Disusun oleh :
Zuhriyan Wardhana
1507112555
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Karakteristik Minyak Bumi
a. Sifat Kimia Minyak Bumi
Minyak bumi merupakan senyawa hidrogen dan Carbon (C dan H) ditambah beberapa
senyawa lain yang tidak dominan seperti: Nitrogen, Oksigen, Sulfur, Hidrogen Sulfida, Porfirin
dan senyawa Logam.
Senyawa Hidrocarbon (HC) dapat digolongkan menjadi tiga:
– Semakin dalam terdapatnya minyak bumi serta semakin tua umurnya maka berat jenis
minyak bumi semakin kecil. Berat jenis minyak bumi berkisar antara 0,84 sampai 0,89.
– Viskositas/ kekentalan (satuan centipoise/ cp) adalah daya hambatan suatu cairan bila
kedalam cairan tersebut dimasukkan suatu materi atau benda yang diputar. Semakin kecil
berat jenis minyak, semakin besar temperatur dan tekanan semakin kecil viskositasnya.
– Titik didih dan titik nyala, titik didih adalah titik dimana minyak bumi mulai mendidih.
Semakin besar berat jenis, titik didih semakin tinggi. Titik nyala adalah kemampuan
materi untuk bisa terbakar. Semakin ringan berat jenis, titik nyala semakin tinggi.
– Warna, senyawa hidrokarbon sebenarnya tidak berwarna, tetapi adanya impurities dan
senyawa- senyawa yang lain akan mempengaruhi warna dari minyak bumi. Untuk minyak
berberat jenis besar maka berwarna hijau kehitaman, sedang yang berat jenis ringan
berwarna coklat kehitaman.
– Nilai kalori minyak bumi cukup tinggi antara 11.700- 11.750 kal/ gram untuk minyak
BJ= 0,75 dan antara 10000- 10.500 kal/ gram untuk minyak BJ= 0,9- 0,95.
– Karaterisik fisika minyak, khususnya gravitasi spesifik, viskositas dan rentang didih;
– Komposisi dan karakteristik kimiawi minyak;
– Kondisi meteorologi (sinar matahari (foto oksidasi), kondisi oseanograpi dan temperatur
udara); dan
– Karakteristik air laut (pH, gravitasi spesifik, arus, temperatur, keberadaan bakteri, nutrien,
dan oksigen terlaut serta padatan tersuspensi).
Air pendingin di kilang minyak, dimana bila terjadi kebocoran pada pipa pendingin,
bocoran minyak akan terbawa air.
Air sisa umpan boiler untuk pembangkit uap air.
Air sisa dari lumpur pembocoran.
Air bekas mencuci peralatan-peralatan dan tumpahan-tumpahan/ ceceran minyak di tempat
kerja.
Air hujan.
Perusahaan minyak menghasilkan limbah minyak dalam bentuk lumpur dari berbagai
lapangan produksi. Menurut Damanhuri (1996), lumpur adalah bahan berfase solid yang
bercampur dengan media air (liquid), namun tidak dapat disebut atau disamakan dengan air.
Sedangkan limbah lumpur minyak (oil sludge) adalah kotoran minyak yang terbentuk dari proses
pengumpulan dan pengendapan kontaminan minyak yang tidak dapat digunakan atau diproses
kembali dalam proses produksi. Kandungan terbesar dalam oil sludge adalah petroleum
hydrocarbon (Pertamina, 2001), yang dapat diolah dengan proses bioremediasi.
Keberadaan senyawa hidrokarbon di perairan berasal dari beberapa sumber, antara lain dari
biosintesis, geokimia, dan antropogenik. Menurut Farrington dan Meyers (1975) jumlah senyawa
hidrokarbon yang berasal dari biosintesis berkisar antara 1-10 juta ton per tahun, dan menurut
Mulyono (1988) senyawa hidrokarbon yang berasal dari rembesan geologi adalah sekitar 0,6 juta
ton per tahun. Sisanya berasal dari sumber antropogenik hasil pengelolaan minyak bumi
(pengolahan, tranportasi, dan pengeboran) (Marsaoli, 2004).
Senyawa aromatik dalam minyak lebih toksis dibandingkan dengan senyawa alkana. senyawa
aromatik yang mengandung lebih dari dua cincin benzen, PAH bersifat toksis. Kadar PAH yang
relatif tinggi juga pernah ditemukan oleh beberapa peneliti (Maher et al., 1979; Bagg et al., 1981),
dalam sedimen yang lokasinya berdekatan dengan perkotaan. Ini pola umum di mana PAH
cenderung berkumpul dalam sedimen perairan yang dekat dengan daerah perkotaan. Menurut
Connel dan Miller (1981), PAH dapat berasal dari air buangan, seperti buangan rumah tangga dan
industri, sampah, dan aliran buangan kota, serta dalam buangan atmosferik dari pembakaran bahan
bakar fosil. Menurut Clark dan Macleod (1977) hidrokarbon alifatis dan aromatis terdapat di
seluruh estuari, daerah pantai, dan lingkungan samudera dengan kadar tertinggi di daerah estuari
dan habitat intertidal.
Sumber Limbah Solvent Acidity
Untuk mendukung kelancaran operasi kilang, baik BBM, non BBM, maupun kilang
paraxylene, tidak lepas dari sarana-sarana penunjang. Sarana tersebut antara lain adalah
Laboratorium Kilang yang telah mendapatkan sertifikat SNI 19-17025 berfungsi sebagai
pengontrol spesifikasi dan kualitas bahan baku serta produk antara maupun produk akhir.
Keberadaan fasilitas ini amat menentukan suatu keberhasilan perusahaan, terlebih pada era
perdagangan bebas. Karena itu laboratorium dilengkapi dengan fasilitas penelitian dan
pengembangan, sehingga produk yang dihasilkan terjaga kualitasnya, agar tetap mampu bersaing
di pasaran. Laboratorium Kilang Pertamina UP IV Cilacap yang bertugas sebagai pengontrol
spesifikasi dan kualitas produk Pertamina mempunyai tiga seksi laboratorium, salah satunya
adalah Laboratorium Lindungan Lingkungan dan Riset yang mempunyai tugas antara lain
memeriksa keasaman pada sampel pelumas, minyak bumi dan sebagian fraksi-fraksinya. Dari
pemeriksaan keasaman ini timbul limbah acidity yang tergolong pada limbah B3 cair sebanyak
220 ml untuk setiap sampel/contoh (Susilo, 2006).
Pemeriksaan Keasaman (Conshohocken, 1999)
Pemeriksaan keasaman ini mencakup penentuan zat-zat yang bersifat asam didalam minyak
bumi dan pelumas, baik yang larut maupun agak larut dalam campuran toluene dan isopropyl
alcohol. Untuk menentukan keasaman, contoh dilarutkan dalam solvent acidity yang terdiri dari
campuran toluene 50 %, isopropyl alcohol 49,5 %, dan air 0,5 %. Pada larutan homogen yang
terbentuk dititrasi pada suhu kamar dengan larutan standard basa dalam alcohol, sampai titik akhir
yang ditandai dengan perubahan warna larutan p-naphtholbenzein yang ditambahkan (warnanya
orange dalam suasana asam dan hijau dalam suasana basa).
Arti dan Kegunaan
Hasil-hasil minyak bumi yang baru maupun bekas kemungkinan mengandung zat-zat basa
atau asam yang berada sebagai additive atau hasil degradasi yang terbentuk selama
penggunaannya, misalnya hasil oksidasi. Jumlah relatif dari zat-zat ini dapat ditentukan dengan
titrasi menggunakan asam atau basa. Angka keasaman adalah ukuran dari jumlah zat yang bersifat
asam dalam minyak, dalam kondisi pengujian. Angka ini sebagai pengendalian kualitas dalam
minyak mentah maupun pembuatan pelumas. Juga seringkali digunakan sebagai ukuran degradasi
pelumas dalam penggunaanya.
2.3 Dampak Pencemaran Limbah Minyak Bumi
Akibat-akibat jangka pendek dari pencemaran minyak bumi sudah banyak dilaporkan (Connel
dkk, 1981). Molekul-molekul hidrokarbon minyak bumi dapat merusak membran sel yang
berakibat pada keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel. Ikan-ikan
yang hidup di lingkungan yang tercemar oleh minyak dan senyawa hidrokarbon akan mengalami
berbagai gangguan struktur dan fungsi tubuh. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan
berbau minyak, sehingga berkurang mutunya (Soesanto, 1973). Secara langsung minyak dapat
menimbulkan kematian pada ikan. Hal ini disebabkan oleh kekurangan oksigen, keracunan
karbondioksida dan keracunan langsung oleh bahan beracun yang terdapat dalam minyak.
Akibat jangka panjang dari pencemaran minyak ternyata dapat pula menimbulkan beberapa
masalah yang serius terutama bagi biota yang masih muda (Sumadhiharga, 1995). Satu kasus yang
menarik adalah usaha perikanan di Santa Barbara, California, yang mengalami penurunan hasil
perikanan setiap bulannya dari tahun 1965-1969. Penurunan yang paling rendah terjadi ketika
pelabuhan Santa Barbara dicemari oleh minyak buangan. Kasus limbah minyak yang
menyebabkan bau ikan tidak enak terjadi pada ikan-ikan yang diolah di pelabuhan Osaka. Hal ini
juga terjadi pada ikan-ikan belanak yang berasal dari suatu tambak yang diisi air yang mengandung
limbah minyak dari lapangan terbang Iwakuni. Ikan belut dan ikan sebelah yang ditangkap
beberapa kilometer dari pelabuhan Yokkaichi juga berbau minyak karena masuknya limbah
minyak dari pabrik minyak. Hasil penelitian terhadap kedua jenis ikan tersebut dapat diketahui
bahwa batas toleransi minyak pada air laut berada antara 0,001-0,01 ppm. Apabila batas tertinggi
kadar tersebut sudah terlewati maka bau minyak mulai timbul (Nitta, 1970). Di beberapa tempat
di Australia telah ditemukan bahwa zat hidrokarbon dari minyak tanah terdapat pada ikan belanak
yang diduga berasal dari air limbah pabrik penggilingan minyak yang dibuang ke laut (Sidhu,
1970).
Seperti yang diungkapkan di atas bahwa senyawa hidrokarbon aromatik ini bersifat racun,
salah satunya adalah PAH yakni senyawa aromatik dengan dua atau lebih cincin benzen. PAH
yang larut pada konsentrasi 0,1-0,5 ppm dapat menyebabkan keracunan pada makhluk hidup(
Connel dan Miller, 1981), sedangkan PAH dalam kadar rendah dapat menurunkan laju
pertumbuhan, perkembangan, dan makan makhluk perairan (Neff, 1979). Keadaan ini telah
diungkapkan oleh Connel dan Miller (1981) untuk ikan, hewan berkulit keras dan moluska. Selain
itu hidrokarbon minyak bumi yang terserap ke dalam tubuh biota menimbulkan rasa yang
menyengat dan memerlukan waktu tertentu untuk dapat hilang.
Minyak Menyebabkan Munculnya Gangguan Kesehatan Serius
Seperti halnya dengan bahan-bahan kimia, gangguan-gangguan kesehatan yang disebabkan
minyak mungkin sulit dibuktikan karena memang butuh waktu yang panjang untuk menimbulkan
dampak kesehatan warga.Tetapi, sebagian besar warga yang tinggal di dekat lokasi pengeboran
minyak dan kilang sudah terbiasa dengan polusi udara dan air dari minyak.Mengebor untuk
mendapatkan minyak, memprosesnya, dan membakar minyak sebagai bahan bakar, semua
kegiatan ini akan mendatangkan masalah-masalah kesehatan serius.
Dampak Kesehatan Jangka Panjang
a. Minyak menyebabkan munculnya gangguan reproduksi
Menghirup uap atau menelan makanan atau cairan yang terkontaminasi minyak dan gas dapat
menyebabkan munculnya problem kesehatan reproduksi seperti siklus haid yang tidak teratur,
keguguran, meninggal dalam kandungan, dan cacat lahir. Masalah-masalah ini mungkin punya
tanda-tanda peringatan dini seperti nyeri lambung atau haid yang tidak teratur.
b. Minyak menyebabkan kanker
Pemaparan secara periodik dengan gas dan minyak menyebabkan kanker.Anak-anak yang
tinggal di sekitar kilang lebih mungkin mendapatkan kanker darah (leukemia) dari pada mereka
yang tinggal jauh dari fasilitas tersebut.Orang-orang yang tinggal di kawasan pengeboran minyak
lebih mungkin mendapatkan kanker usus, kantong kemih, paru-paru daripada mereka yang tinggal
jauh dari lokasi pengeboran.Para pekerja di kilang-kilang minyak punya resiko tinggi mengidap
kanker mulut, usus, ulu hati, pankreas, jaringan sel, prostat, mata, otak, dan darah.
Ketika Texaco mulai mengebor untuk mencari minyak di Ekuador, kanker tidak dikenal di
kawasan ini.Empat puluh tahun kemudian, pada 2 daerah minyak yang paling sering dieksploitasi
di Amazon, para penggerak kesehatan komunitas mensurvei 80 komunitas. Mereka menemukan
bahwa 1 dari 3 orang menderita sejenis kanker.
Tumpahan Minyak
Di mana ada minyak, di situ pasti ada tumpahan. Kapal-kapal dan truk bisa kecelakaan, dan
jalur pipa bisa bocor.Perusahaan bertanggung jawab untuk mencegah tumpahan dan
membersihkannya jika hal ini terjadi.
Ada pepatah: “Minyak dan air tidak mungkin bercampur.” Tetapi, ketika minyak tumpah ke
air, bahan-bahan kimia yang berasal dari minyak tersebut pasti bercampur dengan air dan
menggenang didalam air untuk beberapa waktu.Lapisan minyak yang lebih tebal menyebar di
seluruh permukaan dan mencegah masuknya udara ke dalam air.Ikan, khewan, dan tumbuh-
tumbuhan yang hidup di air tidak bisa bernafas.Ketika minyak tumpah ke dalam air, bahan-bahan
kimianya yang tertinggal di sana bisa membuat air tersebut tidak aman diminum, bahkan setelah
minyak yang kasat mata dikeluarkan.
Ketika minyak tumpah ke tanah, ia akan menghancurkan lapisan tanah dengan mendesak
udara keluar dan membunuh makhluk-makhluk hidup yang membuat lapisan tanah menjadi sehat.
Hal yang hampir serupa terjadi jika minyak mengenai kulit kita atau kulit khewan. Minyak akan
menutupi kulit dan menghalangi udara masuk. Racun-racun yang berasal dari minyak juga
meresap ke dalam tubuh melalui kulit, dan menimbulkan penyakit.
Dampak di Laut
Akibat yang ditimbulkan dari terjadinya pencemaran minyak bumi di laut adalah:
Rusaknya estetika pantai akibat bau dari material minyak. Residu berwarna gelap yang terdampar
di pantai akan menutupi batuan, pasir, tumbuhan dan hewan. Gumpalan tar yang terbentuk dalam
proses pelapukan minyak akan hanyut dan terdampar di pantai.
Kerusakan biologis, bisa merupakan efek letal dan efek subletal. Efek letal yaitu reaksi yang
terjadi saat zat-zat fisika dan kimia mengganggu proses sel ataupun subsel pada makhluk hidup
hingga kemungkinan terjadinya kematian. Efek subletal yaitu mepengaruhi kerusakan fisiologis
dan perilaku namun tidak mengakibatkan kematian secara langsung. Terumbu karang akan
mengalami efek letal dan subletal dimana pemulihannya memakan waktu lama dikarenakan
kompleksitas dari komunitasnya.
Pertumbuhan fitoplankton laut akan terhambat akibat keberadaan senyawa beracun dalam
komponen minyak bumi, juga senyawa beracun yang terbentuk dari proses biodegradasi. Jika
jumlah pitoplankton menurun, maka populasi ikan, udang, dan kerang juga akan menurun. Padahal
hewan-hewan tersebut dibutuhkan manusia karena memiliki nilai ekonomi dan kandungan protein
yang tinggi.
Penurunan populasi alga dan protozoa akibat kontak dengan racun slick (lapisan minyak di
permukaan air). Selain itu, terjadi kematian burung-burung laut. Hal ini dikarenakan slick
membuat permukaan laut lebih tenang dan menarik burung untuk hinggap di atasnya ataupun
menyelam mencari makanan. Saat kontak dengan minyak, terjadi peresapan minyak ke dalam bulu
dan merusak sistem kekedapan air dan isolasi, sehingga burung akan kedinginan yang pada
akhirnya mati.
Dampak Limbah Solvent Acidity Terhadap Kesehatan
Limbah solvent acidity berasal dari buangan proses pemeriksaan keasaman, merupakan
limbah kimia cair yang terdiri dari campuran isopropyl alcohol, toluene dan sample, berwarna
gelap yang sangat berbahaya terhadap kesehatan (Imamkhasani, 1998). Bahaya isopropyl alcohol
terhadap kesehatan adalah :
Efek jangka pendek (akut) antara lain pada penghirupan konsentrasi 400 ppm dapat
menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan bagian atas.
Penghirupan lebih besar akan menyebabkan pusing dan mengganggu keseimbangan tubuh.
Kontak dengan mata dapat menyebabkan iritasi, tetapi tidak pada kulit.
Bila terminum dapat menyebabkan muntah, diare dan hilang kesadaran.
Efek jangka panjang (kronis) antara lain bila terkena kulit dapat menyebabkan kulit kering
dan pecah-pecah. Nilai Ambang Batas : 200 ppm (500 mg/m3)-kulit; STEL = 250 ppm;
Toksisitas : LD50 (tikus, oral) = 1870-6500 mg/kg.
Ø Peralatan
Alat-alat yang digunakan untuk membersihkan tumpahan minyak:
Kegiatan hulu dan hilir industri minyak bumi tidak terlepas dari kemungkinan pencemaran
minyak di ke lingkungan, khususnya perairan dan sedimen. Salah satu metode pengolahan limbah
secara yang saat ini terus dikembangkan adalah bioremediasi yang merupakan teknologi ramah
lingkungan, cukup efektif dan efisien serta ekonomis (Yani et al., 2007).
Terdapat tiga cara untuk mengatasi masalah lahan tercemar minyak yang dapat dipilih
berdasarkan jenis minyak pencemar, konsentrasi minyak pencemar dan lokasi pencemaran, yakni
dibakar, diberi disperser dan kemudian dihisap kembali dengan skimmer untuk diolah di kilang
minyak, dan didegradasi dengan memanfaatkan mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon.
Bioremediasi, pengelolaan yang mengandalkan degradasi dengan memanfaatkan mikroorganisme
pendegradasi hidrokarbon, merupakan cara yang paling ekonomis dan dapat diterima lingkungan.
Bioremediasi dapat digunakan untuk mengatasi masalah lahan tercemar minyak baik secara in situ
maupun ex situ. Biostimulation dan bioaugmentation merupakan contoh pelaksanaan bioremediasi
secara in situ, sedangkan landfarming, biopile, dan composting merupakan contoh pelaksanaan
bioremediasi secara ex situ (Arifin et al., 2004).
Dalam pelaksanaan bioremediasi, baik secara in situ maupun ex situ, perlu dilakukan
pemantauan terhadap proses pengolahan dan hasil akhir pengolahan. Hal itu perlu dipantau adalah
kandungan minyak bumi dan/atau kandungan total hidrokarbon minyak bumi. Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup no. 128 tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis
Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi secara Biologis
mensyaratkan kandungan total hidrokarbon minyak bumi yang tidak lebih dan 15 % di awal proses
bioremediasi. Selama proses bioremediasi, kandungan total hidrokarbon minyak bumi perlu
dipantau setidaknya setiap 2 minggu. Pemantauan kandungan bensena, toluene, etil-bensena,
silena, dan hidrokarbon polisilkik aromatic perlu dilakukan di akhir proses bioremediasi.
Kandungan total hidrokarbon minyak bumi di akhir proses bioremediasi disyaratkan di bawah 1
%. Di akhir proses bioremediasi, kandungan toluene, etil-bensena, silena, dan hidrokarbon
polisilkik aromatik disyaratkan masing-masing berada di bawah 10 ppm, sedangkan kandungan
bensena disyaratkan berada di bawah 10 ppm.
Limbah industri minyak bumi (Oil sludge) yang berupa cairan dan padatan merupakan obyek
dalam makalah ini, limbah tersebut merupakan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).
Detoksifikasi dan degradasi limbah tersebut dapat dilakukan secara biologis yang aman dan ramah
lingkungan dengan menggunakan 3 jenis bakteri dan tumbuhan yang dikenal dengan
Fitoremediasi. Penggunaan eceng gondok untuk limbah cair dan sengon bermikoriza untuk
pengolahan dan penurunan zat organik dalam limbah padat diharapkan dapat menunjang
pengelelolaan limbah secara terpadu dan berkelanjutan di lingkungan industri minyak pada
khususnya dan umumnya bagi seluruh perindustrian (Rossiana et al., 2007).
Fitoremediasi adalah pemanfaatan tumbuhan, mikroorganisme untuk meminimalisasi dan
mendetoksifkasi polutan, karena tanaman mempunyai kemampuan menyerap logam dan mineral
yang tinggi atau sebagai fitoakumulator dan fitochelator. Konsep pemanfaatan tumbuhan dan
mikroorganisme untuk meremediasi tanah yang terkontaminasi polutan adalah pengembangan
terbaru dalam teknik pengolahan limbah. Fitoremediasi dapat diaplikasikan pada limbah organik
maupun anorganik dalam bentuk padat, cair, dan gas (Salt et al., 1998).
Menurut Corseuil & Moreno (2000), mekanisme tumbuhan dalam menghadapi toksikan
adalah:
Penghindaran (escape) fenologis. Apabila pengaruh yang terjadi pada tanaman musiman,
tanaman dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada musim yang cocok.
Ekslusi. Tanaman dapat mengenal ion yang bersifat toksik dan mencegah penyerapan
sehingga tidak mengalami keracunan.
Penanggulangan (ameliorasi). Tanaman mengabsorpsi ion tersebut, tetapi berusaha untuk
meminimumkan pengaruhnya. Jenisnya meliputi pembentukkan kelat (chelation),
pengenceran, lokalisasi atau bahkan ekskresi.
Toleransi. Tanaman dapat mengembangkan sistem metabolit yang dapat berfungsi pada
konsentrasi toksik tertentu dengan bantuan enzim.
Tanaman meremediasi polutan organik melalui tiga cara, yaitu menyerap secara langsung
bahan kontaminan, mengakumulasi metabolisme non fitotoksik ke sel-sel tanaman, dan
melepaskan eksudat dan enzim yang dapat menstimulasi aktivitas mikroba, serta menyerap
mineral pada daerah rizosfer. Tanaman juga dapat menguapkan sejumlah uap air. Penguapan ini
dapat mengakibatkan migrasi bahan kimia ( Schnoor et al., 1995 ).
Tanaman melepaskan eksudatnya yang dapat membantu bioremediasi bahan organik oleh
mikroba agar bahan organik tersebut dapat diserap dan dimetabolisme dalam tubuh tanaman.
Penyerapan polutan berupa bahan organik dibatasi oleh mekanisme penyerapan oleh tanaman dan
jenis tanaman ( Schnoor, 2000).
Tanaman dapat memperluas daerah perakaran menuju ke daerah yang terkena polutan (EPA,
2000). Beberapa bahan kimia dimineralisasi oleh tanaman dengan bantuan air dan CO2. Tanaman
mengeluarkan sekret melalui akar eksudat akar sebesar 10 – 20% dari hasil fotosintesis melalui
eksudat akar. Hal ini dapat membantu proses pertumbuhan dan metabolisme mikroba maupun
fungi yang hidup disekitar rizosfer. Beberapa senyawa organik yang dikeluarkan melalui eksudat
akar (misalnya phenolik, asam organik, alkohol, protein) dapat menjadi sumber karbon dan
nitrogen sebagai sumber pertumbuhan mikroba yang dapat membantu proses degradasi senyawa
organic. Sekret berupa senyawa organik dapat membantu pertumbuhan dan meningkatkan
aktivitas mikroba rhizosfer ( Salt et al., 1998 ).
Tumbuhan mempunyai kemampuan untuk menahan substansi toksik dengan cara biokimia dan
fisiologisnya serta menahan substansi non nutritif organik yang dilakukan pada permukaan akar.
Bahan pencemar tersebut akan dimetabolisme atau diimobilisasi melalui sejumlah proses termasuk
reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisa enzimatis (Khan et al., 2000).
Eichhornia crassipes (Mart). Solms merupakan tumbuhan air yang dapat menyerap hara dan
logam berat dalam jumlah yang cukup signifikan. Zat hara yang terserap oleh akar tanaman akan
ditranslokasikan di dalam tubuh tanaman. Hasil penelitian yang telah dilakukan di bak percobaan
menunjukkan bahwa penggunaan eceng gondok dengan penutupan 50% dari luas area percobaan
pengolahan limbah cair tahu dapat menurunkan residu tersuspensi 75,74 – 85,5 % dan COD 55,52
– 76,83 % (Dhahiyat, 1990).
Eichhornia crassipes ( Mart ). Solms dapat tumbuh dengan sangat cepat, yaitu mencapai 10 g
m-2 per hari. Hal ini berpengaruh terhadap penyerapan unsur hara, seperti nitrat ( NO3–) dan
orthofosfat ( PO43-) Eichhornia crassipes ( Mart ). Solms dapat menyerap nitrogen secara
langsung sebesar 5850 kg/ha per tahun dan dapat menyerap fosfor sebesar 350 – 1125 kg/ ha per
tahun. Hal ini dapat mengurangi konsentrasi kontaminan pada limbah perairan (McEldowney et
al., 1993 ).
Tanaman sengon merupakan tanaman Leguminosae, sering digunakan sebagai tanaman untuk
reboisasi karena bersifat fast growing trees. Selain mempunyai dua nama latin yakni Albizia
falcataria (L) Forberg dan Paraserianthes falcataria (L) Nielsen, sengon mempunyai nama daerah
yang bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat dengan adanya program pemerintah berupa proyek
“Sengonisasi” bagi daerah-daerah kritis yang rawan bencara erosi (National Academy of Sciences,
1979). Manfaat penting dari penggunaan mikoriza adalah asosiasi jamur dan tanaman
berkemampuan sebagai biofertilizer, mendetoksifikasi dan mendegradasi senyawa yang sukar
diuraikan dalam tanah. Peranan mikoriza dalam rizosfer adalah memfasilitasi pergerakan mineral
tanah menuju tanaman.
Hasil penelitian yang telah dilakukan di laboratorium, rumah kaca dan terakhir dalam skala
lapangan selama 6 bulan menunjukkan bahwa fitoremediasi limbah lumpur minyak konsentrasi
20% dengan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) bermikoriza yang mediumnya
diinokulasi bakteri Pseudomonas mallei, Bacillus alvei dan Pseudomonas sphaericus potensial
untuk dikembangkan. Tanaman sengon mengalami pertumbuhan baik selama fitoremediasi. Hasil
analisis setelah fitoremediasi menunjukkan bahwa terjadi penurunan kandungan minyak sampai
51,23% dan kandungan logam berat Cd, Cr, Pb, Cu, Zn dan Ni.masing-masing sebesar 30,2%,
2,5%, 32,6%, 71,9%, 62,8% dan 47,09%. (Rossiana, 2005).
Saat ini pengetahuan mengenai mekanisme fisiologi fitoremediasi mulai digabungkan dengan
biologi dan teknik untuk mengoptimalkan fitoremediasi sehingga terbagi menjadi (Salt et al.,
1998):
Penggunaan metode dan proses biologi dalam menurunkan kadar polutan yang bersifat toksik
terhadap lingkungan akibat adanya xenobiotik/zat yang menyebabkan pencemaran, adalah nama
lain dari bioremediasi (Baker & Herson, 1994). Bioremediasi merupakan salah satu teknologi
inovatif untuk mengolah kontaminan, yaitu dengan memanfaatkan mikroba, tanaman, enzim
tanaman atau enzim mikroba (Gunalan, 1996).
Metode dan prinsip proses bioremediasi adalah biodegradasi yang dilakukan secara aerob,
oksigen dalam konsentrasi rendah akan mempengaruhi proses tersebut (Eweis, et al.,1998).
Pentingnya aerasi untuk memenuhi kekurangan oksigen berkaitan dengan kurang efektifnya kerja
enzim oksigenase dalam penguraian fraksi aromatik. Selain oksigen, rendahnya kandungan nutrisi
dalam medium akan membatasi pertumbuhan mikroorganisme untuk mendegradasi.
Faktor penghambat bioremediasi adalah bahan yang akan diremediasi mengandung klorin atau
logam berat. Kandungan logam berat baik dalam lumpur minyak maupun dalam medium pasca
bioremediasi akan mempengaruhi penguraian bahan organik, karena akan menghambat kerja
enzim dan populasi mikroorganisme yang selanjutnya akan menjadi kendala bagi pertumbuhan
tanaman (Garcia et al., 1995).
Selain itu perlu ada upaya menghilangkan terlebih dahulu logam berat yang terdapat dalam
limbah dengan menggunakan adsorben sebelum proses bioremediasi. Penggunaan pasir dan zeolit
sebagai campuran dan adsorben alam penyerap logam berat merupakan penanganan awal sebelum
dilakukan proses lebih lanjut, sehingga kemungkinan adanya proses inhibisi enzim oleh ion logam
dapat diatasi.
Dalam bioremediasi penggunaan mikrooorganisme indigenous (indigen) saja masih belum
maksimum sehingga diperlukan inokulasi mikroorganisme eksogenous (eksogen) yang merupakan
kultur campuran (konsorsium) beberapa jenis bakteri atau jamur yang potensial dalam
mendegradasi pencemar tersebut (Udiharto & Sudaryono, 1999).
Sedangkan pengolahan limbah cair minyak bumi dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1. Incineration
Incineration adalah salah satu cara untuk menguraikan liquid wastes, dan dengan cara dan alat
yang didesain baik dapat menghasilkan effluent/ limbah yang memenuhi peraturan pencemaran.
Liquid waste dari sisi combustion dapat dikelompokkan atas :
a. Combustible Liquids
b. Partially Combustible Liquids
Combustible liquids tidak dapat dikerjakan atau dibuang ke incinerator. Pada kelompok
pertama akan terdiri dari bahan-bahan yang mempunyai nilai yang cukup menunjang pembakaran
dalam combustor, burner, atau alat lain yang menghasilkan CO2 dan H2O bila dibakar. Kelompok
kedua akan meliputi bahan-bahan yang sulit terbakar tanpa penambahan bahan bakar. Bahan yang
partially combustible mungkin mengandung mateial yang terlarut dalam fase liquid, bila zat
inorganik akan membentuk inorganik oxida.
Dalam pelaksanaannya harus dialirkan udara secukupnya pada suhu diatas ignation point agar
terjadi pembakaran yang cepat dan menghasilkan CO2, N2 dan uap air. Karena pembakaran akan
lebih cepat dan lebih baik bila bahan dalam keadaan butir halus maka atomizer diperlukan untuk
menginjeksikan waste liquids ke incinerator bila viscositinya memungkinkan.
2. Dilution (Liquid Waste Dispersion)
Suatu cara lain membuang cairan limbah yang dapat diterima adalah kembali ke lingkungan
dengan pengenceran secukupnya hingga tidak menimbulkan bahaya atau peracunan terhadap
lingkungan. Dengan perancangan subsurface disfersion system yang baik, akan memungkinkan
wadah penerima dapat menampung buangan secara memadai. Beberapa peralatan yang dibutuhkan
antara lain mencakup open end pipes dengan nozzle atau diffuser system yang terdiri dari sederetan
pipa-pipa kecil dengan lubang-lubang atau celah. Limbah harus dapat dibuang pada sudut yang
baik terhadap aliran air agar terencerkan atau terdispersi secara sempurna. Pipa dispersi harus
ditempatkan sedemikian rupa agar discharge point cukup jauh dari garis pantai, dengan demikian
pabrik dan water intake akan terlindungi.
3. Deep Well Disposal
Cara ini dilakukan oleh industri yang banyak membuang limbah asam lemah dalam jumlah
besar. Limbah tersebut dipompakan ke dalam lapisan tanah sampai pada lapisan tanah yang cocok
untuk menampung limbah. Lapisan tanah dimana limbah ditampung harus lebih rendah dari
lapisan fresh water circulation, dan area tadi harus terisolasi oleh bahan yang kedap air.
Lapisan sandstones, limestones atau dolomite umumnya membentuk lapisan yang banyak
mengandung air asin, tetapi cukup baik sebagai tempat penampungan limbah cair. Sedangkan
lapisan yang mengandung minyak, gas, batubara dan belerang harus dijaga agar tidak tercemar
limbah. Lapisan yang kedap air harus berada diatas dan dibawah layer untuk mencegah vertical
escape dari buangan, atau dengan kata lain limbah harus ditempatkan pada kedalaman tertentu.
Penetapan area buangan harus ditetapkan sesuai dengan keadaan subsurface geology, dimana
daerah yang banyak batuan vulkanik dihindari karena memungkinkan limbah lolos kepermukaan
tanah atau badan air.
4. Secara Mikrobiologis
Limbah minyak bumi banyak mengandung unsur Hidrokarbon. Limbah Hidrokarbon cair
bersifat hidrofob dan mempunyai kerapatan lebih rendah dari air. Oleh sebab itu limbah ini selalu
terapung diatas air. Pembuangan limbah ke sungai akan menutupi permukaan air yang
mengakibatkan oksigen terlarut menurun, dan pada akhirnya tumbuh-tumbuhan air dan hewan air
dapat mati. Untuk penanganan limbah Hidrokarbon sebagai salah satu alternatif adaalah dengan
menggunakan mikroba.
Penanganan Limbah Hidrokarbon dimulai dengan pemisahan padatan dan pemisahan minyak
yang terdapat dalam limbah, dan selanjutnya dilakukan penanganan limbah secara mikrobiologi
untuk mendegradasikan Hidrokarbon dan senyawa organik lain. Efluent lebih lanjut diolah secara
kimiawi untuk menghilangkan senyawa fosfat dan nitrogen. Selanjutnya logam-logam dan
senyawa organik yang terlarut dipisahkan melalui proses filtrasi dan absorbsi oleh karbon aktif.
Efluent sebelum dibuang, diklorinasikan untuk mematikan mikroba patogen dan dinetralkan pH-
nya sehingga aman bagi lingkungan.
Pengolahan limbah Hidrokarbon secara mikrobiologis dilakukan dengan proses aerob. Oleh
sebab itu dalam kolam-kolam pengolahan limbah diperlukan aerasi yang cukup agar oksidasi
Hidrokarbon berlangsung. Aerasi yang dilakukan adalah memasukkan oksigen ke dalam limbah
melalui proses pengadukan. Gabungan aerasi dan pengadukan lebih cocok karena permukaan
limbah yang luas membuat kontak mikroba menjadi lebih besar dan degradasi lebih efektif.
Hidrokarbon tidak akan larut dalam air pada saat pengadukan. Untuk memperbesar distribusi
mikroba dalam limbah Hidrokarbon, maka perlu ditambah zat pengemulsi sehingga terjadi emulsi
Hidrokarbon, maka perlu ditambah zat pengemulsi sehingga terjadi emulsi Hidrokarbon dalam air.
Selama degradasi, maka temperatur harus diperhatikan. Temperatur akan naik dari suhu psikofilik
(4-20 ºC) sampai mesofilik (20-40 ºC). Namun hal ini tidak banyak mempengaruhi aktivitas
mikroba. pH limbah yang netral atau sedikit asam kurang mempengaruhi aktivitas mikroba.
Namun setelah dimetabolisme, maka pH efluent menjadi asam. Oleh sebab itu perlu dinetralkan
dengan kapur (gamping) setelah tahap klorinasi.
Menurut Sugiharto (1987), pengolahan limbah cair minyak bumi dilakukan dengan 2 cara
pengolahan pendahuluan (pre treatment), yaitu:
1. Pengambilan/ penyedotan minyak, dan menyaring kotoran atau sampah padat seperti daun-
daunan, plastic dan lain sebagainya.
2. Pengambilan pasir-pasir yang mengendap yang didapat dari proses pengolahan minyak
bumi yaitu lumpur/ sludge.
Proses pengambilan/ pengerukan pasir atau lumpur dilakukan setiap 3 bulan sekali dan pasir
atau lumpur yang telah dikeruk akan dibuang ke tempat khusus yang ada di sekitar lokasi
pengolahan limbah.
