Anda di halaman 1dari 11

PSIKOLOGI BELAJAR MATEMATIKA

KECEMASAN DAN KECEMASAN MATEMATIKA

Nurhayani (18709251045)

Cinta Adi Kusumadewi (18709251059)

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2018
KECEMASAN DAN KECEMASAN MATEMATIKA

A. Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah suatu keadaan yang menggambarkan gangguan
psikologis dengan memiliki karakteristik berupa rasa takut, keprihatinan,
kekhawatiran yang berkepanjangan, dan rasa gugup terhadap sesuatu. Rasa cemas
memang biasa dihadapi semua orang. Namun, rasa cemas disebut gangguan
psikologis ketika rasa cemas menghalangi seseorang untuk menjalani kehidupan
sehari-hari dan menjalani kegiatan produktif. Gerald (2007:17) mengungkapkan
bahwa, “Kecemasan adalah semacam kegelisahan, kekhawatiran dan ketakutan
terhadap sesuatu yang tidak jelas. Pada prinsipnya, kecemasan itu penting untuk
meningkatkan motivasi dalam meraih suatu tujuan, namun yang menjadi
permasalahan adalah ketika kecemasan yang dialami oleh individu tersebut terlalu
tinggi akan bisa berdampak negatif”. Kecemasan atau anxiety merupakan salah satu
bentuk emosi individu yang berkenaan dengan adanya rasa terancam oleh sesuatu,
biasanya dengan objek ancaman yang tidak begitu jelas. Kecemasan dengan intensitas
yang wajar dapat dianggap memiliki nilai positif sebagai motivasi, tetapi apabila
intensitasnya sangat kuat dan bersifat negatif justru malah akan menimbulkan
kerugian dan dapat mengganggu terhadap keadaan fisik dan psikis individu yang
bersangkutan. Menurut Hartanti (1997:302) mengemukakan bahwa,“Kecemasan
adalah sesuatu kondisi kurang menyenangkan yang dialami oleh individu yang dapat
mempengaruhi keadaan fisiknya”. Menurut Nawangsari (2001:10) mengatakan
bahwa, “Kecemasan didefinisikan sebagai keadaan psikologis yang ditandai oleh
adanya tekanan, ketakutan, kegalauan dan ancaman yang berasal dari lingkungan”.
Menurut Sigmund (1993:203) mengatakan bahwa kecemasan dapat dibagi ke
dalam tiga tipe:
1. Kecemasan realistik, yaitu rasa takut terhadap ancaman atau bahaya nyata yang ada
di lingkungannya.
2. Kecemasan neurotik, yaitu rasa takut terhadap sesuatu yang bisa membuatnya
dihukum. Kecemasan neurotik berkembang berdasarkan pengalaman yang
diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari
orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas, jika dia melakukan perbuatan
impulsif.
3. Kecemasan moral, yaitu rasa takut terhadap suara hati (super ego). Orang-orang
yang memiliki super ego yang baik cenderung merasa bersalah atau malu jika mereka
berbuat atau berfikir sesuatu yang bertentangan dengan moral. Sama halnya dengan
kecemasan neurotik, kecemasan moral juga berkembang berdasarkan pengalaman
yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman
dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas jika dia melakukan
perbuatan yang melanggar norma.
Selanjutnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Gerald (2007:19) bahwa
kecemasan yang tidak dapat ditanggulangi dengan tindakan-tindakan yang efektif
disebut traumatik. Freud (1949) dinyatakan dalam istilah agak lebih umum bahwa
kecemasan tidak menyenangkan, berhubungan dengan emosi takut, dan individu
secara sadar merasakan itu. Sullivan (1949) menjelaskan perbedaan antara ketakutan
dan kecemasan. Untuk Sullivan, kecemasan adalah refleksi dari internal ketegangan,
sementara ketakutan adalah sebuah mekanisme untuk menghadapi bahaya eksternal
dan mungkin lebih realistis.
B. Kecemasan Matematika (Math Anxiety)
Kecemasan matematika adalah perasaan cemas atau takut yang menimbulkan
ketidak-tenteraman hati dalam hubungan dengan kegiatan-kegiatan matematika,
