Anda di halaman 1dari 31

bab 6 bahan galian

126

BAB 6
BAHAN GALIAN

6.1. Umum
Selama melakukan pemetaan geologi di daerah penelitian, selain melakukan
pengukuran dan pengamatan terhadap aspek stratigrafi, struktur geologi maupun
geomorfologi, telah dilakukan pula pengamatan terhadap beberapa aspek geologi
terpakai berupa potensi serta sebaran endapan bahan galian. Sebagian besar
wilayah penelitian memiliki sumberdaya dengan jumlah dan luas sebaran yang
cukup beragam. Beberapa diantaranya tersebar di wilayah yang belum dapat
dijangkau dengan mudah, namun yang letaknya dekat dan mudah dijangkau serta
bernilai ekonomis telah dimanfaatkan secara tradisional dengan peralatan
seadanya, di beberapa tempat dijumpai pula endapan bahan galian tersebut telah
diusahakan dengan sistim penambangan yang lebih maju menggunakan alat gali
dan alat angkut mekanis.
Pada bagian geologi terpakai ini, bahan galian yang dimaksud di sini adalah
bahan galian yang secara umum sudah popular dan banyak dimanfaatkan di
sekitar lokasi penelitian untuk kebutuhan pembangunan konstruksi, dalam arti
bahan galian tersebut secara langsung telah dimanfaatkan oleh masyarakat di
sekitar daerah penelitian. Selain itu, keberadaan endapan mineral logam yang
banyak tersebar di daerah penelitian juga menjadi bagian dari informasi yang akan
dibahas di sini, namun pembahasannya dibatasi hanya pada genesa secara teoritis,
letak dan perkiran luas sebaran endapan mineral tersebut di lapangan.

126

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

127

6.2. Pengertian dan Klasifikasi


Pengertian bahan galian menurut Sudarno, 1980, adalah segala unsur kimia,
material, dan segala macam batuan, yang merupakan endapan alam, baik yang
berbentuk padat, cair maupun gas. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Bab 1 pasal 2
(point a) adalah unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam
batuan termasuk batu-batu mulia yang merupakan endapan alam.
Penggolongan bahan galian di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang
tersebut di atas, menyatakan bahwa bahan galian dibagi atas tiga golongan yaitu;
a.

Bahan galian strategis (Golongan A) adalah bahan galian yang


strategis terhadap pertahanan dan perekonomian Negara.

b.

Bahan galian vital (Golongan B) adalah bahan galian yang dapat


menjamin hajat hidup orang banyak.

c.

Bahan galian non strategis dan non vital (Golongan C) adalah


bahan galian yang tidak langsung mempengaruhi hajat hidup orang banyak
baik sifat maupun jumlahnya.
Pada pembahasan selanjutnya, bahan galian yang dimaksud disini adalah

bahan galian Golongan C dan secara khusus penggolongan ini ditinjau dari segi
kegunaannya, terutama merupakan bahan industri dan bahan bangunan.
Sedangkan endapan mineral logam yang telah disebutkan di atas didasarkan pada
keterdapatannya di alam (genesa).

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

128

6.3. Potensi dan sebaran


Berdasarkan hasil pemetaan kondisi geologi di daerah penelitian secara lokal
dan kompilasi peta menunjukan bahwa bahan galian Golongan C tersebar luas
hampir di seluruh wilayah dan kandungan logam di beberapa tempat. Dengan
mengabaikan nilai ekonomis, maka bahan galian yang dijumpai pada daerah
penelitian terdiri atas:
1.

Endapan tanah lateritik

2.

Hematit residual

3.

Endapan logam emas sekunder

4.

Batugamping

5.

Material urugan, dan

6.

Endapan pasir batu (sirtu)

6.3.1. Endapan tanah lateritik


Tanah laterit adalah bahan galian yang masuk dalam kelompok mineral
industri logam walaupun kenampakannya di alam tidak dalam bentuk atau
menyerupai kenampakan layaknya mineral logam pada umumnya. Endapan ini
dapat digolongkan sebagai mineral industri logam karena hasil ekstraksi dari
endapan yang umumnya berbentuk tanah hasil lapukan ini adalah nikel (Ni) yang
sampai saat ini masih menjadi komoditas yang paling utama dalam
pengembangan industri logam.
Tanah laterit adalah endapan yang menjadi sumber utama nikel yang
ditambang di permukaan. Di sekitar daerah penelitian, endapan ini umumnya
tidak memiliki zonasi laterit yang seragam, terkadang dijumpai zona limonit yang
geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya
mikhel daserona

bab 6 bahan galian

129

langsung berhubungan dengan zona batuan dasar, namun setempat dijumpai


zonasi dari endapan ini dalam pola yang hampir ideal yang secara vertikal dimulai
dari limonit, saprolit kemudian batuan dasar. Tanah laterit ini dijumpai secara fisik
pada zona limonit berwarna merah kecoklatan, setempat merah kehitaman, pada
formasi geotit kaya akan

