Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

Colitis Ulseratif
Dosen pembimbing: ANITA FATARONA, S.Kep., Ns.

Disusun oleh
Kelompok: 11

Rista Septia Wati

: 14201.06.14033

Siti Hofidatur. R.

: 14201.06.14035

Siti Ismaul

:14201.06.14036

PRODI S-1 KEPERAWATAN


STIKES HAFSHAWATY ZAINUL HASAN GENGGONG
PAJARAKAN - PROBOLINGGO
2015

HALAMAN PENGESAHAN

Colitis Ulseratif
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Ajar
Sistem Pencernaan

Mengetahui,
Dosen Mata Ajar

ANITA FATARONA, S.Kep., Ns

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas segala
limpahan rahmat dan hidayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini,
dan sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada proklamator sedunia,
pejuang tangguh yang tak gentar menghadapi segala rintangan demi umat manusia, yakni Nabi
Muhammad SAW.
Adapun maksud penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas di STIKES
Hafshawaty, kami susun dalam bentuk kajian ilmiah dengan judul COLITIS ULSERATIF dan
dengan selesainya penyusunan makalah ini, kami juga tidak lupa menyampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah, SH.MM. Selaku pengasuh pondok pesantren
Zainul Hasan Genggong
2. Ns. Iin Aini Isnawati, S.Kep.,M.Kes. Selaku ketua STIKES Hafshawaty Zainul Hasan
Genggong
3. Achmad Khusyairi,S.kep,Ns.M.Kep. Selaku Ketua Prodi S1 Keperawatan
4. Anita Fatarona, S.Kep,Ns. Selaku dosen mata ajar sistem pencernaan
Pada akhirnya atas penulisan materi ini kami menyadari bahwa sepenuhnya belum
sempurna. Oleh karena itu kami dengan rendah hati mengharap kritik dan saran dari pihak dosen
dan para audien untuk perbaikan dan penyempurnaan pada materi makalah ini.

Probolinggo, Oktober 2015

Penyusun

DAFTAR ISI

Cover
Halaman Pengesahan
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

1.2

Rumusan Masalah

1.3

Tujuan

1.4

Manfaat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1

pengertian

2.2

Etiologi

2.3

Patofosiologi

2.4

Manifestasi Klinis

2.5

Pemeriksaan Penunjang

2.6

Penatalaksanaan

2.7

komplikasi

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN


3.1

Pengkajian

3.2

Diagnosa Keperawatan

3.3

Intervansi Keperawatan

BAB IV PENUTUP
4.1

kesimpulan

4.2

Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan
saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui jelas. Secara
garis besar IBD teridiri dari 3 jenis, yaitu colitis ulseratif, penyakit Crohn, dan bila sulit
membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan dalam kategori indeterminate colitis
(Ariestine, 2008). Colitis ulseratif merupakan salah satu dari dua tipe Inflammatory
Bowel Disease (IBD), selain Crohn disease. Tidak seperti Crohn disease, yang dapat
mengenai semua bagian dari traktus gastrointestinal, colitis ulseratif seringnya mengenai
usus besar, dan dapat terlihat dengan colonoscopy. Colitis ulseratif merupakan penyakit
seumur hidup yang memiliki dampak emosional dan sosial yang amat sangat pada pasien
yang terkena, dan ditandai dengan adanya eksaserbasi secara intermitten dan remisinya
gejala klinik (Basson, 2011).
Etiologi pasti dari colitis ulseratif masih belum diketahui, tetapi penyakit ini
multifaktorial dan polygenic. Faktor-faktor penyebabnya termasuk faktor lingkungan,
disfungsi imun, dan predisposisi genetik. Ada beberapa sugesti bahwa anak dengan berat
badan lahir di bawah rata-rata yang lahir dari ibu dengan colitis ulseratif memiliki risiko
lebih besar untuk terjadinya perkembangan penyakit (Basson, 2011).
Histocompatibility human leukocyte antigen (HLA-B27) merupakan antigen yang
sering teridentifikasi pada pasien-pasien dengan colitis ulseratif, meskipun penemuan ini
tidak berhubungan dengan kondisi pasien, dan adanya HLA-B27 tidak menunjukkan
peningkatan risiko untuk colitis ulseratif. Colitis ulseratif bisa dipengaruhi oleh makanan,
meskipun makanan hanya sebagai faktor sekunder. Antigen makanan atau bakterial dapat
berefek pada mukosa usus yang telah rusak, sehingga meningkatkan permeabilitasnya
(Basson, 2011).
Di Amerika Serikat, sekitar 1 miliar orang terkena colitis ulseratif. Insidennya
10.4-12 kasus per 100.000 orang per tahunnya. Rata-rata prevalensinya antara 35-100
kasus per 100.000 orang (Basson, 2011). Sementara itu, puncak kejadian penyakit
tersebut adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi pada
setiap decade kehidupan (Ariestine, 2008). Colitis ulseratif terjadi 3 kali lebih sering
daripada Crohn disease. Colitis ulseratif terjadi lebih sering pada orang kulit putih
daripada orang African American atau Hispanic. Colitis ulseratif juga lebih sering terjadi
pada wanita daripada laki-laki (Basson, 2011).

1.2

Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

1.3

Apakah pengertian Colitis Ulseratif?


Apa saja Etiologi Colitis Ulseratif?
Apa saja Klasifikasi Colitis Ulseratif?
Bagaimana Patofisiologi Colitis Ulseratif?
Bagaimana Manifestasi Klinis Colitis Ulseratif?
Bagaimana Pemeriksaan Penunjang Colitis Ulseratif?
Bagaimana Komplikasi Colitis Ulseratif?
Bagaimana Penatalaksanaan Colitis Ulseratif?
Bagaimana Askep dengan Colitis Ulseratif?

Tujuan

1.1.1

Tujuan Umum
Untuk memahani Askep Colitis Ulseratif

1.1.2

1.4

Tujuan Khusus
1.1.2.1 Untuk memahami Etiologi Colitis Ulseratif
1.1.2.2 Untuk memahami Klasiikasi Colitis Ulseratif
1.1.2.3 Untuk memahami Patofisiolgi Colitis Ulseratif
1.1.2.4 Untuk memahami Manifestasi Klinis Colitis Ulseratif
1.1.2.5 Untuk memahami Pemeriksaan Penunjang Colitis Ulseratif
1.1.2.6 Untuk memahami Komplikasi Colitis Ulseratif
1.1.2.7 Untuk memahami Penatalaksanaan Colitis Ulseratif

Manfaat
1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan
Makalah ini bagi Institusi Pendidikan Kesehatan adalah untuk mengetahui tingkat
kemampuan mahasiwa sebagai peserta didik dalam menelaah suatu fenomena kesehatan
yang spesifik tentang penyakit Colitis Ulseratif

1.4.2 Bagi Profesi Keperawatan


Makalah ini bagi masyarakat adalah sebagai penambah wawasan terhapa
fenomena kesehatan yang saat ini menjadi pembahasan tersendiri dikalangan
masyarakat ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi Fisiologi
Usus besar/intestinum krasum merupakan saluran terakhir dari saluan pencernaan.
Sesuai dengan namanya, usus ini memiliki ukuran diameter 6,5 cm (bandingkan dengan
ukuran diameter usus halus, yaitu 2,5 cm), sedangkan ukuran panjangnya hanya 1 meter.
Pada pertemuan antara usus halus dan usus besar terdapat suatu kantong yang disebut
sekum (lebih dikenal sebagai usus buntu) dan apendiks (umbai cacing). Pada manusia,
umbai cacing berfungsi untuk melawan infeksi. Peradangan pada umbai cacing disebut
apendiksistis. Pada sekum terdapat sebuah klep yang disebut klep ileosekum, yaitu
semacam otot sfingter yang berfungsi untuk mencegah bakteri tidak kembali ke usus
halus. Usus besar atau disebut juga kolon dibedakan atas 3 bagian, yaitu usus besar naik
atau kolon ascenden, usus besar melintang atau kolon transversum, dan usus besar turun
atau kolon descenden.
Didalam usus besar hidup berbagai bakteri, terutama Escherichia coli, jenis
bakteri yang dapat hidup dengan atau tanpa oksigen. Bakteri ini berfungsi dalam
pembusukan sisa makanan dan pembentukan vitamin K dan B kompleks yang diperlukan
oleh tubuh. Selain itu, didalam usus besar terjadi juga proses pengaturan kadar air dalam
pembentukan feses. Selanjutnya, melalui gerakan peristaltik feses yang terbentuk
didorong masuk kedalam rektum. Rektum merupakan bagian terakhir dari usus besar
yang berfungsi sebagai tempat penampungan sementara sebelum dikeluarkan melalui
sfingter terakhir, yaitu anus. Proses pengeluaran feses melalui anus disebut dengan
dengan defekasi.
Secara makroskopis usus besar dapat dibagi menjadi 6 bagian, yaitu sekum, kolon
ascenden, kolon transversus, kolon desenden, sigmoid, dan rektum. Keenam bagian ini
sulit dibedakan secara histologis.
a.

Sekum

Sekum adalah kantong tertutup yang menggantung dibawah area katup ileosekal. Sekum
atau caecum adalah bagian dari usus besar yang menghubungkan ileum (usus halus)
dan colon ascenden (usus besar). Berfungsi menyerap air dan garam.
b.

Kolon

Kolon adalah bagian usus besar dari sekum sampai rektum. Kolon memiliki 3 divisi.
1. Kolon asenden merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hati di sebelah kanan
dan membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.
2. Kolon transversa merentang menyilang abdomen dibawah hati dan lambung
sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar ke bawah pada fleksura
splenik.

3. Kolon desenden merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon
sogmoid berbentuk S yang bermuara di rektum.
c.

Rektum

Rektum adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang 12-13 cm. Rektum
berakhir pada saluran anal dan membuka ke eksterior di anus. Bagian terakhir dari usus
besar disebut rektum. Di sinilah bahan limbah dalam bentuk feses disimpan sampai
diekskresikan keluar dari anus. Ini terdiri dari lapisan mukosa tebal dan disertakan
dengan banyak pembuluh darah.
1. Mukosa saluran anal tersusun dari kolumna rektal(anal), yaitu lipatan-lipatan
vertikal yang masing-masing berisi arteri dan vena.
2. Sfingter dan internal otot polos (involunter) dan sfingter anal eksternal otot
rangka (volunter) mengitari anus.
Sistem Kerja Usus Besar
Usus besar atau kolon memiliki panjang 1 meter dan terdiri atas kolon
ascendens, kolon transversum, dan kolon descendens.Di antara intestinum tenue (usus
halus) dan intestinum crassum (usus besar) terdapat sekum (usus buntu). Pada ujung
sekum terdapat tonjolan kecil yang disebut appendiks (umbai cacing) yang berisi massa
sel darah putih yang berperan dalam imunitas.
Zat-zat sisa di dalam usus besar ini didorong kebagian belakang dengan gerakan
peristaltik. Zat-zat sisa ini masih mengandung banyak air dan garam mineral yang
diperlukan oleh tubuh. Air dan garam mineral kemudian diabsorpsi kembali oleh dinding
kolon, yaitu kolon ascendens. Zat-zat sisa berada dalam usus besar selama 1 sampai 4
hari. Pada saat itu terjadi proses pembusukan terhadap zat-zat sisa dengan dibantu bakteri
Escherichia coli, yang mampu membentuk vitamin K dan B12. Selanjutnya dengan
gerakan peristaltik, zat-zat sisa ini terdorong sedikit demi sedikit ke saluran akhir dari
pencernaan yaitu rektum dan akhirnya keluar dengan proses defekasi melewati anus.
Defekasi diawali dengan terjadinya penggelembungan bagian rektum akibat suatu
rangsang yang disebut refleks gastrokolik. Kemudian akibat adanya aktivitas kontraksi
rektum dan otot sfingter yang berhubungan mengakibatkan terjadinya defekasi. Di dalam
usus besar ini semua proses pencernaan telah selesai dengan sempurna.

Fungsi Usus Besar


1. Absorbsi air, garam dan glukosa

Usus besar mengabsorbsi 80% sampai 90% air dan elektrolit dari kimus yang
tersisa dan mengubah kimus dari cairan menjadi massa semi padat.
2. Sekresi
Sekresi Mukus. Mukosa usus besar, seperti mukosa usus halus,dilapisi oleh kripta
Lieberkuhn, tetapi sel- sel epitel hampir tidak mengandung enzim. Sebagai
gantinya, mereka hampir seluruhnya diliputi oleh sel goblet. Pada permukaan
epitel usus besar juga terdapat banyak sel goblet yang tersebar di antara sel sel
epitel lainnya.
Oleh karena itu, satu satunya ekskresi yang bermakna dalam usus besar adalah
mucus. Mukus dalam usus besar berfungsi melindungi dinding terhadap
eksokoriasi, selain itu, berperan sebagai media pelekat agar bahan feses saling
bersatu. Selanjutnya, ia melindungi dinding usus dari aktivitas bakteri yang besar,
yang berlangsung di dalam feses dan mucus, ditambah sekresi yang bersifat
alkali, juga memberikan penawar terhadap asam yang dibentuk dalam feses, yang
mencegah penyerangan dinding usus
Sekresi air dan elektrolit sebagai respon terhadap iritasi. Bila suatu segmen usus
besar mengalami iritasi hebat, seperti yang terjadi bila infeksi bakteri menghebat
selama enteritis bakterialis, mukosa kemudian mensekresi air dan elektrolit dalam
jumlah besar selain larutan mucus normal yang kental. Zat ini bekerja
mengencerkan faktor pengiritasi dan menyebabkan pergerakan feses yang cepat
menuju ke anus. Hasilnya biasanya berupa diare disertai kehilangan banyak air
dan elektrolit tetapi juga penyembuhan dari penyakit yang lebih awal
dibandingkan bila hal ini tidak terjadi.
3. Penyiapan selulosa
Sejumlah bakteri dalam kolon mampu mencerna sejumlah kecil selulosa dan
memproduksi sedikit kalori nutrien bagi tubuh dalam setiap hari. Bakteri juga
memproduksi vitamin dan berbagai gas. Penyiapan selulosa yang berupa hidrat
karbon di dalam tumbuh-tumbuhan, buh-buahan dan sayuran hijau, dan penyiapan
sisa protein yang belum dicernakan oleh kerja bakteri untuk sekresi.
4. Defekasi
Proses defekasi (buang air besar) adalah proses yang sangat penting dalam proses
pencernaan, juga sangat erat kaitannya dengan tingkat kesehatan tubuh. Usus
besar mengekskresi zat sisa dalam bentuk feses. Air mencapai 75% sampai 80%
feses. Sepertiga materi padatnya adalah bakteri dan sisanya yang 2% sampai 3%
dalah nitrogen, zat sisa organik dan anorganik dari sekresi pencernaan, serta
mukus dan lemak. Feses juga mengandung sejumlah materi kasar, atau serat dan
selulosa yang tidak tercerna. Warna coklat berasal dari pigmen empedu dan bau
berasal dari kerja bakteri.