misalnya kegiatan belajar-mengajar matematika, atau rasa cemas dalam mengikuti tes
matematika.
Freedman (2001, dalam Johnson, 2003:5) mendefinisikan kecemasan
matematika sebagai "an emotional reaction to mathematics based on past unpleasant
experience which harms future learning". Jadi kecemasan matematika merupakan
reaksi emosional siswa berdasarkan pengalaman tidak menyenangkan sebelumnya,
yang mengganggu proses belajar selanjutnya. Jika sebelumnya siswa memeperoleh
hasil belajar yang baik maka kemungkinan ia terhindar dari rasa cemas yang
berlebihan. Sebaliknya jika sebelumnya siswa memperoleh hasil belajar yang buruk,
maka kemungkinan besar pada usaha belajar matematika selanjutnya ia mengalami
tingkat kecemasan yang besar.
Kecemasan matematika bisa menjadi fenomena umum dan menjadi hambatan
dalam usaha belajar matematika. Kecemasan matematika bisa diikuti sikap
menghindari matematika, yang menimbulkan math-phobia, yakni suatu penyakit
mental dimana penderitanya takut pada matematika sebelum dia mencoba melakukan
matematika. Dapat juga dikatakan bahwa kecemasan matematika adalah "perasaan
tegang dan takut yang mengganggu kinerja matematika seorang siswa"
Kecemasan matematika berkaitan dengan perasaan dan sikap negatif tentang
matematika. Kecemasan ini dapat melanda manusia segala umur, mulai dari SD
hingga perguruan tinggi. Dapat diduga bahwa dalam pembelajaran matematika,
adanya kecemasan matematika dapat mengurangi kepercayaan diri dan motivasi
siswa. Sehingga siswa cenderung menghindari matematika. Pikiran-pikiran negatif
siswa menghantui diri mereka. Mereka cemas terhadap timbulnya konsekuensi buruk
dalam melakukan atau menyelesaikan masalah matematika,termasuk ujian/tes
matematika.
C. Faktor-Faktor yang Menimbulkan Kecemasan Matematika
Dapat diduga bahwa seara umum, kecemasan matematika disebabkan oleh dua
faktor utama yaitu faktor intern siswa dan faktor ekstern. Faktor intern berhubungan
dengan tingkat inteligensi, disiplin belajar/disiplin diri, dan persepsi siswa terhadap
matematika. Faktor ekstern bisa berasal dari guru, masyarakat/lingkungan dan
kebijakan sekolah.
Beberapa hal yang secara teoritis diduga sebagai faktor penyebab timbulnya
kecemasan matematika dijelaskan sebagai berikut:
1. Sifat matematika yang abstrak.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan lain, matematika tidak mempelajari objek-objek
yang secara langsung dapat ditangkap oleh indera manusia. Substansi matematika
adalah benda-benda pikir yang bersifat abstrak. Walaupun pada awalnya matematika
lahir dari hasil pengamatan empiris terhadap benda-benda konkret (geometri), namun
dalam perkembangannya matematika lebih memasuki dunianya yang abstrak.
2. Belajar matematika lebih mengandalkan penalaran dan logika daripada sekedar
pengamatan indra
Objek kajian matematika adalah fakta, konsep, operasi dan prinsip yang kesemuanya
itu berperan dalam membentuk proses berpikir matematis, dengan salah satu cirinya
adalah adanya alur penalaran yang logis. Jika dibandingkan dengan mata pelajaran
lain, matematika relatif dianggap lebih sulit, karena dibutuhkan kemampuan berpikir
tinggi dalam mempelajarinya.
3. Persepsi siswa dan persepsi masyarakat bahwa matematika itu sulit
Persepsi umum bahwa matematika itu ilmu paling sulit, telah mengkooptasi pikiran
sebagian anak. Siswa yang sedang belajar matematika ikut menilai bahwa matematika
itu sulit. Karena lebih dahulu menganggap sulit, maka siswa mengalami apa yang
disebut menyerah sebelum mencoba. Pandangan bahwa matematika merupakan ilmu
yang kering, abstrak, teoritis, banyak rumus yang sulit dan membingungkan, yang
