Anda di halaman 1dari 63

PENGARUH SALINITAS BERBEDA TERHADAP

PELEPASAN DAN PERKEMBANGAN SPORA


PADA Kappaphycus alvarezii VARIETAS COKELAT

Oleh:
JAMALUDDIN

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Pada
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi

: Pengaruh Salinitas Berbeda Terhadap Pelepasan dan


Perkembangan Spora Pada Kappaphycus alvarezii
Varietas Cokelat

Nama Mahasiswa

: Jamaluddin

Nomor Pokok

: L 221 09 251

Program Studi

: Budidaya Perairan

Skripsi telah diperiksa


dan disetujui oleh:
Pembimbing Utama

Pembimbing Anggota

Prof. Dr. Ir. Rajuddin Syam, M.Sc


NIP. 195312091981031003

Dr. rer. nat. Elmi N. Zainuddin, DES


NIP. 196106181988032001

Mengetahui,
.
Dekan
Ketua Program Studi
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Budidaya Perairan

Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc


NIP. 196703081990031001

Tanggal Pengesahan :

Maret 2014

Dr. Ir. Siti Aslamyah, M.Si


NIP. 196909011993032003

ABSTRAK
JAMALUDDIN / L221 09 251 : Pengaruh Salinitas Berbeda Terhadap Pelepasan
dan Perkembangan Spora Pada Kappaphycus alvarezii Varietas Cokelat.
Di bawah bimbingan Rajuddin Syamsuddin sebagai pembimbing utama dan Elmi
N. Zainuddin sebagai pembimbing anggota.
Rumput laut merupakan salah satu makroalga yang banyak dibudidayakan di
Indonesia khususnya Sulawesi Selatan baik secara skala rumah tangga maupun
skala besar. Tetapi hingga saat ini hasil produksi yang diperoleh belum maksimal
karena kualitas yang rendah dan secara kuantitas belum tersedia setiap saat.
Sampai saat ini, pembudidaya rumput laut masih menggunakan teknik vegetatif
untuk memperoleh bibit (tallus sebagai bibit). Untuk mengatasi masalah ini, salah
satu teknik yang bisa digunakan yaitu secara generatif dengan memanfaatkan
siklus hidup rumput laut untuk menghasilkan spora. Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan September sampai bulan November 2013, di Hatchery Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.
Penelitian ini dilaksanakan dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan pada salinitas
yang berbeda 20 ppt, 25 ppt, 30 ppt, 35 ppt dan 40 ppt. Biota uji yang digunakan
dalam penelitian ini adalah jenis rumput laut K. alvarezii yang diperoleh dari
perairan laut Kabupaten Takalar. Biota uji yang memiliki kistokarp dipotong
sepanjang 5 cm dengan jumlah kistokarp sebanyak 3 buah, lalu dibudidayakan
secara indoor selama 45 hari. Pengamatan parameter kualitas air pada
penelitian ini meliputi suhu, pH, intensitas cahaya, amonium, amoniak, nitrat,
fosfat, magnesium dan karbondioksida. Data yang diperoleh dianalisis secara
deskriptif berdasarkan gambar yang diperoleh. Hasil penelitian diperoleh bahwa
salinitas berpengaruh langsung terhadap pelepasan dan pertumbuhan spora K.
alvarezii. Semakin tinggi atau semakin rendahnya salinitas mempengaruhi
lambatnya pelepasan dan pertumbuhan spora. Salinitas 30 ppt adalah kondisi
optimal bagi spora rumput laut untuk menjadi planlet dan mampu berkembang
menjadi tallus muda dengan percabangan yang lebih lengkap.
Kata kunci : K. alvarezii, Pelepasan dan pertumbuhan, Salinitas, Spora.

ABSTRACT

JAMALUDDIN/L221 09 251: Effect of Different Salinity on the Release and


Development of Kappaphycus alvarezii Brown Varieties Spores. Under the
guidance of Rajuddin Syamsuddin as the main guiding and Elmi N. Zainuddin as
a guide member.
Seaweed is one of macroalgae are widely cultivated in Indonesia especially in
South Sulawesi both domestic scale or large scale. But so far the results have
not been obtained maximum production because of the low quality and quantity
of the seed. Until now, seaweed farmers still use vegetative thallus as seeds.
Therefore, the technique to obtain good quality in sufficient in quanity of seeds
must be available. One of techniques which can be applied is application of
generative using spores. This research was conducted during September to
November 2013, at Hatchery of Faculty of Marine Science and Fisheries,
Hasanuddin University, Makassar, South Sulawesi. This research was conducted
with 5 level of salinities with 3 replicates each. Those salinity levels are 20 ppt,
25 ppt, 30 ppt, 35 ppt and 40 ppt. K. alvarezii which has cystocarp taken from
costal waters of Takalar Regency was the biota used. The biota then cultured for
45 days with indoor system. Water quality parameters as supporting data
consisted of temperature, pH, light intensity, concentrations of ammonium,
ammonia, nitrate, phosphate, magnesium and carbon dioxide were recorded.
Data were analyzed descriptively based on the images obtained. The result
showed that the salinity directly influence the spore release and development.
Salinity of 30 ppt are optimal for spore release of the seaweed to be able to
develop into plantlets and young thallus with a more complete branching.
Keywords: K. alvarezii, spore release, spore development, saliinity, plantlet.

RIWAYAT HIDUP
Jamaluddin. Anak kedua dari tiga bersaudara, putra dari
pasangan H. Muhtar dan Hj. Saerah. Penulis lahir di Birea
Kab. Bantaeng pada tanggal 17 Juni 1989. Penulis
mengawali pendidikan formal di SD Inpres Pajukukang
pada tahun 1996, SLTPN 3 Tompobulu pada tahun 2002
dan

SMKN 2 Bantaeng pada tahun 2005. Pada tahun 2009, Penulis diterima di

Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, jurusan


Perikanan, Program Studi Budidaya Perairan melalui jalur SNMPTN.
Pada saat kuliah, Penulis aktif dalam berbagai organisasi, tahun 2010
2011 sebagai Sekretaris Umum FDC UNHAS, 2010 - 2011 sebagai pengurus
Himpunan Budidaya Perairan, 2011 - 2013 sebagai ketua umum FDC UNHAS,
2013 - 2014 sebagai Dewan Selam FDC UNHAS, 2013-2014 sebagai pengurus
HmI Komisariat Perikanan UNHAS. Untuk menyelasaikan masa studi, Penulis
melaksanakan penelitian dengan judul PENGARUH SALINITAS BERBEDA
TERHADAP

PELEPASAN

DAN

PERKEMBANGAN

Kapppaphycus alvarezii VARIETAS COKELAT.

SPORA

PADA

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.......


Segala puji bagi Allah SWT Penguasa alam semesta yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini. Salam dan shalawat tak lupa pula penulis haturkan
kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW, yang merupakan tauladan bagi
seluruh umat manusia hingga akhir zaman.
Dalam penyusunan laporan ini, penulis banyak menghadapi tantangan
baik ringan maupun berat. Akan tetapi alhamdulillah semua tantangan itu dapat
penulis hadapi berkat kerja keras, bantuan teman-teman, para pembimbing,
orang tua dan dengan izin Allah SWT. Oleh karena itu dengan kerendahan hati
penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima
kasih kepada :
1. Kedua orang tua saya, Ayahanda H. Muhtar dan Hj. Saerah, sembah
sujud dan terima kasihku untukmu atas segala doa restu, nasehat,
bimbingan dan kasih sayangnya kepada penulis. saudara-saudaraku
(Jamiluddin dan Ratna), serta seluruh keluarga yang selalu menyertai
dengan doa, bantuan moril dan material.
2. Prof. Dr. Ir. Rajuddin Syamsuddin, M.Sc dan Dr. rer. nat. Elmi N.
Zainuddin, DES selaku pembimbing utama dan pembimbing anggota,
yang telah tulus membentu memberi motovasi dan arahan selama
penelitian dan penyusunan skripsi ini.
3. Ir. Rustam, M. Si, Ir. Badraeni, MP dan Dr. Ir. Hasni Yulianti Azis, MP

selaku penguji yang telah banyak memberikan saran dan kritik dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc selaku Dekan Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin
5. Prof. Dr.Ir. Nadjamuddin, M. Sc selaku Pembantu Dekan I, Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
6. Prof. Dr. Ir. Muh. Yusri Karim, M.Si selaku Ketua Jurusan Perikanan,
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
7. Dr. Ir. St. Aslamyah, MP selaku Ketua Progran Studi Budidaya Perairan,
Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Hasanuddin.
8. Bapak dan Ibu dosen, serta staf fakultas dan jurusan perikanan yang
mendidik dan berbagi ilmu dengan penulis dari awal kuliah.
9. Teman-teman FDC UNHAS, terkhusus buat Rahman, Wahid, Adi,
Ridho, Fuad, Sainal, Fajar, Aryo, Addong, Darni, Jumriani, Thira,
Asni, Eka, Inna, Wahida, Caya, Ka Anca, Ka Hamsir, Ka Chimbo, Ka
Furkan, Ka uccang, Ka Wawan, Ka Kuya, Ka Ica terima kasih atas
doa, bantuan, canda, tawa, serta motifasi yang diberikan kepada penulis.
Kebersamaan ini akan penulis kenang selalu dan tertulis sebagai sejarah
hidupku.
10. Teman-teman BDP (Aquaculture #9), Fadli, Akbar, Prima, Fikar,
Takwir, Cancu, Qadri, Safar, Iccang, Iful, Nanang, Yunus, Intil, Brian,
Riyad, Ceking, Ida, Nur, Nisa, Keti, Ani, Ayu Pesek. Terima kasih atas
canda, tawa dan kebersamaannya selama ini serta maafkanlah semua
kekhilafanku dari awal kita berjumpa sampai sekarang.
11. Teman - teman Angkatan 2009 (Bete - Bete #9) terima kasih atas doa,
bantuan, canda, tawa, serta memotifasi kepada penulis. Kebersamaan ini

penulis kenang selalu dan tertulis sebagai sejarah hidupku.


12. Teman-teman di perikanan yang telah banyak membantu dan mendoakan
penulis agar cepat menyelesaikan laporan ini dan maafkan kandamu ini
bila ada kesalahan pada saat pengkaderan.
13. Arvinni Dwi Oktavia (SEP #11), yang selalu memberikan motivasi,
dukungan dan bantuan kepada penulis.
14. Segenap keluarga besarku, kerabat serta semua pihak yang tidak sempat
penulis tuliskan satu persatu, terima kasih untuk semuanya.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati dan harapan agar kontribusi
pemikiran, baik berupa kritik ataupun saran dari berbagai pihak dapat
disumbangkan demi memberi manfaat bagi kita semua.
Billahi Taufik Walhidayah Wassalamu Alaikum Wr. Wb.
Makassar,

Maret 2014
Penulis,

Jamaluddin

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .........................................................................................
................................................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................

ii

ABSTRAK......................................................................................................

iii

RIWAYAT HIDUP ..........................................................................................

KATA PENGANTAR ......................................................................................

vi

DAFTAR ISI ..................................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................

xi

DAFTAR TABEL ............................................................................................

xii

I.

PENDAHULUAN ....................................................................................
A. Latar Belakang ..................................................................................
B. Tujuan dan Kegunaan .......................................................................

1
1
3

II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................


A. Taksonomi dan Morfologi Kappaphycus alvarezii ..............................
B. Habitat Kappaphycus alvarezii ..........................................................
C. Siklus Hidup Kappaphycus alvarezii ..................................................
D. Organ Reproduksi .............................................................................
E. Bibit Rumput Laut dan Teknik Pengadaannya ...................................
F. Faktor Ekologis .................................................................................