limonit, hematit, geotit berukuran bongkah-kerikil,

massif, menampakkan habit granular dan material pasir hingga lempung, di


bagian bawah formasi geotit berwarna coklat hingga merah kekuningan dengan
dominasi material lempung hingga 85 %, semakin mendekati zona saprolit,
tampak warna berubah lebih kekuningan. Pada zona saprolit menunjukan warna
hijau kekuningan hingga kelabu, tekstur lebih kasar dengan komposisi material
serabut dan pipih dari mineral garnierite, serpentin (krisotil) lebih dominan
dengan kadar air yang lebih tinggi. Semakin mendekati batuan dasar tampak
warna berubah semakin cerah, namun terkadang didominasi warna hijau
kehitaman hingga abu-abu kehijauan, bagian ini terkadang hanya berupa bongkahbongkah batuan dasar yang telah lapuk, namun setempat masih dijumpai tubuh
batuan yang menampakkan kondisi segar.
Endapan tanah lateritik yang dijumpai di daerah penelitian adalah tanah
sebagai hasil pelapukan batuan dari kelompok asosiasi batuan ultrabasa peridotitdunit serpentinisasi yang berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui telah
mengalami pengayaan material oksida besi dan silika-silika Ni. Dijumpai di
sekitar perbukitan Waena (Perumnas II hingga Buper), setempat di sekitar
perbukitan Yabansai (Kampus Uncen) spot-spot kecil di sekitar hulu sungai
Kuyabu, dan di daerah Entrop yang umumnya adalah perbukitan bergelombang

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

130

struktural denudasional. Dari kenampakan di lapangan, terlihat endapan ini


membentuk cebakan-cebakan yang kontinyu mengikuti pola sebaran batuan
induknya, formasi secara vertikal membentuk lapisan-lapisan yang mudah
dibedakan dan menunjukan proses pelarutan yang dikontrol oleh aliran air tanah
yang bertanggung jawab terhadap distribusi ukuran partikel mineral maupun
material penyusunnya yang sistimatis sehingga dapat dikatakan sebagai endapan
lateritik residual. Jika dilihat dari asosiasi batuan induknya dan proses eksogen
sebagai faktor pembentuknya dapat dikatakan endapan ini adalah weathering
dunites and peridotite-Ni rich iron oxide.
Walaupun model dan pola endapan ini sangat jelas terlihat di lapangan,
namun ketebalan yang bervariasi serta kedalaman batuan dasar dari endapan ini
tidak dapat diukur untuk memperoleh ketebalan rata-rata endapan ini. Hal ini
disebabkan karena satuan batuan yang membentuk endapan ini adalah satuan
batuan yang tertua di daerah penelitian sehingga tanah hasil lapukannya sangat
tebal, disamping itu di beberapa tempat ketebalan zona limonit ada yang mencapai
lebih dari 8 meter bahkan lebih dalam lagi maka sumberdaya endapan ini tidak
dapat dikalkulasi. Namun dari pengamatan pada wilayah-wilayah yang telah
mengalami lateritisasi, diperoleh luas rata-rata endapan ini di permukaan adalah
sekitar 2,9377 km.
Walaupun logam nikel sudah awam di masyarakat, namun endapan tanah
laterit sebagai penghasil nikel tersebut belum cukup dikenal secara luas oleh
masyarakat. Di dalam dunia industri logam pada umumnya, nikel adalah
komoditas utama dan secara komersil lebih popular dan digunakan hampir di

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

131

setiap perlengkapan yang dibutuhkan manusia sehari-hari, terutama dalam


pengembangan industri iron and ferro alloy metals. Beberapa hasil atau manfaat
dari industri tersebut yang menggunakan nikel ini disamping sebagai bahan
pelapis pada baja stainless adalah baterai kering, lampu pijar, kabel tegangan
tinggi hingga pada peralatan elektronik dan rumah tangga serta perangkat olah
raga seperti tongkat pemukul golf.

Foto 6.1. Kenampakan lapangan bahan galian tanah laterit di daerah Entrop yang
menunjukan indikasi sebagai model endapan residual dengan distribusi material yang
sistimatis. Foto diambil di daerah Entrop (Jaya Asri) pada stasiun 69, Difoto menghadap
relatif ke baratlaut

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

Foto 6.2. Kenampakan lapangan bahan galian tanah laterit di daerah Perbukitan Waena
(Buper) yang menunjukan ciri sebagai endapan yang telah mengalami pengayaan oksida
besi dengan kesan oksidasi yang nyata. Foto diambil di daerah Buper Waena pada stasiun
61, Difoto menghadap relatif ke timur

Foto 6.3. Kenampakan lapangan sebaran lateral bahan galian tanah laterit di daerah
Perbukitan Waena (Buper) yang menunjukan ciri sebagai tanah yang miskin bahan
organik yang dapat dilihat dari vegetasi yang jarang dan homogen. Foto diambil di
daerah Buper Waena pada stasiun 61, Difoto menghadap relatif ke timurlaut