didasarkan atas pengalaman kurang menyenangkan ketika belajar matematika di
sekolah, telah membangun persepsi negatif pada diri siswa. Hal ini telah membangun
rasa takut dan memicu sikap menghindar dari matematika. Jika siswa memiliki
persepsi yang positif terhadap matematika maka kemungkinan tingkat kecemasannya
kecil. Sebaliknya jika siswa menganggap matematika terlalu sulit, maka ia akan takut
dan cemas pada matematika.
4. Tingkat inteligensi siswa
Siswa dengan tingkat inteligensi bagus akan mudah memahami materi matematika
atau mudah mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan matematika. Siswa
seperti ini cenderung tidak cemas terhadap matematika.
Sebaliknya, jika tingkat inteligensi siswa rendah, maka ada kemungkinan ia sulit
memahami materi matematika dan sulit melakukan sesuatu yang berhubungan dengan
matematika. Siswa seperti ini akan cemas dengan matematika.
5. Disiplin belajar/disiplin diri
Jika siswa disiplin dalam belajar, maka ia akan melakukan belajar secara kontinu dan
teratur. Kebiasaan ini membuat siswa mudah menguasai materi matematika dan ia
tidak akan terlalu cemas.
6. Kekeliruan metode pembelajaran dan sikap guru
Ada fenomena umum bahwa pembelajaran matematika didominasi oleh guru. Guru
menjelaskan materi pelajaran dan membahas contoh soal. Kemudian memberikan
soal latihan kepada siswa. Pembelajarn seperti ini tentu kurang bermakna, dan
membuat siswa cenderung mengikuti contoh saja. Siswa menjadi manja dan
pikirannya tidak berkembang, siswa tidak mendapat kesempatan mengeksplorasi dan
mengekspresikan kemampuannya. Jika menemukan soal yang lebih sulit, maka siswa
merasa tertekan. Pembelajaran matematika tidak menjadi kesempatan untuk melatih
olah pikir, melainkan matematika dipahami dengan cara menghafal. Kadang-kadang
jika siswa tidak mampu mengerjakan soal, maka guru marah dan memberikan
punishment kepada siswa. Tindakan ini justru menambah ketakutan siswa terhadap
matematika. Siswa akan cemas untuk mengikuti pembelajaran matematika
selanjutnya.
Secara psikologis, desain pembelajaran sebenarnya merupakan bentuk intervensi
terencana. Intervensi ini bertujuan positif, yakni upaya mengubah perilaku, pikiran,
atau perasaan siswa dalam belajar. Dalam belajar, terjadi interaksi sosial dua arah
atau multi arah, sehingga pembelajaran selaku intervensi berfungsi sebagai support,
karena merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengubah perilaku atau
keadaan sosial dengan sengaja menuju tujuan yang dikehendaki. Guru mendesain
inervensi secara professional, namun kadang-kadang guru tidak dapat melepaskan
diri dari ego sebagai manusia, yang bisa menuntun dia untuk bertindak sesuai
kehendaknya.
7. Tuntutan untuk mendapatkan nilai yang baik
Adalah kebiasaan umum bahwa guru dan orang tua menghendaki siswa memperoleh
prestasi belajar yang baik. Jika siswa mendapat nilai rendah, ia dimarahi atau diolok.
Ini mengakibatkan siswa merasa tertekan dan menganggap dirinya bodoh. Tanpa
disadari, hal ini menjadi beban atas diri siswa. Siswa akan cenderung berorientasi
pada hasil atau nilai yang tinggi dalam matematika, dengan tujuan asal bapak senang,
terhindar dari hukuman dan olokan. Siswa mengabaikan proses belajar.
Dalam hal ini siswa bisa saja mengandalkan segala cara untuk memperoleh nilai,
misalnya dengan menyontek, mengutip pekerjaan teman, tidak peduli apakah
pekerjaan tersebut benar atau salah. Siswa mengalami paranoia yakni siswa berpikir
bahwa semua orang tahu jawaban dari soal matematika kecuali dirinya. Meskipun
nilai yang diperoleh baik, tapi pengetahuan yang dikuasainya sangat minim, karena
secara konseptual memang sebenarnya anak tidak belajar, tidak paham materi yang
dipelajari.
Syah (2012:184-185) menjelaskan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi
kesulitan belajar yang dapat menimbulkan kecemasan, yaitu:
1. Faktor Internal Siswa,
Faktor internal meliputi gangguan atau ketidakmampuan psiko-fisik siswa yang dapat
bersifat kognitif (rendahnya intelektual/ inteligensi siswa), afektif (labilnya emosi dan
sikap), dan psikomotor (terganggunya alat indera siswa).
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar siswa
(lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah);
3. Kejenuhan Belajar
Kejenuhan belajar yaitu rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi
tidak mendatangkan hasil (Reber dalam Syah, 2012).
4. Kelelahan
Kelelahan dapat menjadi faktor pemicu kecemasan matematika karena siswa tidak
dapat melanjutkan proses belajarnya yang sudah pada batas kemampuan
jasmaniahnya.
Kusumawati and Nayazik (2017) mengungkapkan bahwa kecemasan telah
diteliti pada siswa SD, SMP, SMA bahkan Perguruan tinggi. Menurut hasil penelitian
Olaniyan dan Medinat F. Salman dalam (Anditya 2016), siswa yang terindikasi
kecemasan matematika akan berpendapat bahwa matematika itu sulit untuk dipelajari,
siswa tidak menyukai matematika, menolak mengerjakan tugas matematika, bahkan
sampai membolos pada saat jam mata pelajaran matematika. Faradiba (2016)
mengungkapkan, kecemasan matematika merupakan salah satu faktor psikologis yang
menentukan keberhasilan seseorang dalam belajar matematika pada setiap jenjang
usia. Menurut hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada 128
mahasiswa di salah satu universitas di Malang, peneliti menemukan mahasiswa
dengan berbagai karakteristik yang mengarah pada kecemasan matematika.
Di kelas, guru selaku pendidik profesional, sedapat mungkin memegang prinsip
‘tidak satu orang siswa pun ditinggalkan’, walaupun sangat sulit untuk
mengakomodir semua kebutuhan bimbingan sesuai kondisi internal siswa. Guru
perlu mengetahui tingkat kecemasan siswa, tetapi bukan untuk membuat perlakuan
diskriminasi dalam pembelajaran. Informasi tingkat kecemasan yang diperoleh
dijadikan modal untuk menyiapkan tindakan meminimalisir hambatan pembelajaran
secara keseluruhan.
Mendukung penjelasan faktor-faktor penyebab kecemasan matematika di atas,
Erick Jensen (2008:197) menyarankan guru untuk menghindari tindakan-tindakan
berikut: (1) membandingkan siswa yang satu dengan siswa yang lain, (2) mengajar
untuk mengerjakan ujian, (3) mengkhawatirkan peringkat sekolahnya, (4) membuat
diferensiasi dalam pembelajaran dengan dalil memenuhi kebutuhan semua siswa, (5)
melayani tuntutan orang tua yang ingin kebutuhan anak mereka terpenuhi, dan (6)
berusaha menyenangkan hati yayasan sekolah yang menginginkan nilai tes yang lebih
tinggi.
D. Indikator Kecemasan Matematika
Ada beberapa komponen reaksi menurut Barlow (Tisngati & Meifinai, 2014)
yaitu: 1) komponen emosional subjektif; 2) komponen kognitif; 3) reaksi psikologis;
4) tanggapan berupa perilaku. Berikut indikator angket kecemasan matematika.
Tabel Indikator Kecemasan Matematika
No Aspek Indikator
1. Komponen Perasaan takut pada sesuatu yang akan terjadi
emosional objektif Perasaan tegang pada sesuatu yang akan terjadi
Takut/khawatir saat mendapat tugas
2. Komponen kognitif Berfikir negatif terhadap dirinya sendiri
Lupa dengan apa yang telah dipelajari
Hasil belajar yang tidak memuaskan
3. Reaksi psikologis Jantung berdebar-debar atau gemetar
Stress terhadap kondisi tertentu
Mulas atau sering buang air kecil
4. Tanggapan berupa Menghindari situasi tertentu
perilaku Ingin keluar dari kelas
Konsentrasi mudah terganggu

