OLEH:
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan dalam bidang industri di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan ini
memberikan berbagai dampak positif yaitu terbukanya lapangan kerja, membaiknya sarana
transportasi dan komunikasi serta meningkatnya taraf sosial ekonomi masyarakat. Suatu
kenyataan yang perlu disadari bahwa perkembangan kegiatan industri secara umum juga
merupakan sektor yang sangat potensial sebagai sumber pencemaran yang akan merugikan
bagi kesehatan dan lingkungan (Assegaf, 1993).
Salah satu industri yang pertumbuhannya cukup pesat adalah industri perminyakan, yang
diawali dengan berdirinya kilang minyak di Indonesia yaitu Unit Pengolahan (UP) I Pangkalan
Brandan dengan kapasitas 5.000 barrel/hari, UP II Dumai dan Sungai Pakning dengan
kapasitas 170.000 barrel/hari, UP III Plaju dan Sungai Gerong dengan kapasitas 135.000
barrel/hari, UP IV Cilacap dengan kapasitas 348.000 barrel/hari, UP V Balikpapan dengan
kapasitas 270.000 barrel/hari, UP VI Balongan dengan kapasitas 125.000 barrel/hari, dan UP
VII Kasim Irian Jaya dengan kapasitas 10.000 barrel/hari (Susilo, 2006).
Pengolahan minyak mentah (crude oil) sangat membutuhkan energi yang merupakan bahan
baku sumber daya alam sangat berpotensi terjadinya kerusakan/pencemaran lingkungan,
disamping melalui proses fisik dan kimia dalam pengolahan bahan baku cenderung
menghasilkan polusi seperti : partikel, gas karbon monoksida (CO), gas karbon dioksida
(CO2), gas belerang oksida (SO2), dan uap air. Sesuai dengan jenis produksinya, maka kilang
minyak tidak dapat lepas dari masalah limbah dan polusi yang timbul terutama pada
lingkungan yaitu pencemaran air, tanah, dan udara.(Peter et al., 1989; Setiani, 2005).
Salah satu dampak negatif dari kilang minyak adalah timbulnya pencemaran lingkungan
oleh limbah yang berbentuk gas, padatan atau cairan yang timbul pada proses dan hasil
pengolahan minyak tersebut. Limbah ini akan mencemari daerah kilang minyak dan
lingkungannya, sehingga pekerja maupun masyarakat disekitar kilang minyak dapat
terpapar oleh limbah. Limbah gas, padat maupun cair dapat berpengaruh terhadap
lingkungan dan kesehatan manusia bila tidak ditangani dengan baik dan benar (Susilo,
2006).
Menurut Marsaoli (2004), pada umumnya pencemaran laut yang terjadi baik secara fisika,
kimiawi maupun biologis, banyak menghasilkan racun bagi biota laut dan manusia. Salah
satu dari bahan pencemar itu adalah hidrokarbon minyak bumi. Minyak bumi adalah
campuran hidrokarbon yang terbentuk berjuta-juta tahun yang lalu di masa lampau sebagai
hasil dekomposisi bahan-bahan organik dari tumbuhan-tumbuhan dan hewan. Minyak bumi
berupa cairan kental berwarna kehitaman yang teradapat dalam cekungan-cekuangan kerak
bumi dan merupakan campuran sangat kompleks dari senyawa-senyawa hidrokarbon dan
bukan hidrokarbon. Dewasa ini terdapat 500 senyawa yang pernah dideteksi dalam suatu
cuplikan minyak bumi yang terdiri dari minyak bumi fraksi ringan dan fraksi berat. Minyak
bumi fraksi ringan, komponen utamanya adalah n-alkana dengan atom C15-17, sedangkan
minyak bumi fraksi berat komponen utamanya adalah fraksi hidrokarbon dengan tidik didih
tinggi (Farrington dkk, 1975).
Kegiatan usaha minyak bumi mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi
nasional. Minyak bumi merupakan komoditas ekspor utama Indonesia yang digunakan
sebagai sumber bahan bakar dan bahan mentah bagi industri petrokimia. Kegiatan
eksploitasi yang meliputi pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana
pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemumian minyak
bumi sering mengakibatkan terjadinya pencemaran minyak pada lahan-lahan di area sekitar
aktivitas tersebut berlangsung. Minyak pencemar tersebut mengandung hidrokarbon
bercampur dengan air dan bahan-bahan anorganik maupun organik yang terkandung di
dalam tanah. Undang-undang No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
mensyaratkan pengelolaan lingkungan hidup, yakni pencegahan dan penanggulangan
pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat
kegiatan pertambangan, bagi badan usaha yang menjalankan usaha di bidang eksploitasi
minyak bumi (Prijambada, 2006).
Limbah lumpur minyak bumi (LMB) merupakan limbah akhir dari serangkaian proses dalam
industri pengilangan minyak bumi (Scora et al.,1997). Kegiatan operasinya dimulai dari
eksplorasi, produksi (pengolahan sampai pemurnian) sampai penimbunan dan berpotensi
menghasilkan limbah berupa lumpur minyak bumi (oily sludge) (Rossiana et al., 2007).
Limbah lumpur minyak bumi terdiri dari senyawa hidrokarbon yang merupakan polialifatik
hidrokarbon seperti alkana (n-normal, iso dan siklo) dan poliaromatik hidrokarbon (PAH)
seperti naftaeno, benzena, naftalena, benzo(a)pirena, air, unsur logam (As, Cd, Cr, Hg, Pb,
Zn, Ni, Cu) serta non hidrokarbon seperti senyawa nitrogen, sulfur, oksigen dan aspal
(Connell & Miller, 1995). Limbah tersebut, termasuk dalam kategori limbah B3 yaitu Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun karena sifat dan konsentrasinya dapat membahayakan
kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Oleh karena itu sesuai dengan peraturan yang
berlaku yaitu Peraturan Pemerintah No. 85 tahun 1999 tentang pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3), tertera bahwa limbah lumpur minyak termasuk kedalam daftar
limbah B3 dari sumber spesifik dengan kode kegiatan 2320, maka pengelolaannya
diperlukan penanganan secara baik sehingga tidak mencemari lingkungan (BAPEDAL, 2001).
Hal inilah yang dibahas dalam makalah ini yaitu bagaimana mengolah limbah minyak bumi
baik melalui pendekatan secara biologis atau dikenal dengan istilah bioremediasi
(Kementerian Lingkungan Hidup, 2003), melalui pendekatan secara kimiawi maupun dengan
cara lain yang bermanfaat dalam menangani masalah pencemaran akibat limbah minyak
bumi.
