Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah


Matematika merupakan bidang ilmu yang paling mendasar dan memiliki keterkaitan

yang erat dengan kehidupan sehari-hari maupun disiplin ilmu lainnya sehingga pada akhirnya
belajar untuk memecahkan masalah menjadi tujuan utama dalam pembelajaran matematika
(Patton et al dalam Daneshamooz dan Alamolhodaei, 2012). Berdasarkan tujuannya,
pemecahan masalah telah dijadikan komponen penting dalam kurikulum pembelajaran
matematika di berbagai negara, termasuk Indonesia. Hanya saja, pengembangannya itu
sendiri merupakan tugas yang kompleks karena membutuhkan serangkaian kemampuan dan
disposisi (Stacey, 2005). Untuk itu maka pengajaran matematika sebaiknya didesain dengan
tujuan supaya siwa merasakan/mengalami pengalaman matematika sebagai pemecahan
masalah.
Namun demikian, fakta dilapangan memperlihatkan bahwa sebagian siswa hanya
melihat matematika sebagai mata pelajaran yang berisi angka, rumus dan perhitungan saja
sehingga seringkali dianggap sebagai mata pelajaran yang menakutkan dan susah. Menurut
penuturan beberapa siswa SMK di Sumedang, mendengar nama matematika disebutkan saja
sudah mampu membuat para siswa tersebut merasa cemas, gelisah, takut dan mengalami
berbagai perasaan negatif lainnya. Sebagai akibatnya, mereka merasa lebih baik menghindari
mata pelajaran matematika. Hal ini didukung oleh beberapa hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa tingginya kecemasan matematika dapat mengakibatkan penghindaran
terhadap matematika serta menyebabkan rendahnya kompetensi dan prestasi belajar
matematika maupun secara keseluruhan (Ashcraft dan Kirk, 2002; Balbase, 2013; Kumar dan
Karimi, 2010). Adanya perilaku penghindaran sebagai refleksi dari rasa cemas yang terlalu
tinggi menyebabkan siswa kurang mampu melihat manfaat dari yang dapat ditawarkan
matematika dalam kehidupan sehari-harinya serta keterkaitannya dengan bidang ilmu yang
lain. Oleh karena itu, kecemasan yang dialami siswa terhadap matematika tidak dapat
diabaikan begitu saja karena berkecenderungan membuat siswa menutup diri dari matematika
sehingga dapat mengakibatkan tidak tergalinya beberapa kemampuan dan keterampilan yang
mungkin ada di dalam diri siswa.
Salah satu kemampuan siswa yang dapat dikembangkan dalam matematika adalah
kemampuan pemecahan masalah matematika. Pemecahan masalah merupakan aktivitas

kognitif yang kompleks yang melibatkan kemampuan seseorang dalam mengkoordinasikan


pengalaman sebelumnya, pengetahuan matematika, pemahaman dan intuisi, dalam rangka
memenuhi tuntutan situasi baru (Kaur, 1997:95). Namun demikian kecemasan matematika
dapat timbul pada saat siswa kurang percaya diri terhadap kemampuannya dalam
memecahkan masalah matematika yang bersifat non rutin, atau karena kurangnya
pengalaman siswa dalam menghadapi pemecahan masalah heuristik (Joseph, 2005:80). Hal
ini memperlihatan bahwa siswa terbiasa memecahkan masalah dengan meniru contoh soal
yang ada di buku yang di dalamnya tidak memuat contoh solusi yang salah atau alternatif
solusi yang lain dari permasalahan yang sama.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian diperoleh informasi bahwa kecemasan
matematika memiliki hubungan yang negatif dengan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa (Joseph, 2005; Daneshmooz et, al., 2012; Rajan dan Gunendra, 2013).
Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di Indonesia sendiri pun
diperlihatkan pada hasil studi TIMSS bahwa siswa Indonesia berada pada peringkat yang
rendah dalam kemampuan: 1) memahami informasi yang kompleks, 2) teori, analisis, dan
pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan pemecahan masalah, dan (4)
melakukan investigasi. Hasil tersebut dapat dijadikan sebagai informasi, yang apabila dilihat
dari isi materi tes yang diujikan, siswa di Indonesia kurang mampu menyelesaikan
permasalahan matematika yang bersifat tidak rutin dibandingkan dengan negara lain. Hal ini
memperlihatkan perlu adanya kajian lebih lanjut tentang kecemasan matematika dan
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
Kajian yang akan penulis lakukan dalam makalah ini merupakan kajian literatur
berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya serta teori-teori yang berhubungan dengan
kecemasan matematika dan pemecahan masalah matematika. Diharapkan dengan adanya
kajian ini, penulis dapat menggambarkan lebih detail tentang kecemasan matematika dan
kemampuan pemecahan masalah matematik siswa serta dapat menyajikan beberapa alternatif
solusi untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dan
mengurangi tingkat kecemasan matematika siswa.
B.

Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka

penulisan makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan kajian tentang kecemasan


matematika dan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa, serta alternatif solusi

dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik dan mengurangi kecemasan


matematika siswa.
C.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan makalah ini terbagi kedalam tiga bagian, yaitu:


1. Bab 1 berisi tentang latar belakang masalah, tujuan dan sistematika penulisan.
2. Bab 2 berisi tinjauan pustaka terhadap kecemasan matematika, kemampuan
pemecahan masalah matematis, dan alternatif solusi.
3. Bab 3 berisi kesimpulan.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.

KECEMASAN MATEMATIKA
Kecemasan merupakan kondisi psikologis yang dialami seseorang atas sesuatu yang

tidak pasti. Rasa cemas ini akan semakin memburuk manakala ketidakpastian yang dialami
individu tersebut dirasakan terus menerus dan tidak tertangani. Gangguan kecemasan tersebut
merupakan sejumlah gangguan mental yang ditandai dengan beberapa kombinasi seperti rasa

cemas yang berlebihan, rasa takut, penghindaran, dan pola kompulsif, yang diasosiasikan
dengan gangguan fungsi atau rasa stres (Swinson et, al., 2006).
Pada dasarnya kecemasan terbagi menjadi dua kategori, yaitu kecemasan sebagai
suatu sifat (trait anxiety) dan kecemasan sebagai suatu keadaan (state anxiey) (Erdogan et,
al., 2011). Kecemasan sebagai suatu sifat (trait anxiety) merupakan kecenderungan seseorang
untuk merasa terancam oleh sejumlah situasi yang sebenarnya tidak berbahaya. Sedangkan
kecemasan sebagai keadaan (state anxiety) merupakan kondisi emosional atau keadaan
sementara pada diri seseorang yang ditandai dengan perasaan tegang dan kekhawatiran yang
dirasakan secara sadar serta bersifat subjektif, artinya hanya terjadi apabila berhubungan
dengan situasi tertentu. Oleh karenanya, rasa cemas berlebihan yang dialami siswa pada saat
menghadapi matematika dapat disebut sebagai kecemasan matematika dan dikategorikan ke
dalam state anxiety. Sehingga kecemasan matematika merupakan perasaan cemas terhadap
situasi yang berhubungan dengan matematika yang dianggap dapat mengancam kepercayaan
dirinya (Balbase, 2013:223). Adapun bentuk ancaman tersebut dimaksudkan sebagai
perasaan tegang, khawatir, atau takut yang dapat mengganggu kinerja matematika (Ashcraft
dan Kirk, 2002:181).
Kecemasan matematika merupakan outcome dari rendahnya rasa percaya diri dan
rasa takut akan kegagalan (Kumar dan Karimi, 2010:148) sehingga kecemasan matematika
yang tinggi seringkali muncul dalam diri siswa pada saat siswa merasa tidak mampu dan
tidak bisa mempelajari materi matematika serta mengerjakan soal-soal matematika. Sebagai
contoh, rasa cemas biasanya terjadi ketika mereka ditunjuk untuk menjawab pertanyaan yang
diajukan. Dalam hal ini, mereka takut memberikan jawaban yang salah atau dianggap aneh
karena tidak mengetahui cara menyelesaikan permasalahan tersebut. Selain itu, rasa cemas
juga dapat terjadi pada saat siswa mengalami kesulitan dengan materi tertentu namun tidak
berani mengajukan pertanyaan karena takut pertanyaan yang mereka ajukan dianggap kurang
berbobot. Efek negatif dari rasa cemas yang berlebih tersebut dapat menyebabkan adanya
kecenderungan berhenti berusaha sehingga pada akhirnya siswa akan berkutat dengan
kebingungannya sendiri tanpa disertai proses penyelesaian masalahnya.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian (Finlayson, 2014; Buckley, 2013; Rajan dan
Gunendra, 2013, Wicaksono, 2013, dan Xinbing Lou et al., 2009) disebutkan bahwa
penyebab timbulnya kecemasan matematika dikarenakan adanya mitos tentang matematika
yang digambarkan sebagai mata pelajaran yang menakutkan dan susah, rendahnya rasa