Jika proses defekasi terhambat maka akan terjadi penumpukan sisa-sisa makanan
yang telah membusuk. Pembusukan tesebut menghasilkan toksin yang dapat
mengikis membran mukosa usus besar sehingga terjadi infeksi. Selain itu
tumpukan kotoran yang tidak terbuang akan membentuk plak di dinding usus.
Plak ini dapat menjadi tempat bersarangnya bakteri dan virus patogen yang dapat
menginfeksi membran usus dan masuk ke sirkulasi tubuh dan menyerang seluruh
organ tubuh. Kondisi inilah yang disebut proses autointoksinasi. Sisa-sisa
makanan akan mengalami masa transit di usus besar kurang lebih 14 jam.
Kemudian pembuangan bila lambung terisi makanan dan merangsang peristaltik
didalam usus besar.
Pergerakan Usus Besar
1. Gerakan Mencampur Haustra
Melalui cara yang sama dengan terjadinya gerak segmentasi dalam usus halus,
kontraksi-kontraksi sirkular yang besar terjadi dalam usus besar. Pada setiap kontriksi
ini, kira-kira 2,5 cm otot sirkular akan berkontraksi, kadang menyempitkan lumen
kolon sampai hampir tersumbat. Pada saat yang sama, otot longitudinal kolon yang
terkumpul menjadi tiga pita longitudinal yang disebut taenia coli, akan berkontraksi.
Kontraksi gabungan dari pita otot sirkular dan longitudinal menyebabkan bagian usus
besar yang tidak terangsang menonjol ke luar memberikan bentuk serupa-kantung
yang disebut haustra.
Setiap haustra biasanya mencapai intensitas puncak dalam waktu sekitar 30
detik dan kemudian menghilang selama 60 detik berikutnya. Kadang-kadang
kontraksi juga bergerak lambat menuju ke anus selama masa kontraksinya, terutama
pada sekum dan kolon asenden, dan karena itu menyebabkan sejumlah kecil dorongan
isi kolon ke depan. Beberapa menit kemudian, timbul kontraksi haustra yang baru
pada daerah lain yang berdekatan. Oleh karena itu, bahan feses dalam usus besar
secara lambat diaduk dan diputar seperti seseorang sedang mencampurkan bahan
bangunan. Dengan cara ini, semua bahan feses bertahap bersentuhan dengan
permukaan mukosa usus besar, dan cairan-cairan zat terlarut secara progresif
diabsorpsi hingga hanya terdapat 80 sampai 200 mililiter feses yang dikeluarkan
setiap hari.
Karena gerakan kolon lambat, bakteri memiliki cukup waktu untuk tumbuh
dan menumpuk di usus besar. Sebaliknya, di usus halus isi lumen biasanya bergerak
cukup cepat, sehingga bakteri sulit tumbuh. Tidak semua bakteri yang termakan dapat
dihancurkan oleh lisozim liur dan HCL lambung, sehingga bakteri yang dapat
bertahan hidup dapat tumbuh subur di usus besar. Sebagian besar mikro-organisme di
kolon tidak berbahaya apabila berada dilokasi ini.
2. Gerakan Mendorong Pergerakan Massa

Tiga sampai empat kali sehari, umumnya setelah makan, terjadi peningkatan
nyata motilitas, yaitu terjadi kontraksi simultan segmen-segmen besar di kolon
asendens dan transverse, sehingga dalam beberapa detik feses terdorong sepertiga
sampai tiga perempat dari panjang kolon. Kontraksi-kontraksi masif yang diberi nama
gerakan massa ( mass movement) ini, mendorong isi kolon kebagian distal usus besar,
tempat isi tersebut disimpan sampai terjadi defekasi.
Sewaktu makanan masuk ke lambung, terjadi gerakan massa di kolon yang
terutama disebabkan oleh refleks gastrokolik, yang diperantai oleh gastrin dari
lambung ke kolon dan oleh saraf otonom ekstrinsik. Pada banyak orang , refleks ini
paling jelas setelah makanan pertama (pagi hari) dan sering diikuti oleh keinginan
kuat untuk segera buang air besar. Dengan demikian, makanan yang baru memasuki
saluran pencernaan, akan terpicu oleh refleks-refleks untuk memindahkan isi yang
sudah ada ke bagian saluran cerna yang lebih distal dan memberi jalan bagi makanan
baru tersebut. Refleks gastroileum memindahkan isi usus halus yang tersisa ke dalam
usus besar, dan refleks gastrokolik mendorong isi kolon ke dalam rectum yang
memicu refleks defekasi.
3. Refleks Defekasi
Sewaktu gerakan massa kolon mendorong isi kolon ke dalam rektum, terjadi
peregangan rektum yang kemudian merangsang reseptor regang di dinding rectum
dan memicu refleks defekasi.1 Satu dari refleks-refleks ini adalah refleks intrinsik
yang diperantarai oleh sistem saraf enterik setempat di dalam rektum. Hal ini bisa
dijelaskan sebagai berikut : Bila feses memasuki rektum, distensi dinding rektum
menimbulkan sinyal-sinyal aferen yang menyebar melalui pleksus mienterikus untuk
menibulkan gelombang peristaltik di dalam kolon desenden, sigmoid, dan rektum,
mendorong feses ke arah anus. Sewaktu gelombang peristaltik mendekati anus,
sfingter ani internus direlaksasi oleh sinyal-sinyal penghambat dari pleksus
mienterikus. Jika sfingter ani eksternus juga dalam keadaan sadar, dan berelaksasi
secara volunter pada waktu yang bersamaan, terjadilah defekasi. Peregangan awal
dinding rektum menimbulkan perasaan ingin buang air besar.
Apabila defekasi ditunda, dinding rektum yang semula teregang akan
perlahan-lahan melemas dan keinginan untuk buang air besar mereda samapi gerakan
massa berikutnya mendorong lebih banyak feses ke dalam rektum, yang kembali
meregangkan rektum dan memicu refleks defekasi. Selama periode non-aktif, kedua
sfingter anus tetap berkontraksi untuk memastikan tidak terjadi pengeluaran feses.
2.2

Pengertian Colitis Ulseratif

Colitis ulseratif adalah gangguan peradangan kronis idiopatik yang terjadi pada
usus besar, khususnya bagian kolon desenden sampai rektum (Monica Etner, 2001).
Colitis ulseratif adalah penyakit inflamasi yang mengenai mukosa kolon dan
biasanya bersifat kronis. Colitis ini selalu dimulai di daerah rektum serta kolon sigmoid,
kemudian meluas ke atas hingga mengenai seluruh kolon tetapi jarang menyerang usus
halus. Kolitis ulseratif menumbulkan edema (yang membuat mukosa kolon menjadi
rapuh) dan ulserasi. Tingkat keparahan berkisar dari penggunaan ringan yang terlokalisasi
hingga penyakit fulminan yang bisa menimbulkan perforasi kolon, dan kemudian
berlanjut dengan peritonitis yang bisa membawa kematian serta toksemia. Penyakit ini
memiliki siklus antara eksaserbasi dan remisi.
2.3