E. Kiat Mengurangi Kecemasan Matematika


Freedman (2006) memberikan sepuluh kiat mengurangi kecemasan matematika bila
terjadi pada peserta didik, yaitu:

1. Mengatasi kesan diri negatif terhadap matematika.


2. Mengajukan pertanyaan, artinya seorang peserta didik harus membiasakan diri
untuk mengajukan pertanyaan bila mengalami kesulitan.
3. Mengingat bahwa matematika adalah pengetahuan yang asing (baru), oleh
karena itu peserta didik harus berani mencoba memahami matematika.
4. Jangan semata-mata mengandalkan memori sendiri dalam belajar.
5. Membaca buku teks matematika dengan baik, artinya bila seseorang peserta
didik menemui masalah dalam belajar matematika maka disarankan untuk
membaca ulang lagi buku teks matematika dan tidak terbatas pada satu buku
teks saja.
6. Mempelajari matematika dengan menggunakan cara belajar sendiri.
7. Mencari bantuan bila menemukan materi yang tidak dipahami.
8. Menciptakan keadaan rileks dan rasa senang ketika belajar matematika.
9. Mengatakan “saya cinta matematika”.
10. Mengembangkan rasa tanggung jawab bila mendapat kesuksesan dan
kegagalan.
DAFTAR PUSTAKA

Anditya, Rifin. 2016. “Faktor-Faktor Penyebab Kecemasan Matematika.” Jurnal


Artikel Publikasi: 1–18.
Faradiba, Surya Sari. 2016. “Jurnal Pendidikan Matematika.” 2(1978): 166–71.
Kusumawati, Ratih, and Akhmad Nayazik. 2017. “Kecemasan Matematika Siswa
Sma Berdasarkan Gender.” Journal of Medives 1(2): 92–99. http://e-
journal.ikip-veteran.ac.id/index.php/matematika.
Skemp, R.R. 1987. Psychology of Learning Mathematics.Expanded American
Edition.
New Jersey: Lawrence Erlbaum associates Publishers
Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dacey, J. &Kenny, M. 2000.Adolesence development Secondedition. United States of
America: Times Mirror Higher Education Group Inc.
Freeman. 2006. Mathematical Anxiety. [Online]
Hartanti& Judith E.D. 1997. Hubungan antara konsep diri dan kecemasan
menghadapi masa depan dengan penyesuaian social anak-anak Madura
Psikologi Pendidikan. Anima: Jakarta.
Johnson, D. (2003). Math Anxiety.Literature Review.
Nawangsari, N.A.F. 2001.Pengaruh Self-Efficacy & Expectancy-Value
Terhadap Kecemasan Menghadapi Pelajaran Matematika. Bandung: Insan.
Syah, M. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Tisngati, Urip & Meifiani, Nely Indra. 2014. Studi Terhadap Pola Asuh Orang Tua,
Kecemasan, dan Kepercayaan Diri. Yogyakarta: Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai