Anda di halaman 1dari 13

PENGARUH KECEMASAN MATEMATIKA TERHADAP

KEMAMPUAN BELAJAR MATEMATIKA SISWA

Fajri Elang Giriansyah1, Aris Firmansyah2

Program Studi Pendidikan Matematika

FKIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

e-mail : fajrielang00@gmail.com

ABSTRAK

Kecemasan Matematika merupakan salah satu tantangan yang


dihadapi dalam pembelajaran matematika. Kecemasan Matematika
ini disebabkan oleh berkembangnya pandangan negatif tentang
Matematika. Pandangan ini biasanya menghantui para siswa yang
mengakibatkan timbulnya rasa takut terhadap pelajaran Matematika.
Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab terhambatnya
kemampuan belajar Matematika pada siswa. Guru memiliki peranan
penting dalam mengatasi kecemasan Matematika yang dialami oleh
siswa guna menunjang perkembangan kemampuan belajar
Matematika.

Penelitian ini menggunakan metode studi literatur. Penelitian ini


bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh kecemasan Matematika
terhadap perkembangan kemampuan belajar Matematika pada siswa.
Pengambilan data dilakukan dengan mencari sumber-sumber
penelitian yang telah dilakukan yang berkaitan dengan kecemasan
Matematika. Hasil yang diperoleh yaitu terdapat pengaruh kecemasan
Matematika yang mempengaruhi kemampuan belajar dan prestasi
belajar siswa di bidang Matematika.

Kata kunci: Kecemasan Matematika, Kemampuan Matematis.

PENDAHULUAN

Matematika merupakan disiplin ilmu yang mendasari berbagai


disiplin ilmu lainnya. Matematika dijuluki sebagai Queen of Science.
Matematika memiliki peran dalam mengembangkan disiplin ilmu
lainnya seperti fisika, kimia, ekonomi, komputer, dll. Matematika
merupakan salah satu cabang ilmu sains yang sangat dibutuhkan
untuk kehidupan manusia. Matematika memiliki peran yang sangat
penting dalam menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi saat ini. Sujono (Abdul Halim Fathani, 2009:19)
mengemukakan bahwa Matematika merupakan ilmu pengetahuan
tentang penalaran yang logis dan sebagai ilmu bantu dalam
menginterpretasikan berbagai ide dan kesimpulan. Matematika
merupakan ilmu yang sangat penting dalam menyelesaikan
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

Matematika merupakan mata pelajaran wajib yang dipelajari


sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Muliawan (2012:
51) mengatakan bahwa Matematika yang dipelajari disekolah
termasuk ilmu pengetahuan murni yang mengandalkan angka-angka,
simbol, dan lambang. Matematika yang diajarkan di sekolah lebih
menekankan kepada operasi hitung, pengunaan tabel, diagram,
grafik, simbol-simbol matematika dan media belajar lainnya untuk
memecahkan masalah di dalam soal matematika. Tujuan afektif
belajar matematika di sekolah menurut Depdiknas (2006:8), adalah
sikap kritis, cermat, obyektif, dan terbuka, menghargai keindahan
matematika, serta rasa ingin tahu dan senang belajar matematika.
sikap positif terhadap matematika (positive attitudes toward
mathematics Adapun tujuan pembelajaran matematika yang
dirumuskan oleh National Council of Teacher of Mathematics (2000)
yaitu: (1) belajar untuk berkomunikasi (mathematical comminication),
(2) belajar untuk bernalar (mathematical reasoning), (3) belajar untuk
memecahkan masalah (mathematical problem solving), (4) belajar
untuk mengaitkan ide (mathematical connections), (5) pembentukan).

Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pembelajaran


Matematika di era disruptif yaitu rendahnya kemampuan matematis.
Salah satu faktor penyebab dari rendahnya kemampuan matematis
peserta didik di Indonesia adalah pandangan negatif peserta didik
terhadap matematika. Matematika dianggap sebagai pelajaran yang
sulit, karena karakteristik matematika yang bersifat abstrak, logis,
sistematis dan penuh dengan lambang serta rumus yang
membingungkan.