Etiologi
Penyebab dari colitis ulseratif sangat beragam, meliputi fenoma autoimun, faktor
genetik, perokok pasif, diet, pascaapendektomi, dan infeksi.
Pada fenomena autoimun, serum, dan mukosa auto-antibodi akan melawan sel-sel
epitel usus yang mungkin terlibat. Pada studi individu dengan colitis ulseratif sering
ditemukan memiliki antibodi p-antineutrophil cytoplasmic (Fiocchi, 1998). Pada
fenomena yang diperantarai respons imun, terdapat kelainan humoral dan imunitas yang
diperantarai sel dan/ atau reaktivitas umum terhadap antigen bakteri usus. Hilangnya
toleransi terhadap flora usus normal diyakini merupakan peristiwa utama dalam
patogenesis penyakit inflamasi usus (Khan, 2009). Faktor kerentanan genetik (kromosom
12 dan 16) adalah faktor yang dikaitkan dengan colitis ulseratif. Sejarah keluarga yang
positif (diamati pada 1 dari 6 keluarga) berhubungan dengan resiko lebih tinggi untuk
terjadinya penyakit (Selby, 1998). Perokok pasif dikaitkan dengan colitis ulseratif,
sedangkan perokok justru lebih rendah untuk terjadi colitis ulseratif. Kondisi ini
merupakan fenomena terbalik dibandingkan dengan enteritis regional (Chrons disease)
(Thomas, 2000). Faktor konsumsi makanan, khususnya yang terbuat dari susu dapat
mengeksaserbasi (meningkatkan) respon penyakit (Jayanthi, 1991). Pascaapendektomi
mempunyai asosiasi negatif dengan colitis ulseratif (Le,2008). Infeksi tertentu telah
terlibat dalam penyakit inflamasi usus, misalnya campak, infeksi mikrobakteri atipikal
(Tremaine, 2000).

2.4

Patofosiologi
Colitis ulseratif adalah penyakit imflamasi primer dari membran mukosa kolon.
Penyakit ini dapat mengenai rektum, atau mempengaruhi sigmen-sigmen kolon atau
bahkan seluruh kolon. Usus berisi sekrei berdarah, mukoid yang menghasilkan
karakteristik nyeri kram, dorongan rektal, dan diare (Monica Etner, 2001).
Secara patologis, colitis ulseratif biasanya mulai pada area rektal dan meluas
sepanjang kolon. Area ulkus inflamasi mikroskopik mungkin berdekatan dengan areaarea yang sembuh, tetapi prosesnya berlanjut tanpa karakteristik lesi skip dari penyakit
Crohn. Pada fase akut mukosa kolon hiperemik dan edema, dan sekresi yang biasanya
ada menjadi tidak ada. Hemoragis mukosa sedikit terlihat dan bentuk abses pada ulkus
kecil. Mukosa cenderung terganggu dan hilang melalui feses. Ulserasi terbatas pada
mukosa dan submukosa, dan penggabungan molkus-molkus dapat menggunduli area
yang luas dari kolon yang terkena. Saat penyakit memasuki fase kronis, ulserasi menjadi
fibrotik dan terjadi penebalan dinding usus. Obstruksi usus jarang terjadi karena
penebalan fibrosa (Monica Etner, 2001).
Suatu serangan bisa mendadak dan berat, menyebabkan diare hebat, demam
tinggi, sakit perut dan peritonitis (radang selaput perut). Selama serangan, penderita
tampak sangat sakit. Yang lebih sering terjadi adalah serangannya dimulai bertahap,
dimana penderita memiliki keinginan untuk buang air besar yang sangat, kram ringan
pada perut bawah dan tinja yang berdarah dan berlendir.
Jika penyakit ini terbatas pada rektum dan kolon sigmoid, tinja mungkin normal
atau keras dan kering. Tetapi selama atau diantara waktu buang air besar, dari rektum
keluar lendir yang mengandung banyak sel darah merah dan sel darah putih. Gejala
umum berupa demam, bisa ringan atau malah tidak muncul. Jika penyakit menyebar ke
usus besar, tinja lebih lunak dan penderita buang air besar sebanyak 10-20 kali/ hari.
Penderita sering mengalami kram perut yang berat, kejang pada rektum yang terasa nyeri,
disertai keinginan untuk buang air besar yang sangat. Pada malam haripun gejala ini tidak
berkurang. Tinja tampak encer dan mengandung nanah, darah dan lendir. Yang paling
sering ditemukan adalah tinja yang hampir seluruhnya berisi darah dan nanah.
Penderita bisa demam, nafsu makannya menurun dan berat badannya berkurang. Kolitis
ulseratif adalah penyakit ulseratif dan inflamasi berulang dari lapisan mukosa kolon dan
rectum. Penyakit ini umumnya mengenai orang kaukasia, termasuk keturunan Yahudi.
Puncak insidens adalah pada usia 30-50 tahun. Kolitis ulseratif adalah penyakit serius,
disertai dengan komplikasi sistemik dan angka mortalitas yang tinggi. Akhirnya 10%15% pasien mengalami karsinoma kolon.

Colitis ulseratif mempengaruhi mukosa superfisisal kolon dan dikarakteristikkan


dengan adanya ulserasi multiple, inflamasi menyebar, dan deskuamasi atau pengelupasan
epitelium kolonik. Perdarahan terjadi sebagai akibat dari ulserasi. Lesi berlanjut, yang
terjadi satu secara bergiliran, satu lesi diikuti lesi yang lainnya. Proses penyakit mulai
pada rectum dan akhirnya dapat mengenai seluruh kolon. Akhirnya usus menyempit,
memendek dan menebal akibat hipertrofi muskuler dan deposit lemak.
a. Faktor Pencetus Terjadinya Colitis Ulceratif
Sementara ini penyebab kolitis ulserativa masih belum diketahui,
beberapa, mungkin saling berkaitan, menyebabkan telah diusulkan. Sebagian
orang berpendapat bahwa penyakit terkecil dapat memicu penyakit.
b. Faktor-faktor genetik
Sebuah genetik komponen ke etiologi kolitis ulseratif dapat didasarkan
pada hipotesis berikut:
1. Agregasi dari kolitis ulserativa dalam keluarga
2. Identik kembar konkordansi sebesar 10% dan dizigotik tingkat konkordansi
kembar 3%
3. Incidence Etnis perbedaan dalam insiden
4. Penanda genetik dan keterkaitan
Beberapa penyakit autoimun telah direkam dengan genetik neurovisceral dan kulit
porphyrias termasuk ulcerative colitis, penyakit Crohn, penyakit celiac, dermatitis
herpetiformis, diabetes, sistemik dan diskoid lupus, rheumatoid arthritis, spondilitis
spondilitis, skleroderma, penyakit Sjorgen dan scleritis. Dokter harus berada pada siaga
tinggi untuk keluarga dengan porphyrias di autoimmune disorders dan perhatian harus
diambil dengan porphyrinogenic potensi obat-obatan, termasuk sulfasalazine.
c. Faktor-faktor lingkungan
Banyak hipotesis telah dibesarkan contributants lingkungan ke patogenesis
ulseratif kolitis. Mereka meliputi:
1. Diet: sebagai usus besar terkena banyak zat-zat makanan yang dapat mendorong
peradangan, faktor-faktor diet yang telah dihipotesiskan untuk memainkan peran
dalam patogenesis dari kedua ulcerative colitis dan penyakit Crohn. Ada beberapa

studi untuk menyelidiki seperti asosiasi, tetapi satu studi menunjukkan tidak ada
asosiasi olahan gula pada prevalensi kolitis ulserativa.
Diet: Sebuah beragi diet rendah serat makanan dapat mempengaruhi insiden
kolitis ulserativa.
2. Menyusui: Ada laporan yang saling bertentangan perlindungan menyusui dalam
perkembangan penyakit inflamasi usus. Satu Italia penelitian menunjukkan efek
perlindungan yang potensial.