Pengendalian Sumber Limbah Cair Minyak Bumi
Program pengendalian pencemaran bahan buangan cair minyak bumi antara lain (Pertamina,
1986) :
1. Mengoperasikan dan memelihara oil catcher (perangkap minyak) baik di kilang maupun
pusat pengumpul produksi dengan sebaik-baiknya.
2. Pemantauan secara berkala jumlah dan jenis bahan buangan cair yang menuju ke perairan.
3. Melokalisir tumpahan dan bocoran minyak sebagai akibat dari kecelakaan dan atau
kerusakan yang terjadi pada alat-alat pengangkut, penimbun, pengisian, dan lain-lain.
4. Mengambil kembali tumpahan minyak.
5. Penyediaan sarana penanggulangan pencemaran berupa : oil sorbent, dispersant, oil
skimmer dan dispersant pump.
6. Membakar tumpahan minyak yang tidak mungkin diambil kembali atau dibersihkan.
Tindakan pertama yang dilakukan dalam mengatasi tumpahan minyak yaitu dengan melakukan
pemantauan banyaknya minyak yang mencemari laut dan kondisi tumpahan. Ada 2 jenis
pemantauan yang dilakukan yaitu dengan pengamatan secara visual dan penginderaan jauh
(remote sensing).
2. Pengamatan secara visual
Pengamatan secara visual merupakan pengamatan yang menggunakan pesawat. Teknik ini
melibatkan banyak pengamat, sehingga laporan yang diberikan sangat bervariasi. Pada umumnya,
pemantauan dengan teknik ini kurang dapat dipercaya. Sebagai contoh, pada tumpahan jenis
minyak yang ringan akan mengalami penyebaran (spreading), sehingga menjadi lapisan sangat
tipis di laut. Pada kondisi pencahayaan ideal akan terlihat warna terang. Namun, penampakan
lapisan ini sangat bervariasi tergantung jumlah cahaya matahari, sudut pengamatan dan permukaan
laut, sehingga laporannya tidak dapat dipercaya.
3. Pengamatan penginderaan jauh
Metode penginderaan jarak jauh dilakukan dengan berbagai macam teknik, seperti Side-
looking Airborne Radar (SLAR). SLAR dapat dioperasikan setiap waktu dan cuaca, sehingga
menjangkau wilayah yang lebih luas dengan hasil penginderaan lebih detail. Namun,teknik ini
hanya bisa mendeteksi lapisan minyak yang tebal. Teknik ini tidak bisa mendeteksi minyak yang
berada dibawah air dalam kondisi laut yang tenang. Selain SLAR digunakan juga teknik Micowave
Radiometer, Infrared-ultraviolet Line Scanner, dan Landsat Satellite System. Berbagai teknik ini
digunakan untuk menghasilkan informasi yang cepat dan akurat.
Ø Penanganan di darat
Pemulihan lahan tercemar oleh minyak bumi dapat dilakukan secara biologi dengan
menggunakan kapasitas kemampuan mikroorganisme. Fungsi dari mikroorganisme ini dapat
mendegradasi struktur hidrokarbon yang ada dalam tanah, sehingga minyak bumi menjadi
mineral-mineral yang lebih sederhana dan tidak membahayakan lingkungan. Teknik seperti ini
disebut bioremediasi. Teknik bioremediasi dapat dilaksanakan secara in-situ maupun cara ex-situ.
Pada umumnya, teknik bioremediasi in-situ diaplikasikan pada lokasi tercemar ringan, lokasi yang
tidak dapat dipindahkan, atau karakteristik kontaminan yang volatil.
Bioremediasi ex-situ merupakan teknik bioremediasi di mana lahan atau air yang
terkontaminasi diangkat, kemudian diolah dan diproses pada lahan khusus yang disiapkan untuk
proses bioremediasi.
Penanganan lahan yang tercemar minyak bumi dilakukan dengan cara memanfatkan
mikroorganisme untuk menurunkan konsentrasi atau daya racun bahan pencemar. Penanganan
semacam ini lebih aman terhadap lingkungan karena agen pendegradasi yang dipergunakan adalah
mikroorganisme yang dapat terurai secara alami. Ruang lingkup pelaksanaan proses bioremediasi
tanah yang terkontaminasi minyak bumi meliputi beberapa tahap yaitu:
Lapisan minyak pada permukaan air akan menghalangi difusi oksigen dari udara ke dalam
air sehingga jumlah oksigen terlarut di dalam air akan menjadi berkurang. Berkurangnya
kandungan oksigen dalam air akan mengganggu kehidupan organisme yang berada di
perairan.
Dengan adanya lapisan minyak pada permukaan air akan menghalangi masuknya sinar
matahari ke dalam air sehingga proses fotosintesis oleh tanaman air tidak dapat
berlangsung.
Air yang telah tercemar oleh minyak tidak dapat dikonsumsi oleh manusia dikarenakan
pada air yang mengandung minyak tersebut dapat mengandung zat-zat yang beracun
seperti senyawa benzen dan toluen.
Minyak berasal dari kandungan lemak, dimana lemak sendiri adalah fungsi atau sifat
Prostaglandin yang dapat terbentuk dengan proses pelingkaran dan peroksigenan dari asam lemak
tak jenuh dengan banyak ikatan C = C yang menyebabkan mudah terbakar dan menimbulkan nilai
kalor tertentu. Minyak terdiri dari 3 macam, yaitu :
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. Oil, Water and Chocolate Mousse.(1994). Ottawa, Ontario: Environment Canada. Pages
22-24.
Annual Book ASTM Standard, American Society for Testing and Materials, 1999. Volume 05.01
Petroleum Product and Lubricants (1), West Conshohocken, P.A.
Assegaf, 1993. Nilai Normal Faal Paru Orang Indonesia Pada Usia Sekolah dan Pekerja Dewasa
Berdasarkan Rekomendasi American Thoracic Society (ATS) 1987, Airlangga University
Press. Surabaya.
Baker, K.H & D. S. Herson. 1994. Bioremediation. USA : McGraw-Hill, Inc. 1-5, 12-30, 180-181,
211-224.
BAPEDAL, 2001. Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.Badan Pengendali Dampak
Lingkungan. Jakarta.
Connel, D.W. & G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta. UI Press.
Corseuil, H.X & F.N. Moreno. 2000. Phytoremediation Potential Of Willow Trees For Aquifers
Contaminated With Ethanol-Blended Gasoline. Pergamon Press. Elsevier Science Ltd.
