Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

“Kolitis Ulseratif”

Disusun oleh:
Gilbert Christianto
406148141

Pembimbing:
dr. C. Prabani, Sp. B-KBD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RSUD KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PERIODE 18 JANUARI 2016 – 26 MARET 2016
BAB 1
PENDAHULUAN

Kolitis ulseratif adalah penyakit inflamasi mukosa yang membentuk abses

di kripta lieberkuhn dan bergabung menjadi tukak. Daerah antara ulkus tampak

udem dan terjadi poliferasi radang yang mirip dengan polip (pseudopolip). Kolitis

ulseratif termasuk dalam Inflammatory Bowel Disease (IBD) bersama penyakit

Crohn dan bila sulit membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan dalam

kategori indeterminate colitis.1 Tidak seperti Crohn disease, yang dapat mengenai

semua bagian dari traktus gastrointestinal, Kolitis ulseratif ditemukan di rectum

yang dapat meluas ke kolon decendens dan satu dari tiga penderita mengenai

seluruh kolon. Kolitis ulseratif merupakan penyakit seumur hidup yang memiliki

dampak emosional dan sosial yang amat sangat pada pasien yang terkena dan

ditandai dengan adanya eksaserbasi secara intermitten dan remisinya gejala klinik.
2

Kolitis ulseratif disebabkan oleh multifaktorial dan polygenic, namun

penyebab pastinya belum diketahui. Faktor-faktor penyebabnya yaitu faktor

lingkungan, disfungsi imun dan predisposisi genetik. Ada beberapa penelitian

mengemukakan bahwa anak dengan berat badan lahir di bawah rata-rata yang

lahir dari ibu dengan Kolitis ulseratif memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya

perkembangan penyakit.2 Kolitis ulseratif bisa dipengaruhi oleh makanan,

meskipun makanan hanya sebagai faktor sekunder. Antigen makanan atau

bakterial dapat berefek pada mukosa usus yang telah rusak sehingga

meningkatkan permeabilitasnya.2

2
Di Amerika Serikat, sekitar 1 miliar orang terkena Kolitis ulseratif.

Insidennya 10.4-12 kasus per 100.000 orang per tahunnya. Rata-rata

prevalensinya antara 35-100 kasus per 100.000 orang.2 Sementara itu, puncak

kejadian penyakit tersebut adalah antara usia muda (15 dan 35 tahun) dan usia

lanjut (60-80 tahun), penyakit ini telah dilaporkan terjadi pada setiap decade
1
kehidupan. Kolitis ulseratif terjadi 3 kali lebih sering daripada Crohn disease.

Kolitis ulseratif terjadi lebih sering pada orang kulit putih daripada orang African

American atau Hispanic. Kolitis ulseratif juga lebih sering terjadi pada wanita

daripada laki-laki.2

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Kolitis ulseratif adalah penyakit inflamasi mukosa yang membentuk abses di

kripta lieberkuhn dan bergabung menjadi tukak. Daerah antara ulkus tampak

udem dan terjadi poliferasi radang yang mirip dengan polip (pseudopolip).1

Kolitis ulseratif adalah salah satu bentuk Inflammatory Bowel disease yang

merupakan suatu kondisi kronis sehingga secara umum membutuhkan perawatan

terus – menerus.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Kolitis ulseratif dapat mengenai 150 orang dari 100.000 populasi pada negara

bagian barat.5 Kolitis ulseratif memiliki prevalensi tiga kali lebih sering

dibandingkan dengan penyakit Crohn. Kolitis ulseratif lebih sering terjadi pada

wanita dibandingkan dengan pria. Di Amerika Serikat, Kolitis ulseratif terjadi

lebih sering pada populasi dengan ras kulit putih. Berdasarkan statistik

internasional, Kolitis ulseratif sering terdapat di negara-negara bagian barat dan

utara, insidensnya rendah di negara-negara Asia dan Timur Tengah.2

Onset usia mengikuti pola bimodal, puncaknya berada di usia 15-30 tahun dan

onsetnya menurun pada usia 50-60 tahun, meskipun penyakit ini dapat mengenai

segala jenis usia. Kolitis ulseratif jarang mengenai populasi yang berusia lebih

muda dari 10 tahun. Dua dari 100.000 anak terkena penyakit ini, namun 20-25%

dari semua kasus Kolitis ulseratif terjadi pada usia 20 tahun ke bawah.2

4
2.3 KLASIFIKASI

Klasifikasi yang menunjukkan berat ringannya kolitis ulseratif, dapat dilihat

pada tabel berikut ini:2,4

Tabel 1. Klasifikasi kolitis ulseratif


Ringan Sedang Berat

Pergerakan usus <4 per hari 4-6 per hari >6 per hari

Darah pada feses Sedikit Lumayan banyak Banyak

Demam Tidak ada Rata-rata <37,5oC Rata-rata >37,5oC

Rata-rata Rata-rata
Takikardia Tidak ada
<90×/menit >90×/menit

Anemia Ringan >75% ≤75%

Laju sedimentasi <30 mm >30 mm

Eritema, granula

Eritema, kasar, corak

penurunan vaskuler tidak Terjadi perdarahan


Gambaran
corak vaskuler, ada, terjadi spontan dan
endoskopi
granula yang perdarahan terdapat ulserasi