Pathway

Faktor peredisposisi fenomena auto imun, faktor genetik,


perokok pasif, diet, pasca apendektomi dan infeksi

Respon peningkatan progresivitas colitis ulseratif

Colitis ulseratif

Jaringan parut dan pembentukan ulkus pada kolon

Obstruksi usus
megakolon
toksik reflaktor
terhadap terapi
farmakologi
perdarahan
masif

Respon
psikologis

Penyempitan
lumen intestinal

Gangguan
gastrointestinal

Kecemasan
pemenuhan
informasi

Gangguan
transportasi
makanan

Mual, muntah,
kembung,
anaroksia

Preoperatif

Respons
psikologis
misinterpretasi
perawatan dan
penatalaksanan
pengobatan

Kecemasan
pemenuhan
informasi

2.5

Nyeri

pascaoperatif

Port de entree
pascabedah

Resiko infeksi

Penurunan
kemampuan
batuk efektif

Manifestasi Klinis

Kerusakan
jaringan
pascabedah

Anemia

Cepat lelah,
keletihan

Kram abdomen

Intervensi
bedah total
kolektomi dan
ileustomi

Perdarahan kronis

Intake nutrisi tidak


adekuat. Penurunan
berat badan. Output
cairan berlabih

Ketidak seimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan
Ketidak seimbangan
cairan dan elektrolit

Aktual/ resiko
ketidakseimbangan
bersihan jalan napas

Defisit
perawatan diri

Suplai
darah ke
jaringan
tidak

Resiko
ketidak
efektifan
Perfusi
jaringan
selebral
Syok
(hipovolemik)

Manifestasi klinis bervariasi. Gejala klasik meliputi nyeri kram abdomen, diare
berdarah, demam, dan keseimbangan elektrolit, dan penurunan berat badan. Temuan
laboratorium

meliputi

anemia,

leukositosis,

hipoalbuminemia,

ketidakseibangan

elektrolit, dan peningkatan kadar fosfatase alkalin serum. Meskipun bukti patologis
berbeda, kolitis ulseratif dan enteritis regional dapat membingungkan secara klinis
(Monica Etner, 2001).
2.6

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi dan biokimia terdapat peningkatan
hitung jenis LED pada serangan berat. Pemeriksaan fungsi hepar diperlukan untuk
mendeteksi adanya komplikasi.
Pada analisis dan kultur feses mungkin ditemukan eritrosit walau tanpa
perdarahan rektum, dan adanya leukosit membuktikakan terjadinya inflamasi atau
infeksi. Tak ditemukannya

mikroorganisme tak dapat menyingkirkan infeksi secara

otomati. Pada infeksi oleh Clostridium difficile, selain kultur harus dilakukan
pemeriksaan toksin.
Foto polos abdomen menunjukkan dilatasi kolon atau gambaran perforasi pada
kasus kolitis yang fulminan. Sebaiknya dilakukan sigmoidoskopi dan biopsi bila terdapat
kecurigaan kolitis. Akan terlihat kerusakan kripti akibat perubahan kronis pada penyakit
usus inflamatorik. Bila tak ada kerusakan kripti, kemungkinan terjadi kolitis akibat
infeksi.
2.7

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medikal :
Penatalaksanaan medial, yang terutama ditujukan untuk mengontrol manifestasi,
serupa untuk kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Karena proses inflamasi pada penyakit
Crohn melibatkan lapisan lebih dalam dari dinding usus dan lebih kronis, penyembuhan
dapat terjadi lebih lambat dari kolitis ulseratif. Sehingga terapi anti inflamasi, termasuk
steroid, diperlukan selama periode yang lebih lama pada penyakit Crohn dari pada kolitis
ulseratif (Monica Etner, 2001).
Penatalaksanaan Bedah :
Penatalaksanaan bedah umumnya digunakan untuk mengatasi kolitis ulseratif,
tetapi bukan penyakit Crohn, kecuali untuk mengatasi komplikasi. Bila penatalaksanaan
medikal gagal dan kondisi sulit diatasi, intervensi bedah biasanya diindikasikan pada
kedua kondisi untuk komplikasi seperti perforasi, hemoragi, obstruksi, toksik,
megakolon, abses, fitsula, dan kondisi sulit sembuh (Monica Etner, 2001).
Pembedahan dilakukan sesuai dengan kondisi klinik individu. Beberapa jenis
pembedahan pada kolitis ulseratif, meliputi : Subtotal Colectomy with Ileostomy and
Hartmanns Pouch, Total Proctocolectomy with Ileostomy, Total Abdominal Colectomy

with Ileal Rectal Anastomosis, Total Proctocolectomy with Continent (Kock) Pouch, Total
Proctocolectomy with Ileal Pouch Anal Anastomosis, Anal Transition Zone Preservation,
dan Doverting Ileostomy
Penatalaksanaan Farmakologis :
a. Obat-obatan anti diare
b. Obat-obatan anti-inflamasi
c. Preparat imunosupresif
d. Obat-obatan antikolinergis
e. Obat-obatan antiefektif
2.8

Komplikasi
Komplikasi kolitis ulseratif meliputi obstruksi, dehidrasi, dan ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit mayor. Terjadi malabsorbsi umum, dan kehilangan darah dalam feses
dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Serum plasma pada beberapa organ dengan
penyakit ini telah menunjukkan memiliki antibodi terhadap sel-sel epitel krolonik.
Banyak faktor etiologis penyakit Crohn juga umum terjadi pada kolitis ulseratif (Monica
Esner, 2001).
Komplikasi dapat meliputi:
1. Perforasi
2. Toksik mangakolon
3. Penyakit hati
4. Pembentukan striktur
5. Kanker kolon
6. Anemia