Ruseffendi (2006: 156) mengemukakan bahwa terdapat banyak


peserta didik yang setelah belajar matematika, tidak mampu
memahami bahkan pada bagian yang paling sederhana sekalipun,
banyak konsep yang dipahami secara keliru sehingga matematika
dianggap sebagai ilmu yang sukar, ruwet, dan sulit. Abdurrahman
(1999: 252) menyatakan bahwa matematika merupakan bidang studi
yang dianggap paling sulit dari berbagai bidang studi yang diajarkan
di sekolah bagi para siswa, baik bagi mereka yang tidak berkesulitan
belajar maupun bagi siswa yang berkesulitan belajar. Surya (2005)
beranggapan bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang
sulit sudah melekat pada sebagian besar siswa, sehingga pada saat
menghadapi pelajaran matematika siswa menjadi malas untuk
berpikir. Matematika sudah menjadi momok bagi siswa dan memiliki
image negatif di masyarakat. Hal-hal tersebut yang akan memicu
pikiran negatif siswa terhadap matematika.

Menurut Yusof dan Tall (Nurhanurawati dan Sutiarso, 2008),


sikap negatif terhadap matematika biasanya muncul ketika peserta
didik mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal atau ketika
ujian, jika kondisi ini terjadi secara berulang-ulang maka sikap negatif
tersebut akan berubah menjadi kecemasan matematika. Alamijaya
(2012) menyatakan bahwa kecemasan yang terjadi disebabkan oleh
banyaknya rumus matematika yang harus diingat, dan peserta didik
khawatir ketika sampai di dalam kelas nanti soal-soal yang keluar
justru berasal dari rumus yang lupa diingat.

Isu negatif tentang Matematika ini jika dibiarkan terus menerus


akan menyebabkan siswa menjadi takut, gelisah dan panik dalam
menghadapi pelajaran matematika. Siswa akan cenderung
menghindar ketika menghadapi situasi dimana mereka harus
berhadapan dengan pelajaran matematika. Kecemasan yang dihadapi
oleh siswa pada saat mempelajari matematika sering disebut sebagai
kecemasan matematika (Mathematics Anxiety).

Dusek (1980) menyatakan bahwa Kecemasan adalah suatu


perasaan atau keadaan emosional yang tidak menyenangkan, yang
secara alami disertai dengan berbagai fenomena psikologis dan
fenomena perilaku, dan dialami dalam pengetesan formal atau situasi
evaluatif lainnya. Adapun Kecemasan menurut Depkes RI (1990)
adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul
karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.
Kecemasan masing-masing siswa berbeda, sesuai dengan kesukaan
dan kecenderungan siswa terahdap mata pelajaran tertentu.

Menurut Pangaribuan (2001: 36), kecemasan akan timbul jika


individu menghadapi situasi yang dianggapnya mengancam dan
menekan, misalnya apabila seseorang ingin melaksanakan atau
melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan yang baru, maka tentu
orang tersebut akan merasa cemas dalam menghadapi pekerjaan
tersebut, apakah orang tersebut dapat melaksanakan atau
menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan hasil yang baik atau malah
justru sebaliknya. Faktanya masih banyak siswa yang menganggap
matematika adalah pelajaran yang sulit (Putra, 2015; Putra, 2017).
Hal ini diduga terjadi karena matematika bersifat abstrak dan harus
memahami konsep sehingga siswa merasa jenuh dan bosan dalam
belajar matematika.

Kecemasan matematika merupakan sebuah kondisi yang takut


dan khawatir terhadap pembelajaran matematika. Kecemasan
matematika muncul sebagai respon dari apa yang sedang dihadapi
dalam pembelajaran matematika. Ashcraft (2002: 1) mendefinisikan
kecemasan matematika sebagai perasaan ketegangan, cemas atau
ketakutan yang mengganggu kinerja matematika. Seseorang yang
mengalami kecemasan matematika cenderung untuk terus menerus
merasa khawatir akan keadaan yang buruk yang akan menimpa
dirinya atau diri orang lain yang dikenalnya dengan baik terutama
ketika menghadapi pelajaran matematika.