percaya diri siswa, tingginya rasa takut gagal, gaya/metode pembelajaran yang kurang
memadai, kurangnya pengetahuan (tingkat intelegensi) siswa, kurangnya keterlibatan siswa
dalam proses pembelajaran, kurangnya ketertarikan siswa, serta ekspektasi orang tua yang
tidak realistik. Hal ini memperlihatkan bahwa kecemasan matematika yang dialami siswa
dapat disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik.
Kecemasan matematika dapat terjadi pada setiap individu (tidak mengenal usia) dan
di berbagai tempat (tidak hanya di sekolah). Seperti yang diuraikan oleh Beilock dalam
artikelnya (2004), bahwa kecemasan terhadap matematika
Selain itu, kecemasan matematika juga tidak hanya terjadi pada saat siswa berada di
sekolah saja. Erdogan et al (2011:646) mengindikasikan kecemasan matematika kedalam
tiga dimensi, yaitu: (1) kecemasan terhadap ujian matematika, (2) kecemasan terhadap
perhitungan, dan (3) kecemasan terhadap abstraksi. Sementara itu, Anita (2014:127) dalam
penelitiannya mengukur kecemasan matematika siswa melalui: (1) kecemasan terhadap
pembelajaran matematika, (2) kecemasan terhadap tes atau ujian matematika, dan (3)
kecemasan terhadap tugas dan perhitungan numerical matematika. Sedangkan Hunt et al
(2011:462) mengkategorikan kecemasan matematika yang dialami siswa berdasarkan: (1)
kecemasan terhadap evaluasi matematika, (2) kecemasan terhadap matematika yang dialami
dalam kehidupan sehari-hari/sosial, dan (3) maths observation anxiety. Setiap kecemasan
matematika yang dirasakan siswa pada masing-masing dimensi, diukur menggunakan skala
Likert berdasarkan indikator tidak mengalami kecemasan sama sekali, sedikit cemas,
lumayan cemas, sangat cemas, hingga sangat cemas sekali.
Kecemasan matematika yang dialami siswa tidak selamanya bersifat buruk bagi
siswa. Apabila kecemasan tersebut melahirkan pemikiran progresif siswa, maka kecemasan
tersebut dapat menguntungkan siswa karena memberikan motivasi yang tinggi untuk
menyelesaikan atau memecahkan permasalahan matematika walaupun selama proses
pemecahannya terdapat kesulitan-kesulitan tertentu. Namun jika kecemasan matematika yang
dialami siswa tersebut berlebih sehingga melahirkan pemikiran regresif, maka kecemasan
tersebut dapat merugikan siswa karena seringkali berakhir pada kecenderungan untuk pergi
atau menghilangkan masalah matematika dengan cara menghidarinya dan menerimanya
sebagai hal yang negatif (Belbase, 2013:232). Penghindaran yang dilakukan oleh siswa
terhadap matematika cenderung menjadikan siswa menutup diri terhadap berbagai hal yang
berhubungan dengan matematika. Selain itu, tingginya kecemasan matematika yang dialami

siswa dapat menyebabkan rendahnya motivasi berprestasi siswa (Erdogan et al, 2011).
Adapun rendahnya prestasi belajar matematika siswa disebabkan oleh sulitnya siswa dalam
memproses informasi selanjutnya serta menggunakan informasi sebelumnya untuk
memecahkan masalah matematika. Oleh karena itu, kecemasan matematika yang dialami
siswa merupakan salah satu kondisi yang harus dikenali guru selama proses pembelajaran
karena dapat menjadi penghalang bagi siswa dalam meningkatkan dan mengembangkan
potensi dan kemampuan yang dimilikinya dalam matematika.

PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA


Pemecahan masalah merupakan proses dalam menghadapi situasi yang baru,
merumuskan koneksi antara fakta-fakta yang diberikan, mengidentifikasi tujuan, dan
mengeksplor berbagai strategi yang memungkinkan untuk meraih tujuan (Szetela dan Nicole,
1992:42). Pemecahan masalah merupakan suatu aktivitas kognitif yang kompleks yang
melibatkan kemampuan seseorang dalam mengkoordinasi pengalaman sebelumnya,
pengetahuan matematika, pemahaman dan intuisi, dalam rangka memenuhi tuntutan situasi
baru (Kaur, 1997:95). Untuk dapat membangun kemampuan pemecahan masalah matematika
secara efektif, maka seseorang perlu menghubungkan tuntutan tugas dalam pemecahan
masalah ke dalam proses kognitif yang terlibat (Wu dan Adams, 2006:94). Proses
membangun hubungan dan keterkaitan antara konsep yang terkandung dalam setiap topik
matematika ke dalam situasi yang baru merupakan hal yang terpenting dalam aktivitas
pemecahan masalah. Menurut Rajan dan Gunendra (2013), kemampuan pemecahan masalah
seperti kendaraan bagi siswa untuk membangun ide-idenya sendiri, meningkatkan berpikir
logis, mentransfer kemampuan ke dalam situasi yang tidak dikenal dan bertanggung jawab
terhadap pengembangan pembelajaran masing-masing.
Seorang siswa dikatakan memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis
apabila mampu mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah, mampu
membuat model matematis dari suatu situasi/masalah sehari-hari dan menyelesaikannya,
mampu memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika atau di
luar matematika, mampu menjelaskan/menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan semula
dan memeriksa kebenaran hasil atau jawaban, serta mampu menerapkan matematika secara
bermakna (Sumamrmo, 2004).

Padangan seseorang terhadap suatu masalah sebagai masalah merupakan hal yang
relatif. Seseorang dapat menganggap suatu soal sebagai masalah, namun sebagian orang
mungkin melihatnya sebagai hal yang rutin belaka. Oleh karena itu, masalah dalam
matematika berangkat dari adanya kemauan untuk menjawab pertanyaan yang diberikan,
namun karena belum diketahui langkah-langkah untuk memecahkan masakah tersebut maka
terdapat beberapa kesulitan dalam menyelesaikannya. Kesulitan inilah yang menjadi
tantangan dan pemicu siswa untuk melakukan kegiatan eksplorasi dari pengetahuan yang
dimiliki yang dapat menuntunnya menjawab pertanyaan tersebut. Kegiatan mengeksplorasi
tersebut merupakan langkah pemecahan masalah (Nuralam, 2009: 144). Menurut NCTM
(2010) kriteria masalah yang dapat dijadikan masalah dalam problem solving diantaranya:
(1) masalah yang diberikan harus menjadikan matematika berguna dalam menyelesaikan
permasalahan tersebut, (2) masalah yang diberikan harus mampu melibatkan kemampuan
berpikir tingkat tinggi dan pemecahan masalah, (3) berkontribusi terhadap pengembangan
konseptual siswa, (4) menyediakan kesempatan bagi guru untuk menilai apa yang dipelajari
dan mengidentifikasi letak kesulitan siswa, (5) dapat diselesaikan menggunakan beberapa
cara dengan beberapa strategi yang berbeda, (6) memiliki beberapa solusi atau
memungkinkan siswa untuk mengambil keputusan atau pola pandang tertentu, (7) mendorong
siswa untuk terlibat dan berkomunikasi, (8) berkaitan dengan ide-ide matematika lainnya, (9)
memerlukan kemampuan matematika lainnya, dan (10) menyediakan kesempatan bagi siswa
untuk melatih kemampuan penting lainnya. Kriteria-kriteria tersebut dapat dijadikan guru
sebagai panduan dalam memposisikan pemecahan masalah sebagai hal utama dalam
pengajarannya di kelas. Sementara itu terdapat empat langkah dalam memecahkan masalah
(Polya, 1973) diantaranya adalah memahami masalah, merencanakan pemecahannya,
melaksanakan rencana, dan memeriksa kembali kebenaran dari solusi yang telah ditemukan.