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Kolitis ulseratif terdiri atas pengkajian, anamnesis, pemeriksaan fisik, evaluasi
diagnostik. Pada anamnesis keluhan utama yang lazim didapatkan adalah nyeri abdomen,
diare, tenesmus intermiten, dan perdarahan rektal.
Keluhan nyeri bersifat kronis, yaitu berupa nyeri kram pada kuadran perium bilikal kiri
bawah. Kondisi rasa sakit bisa mendahului diare dan mungkin sebagian pasien
melaporkan perasaan nyaman setelah BAB. Diare biasanya disertai darah. Pasien
melaporkan mengeluarkan feses cair 10-20 x sehari. Pasien juga mengeluh saat BAB
seperti ada yang menghalangi.
Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang, kondisi ringan karena kolitis ulseratif adalah
penyakit mukosa yang terbatas pada kolon, gejala yang paling umum adalah pendarahan
anus, diare, dan sakit perut. Pada kondisi kolitis ulseratif berat terjadi pada sekitar 10%
dari pasien, didapat keluhan lainnya yang menyertai, sepertinya menyertai, seperti
peningkatan suhu tubuh, mual, muntah, anoreksia, perasaan lemah, dan penurunan nafsu
makan. Pesien dengan kolitis parah dapat mengalami komplikasi yang mengancam
nyawa, termasuk pendarahan parah, megakolon toksik, atau perforasi usus.
Riwayat penyakit dahulu penting digali untuk menentukan penyakit dasar yang
menyebabkan kondisi enteritis regional. Pengkajian predisposisi seperti genetik,
lingkungan, infeksi, imunitas, makan, dan merokok perlu didokumentasikan,. Anamnesis
penyakit sismetik, seperti DM, hipertensi, dan tuberkulosis dipertimbangkan sebagai
sarana pengkajian preoperatif.
Pengkajian psikososial akan didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen
dan rencana pembedahan, serta perlunya pemenuhan informasi prabedah.
Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi tergantung pada sejauh mana, durasi, dan
tingkat keparahan penyakit. Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai dengan manifestasi
klinik yang muncul. Pada kolitis ulseratif berat survai umum pasien terlihat lemah dan
kesakitan, TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan diare. Suhu badan pasien
anak naik >38,5oC dan terjadi takikardia. Penyakit berat badan yang disesuaikan dengan
tinggi badan dapat menentukan status nutrisi.
Pada pemeriksaan fisik fokus akan didapatkan:
B1

: takipnea dapat hadir karena sembelit atau sebagian mekanisme

kompensasi asidosis dalam kasus dehidrasi parah.


B2

: takikardia dapat mewakili anemia atau hipovolemia. Turgor kulit >3 detik
menandakan gejala dehidrasi.

B3

: perubahan tingkat kesadara berhibungan dengan penurunan perfusi ke otak.


Pesien dengan episkleritis dapat hadir dengan erythematous yang menyakitkan
mata.

B4

: oliguria dan anuria pada dehidrasi berat

B5

: inspeksi:

kram abdomen didapatkan. Perut didapatkan kembung.


Pada kondisi kronis, status nutrisi bisa didapatkan tanda-tanda
kekurangan gizi, seperti atrofi otot dan pasien terlihat kronis.

Palpasi:

nyeri tekan abdomen (tenderness), menunjukkan penyakit parah


dan kemungkinan perforasi. Nyeri lepas dapat terjadi pada kuadran
kanan bawah.

Perkusi:

nyeri ketuk dan timpani akibat adanya flatulen.

Auskultasi: bising usus bisa normal, hiperaktif atau hiporaktif. Nada


gemerincing bernada tinggi dapat ditemukan dalam kasus-kasus
obstruksi.

B6

: kelemahan fisik umum sekunder dari keletihan dan pemakaian energi setelah
nyeri dan diare. Nyeri sendi (arthralgia) adalah gejala umum yang ditemukan pada
penyakit inflamasi usus. Sendi besar, seperti lutut, pergelangan kaki, pergelangan
tangan, dan siku yang paling sering terlibat, tetapi setiap sendi dapat terlibat. Pada
integumen, kulit pucat mungkin mengungkapkan anemia, penurunan turgor kulit
dalam kasus dehidrasi, eritema nodosum dapat terlihat pada permukaan ekstensor.

a. Aktivitas/istirahat
Gejala: kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah. Insomnia, tidak tidur semalaman
karena diare. Merasa gelisah dan ansietas. Pembatasan aktivitas/kerja sehubungan dengan
efek proses penyakit.
b. Sirkulasi
Tanda: takikardia (respons terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi, dan nyeri)
Kemerahan, area ekimosis (kekurangan vitamin K)
TD: Hipotensi, termasuk postural.
Kulit/LocialLi mukosa: turgor buruk, kering, lidah pecah-pecah (dehidrasi/malnutrisi)

c. Integritas ego
Gejala: ansietas, ketakutan, emosi kesal, mis. Perasaan tak berdaya/tak ada harapan.
Factor stress akut/kronis, missal hubungan dengan keluarga/pekerjaan,
Pengobatan yang mahal, Locial budaya peningkatan prevalensi pada populasi yahudi
Tanda ; Menolak, perhatian menyempit, depresi
d. Eliminasi
Gejala : Tekstur feses bervariasi dari bentuk lunak sampai bau atau ber air, episode diare
berdarah tak dapat diperkirakan, hilang timbul, sering, tak dapat di control ( sebanyak 2030

kali

defekasi/hari):

perasaan

dorongan/kram

(tenesmus):

defekasi

berdarah/pus/mukosa dengan atau tanpa keluar feses


Tanda : menurunnya bising usus, tak ada peristaltic atau adanya peristaltic yang dapat di
lihat. Hemoroid, fisura anal (25%): fistula perianal ( lebih sering pada crohn ). Oliguria
e. Makanan/ cairan
Gejala ; anoreksia, mual/muntah, penurunan berat badan, tidak toleran terhadap
diet/sensitive missal buah segar sayur, produk susu, makanan berlemak.
Tanda ; penuruna lemak subkutan/ massa otot. Membrane mokusa pucat; luka, inflamasi
rongga mulut.
f. Hygiene
Tanda ; ketidak mampuan mempertahanan perawatan diri, stomatitis menunjukkan
kekurangan vitamin. Bau badan
g. Nyeri/ kenyamanan
Gejala; nyeri/nyeri tean pada kuadran kiri bawah ( mungkin hilang dengan defekasi), titik
nyeri berpindah, nyeri tekan (LocialLis), nyeri mata, fotopobia (iritis)
Tanda : nyeri tekan abdomen/distensi
h. Keamanan
Gejala

riwayat

lupus

eritematosus,

anemia

hemolitik,

vaskulitis. Arthritis

( memperburuk gejala dengen eksaserbasi penyakit usus ).


Peningkatan suhu 39,6-40 (eksaserbasi akut). Penglihatan kabur.
Alergi terhadap makanan/produk susu ( mengeluarkan histamine
kedalam usus dan mempunyai efek inflamasi )
tanda: lesi kulit mungkin ada missal eritema nodusum ( meningkat, nyeri tekan,
kemerahan, dan bengkak) pada tangan , muka ; pioderma gangrenosa ( lesi tekan purulen/
lepuh dengan batas ke unguan) pada paha, kaki, dan mata, ankilosa spondilitis, uveitis,
konjungtivitis iritis.
i. Seksualitas
Gejala : frequensi menurun/menghindari aktivitas seksual.
j. Intraksi social

Gejala : masalah hubungan/peran sehubungan dengan kondisi ketidakmampuan aktif


dalam social
k. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat keluarga berpenyakit inflamasi usus.
Pertimbangan
Rencana pemulangan : DRG menunjukkan rerata lama dirawat 7,1 hari
: bantuan dengan program diet, program obat, dukungan psikologi.
Pengkajian pemeriksaan diagnostik terdiri atas pemeriksaan laboratrium
radiografik, dan endoskopik.
1. Pemeriksaan laboratorium (Wu, 2009) dalam muttaqin dan sari (2011).
Temuan
pada
pemeriksaan
laboratorium
dalam
evaluasi

colitis

ulseratif mungkin menunjukkan tanda-tanda berikut.