4
4
6
6
8
9
11

III. METODE PENELITIAN .................................................................................


A. Tempat Penelitian ..............................................................................
B. Jadwal Penelitian ..............................................................................
C. Alat dan Bahan ..................................................................................
D. Perlakuan (Salinitas) .........................................................................
E. Fotoperiode .......................................................................................
F. Pelaksanaan Pembibitan dengan Teknik Persporaan .......................
G. Pengukuran dan Pengamatan Peubah Biologis ................................
H. Pengukuran Parameter Kualitas Air ..................................................
I. Perlakuan ..........................................................................................
J. Analisis Data .....................................................................................

20
20
20
20
21
22
22
24
24
25
26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................................


A. Hasil Pengamatan Spora Pada Salinitas Berbeda ............................
B. Pembahasan .....................................................................................

27
27
37

V. PENUTUP .....................................................................................................
A. Kesimpulan .......................................................................................
B. Saran ................................................................................................

44
44
44

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

45

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Daur hidup Kappaphycus alvarezii...............................................

Gambar 2. Tallus Kappaphycus alvarezii Varietas Cokelat............................

21

Gambar 3. Tallus Kappaphycus alvarezii dengan kistokarp...........................

21

Gambar 4. Tallus rumput laut pada deg glass di dalam toples.......................

23

Gambar 5. Pengamatan perkembangan spora .............................................

24

Gambar 6. Posisi toples pada lemari rak.......................................................

25

10

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Parameter Kualitas Air, Alat dan Metode Pengukurannya.................

25

Tabel 2. Pengamatan Spora Kappaphycus alvarezii Pada Salinitas 20 ppt...

27

Tabel 3. Pengamatan Spora Kappaphycus alvarezii Pada Salinitas 25 ppt...

29

Tabel 4. Pengamatan Spora Kappaphycus alvarezii Pada Salinitas 30 ppt...

31

Tabel 5. Pengamatan Spora Kappaphycus alvarezii Pada Salinitas 35 ppt...


..................................................................................................

33

11

Tabel 6. Pengamatan Spora Kappaphycus alvarezii Pada Salinitas 40 ppt...

35

Tabel 7. Hasil Pengukuran Parameter Kualitas Air.........................................

40

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumput laut merupakan salah satu jenis tumbuhan laut yang tergolong
dalam makroalga bentik yang banyak hidup melekat di dasar perairan.
Makroalga bentik ini dalam dunia perdagangan disebut rumput laut dan bahasa
inggrisnya seaweed. Rumput laut ini merupakan salah satu kelompok tumbuhan
yang mempunyai sifat tidak bisa dibedakan antara bagian akar, batang dan daun.

12

Seluruh bagian tumbuhan disebut tallus, sehingga tumbuhan ini dimasukkan juga
ke dalam golongan tumbuhan tingkat rendah (Susanto, 2003).
Di perairan indonesia, khususnya Sulawesi Selatan terdapat berbagai
jenis rumput laut, namun hingga saat ini baru beberapa jenis yang dibudidayakan
secara skala rumah tangga dan skala besar dan memiliki nilai ekonomis seperti :
Eucheuma, Kappaphycus dan Gracillaria. Jenis seperti Caulerpa, Sargassum,
Gelidium. Hypnea dan lain-lain mempunyai nilai ekonomis tinggi pula, tetapi
hingga saat ini masih dipanen dari alam. Permintaan dunia akan produk rumput
laut cenderung meningkat setiap tahunnya minimal sebesar 10%. Produk
rumput laut yang diminta pasar global terutama adalah karaginan, agar dan
alginat. Melihat potensi area budidaya area budidaya rumput laut di Indonesia
yang sebesar 25.700 Ha, namun masih rendah produksinya dibandingkan
negara tetangga Filipina yang hanya mempunyai area budidaya 2.600 Ha (10%
saja dari indonesia), tetapi dapat menghasilkan rumput laut kering 33x lebih
unggul dari perairan Indonesia.
Eucheuma cottonii (K. alvarezii) merupakan jenis rumput laut tropis
penghasil utama karaginan. Menurut Basmal (2006), peningkatan permintaan
pasar global setiap tahun mencapai 5%. Produksi karaginan per tahun mencapai
58.930 ton, yang dimanfaatkan untuk dairy product 33%, food grade 25%,
produk daging dan ayam 15%, water gel 15%, pasta gigi 6% dan lainnya 6%
(Porse dalam Basmal, 2006). Namun, tingginya permintaan pasar tersebut tidak
luput dari isu rendahnya kualitas dan kontinyuitas produksi karaginan (SEAplant
Net, 2006). Salah satu penyebab timbulnya permasalahan tersebut karena
pertumbuhan dan produksi Kappaphycus alvarezii sangat dipengaruhi musim
(Doty, 1987; Ask dan Azansa, 2002).
Usaha budidaya rumput laut jenis ini di Indonesia masih menggunakan
teknik vegetatif (tallus sebagai bibit). Namun terjadi over harvesting yang menjadi

kendala sehingga benih tallus dalam jumlah yang cukup, berkualitas, dan
ketersediaan tepat waktu. Tallus yang terus menerus digunakan bahkan sudah
belasan tahun digunakan sebagai bibit dari hasil panen budidaya sebelumnya
digunakan untuk periode penanaman berikutnya, diduga akan terus mengalami
penurunan kualitas sehingga dapat menyebabkan penurunan kualitas dan
produksi rumput laut yang dihasilkan.
Untuk mengahadapi permasalahan ini, dapat diatasi dengan spora yang
ditumbuhkan

menjadi

individu

dewasa.

Teknik

ini

dilakukan

dengan

memanfaatkan siklus hidup K. alvarezii yang perkembangbiakannya juga terjadi


secara generatif yaitu dengan menghasilkan spora. Keberhasilan persporaan
pada K. alvarezii juga dipengaruhi oleh beberapa kondisi seperti suhu, salinitas,
pH dan cahaya.
Salinitas merupakan faktor yang bila berada dalam tingkat yang optimal
akan memberikan rangsangan yang maksimal untuk pelepasan spora,
perkembangan spora menjadi tallus muda (plantlet), dan tallus bibit siap
budidaya yang maksimal.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dipandang perlu untuk
melakukan penelitian tentang pengaruh perlakuan salinitas berbeda terhadap
kecepatan pelepasan spora, perkembangan spora menjadi tallus muda dan
pertumbuhan tallus muda menjadi siap budidaya.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh salinitas
terhadap pelepasan spora benih tallus dan perkembangannya menjadi planlet
(tallus muda) pada Kappaphycus alvarezii varietas cokelat.

Kegunaan penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber


informasi tentang upaya penyediaan bibit rumput laut kepada masyarakat
khususnya petani rumput laut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Taksonomi dan Morfologi Kappaphycus alvarezii
Rumput laut K. alvarezii bila diklasifikasikan berdasarkan pigmentasi
termasuk jenis alga merah (Rhodophyceae). Ganggang merah yang hidup di

laut dan tergolong dalam Thallophyta ini tidak memperlihatkan perbedaan akar,
batang dan daun seperti tanaman tingkat tinggi. Keseluruhan tanaman
merupakan batang yang dikenal sebagai tallus. Berdasarkan pada bentuk dan
anatomi serta karakter biokimia, dimana derivat kappa-carageenan yang lebih
dominan dari pada iota dan beta-carageenan yang ditemukan oleh seorang ahli
dari Filipina bernama Alvarez, maka nama ilmiah dari

E. cottonii

berubah

menjadi K. alvareezii (Atmadja dkk. 1996 dan Silva dkk. 1996).


Sistimatika klasifikasi botani menurut Dawes (1981), Bold dan Wynne
(1985), Lewis dkk. (1987) serta Kadi dan Atmadja (1988) adalah sebagai berikut :
Devisi

: Rhodophyta

Kelas

: Rhodophyceae

Ordo

: Gigartinales

Family

: Solieriaceae

Genus

: Kappaphycus

Species

: Kappaphycus alvarezii

Pigmen yang terdapat dalam tallus rumput laut dapat digunakan dalam
membedakan berbagai kelas. Pigmen ini dapat pula menentukan warna tallus
pada beberapa kelas alga. Perbedaan warna tallus menimbulkan adanya ciri
yang berbeda namun dalam kenyataannya terkadang sulit menentukan kelas
berdasarkan warna tallus. Contohnya alga merah kadang berwarna hijau
kekuning-kuningan, coklat kehitam-hitaman atau kuning kecoklat-coklatan karena
faktor lingkungan yang berubah, namun perubahan ini hanya perubaHan bentuk
dan sifat luar (fenotip) yang tidak kekal. Pigmen utama yang menentukan warna
antara lain klorofil, karoten dan fikoeritrin.

Fikoeritrin hanya terdapat pada

Rhodophyceae, sedangkan klorofil dan karoten dijumpai pada Chlorophyceae,


Phaeophyceae dan Rhodophyceae dengan kadar yang berbeda (Aslan, 1998).
Pigmen- pigmen tersebut mempunyai perbedaan dalam penyerapan cahaya.

Nielsen (dalam Tampi, 1995), mengemukakan bahwa Eucheuma adalah salah


satu spesies dari kelas Rhodophyceae (alga merah) dimana ciri utama dari kelas
ini adalah warnanya yang kemerah-merahan yang disebabkan kandungan
pigmen fikoeritrin yang banyak.
Kappaphycus alvarezii adalah jenis alga merah yang menghasilkan
kappa-karaginan dengan ciri-ciri umum, yaitu tallus bulat silindris, bercabang
berselang tidak teratur, di- atau trikhotomous, memiliki benjolan-benjolan (blunt
nodule) dan duri-duri (spines) dan substansi tallus gelatinus dan atau
kartilagenus (lunak seperti tulang rawan) (Bold dan Wynne, 1985; Doty, 1985;
Aslan, 2003). Menurut Hayashi dkk. (2007), beberapa strain K. alvarezii, antara
lain: coklat, hijau, tetrasporophytic merah dan G11 (berasal dari progeny
tetraspora). Menurut Sudjiharmo (2001) ciri-ciri dari K. alvarezii yaitu tallus tegak
lurus, silendris dengan dua sisi yang tidak sama lebarnya. Terdapat tonjolantonjolan (nodule) dan duri (spine), tallus berbentuk silindris atau pipih,
bercabang-cabang tidak teratur, berwarna hijau-kemerahan dalam keadaan
segar, dan bila kering berwarna kuning-kecokelatan.
Rhodophyta merupakan tanaman yang sebagian hidupnya di air payau
dan air laut dan hanya beberapa jenis yang hidup di air tawar. Alga ini didominasi
oleh pigmen merah dimana rfikoeritrin merupakan pigmen terbanyak dibanding
pigmen lainnya. Dinding sel terdiri dari pektin pada lapisan luar dan sellulosa
pada lapisan dalam (Fortes, 1981).
Tallus berbentuk silindris atau berbentuk lempengan (Chen, 1976), tinggi
mencapai 30 cm, bentuk percabangan bervariasi dan ujungnya mulai dari tumpul
sampai ada yang runcing (Cardero dalam Thana dkk.,

1995).