1.2 Masalah
1.
2.
3.
4.
1.3 Tujuan
1.
2.
3.
4.
Untuk
Untuk
Untuk
Untuk
mengetahui
mengetahui
mengetahui
mengetahui
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Karakteristik Minyak Bumi
a. Sifat Kimia Minyak Bumi
Minyak bumi merupakan senyawa hidrogen dan Carbon (C dan H) ditambah beberapa
senyawa lain yang tidak dominan seperti: Nitrogen, Oksigen, Sulfur, Hidrogen Sulfida,
Porfirin dan senyawa Logam.
Senyawa Hidrocarbon (HC) dapat digolongkan menjadi tiga:
HC cair adalah senyawa HC yang berbentuk cair. Contoh : minyak bumi yang
merupakan rembesan di permukaan atau di dalam reservoir.
HC yang bersifat gas, ini selalu berasosiasi dengan minyak bumi dan dapat berwujud
gas bebas, gas yang terlarut dalam minyak bumi (gelembung-gelembung gas) dan gas
tercairkan, pada kondisi reservoir dengan tekanan dan temperatur (suhu) yang tinggi maka
gas akan mencair.
b. Sifat Fisika Minyak Bumi
Sifat fisika minyak bumi yaitu :
Semakin dalam terdapatnya minyak bumi serta semakin tua umurnya maka berat
jenis minyak bumi semakin kecil. Berat jenis minyak bumi berkisar antara 0,84 sampai 0,89.
Viskositas/ kekentalan (satuan centipoise/ cp) adalah daya hambatan suatu cairan
bila kedalam cairan tersebut dimasukkan suatu materi atau benda yang diputar. Semakin
kecil berat jenis minyak, semakin besar temperatur dan tekanan semakin kecil
viskositasnya.
Titik didih dan titik nyala, titik didih adalah titik dimana minyak bumi mulai mendidih.
Semakin besar berat jenis, titik didih semakin tinggi. Titik nyala adalah kemampuan materi
untuk bisa terbakar. Semakin ringan berat jenis, titik nyala semakin tinggi.
Warna,
senyawa
hidrokarbon
sebenarnya
tidak
berwarna,
tetapi
adanya impurities dan senyawa- senyawa yang lain akan mempengaruhi warna dari minyak
bumi. Untuk minyak berberat jenis besar maka berwarna hijau kehitaman, sedang yang
berat jenis ringan berwarna coklat kehitaman.
Nilai kalori minyak bumi cukup tinggi antara 11.700- 11.750 kal/ gram untuk minyak
BJ= 0,75 dan antara 10000- 10.500 kal/ gram untuk minyak BJ= 0,9- 0,95.
Ketika oil spill terjadi di lingkungan laut, minyak akan mengalami serangkaian perubahan/
pelapukan (weathering) atas sifat fisik dan kimiawi. Sebagian perubahan tersebut mengarah
pada hilangnya beberapa fraksi minyak dari permukaan laut, sementara perubahan lainnya
berlangsung dengan masih terdapatnya bagian material minyak di permukaan laut.
Meskipun minyak yang tumpah pada akhirnya akan terurai/ terasimilisi oleh lingkungan laut,
namun waktu yang dibutuhkan untuk itu tergantung pada karakteristik awal fisik dan
kimiawi minyak dan proses peluruhan (weathering) minyak secara alamiah. Beberapa faktor
utama yang mempengaruhi perubahan sifat minyak adalah (Syakti, 2005):
Karaterisik fisika minyak, khususnya gravitasi spesifik, viskositas dan rentang didih;
Karakteristik air laut (pH, gravitasi spesifik, arus, temperatur, keberadaan bakteri,
nutrien, dan oksigen terlaut serta padatan tersuspensi).
Air pendingin di kilang minyak, dimana bila terjadi kebocoran pada pipa pendingin,
bocoran minyak akan terbawa air.
2.
Air sisa umpan boiler untuk pembangkit uap air.
3.
Air sisa dari lumpur pembocoran.
4.
Air bekas mencuci peralatan-peralatan dan tumpahan-tumpahan/ ceceran minyak di
tempat kerja.
5.
Air hujan.
Perusahaan minyak menghasilkan limbah minyak dalam bentuk lumpur dari berbagai
lapangan produksi. Menurut Damanhuri (1996), lumpur adalah bahan berfase solid yang
bercampur dengan media air (liquid), namun tidak dapat disebut atau disamakan dengan
air. Sedangkan limbah lumpur minyak (oil sludge) adalah kotoran minyak yang terbentuk
dari proses pengumpulan dan pengendapan kontaminan minyak yang tidak dapat digunakan
atau diproses kembali dalam proses produksi. Kandungan terbesar dalam oil sludge adalah
petroleum hydrocarbon (Pertamina, 2001), yang dapat diolah dengan proses bioremediasi.
Keberadaan senyawa hidrokarbon minyak bumi di perairan laut dapat berasal dari berbagai
sumber (Tabel 1).
Untuk mendukung kelancaran operasi kilang, baik BBM, non BBM, maupun
kilang paraxylene, tidak lepas dari sarana-sarana penunjang. Sarana tersebut antara lain
adalah Laboratorium Kilang yang telah mendapatkan sertifikat SNI 19-17025 berfungsi
sebagai pengontrol spesifikasi dan kualitas bahan baku serta produk antara maupun produk
akhir. Keberadaan fasilitas ini amat menentukan suatu keberhasilan perusahaan, terlebih
pada era perdagangan bebas. Karena itu laboratorium dilengkapi dengan fasilitas penelitian
dan pengembangan, sehingga produk yang dihasilkan terjaga kualitasnya, agar tetap
mampu bersaing di pasaran. Laboratorium Kilang Pertamina UP IV Cilacap yang bertugas
sebagai pengontrol spesifikasi dan kualitas produk Pertamina mempunyai tiga seksi
laboratorium, salah satunya adalah Laboratorium Lindungan Lingkungan dan Riset yang
mempunyai tugas antara lain memeriksa keasaman pada sampel pelumas, minyak bumi
dan sebagian fraksi-fraksinya. Dari pemeriksaan keasaman ini timbul limbah acidity yang
tergolong pada limbah B3 cair sebanyak 220 ml untuk setiap sampel/contoh (Susilo, 2006).
1.