masih baik kontak, dan tidak

ada ulserasi

2.4 ANATOMI

1. Anatomi dan Histologi

Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks dan rektum. Sekum

membentuk kantung buntu di bawah taut antara usus halus dan usus besar di

katup ileosekum. Tonjolan kecil mirip jari di dasar sekum adalah apendiks,

5
jaringan limfoid yang mengandung limfosit. Kolon membentuk sebagian besar

usus besar, tidak bergelung-gelung seperti usus halus, tetapi terdiri dari tiga

bagian yang relatif lurus – kolon asendens, kolon transversus, dan kolon

desendens. Bagian akhir kolon desendens berbentuk huruf S, yaitu kolon

sigmoid (sigmoid berarti ‘berbentuk S’), dan kemudian berbentuk lurus yang

disebut rektum (rectum berarti ‘lurus’).6

Gambar 1. Anatomi usus besar


(Netter FH. Atlas of human anatomy 3rd ed. Philadelphia: Elsevier-
Saunders;2006.p. 267)

Lapisan otot polos longitudinal di sebelah luar tidak menutupi usus besar

secara penuh. Lapisan ini hanya terdiri dari tiga pita otot yang longitudinal, jelas,

dan terpisah yaitu taenia koli, yang berjalan di sepanjang usus besar. Taenia koli

ini lebih pendek daripada otot polos sirkuler dan lapisan mukosa di bawahnya

6
apabila yang terakhir ini dijadikan mendatar. Oleh karena itu, lapisan-lapisan di

bawahnya berkumpul di dalam kantung atau sakus yang disebut dengan haustra,

mirip seperti bahan rok yang berkumpul di pinggang yang lebih sempit. Namun,

haustra bukan hanya sebagai tempat berkumpul permanen yang pasif, lokasi

haustra secara aktif berubah-ubah akibat kontraksi lapisan otot polos sirkuler.6

Mukosa usus besar seperti pada usus halus, mempunyai banyak kripta

Lieberkuhn; tetapi, berbeda dengan usus halus, mukosa usus besar tidak memiliki

vili. Sel-sel epitelnya hampir tidak mengandung enzim. Sebaliknya sel ini

terutama mengandung sel-sel mukus yang hanya mengekresi mukus. Sekresi yang

dominan pada usus besar adalah mukus. Mukus ini mengandung ion bikarbonat

dalam jumlah sedang yang disekresi oleh beberapa sel epitel yang tidak

menyekresi mukus. Kecepatan sekresi mukus terutama diatur oleh rangsangan

taktil, langsung dari sel-sel epitel yang melapisi usus besar dan oleh refleks saraf

setempat terhadap sel-sel mukus pada kripta Lieberkuhn.7

Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk

membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat

dikeluarkan. Sebagian besar absorbsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan

proksimal kolon sehingga bagian ini dinamakan kolon pengabsorbsi, sedangkan

kolon bagian distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses

sampai waktu yang tepat untuk ekskresi feses dan oleh karena itu disebut kolon

penyimpanan.7

Mukosa usus besar seperti juga mukosa usus halus, mempunyai kemampuan

absorpsi aktif natrium yang tinggi dan gradient potensial listrik yang diciptakan

oleh absorpsi natrium juga menyebabkan absorpsi klorida. Taut erat diantara sel-

7
sel epitel dari epitel usus besar jauh lebih erat daripada taut erat di usus halus.

Absorbsi ion natrium dan klorida menciptakan gradien osmotik di sepanjang

mukosa usus besar yang kemudian akan menyebabkan absorpsi air. Usus besar

dapat mengabsorpsi maksimal 5 sampai 8 liter cairan dan elektrolit setiap hari.

Bila jumlah total cairan yang masuk usus besar melalui katup ileosekal atau

melalui sekresi usus besar melebihi jumlah ini, kelebihan cairan akan muncul

dalam feses sebagai diare.7

2.5 ETIOLOGI

Penyebab Kolitis ulseratif tidak diketahui. Teori yang paling umum bahwa

Kolitis ulseratif disebabkan oleh beberapa faktor genetik, reaksi sistem imun yang

salah, pengaruh dari lingkungan, penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-

steroid, kurangnya kadar anti oksidan di dalam tubuh, faktor stress, ada atau

tidaknya riwayat merokok dan riwayat mengonsumsi produk susu. Sebagai

contoh, beberapa orang memiliki risiko secara genetik untuk terkena penyakit ini.

Bakteri dan virus dapat memicu sistem imun mereka sehingga mengakibatkan

suatu inflamasi. Karena Kolitis ulseratif lebih sering muncul di negara-negara

berkembang, sangat memungkinkan diet tinggi lemak jenuh dan makanan yang

diawetkan memiliki kontribusi pada penyakit ini.1,2

a. Penyebab genetik

Hipotesis terkini mengatakan bahwa genetik dapat menyebabkan seseorang

memperoleh kelainan pada respon imun humoral dan respon imun yang dimediasi

sel dan/atau respon imun secara umum yang direaktivasi oleh bakteri komensal

dan menyebabkan disregulasi respon imun pada mukosa sehingga mengakibatkan

8
inflamasi pada kolon. Riwayat adanya Kolitis ulseratif pada keluarga

diasosiasikan dengan seseorang yang memiliki risiko tinggi terkena penyakit ini.

Kesesuaian penyakit ini ditemukan pada anak kembar monozigot. Penelitian

genetik telah mengidentifikasi beberapa lokus, beberapa di antaranya terkait

dengan Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Baru-baru ini, salah satu lokus yang

diidentifikasi juga dikaitkan dengan kerentanan terhadap karsinoma kolorektal.

Kromosom pada pasien dengan Kolitis ulseratif dianggap kurang stabil.

Fenomena ini juga dapat berkontribusi pada risiko karsinoma yang meningkat.

Apakah abnormalitas ini merupakan penyebab atau akibat dari respon inflamasi

sistemik yang terus-menerus pada Kolitis ulseratif, hal ini juga belum diketahui.2

b. Reaksi imun

Reaksi imun yang membahayakan integritas barier epitel usus dapat

menyebabkan Kolitis ulseratif. Autoantibodi serum dan mukosa yang sifatnya

melawan sel epitel usus mungkin terlibat. Adanya antibodi antineutrofil

sitoplasma/antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) dan anti-

Saccharomyces cerevisiae antibodi (ASCA) adalah ciri-ciri utama dari penyakit

inflamasi usus. Selain itu, abnormalitas yang terjadi pada sistem imun dianggap

sedikit berperan pada rendahnya insiden Kolitis ulseratif pada pasien yang telah

menjalani operasi usus buntu sebelumnya. Pasien-pasien yang telah menjalani

appendektomi memiliki insidens yang rendah untuk terkena Kolitis ulseratif.2

c. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan juga berperan. Sebagai contoh, bakteri yang mereduksi

sulfat, memproduksi sulfat, ditemukan pada sejumlah besar pasien dengan Kolitis

9
ulseratif dan produksi sulfat lebih tinggi pada pasien Kolitis ulseratif

dibandingkan pasien-pasien lainnya.2

d. Penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid

Penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid lebih tinggi pada pasien

dengan Kolitis ulseratif dibandingkan dengan kontrol dan sepertiga pasien dengan

Kolitis ulseratif eksaserbasi yang dilaporkan baru saja menggunakan obat-obatan

anti inflamasi non-steroid. Penemuan ini dapat menjadi bukti bahwa penggunaan

obat-obatan anti inflamasi non-steroid harus dihindari pada pasien dengan Kolitis

ulseratif.2

e. Etiologi lainnya

Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kolitis ulseratif, antara lain:2

 Vitamin A dan E, di mana keduanya merupakan antioksidan,

memiliki kadar yang rendah pada anak-anak dengan kolitis ulseratif

eksaserbasi.

 Stress psikologik dan stress psikososial berperan pada kolitis

ulseratif dan dapat mempresipitasi terjadinya eksaserbasi

 Merokok biasanya tidak berhubungan dengan kolitis ulseratif. Hal

ini berkebalikan dengan penyakit Crohn

 Konsumsi susu dapat menyebabkan eksaserbasi dari penyakit ini

2.6 PATOFISIOLOGI

Kolitis ulseratif merupakan salah satu bentuk dari penyakit inflamasi pada

usus. Dalam penyakit inflamasi usus atau inflammatory bowel disease, lamina

propria diinfiltrasi oleh limfosit, makrofag dan sel-sel lain dari sistem imunitas.

10
Penelitian yang intensif pada antigen yang memicu respon imun belum

menemukan suatu mikroba patogen tertentu. Antibodi anti-kolon telah jelas

teridentifikasi dalam serum pasien Kolitis ulseratif. Penyakit inflamasi usus

mungkin juga berkaitan dengan kegagalan supresi (atau "downregulasi") dari

peradangan kronis level rendah pada lamina propria sebagai respon paparan

kronis terhadap antigen luminal khususnya bakteri komensal.8

Apapun pemicu antigeniknya, sel T lamina propria yang teraktivasi terlibat

dalam patogenesis penyakit inflamasi usus. Pada penyakit inflamasi usus yaitu

penyakit Crohn, limfosit yang teraktivasi menjadi limfosit TH1 yang

menghasilkan interferon-γ (IFN-γ). Sitokin pro-inflamasi, termasuk interleukin-1

(IL-1) dan tumor nekrosis faktor-α (TNF-α), dapat memperkuat respon imun.

Cedera epitel pada penyakit inflamasi usus tampaknya disebabkan jenis oksigen

reaktif dari neutrofil dan makrofag, serta sitokin seperti TNF-α dan IFN-γ.8

Pada tikus, colitis terjadi ketika gen IL-2, IL-10, atau transforming growth

factor-β1 terkalahkan atau ketika ada beberapa sel T pada reseptor mutan dan

colitis berkembang pada tikus transgenik jika gen manusia HLA-B27 telah lebih

dulu diperkenalkan. Jika hewan yang sama dibesarkan dalam lingkungan yang

bebas dari kuman, colitis tidak berkembang sehingga menunjukkan bahwa colitis

bisa menjadi satu-satunya manifestasi dari berbagai abnormalitas dalam imunitas

sistemik dan colitis adalah hasil dari respon imun abnormal terhadap bakteri

komensal.8

11
Gambar 3. Patogenesis kolitis ulseratif

2.7 DIAGNOSIS

a. Gejala Klinis

Gejala utama dari Kolitis ulseratif adalah diare yang bercampur darah, nanah

dan lendir, tenesmus, adanya mukus dan nyeri (kram) abdomen dan terkadang

inkontinesia alvi. Berat atau tidaknya gejala penyakit berjalan seiring dengan

luasnya proses penyakit. Meskipun Kolitis ulseratif dapat bersifat akut, rata-rata

gejala klinis bermanifestasi dalam jangka waktu berminggu-minggu sampai

berbulan-bulan. Seringkali diare dan perdarahan saluran cerna bersifat sangat

ringan jadi pasien tidak memeriksakan dirinya ke dokter.3,4,9

12
Diare menandakan terjadinya gangguan yang meluas pada kolon. Pada pasien

dengan Kolitis ulseratif yang berat atau fulminan, gejala sistemik berupa keringat

malam, demam, mual dan muntah, serta penurunan berat badan dapat menyertai

diare. Kolitis ulseratif dapat bermanifesasi pada ekstrakolon, antara lain:

1. Sendi : peripheral arthritis, ankylosing spondylitis dan sacroilitis

(berhubungan dengan HLA-B27)

2. Kulit : erythema nodosum, aphtous ulcer, pyoderma gangrenosum

3. Mata : episkleritis, iritis, uveitis

4. Liver : fatty liver, pericholangitis (intrahepatic sclerosing cholangitis),

primary sclerosing cholangitis, cholangiocarcinoma, chronic hepatitis

5. Lain-lain : autoimmune hemolytic anemia, phlebitis, pulmonary embolus

(hypercoagulable state).4

b. Aspek Fisik dan Laboratorium

1. Aspek Fisik

Pada pemeriksaan fisik, khususnya pemeriksaan fisik pada region abdomen, tidak

khas, kadang didapatkan nyeri tekan dan pada colok dubur dapat terasa nyeri

karena adanya fisura. Pemeriksaan fisik seringkali normal pada pasien dengan

gejala klinis yang ringan, kecuali terdapat nyeri perut pada kuadran kiri bawah.

Pasien dengan Kolitis ulseratif yang berat dapat memiliki gejala defisit cairan dan

gejala-gejala toksisitas, antara lain: demam, takikardia, nyeri perut yang

signifikan, dan penurunan berat badan.2

2. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan anemia, lukositosis,

peningkatan laju endap darah dan trombositosis, Dapat ditemukan leukositosis,

13
namun bukan merupakan indikator yang spesifik pada penyakit ini. Pada

pemeriksaan kimia darah dapat ditemukan hipoalbuminemia, hipokalemia,

hipomagnesemia, dan alkali fosfatase yang meningkat.2,4

Peningkatan sedimentasi eritrosit dan C-reaktif protein berhubungan dengan

fase akut dari penyakit ini. Sedangkan, pemeriksaan feses dilakukan untuk

menyingkirkan penyebab lain dari gejala yang ditimbulkan.2

c. Pemeriksaan Radiologi

1. Foto polos abdomen

Foto polos abdomen seringkali dapat membantu dalam penegakan diagnosis

Kolitis ulseratif. Foto polos abdomen dapat menunjukkan dilatasi kolon yang

masif yang disertai dengan kontur mukosa yang abnormal. Dilatasi yang terjadi

seringkali terdapat pada kolon transversal. Perforasi kolon merupakan salah satu

komplikasi dari Kolitis ulseratif. Perforasi dapat terjadi dengan atau tanpa

megakolon toksik. Pneumoperitoneum masif biasanya menyertai perforasi kolon.

Residu feses biasanya tidak terlihat pada usus yang mengalami inflamasi.

Gambaran edema pada dinding usus biasa tampak pada fase akut dari Kolitis

ulseratif, yang disebut juga gambaran thumbprinting. Terdapat juga gambaran

pseudopolip yang menunjukkan mukosa yang udem diantara mukosa yang

mengalami ulserasi. Pada fase kronik, terjadi pemendekan usus akibat spasme

muskulus longitudinal atau fibrosis yang ireversibel. Selain itu, haustra pada

kolon desendens menghilang.11,12

14
Thumbprinting

Gambar 3. Foto polos abdomen pada pasien dengan Kolitis ulseratif


eksaserbasi akut menunjukkan gambaran thumbprinting(edema)
pada fleksura splenika dari kolon

Pseudopolip
Spasme/striktur

Gambar 4. Foto polos abdomen pada pasien dengan riwayat Kolitis


ulseratif menunjukkan striktur/spasme yang panjang pada kolon
asendens/sekum. Perhatikan bahwa terdapat pseudopoliposis(mukosa
yang edem diantara mukosa yg ulserasi) pada kolon desendens

2. Barium enema

Gambaran radiologi Kolitis ulseratif pada pemeriksaan barium enema sangat

bervariasi tergantung dari stadiumnya. Kolon bisa saja terlihat lebih sempit dan

15
hal ini bisa saja berhubungan dengan pengisian usus yang tidak sempurna akibat

spasme dan iritabilitas pada kolon.2

Pemeriksaan barium enema dapat menunjukkan hilangnya haustra pada

lumen kolon. Adanya granula dapat disebabkan oleh hiperemia dan oedem pada

mukosa yang dapat menyebabkan ulserasi. Ulser superfisial dapat menyebar dan

menutupi semua lapisan mukosa. Terdapat gambaran bintik-bintik pada mukosa

akibat perlengketan barium pada ulser superfisial. Collar button ulcers merupakan

ulserasi yang lebih dalam pada mukosa yang oedem dengan kripte abses pada

submukosa.11,13

Striktur dapat terjadi pada 1-11% pasien yang menderita Kolitis ulseratif

dalam jangka waktu yang lama. Striktur terutama ditemukan pada kolon

asendens.2,13

pseudopolip

Gambar 5. Pemeriksaan barium enema dengan kontras dobel


menunjukkan Kolitis ulseratif pada stadium awal, di mana mukosa
masih normal dan tampak pseudopolip

16
Gambar 6. Pemeriksaan barium enema dengan kontras dobel
menunjukkan keterlibatan kolon dengan collar button ulcers yang
banyak seperti yang diperlihatkan dengan tanda panah

Gambar 7. Pemeriksaan barium enema menunjukkan keterlibatan


striktur yang panjang pada kolitis ulseratif, yang ditandai dengan
penyempitan lumen kolon desendens yang ireguler

17
Gambar 8. Pemeriksaan barium enema menunjukkan hilangnya
haustra pada seluruh kolon desendens disertai dengan ulserasi,
sehingga memberikan gambaran “lead-pipe”

3. Computed tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat membantu ahli radiologi dalam membedakan

Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn, jika pemeriksaan barium enema

menunjukkan kemiripan di antara keduanya. CT dapat mendeteksi bagaimana

karakteristik dari Kolitis ulseratif. CT-Scan abdomen dan pelvis menunjukkan

dilatasi, penebalan pada bagian mural dan permukaan mukosa yang ireguler serta

terdapat target sign. Dapat juga terlihat pseudopolip pada dinding kolon dan

pembuluh darah yang berdilatasi akibat adanya inflamasi dan hiperemia.12,15

18
Gambar 9. CT-Scan abdomen dan pelvis potongan coronal
menunjukkan penebalan dinding mukosa dan iregularitas yang
terjadi pada kolon asendens dan desendens, seperti yang
diperlihatkan pada tanda panah.

Gambar 10. CT-Scan abdomen dan pelvis potongan aksial


menunjukkan target sign, seperti yang diperlihatkan pada tanda
panah

19
Gambar 11. CT-Scan abdomen dan pelvis potongan aksial
menunjukkan pelebaran pembuluh darah perisigmoid dan ascites,
seperti yang diperlihatkan pada tanda panah

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Giovagnoni dkk menggunakan MRI dengan resolusi yang tinggi untuk

meneliti 16 spesimen rektosigmoid yang telah direseksi akibat Kolitis ulseratif

dan mengungkapkan bahwa MRI dapat menjadi modalitas pencitraan yang baru

untuk mendeteksi perubahan dinding kolon pada Kolitis ulseratif. Hasil in vitro

menunjukkan bahwa MRI dapat melihat lapisan dinding kolon secara

keseluruhan. Secara khusus pada Kolitis ulseratif, T1-weighted spin-echo MRI

menunjukkan penebalan dan hiperintensitas dari lapisan mukosa dan

submukosa.12

d. Pemeriksaan Penunjang Lainnya

1. Pemeriksaan endoskopi dan biopsy

Sekali kita mencurigai Kolitis ulseratif, pemeriksaan endoskopi berupa

kolonoskopi, harus dilakukan. Selain itu, harus dilakukan biopsi pada mukosa

20
yang meradang dan pada mukosa yang normal. Hasil yang didapatkan pada

pemeriksaan kolonoskopi dan biopsi dapat mengonfirmasi diagnosis Kolitis

ulseratif dan juga berguna untuk melihat atau memantau sejauh mana perjalanan

penyakit tersebut. Namun, tindakan ini harus dilakukan dengan hati-hati karena

kemungkinan dapat mengakibatkan perforasi atau komplikasi lainnya. Kasus

Kolitis ulseratif yang berat ditandai dengan adanya ulser dan perdarahan

spontan.2,16

Gambar 12. Gambaran kolitis ulseratif pada kolonoskopi

2. Pemeriksaan histopatologi

Hasil pemeriksaan histopatologi sesuai dengan perjalanan klinis dan hasil

pemeriksaan endoskopi dari Kolitis ulseratif. Kolitis ulseratif terbatas pada

mukosa dan submukosa yang superfisial, lapisan bagian dalam tidak terlibat

kecuali pada Kolitis ulseratif fulminan. Pada Kolitis ulseratif, terdapat dua tanda

histologis yang menunjukkan kronisitas dan membantu membedakannya dari

21
Kolitis ulseratif akut dan Kolitis ulseratif yang self-limiting. Pertama, terdapat

kripte yang terdistorsi pada kolon; kripte bisa saja berbentuk bifida dan sedikit

jumlahnya dan seringkali terdapat celah di antara dasar kripte dan muskularis

mukosa. Kedua, beberapa pasien memiliki sel basal plasma dan agregasi limfoid

basal multipel. Dapat juga ditemukan kongesti vaskuler pada mukosa, dengan

edema dan perdarahan fokal dan infiltrat sel-sel inflamasi, seperti neutrofil,

limfosit, sel plasma dan makrofag. Neutrofil menginvasi epithelium, biasanya ke

dalam kripte, dan dapat menimbulkan kriptitis dan abses kripte.4,5

Gambar 13. Hasil pemeriksaan histopatologis pada kolitis ulseratif


kronik eksaserbasi akut menunjukkan inflamasi difus,
limfoplasmasitosis basal, atrofi dan iregularitas pada kripte, dan
erosi superfisial

2.8 DIAGNOSIS BANDING

Kolitis ulseratif paling sering didiagnosis banding dengan penyakit Crohn,

karena diagnosis yang beda memiliki terapi yang berbeda pula. Perbedaan antara

Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn dapat dilihat pada tabel di bawah ini:2

22
Tabel 2. Perbedaan antara kolitis ulseratif dan penyakit Crohn

Kolitis ulseratif Penyakit Crohn

Hanya kolon yang terlibat /


Panintestinal
jarang pada usus halus

Inflamasi terus-menerus yang


Skip-lesions dengan mukosa yang
berasal dari rektum yang meluas
normal di antaranya
secara proksimal

Inflamasi hanya terdapat pada


Inflamasi terdapat pada transmural
mukosa dan submukosa

Tidak terdapat granuloma Terdapat granuloma non-kaseosa

ANCA perinuklear (pANCA)


ASCA positif
positif

Perdarahan sering terjadi Perdarahan jarang terjadi

Jarang terdapat fistula Sering terdapat fistula

Diagnosa lain yang harus dipikirkan antara lain karsinoma kolon,

diverticulitis, demam tifoid, amubiasis. Selain itu, Kolitis ulseratif dapat juga

didiagnosis banding dengan tuberkulosis gastrointestinal. Gejala klinis dan

pemeriksaan laboratorium dapat memberikan gejala yang serupa, kecuali

tuberkulosis gastrointestinal biasanya terdapat nyeri pada fossa iliaka yang disertai

dengan massa yang dapat dipalpasi. Cara membedakannya juga bisa melalui foto

toraks, di mana lesi pulmoner yang aktif dapat ditemukan pada 60% kasus

tuberkulosis gastrointestinal. Pemeriksaan foto polos abdomen pada tuberkulosis

gastrointestinal dapat menunjukkan limfadenopati difus yang mengalami

23
kalsifikasi. Selain itu, untuk membedakannya, dapat juga kita lakukan

pemeriksaan bakteri tahan asam.2,17

2.9 PENATALAKSANAAN

Terapi konservatif terdiri atas istirahat, diet, pemberian sulfasalazin,

kortikosteroid lokal atau sistemik. Mengingat bahwa etiopatogenesis IBD belum

jelas, maka pengobatannya lebih ditekankan pada penghambatan kaskade proses

inflamasi. Dengan dugaan adanya faktor/agen proinflamasi yang dapat

mencetuskan proses inflamasi kronik pada kelompok rentan, maka diusahakan

mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian antibiotik, lavase usus,

pengikat produk bakteri, mengistirahatkan kerja usus dan perubahan pola dietetik.

Pada prinsipnya, pengobatan IBD ditujukan pada serangan akut dan terapi

pemeliharaan waktu fase remisi. Obat baku pertama mengandung komponen 5-

acetil salicylic acid (5-ASA) dan obat kortikosteroid (baik sistemik maupun

topikal). Bila gagal, maka diberikan obat lini kedua yang pada umumnya bersifat

imunosupresif (seperti 6-merkaptopurin, azatriopin, siklosporin dan metotreksat),

anti-TNF (infliximab). Pembedahan kadang diperlukan, baik pada keaadaan akut

maupun kronik. Pada Kolitis ulseratif akut laparatomi dilakukan pada perforasi,

ancaman perforasi, dan pada kolitis ulseratif kronik intervensi pembedahan

dilakukan apabila dilatasi kolon akut/ megatoksik kolon, perdarahan masif, ileus

karena stenosistoksik kolon.1,18

Sulfasalazine merupakan derivate dari 5-acetil salisilic acid, yang mempunyai

efek antiinflamasi, berfungsi untuk mempertahankan remisi dan untuk

menginduksi remisi pada serangan ringan. Berguna untuk mengobati Kolitis

24
ulseratif ringan-sedang. Bekerja secara lokal pada kolon untuk menurunkan

respon inflamasi dan secara sistemik menghambat sintesis prostaglandin.

Temuan klinis pada Kolitis ulseratif yang berat berhubungan dengan nekrosis

luas pada mukosa kolon dan perforasi dengan sepsis. Antibiotik intravena

diberikan pada pasien yang diduga atau berpotensi terjadi sepsis.2

Seringkali pasien dengan Kolitis ulseratif juga diberi antihistamin. Karena

histamin terdapat pada enterochromaffin like cell, sel mast dan nervus intramural

pada traktus gastrointestinal, yang menstimulasi sekresi asam lambung, beberapa

cairan dan mucus, mempengaruhi motilitas usus, berpartisipasi dalam alergi tipe

cepat dan respon inflamasi, stimulasi pertumbuhan dan proses regenerasi serta

meningkatkan pembentukan kolagen. Semua efek ini dimediasi melalui reseptor

H1, H2, H3 dan H4. Hiperplasia sel mast pada mukosa dan submukosa

merupakan karakterisitik dari IBD kronik. Inflamasi Kolitis ulseratif utamanya

mengenai mukosa, dan meningkatkan pengeluaran mediator sel mast intestinal.19

Megakolon toksik yang tidak membaik dengan pengobatan harus diterapi

dengan kolektomi. Hal serupa berlaku pada perdarahan hebat dan colitis

fulminans. Kolitis ulseratif fulminans dapat membaik dalam waktu kurang dari

lima hari, bila diberikan pengobatan yang memadai.

Tindakan bedah dilakukan pada penyakit yang tidak dapat disembuhkan

dengan pengobatan seperti tidak membaik dengan pengobatan optimal, malnutrisi,

kelelahan menetap, tak dapat bekerja dan menikmati hubungan sosial, gangguan

tumbuh kembang, gangguan sistemik dan ancaman karsinoma kolon.

Pada Kolitis ulseratif umumnya diajurkan kolektimu total anastomosis

ileoanal dengan kantong ileal. Mukosa rectum seluruhnya turut dikeluarkan

25
dengan mempertahankan otot dasar panggul dan sfingter anus. Reservoair

biasanya dibuat dari ileum terminal. Prognosis pasca kolektomi elektif dengan

reservoair dan anastomosis ileoanal cukup baik. Mortalitas pembedahan sekitar

1%. Sembilan puluh persen penderita dapat hidup dan bekerja normal kembali.

Sekitar 3% mengalami impotensi dan 10 % mengalami gangguan seksual lain.1

Berdasarkan Crohn’s and Colitis Foundation of America, diet bukan

merupakan faktor utama dalam proses inflamasi. Namun beberapa makanan

spesifik, dapat mempengaruhi gejala dari Kolitis ulseratif dan ikut berperan dalam

proses inflamasi.20 Penatalaksanaan diet pada Kolitis ulseratif, serat yang

insoluble (tinggi serat) tidak baik untuk pasien, contohnya : kubis, brokoli, jagung

manis, kulit buah seperti apel dan anggur), karena jenis serat ini melewati seluruh

traktus digestivus tanpa dicerna, dan dapat menempel pada dinding colon ketika

inflamasi, semakin mengiritasi kolon dan memperparah colitis. Serat yang soluble

sangat baik untuk pasien karena akan dicerna dalam kolon, menghasilkan feses

yang lunak dan pergerakan usus yang bagus, tidak menempel pada dinding usus

dan tidak menyebabkan inflamasi. Contoh serat yang soluble adalah buah-buahan

dan sayur-sayuran yang sudah dikupas, bubur, dan nasi putih. 21

2.10 PROGNOSIS

Prognosis yang buruk ditandai dengan takikardia, demam tinggi, dan

penurunan peristaltik usus, serta adanya hipoalbuminemia. Kolitis ulseratif

merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Risiko kematian

meningkat pada pasien-pasien usia tua, dan pada pasien yang disertai komplikasi

(misalnya: syok, malnutrisi, anemia). Kasus-kasus yang berat dan kronik dapat

26
menjadi lesi prakanker. Penyebab kematian yang tersering pada Kolitis ulseratif

adalah megakolon toksik.2,16

2.11 KOMPLIKASI

Penyulit dapat ditemukan pada anus dan kolon; pada anus dapat terjadi fisura,

abses perianal, dan fistel perianal, sementara pada kolon dapat terjadi perforasi

terutama di sigmoid dan kolon decendens. Komplikasi lain berupa dilatasi kolon

toksisk yang biasanya meyebab perforasi fatal.

Dilatasi kolon akut atau megakolon toksik yang disebabkan oleh progresivitas

penyakit di dinding, dapat dicetuskan oleh pemberian sediaan opioat atau

pemeriksaan rotgen barium. Penderita tampak sakit berat, disertai dengan

takikardi dan syok toksisk. Diagnosis dapat dibuat melalui foto polos abdomen.

Gambaran klinis megakolon toksisk juga dapat ditemukan pada morbus Crohn,

demam tifoid dan amubiasis. Pendarahan berat biasanya mengancam nyawa

namun jarang terjadi.

Striktur kolon dapat ditemukan pada pemyakiy kronok yang menimbulkan

nekrosis, polip atau karsinoma. Diperkirakan risiko terjadinya karsinoma pada

IBD lebih kurang 13%. Karsinoma adalah penyulit lambat yang ditemukan pada

25% penderita setelah 20 tahun dan oada 30-40% setelah 30 tahun. Karsinoma

sering timbul multisentrik, dan dapat ditemukan dysplasia epitel mukosa pada

pemeriksaan biopsi, harus dipertimbangkan untuk melakukan kolektomi total. 1,18

27
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kolitis ulseratif merupakan suatu peradangan kronis pada mukosa usus besar

(kolon) ataupun pada rektum. Kolitis ulseratif memiliki prevalensi tiga kali

lebih sering dibandingkan dengan penyakit Crohn. Kolitis ulseratif terjadi

lebih sering pada orang kulit putih daripada orang African American atau

Hispanic. Kolitis ulseratif juga lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-

laki. Kolitis ulseratif disebabkan oleh beberapa faktor genetik, reaksi sistem

imun yang salah, pengaruh dari lingkungan, penggunaan obat-obatan anti

inflamasi non-steroid. Gejala yang ditimbulkan; demam, takikardia, nyeri

perut yang signifikan, dan penurunan berat badan.2 Pada prinsipnya,

pengobatan IBD ditujukan pada serangan akut dan terapi pemeliharaan

waktu fase remisi. Obat baku pertama mengandung komponen 5-acetil

salicylic acid (5-ASA) dan obat kortikosteroid (baik sistemik maupun

topikal). Bila gagal, maka diberikan obat lini kedua yang pada umumnya

bersifat imunosupresif (seperti 6-merkaptopurin, azatriopin, siklosporin dan

metotreksat), anti-TNF (infliximab). Pada kasus tertentu atau terjadi

komplikasi perforasi, perdarahan masif, ileus karena stenosis, megatoksik

kolon, maka diperlukan intervensi pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jong D, editor. Buku ajar ilmu bedah edisi 3. Jakarta: ECG, 2016.

28
2. Ehrlich SD. Ulcerative colitis. Available in University of Maryland Medical

Centre. (www.umm.edu), Update November 12, 2010. Diakses tanggal 22

Februari 2016

3. Basson MD, Katz J. Ulcerative colitis . Available in Medscape Reference,

Drug,Diqsease and Pr ocedures (www.emedicine.medscape.com), Update

2011. Diakses tanggal 23 Februari 2016.

4. The Ohio State University Wexner Medical Center. Ulcerative colitis

.Available in Healthcare services (www.medicalcenter.osu.edu), Update

2013. Diakses tanggal 24 Februari 2016.

5. Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et

al, editors. Harrison’s principles of internal medicine 17thed. New York:

McGraw Hill, Health Professions Division; 2008.

6. Keshav S. Ulcerative colitis and crohn’s disease. In: Keshav S, editor. The

gastrointestinal system at a glance. USA: A Blackwell Publishing company;

2004. p 78-9

7. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC; 1996.

hlm. 582-3

8. Guyton AC, Hall JE. Fisiologi gastrointestinal.Buku Ajar Fisiologi

Kedokterran Edisi 11. Jakarta:EGC;2007.hal 829, 48, 58.

9. Stenson WF. Inflammatory bowel disease. In: Goldman, Ausiello, editors.

Cecil medicine 23rd edition. Philadephia: Saunders Elsevier; 2007.

10. Danese S, Fiocchi C. Ulcerative colitis. The New England Journal of

Medicine 2011; 365, 18: 1713-25.

29
11. Hanauer SB. Inflammatory bowel diseases. In: Dale DC, Federman DD,

editors. ACP medicine 3rd edition. USA: WebMD Inc.; 2007.

12. Herring W. Ulcerative colitis. Available in GI Radiology

(www.learningradiology.com), Update 2005. Diakses tanggal 24 Februari

2016.

13. Khan AN, Lin EC. Ulcerative colitis imaging . Available in Medscape

Reference, Drug,Disease and Procedures (www.emedicine.medscape.com),

Update Juli 22, 2011. Diakses tanggal 25 Februari 2016.

14. Brant WE. Pediatric chest. In: Brant WE, Helms CA, editors. Fundamentals of

diagnostic radiology 2nd ed. USA: Lippincott Williams and Wilkins; 2007.

15. Eastman GW, Wald C, Crossin J. Getiing started in clinical radiology from

image to diagnosis. Germany: Thieme; 2006. p. 197-8.

16. Roggeveen MJ, Tismenetsky M, Shapiro R. Best cases from the AFIP:

ulcerative colitis. RadioGraphics 2006; 26, 3: 947-51.

17. Caprilli R, Viscido A, Latella G. Current management of severe ulcerative

colitis. Nature Clinical Practice Gastroenterology & Hepatology 2007; 4, 2:

92-101.

18. Anand MKN. Gastrointestinal tuberculosis imaging . Available in Medscape

Reference, Drug,Disease and Procedures (www.emedicine.medscape.com),

Update Juni 7, 2011. Diakses tanggal 26 Februari 2016.

19. Djojoningrat, Dharmika. Inflammatory Bowel Disease : Alur Diagnosis dan

Pengobatannya di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi ke-

IV. Hal. 384-388. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FKUI.

30
20. Fogel, W.A., et all. 2005. The Role of Histamine in Experimental Ulcerative

Colitis in Rats. Inflammation Research Volume 54.

http://www.springerlink.com/content/h2341286554185w7/. Diakses tanggal

26 Februari 2016.

21. WebMD. 2012. Creating an Ulcerative Colitis Diet Plan.

http://www.webmd.com/ibd-crohns-disease/ulcerative-colitis/creating-an-

ulcerative-colitis-plan. Diakses tanggal 26 Februari 2016.

22. Colitis UK. 2011. The Effects of Diet on Ulcerative Colitis.

http://www.ulcerativecolitis.org.uk/dietarychanges.htm. Diakses tanggal 27

Februari 2016.

31

Anda mungkin juga menyukai