Anemia (yaitu hemoglobin <14 g/dL pada pria dan <12 g/dL pada wanita).
Trombositosis (yaitu platelet >350.000/uL).
Peningkatan tingkat sedimentasi (variabel referensi rentang, biasanya 0-33
mm/jam) dan peningkatan C-reactive protein (yaitu >100 mg/L). kedua temuan ini

berkorelasi dengan aktivitas penyakit.


Hipoalbuminemia (yaitu albumin <3,5 g/dl)
Hipokalemia (yaitu kalium <3,5 mEq/L).
Hipomagnesemia (yaitu magnesium <1,5 mg/dl)
Peningkatan alkalin fosfatase : lebih dari 125 U/L menunjukkan kolangitis

sclerosing primer (biasanya >3 kali batas atas dari kisaran referensi).
Pada diagnosis kolitis ulseratif kronis, pemeriksaan feses yang cermat dilakukan
untuk membedakannya dengan disentri yang disebabkan oleh organisme usus
umum, khususnya entamoeba histolytica. Feses positif terhadap darah.
2. Pemeriksaan radiografik
A .Foto polos abdomen .
Sinar rontgen mungkin menunjukkan dilatasi kolon, dalam kasus yang parah
bisa didapatkan megakolin toksik. Selain itu, bukti perforasi, obstruksi, atau ileus
juga dapat diamati (khan, 2009).
B . Studi kontras barium .
Barium enema dapat dilakukan dengan aman daam kasus ringan. Dengan
barium enema dapat dilihat adanya megakolon toksik, kondisi ulkus, dan
penyempitan kolon. Selain itu, enema barium akan menunjukkan iregularitas
mukosal, pemendekan kolon, dan dilatasi lengkung usus (Carucci 2002) dalam
muttaqin dan sari (2011).
C. CT. scan

Secara umum CT scan memainkan peran yang kecil dalam diagnosis


colitis ulseratif. CT scan dapat menunjukkan penebalan dinding kolon
3.2 Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri b.d. iritasi intestinal, diare, kram abdomen, respons pembedahan.
b. Risiko ketidakseimbangan cairan tubuh b.d. keluar cairan tubuh dari muntah.
c. Aktual/risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d.
intake makanan yang kurang adekuat.
d. Pemenuhan informasi b.d. adanya evaluasi doagnostik, rencana pembedahan, dan
rencana perawatan rumah.
e. Gangguan aktivitas sehari-hari b.d. kelemahan fisik umum, keletihan pascanyeri dan
diare.
f. Risiko injuri b.d. pascaprosedur bedah kolektomi atau ilestomi.
g. Aktual/risiko ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d. kemampuan batuk menurun,
h.
i.
j.
k.

nyeri pascabedah.
Risiko tinggi infeksi b.d. adanya port de entre luka pascabedah.
Kecemasan b.d. prognosis penyakit, misinterprestasi informasi, rencana pembedahan.
Resiko syok (hipovelemik)
Resiko ketidak efektifan Perfusi jaringan selebral

3.3 Intervensi dan Perencanaan Keperawatan


a. Nyeri berhubungan dengan iritasi intestinal, diare, kram abdomen, sembelit, respons
pembedahan.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam pascabedah, nyeri berkurang atau teradaptasi.
Kriteria evaluasi :
1. Secara subjektif pernyataan nyeri berkurang atau teradaptasi.
2. Skala nyeri 0-1 (0-4).
3. TTV dalam batas normal, wajah pasien rileks.

Intervensi

Rasional

Jelaskan dan bantu pasien dengan

Pendekatan dengan menggunakan relaksasi

tindakan pereda nyeri

dan nonfarmakologi lainnya telah

nonfarmakologi dan noninvasif.

menunjukkan keefektifan dalam mengurangi


nyeri.

Lakukan

manajemen

keperawatan meliputi:

Kaji

nyeri

PQRST

dengan

nyeri Pendekatan

PQRST

dapat

secara

komprehensif menggali kondisi nyeri pasien.


pendekatan P: Penyebab nyeri dapat diakibatkan oleh
respons diare, kram abdomen, dan sembelit
atau kerusakan jaringan pascabedah.

Q: kualitas nyeri seperti tumpul, kram, dan


mules.
R: Area nyeri pada abdomen bawah kiri.
S: pasien mengalami skala nyeri 3 (0-4).
T:

Nyeri

bertambah

bila

tidak

bisa

melakukan BAB.
Beri oksigen nasal apabila skala nyeri Pemberian
3(0-4).

oksigen

dilakukan

untuk

memenuhi kebutuhan oksigen pada saat


pasien mengalami nyeri pascabedah yang
dapat mengganggu kondisi hemodinamik.

Istirahatkan pasien pada saat nyeri Istirahat

diperlukan

untuk

menurunkan

muncul. Biasakan pasien untuk BAB peristaltik usus. Istirahat secara fisiologis
di tempat tidur.

dan melakukan BAB di tempat tidur akan


menurunkan
diperlukan

kebutuhan
untuk

metabolisme

oksigen

memenuhi

basal

pada

yang

kebutuhan

aktivitas

dan

menurunkan keletihan pascanyeri.


Atur posisi fisiologis.

Pengaturan

posisi

semifowler

dapat

membantu merelaksasi otot-otot abdomen


pascabedah sehingga dapat menurunkan
stimulus
Beri kompres hangat pada abdomen.

nyeri

dari

luka

pascabedah.

Memberikan respons vasodilatasi. Kompres


ini hanya dilakukan pada pasien tanpa
pembedahan.

Ajarkan teknik

Meningkatkan intake oksigen sehingga akan

relaksasi pernapasan dalam pada saat menurunkan nyeri sekunder dari iskemia
nyeri muncul.

spina.

Ajarkan teknik distraksi pada saat Distraksi

(pengalihan

perhatian)

dapat

nyeri.

menurunkan stimulus internal.

Lakukan manajemen sentuhan.

Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa


sentuhan

dukungan

psikologis

dapat

membantu menurunkan nyeri.


Tingkatkan

pengetahuan

sebab-sebab

nyeri

tentang: Pengetahuan yang akan dirasakan membantu


dan mengurangi nyerinya dan dapat membantu

menghubungkan berapa lama nyeri mengembangkan kepatuhan pasien terhadap


akan berlangsung.

rencana terapeutik.

Kolaborasi dengan tim medi suntuk Analgetik

diberikan

untuk

stimulus

nyeri

membantu

pemberian:

menghambat

ke

pusat

Analgetik via intravena.

persepsi nyeri di korteks selebri sehingga


nyeri dapat berkurang.

Antidiare.

Penurunan respons diare dapat menurunkan


stimulus nyeri.

b. Risiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
makanan yang kurang adekuat.
Tujuan: setelah 3x24 jam pada pasien nonbedah dan setelah 7x24 jam pascabedah
intake nutrisi dapat optimal dilaksanakan.
Kriteria evaluasi:
1. Pasien dapat menunjukkan metode menelan makanan yang tepat.
2. Keluhan mual dan muntah berkurang.
3. Secara subjektif melaporkan peningkatan nafsu makan.
4. Berat badan pada hari ke-7 pascabedah meningkat 0,5 kg.
No
1.

Intervensi
Rasional
Kaji dan berikan nutrisi sesuai Pemberian nutrisi pada pasien dengan
tingkat toleransi individu.

enteritis regional bervariasi sesuai dengan


kondisi

2.

dan

tingkat

toleransi

individu.
Sajikan makanan dengan cara yang Membantu merangsang nafsu makan. Hal
menarik.