Ukurannya

bervariasi begitu pula bentuknya mulai dari yang kecil sampai besar. Pigmen
fotosintetik yang dikandung diantaranya berupa carotin, xantofil, fikobilin, klorofil

a dan d. Dalam dinding selnya terdapat sellulosa dan produk fotosintetik berupa
agar (Aslan, 1998; Van den Hoek dkk., 1995).
B. Habitat Kappaphycus alvarezii
Alga merah K. alvarezii memerlukan sinar matahari untuk proses
fotosintesis. Rumput laut jenis ini biasanya hidup pada lapisan fotik, yaitu
kedalaman sejauh matahari masih mampu mencapainya. Jenis ini biasanya
hidup berkumpul dalam satu komunitas atau koloni (Anggadiredja dkk., 2006).
Menurut Aslan (1998) bahwa K. alvarezii terdapat di daerah pasang surut
(intertidal) atau daerah yang selalu terendam air (subtidal), yang melekat pada
substrat di dasar perairan yang berupa karang mati, karang hidup atau cangkang
moluska.
Rumput laut jenis Eucheuma cottonii

berasal dari perairan Sabah

(Malaysia) dan Kepulauan Sulu (Filipina). Kemudian dikembangkan ke berbagai


negara sebagai tanaman budidaya. Penyebarannya Hampir merata di seluruh
Indonesia khususnya di daerah Lampung, Maluku, dan Selat Alas Sumba (Aslan,
1998).
C. Siklus Hidup Kappaphycus alvarezii
Luning (1990) menjelaskan bahwa daur hidup Eucheuma cottonii ada
2

macam

atau

mengalami

pergantian

antara

aseksual

dan

seksual.

Perkembangbiakan dimulai dari generasi aseksual yaitu sporofit (tanaman 2n)


akan membentuk tetraspora yang selanjutnya mengalami germinasi membentuk
gametofit jantan dan gametofit betina yang masing-masing tumbuh menjadi
tanaman haploid (1n).

Gametofit jantan membentuk sori spermatangia yaitu

suatu badan yang memproduksi sel-sel gamet jantan (spermatia) sedangkan selsel bagian ujung tallus terdapat gametofit betina yang bermodifikasi membentuk
cabang karpogonia yang akan menghasilkan sel-sel gamet betina. Bila gamet

jantan masuk ke dalam cabang karpogonia dan bertemu dengan sel gamet
betina maka terjadi fertilisasi yang selanjutnya membentuk zigot. Zigot (2n)
tumbuh sebagai karposporofit dan berkembang menjadi gonimoblast atau
kistokarp. Setelah kistokarp masak akan mengeluarkan karpospora dan bila
kondisi lingkungan mendukung akan tumbuh menjadi tanaman yang diploid (2n)
(Mohr dan Schopfer, 1995). Daur hidup E. cottonii dapat dilihat pada Gambar 1
(Soegiarto dkk., 1996).
Gambar 1. Daur hidup K. alvarezii (Botani Garden dalam Anonim, 2009)
Reproduksi aseksual adalah berupa pembentukan suatu individu baru
melalui

perkembangan

spora,

pembelahan

sel

dan

fragmentasi.

Perkembangbiakan dengan spora berupa pembentukan gametofit dari tetraspora


yang dihasilkan dari tetrasporofit. Tipe pembiakan ini umumnya terdapat pada

rumput laut merah. Pada rumput laut bersel satu setiap individu mempunyai
kemampuan untuk membelah diri dan membentuk individu baru. Pada rumput
laut bersel banyak, seperti

Eucheuma, potongan tallusnya mempunyai

kemampuan berkembang meneruskan pertumbuhan (Aslan, 1998).


D. Organ Reproduksi

Di bawah ini dijelaskan organ dan sel reproduksi penting pada alga
(Aslan, 1998).
1. Spermatangia/Antheridia
Organ ini terdapat pada tallus jantan dan berisi spermatia. Hampir semua
Berukuran kecil dan hanya dapat terlihat dengan bantuan mikroskop. Spermatia
tersebut ada yang berbulu cambuk (flagel) misalnya pada alga coklat
(umumnya), sedangkan pada kebanyakan alga merah, spermatianya tidak
memiliki bulu cambuk.
2. Karposporangia
Organ ini berisi karpospora sebagai hasil perkawinan antara gamet jantan
(spermatia) dan gamet betina (karpogonium atau oogonium). Umumnya
spermatium

bersatu

dengan

karpogonium

yang

tinggal

tetap

dalam

karposporangia.
3. Kistokarp
Suatu organ yang berbentuk jaringan mengelilingi karposporangia. Organ
ini berukuran besar (dapat dilihat dengan mata telanjang) misalnya pada
Gracillaria.
4. Tetrasporangia
Suatu organ yang mengandung tetraspora, umumnya berukuran kecil.
E. Bibit Rumput Laut dan Teknik Pengadaannya
Indriani dan Suminarsih (2003), menyatakan bahwa pemilihan bibit dalam
budidaya rumput laut harus dilakukan secara cermat, bibit tanaman harus muda,
bersih, dan segar agar memberikan pertumbuhan yang optimum. Dalam usaha
budidaya rumput laut yang dilakukan di Indonesia masih digunakan teknik

vegetatif (tallus sebagai bibit), walaupun rumput laut menghasilkan spora yang
dapat berkembang menjadi individu.
Teknik vegetatif yang terus menerus digunakan sebagai bibit dari hasil
panen untuk periode penanaman berikutnya, diduga dapat menyebabkan
penurunan kualitas bibit tersebut. Teknik penyediaan bibit yang dapat mengatasi
masalah penurunan mutu bibit rumput laut adalah dengan cara teknik
penyediaan benih melalui persporaan yang telah berhasil dilakukan oleh Arifin
dan Syamsuddin (2007). Bibit yang baik harus memiliki syarat - syarat berikut
(Atmadja dkk., 1996):
1.

Bibit rumput laut yang sehat dapat dipilih dari rumpun yang baik, dapat
diambil dari

tanaman hasil budidaya sebelumnya ataupun dari tempat

budidaya yang lain.


2.

Rumpun yang baik adalah yang bercabang banyak dan rimbun, tidak
terdapat bercak putih atau merah dan tidak terkelupas.

3.

Sebaiknya bibit tidak lebih lama 24 jam dalam penyimpanan sistem kering
(tidak direndam)

4.

Bibit adalah percabangan yang mudah dengan berat antara 50 100 gr.
Menurut Aslan (1998), bahwa ciriciri bibit yang baik adalah bila dipegang

terasa elastis, mempunyai cabang yang banyak dengan ujung yang berwarna
kuning kemerah-merahan, mempunyai batang yang tebal dan berat serta bebas
dari tanaman lain atau benda benda asing.
Cara lain dari pengadaan bibit, yaitu dengan memanfaatkan sifat
reproduksi generatif tanaman. Mula-mula dipilih tanaman dewasa yang sehat
dan segar. Tempatkan tanaman ini dalam bak yang berisi air laut dan kulit
kerang, jaring, atau benda padat lain yang dapat berfungsi sebagai bahan
substrat. Dari tanaman ini akan keluar spora yang selanjutnya menempel pada

10

substrat.

Setelah spora menjadi tanaman kecil, maka substrat harus

dipindahkan ke lokasi budidaya (Aslan, 1998).


Beberapa metode pengadaan bibit rumput laut adalah sebagai berikut:
a. Metode Penyebaran Secara Spontan
Potongan-potongan (fragmen tetrasporophyte) diletakkan pada jaringjaring benih (seed nets) dan dapat pula diletakkan pada potongan-potongan batu
di dalam tangki pengumpul yang telah diisi air laut. Setelah itu dibiarkan hingga
tetraspora menyebar secara spontan.
b. Metode Kering
Tetrasporophyte dikeringkan di bawah sinar matahari selama sekitar 3
jam kemudian ditempatkan dalam tangki seperti metode sebelumnya (a).
Prosedur berikutnya sama dengan metode penyebaran secara spontan.
c. Metode kejutan osmotik
Tetrasporophyte direndam dalam air laut berkonsentrasi tinggi selama 25
menit kemudian direndam ke dalam air laut berkonsentrasi normal sambil diaduk
dan

akhirnya

suspensi

spora

dapat

diperoleh

(Aslan,

1998).

Dalam

perkembangan spora (germinasi) terbentuk suatu lempengan (cakram) yang


diikuti dengan munculnya suatu tegakan dari tengah-tengah lempengan.
Tegakan tersebut kemudian berkembang menjadi tanaman muda (Nurdin, 1997).
Tanaman dewasa diangin-anginkan selama 1 atau 2 jam maka tallusnya
mengkerut. Ketika dicelupkan ke dalam air maka tallus mengembang kembali
dan matriks gelatin terperas keluar dan sel-sel reproduksi (spora) ikut terperas
keluar dan akan menempel pada substrat yang telah disediakan. Setelah tampak
pertumbuhan spora menjadi tanaman kecil, substrat tadi dipindahkan ke lokasi
budidaya (Nurdin, 1997).

11

F. Faktor Ekologis
Pertumbuhan sel dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan erat kaitannya
dengan kualitas karaginan. Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan dan biomassa rumput laut adalah sebagai berikut:
1. Cahaya
Mutu dan kualitas cahaya berpengaruh pada proses fotosintesis, yakni
sebagai sumber energi yang diserap oleh pigmen yang terdapat pada sepanjang
tallus rumput laut, dan sebagai batas kedalaman dimana rumput laut masih
mampu hidup. Sehubungan dengan hal itu Heunt (dalam Fatanah, 1995),
pergantian cahaya dapat digunakan lampu fluorescent (lampu tabung) asalkan
intensitas cahayanya memenuhi syarat untuk berlangsungnya proses fotosintesis
eksplan yang diukur. Sedangkan intensitas yang tinggi dapat menghambat
persporaan Kappaphycus alvarezii (Aslan, 1998).
Cahaya berpengaruh terhadap produksi spora dan pertumbuhannya.
Kebutuhan cahaya pada alga merah agak rendah dibanding alga coklat.
Persporaan Gracilaria verrucosa

misalnya dapat berkembang baik pada

intensitas cahaya 400 lux (Lobban dan Harrison, 1994). Persporaan Eucheuma
sp. dapat dirangsang dengan pemberian cahaya berwarna hijau (Aslan, 1998).
Selanjutnya Correa (dalam Anonim 1990), menambahkan bahwa persporaan
Kappaphycus alvarezii dipengaruhi oleh suhu dan lama pencahayaan,
pertumbuhan optimal adalah pada pencahayaan 12 jam dan suhu 20 0C. Fogg
(dalam Tampi, 1995), menyatakan bahwa cahaya sebesar 3.000 sampai 30.000
lux cukup baik untuk pertumbuhan rumput laut.
Dawes (1981) mengemukakan bahwa tingkat pertumbuhan alga secara
langsung dikontrol oleh cahaya. Cahaya memegang peranan yang sangat
penting bagi alga dalam menyediakan energi untuk proses fotosintesis. Alga
tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa adanya cahaya yang cukup, sehingga

12

pertumbuhan alga di suatu perairan dibatasi pada daerah dimana cahaya


matahari masih dapat dijumpai. Pada perairan yang jernih, cahaya matahari
dapat mencapai kedalaman 200 m (Luning, 1990).
Spektrum energi cahaya matahari, terdiri dari: infra merah (tidak
kelihatan), merah (610 700 nm), hijau (510 - 600 nm), biru (410 500 nm),
violet (< 400 nm) dan UV (tidak tambak). Namun, radiasi energi cahaya matahari
yang dibutuhkan untuk fotosintesis terbatas pada spektrum cahaya tampak
(panjang gelombang 400 - 700 nm), meskipun pada beberapa spesies alga yang
menyerap energi dengan panjang gelombang sekitar 300 nm dan 700 nm
(Lobban dkk. dalam Tampi, 1995).
Beberapa studi yang dilakukan oleh Glenn dan Doty (1981); ZetucheGonzalez

(1988),

menunjukkan

berpengaruh

negatif

Kappaphycus

sp.

