126
BAB 6
BAHAN GALIAN
6.1. Umum
Selama melakukan pemetaan geologi di daerah penelitian, selain melakukan
pengukuran dan pengamatan terhadap aspek stratigrafi, struktur geologi maupun
geomorfologi, telah dilakukan pula pengamatan terhadap beberapa aspek geologi
terpakai berupa potensi serta sebaran endapan bahan galian. Sebagian besar
wilayah penelitian memiliki sumberdaya dengan jumlah dan luas sebaran yang
cukup beragam. Beberapa diantaranya tersebar di wilayah yang belum dapat
dijangkau dengan mudah, namun yang letaknya dekat dan mudah dijangkau serta
bernilai ekonomis telah dimanfaatkan secara tradisional dengan peralatan
seadanya, di beberapa tempat dijumpai pula endapan bahan galian tersebut telah
diusahakan dengan sistim penambangan yang lebih maju menggunakan alat gali
dan alat angkut mekanis.
Pada bagian geologi terpakai ini, bahan galian yang dimaksud di sini adalah
bahan galian yang secara umum sudah popular dan banyak dimanfaatkan di
sekitar lokasi penelitian untuk kebutuhan pembangunan konstruksi, dalam arti
bahan galian tersebut secara langsung telah dimanfaatkan oleh masyarakat di
sekitar daerah penelitian. Selain itu, keberadaan endapan mineral logam yang
banyak tersebar di daerah penelitian juga menjadi bagian dari informasi yang akan
dibahas di sini, namun pembahasannya dibatasi hanya pada genesa secara teoritis,
letak dan perkiran luas sebaran endapan mineral tersebut di lapangan.
126
127
b.
c.
bahan galian Golongan C dan secara khusus penggolongan ini ditinjau dari segi
kegunaannya, terutama merupakan bahan industri dan bahan bangunan.
Sedangkan endapan mineral logam yang telah disebutkan di atas didasarkan pada
keterdapatannya di alam (genesa).
128
2.
Hematit residual
3.
4.
Batugamping
5.
6.
129
130
131
Foto 6.1. Kenampakan lapangan bahan galian tanah laterit di daerah Entrop yang
menunjukan indikasi sebagai model endapan residual dengan distribusi material yang
sistimatis. Foto diambil di daerah Entrop (Jaya Asri) pada stasiun 69, Difoto menghadap
relatif ke baratlaut
Foto 6.2. Kenampakan lapangan bahan galian tanah laterit di daerah Perbukitan Waena
(Buper) yang menunjukan ciri sebagai endapan yang telah mengalami pengayaan oksida
besi dengan kesan oksidasi yang nyata. Foto diambil di daerah Buper Waena pada stasiun
61, Difoto menghadap relatif ke timur
Foto 6.3. Kenampakan lapangan sebaran lateral bahan galian tanah laterit di daerah
Perbukitan Waena (Buper) yang menunjukan ciri sebagai tanah yang miskin bahan
organik yang dapat dilihat dari vegetasi yang jarang dan homogen. Foto diambil di
daerah Buper Waena pada stasiun 61, Difoto menghadap relatif ke timurlaut
132
133
134
70 % lebih luas dari luasan sebaran kromit. Atau sebaliknya, jika kehadiran
mineral hematit lebih dominan maka kemungkinan akan dijumpai sedikit saja
kromit atau tidak sama sekali. Kehadiran mineral hematit adalah ciri umum dari
pada suatu daerah kompleks ofiolit. Indikasi unsur hematit sebagai proses oksidasi
lapukan batuan beku ultrabasa berbentuk nodul di permukaan atau dengan kata
lain endapan mineral ini syngenetic.
Foto 6.6. Kenampakan morfologi mineral dari bongkah hematit yang memperlihatkan
tekstur choncoidal dan . Foto diambil di daerah Uncen Waena, stasiun 79.
135
136
Foto 6.7. Kenampakan sebaran cebakan podiform hematit secara lateral di permukaan di
daerah perbukitan Waena (Buper). Foto diambil pada stasiun 61A, menghadap relatif ke
tenggara.
137
segi ekonomi, maka unsur logam ini digolongkan sebagai bahan galian golongan
B.
Emas adalah mineral logam dengan komposisi utamanya adalah Au. Secara
teoritis, emas memiliki sifat khusus berdasarkan asosiasi komposisi elemen
penyusunnya, salah satu sifat khususnya adalah hanya dapat bersenyawa dan
berasosiasi dengan jenis mineral logam tertentu selain dapat berdiri sendiri
sebagai unsur native. Oleh sebab itu mineral logam ini disebut sebagai logam
mulia, dan termasuk golongan IB dalam sistim periodik unsur Mendeleyev. Emas
tidak pernah dijumpai dalam komposisi 100 % Au walaupun dalam bentuk native
gold, biasanya masih mengandung unsur-unsur lain yang sering disebut sebagai
mineral pengotor, sehingga kadar kemurnian emas biasa disebut carat. Emas
dengan kadar 24 carat berarti sebanding dengan sekitar 98 % kandungan unsur
Au.
Pembentukan endapan mineral emas secara umum melalui banyak proses,
diantaranya secara primer melalui kegiatan magmatisme yaitu melalui proses
hidrotermal sehingga terbentuk mekanisme endapan primer segregasi, diseminasi,
cumulates (gravity separation), pegmatit, stockwork dan vein. Endapan-endapan
mineral atau bahan galian yang mengandung emas yang terbentuk melalui hasil
proses
weathering,
inorganic
sedimentation
dan
organic
sedimentation
138
biasanya dijumpai dalam bentuk native atau pada umumnya berasosiasi dengan
mineral-mineral logam-non logam lainnya tergantung proses pembentukannya.
Di daerah penelitian dan sekitarnya, terdapat beberapa daerah dengan
kehadiran endapan emas, beberapa diantaranya telah ditambang secara sederhana
oleh masyarakat. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, mineral ini
dijumpai berwarna kuning dengan kilap logam, bila digores berwarna kuning,
habit massif hingga granular dengan bentuk kristal yang sempurna, belahan
hackly, kekerasan 7,8.
Kehadiran endapan emas di daerah penelitian dijumpai berasosiasi dengan
mineral sulfida seperti pirit, kalkopirit, arsenopirit bersama-sama dengan kuarsa
dan mineral-mineral karbonat serta serisit, kadang dijumpai pula berasosiasi
dengan pirhotit dan galena membentuk urat-urat kecil 3-5 sentimeter di dalam
bongkah-bongkah batuan malihan genes, amfibolit dan sekis biru (periksa foto
6.9) yang merupakan litologi dari satuan batuan bancuh. Berdasarkan bukti ini
maka dapat dikatakan endapan ini pada awalnya terbentuk secara primer melalui
proses metamorfisme. Endapan mineral ini di lapangan dijumpai dalam bentuk
nugget gold yang terakumulasi dalam bentuk layer-layer tipis bersama dengan
mineral-mineral berat berupa oksida-oksida besi dan sulfida membentuk lensalensa tidak kontinyu yang tersegregasi bersama-sama material sedimen lainnya di
alur-alur sungai maupun alur erosi. Lensa-lensa ini biasanya berada di bagian
bawah atau diantara bongkah-bongkah batuan yang ukurannya lebih besar.
Kondisi ini menunjukan bahwa endapan emas di daerah penelitian merupakan
endapan sekunder dari hasil lapukan batuan induk dan bahwa aliran air sebagai
139
salah satu faktor yang bertanggung jawab terhadap deposisi endapan tersebut
secara klastik, sehingga distribusi materialnya mengikuti hukum gravitasi dan
sedimentasi, dimana material yang ukurannya atau massa jenisnya lebih besar
akan berada pada bagian bawah dari suatu formasi endapan. Selain itu, pada areal
tertentu, endapan ini menunjukan pola distribusi lateral yang kontinyu,
membentuk suatu zona mineralisasi endapan yang distribusi vertikalnya semakin
ke bawah butiran mineral bertambah besar baik ukuran maupun jumlahnya.
Berdasarkan kondisi dan
Foto 6.8. Salah satu areal penambangan tradisional endapan emas di perbukitan Waena
(Buper). Sebaran cebakan emas di sini lebih dominan berasal dari urat-urat
termineralisasi pada bongkah batuan malihan genes dan sekis biru. Foto diambil pada
stasiun 61, menghadap relatif ke utara.
140
Foto 6.9. Coarse grained amfibolit teralterasi urat pirit (py), kalkopirit (cpy), galena
(ga) dan mineral-mineral oksida (ox) sebagai indikasi endapan emas di daerah
penelitian pada awalnya terbentuk secara primer melalui proses metamorfisme.
Conto diambil pada stasiun 121 sungai Sborgonyie, Kotaraja.
umumnya
merupakan
pertambangan
rakyat
dengan
metode
141
pemisahan
dengan
cara
penyemprotan
menggunakan
pompa
Foto 6.10. Aktivitas penambangan endapan emas di wilayah Entrop yang menggunakan peralatan
seadanya. Tampak bongkah-bongkah batuan sebagai material yang tersegregasi bersama butiran
logam emas ini sebagai bukti mekanisme deposisi endapan adalah klastik. Difoto pada stasiun 64,
menghadap relatif ke utara.
142
lubang tersebut 8-10 meter. Hal ini tentu sangat berisiko, apalagi dari pengamatan
di lapangan, lubang-lubang ini tidak ditunjang dengan teknik penyanggaan
dinding sehingga sangat mudah mengalami longsor. Dari segi lain, litologi sumber
andapan ini adalah satuan batuan bancuh yang pada umumnya tidak kompak dan
mudah terlepas sehingga menambah risiko terjadinya subsidence secara setempat
yang dipicu oleh aktifitas penggalian.
Foto 6.11. Nugget gold yang ditambang di daerah Entrop-Polimak sebagai ciri
endapan emas di daerah penelitian adalah sekunder dan berasal dari residu lapukan
batuan induk. Difoto pada stasiun 64, menghadap relatif ke utara.
6.3.4. Batugamping
Batugamping merupakan bahan galian industri dan bahan bangunan yang
sangat awam di masyarakat yang biasanya dikenal dengan istilah batukarang atau
batukapur. Di sekitar daerah penelitian, endapan ini digunakan sebagai bahan
143
144
pada umumnya secara langsung dengan menggunakan alat gali sederhana berupa
sekop dan linggis, ada juga yang ditambang dengan peralatan mekanis tetapi
sifatnya tidak permanen. Endapan bahan galian ini banyak dijumpai tersebar di
sekitar daerah Padang Bulan-Abepura hingga ke daerah Yotefa membentuk bukitbukit yang terisolasi diantara satuan batuan bancuh dan merupakan bagian dari
geomorfologi perbukitan denudasional Abepura-Lemok dengan posisi endapan ini
yang mudah dijangkau karena kebanyakan letaknya dekat dengan jalan raya.
Foto 6.11. Kenampakan lapangan endapan bahan galian batugamping dari litologi
batugamping biomikrit di daerah Pasar Baru Yotefa, Abepura. Bahan galian ini umumnya
ditambang dengan peralatan mekanis dan didistribusikan untuk kebutuhan masyarakat di
sekitar wilayah Abepura. Foto diambil pada stasiun 19, difoto menghadap relatif ke timur.
145
Foto 6.12. Salah satu industri kecil yang memproduksi batubata dengan bahan dasar dari
litologi batugamping biomikrit di daerah Padang Bulan, Abepura. Bahan galian ini
umumnya ditambang dengan peralatan sederhana dan langsung digunakan di tempat.
Tampak latar belakang berupa bekas galian tambang endapan ini. Foto diambil pada
stasiun 03, difoto menghadap relatif ke baratlaut.
146
147
Foto 6.13. Kuari PT. Menara Jaya di daerah Polimak. Bahan galian batugamping klastik
yang ditambang dengan peralatan mekanis. Foto diambil pada stasiun 174, difoto
menghadap relatif ke baratlaut.
Sebagaimana sifat kimia yang dimiliki oleh batugamping ini yang bersifat
basa maka sangat mudah bereaksi dengan air, terutama air hujan. Oleh sebab itu
batuan ini memiliki tingkat kelarutan yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan
kenampakan di lapangan dengan adanya proses-proses pelarutan dari batuan ini,
terutama pada batugamping klastik. Selain itu, bentuk morfologi dari satuan
batugamping klastik dengan kelerengan yang terjal dan kandungan rongga-rongga
pelarutan dan retakan-retakan akibat adanya struktur geologi yang bekerja akan
menimbulkan dampak kelongsoran jika penambangan dilakukan dengan cara yang
tidak terkontrol. Juga, pemanfaatan bahan galian ini sebagai bahan konstruksi
bangunan sebenarnya tidak layak karena sifat kimianya yang mudah melarut
148
149
150
151
Foto 6.14. Kenampakan lapangan bahan galian material urugan di quarry PT. Floraria
Adikencana, Padang Bulan Abepura. Salah satu side hill type quarry di daerah penelitian.
Difoto pada stasiun 03 menghadap relatif ke baratlaut.
Foto 6.15. Aktivitas penambangan material urugan dari litologi satuan batuan bancuh
di daerah Yotefa, Abepura. Tampak proses penambangan yang sudah menggunakan
peralatan mekanis. Difoto pada stasiun 18, menghadap relatif ke baratlaut.
