dasar dan hubungan mereka.
Ikhtisar Ontologi, dalam filsafat analitik, menyangkut menentukan apakah beberapa kategori
yang sangat penting dan bertanya dalam apa arti item dalam kategori tersebut dapat dikatakan
"menjadi". Ini adalah penyelidikan berada di begitu banyak seperti sedang, atau menjadi makhluk sejauh
mereka ada-dan tidak sejauh, misalnya, fakta-fakta tertentu yang diperoleh tentang mereka atau properti
tertentu yang berhubungan dengan mereka.
Arah kajian Ilmu Keolahragaan secara khusus adalah ilmu tentang manusia berkenaan dengan
perilaku gerak insani yang diperagakan dalam adegan bermain, berolahraga dan berlatih (KDI
Keolahragaan, 2000: 7). Karena itu, esensi dari fokus studi Ilmu Keolahragaan adalah studi dan
pendidikan manusia dalam gerak. Tegasnya, arah kajian Ilmu Keolahragaan adalah gerak manusia
(human movement), sehingga objek formalnya adalah gerak manusia dalam rangka pembentukan
(forming) dan pendidikan (KDI Keolahragaan, 2000: 7).
Perilaku gerak berlangsung dalam hubungan koordinasi yang amat kompleks namun teratur, cepat,
dan halus dari fungsi-fungsi neuro-fisiologis-anatomis yang menyatu dengan fungsi psikologis, sesuai
ciri-ciri biologis manusia yang mampu memperbarui energi dan melaksanakan daur ulang, mengatur diri
sendiri, beradaptasi, serta kemampuan mempertahankan keseimbangan atau homeostatis sebagai kata
kunci untuk bertahan hidup. Ternyata gerak yang tampak dalam perilaku merupakan hasil keseluruhan
sistem yang sinkron dan menyatu antara jiwa dan badan yang membentuk satuan individu sebagai

pribadi. Unsur fisik-biologis, biokimia, impuls syaraf elektronik menyatu dengan unsur mental dan
rohaniah. Manusia menggerakkan dirinya secara sadar melalui pengalaman badaniah sebagai medium
mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks pendidikan, khususnya pendidikan jasmani, gerak manusia
inilah yang menjadi medan pergaulan yang bersifat mendidik antara peserta didik sebagai aktor, dan
pendidik sebagai auctor, pengarah sekaligus fasilitator (Rusli dan Sumardianto, 2000: 1-2).
Hal tersebut selaras dengan pengertian olahraga itu sendiri yang dipahami sebagai proses
pembinaan sekaligus pembentukan melalui perantaraan raga, aktivitas jasmani, atau pengalaman
jasmaniah (body experience) dalam rangka menumbuhkembangkan potensi manusia secara menyeluruh
menuju kesempurnaan. Jadi Ilmu Keolahragaan adalah pengetahuan yang sistematis dan terorganisir
tentang fenomena keolahragaan yang dibangun melalui sistem penelitian ilmiah yang diperoleh dari
medan-medan penyelidikan, di mana produk nyatanya tampak dalam batang tubuh pengetahuan Ilmu
Keolahragaan (KDI Keolahragaan, 2000: 8).
B.

Olahraga secara epistemilogis


Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan

linkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas


pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuasaan pengenalannya ia dapat mencapai realitas
sebagaimana adanya para filosof pra Sokrates, yaitu filosof pertama di alam tradisi Barat, tidak
memberikan perhatian pada cabang filsafat ini sebab mereka memusatkan perhatian, terutama pada
alam dan kemungkinan perubahan, sehingga mereka kerap dijuluki filosof alam.
Sport (Olahraga) berasal dari bahasa Latin disportare atau deportare dalam bahasa
Italideporte yang artinya penyenangan, pemeliharaan atau menghibur untuk bergembira. Dapatlah
dikatakan bahwa sport ialah kesibukan manusia untuk menghibur diri sambil memelihara jasmaniah.
Sedangkan antara sport dan bermain terdapat hubungan yang erat dan mempunyai sangkut paut yang
bersifat strukturil, bahwa sport adalah sebuah bentuk dari bermain yang lebih sempurna. Tetapi tidaklah