terhadap

menjadi

intensitas

cahaya

pertumbuhan

fototropik

negatif

matahari

yang

kuat

rumput

laut,

beberapa

(Doty,

1987),

sehingga

mempengaruhi laju fotosintesis (Glenn dan Doty, 1981), dengan cara


menghambat (photoinhibition) dan merusak (photodemage) pembentukan
pigmen (Wood, 1989).
1. Suhu
Suhu merupakan

salah

satu

faktor

yang

sangat

penting

bagi

perkembagan organisme laut, juga berpengaruh pada aktivitas metabolisme


organisme (Hutabarat dan Evans, 1984). Kisaran temperatur antar 25 0C- 300C
adalah cocok untuk pertumbuhan Eucheuma, dimana pada kisaran suhu tersebut
puncak laju fotosintesis Eucheuma dapat berlangsung (Soegiarto, 1998).
Selanjutnya Angadiredja dkk. (2006), suhu air yang optimal di sekitar tanaman
rumput laut berkisar antara 260C sampai 300C.
Perkembangan stadia reproduksi beberapa jenis rumput laut tergantung
pada kondisi suhu dan intensitas cahaya atau pada kombinasi kedua parameter

13

tersebut. Perkembangan tetraspora Polysiphonia misalnya berlangsung baik


pada suhu antara 25 30C, tetapi terhambat pada kombinasi suhu rendah dan
intensitas cahaya tinggi (Aslan (1998) dan Murashige (1977)). Suhu perairan
biasanya membatasi reproduksi, sehingga alga dapat kehilangan kemampuan
untuk menyebarkan sporanya. Syamsuddin dkk. (2009) mendapatkan suhu 28 320C untuk pelepasan spora dari K. alvarezii.
2. Salinitas
Salinitas adalah banyaknya kandungan garam dalam satu kilogram air
laut bila semua karbonat telah berubah menjadi zat asam, brom dan yodium
mengganti klorida dan semua organik pelengkap zat asam. Salinitas air
berpengaruh pada proses osmoregulasi karena adanya perbedaan tekanan
osmotik cairan dalam sel dengan tekanan osmotik lingkungan.
Rumput laut dapat hidup dan tumbuh pada perairan dengan kisaran
salinitas tertentu, seperti Eucheuma dilihat secara fisologis tumbuhan ini bersifat
stenohalin, hidup dan tumbuh pada perairan dengan kisaran salinitas yang
sempit antara 28 sampai 34 ppt dengan nilai optimum salinitas 33 ppt (Anonim,
1990). Menurut Atmadja dkk, (1996), tumbuhan khususnya rumput laut pada
kisaran salinitas yang besar atau tinggi dapat tahan sampai salinitas 50 ppt.
Dalam keadaan basah dapat tahan di atas permukaan air (exposed) selama satu
hari. Syamsuddin dkk. (2009) mencatat salinitas 25 50 ppt untuk pelepasan
spora dari Kappaphycus alvarezii.
Selain faktor lainnya, salinitas juga berpengaruh terhadap spora yang
dilepaskan. Salinitas merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
fisiologis alga. Perubahan salinitas sangat berpengaruh terhadap kehidupan
organisme perairan karena berhubungan dengan proses osmosa. Mekanisme
osmoregulasi pada alga dapat terjadi dengan menggunakan asam amino atau

14

jenis-jenis karbohidrat (Dawes, 1981). Perubahan salinitas yang berulang-ulang


akan mempengaruhi proses reproduksi pada rumput laut (Hoffman, 1987). Doty
(1987) menyatakan bahwa salinitas yang dikehendaki Eucheuma alvarezii
berkisar 29 34 ppt, sedangkan menurut Kadi dan Atmadja (1988) salinitas yang
dikehendaki oleh E. alvarezii berkisar antara 30 37 ppt. Menurut Choi dkk.
(2001) rumput laut akan mengalami pertumbuhan yang lambat, apabila salinitas
terlalu rendah (kurang 15 ppt) atau terlalu tinggi (>35 ppt) dari kisaran salinitas
yang sesuai dengan syarat hidupnya hingga jangka waktu tertentu.
3. pH
pH atau derajat kemasaman air adalah ukuran konsentrasi

hidrogen

dalam sebuah larutan yaitu berat (gram) ion hidrogen per liter air. Jika pH = 7
berarti larutan netral, pH = 1 sampai 6 berarti larutan bersifat asam dan pH = 8
sampai 14 berarti larutan bersifat basa (Setiyono, 1996). Selain itu, pH
merupakan salah satu faktor linkungan yang tidak boleh diabaikan karena pH ini
sering kali dipakai sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya kualitas air
sebagai media tempat hidup. Menurut Sukadi dkk. (2005), pH untuk budidaya
rumput laut berkisar 6 - 9. sedangkan Angka dan Suhartono (2000), pH yang baik
untuk rumput laut adalah 6 - 8,5.

4. Gerakan Air (Arus dan Ombak)


Gerakan air merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
Kappaphycus alvarezii, sebab gerakan air atau arus berperan penting dalam
memperbaiki kondisi pertukaran zat hara dan menghindarkan pengendapan
untuk menunjang pertumbuhan juga merupakan alat transportasi nutrient.

15

Selanjutnya kebanyakan spora alga bersifat planktonis sehingga gerakan dan


sebarannya dipengaruhi pola dan sifat gerakan air (Aslan, 1998).
Pergerakan air atau arus juga mempengaruhi pertumbuhan rumput laut,
dalam hal ini menyangkut pergerakan atau sirkulasi zat hara dalam air serta
membantu dalam penyebaran spora guna menunjang proses reproduksi. Arus
membantu menjaga kebersihan bagian tallus rumput laut agar penyebaran unsur
hara tidak terhambat aleh adanya endapan lumpur atau material yang mungkin
melekat pada tallus. Kecepatan arus 0,21 0,51 m dt-1 merupakan kisaran yang
cukup baik bagi peningkatan produktivitas rumput laut. Sebagaimana dinyatakan
oleh Dahuri dkk. (2001), produktivitas rumput laut tampak dipengaruhi oleh
kecepatan arus 0,5 m dt-1.
Kebanyakan spora rumput laut bersifat planktonis sehingga gerakan dan
sebarannya dipengaruhi pola dan sifat gerakan air. Selain itu, kekuatan gerakan
air mempengaruhi melekatnya spora pada substratnya. Rumput laut yang
tumbuh pada perairan yang selalu berombak dan berarus kuat akan mempunyai
sifat dan karakteristik spora yang berbeda dengan rumput laut yang berada
di perairan tenang. Rumput laut di perairan tenang, erat kaitannya dengan
ukuran, bentuk dan lapisan lendir pada spora.
5. Zat Hara
Zat hara (nutrien) yang tedapat dalam air laut sangat dibutuhkan oleh
tanaman. Penyerapan zat hara dilakukan melalui seluruh permukaan tallus.
Zat hara berperan penting dalam pertumbuhan makro alga, khususnya
Kappaphycus

adalah unsur fosfor, nitrogen dan sulfur yang penting sebagai

pembentuk protein, unsur kalium yang penting dalam metabolisme sel dan unsur
magnesium yang penting untuk pembentukan klorofil, juga penting dalam proses
pernafasan. Unsur-unsur tersebut diserap dalam bentuk kation dan anion

16

(Winarno,1996). Zat hara yang sangat dibutuhkan adalah H, C, N, O, P, Mg, Mn,


Cu, Zn dan Mo (Lobban dan Harrison, 1994).
a. Nitrogen (N)
Nitrogen diserap oleh rumput laut dalam bentuk NO3- dan NH4+ yang akan
diubah menjadi senyawa asam amino dan protein.

Sumber anorganik

bagi

tumbuhan ini yaitu nitrat, nitrit dan ammonium. Nitrogen dapat memacu
pertumbuhan tallus rumput laut.

Nitrogen

dalam bentuk ammonium diserap

dalam jumlah yang lebih banyak dari pada nitrat, urea atau asam amino. Tingkat
penyerapan juga dipengaruhi oleh ion lain yang terdapat dalam media, seperti
amonium yang bisa menghambat penyerapan nitrat (Lobban dan Harrison,
1994).
b. Fosfor (P)
Rumput Laut menyerap unsur fosfor dalam bentuk ion orthofosfat (PO43-)
atau fosfat organik dalam bentuk glyserophospat dengan memproduksi alkalin
phospatase ekstraselular. Menurut Lingga (1999) bahwa sebagian besar fosfor
dalam tanaman berperan sebagai zat pembangun dan terikat dalam senyawasenyawa organik dan sebagian kecil dalam bentuk anorganik sebagai ion-ion
phospat.
Fosfat (PO4-) merupakan kunci metabolik nutrien, tersediainya elemen ini
sering bisa mengatur produktifitas suatu perairan alami. Kenyataannya
menunjukkan bahwa penembahan fosfat dalam perairan alami akan bereaksi
dengan meningkatnya produksi tanaman (Wiadnya, 1997).
c. Kalium (K)
Kalium terdapat pada sel-sel tumbuhan sebagai ion dalam cairan yang
mempunyai fungsi fisiologis khusus yaitu dalam proses asimilasi zat arang (H 2O
dan CO2). Proses asimilasi tersebut dipengaruhi oleh adanya ion-ion kalium.

17

Sehingga tanaman memerlukan kalium dalam jumlah yang banyak (Lingga,


1999).

Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2000) bahwa cairan sel

tumbuhan mengandung lebih banyak kalium daripada natrium. Bidwell (dalam


Lobban dan Harrison, 1994), kalium merupakan unsur essensial dalam proses
respirasi dan metabolisme karbohidrat.
d. Magnesium (Mg)
Magnesium
menyebarkan

diserap dalam bentuk ion Mg 2+ dan berfungsi untuk

fosforus ke seluruh permukaan tanaman (Lingga, 1999).

Magnesium berperan sebagai aktifator enzim tertentu, terutama dalam proses


fosforilasi dan sintesa protein seperti klorofil, pektin dan Mg-Oksalat (Santoso
dan Nursandi, 2001).
e. Kalsium (Ca)
Unsur Kalsium diserap dalam bentuk ion Ca2+ dan fungsi dari ion
kalsium adalah mengatur permeabilitas (daya serap) dinding sel rumput laut.
Garam-garam kalsium dapat mencegah kenaikan derajat keasaman (pH) cairan
dalam sel atau sebagai penyangga (Lingga, 1999) dan sebagai pembangun
struktur sel (Effendi, 2003).
f.

Karbon (C)
Karbondioksida

tersimpan

di laut dan

digunakan

dalam

proses

fotosintesis oleh alga laut (Effendi, 2000). Menurut Small (dalam Effendi, 2000)
bahwa 88% hasil fotosintesis di bumi merupakan sumbangan dari alga di laut.
Laut mengandung karbon lima puluh kali lebih banyak daripada karbon di
atmosfer. Karbon yang terdapat di perairan berasal dari berbagai sumber yaitu
difusi dari atmosfer, air hujan, air yang melewati tanah organik, respirasi hewan,
tanaman dan bakteri aerob maupun anaerob. Karbondioksida yang larut dalam

18

air berada dalam bentuk terikat sebagai ion bikarbonat (HCO 3-) dan ion karbonat
dalam bentuk senyawa (CO32-) dan asam karbonat (H2CO3) (Aspari, 2009).
Pupuk ES mengandung karbon dalam bentuk Na2 -Gliseropospat.
g. Oksigen (O)
Menurut Muhyanto (1990), O2 terlarut dalam air merupakan parameter
kualitas air yang paling kritis pada budidaya organisme perairan. Besarnya
kandungan O2 yang perlu dipertahankan untuk menjaga kehidupan organisme
budidaya di perairan adalah tidak kurang dari 3 ppm.
Zat hara diperlukan dalam pembentukan senyawa fikokoloid (gel) yang
ada pada rumput laut. Kekurangan salah satu unsur nutrien akan menyebabkan
pemudaran warna tallus alga sehingga tampak berwarna putih (Wagey, 1996).
Menurut Lapointe dan Rytheer (dalam Malingkas, 2002), tersedianya kandungan
nitrat dan fosfat yang merupakan unsur-unsur hara dalam bentuk ion dapat
meningkatkan aktivitas tanaman tersebut terutama untuk proses metabolisme
yaitu proses pertumbuhan dan perkembangan. Bentuk Nitrogen (N) dalam air
adalah gas Nitrogen (N2), Nitrat (NO3-), Nitrit (NO2-), Amonium (NH4-). Tanaman
air menyerap nitrogen dalam bentuk Nitrat (NO3-), dan Amonium (NH4-) (Boyd,
1982). Nitrat merupakan salah satu unsur penting untuk sintesa protein, tumbuhtumbuhan dan hewan, tetapi nitrogen nitrat pada konsentrai yang tinggi dapat
mengakumulasi pertumbuhan ganggang yang tak terbatas (bila syarat lain
seperti fosfat terpenuhi), sehingga air kekurangan oksigen terlarut yang dapat
menyebabkan kematian organisme perairan.

Menurut Chu (dalam Rasyid,

2001), kandungan nitrat yang menggambarkan kondisi perairan yang baik untuk
pertumbuhan jenis alga adalah 0,9 - 3,5 ppm.

19

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Hatchery Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

20

B. Jadwal Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 2 (dua) bulan (September-November
2013) yang dimulai persiapan penelitian selama 1 minggu, 45 hari (1 Bulan)
percobaan pembibitan (produksi bibit) dengan spora.
C. Alat dan Bahan Penelitian
Sebagai

wadah

percobaan

dalam

setiap

tahapan

pembibitan

(persporaan), digunakan toples plastik. Media percobaan pembibitan rumput laut


yang digunakan adalah air laut yang bersih yang diangkut dengan jerigen dari
bagian pantai Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, dan ditampung di
dalam bak fiberglass di Hatchery. Air laut yang akan digunakan ditreatmen
terlebih dahulu dengan memberikan kaporit (Ca(ClO)2) dengan perbandingan
1:10 (setiap satu liter air diberikan 0.1 gr kaporit (Ca(ClO)2)). Hal ini berfungsi
untuk menjernihkan serta untuk mematikan organisme penyebab penyakit.
Setelah pemberian kaporit (Ca(ClO)2), media kemudian dinetralisir dengan
pemberian sodium thiosulfat (Na2S2Ovd3) yang berfungsi untuk mengikat zat
kimia yang terdapat pada saat proses pengapuran.
Setiap wadah percobaan dilengkapi dengan aerator untuk menjamin
penyebaran zat hara yang dibutuhkan untuk perkembangan kistokarp dan
pelepasan spora serta untuk mencegah partikel-partikel debu melekat pada
tallus. Penelitian ini dilengkapi pula dengan pencahayaan dari lampu TL (neon)
untuk menjamin fotosintesis yang maksimal terutama pada saat mendung dan
pengaturan fotoperiodisme. Penggantian air sebanyak 30% dari volume air yang
ada setiap 3 hari.
Rumput laut yang digunakan sebagai biota uji dalam penelitian ini adalah
Kappaphycus alvarezii Varietas Cokelat (Gambar 2) yang dipereloh dari alam
(perairan laut Kabupaten Takalar).

21

Gambar 2. Tallus Kappaphycus alvarezii Varietas Cokelat


Tallus rumput laut yang digunakan adalah yang matang (sudah memiliki
kistokarp (kantong spora)) (Gambar 3).
Gambar 3. Tallus Kappaphycus alvarezii dengan kistokarp

D. Perlakuan (Salinitas)
Untuk perlakuan salinitas yang rendah (20 30 ppt), salinitas air laut
alami yang tersedia diencerkan dengan air tawar dengan menggunakan rumus:
S1V1 + S2V2
Sn =
V1 + V2
Dimana :

Sn
S1
S2
V1
V2

= Salinitas air yang diinginkan ();


= Salinitas air yang diencerkan ();
= Salinitas air pengencer ();
= Volume air yang diencerkan (liter);
= Volume air pengencer (liter).

22

Untuk mendapatkan salinitas yang tinggi (sampai 40 ppt), air laut yang
tersedia yang tersedia diuapkan di bawah sinar matahari langsung.
Untuk menjamin akurasi salinitas hasil pengenceran dan peningkatan
salinitas yang diinginkan, air laut selanjutnya dikonfirmasi (dicek) dengan
menggunakan Hand Refractometer.
E. Fotoperiode
Fotoperiode yang digunakan dalam peneltian ini adalah 12 : 12 (12 jam
terang, 12 jam gelap). Pengaturan fotoperiode dilakukan dengan menyalakan
dan memadamkan lampu neon (TL) pada setiap akuarium wadah percobaan.
Fotoperiode digunakan untuk mendukung proses reproduksi (pelepasan dan
perkembangan spora).
F. Pelaksanaan Pembibitan dengan Teknik Persporaan
Tahapan pembibitan dengan spora ini terdiri dari :
1. Tahap Perangsangan Kistokarp untuk Mengeluarkan Spora
Bagian tallus dengan panjang 5 cm (memiliki kistokarp sebanyak 3 buah)
dipotong (Gambar 3) dan dipisahkan dari tallus yang tidak memiliki kistokarp lalu
dibersihkan dari kotoran dengan menggunakan sikat gigi kecil dan air laut.
Selanjutnya tallus diangin-anginkan selama 3 jam sebelum dimasukkan ke dalam
setiap akuarium berisi air laut dengan perlakuan kombinasi salinitas berbeda
yang dicobakan. Tallus di dalam toples diletakkan di dasar cawan Petri yang
telas diberi deg glass (Gambar 4) untuk menampung spora yang dilepaskan dan
menjadi substrat tempat melekat dan tumbuhnya spora. Cawan Petri ini nantinya
dikeluarkan dari toples untuk pengamatan terhadap spora yang menempel dari
hasil pelepasan dari kistokarp.

23

Gambar 4. Tallus rumput laut pada deg glass di dalam toples.


2. Tahap Perkembangan Spora Menjadi Plantlet (Tallus Muda)
Untuk perkembangan spora menjadi tallus muda, masing-masing cawan
Petri yang sudah berisi spora yang dilepaskan dari kantong spora dibiarkan
melekat dan tumbuh. Waktu yang diperlukan untuk spora tumbuh menjadi planet
tallus muda maksimal selama 7 hari. Tallus muda yang terbentuk tetap
tumbuh melekat pada cawan Petri sebagai substratnya.
3. Tahap Penyediaan Tallus untuk Bibit Siap Budidaya
Untuk perkembangan menjadi tallus bibit siap budidaya, tallus muda
dilepaskan

(diangkat)

secara

perlahan-lahan

dari

cawan

Petri

dengan

menggunakan pinset, lalu ditempatkan pada toples lainnya yang berisi air laut
dengan perlakuan kombinasi salinitas dan suhu yang sama pada wadah
pelepasan spora dan perkembangannya menjadi tallus muda.
G. Pengukuran dan Pengamatan Peubah Biologis
1. Pelepasan spora
Spora yang dilepaskan ke permukaan Cawan Petri diamati dengan
mikroskop dan diambil gambarnya menggunakan kamera digital. Pengamatan

24

mulai dilakukan mulai 72 jam (3 hari) setelah perlakuan sampai seluruh kistokarp
mengeluarkan sporanya ditunjukkan dengan tidak adanya lagi spora yang
melekat pada cawan Petri.
2. Perkembangan spora
Perkembangan spora setiap perlakuan diamati dengan menggunakan
mikroskop dan divisualisasikan dalam bentuk foto dengan menggunakan kamera
digital (Gambar 5).

Gambar 5. Pengamatan perkembangan spora


H. Pengukuran Parameter Kualitas
Selain salinitas sebagai data penunjang, dilakukan analisis beberapa
parameter kualitas air (Tabel 1) yang diperkirakan paling berpengaruh pada
Parameter biologis yang diukur.
Tabel 1. Parameter Kualitas Air, Alat dan Metode Pengukurannya
No.

Parameter

Alat

Metode

Intensitas
cahaya

Lux meter

In situ

pH

pH-meter

In situ

25

Referensi
Strickland dan
Parsons (1968)
Strickland dan
Parsons (1968)

I.

NO3

Spektrofotometer

Spektrometrik

NH4

Spektrofotometer

Spektrometrik

PO4

Mg

Spektrofotometer

Spektrometrik

7.

CO2

Titrasi

Spektrometrik

Strickland dan
Parsons (1968)
Strickland dan
Parsons (1968)
Strickland dan
Parsons (1968)
Strickland dan
Parsons (1968)
Strickland dan
Parsons (1968)

Perlakuan
Perlakuan kombinasi salinitas yang dicobakan adalah :
Perlakuan 1. Salinitas 20 ppt
Perlakuan 2. Salinitas 25 ppt
Perlakuan 3. Salinitas 30 ppt
Perlakuan 4. Salinitas 35 ppt
Perlakuan 5. Salinitas 40 ppt

Gambar 5. Posisi Toples pada lemari rak


Setiap perlakuan masing-masing terdiri dari 3 ulangan kemudian
ditempatkan dilemari rak yang telah dilengkapi dengan lampun Neon dan aerasi
(Gambar 6).

26

J. Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap pelepasan spora alga
Kappaphycus alvarezii dilakukan secara deskriptif. Begitu pula untuk melihat
perkembangan spora alga K. alvarezii pada setiap perlakuan yang dicobakan,
maka penyajian data dalam bentuk gambar (foto) dilakukan secara deskriptif
melalui hasil pengamatan dengan menggunakan kamera digital. Gambar setiap
tahapan perkembangan spora yang ditampilkan akan disertai dengan deskripsi
morfoanatomi spora (pengambilan data dilakukan setiap 3-5 hari).

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan Spora Pada Salinitas Berbeda

27

1. Salinitas 20 ppt
Pada salinitas 20 ppt, pelepasan spora rumput laut Kappaphycus
alvarezii masih terjadi namun spora yang dilepaskannya hanya sampai pada
tahap spora dan tidak mampu berkembang menjadi planlet.
Tabel 2. Pengamatan Spora Kappaphycus alvarezii Pada Salinitas 20 ppt

Pengamata
n
Ke(per 3 Hari)

Perkembangan Spora

Narasi

Spora yang
dilepaskan
tampak lebih
sedikit

II

Spora yang
dilepaskan
tampak lebih
banyak

III

Spora
berkurang yang
disebabkan
spora yang
dilepaskan
belum
menempel pada
substrak dan
terbawa oleh
arus

IV

Spora yang
dilepaskan
masih sedikit

28

Referensi

Sumber: Camacho
Hadad dan Anna fricke
(dalam Gurgel dan
Fredericq, 2004)

Jumlah spora
semakin
berkurang

VI

Pelepasan
spora masih
terjadi

VII

Spora
berkurang yang
disebabkan
spora yang
dilepaskan
belum
menempel pada
substrak dan
terbawa oleh
arus

VIII

Pinggiran pada
spora tampak
lebih gelap

IX

Spora mulai
berkecambah,
namun secara
tidak sempurna

29

Sumber: Camacho
Hadad dan Anna fricke
(dalam Gurgel dan
Fredericq, 2004)

Sumber: Camacho
Hadad dan Anna fricke
(dalam Gurgel dan
Fredericq, 2004)

Sumber: Camacho
Hadad dan Anna fricke
(dalam Gurgel dan
Fredericq, 2004)

2. Salinitas 25 ppt
Pada salinitas 25 ppt, pelepassan spora pada rumput laut Kappaphycus
alvarezii terjadi pada pengamatan I (hari ke- 3). Dibandingkan pada salinitas 20
ppt, spora yang terlepas pada salinitas 25 ppt mampu berkembang hingga
menjadi planlet.

Spora mulai terlihat pada pengamatan I (hari ketiga) dan

berkembang menjadi planlet pada pengamatan VIII.


Tabel 3. Pengamatan Spora Kappaphycus alvarezii Pada Salinitas 25 ppt

Pengamata
n
Ke(per 3 Hari)

Perkembangan Spora

Narasi

Spora telah
dilepaskan

II

Jumlah spora
yang dilepaskan
lebih banyak

III

Warna pada
spora lebih
gelap

IV

Spora yang
dilepaskan
tampak
bertambah

30

Referensi

Sumber: Camacho
Hadad dan Anna fricke
(dalam Gurgel dan
Fredericq, 2004)

Warna pada
spora tampak
memudar

VI

Pinggiran spora
tampak lebih
gelap

VII

Spora yang
awalnya bulat
mulai
membentuk
tonjolan

VIII

Spora telah
tumbuh menjadi
planlet

Thallus pada
planlet tampak
lebih panjang

VIII

31

Sumber: Camacho
Hadad dan Anna fricke
(dalam Gurgel dan
Fredericq, 2004)

Sumber: Camacho
Hadad dan Anna fricke
(dalam Gurgel dan
Fredericq, 2004)

Syamsuddin, dkk (2009)

3. Salinitas 30 ppt
Pada salinitas 30 ppt, pelepasan spora pada rumput laut Kappaphycus
alvarezii terjadi pada pengamatan I (hari ke 3). Spora yang dilepaskan pada
salinitas 30 ppt lebih banyak dibandingkan pengamatan pada spora yang
terlepas pada salinitas 20 ppt, 25 ppt,

35 ppt, dan 40 ppt. Hal ini dapat dilihat

dari jumlah gumpalan spora yang dilepaskan dari tiap percobaan salinitas yang
diteliti. Perkembangan spora menjadi planlet pada salinitas 30 ppt lebih cepat
dibandingkan pada percobaan salinitas lainnya. Dapat dilihat pada tabel, spora
mampu berkembang hingga membentuk rumput laut muda dengan tallus yang
lebih lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa salinitas 30 ppt merupakan kondisi
optimun untuk perkembangan spora rumput laut K. alvarezii.
Tabel 4. Pengamatan Spora Kappaphycus alvarezii Pada Salinitas 30 ppt

Pengamata
n
Ke(per 3 Hari)

Perkembangan Spora

Keterangan

Spora yang
dilepaskan
masih masih

II

Pinggiran spora
tampak lebih
gelap

III

Spora yang
dilepaskan
dalam jumlah
yang banyak

32

Referensi

Sumber: Camacho
Hadad dan Anna fricke
(dalam Gurgel dan
Fredericq, 2004)

IV

Thallus mulai
terbentuk

Thallus yang
terbentuk
kemudian mulai
membentuk
percabangan

Sumber: Camacho
Hadad dan Anna fricke
(dalam Gurgel dan
Fredericq, 2004)

Terbentuk
planlet

VI

Syamsuddin, dkk (2009)

VII

Percabangan
pada planlet
tampak lebih
besar

VIII

Planlet tumbuh
menjadi rumput
laut muda
dengan
percabangan
yang lebih
lengkap

IX

4. Salinitas 35 ppt

33

Sumber: Camacho
Hadad dan Anna fricke
(dalam Gurgel dan
Fredericq, 2004)

Perlakuan salinitas 35 ppt merupakan salinitas yang masih bisa ditolerir


untuk pelepasan spora hingga berkembang menjadi plantlet. Pada salinitas 35
ppt, spora mulai terlepas pada pengamatan II. Pada perlakuan ini, meskipun
spora lebih lambat jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya namun
pembentukan spora mampu berkembang menjadi planlet pada perlakuan ini.
Tabel 5. Pengamatan Spora Kappaphycus alvarezii Pada Salinitas 35 ppt.

Pengamata
n
Ke(per 3 Hari)
I

Perkembangan Spora

Narasi

Spora mulai
terlihat namun
jumlah masih
sedikit

II

Referensi

Sumber: Camacho
Hadad dan Anna fricke
(dalam Gurgel dan
Fredericq, 2004)

Spora mulai
berkecambah

IV

Syamsuddin, dkk (2009)

Spora tumbuh
menjadi planlet

34

Warna pada
planlet tampak
memudar

VI

VII

Warna pada
planlet tampak
semakin
memudar

VIII

Tampak bercak
putih pada
planlet

35

Syamsuddin, dkk (2009)

5. Pengamatan Salinitas 40 ppt


Salintas di atas air laut normal (40 ppt) mengakibatkan pelepasan spora
yang cepat, tetapi dengan tingkat perkembangan spora yang tidak sempurna,
dan plantlet tidak terbentuk hingga hari ke 27 (Gambar pada Tabel 6). Jadi
salinitas 40 ppt dan lebih dari itu menghambat, bahkan menggagalkan reproduksi
rumput

laut

Kappaphycus

alvarezii.

Kondisi

hipersalin

(salinitas

tinggi)

menghambat perkembangan spora (Yamauchi, 1973).


Tabel 6. Pengamatan Spora Kappaphycus alvarezii Pada Salinitas 40 ppt.

Pengamata
n
Ke(per 3 Hari)

Perkembangan Spora

Narasi

Spora yang
tampak masih
sedikit

II

Spora yang
dilepaskan
masih sedikit
namun warna
pada spora
lebih gelap

III

Spora yang
dilepaskan
masih sedikit
namun warna
pada spora
lebih gelap

IV

Spora yang
dilepaskan
tampak lebih
banyak

36

Referensi

Sumber: Camacho
Hadad dan Anna fricke
(dalam Gurgel dan
Fredericq, 2004)

Spora yang
dilepaskan
tampak lebih
besar

VI

Bentuk spora
berubah
menjadi lonjong
dan warnanya
juga berubah
menjadi hitam.

37

B. Pembahasan
1. Pelepasan dan Perkembangan Spora
Hasil pengamatan pelepasan dan perkembangan spora menunjukkan
bahwa pada setiap perlakuan salinitas terdapat perbedaan dari spora yang
terlepas dan pertumbuhan spora. Secara umum dapat dikatakan bahwa
pelepasan organ atau sel-sel reproduksi generatif Kappaphycus alvarezii pada
beberapa tingkat pemberian salinitas air ini memiliki pengaruh pada poses
reproduksi generatif rumput laut K. alvarezii.
Pada hasil pengamatan diperoleh pada salinitas 20 ppt (Tabel 2), spora
telah terlepas pada pengamatan ke- I, namun spora yang dilepaskan masih
dalam jumlah yang sedikit. Hal dapat diketahui berdasarkan gumpalan spora
yang dilepaskan. Spora tampak dilepaskan lebih banyak pada pengamatan keII. Pada pengamatan ke- III, spora tampak lebih besar dan bisa bertahan hingga
pada pengamatan ke- VIII. Namun pada pengamatan ke- IX, spora yang yag
dilepaskan tampak mengalami perubahan dari bentuk morfologinya. Bentuk
spora pada pengamatan ke- IX tampak berbentuk lonjong, berbeda bentuk yang
sebelumnya spora tampak bulat. Selain itu, perubahan lain yang tampak pada
pengamatan ke- IX, yaitu warna spora yang awalnya berwarna cokelat berubah
menjadi gelap (hitam). Hal ini disebabkan karena salinitas 20 ppt bukanlah
salinitas yang sesuai dengan pertumbuhan spora rumput laut K. alvarezii. Hal ini
didukung oleh pendapat Sulu dkk. (2003) bahwa rumput laut jenis Eucheuma
cottonii mempunyai kisaran salinitas yang rendah. Ditambahkah oleh Raikar dkk.
(2001) yang menyatakan pertumbuhan rumput laut akan tumbuh sangat baik
pada kisaran salinitas 22 30 ppt.
Sama halnya pada salinitas 20 ppt, pada salinitas 25 ppt (Tabel 3) spora
juga telah terlepas pada pengamatan ke- I. Spora yang dilepaskan tampak lebih

38

banyak pada pengamatan ke- II. Dibandingkan pada salinitas 20 ppt, pada
salinitas 25 ppt, spora mampu pada salinitas 25 ppt, spora mulai berkecambah
pada pengamatan ke- VII. Pada pengamatan ke- VIII spora tampak telah tumbuh
hingga menjadi planlet dan pada pengamtan ke- IX, tallus pada planlet tampak
lebih panjang dibandingkan pada pengamatan sebelumnya. Hal ini menandakan
bahwa pada salinitas 25 ppt merupakan salinitas yang masih bisa ditelorir untuk
pertumbuhan spora rumput laut Kappaphycus alvarezii. Syamsuddin dkk. (2009)
mencatat salinitas 25 50 ppt merupakan kisaran untuk pelepasan spora.
Rabanal dkk. (1997) menyatakan bahwa salinitas dapat mempengaruhi
perkecambahan pada rumput laut.
Berbeda dengan perlakuan salinitas lainnya, pada salinitas 30 ppt (Tabel
4) spora tampak tumbuh jauh lebih baik. Pada salinitas 30 ppt, spora mulai
terlepas pada pengamatan ke- I dan tampak lebih banyak spora yang terlepas
pada pengamatan ke- III. Spora mulai tumbuh dan membentuk percabangan
pada pengamatan ke- V. Perkembangan selanjutnya terjadi pada pengamatan
ke- VI, dimana telah terlihat planlet. Pada pengamatan ke- VII, tallus pada planlet
tampak lebih panjang dibandingkan pada pengamatan sebelumnya. Pada
pengamatan ke- VIII, planlet kemudian tumbuh menjadi rumput laut muda
dengan percabangan yang lebih lengkap. Pada pengamatan ini terjadi
perubahan warna pada rumput laut. Pada pengamatan ke- VII, planlet tampak
berwarna cokelat kemudian berubah menjadi hijau pada pengamatan ke- VIII.
Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh lingkungan yang berpengaruh
langsung pada tubuh rumput laut (Lewis dkk.,1987). Hal ini didukung oleh
pendapat Susanto dan Pramesti (2001) yang menyatakan bahwa alga merah
akan melepaskan spora pada jumlah terbesar pada salinitas 30 ppt. Sulu dkk.
(2003) menyatakan rumput laut jenis K. alvarezii cenderung dapat bertahan
baik

39

pada salinitas 30 ppt. Doty (1987) menyatakan bahwa salinitas yang dikehendaki
Kappaphycus alvarezii berkisar 29 34 ppt.
Pada pengamatan perlakuan salinitas 35 ppt (Tabel 5), spora mulai
terlepas pada pengamatan ke- II. Spora mulai terlepas lebih banyak pada
pengamatan ke- III. Spora kemudian terlihat berbeda pada pengamatan ke- IV,
dimana terlihat spora telah mulai berkecambah. Pada pengamatan ke- V, spora
telah tumbuh menjadi planlet dan bertahan hingga pada pengamatan ke- VIII.
Hal ini sesuai dengan pendapat Kadi dan Admadja (1988) yang menyatakan
bahwa salinitas yang dikehendaki oleh Kappaphycus alvarezii berkisar antara
30 37 ppt.
Pada pengamatan perlakuan salinitas 40 ppt (Tabel 6), menunjukkan
pertumbuhan spora yang cukup berbeda dengan perlakuan salinitas lainnya.
Pada salinitas 40 ppt, spora telah terlepas pada pengamatan ke- I dan spora
baru terlepas lebih banyak pada pengamatan ke- V. Meskipun spora masih
terdapat pada pengamatan ke- VI, namun spora pada pengamatan ini tampak
berbeda. Spora pada pengamatan ke- VI terlihat berubah warna dari cokelat
menjadi hitam dan bentuknya tampak mengerut serta spora pada pengamatan ini
tidak terlihat lagi pada pengamatan selanjutnya. Hal ini menandakan bahwa
spora setelah pengamatan ke- VI telah mati. Menurut Choi dkk. (2001) rumput
laut akan mengalami pertumbuhan yang lambat, apabila salinitas terlalu rendah
(< 15 ppt) atau terlalu tinggi (>35 ppt) dari kisaran salinitas yang sesuai dengan
syarat hidupnya hingga jangka waktu tertentu.
Dari hasil pengamatan pada perlakuan salinitas berbeda menunjukkan
pelepasan dan perkembangan spora yang berbeda. Menurut Lobban dan
Harrison (1994) dan Choi dkk. (2001), parameter kualitas air yang sangat
berperan terhadap pertumbuhan, pembentukan tallus dan perkembangan
morfogenetik rumput laut adalah salinitas, karena terkait langsung dengan

40

proses osmosa yang terjadi di dalam sel. Kepekatan yang berbeda antara cairan
di dalam dan di luar sel, mendorong badan golgi untuk terus berusaha
menyeimbangkan hingga menjadi isotonis. Hal tersebut berdampak pada
pemanfaatan energi yang lebih

besar sehingga berpengaruh terhadap

rendahnya pertumbuhan dan perkembangan rumput laut (Xiong dan Zhu, 2002).
2. Parameter Kualitas Air
Pertumbuhan spora rumput laut Kappaphycus alvarezii dipengaruhi oleh
faktor fisika dan kimia, seperti: suhu, pH, amonium (NH 4), Amoniak (NH3), nitrat
(NO3), fospat (PO4), magnesium (Mg), dan kardioksida (CO2) serta intensitas
cahaya.
Adapun data kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 7. Hasil Pengukuran Parameter Kualitas Air
No.

Paramater

1.

Suhu

2.

pH

3.

Amonium (NH4)

4.

Satuan
0

Hasil
Akhir

Kisaran
Kelayakan

Referensi
Soegiarto
(1996)
Angka dan
Suhartono
(2000)
Hartono
dan
Widiatmoko
(1984)

30

30

25 - 30

7,01

6,96

6 8,5

Ppm

0,282

0,487

0,5

Amoniak (NH3)

Ppm

0,007

0,012

5.

Nitrat (NO3)

Ppm

1,188

1,04

0,9 3,5

6.

Fosfat (PO4)

Ppm

5,13

20,03

0,50-1,88

Ppm

292,29

1.581,58

Ppm

36,0

(tt)

Lux

362
552

380 - 720

Dring
(1987)

7.
8.
9

Magnesium
(Mg)
Karbondioksida
(CO2)
Intensitas
Cahaya

Awal

41

Atmadja
(1996)
Kapraun
(dalam
papalia,
1997)

a. Suhu
Suhu

merupakan

salah

satu

faktor

yang

sangat

penting

bagi

perkembanganorganisme laut, juga berpengaruh pada aktivitas metabolisme


organisme

(Hutabarat

dan

Evans,

1984).

Suhu

air

selama

penelitian

dipertahankan pada 30 0C, kisaran suhu tersebut masih dalam tingkat suhu yang
masih bisa ditolerir untuk pertumbuhan rumput laut. Hal ini sesuai dengan
pendapat Soegiarto (1998), bahwa kisaran temperatur antara 25-30 0C adalah
cocok untuk pertumbuhan Eucheuma, dimana pada kisaran suhu tersebut
puncak laju fotosintesis Eucheuma dapat berlangsung. Selanjutnya Anggadiredja
dkk. (2006), suhu air yang optimal di sekitar tanaman rumput laut berkisar antara
26 0C sampai 30 0C.
b. pH
pH atau derajat kemasaman air adalah ukuran konsentrasi

hidrogen

dalam sebuah larutan yaitu berat (gram) ion hidrogen per liter air. Derajat
keasaman (pH) memiliki pengaruh yang besar terhadap tumbuhan dan hewan air
sehingga sering digunakan sebagai petunjuk untuk menyatakan layak tidaknya
suatu perairan sebagai lingkungan hidup (Asmawi, 1986).
Nilai pH selama penelitian mengalami penurunan dari pH awal 7.01
menjadi 6.96. Namun, nilai ini masih sesuai dengan kebutuhan rumput laut K.
alvarezii. Menurut Sukadi dkk. (2005), pH untuk budidaya rumput laut berkisar
6 - 9. sedangkan menurut Angka dan Suhartono, (2000), pH yang baik untuk
rumput laut adalah 6 - 8,5.
c. Nitrat (NO3)
Nitrat merupakan salah satu bentuk nitrogen yang diserap oleh tanaman
air utamanya rumput

laut. Menurut Atmadja (1996) mengemukakan bahwa

42

rumput laut Kappaphycus alvarezii membutuhkan kisaran kadar nitrat sebesar


0,9-3,5 ppm.
Berdasarkan hasil pengukuran nilai nitrat yang diperoleh berkisar
1.188-1.04 ppm. Hal ini disebabkan oleh nitrat di dalam perairan teroksidasi
karena adanya proses aerasi yang terjadi pada media penelitian.
d. Fosfat (FO4)
Rumput laut menyerap unsur fosfat dalam bentuk ion othophospat atau
phospat organik dalam bentuk glyserophospat dengan memproduksi alkalin
phospatase ekstraselular. Menurut Lingga (1999) bahwa sebagian besar fosfor
dalam tanaman berperan sebagai zat pembangun dan terikat dalam senyawasenyawa organik dan sebagian kecil dalam bentuk anorganik sebagai ion-ion
phospat.
Berdasarkan hasil pengukuran, nilai fosfat yang diukur mengalami
peningkatan dari 5.13 ppm menjadi 20.03 ppm. Peningkatan ini kemungkinan
terjadi karena fitoplankton yang terdapat pada media pemeliharaan mati dan
unsur hara yang dikandungnya ikut terakumulasi dengan media pemeliharaan.
e. Magnesium (Mg)
Magnesium
menyebarkan

diserap dalam bentuk ion Mg 2+ dan berfungsi untuk

fosforus ke seluruh permukaan tanaman (Lingga, 1999).

Magnesium berperan sebagai aktifator enzim tertentu, terutama dalam proses


fosforilasi dan sintesa protein seperti klorofil, pektin dan Mg-Oksalat (Santoso
dan Nursandi, 2001).
f.

Karbondioksida (CO2)
Kebutuhan CO2 di perairan sangat dibutuhkan oleh rumput laut sebagai

bahan untuk terjadinya proses fotosintesis. Kisaran CO2 yang diperoleh selama

43

penelitian adalah 36,00 ppm.


g. Amonium (NH4)
Nitrogen diserap oleh rumput laut dalam bentuk NO3 dan NH4 yang akan
diubah menjadi senyawa asam amino dan protein. Nitrogen
pertumbuhan tallus rumput laut.

dapat memacu

Nitrogen dalam bentuk ammonium diserap

dalam jumlah yang lebih banyak dari pada nitrat, urea atau asam amino. Tingkat
penyerapan juga dipengaruhi oleh ion lain yang terdapat dalam media, seperti
amonium yang bisa menghambat penyerapan nitrat (Lobban dan Harrison,
1994).
Pada hasil

pengamatan

diperoleh peningkatan amonium dari 0,282

ppm menjadi 0,487 ppm. Peningkatan amonium ini masih layak sesuai dengan
pendapat Hartomo dan Widiatmoko (1994) menyatakan bahwa kadar amonium
yang masih layak untuk organisme laut adalah 0,5 ppm.
h. Intensitas Cahaya
Intenitas cahaya berperan penting dalam mengontrol proses reproduksi
rumput laut (Hoffman, 1987). Intensitas cahaya berpengaruh terhadap proses
fotosintesis alga, dimana dari proses fotosintesis akan dihasilkan energi yang
antara lain digunakan untuk pengembangan organ reproduksi. Hal ini didukung
oleh pendapat Dring (1971), yang menyatakan bahwa reproduksi spora akan
meningkat dengan meningkatnya intensitas cahaya pada batas-batas tertentu,
tetapi intensitas cahaya yang terlalu tinggi justru akan menghambat reproduksi
spora.
Pada hasil pengamatan diperoleh kisaran intensitas cahaya antara 364 552 Lux. Kisaran ini masih sesuai standar spektrum yang dapat digunakan untuk
proses fotosintesis yaitu antara 380 720 nm (Dring,1971).

44

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian Pengaruh Salinitas
Berbeda Pada Pelepasan

dan Perkembangan Spora Kappaphycus alvarezii

Varietas Cokelat, maka disimpulkan :


1. Semakin rendah atau tingginya salinitas akan berpengaruh langsung
terhadap perkembangan spora pada K. alavarezii.
2. Salinitas 30 ppt adalah kondisi optimal untuk perkembangan spora lebih
cepat menjadi planlet dan mampu berkembang menjadi tallus muda
dengan percabangan yang lebih lengkap.
B. Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian Pengaruh Salinitas
Berbeda Pada Pelepasan

dan Perkembangan Spora Kappaphycus alvarezii

Varietas Cokelat, disarankan :


1. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya volume air di dalam wadah
penelitian dapat dipertahankan.
2. Untuk produksi benih rumput laut K. alvarezii yang berasal dari spora
sebaiknya menggunakan salinitas 30 ppt untuk merangsang pelepasan
spora.

45

DAFTAR PUSTAKA
AB, Susanto, 2003. Mengembangkan Corporate Social Responsibility di
Indonesia, Jurnal Reformasi Ekonomi, Volume No. 1 Hal 8, Jakarta
Anggadiredja, J. T, A. Zatnika, H. Purwoto dan S. Istini. 2006. Rumput Laut,
Pembudidayaan, Pengelolaan dan Pemasaran Komoditas Perikanan
Potensial. Seri Agribisnis. Penebar Swadaya. Jakarta.
Angka, S.L dan SuHartono, M.T. 2000. BIOTEKNOLOGI Hasil Laut. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir Dan Lautan. IPB. Bogor.
Anonim. 1990. Petunjuk Teknik Budidaya Rumput Laut. Departemen Pertanian
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan bekerja
sama dengan International
Development Research Center melalui Proyek Indonesia Fisheries
Information System (INFIS) Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.
Anonim. 2009. Siklus Hidup Rumput Laut Kappaphycus alvarezii. Diakses
melalui http://dc437.4shared.com/doc/w3FUweH1/preview.html, pada
tanggal 27 Februari 2014.
Arifin dan R. Syamsuddin . 2007. Pembibitan Rumput Laut dengan Metode
Persporaan. Hasil Penelitian. Belum Dipublikasikan
Ask, I. E dan R. V. Azanza. 2002. Advances In Cultivation Technology Of
Commercial Eucheumatoid Species: A Review With Suggestions For
Future Research. Journal of Aquaculture 206; 257-277. Elsevier Science.
Aslan, L. M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta.
Aslan. 2003. Budidaya, PengolaHan dan Pemasaran Rumput Laut. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Asmawi, 1986. Pemeliharaan Ikan dalam Keramba. PT. Gramedia
Aspari, D.N.S. 2009. Pengaruh Media Kultur Berbeda Terhadap Thallus Rumput
Laut Kappaphycus alvarezii Secara Outdoor. Skripsi. Jurusan Perikanan.
Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Atmadja, W. S. Kadi, A. Sulistijo, Satari, R. 1996. Pengenalan Jenis-jenis Rumput
Laut Indonesia. Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta.
Atmadja, S.W., Kadi, A. dan Sulistijo, Rahmaniar, S. 1996. Pengenalan Jenisjenis Rumput Laut di Indonesia. Jakarta.
Basmal, Dj. 2006. Industri Hidropolysakarida Berbasis Rumput Laut. Makalah
Disampaikan pada Forum Rumput Laut Revitalisasi UsaHa Budidaya
Rumput Laut yang Berkelanjutan dan Apresiasi Penguatan Modal, Bali
25-27 April.