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

132

bab 6 bahan galian

133

6.3.2. Hematit residual


Hematit adalah mineral logam yang masuk dalam kelompok mineral industri
yang oleh karena sifat fisik logam yang berasal dari hasil ekstraksi mineral ini erat
hubungannya dengan perkembangan dunia industri sehingga dapat digolongkan
kedalam bahan galian strategis.
Hematit adalah salah satu mineral yang menjadi sumber logam besi (Fe)
Berdasarkan pengamatan di daerah penelitian menunjukan sifat fisik berwarna
hitam hingga agak kemerahan, bentuk kristal tidak teratur, habit massif hingga
granular, goresan hitam, kilap logam, belahan tidak ada, pecahan choncoidal,
kekerasan 5,5-6 skala Mohs dengan berat jenis 4,7-4,8. Hematit pada umumnya
dikenal sebagai mineral oksida besi karena merupakan logam persenyawaan yang
terutama terdiri dari unsur Fe dan O2 dan unsur-unsur logam lain yang dapat
bersenyawa dengan kedua unsur utama tersebut sehingga mineral ini banyak
dijumpai di alam dengan komposisi kimia yang bervariasi yang kadang-kadang
unsur yang bersenyawa tersebut dapat mempengaruhi dan menggantikan unsur
besi dalam mineral hematit. Komposisi kimia mineral hematit biasanya ditulis
Fe2O3.
Hematit biasanya hadir sebagai mineral pengiring di dalam kelompok batuan
ultrabasa (peridotit) dan sering dijumpai di alam berasosiasi dengan kromit
(MgFe2)(Cr.Al.Fe3)2O4., dengan persentasi yang dominan daripada kromit.
Karena persentasinya yang dominan maka jika menemukan sedikit saja sebaran
kromit di suatu daerah ultrabasa, kemungkinan besar akan menemukan juga
mineral hematit dalam jumlah yang lebih besar lagi bahkan bisa mencapai 60 %-

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

134

70 % lebih luas dari luasan sebaran kromit. Atau sebaliknya, jika kehadiran
mineral hematit lebih dominan maka kemungkinan akan dijumpai sedikit saja
kromit atau tidak sama sekali. Kehadiran mineral hematit adalah ciri umum dari
pada suatu daerah kompleks ofiolit. Indikasi unsur hematit sebagai proses oksidasi
lapukan batuan beku ultrabasa berbentuk nodul di permukaan atau dengan kata
lain endapan mineral ini syngenetic.

Foto 6.6. Kenampakan morfologi mineral dari bongkah hematit yang memperlihatkan
tekstur choncoidal dan . Foto diambil di daerah Uncen Waena, stasiun 79.

Di daerah penelitian, sebaran hematit dijumpai setempat-setempat pada


daerah yang disusun oleh batuan ultrabasa dari kelompok harsburgit, dunit dan
serpentinisasi dunit, yang juga sebarannya setempat-setempat dan tidak luas
sehingga sebaran endapan mineral hematit ini tergantung dari luasan batuan
induknya. Sebaran mineral ini dijumpai di daerah perbukitan Waena (Buper),
setempat di perbukitan Yabansai (sekitar Kampus Uncen) serta di daerah Entrop

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

135

(Walikota dan Jaya Asri) yang umumnya merupakan perbukitan bergelombang


struktural denudasional. Tampak membentuk cebakan-cebakan atau endapan
dengan bentuk lensa yang polanya tidak beraturan mengikuti pola sebaran batuan
induknya, setempat membentuk pod dan sack-form sehingga dapat dikatakan
sebagai cebakan podiform. Selain podiform, endapan ini juga dijumpai dalam
bentuk tabular atau lapisan yang tidak kontinyu atau diseminasi dengan pola
distribusi yang tidak sistimatis. Biasanya dijumpai di lapangan terkonsentrasi di
puncak-puncak bukit yang reliefnya hampir landai, kadang juga terdapat sebagai
transported materials di lereng-lereng atau lembah antar bukit yang mungkin
merupakan hasil dari aktifitas air permukaan. Oleh sebab bentuk dan sebaran yang
demikian, maka sangat sulit untuk mengkalkulasi sumberdaya endapan mineral
ini, namun secara kasar berdasarkan kenampakan lateral di permukaan, diperoleh
luasan sebaran ini sekitar 1,46957 km .
Istilah hematit belum popular di masyarakat sekitar daerah penelitian
ataupun masyarakat pada umumnya dalam arti yang lebih luas. Biasanya jika
ditemukan, hematit ini hanya disebut sebagai bijih besi. Namun dalam dunia
industri metalurgi maupun industri rekayasa logam, hematit telah banyak
digunakan sebagai bahan baku atau hasil ekstraksi dari hematit ini biasanya
digunakan sebagai bahan campuran baja, dan peralatan yang berbahan dasar besi.

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

136

Foto 6.7. Kenampakan sebaran cebakan podiform hematit secara lateral di permukaan di

daerah perbukitan Waena (Buper). Foto diambil pada stasiun 61A, menghadap relatif ke
tenggara.

6.3.3. Endapan emas sekunder


Emas (gold) merupakan mineral logam yang umumnya dikenal sebagai
logam yang bernilai tinggi secara komersil sehingga sering disebut mineral
berharga. Emas bukan saja sebagai logam perhiasan yang bernilai tinggi, namun
saat ini dalam pengembangan teknologi, unsur logam ini telah banyak digunakan,
maka berdasarkan sifat komoditas dapat dikategorikan sebagai mineral industri.
Berdasarkan sifat fisik mineral dan komposisi kimianya, emas digolongkan dalam
kelompok precious metals. Berdasarkan manfaat dan kegunaannya yang beragam
yang dapat mempengaruhi perkembangan di berbagai segi kehidupan, terutama

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

137

segi ekonomi, maka unsur logam ini digolongkan sebagai bahan galian golongan
B.
Emas adalah mineral logam dengan komposisi utamanya adalah Au. Secara
teoritis, emas memiliki sifat khusus berdasarkan asosiasi komposisi elemen
penyusunnya, salah satu sifat khususnya adalah hanya dapat bersenyawa dan
berasosiasi dengan jenis mineral logam tertentu selain dapat berdiri sendiri
sebagai unsur native. Oleh sebab itu mineral logam ini disebut sebagai logam
mulia, dan termasuk golongan IB dalam sistim periodik unsur Mendeleyev. Emas
tidak pernah dijumpai dalam komposisi 100 % Au walaupun dalam bentuk native
gold, biasanya masih mengandung unsur-unsur lain yang sering disebut sebagai
mineral pengotor, sehingga kadar kemurnian emas biasa disebut carat. Emas
dengan kadar 24 carat berarti sebanding dengan sekitar 98 % kandungan unsur
Au.
Pembentukan endapan mineral emas secara umum melalui banyak proses,
diantaranya secara primer melalui kegiatan magmatisme yaitu melalui proses
hidrotermal sehingga terbentuk mekanisme endapan primer segregasi, diseminasi,
cumulates (gravity separation), pegmatit, stockwork dan vein. Endapan-endapan
mineral atau bahan galian yang mengandung emas yang terbentuk melalui hasil
proses

weathering,

inorganic

sedimentation

dan

organic

sedimentation

membentuk endapan plaser, residual, supergene enrichment, evaporasi/presipitasi


disebut sebagai endapan sekunder yang biasanya berasal dari endapan primer
yang telah mengalami proses-proses eksogen. Endapan logam emas di alam

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

138

biasanya dijumpai dalam bentuk native atau pada umumnya berasosiasi dengan
mineral-mineral logam-non logam lainnya tergantung proses pembentukannya.
Di daerah penelitian dan sekitarnya, terdapat beberapa daerah dengan
kehadiran endapan emas, beberapa diantaranya telah ditambang secara sederhana
oleh masyarakat. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, mineral ini
dijumpai berwarna kuning dengan kilap logam, bila digores berwarna kuning,
habit massif hingga granular dengan bentuk kristal yang sempurna, belahan
hackly, kekerasan 7,8.
Kehadiran endapan emas di daerah penelitian dijumpai berasosiasi dengan
mineral sulfida seperti pirit, kalkopirit, arsenopirit bersama-sama dengan kuarsa
dan mineral-mineral karbonat serta serisit, kadang dijumpai pula berasosiasi
dengan pirhotit dan galena membentuk urat-urat kecil 3-5 sentimeter di dalam
bongkah-bongkah batuan malihan genes, amfibolit dan sekis biru (periksa foto
6.9) yang merupakan litologi dari satuan batuan bancuh. Berdasarkan bukti ini
maka dapat dikatakan endapan ini pada awalnya terbentuk secara primer melalui
proses metamorfisme. Endapan mineral ini di lapangan dijumpai dalam bentuk
nugget gold yang terakumulasi dalam bentuk layer-layer tipis bersama dengan
mineral-mineral berat berupa oksida-oksida besi dan sulfida membentuk lensalensa tidak kontinyu yang tersegregasi bersama-sama material sedimen lainnya di
alur-alur sungai maupun alur erosi. Lensa-lensa ini biasanya berada di bagian
bawah atau diantara bongkah-bongkah batuan yang ukurannya lebih besar.
Kondisi ini menunjukan bahwa endapan emas di daerah penelitian merupakan
endapan sekunder dari hasil lapukan batuan induk dan bahwa aliran air sebagai

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

139

salah satu faktor yang bertanggung jawab terhadap deposisi endapan tersebut
secara klastik, sehingga distribusi materialnya mengikuti hukum gravitasi dan
sedimentasi, dimana material yang ukurannya atau massa jenisnya lebih besar
akan berada pada bagian bawah dari suatu formasi endapan. Selain itu, pada areal
tertentu, endapan ini menunjukan pola distribusi lateral yang kontinyu,
membentuk suatu zona mineralisasi endapan yang distribusi vertikalnya semakin
ke bawah butiran mineral bertambah besar baik ukuran maupun jumlahnya.
Berdasarkan kondisi dan

kriteria yang dijumpai di lapangan berupa pola

distribusi material, bentuk cebakan endapan serta mekanisme deposisi endapan


dan proses-proses eksogen yang bertanggung jawab, endapan emas di daerah
penelitian dapat disebut sebagai

weathering low grade- metamorphic clastic

residuals nugget gold.

Foto 6.8. Salah satu areal penambangan tradisional endapan emas di perbukitan Waena
(Buper). Sebaran cebakan emas di sini lebih dominan berasal dari urat-urat
termineralisasi pada bongkah batuan malihan genes dan sekis biru. Foto diambil pada
stasiun 61, menghadap relatif ke utara.

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

140

Foto 6.9. Coarse grained amfibolit teralterasi urat pirit (py), kalkopirit (cpy), galena
(ga) dan mineral-mineral oksida (ox) sebagai indikasi endapan emas di daerah
penelitian pada awalnya terbentuk secara primer melalui proses metamorfisme.
Conto diambil pada stasiun 121 sungai Sborgonyie, Kotaraja.

Wilayah-wilayah dijumpai adanya endapan emas ini diantaranya yang sudah


ditambang adalah di sekitar perbukitan Waena (Buper) yang berada di bagian
barat-baratdaya daerah penelitian dan di sekitar Entrop dan Polimak (Ardipura)
yang terletak di bagian utara-timurlaut daerah penelitian. Selain itu, dijumpai pula
adanya indikasi keterdapatan endapan mineral ini di beberapa lokasi, diantaranya
di bagian hulu dan bagian tengah sungai Sborgonyie, bagian hulu sungai Renaung
dan bagian hulu sungai Lemok. Pada lokasi-lokasi endapan ini yang sudah
ditambang,

umumnya

merupakan

pertambangan

rakyat

dengan

metode

pembukaan lubang-lubang mengikuti zona-zona mineralisasi yang dijumpai, ada


pula yang melakukan penggalian di sepanjang aliran sungai. Teknik pemisahan
material umumnya dengan metode panned concentrated atau lazim disebut

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

141

mendulang. Namun dijumpai pula di bagian lokasi tertentu sudah menggunakan


teknik

pemisahan

dengan

cara

penyemprotan

menggunakan

pompa

berkemampuan sedang. Secara umum sumberdaya endapan ini tidak diketahui


secara pasti.