ALTERNATIF SOLUSI
Pada bagian sebelumnya telah diungkapkan bahwa terdapat hubungan yang negatif
antara kecemasan matematika dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
Tingginya rasa cemas yang dialami siswa menyebabkan siswa mengalami kesulitan pada saat
menghubungkan informasi (materi) yang dia miliki sebelumnya dengan informasi (materi)
yang sedang maupun yang akan dia pelajari dalam memecahkan masalah matematika.
Kebiasaan siswa belajar dengan sekedar menghafalkan rumus matematika menyebabkan

siswa merasa cemas pada saat dilatih untuk meninggalkan kebiasaannya dan mengantinya
dengan belajar memahami dan memaknai konsep dan rumus matematika serta lebih banyak
melakukan latihan soal. Namun demikian proses tersebut membutuhkan waktu untuk siswa
beradaptasi sehingga menimbulkan kecemasan matematis yang tinggi (Anita, 2014:131).
Untuk mengurangi kecemasan matematis siswa maka guru harus mampu mendorong
siswa untuk berani mengambil resiko, menekankan pentingnya berlatih, menggunakan
strategis pembelajaran tidak langsung, guru tidak terlalu cepat dalam menyajikan materi, dan
melibatan siswa dalam pembelajaran (Finlayson, 2014:107). Selain itu, untuk mengurangi
kecemasan matematika siswa pada saat memecahkan masalah matematika maka
pembelajaran harus ditekankan pada pemecahan masalah yang berhubungan dengan aktivitas
kehidupan sehari-hari, pembelajaran ditekankan pada pemahaman konseptual daripada
hafalan, dan membentuk diskusi kelompok (Rajan dan Gunendar, 2013).
Sementara itu, untuk mengontrol kecemasan matematika siswa sehingga dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa maka pembelajaran dapat dilakukan
menggunakan cooperative learning (Daneshmaooz et, al., 2012). Hal ini terjadi karena dalam
cooperative learning siswa belajar secara aktif dan rasa percaya diri mereka juga meningkat.
Selain itu, pembelajaran tersebut memberikan pemahaman kepada siswa bahwa kesalahan
yang mereka buat pada saat menyelesaikan permasalahan matematika dapat merupakan
kesalahan teman sekelompoknya dan hal itu dapat mengurangi kecemasan matematika yang
dialaminya sehingga selanjutnya mereka akan mencoba memperbaiki kesalahannya secara
bersama-sama. Dilain sisi, siswa yang mengalami kecemasan yang tinggi dapat
meningkatkan hasil belajar matematikanya dengan menggunakan strategi pembelajaran
problem based learning (Rusmono, 2011:64). Melalui PBL, siswa lebih banyak terlibat
secara aktif dalam proses pembelajran, berlatih memecahkan masalah melalui diskusi dan
mengakses informasi dari sumber belajar. Sedangkan untuk mengatasi kecemasan
matematika yang disebabkan rendahnya kemampuan kognitif sisaw maka pembelajaran dapat
dilakukan dengan menggunakan bantuan teknologi (Ye Sun dan Pyzdrowski, 2009:4).
Penggunaan teknologi tersebut termasuk pada penggunan software komputer dan aplikasi
internet. Penggunaan teknologi software dapat membimbing siswa dalam meningkatkan
kognitif dengan memperkuat kemampuan dasar dan konsep siswa. Sedangkan penggunaan
papan diskusi online memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar secara kooperatif dan
mengekspresikan perasaan mereka. Penggunan teknologi seperti ini tidak hanya akan

