Anda di halaman 1dari 33

SMF/Lab Ilmu Kesehatan Anak

Tutorial Kasus Divisi Neurologi

Fakultas Kedokteran Umum


Universitas Mulawarman

Status Epileptikus

Disusun Oleh:
Andreas Tedi S. Karo-Karo (0910015001)

Pembimbing:
dr. William S. Tjeng, Sp.A

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


SMF/Lab Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Umum
Universitas Mulawarman
2014

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Status Epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui

meningkat akhir-akhir ini terutama di Negara Amerika Serikat. Ini berhubungan


dengan mortalitas yang tinggi pada 152.000 kasus di USA yang terjadi tiap
tahunnya menghasilkan kematian.1 Begitu pula dalam praktek sehari-hari, Status
Epileptikus merupakan masalah yang tidak dapat secara cepat dan tepat tertangani
untuk mencegah kematian ataupun akibat yang terjadi kemudian.
Status Epileptikus secara fisiologis didefenisikan sebagai aktivitas epilepsi
tanpa adanya normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis fisiologis dan
memiliki spektrum luas dari gejala klinis dengan berbagai patofisiologi, anatomi
dan dasar etiologi.2 Berdasarkan observasi pada pasien yang menjalani monitoring
video-electroencephalography (EEG) selama episode kejang, komponen tonikklonik terakhir satu sampai dua menit dan jarang berlangsung lebih dari lima
menit.2 Batas ambang untuk membuat diagnosis ini oleh karenanya harus turun
dari lima sampai sepuluh menit.
Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi:
status petitmal, status psikomotor, dan lain-lain. Biasanya bila status epileptikus
tidak bisa diatasi dalam satu jam, sudah akan terjadi kerusakan jaringan otak yang
permanen. Oleh karena itu, gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi
secepat mungkin. Rata-rata 15 % penderita meninggal, walaupun pengobatan
dilakukan secara tepat. Lebih kurang 60-80% penderita yang bebas dari kejang
setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat neurologis atau berlanjut menjadi
penderita epilepsi
Berdasarkan kompleksitas dari penyakit ini, Status Epileptikus tidak hanya
penting untuk menghentikan kejang tetapi identifikasi pengobatan penyakit dasar
merupakan bagian utama pada penatalaksanaan Status Epileptikus

1.2

Tujuan
2

Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah :


1. Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan.
2. Membandingkan informasi yang terdapat pada literatur dengan kenyataan yang
terdapat pada kasus.
3. Melatih mahasiswa dalam melaporkan dengan baik suatu kasus yang didapat.

BAB 2
LAPORAN KASUS

Identitas pasien
-

Nama

: An. YS

Jenis kelamin

: Perempuan

Umur

: 10 tahun

Alamat

: Batu Besaung RT 26. Sempaja

Anak ke

: I dari I bersaudara

MRS

: 17 OKtober 2014

Identitas Orang Tua/Wali


-

Nama Ayah

: Tn. AS

Umur

: 55 tahun

Alamat

: Batu Besaung RT 26. Sempaja

Pekerjaan

: Petani

Pendidikan Terakhir : SD

Ayah perkawinan ke : I

Riwayat kesehatan ayah : baik

Nama Ibu

: Ny. L

Umur

: 42 tahun

Alamat

: Batu Besaung RT 26. Sempaja

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan Terakhir : SD

Ibu perkawinan ke

Riwayat kesehatan ibu: Baik

:I

Anamnesa
Anamnesa dilakukan pada tanggal 22 OKtober 2014 pukul 12.00 WITA, di
ruang Melati RSUD AW. Sjahranie Samarinda. Anaamnesa dilakukan secara
Autoanamnesa dan Alloanamnesa oleh orangtua pasien.