Luo, Wang, dan Luo (2009) berpendapat bahwa kecemasan


matematika merupakan sejenis penyakit. Secara khusus, kecemasan
matematika mengacu pada reaksi suasana hati yang tidak sehat,
yang terjadi ketika seseorang menghadapi persoalan matematika.
Siswa yang mengalami kecemasan terhadap matematika merasa
bahwa dirinya tidak mampu dan tidak bisa mempelajari materi
matematika dan mengerjakan soal-soal matematika. Perasaan cemas
yang berlebihan, apalagi yang sudah menjadi gangguan akan
menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.

Richardson dan Suinn (1972) menyatakan bahwa kecemasan


dalam matematika berpengaruh terhadap cara siswa dalam
menyelesaikan masalah matematika kontekstual dan akademik.
Senada dengan pendapat tersebut, Ashcraft (2002) berpendapat
bahwa kecemasan matematika sebagai perasaan ketegangan, cemas
atau ketakutan yang dapat menganggu kinerja dalam belajar
matematika. Selain itu, Blazer (2011) dan Ashcraft (2002) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa kecemasan dapat mengganggu
kinerja siswa yang berdampak pada berkurangnya kinerja ingatan dan
tidak dapat menggunakan informasi yang pernah diperoleh untuk
menyelesaikan tes yang sedang di hadapi. Kecemasan matematika
akan mempengaruhi prestasi belajar siswa di bidang matematika. Ma
(Zakaria & Nordin, 2007:27) menyatakan bahwa ada hubungan antara
kecemasan matematika dengan prestasi siswa dalam matematika.
Prestasi dan hasil belajar matematika siswa secara terperinci
dijabarkan dalam beberapa penguasaan kemampuan matematis
sesuai dengan jenjang pendidikan.

Kecemasan terhadap matematika tidak bisa dipandang sebagai


masalah yang sepele dalam dunia pendidikan. Jika masalah ini
dibiarkan terus menerus akan menyebabkan siswa tidak mampu dan
sulit untuk mempelajari konsep yang terdapat pada matematika,
mengurangi kepercayaan diri siswa, dan mengganggu kinerja berpikir
siswa dalam menyelesaikan masalah pada matematika. Dua hal
tersebut yang mengakibatkan terhambatnya siswa dalam menguasai
kemampuan matematis. Pada akhirnya, kecemasan matematika ini
akan mempengaruhi hasil dan prestasi belajar matematika siswa.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi literatur.


Peneliti mengumpulkan, menelaah dan menelusuri beberapa jurnal
yang berkaitan dengan kecemasan matematika. Hasil dari studi
literatur ini digunakan untuk menyelidiki seberapa besar pengaruh
kecemasan matematika terhadap kemampuan belajar matematika
pada siswa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gejala yang Dialami

Crow dan Crow (dalam Hartanti, 1997) mengemukakan bahwa


kecemasan adalah sesuatu kondisi kurang menyenangkan yang
dialami oleh individu yang dapat mempengaruhi keadaan fisiknya.
Menurut Rathus (dalam Nawangsari, 2001) kecemasan didefinisikan
sebagai keadaan psikologis yang ditandai oleh adanya tekanan,
ketakutan, kegalauan dan ancaman yang berasal dari lingkungan.
Selain itu menurut Drajad dalam (Setyowati, Budiyono, & Riyadi,
2013) kecemasan merupakan perasaan yang tidak menentu, panik,
takut tanpa mengetahui sesuatu yang ditakutkan dan tidak dapat
menghilangkan perasaan gelisah serta mencemaskan tersebut.
Menurut Dacey (dalam Anggraeni, tanpa tahun), dalam
mengenali gejala kecemasan dapat ditinjau melalui tiga komponen,
yaitu :

a. Komponen Psikologis : berupa kegelisahan, gugup, tegang, cemas,


rasa tidak aman, takut, cepat terkejut.