Damanhuri, E. (1993/1994). Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun. Bandung: Teknik
Lingkungan-ITB, Bandung.
Dhahiyat, Y. 1990. Kandungan Limbah Cair pabrik tahu dan pengolahannya dengan eceng gondok
(Eichhornia crassipes (Mart) Solms). Jurnal Lingkungan & Pembangunan (Environment &
Development) Volume 11, Nomor 1. Pusat Studi Lingkungan Perguruan Tinggi seluruh
Indinesia. Jakarta.
D.W. Connel, G.J. Miller, CRC Crit. Rev. Environ. Control 11 (1981)105.
Eweis, J.B., S.J. Ergas., D.P.Y. Chang & E.D. Schroeder. 1998. Bioremediation Principles.
Singapore. WCB McGraw-Hill.
Garcia, C., J. L. Moreno, T. Hernandez & F. Costa. 1995. Effect Composting Sewage Sludges
Contaminated With Heavy Metals. J. Bioresource Technology, 53:13-19.
Gunalan. 1996. Penerapan Bioremediasi pada Pengelohan Limbah dan Pemulihan Lingkungan
Tercemar Hidrokarbon Petroleum. Majalah Sriwijaya. UNSRI. Vol 32, No 1.
G.J. Miller,J. Apll. Toxicol 2 (1982) 88.
G.S. Sidhu, Nature and effect of a kerosene like toint in mullet (Mugil cephalus), FAO Rome,
FIR:MP/70/E-39, 1970, p.99.
Imamkhasani, S. 1998. Lembar Data Keselamatan Bahan, Volume I, Puslitbang Kimia Terapan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bandung.
J. Bagg, J.D. Smith, W.A. Maher, Aust.J.Mar. Fresh-water Res. 32 (1981) 65.
J.M. Neff, Polycyclic Aromatic Hydrocarbons in the Aquatic Environment, Applied Science
Publisher, London, 1979.
J.W. Farrington, P.A. Meyers, In: G. Eglinton (Ed.). Environment Chemistry Vol.1, The Chemical
Society, London, 1975, p.109.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2003. Pengelolaan limbah minyak bumi secara biologi. Badan
Pengendali Dampak Lingkungan, Jakarta.
Kementrian KLH, Keputusan Menteri Nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut,
Kementrian KLH, Jakarta, 2004.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UII Press. Jakarta.
Khan, A.G., C. Kuek., Chaudrhry., C.S. Khoo & W.J. Hayes. 2000. Role of Plant, Mycorrhizae
and Phytochelator in Heavy Metal Contaminated Land Remediation. Chemosphere 41:197
– 207.
K. Sumadhiharga, Lingkungan & Pembangunan 15 (1995) 376.
Lasari, D.P., 2010. Bakteri, Pengolah Limbah Minyak Bumi yang Ramah Lingkungan, Fakultas
Sains & Teknik Universitas Soedirman.
Marsaoli, M., 2004. Kandungan Bahan Organik, N-Alkana, Aromatik Dan Total Hidrokarbon
Dalam Sedimen Di Perairan Raha Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, Makara, Sains,
Vol. 8, No. 3.
M. Mulyono, Makalah Kursus Pencemaran Laut P3O-LIPI, Jakarta, 1988.
Ondrey, G. 2006. Improved oil-water separation. Journal of Chemical Engineering. University of
New South Wales. Australia. Vol. 113, Iss. 1; pg. 16, 1 pgs.
PERTAMINA (2001). Pedoman Pengelolaan Limbah Sludge Minyak Pada Kegiatan Operasi
Pertamina. Jakarta: Pertamina.
Peter, Max. And Clous D. Timeraus, 1989. Plant Design and Economic For Chemical Engeener,
International Edition, Singapore.
Prijambada, I.D., Jaka, W., 2006. MITIGASI DAN BIOREMEDIASI LAHAN TAMBANG
MINYAK, Seminar Nasional PKRLT Fakultas Pertanian UGM, Sabtu 11 Feb 2006.
R.C. Clark Jr., W.D. Macleod Jr., In: D.C. Malins (Ed.), Effects of petroleum on arctic and
subarctic marine environments and organisms, vol. I, Academic Press, New York, 1977.
Rossiana, N. 2005. Penggunaan zeolit, kultur bakteri dan mikoriza dalam fitoremediasi Lumpur
minyak bumi dengan tanaman sengon ( Paraserianthes falcataria L. Nielsen Laporan
Penelitian RUT XI 2004.
Rossiana, N., Supriatun, T., Dhahiyat, Y., 2007. Fitoremediasi Limbah Cair Dengan Eceng
Gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms) Dan Limbah Padat Industri Minyak Bumi
Dengan Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) Bermikoriza, Laporan Penelitian
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran.
Salt, D.E., R.D. Smith & I. Raskin. 1998. Annual Review Plant Physiology and Plant Molecular
Biology : Phytoremediation. Annual Reviews. USA. 501–662.
Setiani, O. 2005. Kesehatan Lingkungan Industri, Program Magister Kesehatan Lingkungan
Universitas Diponegoro, Semarang.
Srikandi, F. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.
Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. UI Press. Jakarta.
Susilo, 2006. Studi Penanganan Limbah Solvent Sisa Analisis Acidity Untuk Pengendalian
Pencemaran Lingkungan Di Pertamina UP IV Cilacap, Tesis Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro Semarang.
Udiharto, M., dan Sudaryono. 1999. Bioremediasi Terhadap Tanah Tercemar Minyak Bumi
Parafinik dan Aspak. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah dan
Pemulihan Kerusakan Lingkungan-BPPT, Jakarta. 121-132.
V. Soesanto, Water Pollution, Corespondence-course Central, Jakarta, 1973, 1.
W.A. Maher, J. Bagg, D.J. Smith, Int. J. Environ. Anal. Chem. 7 (1979) 1.
Yani, M., Agung, D.S., Fitria, R.E., Nastiti, S.I., 2007. Pengembangan Bioremendasi Dengan
Teknik Slurry Bioreaktor Untuk Pengolahan Sludge I Sedimen Tercemar Minyak Bumi,
Seminar Nasional Perhimpunan Perikanan dan IImu Kelautan Indonesia Bogor.