Keluhan Utama
Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan kejang. Keluhan ini dialami Sekitar
4 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengalami kejang sebanyak 2x, dengan
sela waktu antara kejang pertama dengan kejang ke dua sekitar 2 jam. Setelah
kejang yang pertama pasien terlihat lemas dan kemudian tertidur namun saat
kejang kedua berakhir, pasien tidak sadarkan diri. Kejang yang dialami pasien
berlangsung sekitar 30 menit, kejang bersifat seluruh tubuh, tangan pasien
mencengkeram, mata menghadap ke atas, pandangan lurus, demam (-), berbuih,
keluar air liur dari pinggir mulut, setelah kejang pasien kemudian tidak sadarkan
diri dan dilarikan kerumah sakit oleh keluarga pasien. Setelah tiba di rumah sakit
kemudian pasien dipindahkan ke ruang PICU untuk mendapatkan perawatan
secara intensif. Setelah 5 hari dirawat di PICU dan kondisi pasien sudah membaik,
kemudian pasien dipindahkan ke ruangan melati untuk mendapat perawatan
lanjutan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami kejang sekitar 2 tahun yang lalu namun setelah
kejang tersebut pasien langsung sadar kembali. Ibu pasien mengaku telah
membawa pasien untuk diperiksa EEG dan hasil EEG pasien saat diperiksakan ke
dokter spesialis syaraf ditemukan adanya gelomang epileptogenik. Pasien sedang
dalam pengobatan epilepsy sejak hampir 2 tahun..
Riwayat Penyakit Keluarga
Paman pasien punya riwayat step.

Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir

: 2.900gr

Panjang badan lahir

: 47cm

Berat badan sekarang

: 41 kg

Tinggi badan sekarang

: 123cm

Gigi keluar

: ibu lupa

Tersenyum

: 4 bulan

Miring

: ibu lupa

Tengkurap

: 6 ulan

Duduk

: ibu lupa

Merangkak

: ibu lupa

Berdiri

: 12 bulan

Berjalan

: ibu lupa

Berbicara 2 kata

: ibu lupa

Masuk TK

: 4 tahun

Masuk SD

: 6 Tahun

Sekarang kelas

: 4 SD

Makan dan Minum Anak


ASI

: mendapatkan ASI sejak lahir dan dihentikan saat


pasien berusia 3 tahun.

Susu formula/sapi

: mendapatkan susu formula saat pasien berusia 3


tahun hingga 5 tahun.

Buah

:-

Bubur sayur

:-

Makanan padat+lauk

: dimulai saat pasien berusia sekitar 1 tahun.

Pemeriksaan Prenatal
Periksa di

: Bidan

Penyakit kehamilan

:-

Obat-obat yang sering diminum

: Vitamin

Riwayat Kelahiran
Lahir di

: Klinik

Ditolong oleh

: Bidan

Usia dalam kandungan

: 9 bulan 2 minggu

Jenis partus

: Spontan

Pemeliharaan Postnatal
6

Periksa di

: Puskesmas

Keadaan anak

: Sehat

Keluarga Berencana
Keluarga Berencana

: Menggunakan KB pil.

Riwayat Imunisasi
Imunisasi lengkap.
Imunisasi
BCG
Polio
Campak
DPT
Hepatitis B

Usia saat imunisasi


I
II
+
////////
+
+
+
+
+
+
+

III
/////////
+
////////////
+
+

IV
//////////
+
//////////
//////////
//////////

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2014
Kesan umum

: tampak sakit ringan

Kesadaran

: Composmentis

Tanda Vital
-

Frekuensi nadi

: 96 x/menit, reguler, kuat angkat

Frekuensi napas

: 28 x/menit

Temperatur

: 36,7o C

Antropometri
Berat badan

: 41 kg

Panjang Badan

: 123 cm

Status Gizi

: Gizi lebih

Kepala
Rambut

: Warna hitam, tidak mudah dicabut

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor


diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+)

Hidung

: Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-)

Mulut

: Mukosa bibir tampak basah, sianosis (-), lidah bersih,


faring hiperemis (-), pembesaran tonsil (-)

Leher

: Kaku kuduk (-), pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks
Pulmo
Inspeksi

: Bentuk dan pergerakan simetris, retraksi subcostal (-) dan


suprasternal (-)

Palpasi

: Fremitus suara teraba simetri diseluruh lapang paru

Perkusi

: Sonor di semua lapangan paru

Auskultasi

: Stridor (-/-), Rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis teraba di ICS V left midclavicular line

Perkusi

: Batas jantung

Cor:

Kanan : ICS III right parasternal line


Kiri
Auskultasi

: ICS V left midclavicular line

: S1,S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen
Inspeksi

: cembung

Palpasi

: Soefl, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-),


turgor kulit baik.

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+) kesan normal

Ekstremitas

: Akral hangat (+), oedem (-)

Status Neurologicus
-

Kesadaran
Compos mentis.

Kepala
Bentuk normal, simetris, nyeri tekan (-)
Meningeal Sign
8

Kaku kuduk (-)


Kernig sign (-)
Laseque (-)
Brudinzky I (-)
Brudzinsky II (-)

Pemeriksaan Saraf Kranialis


Pemeriksaan Saraf Kranialis
Okulomotorius (III)

Nilai

Sela mata

(+/+)

Pergerakan

mata

kearah

superior,

medial, inferior
-

Strabismus

Refleks pupil terhadap sinar

(+/+)
(-)
(+/+)

Troklearis (IV)
Pergerakan mata torsi superior
Trigeminus (V)

(+/+)

Membuka mulut

(+)

Mengunyah

Menggigit

(+)
(+)

Abdusens (VI)
-

Pergerakan mata ke lateral

Fasialis (VII)
-

Menutup mata

Memperlihatkan gigi

Sudut bibir

(+)
(+)
(+)
Simetris

Vestibulokoklearis (VIII)
-

Fungsi pendengaran (Subjektif)

SDE

Vagus (X)
-

Bicara

Menelan
SDE

Assesorius (XI)
Memalingkan kepala
Hipoglossus (XII)

SDE

(+)

Pergerakan lidah

Anggota Gerak Atas


1. Anggota Gerak Atas
Motorik

Kanan

Kiri

- Tromner

(-)

(-)

- Hoffman

(-)

(-)

2. Pergerakan
3. Kekuatan
Refleks fisiologis
- Biseps
- Triceps
Refleks patologis

Anggota Gerak Bawah


1. Anggota Gerak Bawah
Motorik
2. Pergerakan

Kanan

Kiri

(+)

(+)

(-)

(-)

(-)

(-)

3. Kekuatan
Refleks fisiologis
- Patella
- Achilles

10

Refleks patologis
- Babinski

(+)

(+)

(-)

(-)

- Chaddock

11

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal

17/10/14

17/10/14

19/10/14

(PICU)
Darah Lengkap
Leukosit
15.200
11.360
Hb
12,2
12,5
Hct
38,5%
36,1%
Plt
121.000
92.000
Kimia Darah Lengkap
GDS
153
74
SGOT
18
SGPT
41
Bilirubin total
1,4
Bilirubin Direck
0,8
Bilirubin Indireck
0,6
Protein total
1,2
Albumin
4,1
Globulin
2,1
Cholesterol
76
Asam urat
9,2
Ureum
20,6
28,0
Creatinin
0,7
0,8
Elektrolit
Na
131
123
K
3,8
3,7
Cl
95
Serologis
CRP
+ 12
Dengue IgG
Negatif
Dengue IgM
Negatif

144
4,5
113
-

12

DIAGNOSIS
DIAGNOSIS IGD
Status Epileptikus
DIAGNOSIS RUANGAN
Diagnosis Utama

: Status Epileptikus

Diagnosis Lain

:-

Diagnosis Komplikasi

:-

PENATALAKSANAAN IGD :
Co. Sp. A, advis :
-

IVFD D5 1/2 NS 20 tpm

Inj. Cefotaxime 3 x 1gr i.v.

Inj. Cortidex 3 x 31 i.v.

Inj. Dilantin 2 x 1 iv

PCT 500mg 3 x1

13

Follow Up Ruangan
Tanggal
22/10/14

S
Demam (-),

O
Kesadaran : Komposmentis

A
Status

H-VI

kejang (-),

Tanda vital :

Epileptikus

BB=41 kg

nyeri perut

Nadi : 100x/i, reguler, kuat

P
-

NS 200cc/ 24
-

(+),mual(-),

angkat

muntah (-),

napas : 28x/i

mimisan 1x

Suhu : 36,60C per aksila

jam
Inj.
Cefotaxime 3

x 1gr i.v.
Depaken 2 x

cth I
Sukralfat 3 x

tadi malam,
batuk (+), pilek Anemis (-/-), ikt (-/-)
(-), BAK

ronki (-/-), wheezing (-/-)

normal

S1

S2

IVFD D5 1/2

tunggal

cth I

reguler,

murmur (-), gallop (-)


Bising

usus

(+)

kesan

normal, soefl, nyeri tekan


epigastrium (+), timpani (+)
akral hangat, edema (-)
23/10/14

Demam (-),

Kesadaran : Komposmentis

Status

H-VII

kejang (-),

Tanda vital :

Epileptikus

nyeri

Nadi : 96x/i, reguler, kuat

perut(+)

angkat

,mual(-),

napas : 28x/i

muntah (-),

Suhu : 36,50C per aksila

NS 200cc/ 24
-

(-), BAB(-) 3

Anemis (-/-), ikt (-/-)

hari, BAK

ronki (-/-), wheezing (-/-)

normal

S1

tunggal

reguler,

murmur (-), gallop (-)


Bising

usus

jam
Inj.
Cefotaxime 3

x 1gr i.v.
Depaken 2 x

cth I
Sukralfat 3 x

cth I
Aff cateter
Rencana

batuk (+), pilek

S2

IVFD D5 1/2

(+)

pulang besok
kesan

normal, soefl, nyeri tekan


epigastrium (+), timpani (+)

14

24/10/14

Demam (-),

akral hangat, edema (-)


Kesadaran : Komposmentis

Status

H-VIII

kejang (-),

Tanda vital :

epileptikus

nyeri

Nadi : 92x/i, reguler, kuat

perut(-)

angkat

,mual(-),

napas : 24x/i

muntah (-),

Suhu : 36,50C per aksila

Pasien pulang

batuk (-), pilek


(-), BAB dan

Anemis (-/-), ikt (-/-)

BAK normal

ronki (-/-), wheezing (-/-)


S1

S2

tunggal

reguler,

murmur (-), gallop (-)


Bising

usus

(+)

kesan

normal, soefl, nyeri tekan


epigastrium (+), timpani (+)
akral hangat, edema (-)

15

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Status Epileptikus


3.1.1

Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status

epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung
lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang
persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus
dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
3.1.2

Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian

kira-kira 60.000 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di
Amerika Serikat setiap tahunnya. 3 Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala
yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada
pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat
antikonvulsan. Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi
mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira
10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada
neonatus, anak-anak dan usia tua.
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat
dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan
sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada Negara
miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang
paling tinggi.

3.1.3

Etiologi
16

Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal (tabel 1). Secara klinis dan
berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme
kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase
jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa
serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada
tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi
berkurang dimana tekanan darah, pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf
irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada
terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan
syaraf yang irreversibel.
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika
peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti
oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan
syaraf dan kehilangan otak berlanjut.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal
pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,
hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat
efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer.
Komplikasi terjadinya status epileptikus dapat dilihat dari tabel 2
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan
melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan
pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan
Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.

Tabel 1. Etiologi status epileptikus

Alkohol
17

Anoksia

Antikonvulsan-withdrawal

Penyakit cerebrovaskular

Epilepsi kronik

Infeksi SSP

Toksisitas obat-obatan

Metabolik

Trauma

tumor
Tabel 2. Komplikasi status epileptikus

Otak

Peningkatan Tekanan Intra Kranial

Oedema serebri

Trombosis arteri dan vena otak

Disfungsi kognitif

Gagal Ginjal

Myoglobinuria, rhabdomiolisis

Gagal Nafas

Apnoe

Pneumonia

Hipoksia, hiperkapni

Gagal nafas

Pelepasan Katekolamin

Hipertensi

Oedema paru

Aritmia

Glikosuria, dilatasi pupil

Hipersekresi, hiperpireksia

Jantung

Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme


18

Metabolik dan Sistemik

Dehidrasi

Asidosis

Hiper/hipoglikemia

Hiperkalemia, hiponatremia

Kegagalan multiorgan

Idiopatik

3.1.4

Fraktur, tromboplebitis, DIC

Gambaran klinik
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah

keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan


bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44
sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.

Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)


Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik
umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status
tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa
pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.

19

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien
menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi
dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia
dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan
asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam
pertama pada kasus yang tidak tertangani.

Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)


Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.

Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)


Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan
merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.

Status Epileptikus Mioklonik.


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus
adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat
kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat
20

dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik,
infeksi atau kondisi degeneratif.

Status Epileptikus Absens


Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas
atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai
suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai
slow motion movie dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin
ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG
terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat.
Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.

Status Epileptikus Non Konvulsif


Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus nonkonvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional,
cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi
psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan
generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status
absens.

Status Epileptikus Parsial Sederhana


a. Status Somatomotorik

21

Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jarijari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang
mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG
sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges

pada hemisfer

yang

berlawanan (PLED), dimana

sering

berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari
status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.

Status Epileptikus Parsial Kompleks


Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang
cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme,
gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG
terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan
epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan
EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status
epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.