Foto 6.10. Aktivitas penambangan endapan emas di wilayah Entrop yang menggunakan peralatan
seadanya. Tampak bongkah-bongkah batuan sebagai material yang tersegregasi bersama butiran
logam emas ini sebagai bukti mekanisme deposisi endapan adalah klastik. Difoto pada stasiun 64,
menghadap relatif ke utara.

Metode penambangan yang diterapkan oleh masyarakat untuk endapan emas


di daerah penelitian pada umumnya dengan menggali lubang-lubang secara
vertikal (tegak) dengan kedalaman lubang yang bergantung pada perolehan atau
jumlah butiran emas yang diperoleh. Jika dalam penggalian, semakin banyak
butiran emas yang diperoleh di bagian yang lebih dalam, maka lubang itu akan
digali terus hingga kedalaman tertentu, yang di lapangan diukur rata-kedalaman

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

142

lubang tersebut 8-10 meter. Hal ini tentu sangat berisiko, apalagi dari pengamatan
di lapangan, lubang-lubang ini tidak ditunjang dengan teknik penyanggaan
dinding sehingga sangat mudah mengalami longsor. Dari segi lain, litologi sumber
andapan ini adalah satuan batuan bancuh yang pada umumnya tidak kompak dan
mudah terlepas sehingga menambah risiko terjadinya subsidence secara setempat
yang dipicu oleh aktifitas penggalian.

Foto 6.11. Nugget gold yang ditambang di daerah Entrop-Polimak sebagai ciri
endapan emas di daerah penelitian adalah sekunder dan berasal dari residu lapukan
batuan induk. Difoto pada stasiun 64, menghadap relatif ke utara.

6.3.4. Batugamping
Batugamping merupakan bahan galian industri dan bahan bangunan yang
sangat awam di masyarakat yang biasanya dikenal dengan istilah batukarang atau
batukapur. Di sekitar daerah penelitian, endapan ini digunakan sebagai bahan

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

143

dasar pada pembuatan batubata, sebagai campuran material dalam pembuatan


konstruksi beton setelah ditambahkan pasir dan semen juga sebagai bahan
timbunan untuk pengerasan jalan.
Manfaat lebih luas dari batugamping ini pada dunia industri, misalnya
pada industri kertas batugamping digunakan sebagai bahan pemutih pulp,
digunakan juga sebagai soda abu untuk penjernihan air, dalam industri metalurgi
batugamping digunakan sebagai katalis dalam peleburan dan pemurnian baja,
untuk katalisasi pengendapan logam non ferrous, sebagai bahan baku dalam
industri semen, keramik, industri kaca dan sebagainya. Karena kegunaannya yang
beragam dalam dunia industri maka bahan galian ini dimasukkan sebagai bahan
galian industri Golongan C. Batugamping yang digunakan oleh masyarakat di
daerah penelitian dan sekitarnya adalah batugamping yang berasal dari litologi
batugamping biomikrit dan satuan batugamping klastik. Secara umum komposisi
kimia batugamping biasanya ditulis CaCO3.
Batugamping biomikrit adalah batugamping yang dibentuk oleh koloni
koral, foraminifera dan ganggang berumur Plistosen pada lingkungan laut dangkal
pada kisaran kedalaman 40 meter yang secara regional merupakan anggota dari
Quarter Plistosen Jayapura (Qpj). Secara fisik kenampakan di lapangan berwarna
putih keabuan setempat dijumpai berwarna kemerahan, setempat tidak kompak
dan tidak berlapis, tekstur pertumbuhan bioklastik, secara umum telah terstruktur
dan terombak sehingga mudah untuk ditambang. Litologi ini merupakan endapan
bahan galian yang paling banyak digunakan oleh masyarakat dibanding
batugamping klastik. Cara yang digunakan untuk penambangan bahan galian ini

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

144

pada umumnya secara langsung dengan menggunakan alat gali sederhana berupa
sekop dan linggis, ada juga yang ditambang dengan peralatan mekanis tetapi
sifatnya tidak permanen. Endapan bahan galian ini banyak dijumpai tersebar di
sekitar daerah Padang Bulan-Abepura hingga ke daerah Yotefa membentuk bukitbukit yang terisolasi diantara satuan batuan bancuh dan merupakan bagian dari
geomorfologi perbukitan denudasional Abepura-Lemok dengan posisi endapan ini
yang mudah dijangkau karena kebanyakan letaknya dekat dengan jalan raya.

Foto 6.11. Kenampakan lapangan endapan bahan galian batugamping dari litologi
batugamping biomikrit di daerah Pasar Baru Yotefa, Abepura. Bahan galian ini umumnya
ditambang dengan peralatan mekanis dan didistribusikan untuk kebutuhan masyarakat di
sekitar wilayah Abepura. Foto diambil pada stasiun 19, difoto menghadap relatif ke timur.