memperkuat kognitif siswa namun juga dapat mengurangi faktor eksternal dari kecemasan
matematika. Hal ini disebabkan pengunaan internet memberikan kesempatan bagi siswa
untuk mengakses berbagai informasi dengan cepat serta menyediakan pemahaman lebih
dalam dan berbagai strategi dalam pemecahan masalah matematika, serta bisa mendapatkan
umpan balik dengan cepat. Adanya menu virtual manipulatives website menyediakan web
berbasis manipulasi untuk menyajikan matematika secara konkrit dan siswa dapat belajar
sesuai dengan kecepatan yang mereka inginkan. Berbagai situs internet yang menyediakan
manipulasi virtual dan aktivitas hands-on, serta menu diskusi tersebut dapat diakses oleh
siswa, guru, dan orang tua siswa sehingga selain dapat meningkatkan kognitif siswa, hal ini
juga mengurangi kecemasan guru atau orang tua dan pada akhirnya dapat menghilangkan
faktor eksternal yang berkontribusi terhadap kecemasan matematika siswa.
Berdasarkan pemaparan di atas maka proses pembelajaran yang dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa serta mengurangi tingkat kecemasan
matematis siswa memerlukan suatu aktivitas pembelajaran yang melibatkan suasana belajar
secara kooperatif, berbasis masalah, dan juga melibatkan penggunaan teknologi. Salah satu
metode pembelajaran yang dapat mengkolaborasikan ketiga aktivitas tersebut adalah metode
pembelajaran flipped classroom. Flipped classroom merupakan teknik pembelajaran yang
terdiri dari aktifitas belajar kelompok interaktif di dalam kelas (interactive group learning),
dan pembelajaran individu secara langsung berbasis komputer (Bishop, 2013:6). Dalam
flipped classroom, siswa mempelajari materi/konsep baru secara online dengan cara melihat
video pembelajaran yang dapat dilakukan di rumah atau ditempat lain, sementara pengerjaan
tugas/pekerjaan rumah (PR) berupa soal-soal yang ditugaskan dilakukan di kelas dan guru
menyediakan bimbingan dan interaksi yang lebih personal kepada siswa (Syam, 2014:181).
Keuntungan dari membalikkan situasi belajar dalam metode flipped classroom adalah
memberikan kesempatan bagi guru untuk menggunakan waktunya selama proses
pembelajaran bersama siswa dalam lingkungan belajar yang lebih konsisten melalui interaksi
siswa dengan guru, serta siswa dengan siswa secara interaktif dibandingkan hanya diam
mendengarkan ceramah guru. Dalam metode ini, siswa dapat langsung mendapatkan
feedback secara instan dan mengurangi rasa frustasi belajar (Berret dalam Schreus,
2013:2472).
Secara umum guru mengelola dua kelas dalam pembelajaran menggunakan metode
flipped casssroom, yaitu kelas virtual yang bersifat online dan kelas tatap muka di sekolah.