3.1.5

Diagnosis dan pemeriksaan penunjang


Diagnosa dilakukan dengan cepat dalam waktu 5 10 menit. Hal yang pertama kita

lakukan adalah:

anamnesis
riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat, alkohol, penyakit
serebrovaskular lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan lama kejang, sifat kejang
(fokal, umum, tonik/klonik), tingkat kesadaran diantara kejang, riwayat kejang

22

sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga, demam, riwayat persalinan, tumbuh

kembang, dan penyakit yang sedang diderita.


Pemeriksaan fisik
pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran penglihatan dan
pendengaran refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema akibat
peningkatan intrakranial akibat tumor, perdarahan, dll. Sistem motorik yaitu parestesia,

hipestesia, anestesia.
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal dengan
urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka dilakukan kultur darah
b. imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural di otak
c. EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat mungkin
jika pasien mengalami gangguan mental
d. Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau perdarahan
subarachnoid.

3.1.6

Diagnosis banding

1. Reaksi konversi
2. syncope
3.1.7

penatalaksanaan
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan

anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera.
Mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status
epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America
(EFA). Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin.
Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan),
dan Midazolam (Versed).
Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA)
oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat. Berdasarkan
penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami status
epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah), dimana
Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang
sebanyak 65 persen.
23

Nama obat

Dosis (mg/kg)

Persentase

1. Lorazepam
2. Phenobarbitone
3. Diazepam + Fenitoin
4. Fenitoin

0,1
15
0.15 + 18
18

65 %
59 %
56 %
44 %

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam


dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan
akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi
Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan
depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan
Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih
dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek
samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi
Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum
suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan
purple glove syndrome. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin,
karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.
Status Epileptikus Refrakter
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit.
Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang
cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau
hipokalsemia persisten.
Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat
meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi
dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama. Dalam mengatasi status
epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat atau Phenobarbitone
secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan kandungan anestetik
seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika

24

tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan
dosis awal.

Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus, (EFA, 1993)


Pada : awal menit
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubuh
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,
hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa
AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg
IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernickes encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena
dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika
kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan
kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika
kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg
per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat
menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung
1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100
mg per menit
25

Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung


Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena
hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam;
kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti.
Pertahankan tekanan darah stabil.
-atauBerikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg
per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atauBerikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG.

26

3.1.8

Prognosis
Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang mendasari status

epileptikus. Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan antikonvulsan atau akibat
alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan dengan cepat dan
dilakukan pencegahan terjadi komplikasi. Pasien dengan meningitis sebagai etiologi maka
prognosis tergantung dari meningitis tersebut

27

BAB 4
PEMBAHASAN
4.1. Epilepsi
Teori
Anamnesis

Fakta

- Riwayat epilepsi

- Pasien kejang 2 kali dengan lama

- Kejang yang berlangsung lebih dari 30


menit.

kejang lebih dari 30 menit.


- Pasien kehilangan kesadaran setelah

- Kehilangan kesadaran setelah kejang


- Faktor resikonya antara lain:

Herediter

Kejang Demam

Trauma Kepala

kejang
- Pasien dalam masa pengobatan epilepsi
- Paman pasien punya riwayat step

- Ibu pasien mengaku hasil EEG pasien

Pemeriksaan Penunjang

saat diperiksakan ke dokter spesialis

- Didapatkan kelainan EEG

syaraf ditemukan adanya gelomang


epileptogenik.

Untuk pengendalian kejang pada pasien

Penatalaksanaan
- Tindakan

resusitasi

segera

airway,

breathing,circulation
- Pengendalian kejang
Fase Pramonitor - diazepam
Status awal-benzodiazepine
Status menetap-fenobarbital, fenintoin
Status refrakter tiopenton infus

selama di rumah sakit sudah diberikan:


Fenitoin
Asam valproat

Dubia

Prognosis
Dubia
Pasien ini didiagnosis sebagai status epileptikus karena dari anamnesa didapatkan
keluhan kejang berulang tanpa disertai demam dan terjadi lebih dari 30menit dengan
adanya penurunan kesadaran setelah kejang. Menurut pengakuan ibu pasien hasil EEG
28

yang diperiksakan ke dokter spesialis syaraf menunjukkan adanya kelainan atau adanya
gelombang epileptogenik dan pasien sudah didiagnosa epilepsi dan telah menjalani
pengobatan epilepsi, sehingga dari anamnesa tersebut cukup mendukung diagnosis dari
status epileptikus.
Penatalaksanaan pengendalian kejang pada pasien ini diberikan Dilantin (fenitoin)
selama di PICU dan depakene (asam valproat) selama di ruangan. Penatalaksanaan ini
sudah sesuai dengan pedoman yang ada.

29

BAB 5
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Status Epileptikus secara fisiologis didefenisikan sebagai aktivitas epilepsi tanpa adanya
normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis fisiologis dan memiliki spektrum luas
dari gejala klinis dengan berbagai patofisiologi, anatomi dan dasar etiologi.
Status Epileptikus merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang harus ditangani segera
dan secepat mungkin, karena melibatkan proses fisiologis pada sistem homeostasis tubuh,
kerusakan syaraf dan otak yang dapat mengakibatkan kematian. Penanganannya tidak hanya
menghentikan kejang yang sedang berlangsung, tetapi juga harus mengidentifikasi penyakit
dasar dari status tersebut. Umur, jenis kejang, etiologi, jenis kelamin perempuan, durasi dari
status epileptikus, dan lamanya dari onset sampai penanganan merupakan faktor prognostik
penting.
Dengan ditetapkannya atau lebih dipahaminya dasar dari patofisologi penyakit ini dan
adanya konsensus mengenai penatalaksanaan Status Epileptikus, maka diharapkan prognosa
pasien yang mengalami kasus ini dapat menjadi lebih baik.

30

DAFTAR PUSTAKA
1. Soetomenggolo TS, lsmael S. Buku Ajar Neurologi Anak Ed. Pertama. Jakarta, BP IDAI.
1999
2. World Health Organization. Epidemiology, Prevalence, Incidence, Mortality of Epilepsy.
2001. Fact Sheet. URL http : // www. who.in/ inf-fs/ en/ fact 165. html.
3. Lamsudin R. Prognosis Epilepsi. Dalam : Lamsudin, dkk. Simposium Penatalaksanaan
Mutakhir Epilepsi.Yogyakarta. FK UGM.1999
4. Harsono. Epilepsi. Edisi pertama. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 2001
5. Damudoro N. Epilepsi Anak dan Kejang Demam. Simposium Penatalaksanaan Mutakhir
Epilepsi. Yogyakarta. FK UGM. 1992
6. Lumbantobing. Epilepsi pada Anak. Naskah Lengkap Kedokteran Berkelanjutan. Jakarta
.FK UI .1992
7. Budiarto.I. Beberapa Karateristik Kejang Demam Sebagai Faktor Risiko Terjadinya
Epilepsi. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf. FK
UNDIP, Semarang. 1999
8.Widiastuti. Simple Clinical symtoms and sign for Diagnosing spasmofilia. ToGraduate
program Gajah Mada University. Yogyakarta. 1995
9. Nelson. Texbook of Pediatric. Behrman Kliegman Arvin. 15th ed.1.1996
10. Harsono. Buku Ajar Neurologis Klinis . Edisi pertama. Yogyakarta. GadjahMada
University Press. 1996
11. Wiknjosastro. Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga, Cetakan keempat. Yayasan BinaPustaka
Jakarta. 1997
12. Mardjono. M. Diagnosis Epilepsi dalam Seminar. Epilepsi dan UpayaPenanganannya.
Diselenggararakan oleh PERPERI, pp 1-9 , Yogyakarta. 1991.
13. Meliala L. Epilepsi pada Pendeita Stroke. Berita Kedokteran Masyarakat, FKUGM,
Yogyakarta.1999
14. Chandra B. Patofisiologi Epilepsi dalam Epilepsi. Semarang. BP UNDIP. 1993
15. Joesoef AA. Neurotransmmiter Kaitannya Dengan Patogenesa Epilepsi. Epilepsi,Edisi
Apr 1997: 23-35.
16. Asharto E, Hariadi. Aspek Perinatalogi dan Kehamilan Risiko Tinggi. KursusPenyegaran
Penyuluh Medis Kehamilan. Malang. FK. Unbraw. 1998
17. William. Obstetirc. Gunningham, Mac. Donald, Gant: WB Saunders Co. 1981
31

18. Suwitra IN. Kejang Demam Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Epilepsi PadaAnak.
Neurona, Mei 1992: 30-4.
19. Arthur C Guyton M D. BukuAjarFisiologiKedokteran. Sistem Saraf. Jakarta: ECG : 2004

32

DAFTAR PUSTAKA

1.

33

Anda mungkin juga menyukai