Bold, H. C., and M. J. Wynne. 1985. Introduction to The Algae; Structure and
Reproduction. 2nd ed. Prentice Hall, INC., Engelwood Clift, N.J.07632.
Boyd, C. E. 1982. Water Quality Management in Pond for Aquaculture.
Experiment Station Auburm University. Alabama
Chen, T.P, 1976. Aquaculture Practices in Taiwan. Fisheries New Books
Limited England.
Choy, B. C. K., Tennassee, L. M., dan Eijkemnas, G. J. M., 2001. Developing
Regional Workplace Health and Hazard Surveillance in The Americas.
Pan Am J Pub Health (10): 376-381.
Dahuri, R; J. Rais; SP Ginting; dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara tepat. PT. Pradnya Paramita.
Jakarta.
Dawes, J.C. 1981. Marine Botany. A Wiley Intercience Publication John Wiley
and Sons. New York.
Doty, M. S. 1985. Eucheuma alvarezii, sp-now. (Gigartinales, Rhodophyceae)
from Malaysia. In Taxonomy of Economic Seaweed with Reference to
Some Pacific and Carribean Species, edited by J. A. Abbot and J. Norris
La Jolla, California, California Sea Grant College Program.
Doty, M. S. 1987. The Production and Use of Eucheuma In Case Studies of
Seven Commercial Seaweed Research. In Doty, M. S., Caddy, J. F. and
Santillices B (Ed) FAO Techinical Paper No.281. Rome.
Dring, M. J., 1971. Light Quality and Photimorphogenesis of Algae in Marine
Environment. In 14th European Marine Biology Symposium Cris D. J.
(Editor), Cambridge University Press. 375-392.
Effendi, H. 2000. Telahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan sumberdaya dan
Lingkungan Perairan.
Jurusan Manajemen sumberdaya Perairan,
Faperikan, IPB. Bogor
Fatanah, N. 1995. Pertumbuhan Eksplan Kappaphycus alvarezii Doty secara in
vitro dengan Perlakuan Intensitas Cahaya yang berbeda. Fakultas Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
Fortes, E.T.G., 1981. Introduction to the Seaweeds. Their CHaracteristic and
Economic Importance. Report on the Training Course on Gracilaris Algae
the Marine Sciences. University of the Philippines. South China Sea
Fisheries Development and Coordinating Programe. Manila Philippines.
Glenn, E. P. and M. S. Doty. 1981. Photosynthesis and Respiration of The
Tropical Red Seaweed. Eucheuma striatum (Tambalang and Elkhorn
varieties) and E. Denticulatum. Aquat.Bot., 10:353-64.
Gurgel dan Fredericq. 2004. Common red algal families in the vicinity of Bocas
del Toro: Gracilariacea. Lecture 2.
Hartomo dan Widiatmoko. 1994. Teknologi Membran. Yogyakarta: Andi offset.

Hayashi, L., E. J. de Paula, and F. Chow. 2007. Growth Rate and Carrageenan
Analyses in Four Strains of Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta,
Gigartinales) Farmed in The Subtropical Waters of Sao Paulo State,
Brazil. J. of Applied Phycology. Volume 19, Number 5. Springer
Netherland.
Hoffman, A. J. 1987, The Arrival of Seaweed Propagulus at The Shore : A
Review. Botanica Marina. 30 : 151-165.
Hutabarat, S. dan Evans. 1984. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia.
Jakarta.
Indriani, H. dan Suminarsih. 2003. Budidaya Pengelolaan dan Pemasaran
Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta. 65 Hal.
Kadi A. Dan Atmaja WS. 1988. Rumput Laut (Algae). Jenis, Reproduksi,
Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. Proyek Studi Potensi Sumberdaya
Alam Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI
Jakarta. 71 Hal.
Lewis SM, JN Norris and RB Searkes, 1987. The Regulation of Morphological
Plasticity on Tropical Reef Algae by Herbivor, ecology 68 pp.
Lingga, P., 1999. Hidroponik Bercocok Tanam Tanpa Tanah. Penebar Swadaya.
Jakarta. Hal 33-37.
Lobban, Ch. S and P.J. Harrison. 1994. Seaweed Ecology and Physiology.
Cambridge Univ. Press. 366 pp.
Luning, K. 1990. Seaweed; Their Environment, Biogeography and
Ecophysiology. Editor: Charles Yarish. University of Connecticut
Stamford, Connecticut. John Willey and Sons. Inc.
Malingkas. R, 2002. Perbanyakan Benih Rumput LautGracilaria verrucosa
Melalui Kultur Jaringan In Vitro pada Berbagai Media Kultur Serta
Aplikasinya. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Mohr, H dan Schopfer. 1995. Plant Physioloogy. Springer-Verlag
Murashige, T. 1977. Clonal Crops Through Tissue Culture and Biotecnologycal
Application. Springer Verlag. Berlin. pp 392-403.
Nurdin, F., 1997. Teknik Budidaya Rumput Laut Alga Merah (Gelidium sp)
dengan Metode Spora. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.
Ujung Pandang.
Papalia. S. 1997. Pengaruh konsentrasi fitohormon auksin dan lama waktu
perendaman terhadap laju pertumbuhan dan mutu rumput laut Eucuheuma
cottonii. Program Pasca Sarjana. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Rabanal, S. R; R. Azanza and A. Hurtado -Ponce, 1997. Laboratory Manipulation

of Gracilariopsis baillinae Zhang et Xia (Gracilariales, Rhodophyta). Bot.


Mar. 40:547-352.
Raikar, S. V., M. Lima, dan Y. Fujita. 2001. Effect of Temperature, Salinity and
Light Intensity on the growth of Gracilaria spp. (Gracilariales;
Rhodophyta), from japan, Malaysia and India, Indian J. Mar. Sci., 30 : 98104
Rasyid, C. 2001. Studi Parameter Fisika dan Kimia Oseanografi Perairan
Tanjung Ketapang - Tanjung Labellang untuk Areal Budidaya Rumput
Laut di Kecamatan Mallusetasi Kabupaten Barru. Skripsi Jurusan Ilmu
Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Makassar
Santoso, U. dan F. Nursandi. 2001. Kultur Jaringan Tanaman. UMM Press.
Malang. Hal 182
SEAPlant.Net initiatiye IFC-PENSA. 2006. Kualitas Rumput Laut dan
Dampaknya di Pasar Karaginan Indonesia. Makalah Disampaikan pada
Forum Revitalisasi Usaha Budidaya Rumput Laut yang Berkelanjutan dan
Apresiasi Penguatan Modal, Bali 25-27 April.
Setiyono, H. 1996. Kamus Oseanografi. Universitas Gajah Mada Press.
Yogyakarta.
Silva PC, Bassaon PW and Moe RL. 1996. Cataloque of the Benthic Marine
Algae of the Indian Ocean. Univ. Of California Press.
Soegiarto, A. 1998. Rumput Laut (algae); Manfaat, Potensi dan Usaha
Budidayanya. Lembaga Oseanologi National. LIPI. Jakarta Utara.
Soegiarto, A., Sulistijo, dan W.S. Atmadja. 1996. Pertumbuhan Alga Laut
Eucheuma spinosum pada Berbagai Kedalaman. Oseanologi di
Indonesia. Jakarta II:40-45
Strickland dan Parson. 1968. A. Partical Handbook of Seawater Analysis. 2nd ed.
Fish. Res. Bd. Canada Bull.167, 310 pp [4. 7. 1, 5. 2, 6.3}.
Sudjiharno, 2001. Teknologi Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Juknis Seri 8.
Departemen Kelautan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
Laut. Lampung.
Sukadi, F., E. Kusnendar, Mulyana, A. Surono, A. Ahda, E. Danakusumah,
Sulistijo, J. Basmal, I. Effendi, A. Zatnika, I. Ismanadji, N. Runtuboy, M.
Suitha, R. Yunaidar, I.B. Santoso, I. Batubara, Setiawan, N. Kurnia,
Taufik, A.B. Jindan, C. Marhel dan Saunin. 2005. Profil Rumput Laut
Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan
dan Perikanan. Jakarta.
Sulu, R., L. Kumar, C. Hay, T. Pickering. 2003. Kappaphycus Seaweed in The
Pacifik: Review of Introduction and Field Testing Proposed Quarantine
Protocols. The Intitute of Marine Resources. The University of The South
Pacific

Susanto, A. B. And R. Pramesti. 2001. Carpospore liberation of Gracilaria gigas


Harvey from Lombok, Indonesia. Proceeding ISSM-ISTEC.
Syamsuddin, R. M. Syamsuddin, dan Rustam. 2009.
Pengaruh Beberapa
Parameter Kunci Kualitas air Terhadap Pelepasan Spora K. Alvarezii.
Laporan Penelitian Stranas, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Hasanuddin.
Syamsuddin, R. 2008. Recent Progress on Seaweed Research at South
Sulawesi. Makalah dalam Komperensi Rumput Laut Nasional. Hotel
Clarion, Makassar. DKP.
Tampi, H. M. 1995. Pengaruh Warna Cahaya Terhadap Laju Pertumbuhan dan
Kandungan Agar Gelidium rigidium (Vahl) gravilte pada Wadah
Terkontrol. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Thana, D., Andarias, I, dan Karim, Y., 1995. Produksi Berat Kering dan
Kandungan Agar Rumput Laut (Gracilaria verrucosa) Yang
Dibudidayakan di Laut dan di Tambak Dengan Metode Apung, Lepas
Dasar, dan Dasar. Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Peternakan dan
Perikanan. Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
Van den Hoek, C., D.G. Mann and H. M. Jahn. 1995. Algae. An Introduction to
Phycology. Cambridge University. pp 49-51.
Wagey, B. 1996. The Effect of Phosporous and Nitrogen Contents, and N: P on
Carragenan an Production in the Red Algae Chondrus crispus
Stackhouse (Rhodophyceae, Gigartinales). Thesis. University of New
Brunswick. Saint John.
Wiadnya, R. G. D. 1997. Analisis Laboratorium Tanah dan Air Badan Referensi
Analisis pada Laboratorium Kualitas Air. Fakultas Pascasarjana. Jurusan
PTA. Universitas Brawijaya. Malang
Winarno, F. G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Sinar Harapan.
Jakarta. 105 Hal.
Wood, W.F., 1989. Photoadaptive responses of the tropical red alga Eucheuma
striatum Schmitz (Gigartinales) to ultra-violet radiation. Aquat. Bot. 33,
41 51.
Xiong. L dan Zhu. J. K. 2002. Molecular and genetic aspects of plant responses
to osmotic stress. Plant cell Environ. 25 : 131-139.
Yamauchi, K. 1973. Nippon Suisan Gakkaishi, 39(5):489-496.
Zertuche-Gonzalez, J.A., 1988. In situ life history, growth and carrageenan
cHaracteristics of Eucheuma uncinatum (Setchell dan Gardner) Dawson
from the Gulf of California. PhD dissertation, SUNYat Stony Brook, Stony
Brook, New York, 162 pp.

Anda mungkin juga menyukai