Segala sesuatu yang bersifat online seperti materi, tugas, maupun quiz digunakan sebagai alat
bantu siswa untuk mencapai target yang diinginkan karena dapat dilakukan secara individual
maupun berkelompok bahkan dapat ditemani oleh salah satu anggota keluarga dimanapun
dan kapanpun. Dengan demikian siswa dapat mempelajari materi pelajaran dalam kondisi dan
suasana yang nyaman sesuai dengan kemampuannya menerima materi. Siswa yang
berkemampuan tinggi dapat belajar dengan cepat sementara siswa dengan kemampuan
rendah dapat mengulang materi pelajaran (video) sesuka hati mereka hingga paham.
Sementara dalam kelas tatap muka di sekolah dapat dimanfaatkan guru untuk memfokuskan
siswa dalam memahami materi dengan menyediakan berbagai permasalahan matematika
secara berkelompok melalui aktivitas yang interaktif. Dengan memadukan PBL dan
cooperative learning, siswa akan memiliki kesempatan penuh untuk mengerjakan tugas/soal
dengan didampingi oleh guru serta termotivasi untuk berkolaborasi, berbagi ide dan projek
bersama temannya. Guru juga dapat memastian bahwa setiap siswa telah memahami konsepkonsep/materi yang disampaikan sebelum pindah ke materi berikutnya.
Namun demikian terdapat beberapa permasalahan dalam menerapkan metode
flipped classroom pada pembelajaran matematika,yaitu sebagian siswa mungkin merasa tidak
nyaman karena mengharuskan mereka mempelajari materi di rumah dibandingkan disajikan
terlebih dahulu oleh guru di kelas. Akibatnya siswa mungkin datang ke kelas tanpa adanya
persiapan apapun sehingga tidak dapat berpartisipasi dalam pembelajaran dengan maksimal.
Kemudian materi online (video, quiz dan lain sebagainya) harus benar-benar dirancang oleh
guru sehingga dapat digunakan siswa untuk mempersiapkan dirinya dalam menghadapi
aktivitas di dalam kelas (sekolah) (Herreid dan Schiller, 2013:63). Pembuatan video harus
berdurasi kurang lebih antara 10 hingga 20 menit karena dapat menyebabkan kebosanan pada
siswa apabila durasi video terlalu lama. Selain itu juga harus dibuat semenarik mungkin
dengan menyediakan berbagai aktivitas virtual.
Untuk meminimalisir kemungkinan siswa datang ke kelas tanpa adanya persiapan,
maka guru dapat menyediakan beberapa kuis yang terintegrasi di dalam video dan harus
diselesaikan siswa sebelum datang ke kelas. Berikut ini ditampilkan screenshot dari salah
satu contoh kuis pada materi kalkulus yang dapat diberikan kepada siswa menggunakan
Moodle database (Johnson, 2013:8).

Gambar 1
Screenshot Quiz Menggunakan Moodle Database
Dengan memanfaatkan Moodle, soal kuis dapat diberikan dengan bentuk soal yang
berbeda namun memiliki materi yang sama. Di dalamnya juga terdapat opsi reattempts
(pilihan coba kembali) yang dapat dipilih menggunakan mouse apabila jawaban yang
diberikan salah. Hal ini menjadi suatu umpan balik yang efektif karena siswa dapat menilai
secara langsung hasil pekerjaan mereka saat itu juga. Kuis tersebut tidak digunakan sebagai
penilaian akhir namun hanya sebagai penilaian formatif saja sehinga pada akhirnya siswa
dapat melihat bahwa quiz tersebut merupakan alat bantu untuk lebih memahami materi yang
disajikan.
Sementara itu, pembuatan video yang berkualitas dapat dilakukan guru dengan
memanfaatkan beberapa sumber seperti Khan Academy dan BozemanScience. Atau membuat
video sendiri dengan menggunakan Camtasia, PaperShow, dan SHowMe atau beberapa
aplikasi di IPad seperti Educreations dan Explain Everyting. Setelah itu, guru dapat
memposting video melalui YouTube, iTunes U, dan Podcasts (Vodcasting) atau Blackboard
dan Moodle.

DAFTAR PUSTAKA

Anita, I. W. 2014. Pengaruh Kecemasan Matematika (Mathematics Anxiety) Terhadap


Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP. Infinity Jurnal Ilmiah Program Studi
Matematika STKIP Siliwangi Bandung 3(1): 125-132.
Ashcraft, M. H., dan E, Kirk. 2011. The Relationship Among Working Memory, Math
Anxiety, and Performance. Journal of Experimental Psychology, 130(2): 224-237.
Belbase, S. 2013. Images, Anxieties, and Attitudes toward Mathematics. International
Journal of Education in Mathematics, Science and Technology (IJEMST) I(4): 230237. http://ijemst.com/issues/1_4_2_Belbase.pdf. 27 September 2014 (14:38).
Bishop, J. L. (2013). A Controlled Study Of The Flipped Classroom With Numerical Methods
For Engineers. Dissertation Utah State University: Logan, Utah.
Buckley, S. 2013. Deconstructng Maths Anxiety: Helping Students To Develop a Positive
Attitude Towards Learning Maths. Australian Council for Educational Research: 1-3.
Daneshamooz, S., H, Alamolhodaei, dan S, Darvishian. 2012. Exprimental Research About
Effect of Mathematics Anxiety, Working Memory Capacity on Students Mathematical
Performance With Three Different Types of Learning Methods. Journal Of Science
and Technology 2(4): 313-321.
Erdogan, A., S, Kesici, dan I, Sahin. 2011. Prediction of High School Students Mathematics
Annxiety by Their Achievement Motivation and Social Comparison. Elementary
Education