Pemeriksaan Keasaman (Conshohocken, 1999)
Pemeriksaan keasaman ini mencakup penentuan zat-zat yang bersifat asam didalam minyak
bumi
dan
pelumas,
baik
yang
larut
maupun
agak
larut
dalam
campuran toluene dan isopropyl alcohol. Untuk menentukan keasaman, contoh dilarutkan
dalam solvent acidity yang terdiri dari campurantoluene 50 %, isopropyl alcohol 49,5 %, dan
air 0,5 %. Pada larutan homogen yang terbentuk dititrasi pada suhu kamar dengan
larutanstandard basa dalam alcohol, sampai titik akhir yang ditandai dengan perubahan
warna larutan p-naphtholbenzein yang ditambahkan (warnanyaorange dalam suasana asam
dan hijau dalam suasana basa).
1.
Arti dan Kegunaan
Hasil-hasil minyak bumi yang baru maupun bekas kemungkinan mengandung zat-zat basa
atau asam yang berada sebagai additive atau hasil degradasi yang terbentuk selama
penggunaannya, misalnya hasil oksidasi. Jumlah relatif dari zat-zat ini dapat ditentukan
dengan titrasi menggunakan asam atau basa. Angka keasaman adalah ukuran dari jumlah
zat yang bersifat asam dalam minyak, dalam kondisi pengujian. Angka ini sebagai
pengendalian kualitas dalam minyak mentah maupun pembuatan pelumas. Juga seringkali
digunakan sebagai ukuran degradasi pelumas dalam penggunaanya.
zat hidrokarbon dari minyak tanah terdapat pada ikan belanak yang diduga berasal dari air
limbah pabrik penggilingan minyak yang dibuang ke laut (Sidhu, 1970).
Seperti yang diungkapkan di atas bahwa senyawa hidrokarbon aromatik ini bersifat racun,
salah satunya adalah PAH yakni senyawa aromatik dengan dua atau lebih cincin benzen.
PAH yang larut pada konsentrasi 0,1-0,5 ppm dapat menyebabkan keracunan pada makhluk
hidup( Connel dan Miller, 1981), sedangkan PAH dalam kadar rendah dapat menurunkan laju
pertumbuhan, perkembangan, dan makan makhluk perairan (Neff, 1979). Keadaan ini telah
diungkapkan oleh Connel dan Miller (1981) untuk ikan, hewan berkulit keras dan moluska.
Selain itu hidrokarbon minyak bumi yang terserap ke dalam tubuh biota menimbulkan rasa
yang menyengat dan memerlukan waktu tertentu untuk dapat hilang (Tabel 2). Tabel 3
memperlihatkan pola perubahan perilaku biota laut terhadap senyawa hidrokarbon aromatik
yang larut (Miller, 1982).
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada kadar 10 ppm kandungan senyawa hidrokarbon
aromatik dapat menyebabkan perubahan pola perilaku pada biota laut dan pada kadar >
1000 ppm dapat menyebabkan kematian. Keadaan ini berbahaya bagi organisme perairan
yang hidup dan mencari makan di dalam sedimen perairan. Nilai Ambang Batas (NAB)
hidrokarbon aromatik untuk biota laut adalah 0,003 ppm (Kementrian KLH, 2004). Tabel 7
memperlihatkan tingkat toksisitas senyawa aromatik yang larut terhadap kelas makhluk
hidup laut (Connel dkk, 1981).
Menghirup uap atau menelan makanan atau cairan yang terkontaminasi minyak dan gas
dapat menyebabkan munculnya problem kesehatan reproduksi seperti siklus haid yang tidak
teratur, keguguran, meninggal dalam kandungan, dan cacat lahir. Masalah-masalah ini
mungkin punya tanda-tanda peringatan dini seperti nyeri lambung atau haid yang tidak
teratur.
Tumpahan Minyak
Di mana ada minyak, di situ pasti ada tumpahan. Kapal-kapal dan truk bisa kecelakaan, dan
jalur pipa bisa bocor.Perusahaan bertanggung jawab untuk mencegah tumpahan dan
membersihkannya jika hal ini terjadi.
Ada pepatah: Minyak dan air tidak mungkin bercampur. Tetapi, ketika minyak tumpah ke
air, bahan-bahan kimia yang berasal dari minyak tersebut pasti bercampur dengan air dan
menggenang didalam air untuk beberapa waktu.Lapisan minyak yang lebih tebal menyebar
di seluruh permukaan dan mencegah masuknya udara ke dalam air.Ikan, khewan, dan
tumbuh-tumbuhan yang hidup di air tidak bisa bernafas.Ketika minyak tumpah ke dalam air,
bahan-bahan kimianya yang tertinggal di sana bisa membuat air tersebut tidak aman
diminum, bahkan setelah minyak yang kasat mata dikeluarkan.
Ketika minyak tumpah ke tanah, ia akan menghancurkan lapisan tanah dengan mendesak
udara keluar dan membunuh makhluk-makhluk hidup yang membuat lapisan tanah menjadi
sehat. Hal yang hampir serupa terjadi jika minyak mengenai kulit kita atau kulit khewan.
Minyak akan menutupi kulit dan menghalangi udara masuk. Racun-racun yang berasal dari
minyak juga meresap ke dalam tubuh melalui kulit, dan menimbulkan penyakit.
Dampak di Laut
Akibat yang ditimbulkan dari terjadinya pencemaran minyak bumi di laut adalah:
1.
Rusaknya estetika pantai akibat bau dari material minyak. Residu berwarna gelap
yang terdampar di pantai akan menutupi batuan, pasir, tumbuhan dan hewan.
Gumpalan taryang terbentuk dalam proses pelapukan minyak akan hanyut dan
terdampar di pantai.
2.
Kerusakan biologis, bisa merupakan efek letal dan efek subletal. Efek letal yaitu
reaksi yang terjadi saat zat-zat fisika dan kimia mengganggu proses sel ataupun subsel
pada makhluk hidup hingga kemungkinan terjadinya kematian. Efek subletal yaitu
mepengaruhi kerusakan fisiologis dan perilaku namun tidak mengakibatkan kematian
secara langsung. Terumbu karangakan mengalami efek letal dan subletal dimana
pemulihannya memakan waktu lama dikarenakan kompleksitas dari komunitasnya.
3.
Pertumbuhan fitoplankton laut akan terhambat akibat keberadaan senyawa beracun
dalam komponen minyak bumi, juga senyawa beracun yang terbentuk dari
proses biodegradasi. Jika jumlah pitoplankton menurun, maka populasi ikan, udang, dan
kerang juga akan menurun. Padahal hewan-hewan tersebut dibutuhkan manusia karena
memiliki nilai ekonomi dan kandungan proteinyang tinggi.
4.