dikatakan bahwa semua bentuk bermain adalah sport. Sport adalah sesuatu yang berkembang dari
bermain, merupakan hasil perpaduan dari kebutuhan akan ketangkasan jasmani, kebutuhan akan
kesanggupan untuk mengatasi situasi, kebutuhan akan mencapai nilai-nilai keindahan, serta kebutuhan
akan kegembiraan yang menyegarkan(rekreasi).
Olahraga,(sport) merupakan gabungan dari segala latihan jasmani yang diadakan orang dengan
sukarela untuk memperkuat dan melatih tenaga tubuh, demikian juga selaras dengan itu memajukan
pemusatan perhatian, kemauan.
E. Olahraga secara aksiologis
Olahraga dan etika fair play, Kaji nilai (aksilogi) yang dipersoalkan adalah aspek penerapan
sesuatu ke dalam praktik yang berkaitan dengan masalah nilai. Nilai merupakan rujukan perilaku,
sesuatu yang dianggap luhur dan menjadi pedoman hidup manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam bidang keolahragaan, persoalan ini kian relevan untuk dibahas. Kecendrungan sikap dan
partisipasi dalam tindakan dari sekelompok warga masyarakat, termasuk organisasi induk olahraga,
yang berusaha untuk meningkatkan prestasi, membangkitkan masalah yang semakin kompleks dan
mendalam. Hal itu karena nilai-nilai ideal olahraga makin luhur, di geser oleh nilai baru sebagai
konsekuensi dari perubahan sosial. Kegiatan dalam keolahragaan merupakan cerminan adalam lingkup
mikrokosmos dari tatanan masyarakat yang lebih luas. Nilai dalam masyarakat telah berubah, dan hal
itu juga berdampak nyata ke dalam olahraga.
Di antara persoalan yang paling menonjol dewasa ini adalah penerapan fair play atau sportivitas
sebagai nilai inti dalam bidang olahraga. Tantangannya muncul dalam aneka prilaku atlet,
pelatih,ofisial, dan bahkan juga dari kalangan insane pers. Yang lebih menonjol adalah upaya
memperoleh kemenangan yang disertai dengan upaya bukan mengandalkan keunggulan teknik dan
taktik. Yang diperagakan adalah gejala kekerasan dalam olahraga dan kecendrungan untuk memaksakan
kehendak, seperti mencampuri keputusan wasit. Sebaliknya, wasit itu sendiri dalam beberapa kasus
masih belum mampu untuk berdiri sendiri dalam beberapa kasus masih belum mampu untuk berdiri di

tengah-tengah, tanpa memihak, sesuai dengan fungsinya. Kiranya tidak berlebihan bila kita mengatakan,
sudah mulai terjadi dan kian berkembang, gejala demokralisasi dan degrasi karakter dalam olahraga. Di
samping peningkatan kekerasan, seperti sering diperagakan oleh penonton, unsur ketidakjujuran juga
kian mencuat ke permukaan. Ketidaksanggupan dalam permainan, seperti sering disebut dalam istilah
main sabun merupakan pertanda dari ketidakjujuran untuk memperlakukan olahraga.
D.Struktur Ilmu Keolahragaan
Kerangka dasar ilmu keolahragaan yang disusun berdasarkan kemajuan yang dianggap cukup
mapan, seperti yang dipaparkan Prof. Haag di Jerman sejak th 1979, sangat membantu kita untuk
menelaah kedudukan sport pedagogy, sebagai salah satu diantaranya, sebagai isi dari ilmu
keolahragaan.

Ada 7 (tujuh) bidang teori yang mendukung, yakni :


(1) sport medicine
(2) sport beomechanic
(3) sport psychology
(4) sport sociology
(5) sport pedagogy
(6) sport history
(7) sport philosophy

Masing-masing bidang memiliki medan penelitian yang spesifik pula. Urutan ketujuh bidang
teori tersebut dipaparkan dalam pengelompokkan yang dianggap logis. Sport medicine dan sport
biomechanic olahraga termasuk kedalam kelompok ilmu pengetahuan alam, sementara sport psychology,
sport sosiology dan sport pedagogy tergolong kedalam rumpun ilmu pengetahuan sosial dan behavioral.
Sport history dan sport philosophy termasuk kedalam kelompok hermeneutical-normative science.
Paparan tersebut juga menunjukkan bahwa ibu ilmu pengetahuan yang menjadi landasan
pengembangan ilmu keolahragaan ialah medicine, biology/fisika, psikologi, sosiologi, sejarah dan
filsafat.
Model pengelompokkannya tergambar dalam sebuah kontinum, dari IPA ke humaniora, atau
secara metodologis, dari analitis-empiris ke hermenetik-teoretis, atau dari yang kongkret ke
abstrak.Sejak tahun 1980an sesuai dengan tuntutan yang relevan dimasyarakat, berkembang lima bidang
teori baru dalam ilmu keolahragaan. Kelima bidang teori yang menunjukkan kemajuan pesat itu meliputi
sport information, sport politics, sport law, sport engineering dan sport economy. Masing masing terkait
dan bahkan meminjam konsep ilmu yang sudah mapan yakni information science, political science, law,
engineering dan economy.
Sementara itu juga telah dikelompokkan bidang teori yang lebih spesifik yang
menjadi jati diri ilmu keolahragaan,

bertitik tolak dari wilayah spesifik yang meliputi faktor :


(1) gerak (movement)
(2) bermain ( play )
(3) pelatihan (training)
(4) pengajaran dalam
(5) olahraga (sport instruction)
Dari kelima wilayah spesifik ini lahirlah 5 (lima) dimensi dari perspektif ilmu dan teori yakni
movement science dan movement theory ; play science dan play theory ; training science dan training
theory ; dan instruction science of sport dan instruction theory of sport.Dengan demikian semakin jelas
gambaran tentang taksonomi ilmu keolahragaan yang dibangun berdasarkan sejumlah bidang teori.