152
Foto 6.16. Timbunan material urugan dari litologi satuan batuan bancuh berupa
bongkah serpentinit terdeformasi di daerah Organda, Abepura. Proses
penambangannya dilakukan dengan peralatan sederhana dan langsung dimanfaatkan
untuk bahan pengisi pada beton fondasi bangunan. Difoto pada stasiun 10,
menghadap relatif ke timur.
153
sumbernya dari satuan batuan atau litologi di sekitar tempat pengendapan bahan
galian ini. Dijumpai keberadaannya sebagai endapan-endapan dari sungai-sungai
yang ada di sekitar daerah penelitian dalam bentuk endapan stream drainage dan
flood plain. Kenampakan sebaran endapan ini secara lateral, dicirikan oleh
distribusi ukuran material yang semakin mendekati source rock-nya atau semakin
ke arah hulu semakin besar ukurannya, secara vertikal, tampak adanya gradasi
butir dan kesan perulangan perlapisan dimana hal ini menunjukan dengan jelas
bahwa distribusi material bergantung pada gradien energi media transportnya.
Endapan sirtu ini kebanyakan terkonsentrasi dengan ketebalan yang bervariasi
termasuk distribusi ukuran partikel juga dijumpai tidak seragam.
Foto 6.17. Kenampakan lapangan secara lateral bahan galian endapan pasir dan batu
di sungai Kuyabu. Proses penambangannya dilakukan dengan peralatan gali yang
sederhana dan langsung dipisahkan berdasarkan ukuran yang dibutuhkan juga
dengan metode yang sederhana menggunakan palu dan saringan (screening) dari
kawat baja Difoto pada stasiun 34, menghadap relatif ke utara.
154
pedataran fluvial. Dua sungai utama sebagai sumber endapan bahan galian ini
adalah sungai Kuyabu dan sungai Sborgonyie yang letaknya berdekatan, Kuyabu
di bagian barat dan Sborgonyie berada 1 kilometer di bagian timur dari sungai
Kuyabu. Kedua sungai ini berhulu di litologi serpentinit dan arah alirannya
melewati satuan batugamping klastik sehingga material di penyusun di dasar
sungai adalah campuran dari kedua litologi tersebut, namun kenyataannya lebih
dominan material dari litologi serpentinit. Dari pengamatan di lapangan, kegiatan
penambangan terutama lebih intensif di sungai Kuyabu dibanding sungai lainnya.
Hal ini disebabkan letak sungai Kuyabu yang relatif mudah dijangkau oleh alat
angkutan karena berada dekat dengan jalan raya disamping bongkah-bongkah
batuan yang terdapat di sungai Kuyabu berukuran lebih kecil sehingga mudah
untuk di pecah-pecah dan material berukuran pasirnya lebih kasar dengan sedikit
kandungan lempung dibanding endapan sirtu di Sungai Sborgonyie. Selain faktor
perbedaan material (ukuran maupun komposisi) dan aksebilitas, faktor lainnya
adalah kepadatan pemukiman di sekitar sungai. Pemukiman di sekitar sungai
Kuyabu, dalam hal ini di sekitar lokasi-lokasi endapan yang mudah ditambang
lebih sedikit atau tidak terlalu padat dibandingkan di sungai Sborgonyie yang rararata pemukimannya lebih berkembang di sepanjang sisi sungai.
155
Foto 6.19. Kenampakan lapangan pola distribusi material penyusun endapan pasir
dan batu secara vertikal di sungai Kuyabu yang menampakkan proses dan periode
transport yang mencirikan pola pengendapan di lingkungan dataran banjir yang
mengikuti irama energi aliran sungai. Difoto pada stasiun 34, menghadap relatif ke
barat.
Sumberdaya bahan galian endapan pasir dan batu dilakukan hanya untuk
endapan yang terdapat di sungai Kuyabu mengingat kondisi-kondisi yang telah
dibahas di atas. Perhitungannya berdasarkan metode luas rata-rata dengan
memperhatikan faktor topografi (perbedaan elevasi), erosi oleh aliran air pada saat
banjir dan pengurangan terhadap areal pemukiman yang semuanya dihitung
sebagai faktor penambangan sebesar 2 %, ketebalan endapan yang digunakan
adalah ketebalan rata-rata yang diukur langsung di lapangan. Berdasarkan
kalkulasi diperoleh nilai sumberdaya sirtu di sungai Kuyabu sebesar 1.169,375
m.
156
Foto 6.20. Timbunan endapan sirtu yang siap diangkut ke konsumen. Tampak
screening (tanda panah) yang dibuat sebagai alat pemisah satu tahap dengan
konstruksi yang sederhana.. Difoto pada stasiun 45 di daerah Perumnas II Yabansai,
menghadap relatif ke tenggara.