Penurunan populasi alga dan protozoa akibat kontak dengan racun slick (lapisan
minyak di permukaan air). Selain itu, terjadi kematian burung-burung laut. Hal ini
dikarenakan slickmembuat permukaan laut lebih tenang dan menarik burung untuk
hinggap di atasnya ataupun menyelam mencari makanan. Saat kontak dengan minyak,
terjadi peresapan minyak ke dalam bulu dan merusak sistem kekedapan air dan isolasi,
sehingga burung akan kedinginan yang pada akhirnya mati.
Efek jangka pendek (akut) antara lain pada penghirupan konsentrasi 400 ppm dapat
menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan bagian atas.
Penghirupan lebih besar akan menyebabkan pusing dan mengganggu keseimbangan
tubuh.
Kontak dengan mata dapat menyebabkan iritasi, tetapi tidak pada kulit.
Bila terminum dapat menyebabkan muntah, diare dan hilang kesadaran.
Efek jangka panjang (kronis) antara lain bila terkena kulit dapat menyebabkan kulit
kering dan pecah-pecah. Nilai Ambang Batas : 200 ppm (500 mg/m3)-kulit; STEL = 250
ppm; Toksisitas : LD50 (tikus, oral) = 1870-6500 mg/kg.
biologi merupakan alternatif yang efektif dari segi biaya dan aman bagi lingkungan.
Pengolahan dengan metode biologis disebut juga bioremediasi, yaitu biotek-nologi yang
memanfaatkan makhluk hidup khususnya mikroorganisme untuk menurunkan konsentrasi
atau daya racun bahan pencemar (Lasari, 2010).
Secara umum beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak yang menjadi limbah
diantaranya in-situ burning, penyisihan secara mekanis, bioremediasi, penggunaan sorbent,
penggunaan bahan kimia dispersan, dan washing oil (Anonim, 1994).
In-situ
burning adalah
pembakaran
minyak
pada
permukaan
laut,
sehingga
spesifik dapat diisolasi dengan menebarkannya pada daerah yang terkontaminasi. Selain
itu, teknik bioremediasi dapat menambahkannutrisi dan oksigen, sehingga mempercepat
penurunan polutan.
Penggunaan
sorbent
dilakukan
dengan
menyisihkan
minyak
melalui
Peralatan
Alat-alat yang digunakan untuk membersihkan tumpahan minyak:
Sekop yang khusus digunakan untuk memindahkan pasir dan kerikil dari minyak di
pantai.
Kegiatan huiu dan hilir industri minyak bumi tidak terlepas dari kemungkinan pencemaran
minyak di ke lingkungan, khususnya perairan dan sedimen. Salah satu metode pengolahan
limbah secara yang saat ini terus dikembangkan adalah bioremediasi yang merupakan
teknologi ramah lingkungan, cukup efektif dan efisien serta ekonomis (Yani et al., 2007).
Terdapat tiga cara untuk mengatasi masalah lahan tercemar minyak yang dapat dipilih
berdasarkan jenis minyak pencemar, konsentrasi minyak pencemar dan lokasi pencemaran,
yakni dibakar, diberi disperser dan kemudian dihisap kembali dengan skimmer untuk diolah
di kilang minyak, dan didegradasi dengan memanfaatkan mikroorganisme pendegradasi
hidrokarbon. Bioremediasi, pengelolaan yang mengandalkan degradasi dengan
memanfaatkan mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon, merupakan cara yang paling
ekonomis dan dapat diterima lingkungan. Bioremediasi dapat digunakan untuk mengatasi
masalah
lahan
tercemar
minyak
baik
secara in
situ maupun ex
situ.
Biostimulation dan bioaugmentationmerupakan contoh pelaksanaan bioremediasi secara in
situ, sedangkan landfarming,
biopile,dan composting merupakan
contoh
pelaksanaan
bioremediasi secara ex situ (Arifin et al., 2004).
Dalam pelaksanaan bioremediasi, baik secara in situ maupun ex situ, perlu dilakukan
pemantauan terhadap proses pengolahan dan hasil akhir pengolahan. Hal itu perlu dipantau
adalah kandungan minyak bumi dan/atau kandungan total hidrokarbon minyak bumi.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no. 128 tahun 2003 tentang Tata Cara dan
Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak
Bumi secara Biologis mensyaratkan kandungan total hidrokarbon minyak bumi yang tidak
lebih dan 15 % di awal proses bioremediasi. Selama proses bioremediasi, kandungan total
hidrokarbon minyak bumi perlu dipantau setidaknya setiap 2 minggu. Pemantauan
kandungan bensena, toluene, etil-bensena, silena, dan hidrokarbon polisilkik aromatic perlu
dilakukan di akhir proses bioremediasi. Kandungan total hidrokarbon minyak bumi di akhir
proses bioremediasi disyaratkan di bawah 1 %. Di akhir proses bioremediasi, kandungan
toluene, etil-bensena, silena, dan hidrokarbon polisilkik aromatik disyaratkan masing-masing
berada di bawah 10 ppm, sedangkan kandungan bensena disyaratkan berada di bawah 10
ppm.
Limbah industri minyak bumi (Oil sludge) yang berupa cairan dan
padatan merupakan obyek dalam makalah ini, limbah tersebut
merupakan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). Detoksifikasi
dan degradasi limbah tersebut dapat dilakukan secara biologis yang
aman dan ramah lingkungan dengan menggunakan 3 jenis bakteri
dan tumbuhan yang dikenal denganFitoremediasi. Penggunaan
eceng gondok untuk limbah cair dan sengon bermikoriza untuk
pengolahan dan penurunan zat organik dalam limbah padat
diharapkan dapat menunjang pengelelolaan limbah secara terpadu
Menurut Corseuil & Moreno (2000), mekanisme tumbuhan dalam menghadapi toksikan
adalah:
1.
organik yang dikeluarkan melalui eksudat akar (misalnya phenolik, asam organik, alkohol,
protein) dapat menjadi sumber karbon dan nitrogen sebagai sumber pertumbuhan mikroba
yang dapat membantu proses degradasi senyawa organic. Sekret berupa senyawa organik
dapat membantu pertumbuhan dan meningkatkan aktivitas mikroba rhizosfer ( Salt et al.,
1998 ).
Tumbuhan mempunyai kemampuan untuk menahan substansi toksik dengan cara biokimia
dan fisiologisnya serta menahan substansi non nutritif organik yang dilakukan pada
permukaan akar. Bahan pencemar tersebut akan dimetabolisme atau diimobilisasi melalui
sejumlah proses termasuk reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisa enzimatis (Khan et al.,
2000).
Eichhornia crassipes (Mart). Solms merupakan tumbuhan air yang dapat menyerap hara dan
logam berat dalam jumlah yang cukup signifikan. Zat hara yang terserap oleh akar tanaman
akan ditranslokasikan di dalam tubuh tanaman. Hasil penelitian yang telah dilakukan di bak
percobaan menunjukkan bahwa penggunaan eceng gondok dengan penutupan 50% dari
luas area percobaan pengolahan limbah cair tahu dapat menurunkan residu tersuspensi
75,74 85,5 % dan COD 55,52 76,83 % (Dhahiyat, 1990).
Eichhornia crassipes ( Mart ). Solms dapat tumbuh dengan sangat cepat, yaitu mencapai 10
g m-2 per hari. Hal ini berpengaruh terhadap penyerapan unsur hara, seperti nitrat ( NO 3)
dan orthofosfat ( PO43-) Eichhornia crassipes ( Mart ). Solms dapat menyerap nitrogen secara
langsung sebesar 5850 kg/ha per tahun dan dapat menyerap fosfor sebesar 350 1125 kg/
ha per tahun. Hal ini dapat mengurangi konsentrasi kontaminan pada limbah perairan
(McEldowney et al., 1993 ).
Tanaman sengon merupakan tanaman Leguminosae, sering digunakan sebagai tanaman
untuk reboisasi karena bersifat fast growing trees. Selain mempunyai dua nama latin
yakniAlbizia falcataria (L) Forberg dan Paraserianthes falcataria (L) Nielsen, sengon
mempunyai nama daerah yang bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
program pemerintah berupa proyek Sengonisasi bagi daerah-daerah kritis yang rawan
bencara erosi (National Academy of Sciences, 1979). Manfaat penting dari penggunaan
mikoriza adalah asosiasi jamur dan tanaman berkemampuan sebagai biofertilizer,
mendetoksifikasi dan mendegradasi senyawa yang sukar diuraikan dalam tanah. Peranan
mikoriza dalam rizosfer adalah memfasilitasi pergerakan mineral tanah menuju tanaman.
Hasil penelitian yang telah dilakukan di laboratorium, rumah kaca dan terakhir dalam skala
lapangan selama 6 bulan menunjukkan bahwa fitoremediasi limbah lumpur minyak
konsentrasi 20% dengan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) bermikoriza
yang mediumnya diinokulasi bakteriPseudomonas mallei, Bacillus alvei danPseudomonas
sphaericus potensial untuk dikembangkan. Tanaman sengon mengalami pertumbuhan baik
selama fitoremediasi. Hasil analisis setelah fitoremediasi menunjukkan bahwa terjadi
penurunan kandungan minyak sampai 51,23% dan kandungan logam berat Cd, Cr, Pb, Cu,
Zn dan Ni.masing-masing sebesar 30,2%, 2,5%, 32,6%, 71,9%, 62,8% dan 47,09%.
(Rossiana, 2005).
Saat ini pengetahuan mengenai mekanisme fisiologi fitoremediasi mulai digabungkan
dengan biologi dan teknik untuk mengoptimalkan fitoremediasi sehingga terbagi menjadi
(Salt et al., 1998):
1.
Pengolahan limbah Hidrokarbon secara mikrobiologis dilakukan dengan proses aerob. Oleh
sebab itu dalam kolam-kolam pengolahan limbah diperlukan aerasi yang cukup agar oksidasi
Hidrokarbon berlangsung. Aerasi yang dilakukan adalah memasukkan oksigen ke dalam
limbah melalui proses pengadukan. Gabunganaerasi dan pengadukan lebih cocok karena
permukaan limbah yang luas membuat kontak mikroba menjadi lebih besar dan degradasi
lebih efektif. Hidrokarbon tidak akan larut dalam air pada saat pengadukan. Untuk
memperbesar distribusi mikroba dalam limbah Hidrokarbon, maka perlu ditambah zat
pengemulsi sehingga terjadi emulsi Hidrokarbon, maka perlu ditambah zat pengemulsi
sehingga terjadi emulsi Hidrokarbon dalam air. Selama degradasi, maka temperatur harus
diperhatikan. Temperatur akan naik dari suhu psikofilik (4-20 C) sampai mesofilik (20-40
C). Namun hal ini tidak banyak mempengaruhi aktivitas mikroba. pH limbah yang netral
atau sedikit asam kurang mempengaruhi aktivitas mikroba. Namun setelah dimetabolisme,
maka
pH efluent menjadi
asam.
Oleh
sebab
itu
perlu
dinetralkan
dengan
kapur(gamping) setelah tahap klorinasi.
Menurut Sugiharto (1987), pengolahan limbah cair minyak bumi dilakukan dengan 2 cara
pengolahan pendahuluan (pre treatment), yaitu:
1.
Program pengendalian pencemaran bahan buangan cair minyak bumi antara lain
(Pertamina, 1986) :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pada umumnya limbah padat yang dihasilkan adalah sludge (lumpur) yang terdiri dari Arsen,
Barium, Boron, Chromium, Cadmium, Mercury, Timbal dan Seng. Sludge yang didapatkan
dari pembersihan tangki akan diolah ke dalam suatu bak untuk pengolahan lebih lanjut.
Upaya pengelolaan lingkungan yang dilakukan untuk mengurangi dampak kualitas udara
ambient yang berupa gas diantaranya :
1.
Melewatkan gas H2S kedalam larutan NaOH atau Ca(OH)2 sehingga gas yang keluar
merupakan sisa yang tidak tertangkap oleh larutan NaOH atau Ca(OH)2.
2.
Melakukan pendinginan dan penangkapan gas yang keluar telah sesuai dengan udara
luar.
3.
Penanaman tanaman pelindung di sekeliling lokasi Stasiun Pengumpul/ Stasiun
Kompresor.
4.
Melakukan perawatan cerobong.
2.
3.
4.
5.
6.
Dalam rangka program pemerintah hal produksi bersih, penelitian ini dapat diaplikasikan
sebagai pemantauan terhadap pengelolaan lumpur minyak bumi secara bioremediasi.
Fitoremediasi merupakan bioremediasi yang memanfaatkan tumbuhan untuk memindahkan
atau mengurangi kerusakan karena pencemar. Sengon sebagai tanaman fast growing trees
berasosiasi dengan mikoriza yaitu sejenis jamur yang bersimbiosis dengan akar membantu
menurunkan kadar senyawa toksik dalam lumpur minyak bumi. Parameter keberhasilan
fitoremediasi dapat dilihat dari nilai penurunan kadar senyawa toksik apakah dalam
standard bakumutu lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003 dan Environmental
Protection Agency, 2002) Biomonitoring seperti Uji Lc-50, Uji LD-50 baik chronis maupun
sub-akut serta biopatologi terhadap hewan uji merupakan pemantauan biologi yang akan
menyatakan bahwa hasil fitoremediasi aman dan ramah lingkungan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan suatu upaya kegiatan pemulihan
lingkungan yang telah tercemar oleh minyak tersebut antara lain melalui pendekatan
pemulihan secara biologis atau dikenal dengan istilah bioremediasi. Keterbatasan
bioremediasi adalah bahan yang akan diremediasi mempunyai khlorin atau logam berat
yang sukar didegradasi oleh mikroorganisme, sehingga dalam medium hasil perlakuan
masih meninggalkan sisa logam berat dengan konsentrasi cukup tinggi. Adanya kandungan
logam berat baik dalam lumpur minyak dan medium hasil bioremediasi akan mempengaruhi
penguraian bahan organik, karena akan menghambat kerja enzim glukosidase, fosfatase,
populasi mikroorganisme serta aktivitas enzim lainnya (Garcia et al, 1995) selain itu juga
akan menjadi kendala bagi pertumbuhan tanaman. Sehubungan dengan itu perlu ada upaya
menghilangkan terlebih dahulu logam berat yang terdapat dalam limbah sebelum proses
bioremediasi dengan menggunakan adsoben. Oleh karena itu penggunaan zeolit sebagai
adsorben alam penyerap logam berat merupakan penanganan awal sebelum dilakukan
proses lebih lanjut (Prayitno,1999). Zeolit sebagai mineral berpori mempunyai daya serap
tinggi karena mempunyai sifat fisika dan kimia dalam pertukaran ion, sehingga digunakan
dalam proses pemisahan, pemurnian dalam pengolahan lingkungan seperti penyerap dan
penyaring limbah beracun, radioaktif dan logam berat (Manahan,1999). Sebelum digunakan,
zeolit harus diberi perlakuan secara kimia maupun fisika seperti pemanasan dan
pori
sehingga
dapat
meningkatkan
Pada saat ini telah banyak teknologi yang digunakan dalam pengolahan limbah minyak
mulai dari pengolahan secara mekanis dan kimia, namun masih meninggalkan
permasalahan pada kadar maksimum minyak. Sehingga teknologi ramah lingkungan untuk
meminimasi kadar minyak adalah dengan Solid Bioremediation yaitu secara pengomposan.
Dalam bioremediasi, proses berlangsung dengan memanfaatkan mikroorganisme indigenous
yaitu organisme yang telah ada di lingkungan tersebut. Apabila diperlukan dapat pula
ditambahkan mikroorganisme dari luar (eksogen) yang merupakan kultur (konsorsium)
campuran dari berbagai jenis bakteri, jamur yang potensial dalam mendegradasi pencemar
tersebut. Mikroorganisme yang ada distimulasi dengan berbagai cara agar kemampuannya
meningkat, yaitu dengan peningkatan atau pengaturan nutrien dan tekstur tanah seperti
nitrogen, fosfor sedangkan pasir digunakan untuk menambah porositas dan memperluas
kontak dengan lumpur minyak. (Baker and Herson, 1994 ;Udiharto dan Sudaryono, 1999).
Pengujian tanah hasil bioremediasi diperlukan untuk melihat seberapa besar pencemar
minyak menghambat pertumbuhan tanaman.
Fitoremediasi merupakan konsep bioremediasi terbaru yang memanfaatkan tumbuhan untuk
meminimalisasi pencemar. Mekanisme fisiologi tumbuhan secara molekuler mulai
dikembangkan dengan teknik lingkungan untuk mengoptimalkan dan mengembangkan
pengolahan limbah. Hasil fitoremediasi harus dimonitor secara berkala sehingga area
pengelolaan limbah disekitar industri merupakan blue print aman lingkungan.
Penanganan di laut
Pemantauan
Tindakan pertama yang dilakukan dalam mengatasi tumpahan minyak yaitu dengan
melakukan pemantauan banyaknya minyak yang mencemari laut dan kondisi
tumpahan. Ada 2 jenis pemantauan yang dilakukan yaitu dengan pengamatan secara visual
dan penginderaan jauh (remote sensing).
Pengamatan secara visual merupakan pengamatan yang menggunakan pesawat. Teknik ini
melibatkan banyak pengamat, sehingga laporan yang diberikan sangat bervariasi. Pada
umumnya, pemantauan dengan teknik ini kurang dapat dipercaya. Sebagai contoh, pada
tumpahan jenis minyak yang ringan akan mengalami penyebaran (spreading), sehingga
menjadi lapisan sangat tipis di laut. Pada kondisi pencahayaan ideal akan terlihat warna
terang. Namun, penampakan lapisan ini sangat bervariasi tergantung jumlah
cahaya matahari, sudut pengamatan dan permukaan laut, sehingga laporannya tidak dapat
dipercaya.
Metode penginderaan jarak jauh dilakukan dengan berbagai macam teknik, seperti Sidelooking Airborne Radar (SLAR). SLAR dapat dioperasikan setiap waktu dan cuaca, sehingga
menjangkau wilayah yang lebih luas dengan hasil penginderaan lebih detail. Namun,teknik
ini hanya bisa mendeteksi lapisan minyak yang tebal. Teknik ini tidak bisa mendeteksi
minyak yang berada dibawah air dalam kondisi laut yang tenang. Selain SLAR digunakan
juga teknik Micowave Radiometer, Infrared-ultraviolet Line Scanner, dan Landsat Satellite
System. Berbagai teknik ini digunakan untuk menghasilkan informasi yang cepat dan akurat.
Penanganan di darat
Pemulihan lahan tercemar oleh minyak bumi dapat dilakukan secara biologi dengan
menggunakan kapasitas kemampuan mikroorganisme. Fungsi dari mikroorganisme ini dapat
mendegradasi struktur hidrokarbon yang ada dalam tanah, sehingga minyak bumi menjadi
mineral-mineral yang lebih sederhana dan tidak membahayakan lingkungan. Teknik seperti
ini disebut bioremediasi. Teknik bioremediasi dapat dilaksanakan secara in-situ maupun cara
ex-situ.
Pada umumnya, teknik bioremediasi in-situ diaplikasikan pada lokasi tercemar ringan,
lokasi yang tidak dapat dipindahkan, atau karakteristik kontaminan yang volatil.
Bioremediasi ex-situ merupakan teknik bioremediasi di mana lahan atau air yang
terkontaminasi diangkat, kemudian diolah dan diproses pada lahan khusus yang
disiapkan untuk proses bioremediasi.
Penanganan lahan yang tercemar minyak bumi dilakukan dengan cara memanfatkan
mikroorganisme untuk menurunkan konsentrasi atau daya racun bahan pencemar.
Penanganan semacam ini lebih aman terhadap lingkungan karena agen pendegradasi yang
dipergunakan adalah mikroorganisme yang dapat terurai secara alami. Ruang lingkup
pelaksanaan proses bioremediasi tanah yang terkontaminasi minyak bumi meliputi
beberapa tahap yaitu:
Treatibility
study merupakan
studi
pendahuluan
terhadap
kemampuan
jenis
lokasi tanah yang terkontaminasi minyak bumi. Kondisi ini meliputi kualitas fisik, kimia,
dan biologi.
Persiapan proses bioremediasi yang meliputi persiapan alat, bahan, administrasi
Masalah pencemaran lingkungan merupakan masalah serius bagi manusia dan lingkungan.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa tidak semua limbah yang dihasilkan diolah dan
tidak semua limbah yang diolah telah memenuhi standar baku mutu lingkungan. Contohnya
saja minyak pelumas bekas pada bengkel motor dan mobil masih kurang dalam
penanganannya. Untuk itu diperlukan pengolahan atau pengelolaan yang baik pada
buangan sebelum dibuang. Secara umum tujuan utama dari setiap pengolahan air limbah
adalah sebagai berikut :
1.
2.
permukaan air hal ini dikarenakan minyak tidak larut dalam air dan berat jenis minyak lebih
kecil dari pada berat jenis air. Apabila minyak tidak diolah terlebih dahulu sebelum dibuang
ke badan air penerima, maka akan membentuk selaput. Minyak akan membentuk ester dan
alkohol atau gliserol dengan asam gemuk. Gliseril dari asam gemuk dalam fase padat maka
dikenal dengan nama lemak, sedangkan apabila dalam fase cair disebut
minyak (Sugiharto, 1987).
Ada dua macam emulsi yang terbentuk antara minyak dan air, yaitu emulsi minyak dalam
airdan emulsi air dalam minyak. Emulsi minyak dalam air terjadi jika droplet-droplet minyak
terdispersi di dalam air dan distabilkan dengan interaksi kimia dimana air menutupi
permukaan droplet-droplet tersebut. Hal ini terjadi terutama di dalam air yang berombak,
dan droplet minyak tersebut tidak terdispersi pada permukaan air, melainkan menyebar di
dalam air. Beberapa droplet minyak, terutama yang berikatan dengan partikel mineral,
menjadi lebih berat dan akan mengendap ke bawah.
Emulsi air dalam minyak terbentuk jika droplet-droplet air ditutupi oleh lapisan minyak, dan
emulsi ini distabilkan oleh interaksi di antara droplet-droplet air yang tertutup. Emulsi
semacam ini terlihat sebagai lapisan yang mengapung pada permukaan air dan lekat, dan
terkadang karena kandungan air di dalam droplet-droplet minyak tersebut cukup tinggi
maka total volumenya menjadi lebih besar dibandingkan dengan minyak aslinya.
Sebagian besar emulsi minyak tersebut kemudian akan mengalami degradasi melalui foto
oksidasi spontan dan oksidasi oleh mikroorganisme. Mikroorganisme merupakan organisme
yang paling berperan dalam dekomposisi minyak di laut. Setelah kira-kira tiga bulan, hanya
tinggal 15% dari volume minyak yang mencemari air masih tetap terdapat di dalam air.
Lapisan minyak yang berada di permukaan air akan mengganggu kehidupan organisme di
dalam air hal ini dikarenakan :
1.
Lapisan minyak pada permukaan air akan menghalangi difusi oksigen dari udara ke
dalam air sehingga jumlah oksigen terlarut di dalam air akan menjadi berkurang.
Berkurangnya kandungan oksigen dalam air akan mengganggu kehidupan organisme
yang berada di perairan.
2.
Dengan adanya lapisan minyak pada permukaan air akan menghalangi masuknya
sinar matahari ke dalam air sehingga proses fotosintesis oleh tanaman air tidak dapat
berlangsung.
3.
Air yang telah tercemar oleh minyak tidak dapat dikonsumsi oleh manusia
dikarenakan pada air yang mengandung minyak tersebut dapat mengandung zat-zat
yang beracun seperti senyawa benzen dan toluen.
Minyak berasal dari kandungan lemak, dimana lemak sendiri adalah fungsi atau
sifatProstaglandin yang dapat terbentuk dengan proses pelingkaran dan peroksigenan dari
asam lemak tak jenuh dengan banyak ikatan C = C yang menyebabkan mudah terbakar dan
menimbulkan nilai kalor tertentu.
terciptanya aliran yang laminer pada reaktor, pada saat aliran laminer inilah minyak akan
terpisah dari air, minyak terapung dan dikeluarkan melalui pipa pembuangan minyak yang
berada pada reaktor pemisah minyak.
Limbah yang terdapat dalam reaktor akan terjadi emulsi, yaitu emulsi air dalam minyak.
Emulsi air dalam minyak terbentuk droplet-droplet air ditutupi oleh lapisan minyak, dan
emulsi ini distabilkan oleh interaksi di antara droplet-droplet air yang tertutup. Emulsi ini
terlihat sebagai lapisan yang mengapung pada permukaan air dan lekat sehingga minyak
akan menempel pada kaca. Seperti pada penelitian sebelumnya dalam melakukan
pemisahan minyak , bahan yang digunakan sebagai penangkap minyak yaitu bahan yang
terbuat dari viber plastik yang disusun berlapis-lapis. Pada penelitian ini melakukan proses
pemisahan kadar minyak yang terdapat pada limbah bengkel, dimana limbah pada bengkel
berasal dari proses pencucian karburator motor, pembersihan mesin, dan sisa-sisa oli pada
proses penggantian oli mesin. Untuk proses pemisahan minyak menggunakan reaktor
pemisah minyak, dengan menggunakan reaktor yang bermedia zeolit dan karbon aktif.
Faktor waktu detensi atau waktu tinggal juga mempengaruhi pada proses pemisahan
minyak, menurut (Ondrey, 2006)waktu tinggal yang diperlukan hanya sekitar 30 menit,
maka droplets minyak akan terpisah dari air. Pada penelitian ini kondisi aliran laminer,
sebagai akibat adanya sekat-sekat yang mengurangi lajunya aliran yang masuk ke dalam
reaktor pemisah minyak.
Sebuah studi telah dilakukan untuk mengolah air yang terkontaminasi oleh minyak dengan
menggunakan kolam perangkap minyak (Oil Trap). Pengolahan yang diterapkan untuk
pemisahan minyak yang tercampur dalam air buangan adalah pengolahan secara fisika,
yakni melalui prinsip gravitasi berdasarkan perbedaan massa jenis antara air dan minyak.
Partikel yang tersuspensi dalam larutan akan tenggelam atau naik/terapung. Hal ini
tergantung dari perbedaan berat jenis tersebut. Sedimen kasar akan mengendap di dasar
kolam perangkap dan minyak akan mengapung, sedangkan air yang telah berpisah dengan
minyak tersebut dibuang ke outlet.
Pada pemisahan minyak dan air, kecepatan naiknya butir minyak akan mencapai konstan
bila gaya dorong ke atas akibat adanya perbedaan berat jenis sama dengan tahanan gerak
fluida saat bergerak. Hal ini tergantung dari berat jenis, viskositas fluida dan ukuran butiran
minyak.
Perbandingan
Proses Reaktor
Pemisah
Minyak
dengan Kolam
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. Oil, Water and Chocolate Mousse.(1994). Ottawa, Ontario: Environment Canada.
Pages 22-24.
Annual Book ASTM Standard, American Society for Testing and Materials, 1999. Volume
05.01 Petroleum Product and Lubricants (1), West Conshohocken, P.A.
Assegaf, 1993. Nilai Normal Faal Paru Orang Indonesia Pada Usia Sekolah dan Pekerja
Dewasa Berdasarkan Rekomendasi American Thoracic Society (ATS) 1987, Airlangga
University Press. Surabaya.
Baker, K.H & D. S. Herson. 1994. Bioremediation. USA : McGraw-Hill, Inc. 1-5, 12-30, 180181, 211-224.
BAPEDAL, 2001. Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya danBeracun.Badan Pengendali Dampak Lingkungan.
Jakarta.
Connel, D.W. & G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta. UI Press.
Corseuil, H.X & F.N. Moreno. 2000.Phytoremediation Potential Of Willow Trees For
Aquifers Contaminated With Ethanol-Blended Gasoline. Pergamon Press. Elsevier Science
Ltd.
Dhahiyat, Y. 1990. Kandungan Limbah Cair pabrik tahu dan pengolahannya dengan eceng
gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms). Jurnal Lingkungan & Pembangunan
(Environment & Development) Volume 11, Nomor 1. Pusat Studi Lingkungan Perguruan
Tinggi seluruh Indinesia. Jakarta.
D.W. Connel, G.J. Miller, CRC Crit. Rev. Environ. Control 11 (1981)105.
Eweis, J.B., S.J. Ergas., D.P.Y. Chang & E.D. Schroeder. 1998. Bioremediation Principles.
Singapore. WCB McGraw-Hill.
Garcia, C., J. L. Moreno, T. Hernandez & F. Costa. 1995. Effect Composting Sewage Sludges
Contaminated With Heavy Metals. J. Bioresource Technology, 53:13-19.
G.S. Sidhu, Nature and effect of a kerosene like toint in mullet (Mugil cephalus), FAO Rome,
FIR:MP/70/E-39, 1970, p.99.
J. Bagg, J.D. Smith, W.A. Maher, Aust.J.Mar. Fresh-water Res. 32 (1981) 65.
J.M. Neff, Polycyclic Aromatic Hydrocarbons in the Aquatic Environment, Applied Science
Publisher, London, 1979.
J.W. Farrington, P.A. Meyers, In: G. Eglinton (Ed.). Environment Chemistry Vol.1, The Chemical
Society, London, 1975, p.109.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2003. Pengelolaan limbah minyak bumi secara biologi.
Badan Pengendali Dampak Lingkungan, Jakarta.
Kementrian KLH, Keputusan Menteri Nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut,
Kementrian KLH, Jakarta, 2004.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UII Press. Jakarta.
Khan, A.G., C. Kuek., Chaudrhry., C.S. Khoo & W.J. Hayes. 2000. Role of Plant, Mycorrhizae
and Phytochelator in Heavy Metal Contaminated Land Remediation. Chemosphere 41:197
207.
Marsaoli, M., 2004. Kandungan Bahan Organik, N-Alkana, Aromatik Dan Total Hidrokarbon
Dalam Sedimen Di Perairan Raha Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, Makara, Sains, Vol. 8,
No. 3.
PERTAMINA (2001). Pedoman Pengelolaan Limbah Sludge Minyak Pada Kegiatan Operasi
Pertamina. Jakarta: Pertamina.
Peter, Max. And Clous D. Timeraus, 1989. Plant Design and Economic For Chemical
Engeener,International Edition, Singapore.
TAMBANG
R.C. Clark Jr., W.D. Macleod Jr., In: D.C. Malins (Ed.), Effects of petroleum on arctic and
subarctic marine environments and organisms, vol. I, Academic Press, New York, 1977.
Rossiana, N. 2005. Penggunaan zeolit, kultur bakteri dan mikoriza dalam fitoremediasi
Lumpur minyak bumi dengan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen Laporan
Penelitian RUT XI 2004.
Rossiana, N., Supriatun, T., Dhahiyat, Y., 2007. Fitoremediasi Limbah Cair Dengan Eceng
Gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms) Dan Limbah Padat Industri Minyak Bumi Dengan
Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) Bermikoriza, Laporan Penelitian Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran.
Salt, D.E., R.D. Smith & I. Raskin. 1998. Annual Review Plant Physiology and Plant
MolecularBiology : Phytoremediation. Annual Reviews. USA. 501662.
Susilo, 2006. Studi Penanganan Limbah SolventSisa Analisis Acidity Untuk Pengendalian
Pencemaran Lingkungan Di Pertamina UP IV Cilacap, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro Semarang.
Udiharto, M., dan Sudaryono. 1999. Bioremediasi Terhadap Tanah Tercemar Minyak Bumi
Parafinik dan Aspak. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah dan
Pemulihan Kerusakan Lingkungan-BPPT, Jakarta. 121-132.
W.A. Maher, J. Bagg, D.J. Smith, Int. J. Environ. Anal. Chem. 7 (1979) 1.
Yani, M., Agung, D.S., Fitria, R.E., Nastiti, S.I., 2007. Pengembangan Bioremendasi Dengan
Teknik Slurry Bioreaktor Untuk Pengolahan Sludge I Sedimen Tercemar Minyak Bumi,
Seminar Nasional Perhimpunan Perikanan dan IImu Kelautan Indonesia Bogor.