Online

10(2):

646-651.

http://ilkogretim-

online.org.tr/vol10say2/v10s2m19.pdf. 27 September 2014 (14:40)


Finlayson, M. 2014. Addressing Math Anxiety in The Classroom: Improving Schools. SAGE
Journal Articles 17(1):99-115.
Hunt, T. E., D. C. Carter., dan D. Sheffield. 2011. The Development and Part-Validation of a
U.K Scale For Mathematics Anxiety. Journal of Psychoeducational Assessment,
29(5): 455-466.
Johnson, G,. B. (2013). Studen Perceptions of the Flipped Classroom. Tesis The University
Of British Columbia.

Joseph, Y. K. K. 2005. Anxiety and Performance On Mathematical Problem Solving Of


Secondary Two Students In Singapore. The Mathematics Educator 8(2): 71-83.
Kaur, B. 1997. Difficulties With Problem Solving In Mathematics. The Mathematics
Educator 2(1): 93-112.

NCTM. 2010. Why Is Teaching With Problem Solving Important to Student Learning?.
http://www.nctm.org/news/content.aspx?id=25713. 16 September 2014.
Nuralam. 2009. Pemecahan Masalah Sebagai Pendekatan dalam Belajar Matematika. Jurnal
Edukasi 5(1).
Rajan. dan G, Chandra. Math Anxiety: Poor Problem Solving Factor in School Mathematics.
International

Journal

of

Scientific

and

Research

Publications

3(4):1-5.

http://cvs.gnowledge.org/episteme3/pro_pdfs/27-tripathi.pdf. 16 September 2014.


Rusmono. 2011. Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Kecemasan Terhadap Hasil Belajar
Matematika.

Komunika

14(2):

57-67.

http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/file_artikel_abstrak/Isi_Artikel_4520603783
49.pdf. 27 September 2014.
Schreurs, J. (2013). Smart Teaching technologies used in blended e-Learning course
mathematics. Proceeding of ICERI2013 Conference. Saville, Spain.
Swinson, R. P. 2006. Management of Anxiety Disorder. The Canadian Journal of Psychiatry
51(2).
Syam, S, Mahmoud. (2014). Possibility of apllying flipping classroom method in
mathematics classes in foundation program at Qatar university. Proceedings of
SOCIONT14-International Conference on Social Sciences and Humanities. 8-10
September 2014, Istambul, Turkey.
Szetela, W, dan C. Nicol. 1992. Evaluating Problem Solving in Mathematics. Educational
Leadership: Cambridge University Press.

Whyte, J. dan G. Anthony. 2012. Math Anxiety: The Fear Factors in The Matematics
Classroom.

New

Zealand

Journal

of

Teachers

Work

http://www.teacherswork.ac.nz/journal/volume9_issue1/whyte.pdf.

9(1):
27

6-15.

September

2014.
Wicaksono, A. B. 2013. Mengelola Kecemasan Siswa dalam Pembelajaran Matematika.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, hal 89-94,
UNY, Yogyakarta, 9 November 2013.
Wu, M, dan R. Adams. 2006. Modelling Mathematics Problem Solving Item Responses
Using a Multidimensional IRT Model. Mathematis Education Research Journal
18(2): 93-113.
Xinbing Luo., F. Wang., dan Z. Luo. 2009. Investigation and Analysis of. Mathematics
Anxiety in Middle School. Students. Journal of Mathematics Educations 2(2): 12-19.
Ye Sun, dan L. Pyzdrowski. 2009. Using Technology as a Tool to Reduce Mathematics
Anxiety. The Journal of Human Resource and Adult Learning 5(2): 38-44.
http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:http://www.hraljournal.com/Page/5%2520Ye%2520Sun.pdf. 30 September
2014.
Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidkan Nasional

Anda mungkin juga menyukai