Kecenderungan ini menunjukkan perkembangan ilmu keolahragaan ke arah spesialisasi dan


pragmentasi.
Landasan Filosofis Pedagogy Olahraga.Pandangan dualisme Decartes yang memahami
dikhotomi jiwa dan badan berpengaruh terhadap profesi di bidang keolahragaan, yakni raga dipandang
semata-mata sebagai sebuah objek, yang diungkapkan dalam perumpamaan yang lazim dikenal the
body instrument the body-machine atau the body-computer. Sebagai akibatnya maka sedemikian
menonjol pandangan yang mengutamakan aspek raga sehingga fisiologi dan anatomi menduduki posisi
yang amat kuat dalam penyiapan tenaga guru pendidikan jasmani, dan pendidikan jasmani dipahami
sebagai sebuah subjek yang penting bagi pembinaan fisik yang dipandang sebagai mesin.Selanjutnya,
konsep yang dikembangkan Maurice Merleau-Ponty tentang the body-subjek dapat dipandang
sebagai sebuah perubahan radikal pemikiran dualisme Cartesian. Inti dari pemikiran Ponty ialah bahwa
manusia itu sendirilah yang secara sadar menggerakkan dirinya sehingga tubuh atau raga aktif
sedemikian rupa untuk kontak dengan dunia sekitarnya. Idea tentang the body subject mengaskan
kesatuan antara jiwa dan badan.Pendidikan jasmani dan Pedagogi Olahraga.Meskipun rumusan lingkup
unsur pedagogi olahraga (sport pedagogi) beragam pada berbagai negara, karena terkait dengan
perbedaan budaya, akar sejarah, dan standar metodologi, namun pada tingkat internasional, terdapat
persamaan pemahaman yaitu pendidikan jasmani dipahami sebagai sebuah bidang studi (mata
pelajaran) di sekolah, dan pedagogi olahraga dipandag sebagai sebuah subdisiplin ilmu dalam kerangka
ilmu keolahragaan.
Diberbagai negara diseluruh dunia, perkembangan pendidikan jasmani dan pedagogi olahraga
terkait dengan sejarah, yang menceminkan perbedaan perkembangan secara nasional dan perbedaan
konsep, seperti juga perbedaan teori dan paradiqma. Meskipun perspektif sejarah tampak merupakan
bagian terpadu dari semua disiplin ilmu keolahragaan (misalnya, sport medicine, sport phychology),
namun elemen sejarah yang amat khusus yang menggaitkan kedua subdisiplin ilmu keolahragaan,
pedagogi olahraga, dan sejarah olahraga (sport history)

*Sub Disiplin Ilmu Olahraga


A. Sport medicine
Sport Medicine (kedokteran olahraga), merupakan suatu ilmu yang mencakup bidang
kesehatan,melibatkan sarjana/ahli/ ilmuwan olahraga, guru pendidikan jasmani dan olahraga, pelatih
olahraga kesehatan maupun olahraga prestasi, ahli mesase, ahli gizi, ahli ilmu faal, ahli anatomiantropologi, ahli kinesiologi, ahli orthopedi, ahli rehabilitasi medik dan para dokter pada umumnya.
Kesehatan olahraga adalah ilmu yang membahas tentang segala permasalahan tentang kesehatan yang
berkaitan dengan olahraga. Konsep dasar kesehatan olahraga adalah pembinaan mutu sumber daya
manusia menuju sehat seutuhnya sesuai rumusan sehat organisasi kesehatan dunia (WHO), melalui
pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan. Pengertian sehat Organisasi Kesehatan Dunia (World
organisation) merupakan sehat jasmani, rohani, dan sosial, bukan hanya bebas dari penyakit , cacat
ataupun kelemahan. Jadi sehat menurut WHO adalah sejahtera paripurna, yaitu sejahtera seutuhnya,
sejahtera jasmani, sejahtera rohani, dan sejahtera sosial. Kalaupun seseorang benar-baner bebas dari
penyakit, cacat ataupun kelemahan, belum tentu disebut sehat kalau tidak sejahtera paripurna.
Sejahtera jasmani aialah sejahtera lahirliah, yaitu tidak ada gangguan, keluhan ataupun
kesulitan yang bersumber dari dan kepada jasmani, tidak sakit, dan tidak saling menyakiti. Sejahtera
rohani adalah sejahtera batiniah, yaitu tidak ada gangguan , keluhan ataupun kesulitan yang besumber
dari dan kepada rohaninya, tidak benci, tidak dibenci dan tidak saling membenci.
Sejahtera sosial adalah sejahtera dalam peri kehidupannya dalam masyarakat, yaitu tidak ada
gangguan, kesulitan ataupun keluhan yang bersumber dari dan kepada kehidupan sosialnya, tidak
dimusuhi dan tidak saling bermusuhan.Sehat adalah sejahtera, makin tinggi derajat sehat kita, makin
tinggi sejahtera kita dan sejahtera adalah bahagia, sebab tidak ada bahagia tanpa sejahtera, dampak
dari sejahtera individu adalah sejahtera keluarga yang terus berkesinambungan dengan sejahtera
masyarakat. Ruang lingkup olahraga kesehatan dibagi menjadi tiga, yaitu aspek jasmaniah dan
rohaniah, dan aspek lingkungan.

B.

Sport Biomechanic
Sport biomechanic, merupakan bidang teori yang mengkaji tentang gerak tubuh saat melakukan

olahraga menggunakan hukum mekanika dan fisika, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih besar
tentang pelaksanaan gerak pada olahraga, sehingga dapat memperagakan, menggambarkan, dan
mengukur gerakan yang lebih baik. Bidang teori sport biomechanic, juga memberikan pemahaman
tentang aplikasi prinsip-prinsip fisika dalam olahraga, seperti gerakan, perlawanan, momentum, dan
pergesekan.
C.

Sport Psychology
Psikologi olahraga adalah ilmu psikologi yang diterapkan dalam bidang olahraga, meliputi

faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap atlet dan faktor-faktor di luar atlet yang dapat
mempengaruhi penampilan atlet. Menurut divisi 47 American Psychological Association, sports
psychology meliputi barisan topik mencangkup motivasi untuk tetap berusaha dan mencapai sukses,
psikologis pertimbangan atau perhatian dalam cedera olahraga dan rehabilitasi, menasehati teknik atlet,
menafsirkan bakat, latihan ketaatan and menjadi baik, memahami diri berhubungan dalam menuju
keberhasilan, latihan olahraga, pemula dan peningkatan prestasi serta teknik pengaturan diri (Kendra
Cherry, About.com Guide).

F. Sport Sociology
Sosiologi olahraga, (sport sociology) mengkaji tentang sosiologi dalam olahraga yang
mencangkup kelakuan atau kebiasaan manusia, interaksi sosial yang tibul dalam aktifitas fisik,
keterlibatan media dalam perkembangan olahraga. Biasanya tiap jenis olahraga dan juga even olahraga

yang diadakan akan memberikan pengaruh sosial yang berbeda-beda pada masyarakat dan juga
pelakuolahraga itu sendiri. Sosiologi olahraga merupakan sebuah sub disiplin ilmu keolahragaan yang
masih muda usianya, mulai tumbuh sekitar tahun 1950-an, dan mulai berkembang pada tahun 1960-an
sebagai displin ilmu yang makin popular.
Kebanyakan studi pada permulaannya baru sampai taraf deksripsi atau mencapai taraf proteori. Di Indonesia, subdisiplin ilmu keolahragaan ini baru mulai menjai perhatian, dalam lingkungan
terbatas, ke dalam kurikulum lembag pendidikan tinggi di bidang keolahragaan pada awal dalam
kurikulum lembaga penddikan tinggi di bidang keolahragaan pada awal 1980-an. Tidak banyak
pemerintahan olahraga dari persepektif sosiologi.

G. Sport Pedagogy
Pedagogi Olahraga (sport pedagogy) adalah sebuah disiplin ilmu keolahragaan yang berpotensi
untuk mengintegrasikan subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya untuk melandasi semua praktik dalam
bidang keolahragaan yang mengandun maksud dan tujuan untuk mendidik. Pedagogi Olahraga (sport
pedagogy) adalah sebuah disiplin ilmu keolahragaan yang berpotensi untuk mengintegrasikan
subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya untuk melandasi semua praktik dalam bidang keolahragaan yang
mengandun maksud dan tujuan untuk mendidik.

H. Sport History
Sport history, bidang ini mengkaji tentang sejarah perkembangan olahrag, sejarah terbentuknya
cabang- cabang olahraga yang ada saat ini, dan sejarah permulaan adanya even pertandingan dan
perlombaan di seluruh dunia.

I. Sport Philosophy
Sport philosophy, bidang yang ketujuh ini merupakan salah satu bidang yang mempelajari
tentang filsafat olahraga. Memberikan pemahaman terhadap hakekat dan kebenaran dalam olahraga,

sehingga para pelaku olahraga dapat memanfaatkan, mempelajari, mengajarkan dan mengembangkan
olahraga dengan baik dan benar.

Anda mungkin juga menyukai