b. Komponen fisiologis : berupa jantung berdebar, keringat dingin


pada telapak tangan, tekanan darah meninggi (mudah emosi), respon
kulit terhadap aliran galvanis (sentuhan dari luar) berkurang, gerakan
peristaltik (gerakan berulang-ulang tanpa disadari) bertambah, gejala
somatik atau fisik (otot), gejala somatik atau fisik (sensorik), gejala
Respiratori (pernafasan), gejala Gastrointertinal (pencernaan), gejala
Urogenital (perkemihan dan kelamin).

c. Komponen Sosial : sebuah perilaku yang ditunjukkan oleh individu


di lingkungannya. Perilaku itu dapat berupa tingkah laku (sikap) dan
gangguan tidur.

Menurut Soehardjono (1988) kecemasan adalah manifestasi


dari gejala-gejala atau gangguan fisiologi seperti: gemetar, banyak
keringat, mual, sakit kepala, sering buang air, palpitasi (debaran atau
berdebar-debar). Luo, Wang, dan Luo (2009) gejala kecemasan adalah
ketika suasana hati tidak sehat yang menunjukkan reaksi seperti :
panik dan kehilangan akal, depresi, pasrah, gelisah, takut, dan
disertai dengan beberapa reaksi psikologi, seperti berkeringat pada
wajahnya, mengepalkan tangan, sakit, muntah, bibir kering, dan
pucat.

Arem (2010) memberikan gambaran tentang proses terjadi


kecemasan matematika. Proses tersebut disebut dengan math
anxiety circle (lingkaran kecemasan matematika). Math anxiety circle
memiliki lima tahap yang terdiri dari :

a. Tahap pertama adalah faktor penyebab. Faktor penyebab


kecemasan matematika diantaranya ialah embarrassments
(memalukan), negative life experiences associated with
learning math (pengalaman negatif yang berhubungan dengan
pembelajaran matematika), social pressures and expectations
(tekanan sosial dan harapan), desires to be perfect (keinginan
untuk menjadi sempurna), dan poor teaching methods (metode
pembelajaran yang buruk)
b. Tahap kedua berkaitan dengan pikiran negatif, yakni negative
thoughts about math (pikiran negatif tentang matematika),
negative thoughts about one’s own ability to do math (pikiran
negatif tentang kemampuan sendiri untuk melakukan sesuatu
tentang matematika), preoccupation with disliking math, self-
doubts and worry (keasyikan dengan tidak menyukai
matematika, keraguan diri, dan kekhawatiran).
c. Tahap ketiga berkaitan dengan kecemasan.
d. Tahap keempat berkaitan dengan respon fisik
e. Tahap kelima berkaitan dengan buruknya hasil belajar. Hasil
belajar yang buruk dapat menjadi penyebab adanya pikiran
negatif.

B. Faktor Penyebab

Trujillo & Hadfield (dalam Peker, 2009) mengatakan bahwa


penyebab kecemasan matematika dapat dikelompokkan menjadi tiga
kategori yaitu sebagai berikut :

1. Faktor kepribadian (psikologis atau emosional) : Misalnya perasaan


takut siswa akan kemampuan yang dimilikinya (self-efficacy belief),
kepercayaan diri yang rendah yang menyebabkan rendahnya nilai
harapan siswa (expectancy value), motivasi diri siswa yang rendah
dan sejarah emosional seperti pengalaman yang buruk saat
mengerjakan matematika di masa lalu atau disebut trauma
matematis.

2. Faktor lingkungan atau sosial : Misalnya suasana saat proses


belajar mengajar matematika di kelas yang tidak menyenangkan
diakibatkan oleh cara mengajar, model dan metode mengajar guru
matematika. Wahyudin (2020:21) mengatakan bahwa rasa takut dan
cemas terhadap matematika dan kurangnya pemahaman yang
dirasakan para guru matematika dapat terwariskan kepada para
siswanya. Faktor yang lain yaitu keluarga terutama orang tua siswa
yang terkadang memaksakan anak-anaknya untuk pandai dalam
matematika karena matematika dipandang sebagai sebuah ilmu yang
memiliki nilai prestise.

3. Faktor Intelektual : Faktor intelektual terdiri atas pengaruh yang


bersifat kognitif, yaitu lebih mengarah pada bakat dan tingkat
kecerdasan yang dimiliki siswa. Ashcraft & Kirk (dalam Johnson, 2003)
dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada korelasi antara
kecemasan matematika dan kemampuan verbal serta Intellegence
Quotient (IQ).
Kecemasan Matematika juga dapat disebabkan oleh kurangnya
kepercayaan diri pada siswa. Ketika siswa mendapat nilai yang jelek
saat ujian matematika, sedangkan tuntutan orang tua dan guru
terlalu berorientasi pada hasil saat belajar matematika,
mengakibatkan anak tertekan dan tidak percaya diri dengan
kemampuannya. Selain itu, persepsi masyarakat yang mengganggap
matematika adalah pelajaran yang sulit dan tidak menyenangkan.
Beberapa hal diatas akan menurunkan kepercayaan diri siswa dan
menimbulkan kecemasan matematika pada siswa.

Skemp dalam Wicaksono dan Saufi (1971: 129-131)


mengatakan salah satu sebab utama kecemasan siswa adalah
otoritas guru. Guru cenderung menerapkan metode menghafal (rote-
learning) dibandingkan dengan metode skema (scheme-learning).
Metode belajar rote-learning tidak efektif untuk diterapkan karena
beberapa hal yaitu :

1. Ilmu matematika yang dipelajari semakin maju dan kompleks yang


tidak mungkin dapat dihafalkan dengan memori yang dimiliki siswa.

2. Masalah yang terdapat pada matematika berbeda-beda dan tidak


dapat dipecahkan dengan ide matematika yang sama.

Oleh karena itu, pembelajaran berbasis pemahaman akan lebih


efektif untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika karena
pemahaman menghasilkan efek jangka panjang dibandingkan
hafalan. Selain itu, hafalan cenderung membebani memori/ingatan
siswa serta sulit membedakan antara anak yang cerdas dan anak
yang mau/dapat menghafal banyak proses dasar matematika dengan
baik dibanding berdasarkan pemahaman.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas, dapat disimpulkan


bahwa kecemasan matematika dapat muncul karena dipicu oleh
intelegensi siswa yang kurang dalam matematika, lingkungan dan
sosial saat belajar matematika, model pembelajaran yang digunakan,
kurangnya kemampuan matematis, dan kurangnya rasa percaya diri.

C. Penelitian terkait dengan Kecemasan Matematika

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu yang terkait


dengan kecemasan matematika dapat dijelaskan bahwa kecemasan
matematika dapat mempengaruhi kemampuan belajar matematika
siswa. Hasil penelitian Daneshamooz, Alamolhodaei, dan Darvishian
(2012) juga menunjukkan bahwa kecemasan matematika berkorelasi
negatif dengan kinerja matematika. Sejalan dengan itu, Hellum-
Alexander (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa
kecemasan matematika juga berpengaruh terhadap kemampuan
matematis dan termasuk di dalamnya adalah kemampuan
pemahaman matematis.

Arem (Zakaria, Zain, Ahmad, dan Erlina, 2012) menyatakan


bahwa peserta didik dengan kecemasan matematika yang tinggi
cenderung kurang percaya diri dalam memahami konsep matematis.
Hasil penelitian Zakaria, Zain, Ahmad, dan Erlina (2012) juga
menunjukkan bahwa peserta didik yang berprestasi memiliki tingkat
kecemasan matematika yang rendah, sedangkan peserta didik yang
kurang berprestasi memiliki kecemasan matematika yang tinggi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anita (2014),


diperoleh hasil bahwa kecemasan matematis dapat mempengaruhi
kemampuan koneksi matematis pada siswa. Penelitian yang dilakukan
oleh Auliya (2016) menyimpulkan bahwa kecemasan matematis
dapat mempengaruhi pemahaman matematis pada siswa. Adapun
Handayani (2016) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
kecemasan matematis dapat mempengaruhi pemahaman konsep
matematis pada siswa. Kurniawati dan Siswono (2014) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa kecemasan matematis dapat
mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

Permasalahan ini merupakan tantangan bagi pengajar


matematika agar mampu memecahkan masalah ini. Siswa yang
mengalami kecemasan matematika akan mengalami hambatan
dalam mengembangkan kemampuan matematis seperti :
pemahaman konsep, pemecahan masalah, koneksi, dll. Hal ini apabila
dibiarkan terus akan berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa.
Sehingga para pengajar matematika memerlukan solusi yang relevan
untuk menghilangkan kecemasan matematika pada siswa.
Kecemasan menjadi salah satu faktor yang mendominasi dalam
pembelajaran. Kecemasan dalam belajar sangat berpengaruh
terhadap proses belajar siswa, baik di sekolah, di lingkungan keluarga
maupun di pergaulan. Kecemasan dalam proses belajar di sekolah
menjadi hambatan yang serius ketika mempelajari mata pelajaran
tertentu.

D. Solusi untuk Mengatasi Kecemasan Matematika


Menurut Freedman (dalam Wicaksono dan Saufi, 2013) ada 10
cara untuk mengatasi kecemasan matematika (Ten Ways To Reduce
Math Anxiety), yaitu:

1. Overcome negative self-talk.

2. Ask questions.

3. Consider math as a foreign language — it must be practiced.

4. Don’t rely on memorization to study mathematics

5. READ your math text.

6. Study math according to YOUR LEARNING STYLE.

7. Get help the same day you don’t understand.

8. Be relaxed and comfortable while studying math.

9. “TALK” mathematics.

10. Develop responsibility for your own successes and failures.


(Freedman, 2012)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indriyani dan


Listiara (2006) diperoleh hasil bahwa metode pembelajaran Gotong
Royong (Cooperative Learning) mampu mengatasi kecemasan
matematis siswa. Adapun dari penelitian yang dilakukan oleh
Maharani, Supriadi, dan Widyastuti (2018) dapat disimpulkan bahwa
penggunaan media belajar berbasis kartun dapat mengurangi
kecemasan matematika pada siswa. Dari hasil penelitian diatas, dapat
disimpulkan bahwa perubahan metode belajar merupakan salah satu
solusi untuk menanggulangi kecemasan matematika pada siswa.

Upaya untuk meminimalisir kecemasan matematika pada siswa


antara lain :

1. Menumbuhkan rasa percaya diri kepada siswa, yakinkan kepada


siswa bahwa mereka bisa mempelajari matematika dengan
mudah.
2. Menghilangkan pikiran negatif tentang matematika dan
tunjukkan kontribusi matematika dalam kehidupan sehari-hari.
3. Menerapkan metode belajar berdasarkan pemahaman konsep
agar siswa dapat mencerna konsep matematika dengan mudah.
4. Menciptakan suasana yang nyaman dan menyenangkan saat
belajar matematika.
5. Menanamkan semangat dan motivasi kepada siswa agar mau
belajar matematika lebih giat lagi.
6. Memberikan latihan soal secara bertahap dimulai dari yang
mudah terlebih dahulu hingga ke tingkat yang sulit dan berikan
kepada siswa kesempatan untuk bertanya.

KESIMPULAN

Kecemasan Matematika memiliki pengaruh yang signifikan


terhadap kemampuan belajar Matematika pada siswa. Berdasarkan
penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Kecemasan
Matematika. Kecemasan Matematika menghambat perkembangan
kemampuan belajar Matematika seperti : pemahaman konsep
matematis, koneksi matematis, pemecahan masalah matematis, dll.
Jika kemampuan matematis pada siswa tidak berkembang, maka hal
tersebut akan mempengaruhi prestasi belajar Matematika siswa.

Siswa yang merasa cemas cenderung takut, panik dan tidak


memiliki ketertarikan dalam belajar matematika. Oleh karena itu,
guru perlu melakukan perubahan metode belajar Matematika di kelas
seperti : perubahan suasana belajar di kelas, penggunaan media
belajar seperti bahan ajar, aplikasi komputer, dll serta penerapan
pembelajaran berbasis skema (konsep) dan bukan menghafal. Hal
tersebut memberikan pengaruh yang cukup besar untuk mengurangi
kecemasan saat belajar Matematika. Apabila kecemasan matematika
pada siswa berkurang, maka kemampuan matematis pada siswa
dapat berkembang dan akan menunjang prestasi belajar Matematika
siswa.
DAFTAR PUSTAKA

Anita, I. W. (2014). Pengaruh Kecemasan Matematika (Mathematics


Anxiety) terhadap Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP. Infinity
Journal, 3(1), 125-132.

Ekawati, A. (2015). Pengaruh Kecemasan terhadap Hasil Belajar


Matematika siswa kelas VII SMPN 13 Banjarmasin. Math Didactic:
Jurnal Pendidikan Matematika, 1(3).

Wicaksono, A. B., & Saufi, M. (2013, November). Mengelola


Kecemasan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika. In Makalah
diseminarkan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika di jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, Yogyakarta
(Vol. 19).

Handayani, S. D. (2016). Pengaruh Konsep Diri dan Kecemasan Siswa


Terhadap Pemahaman Konsep Matematika. Formatif: Jurnal Ilmiah
Pendidikan MIPA, 6(1).

Solikah, M. (2012). Pengaruh Kecemasan Siswa pada Matematika dan


Motivasi Belajar terhadap Prestasi Belajar Matematika. MATHEdunesa,
1(1).

Indiyani, N. E., & Listiara, A. (2006). Efektivitas Metode Pembelajaran


Gotong Royong (Cooperative Learning) untuk Menurunkan
Kecemasan Siswa dalam Menghadapi Pelajaran Matematika (suatu
studi eksperimental pada siswa di SMP 26 Semarang). Jurnal Psikologi,
3(1), 10-28.

Maharani, M., Supriadi, N., & Widiyastuti, R. (2018). Media


Pembelajaran Matematika Berbasis Kartun untuk Menurunkan
Kecemasan Siswa. Desimal: Jurnal Matematika, 1(1), 101-106.

Dwi Kurniawati, Annisa. (2014). Pengaruh Kecemasan dan Self


Efficacy Siswa terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Materi
Segiempat Siswa Kelas VII MTs Negeri Ponorogo. MATHEdunesa, 3(2).

Marliani, N., & Hakim, A. R. (2015). Pengaruh Metode Belajar dan


Kecemasan Diri terhadap Hasil Belajar Matematika Peserta Didik.
JKPM (Jurnal Kajian Pendidikan Matematika), 1(1), 136-150.

Kusumawati, R., & Nayazik, A. (2017). Kecemasan Matematika Siswa


SMA Berdasarkan Gender. Journal of Medives: Journal of Mathematics
Education IKIP Veteran Semarang, 1(2), 92-99.
Auliya, R. N. (2016). Kecemasan Matematika dan Pemahaman
Matematis. Formatif: Jurnal Ilmiah Pendidikan MIPA, 6(1).

Susanto, H. P. (2016). Analisis Hubungan Kecemasan, Aktivitas, dan


Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar Matematika Siswa. Beta:
Jurnal Tadris Matematika, 9(2), 134-147.

Ulya, H., & Rahayu, R. (2017). Pembelajaran Etnomatematika untuk


Menurunkan Kecemasan Matematika. Jurnal Mercumatika: Jurnal
Penelitian Matematika dan Pendidikan Matematika, 2(1), 16-23.

Sapto, A. D., Suyitno, H., & Susilo, B. E. (2015). Keefektifan


Pembelajaran Strategi REACT dengan Model SSCS terhadap
Kemampuan Komunikasi Matematika dan Percaya Diri Siswa Kelas
VIII. Unnes Journal of Mathematics Education, 4(3).

Mardhiyanti, D., Ilma, R., & Kesumawati, N. (2013). Pengembangan


Soal Matematika Model PISA untuk Mengukur Kemampuan
Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan
Matematika, 5(1).

Anda mungkin juga menyukai