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

145

Foto 6.12. Salah satu industri kecil yang memproduksi batubata dengan bahan dasar dari
litologi batugamping biomikrit di daerah Padang Bulan, Abepura. Bahan galian ini
umumnya ditambang dengan peralatan sederhana dan langsung digunakan di tempat.
Tampak latar belakang berupa bekas galian tambang endapan ini. Foto diambil pada
stasiun 03, difoto menghadap relatif ke baratlaut.

Bahan galian batugamping klastik merupakan satuan batuan sedimen


tertua di daerah penelitian, yang kenampakan lapangannya berwarna putih
kekuningan, setempat keabuan, tekstur klastik, berlapis buruk, setempat kompak.
Batugamping ini terbentuk pada lingkungan laut dangkal pada zona neritik tengah
dan merupakan anggota dari formasi Tersier Oligosen Miosen Nubai (Tomn).
Endapan bahan galian ini sangat mudah dikenali di lapangan karena kenampakan
morfologinya yang lebih tinggi dan menonjol dengan vegetasi heterogen yang

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

146

lebat, membentuk jajaran perbukitan yang membentang relatif baratdaya-timurlaut


meliputi daerah Perumnas III Yabansai melewati daerah Skyline hingga ke daerah
Polimak. Terdapat di bagian baratdaya-utara hingga timurlaut daerah penelitian
membentuk satuan geomorfologi perbukitan karts Sborgonyie. Di bagian baratbaratdaya batugamping ini berbatasan dengan satuan batuan serpentinit dan satuan
batuan bancuh di bagian selatan-hingga timur-timurlaut.
Oleh masyarakat di sekitar daerah penelitian, endapan ini terutama
digunakan sebagai bahan konstruksi untuk campuran beton maupun timbunan
fondasi bangunan selain manfaat utamanya sebagai bahan baku batubata.
Penambangan endapan ini telah dilakukan dengan menggunakan cara yang lebih
maju yaitu dengan peralatan mekanis dan sifat penambangan yang permanen. Hal
ini tampak dari pengamatan yang dilakukan di beberapa lokasi penambangan yang
ada di sekitar daerah Entrop-Polimak yang rata-rata menggunakan Bulldozer dan
excavator sebagai alat gali dan dump truck sebagai alat angkut.
Sumberdaya endapan ini berdasarkan kompilasi dari penampang geologi
yang dibuat melalui satuan batugamping klastik dan litologi batugamping
biomikrit, diketahui tebal rata-rata dari endapan batugamping yang memenuhi
syarat penambangan di daerah penelitian adalah 213,1 m, sehingga diperoleh
sumberdaya terkira sebesar 1.567.440,389 ton. Jika dengan sumberdaya sebesar
ini, dengan metode penambangan konvensional dan jumlah pengambilan material
rata-rata diperkirakan sekitar 50 ton/hari seperti yang telah dilakukan selama ini
maka bahan galian ini akan habis ditambang selama 87 tahun.

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

147

Foto 6.13. Kuari PT. Menara Jaya di daerah Polimak. Bahan galian batugamping klastik
yang ditambang dengan peralatan mekanis. Foto diambil pada stasiun 174, difoto
menghadap relatif ke baratlaut.

Sebagaimana sifat kimia yang dimiliki oleh batugamping ini yang bersifat
basa maka sangat mudah bereaksi dengan air, terutama air hujan. Oleh sebab itu
batuan ini memiliki tingkat kelarutan yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan
kenampakan di lapangan dengan adanya proses-proses pelarutan dari batuan ini,
terutama pada batugamping klastik. Selain itu, bentuk morfologi dari satuan
batugamping klastik dengan kelerengan yang terjal dan kandungan rongga-rongga
pelarutan dan retakan-retakan akibat adanya struktur geologi yang bekerja akan
menimbulkan dampak kelongsoran jika penambangan dilakukan dengan cara yang
tidak terkontrol. Juga, pemanfaatan bahan galian ini sebagai bahan konstruksi
bangunan sebenarnya tidak layak karena sifat kimianya yang mudah melarut

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

148

dengan air hujan akan menimbulkan dampak terhadap berkurangnya umur


bangunan atau konstruksi.

6.3.5. Material urugan


Bahan galian ini disebut demikian berdasarkan pemanfaatannya secara
umum. Pada dasarnya bahan galian ini merupakan bongkah-bongkah batuan yang
berasal dari blok-blok atau tubuh batuan yang terdeformasi dan terombak
sehingga tidak massif serta tidak terkonsolidasi dengan baik lagi. Secara umum
dimanfaatkan langsung oleh masyarakat sebagai bahan timbunan dan batuan
pengisi pada beton fondasi bangunan. Dapat digolongkan sebagai bahan galian
Golongan C karena manfaat dan fungsinya yang secara langsung tersebut.
Material urugan di daerah penelitian dan sekitarnya umumnya berupa
blok-blok batuan basa-ultrabasa yang terdeformasi, memiliki banyak retakan,
tergerus hingga tampak remuk dan hancur dan mudah terlepas dalam bentuk
bongkah-bongkah hingga material berukuran pasir sehingga memudahkan proses
penambangannya baik yang menggunakan metode penambangan sederhana
maupun dengan peralatan mekanis.
Bahan galian ini merupakan batuan yang berasal dari satuan batuan
serpentinit dan satuan batuan bancuh yang juga didalamnya terdapat litologi
serpentinit, bongkah malihan dan bongkah-bongkah batuan beku basa.
Keberadaannya di daerah penelitian sebagai hasil dari pengangkatan secara
tektonik. Kebanyakan dari material ini yang telah ditambang adalah batuan yang
berkomposisi peridotit, yang di lapangan dijumpai berwarna hijau keabuan hingga

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

149

agak kecoklatan, tekstur holokristalin, fanerik dari batuan plutonik dengan


komposisi monomineral piroksen, olivin dengan sedikit mineral pengiring berupa
oksida-oksida besi dan biotit sebagai penciri lingkungan pembentukan batuan
yang berasal dari pembekuan magma berkomposisi basa yang kaya mineral besi,
magnesium yang membeku di kerak samudera.
Penyebaran bahan galian ini dominan di daerah penelitian, ,mengikuti pola
sebaran batuan induknya, terutama satuan batuan bancuh. Satuan batuan
serpentinit juga telah ditambang sebagai material urugan, namun karena letak dan
posisinya yang jauh dari jalan sehingga menyulitkan aksibilitasnya. Batuan
serpentinit lebih banyak dijumpai membentuk perbukitan bergelombang struktural
Waena yang relatif berada pada elevasi yang lebih tinggi disamping wilayah
penyebarannya merupakan wilayah yang dilindungi untuk kepentingan konservasi
lingkungan hidup. Walau demikian, dijumpai pula secara setempat batuan ini
sudah ditambang dengan metode dan peralatan sederhana oleh masyarakat seperti
yang dijumpai di perbukitan Waena (Buper). Selain ditambang oleh masyarakat
secara sederhana, beberapa perusahaan lokal telah mengusahakan penambangan
bahan galian ini secara intensif dengan metode tambang terbuka tipe sisi bukit
(side hill type) berbentuk quarry dengan peralatan mekanis seperti bulldozer,
excavator, wheel loader dan dump truck. Intensitas penambangan bahan galian ini
tampak sangat jelas di daerah penelitian dimana pada beberapa wilayah mulai dari
Waena, Padang Bulan hingga ke daerah Yotefa dapat dijumpai quarry-quarry
yang umumnya berada dekat dengan jalan raya.

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

150

Sumberdaya endapan bahan galian urugan ini sebenarnya dapat dikalkulasi


dengan metode perhitungan yang sederhana. Namun karena endapan ini berasal
dari satuan batuan tertua seperti serpentinit yang kemudian telah terdeformasi
menjadi satuan bancuh, dimana bagian bawah dari litologi pembentuk endapan ini
tidak dapat dipastikan kedalamannya, Selain itu, sebagian besar wilayah yang
tersusun oleh batuan ini adalah wilayah pemukiman dan hutan lindung. Quarryquarry yang banyak dijumpai di daerah penelitian dan sekitarnya juga tidak
memiliki batas areal kegiatan penambangan yang jelas untuk dapat dijadikan
patokan untuk menentukan luasan sebaran yang dapat digunakan untuk
menghitung besar sumberdayanya, karena selain memiliki ijin penambangan dari
lembaga yang berwenang, perusahaan-perusahaan yang melakukan penambangan
tersebut pada dasarnya lebih tergantung pada kontrak penambangan yang tidak
terbatas baik waktu dan luas wilayah dengan masyarakat pemilik hak ulayat
dimana bahan galian tersebut berada.
Bahan galian material urugan bersumber dari batuan peridotit yang
kandungan mineralnya tidak resisten terhadap pelapukan, walaupun demikian
material ini direkomendasi menggantikan material lain yang lebih resisten atau
tahan terhadap proses eksogenik mengingat di sekitar daerah penelitian tidak
dijumpai sumber batuan lain yang lebih baik. Disamping itu, perlu diinformasikan
kondisi struktur dan tektonik yang sangat berpengaruh terhadap batuan sumber
bahan galian ini, maka dalam melakukan perencanaan maupun kegiatan
penambangan, harus dikontrol dengan sistim pembukaan tambang yang aman,

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

151

misalnya dengan menerapkan sistim penggalian berjenjang atau benches karena


kondisi batuan yang tidak kompak dan mudah longsor.

Foto 6.14. Kenampakan lapangan bahan galian material urugan di quarry PT. Floraria
Adikencana, Padang Bulan Abepura. Salah satu side hill type quarry di daerah penelitian.
Difoto pada stasiun 03 menghadap relatif ke baratlaut.

Foto 6.15. Aktivitas penambangan material urugan dari litologi satuan batuan bancuh
di daerah Yotefa, Abepura. Tampak proses penambangan yang sudah menggunakan
peralatan mekanis. Difoto pada stasiun 18, menghadap relatif ke baratlaut.

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

152

Foto 6.16. Timbunan material urugan dari litologi satuan batuan bancuh berupa
bongkah serpentinit terdeformasi di daerah Organda, Abepura. Proses
penambangannya dilakukan dengan peralatan sederhana dan langsung dimanfaatkan
untuk bahan pengisi pada beton fondasi bangunan. Difoto pada stasiun 10,
menghadap relatif ke timur.

6.3.6. Endapan pasir dan batu (Sirtu)


Bahan galian sirtu merupakan endapan bahan galian yang sifatnya letakan.
Berdasarkan fungsi dan manfaatnya secara langsung di masyarakat, sebenarnya
bahan galian ini tidak berbeda dengan material urugan yang telah dibahas di
bagian muka hanya genesa dan letaknya saja yang berbeda. Disebut dengan istilah
sirtu karena komponen-komponen penyusun endapan ini terdiri dari material
berukuran pasir (sir) dan bongkah-bongkah batuan (tu). Kebanyakan digunakan
sebagai bahan bangunan atau konstruksi sehingga dapat digolongkan sebagai
bahan galian golongan C.
Seperti telah disebutkan di atas, komponen penyusun endapan ini terutama
berupa bongkah-bongkah batuan dan material klastik berukuran pasir yang
geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya
mikhel daserona

bab 6 bahan galian

153

sumbernya dari satuan batuan atau litologi di sekitar tempat pengendapan bahan
galian ini. Dijumpai keberadaannya sebagai endapan-endapan dari sungai-sungai
yang ada di sekitar daerah penelitian dalam bentuk endapan stream drainage dan
flood plain. Kenampakan sebaran endapan ini secara lateral, dicirikan oleh
distribusi ukuran material yang semakin mendekati source rock-nya atau semakin
ke arah hulu semakin besar ukurannya, secara vertikal, tampak adanya gradasi
butir dan kesan perulangan perlapisan dimana hal ini menunjukan dengan jelas
bahwa distribusi material bergantung pada gradien energi media transportnya.
Endapan sirtu ini kebanyakan terkonsentrasi dengan ketebalan yang bervariasi
termasuk distribusi ukuran partikel juga dijumpai tidak seragam.

Foto 6.17. Kenampakan lapangan secara lateral bahan galian endapan pasir dan batu
di sungai Kuyabu. Proses penambangannya dilakukan dengan peralatan gali yang
sederhana dan langsung dipisahkan berdasarkan ukuran yang dibutuhkan juga
dengan metode yang sederhana menggunakan palu dan saringan (screening) dari
kawat baja Difoto pada stasiun 34, menghadap relatif ke utara.

Kenampakan endapan ini di lapangan terkonsentrasi di kelokan-kelokan


sungai maupun mengisi lembah-lembah antara bukit membentuk morfologi

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

154

pedataran fluvial. Dua sungai utama sebagai sumber endapan bahan galian ini
adalah sungai Kuyabu dan sungai Sborgonyie yang letaknya berdekatan, Kuyabu
di bagian barat dan Sborgonyie berada 1 kilometer di bagian timur dari sungai
Kuyabu. Kedua sungai ini berhulu di litologi serpentinit dan arah alirannya
melewati satuan batugamping klastik sehingga material di penyusun di dasar
sungai adalah campuran dari kedua litologi tersebut, namun kenyataannya lebih
dominan material dari litologi serpentinit. Dari pengamatan di lapangan, kegiatan
penambangan terutama lebih intensif di sungai Kuyabu dibanding sungai lainnya.
Hal ini disebabkan letak sungai Kuyabu yang relatif mudah dijangkau oleh alat
angkutan karena berada dekat dengan jalan raya disamping bongkah-bongkah
batuan yang terdapat di sungai Kuyabu berukuran lebih kecil sehingga mudah
untuk di pecah-pecah dan material berukuran pasirnya lebih kasar dengan sedikit
kandungan lempung dibanding endapan sirtu di Sungai Sborgonyie. Selain faktor
perbedaan material (ukuran maupun komposisi) dan aksebilitas, faktor lainnya
adalah kepadatan pemukiman di sekitar sungai. Pemukiman di sekitar sungai
Kuyabu, dalam hal ini di sekitar lokasi-lokasi endapan yang mudah ditambang
lebih sedikit atau tidak terlalu padat dibandingkan di sungai Sborgonyie yang rararata pemukimannya lebih berkembang di sepanjang sisi sungai.

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

155

Foto 6.19. Kenampakan lapangan pola distribusi material penyusun endapan pasir
dan batu secara vertikal di sungai Kuyabu yang menampakkan proses dan periode
transport yang mencirikan pola pengendapan di lingkungan dataran banjir yang
mengikuti irama energi aliran sungai. Difoto pada stasiun 34, menghadap relatif ke
barat.

Sumberdaya bahan galian endapan pasir dan batu dilakukan hanya untuk
endapan yang terdapat di sungai Kuyabu mengingat kondisi-kondisi yang telah
dibahas di atas. Perhitungannya berdasarkan metode luas rata-rata dengan
memperhatikan faktor topografi (perbedaan elevasi), erosi oleh aliran air pada saat
banjir dan pengurangan terhadap areal pemukiman yang semuanya dihitung
sebagai faktor penambangan sebesar 2 %, ketebalan endapan yang digunakan
adalah ketebalan rata-rata yang diukur langsung di lapangan. Berdasarkan
kalkulasi diperoleh nilai sumberdaya sirtu di sungai Kuyabu sebesar 1.169,375
m.

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

bab 6 bahan galian

156

Berdasarkan komposisi material penyusun endapan pasir dan batu yang


dominan berasal dari batuan ultrabasa dan malihan, maka endapan ini baik
digunakan untuk bahan timbunan sub-grade pada konstruksi jalan raya atau
basement bangunan dan jembatan, sebagai bahan pengisi pada kolom beton
bertulang, juga baik untuk bahan campuran pada hot mix asphalt.

Foto 6.20. Timbunan endapan sirtu yang siap diangkut ke konsumen. Tampak
screening (tanda panah) yang dibuat sebagai alat pemisah satu tahap dengan
konstruksi yang sederhana.. Difoto pada stasiun 45 di daerah Perumnas II Yabansai,
menghadap relatif ke tenggara.

geologi daerah abepura-entrop dan sekitarnya


mikhel daserona

Anda mungkin juga menyukai