3.

klinik

ini dapat diberikan bila toleransi oral tidak

menjadi masalah pada pasien.


Fasilitasi pasien memperoleh diet Diet diberikan pada pasien dengan gejala
rendah lemak.

malabsorpsi

akibat

hilangnya

fungsi

penyerapan permukaan mukosa, khususnya


penyerapan

lemak.

Keterlibatan

ileum

terminal dapat mengakibatkan steatorrhea


(buang air besar dengan feses bercampur
4.

lemak).
Fasilitasi pasien memperoleh diet Suplemen serat dikatakan bermanfaat bagi
dengan kandungan serat tinggi.

pasien dengan penyakit kolon karena fakta


bahwa serat diubah menjadi rantai pendek
asam lemak, yang menyediakan bahan
bakar untuk penyembuhan mukosa kolon.

Fasilitasi pasien memperoleh diet Diet rendah serat biasanya diindikasikan

rendah serat pada gejala obstruksi.


5.

untuk pasien dengan gejala obstruksi.

Fasilitasi untuk pemberian nutrisi Nutrisi parenteral total (TPN) digunakan


parenteral total.

bila

gejala

penyakit

usus

inflamasi

bertambah berat. Dengan TPN, perawat


dapat

mempertahankan

catatan

akurat

tentang intake dan output cairan, serta berat


badan pasien setiap hari.
6.

Pantau intake dan output, anjurkan Berguna

dalam

mengukur

keefektifan

untuk timbang berat badan secara nutrisi dan dukungan cairan.


periodik (sekali seminggu).
Lakukan perawatan mulut.

Intervensi ini untuk menurunkan risiko


infeksi oral.

7.

Kolaborasi

dengan

ahli

gizi Ahli gizi harus terlibat dalam penentuan

mengenai jenis nutrisi yang akan komposisi dan jenis makanan yang akan
digunakan pasien.

diberikan

sesuai

dengan

kebutuhan

individu.
c. Aktual/risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan diare,
kehilangan cairan dari gastrointestinal, gangguan absorpsi usus besar, pengeluaran
elektrolit dari muntah.
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Kriteria:
1. Pasien tidak mengeluh pusing TTV dalam batas normal, kesadaran optimal.
2. Membran mukosa lembab, turgor kulit normal, CRT (Capillary Refill Time) <2
detik.
3. Laboratorium: Nilai elekrolit normal, analisis gas darah normal.
Intervensi
Rasional
Kaji terhadap adanya tanda kekurangan Sebagai parameter dasar untuk pemberian
volume cairan: kulit dan membran mukosa intervensi terapi cairan atau pemenuhan
kering, penurunan turgor kulit, oliguria, hidrasi.
kelelahan,

penurunan

suhu,

peningkatan

hematokrit, peningkatan berat jenis urine, dan


hipotensi.
Intervensi pemenuhan cairan:

Identifikasi faktor penyebab, awitan Parameter

dalam

menentukan

intervensi

(onset), spesifikasi usia dan adanya kedaruratan. Adanya riwayat keracunan dan
riwayat penyakit lain.

usia anak atau lanjut usia memberikan tingkat

keparahan dari kondisi ketidakseimbangan


cairan dan elektrolit.

Lakukan pemasangan IVFD.

Apabila kondisi diare dan muntah berlanjut,


maka lakukan pemasangan IVFD. Pemberian
cairan intravena disesuaikan dengan derajat
dehidrasi.
Pemberian 1-2 L cairan Ringer Laktat dengan
tetesan cepat sebagai kompensasi awal hidrasi
cairan

diberikan

untuk

mencegah

syok

hipovolemik.

Dokumentasi dengan akurat tentang


asupan dan haluaran cairan.

Sebagai evaluasi penting dari intervensi


hidrasi dan mencegah terjadinya over hidrasi.
Aspirasi muntah dapat terjadi terutama pada

Bantu pasien apabila muntah.

usia lanjut dengan perubahan kesadaran.


Perawat mendekatkan tempat muntah dan
memberikan masase ringan pada pundak
untuk membantu menurunkan respons nyeri
dari muntah.

Intervensi pada penurunan kadar elektrolit:

Evaluasi kadar elektrolit serum.

Untuk

mendeteksi

adanya

kondisi

hiponatremi dan hipokalemi sekunder dari


hilangnya elektrolit dari plasma.

Dokumentasikan perubahan klinik dan


laporkan dengan tim medis.

Perubahan klinik seperti penurunan urine


output secara akut perlu diberitahu kepada tim
medis

untuk

mendapatkan

intervensi

selanjutnya dan menurunkan risiko terjadinya


asidosis metabolik.

Monitor

khusus

ketidakseimbangan

elektrolit pada lansia.

Individu

lansia

dapat

dengan

cepat

mengalami dehidrasi dan menderita kadar


kalium rendah (hipokalemia) sebagai akibat
diare. Individu lansia yang menggunakan
digitalis harus waspada terhadap cepatnya
dehidrasi

dan

hipokalemia

pada

diare.

Individu

ini

juga

diintruksikan

untuk

mengenali tanda-tanda hipokalemia karena


kadar kalium rendah dapat memperberat kerja
digitalis, yang dapat menimbulkan toksisitas
Kolaborasi

dengan

tim

farmakologis.

medis

digitalis.
terapi Antimikroba

diberikan

sesuai

dengan

pemeriksaan feses agar pemberian antimkroba

Antimikroba.

dapat rasional diberikan dan mencegah


terjadinya resistensi obat.

Antidiare/antimotilitas.

Agen ini digunakan untuk menurunkan


frekuensi diare. Salah satu obat yang lazim
diberikan adalah Loperamide (Imodium).

htrhyjrjyryjyjr

BAB IV
PENUTUP
4.1

Kesimpulan
Colitis ulseratif adalah gangguan peradangan kronis idiopatik yang terjadi pada

usus besar, khususnya bagian kolon desenden sampai rectum. Colitis ulseratif adalah
penyakit inflamasi yang mengenai mukosa kolon dan biasanya bersifat kronis. Colitis
ini selalu dimulai di daerah rektum serta kolon sigmoid, kemudian meluas ke atas
hingga mengenai seluruh kolon tetapi jarang menyerang usus halus.
Penyebab dari colitis ulseratif sangat beragam, meliputi fenoma autoimun, faktor
genetik, perokok pasif, diet, pascaapendektomi, dan infeksi.

Manifestasi klinis bervariasi. Gejala klasik meliputi nyeri kram abdomen, diare
berdarah, demam, dan ketidakseimbangan elektrolit, dan penurunan berat badan.
Untuk memastikan adanya penyakit kolitis ulseratif dapat dilakukan beberapa
pemeriksaan diagnostik seperti pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiografik
diantaranya CT scan, foto polos abdomen.
4.2

Saran
Penulis berharap semoga penyusunan makalah tentang Colitis Ulseratif ini dapat

memberikan ilmu dan pengetahuan dalam bidang pendidikan dan praktik keperawatan.
Dan juga dengan makalah ini dapat menjadi acuan untuk tindakan proses keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran jilid II. Jakarta : Media Aesculapiu.
Ester, monica. 2001. Keperawatan Medical Bedah/ Pendekatan Sistem Gastrointertinal. Jakarta :
EGC.
Muttaqin, Arif,. Kumala, Sari. 2013. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Medah. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai