Anda di halaman 1dari 27

TUGAS PERANCANGAN INSTALASI PENGOLAHAN LIMBAH

MAKALAH PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI MINYAK BUMI HILIR

Disusun oleh :

Zuhriyan Wardhana
1507112555

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA S1


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan dalam bidang industri di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan ini
memberikan berbagai dampak positif yaitu terbukanya lapangan kerja, membaiknya sarana
transportasi dan komunikasi serta meningkatnya taraf sosial ekonomi masyarakat. Suatu kenyataan
yang perlu disadari bahwa perkembangan kegiatan industri secara umum juga merupakan sektor
yang sangat potensial sebagai sumber pencemaran yang akan merugikan bagi kesehatan dan
lingkungan (Assegaf, 1993).
Salah satu industri yang pertumbuhannya cukup pesat adalah industri perminyakan, yang
diawali dengan berdirinya kilang minyak di Indonesia yaitu Unit Pengolahan (UP) I Pangkalan
Brandan dengan kapasitas 5.000 barrel/hari, UP II Dumai dan Sungai Pakning dengan kapasitas
170.000 barrel/hari, UP III Plaju dan Sungai Gerong dengan kapasitas 135.000 barrel/hari, UP IV
Cilacap dengan kapasitas 348.000 barrel/hari, UP V Balikpapan dengan kapasitas 270.000
barrel/hari, UP VI Balongan dengan kapasitas 125.000 barrel/hari, dan UP VII Kasim Irian Jaya
dengan kapasitas 10.000 barrel/hari (Susilo, 2006).
Pengolahan minyak mentah (crude oil) sangat membutuhkan energi yang merupakan bahan
baku sumber daya alam sangat berpotensi terjadinya kerusakan/pencemaran lingkungan,
disamping melalui proses fisik dan kimia dalam pengolahan bahan baku cenderung menghasilkan
polusi seperti : partikel, gas karbon monoksida (CO), gas karbon dioksida (CO2), gas belerang
oksida (SO2), dan uap air. Sesuai dengan jenis produksinya, maka kilang minyak tidak dapat lepas
dari masalah limbah dan polusi yang timbul terutama pada lingkungan yaitu pencemaran air, tanah,
dan udara.(Peter et al., 1989; Setiani, 2005).
Salah satu dampak negatif dari kilang minyak adalah timbulnya pencemaran lingkungan oleh
limbah yang berbentuk gas, padatan atau cairan yang timbul pada proses dan hasil pengolahan
minyak tersebut. Limbah ini akan mencemari daerah kilang minyak dan lingkungannya, sehingga
pekerja maupun masyarakat disekitar kilang minyak dapat terpapar oleh limbah. Limbah gas, padat
maupun cair dapat berpengaruh terhadap lingkungan dan kesehatan manusia bila tidak ditangani
dengan baik dan benar (Susilo, 2006).
Menurut Marsaoli (2004), pada umumnya pencemaran laut yang terjadi baik secara fisika,
kimiawi maupun biologis, banyak menghasilkan racun bagi biota laut dan manusia. Salah satu dari
bahan pencemar itu adalah hidrokarbon minyak bumi. Minyak bumi adalah campuran hidrokarbon
yang terbentuk berjuta-juta tahun yang lalu di masa lampau sebagai hasil dekomposisi bahan-
bahan organik dari tumbuhan-tumbuhan dan hewan. Minyak bumi berupa cairan kental berwarna
kehitaman yang teradapat dalam cekungan-cekuangan kerak bumi dan merupakan campuran
sangat kompleks dari senyawa-senyawa hidrokarbon dan bukan hidrokarbon. Dewasa ini terdapat
500 senyawa yang pernah dideteksi dalam suatu cuplikan minyak bumi yang terdiri dari minyak
bumi fraksi ringan dan fraksi berat. Minyak bumi fraksi ringan, komponen utamanya adalah n-
alkana dengan atom C15-17, sedangkan minyak bumi fraksi berat komponen utamanya adalah
fraksi hidrokarbon dengan tidik didih tinggi (Farrington dkk, 1975).
Kegiatan usaha minyak bumi mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi
nasional. Minyak bumi merupakan komoditas ekspor utama Indonesia yang digunakan sebagai
sumber bahan bakar dan bahan mentah bagi industri petrokimia. Kegiatan eksploitasi yang
meliputi pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan,
dan pengolahan untuk pemisahan dan pemumian minyak bumi sering mengakibatkan terjadinya
pencemaran minyak pada lahan-lahan di area sekitar aktivitas tersebut berlangsung. Minyak
pencemar tersebut mengandung hidrokarbon bercampur dengan air dan bahan-bahan anorganik
maupun organik yang terkandung di dalam tanah. Undang-undang No 22 tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi mensyaratkan pengelolaan lingkungan hidup, yakni pencegahan dan
penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup sebagai
akibat kegiatan pertambangan, bagi badan usaha yang menjalankan usaha di bidang eksploitasi
minyak bumi (Prijambada, 2006).
Limbah lumpur minyak bumi (LMB) merupakan limbah akhir dari serangkaian proses dalam
industri pengilangan minyak bumi (Scora et al., 1997). Kegiatan operasinya dimulai dari
eksplorasi, produksi (pengolahan sampai pemurnian) sampai penimbunan dan berpotensi
menghasilkan limbah berupa lumpur minyak bumi (oily sludge) (Rossiana et al., 2007).
Limbah lumpur minyak bumi terdiri dari senyawa hidrokarbon yang merupakan polialifatik
hidrokarbon seperti alkana (n-normal, iso dan siklo) dan poliaromatik hidrokarbon (PAH) seperti
naftaeno, benzena, naftalena, benzo(a)pirena, air, unsur logam (As, Cd, Cr, Hg, Pb, Zn, Ni, Cu)
serta non hidrokarbon seperti senyawa nitrogen, sulfur, oksigen dan aspal (Connell & Miller,
1995). Limbah tersebut, termasuk dalam kategori limbah B3 yaitu Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun karena sifat dan konsentrasinya dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan
hidup. Oleh karena itu sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu Peraturan Pemerintah No. 85
tahun 1999 tentang pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), tertera bahwa limbah
lumpur minyak termasuk kedalam daftar limbah B3 dari sumber spesifik dengan kode kegiatan
2320, maka pengelolaannya diperlukan penanganan secara baik sehingga tidak mencemari
lingkungan (BAPEDAL, 2001). Hal inilah yang dibahas dalam makalah ini yaitu bagaimana
mengolah limbah minyak bumi baik melalui pendekatan secara biologis atau dikenal dengan istilah
bioremediasi (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003), melalui pendekatan secara kimiawi
maupun dengan cara lain yang bermanfaat dalam menangani masalah pencemaran akibat limbah
minyak bumi.
1.2 Masalah
1. Bagaimana karakteristik dari minyak bumi?
2. Apa saja sumber-sumber limbah minyak yang terdapat di lingkungan?
3. Bagaimana dampak limbah minyak bumi terhadap lingkungan?
4. Bagaimana metode pengolahan limbah minyak bumi?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui karakteristik dari minyak bumi?
2. Untuk mengetahui sumber-sumber limbah minyak yang terdapat di lingkungan?
3. Untuk mengetahui dampak limbah minyak bumi terhadap lingkungan?
4. Untuk mengetahui metode pengolahan limbah minyak bumi?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Karakteristik Minyak Bumi
a. Sifat Kimia Minyak Bumi
Minyak bumi merupakan senyawa hidrogen dan Carbon (C dan H) ditambah beberapa
senyawa lain yang tidak dominan seperti: Nitrogen, Oksigen, Sulfur, Hidrogen Sulfida, Porfirin
dan senyawa Logam.
Senyawa Hidrocarbon (HC) dapat digolongkan menjadi tiga:

– HC padat adalah senyawa HC yang bersifat padat. Contoh : Aspal


– HC cair adalah senyawa HC yang berbentuk cair. Contoh : minyak bumi yang merupakan
rembesan di permukaan atau di dalam reservoir.
– HC yang bersifat gas, ini selalu berasosiasi dengan minyak bumi dan dapat berwujud gas
bebas, gas yang terlarut dalam minyak bumi (gelembung-gelembung gas) dan gas
tercairkan, pada kondisi reservoir dengan tekanan dan temperatur (suhu) yang tinggi maka
gas akan mencair.

b. Sifat Fisika Minyak Bumi


Sifat fisika minyak bumi yaitu :

– Semakin dalam terdapatnya minyak bumi serta semakin tua umurnya maka berat jenis
minyak bumi semakin kecil. Berat jenis minyak bumi berkisar antara 0,84 sampai 0,89.
– Viskositas/ kekentalan (satuan centipoise/ cp) adalah daya hambatan suatu cairan bila
kedalam cairan tersebut dimasukkan suatu materi atau benda yang diputar. Semakin kecil
berat jenis minyak, semakin besar temperatur dan tekanan semakin kecil viskositasnya.
– Titik didih dan titik nyala, titik didih adalah titik dimana minyak bumi mulai mendidih.
Semakin besar berat jenis, titik didih semakin tinggi. Titik nyala adalah kemampuan
materi untuk bisa terbakar. Semakin ringan berat jenis, titik nyala semakin tinggi.
– Warna, senyawa hidrokarbon sebenarnya tidak berwarna, tetapi adanya impurities dan
senyawa- senyawa yang lain akan mempengaruhi warna dari minyak bumi. Untuk minyak
berberat jenis besar maka berwarna hijau kehitaman, sedang yang berat jenis ringan
berwarna coklat kehitaman.
– Nilai kalori minyak bumi cukup tinggi antara 11.700- 11.750 kal/ gram untuk minyak
BJ= 0,75 dan antara 10000- 10.500 kal/ gram untuk minyak BJ= 0,9- 0,95.

Proses transformasi oil spill di laut


Ketika oil spill terjadi di lingkungan laut, minyak akan mengalami serangkaian perubahan/
pelapukan (weathering) atas sifat fisik dan kimiawi. Sebagian perubahan tersebut mengarah pada
hilangnya beberapa fraksi minyak dari permukaan laut, sementara perubahan lainnya berlangsung
dengan masih terdapatnya bagian material minyak di permukaan laut. Meskipun minyak yang
tumpah pada akhirnya akan terurai/ terasimilisi oleh lingkungan laut, namun waktu yang
dibutuhkan untuk itu tergantung pada karakteristik awal fisik dan kimiawi minyak dan proses
peluruhan (weathering) minyak secara alamiah. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi
perubahan sifat minyak adalah (Syakti, 2005):

– Karaterisik fisika minyak, khususnya gravitasi spesifik, viskositas dan rentang didih;
– Komposisi dan karakteristik kimiawi minyak;
– Kondisi meteorologi (sinar matahari (foto oksidasi), kondisi oseanograpi dan temperatur
udara); dan
– Karakteristik air laut (pH, gravitasi spesifik, arus, temperatur, keberadaan bakteri, nutrien,
dan oksigen terlaut serta padatan tersuspensi).

2.2 Sumber Limbah Minyak Bumi


Berdasarkan buku Pertamina (1986), sumber limbah cair minyak bumi berasal dari kegiatan-
kegiatan antara lain:

 Air pendingin di kilang minyak, dimana bila terjadi kebocoran pada pipa pendingin,
bocoran minyak akan terbawa air.
 Air sisa umpan boiler untuk pembangkit uap air.
 Air sisa dari lumpur pembocoran.
 Air bekas mencuci peralatan-peralatan dan tumpahan-tumpahan/ ceceran minyak di tempat
kerja.
 Air hujan.
Perusahaan minyak menghasilkan limbah minyak dalam bentuk lumpur dari berbagai
lapangan produksi. Menurut Damanhuri (1996), lumpur adalah bahan berfase solid yang
bercampur dengan media air (liquid), namun tidak dapat disebut atau disamakan dengan air.
Sedangkan limbah lumpur minyak (oil sludge) adalah kotoran minyak yang terbentuk dari proses
pengumpulan dan pengendapan kontaminan minyak yang tidak dapat digunakan atau diproses
kembali dalam proses produksi. Kandungan terbesar dalam oil sludge adalah petroleum
hydrocarbon (Pertamina, 2001), yang dapat diolah dengan proses bioremediasi.
Keberadaan senyawa hidrokarbon di perairan berasal dari beberapa sumber, antara lain dari
biosintesis, geokimia, dan antropogenik. Menurut Farrington dan Meyers (1975) jumlah senyawa
hidrokarbon yang berasal dari biosintesis berkisar antara 1-10 juta ton per tahun, dan menurut
Mulyono (1988) senyawa hidrokarbon yang berasal dari rembesan geologi adalah sekitar 0,6 juta
ton per tahun. Sisanya berasal dari sumber antropogenik hasil pengelolaan minyak bumi
(pengolahan, tranportasi, dan pengeboran) (Marsaoli, 2004).
Senyawa aromatik dalam minyak lebih toksis dibandingkan dengan senyawa alkana. senyawa
aromatik yang mengandung lebih dari dua cincin benzen, PAH bersifat toksis. Kadar PAH yang
relatif tinggi juga pernah ditemukan oleh beberapa peneliti (Maher et al., 1979; Bagg et al., 1981),
dalam sedimen yang lokasinya berdekatan dengan perkotaan. Ini pola umum di mana PAH
cenderung berkumpul dalam sedimen perairan yang dekat dengan daerah perkotaan. Menurut
Connel dan Miller (1981), PAH dapat berasal dari air buangan, seperti buangan rumah tangga dan
industri, sampah, dan aliran buangan kota, serta dalam buangan atmosferik dari pembakaran bahan
bakar fosil. Menurut Clark dan Macleod (1977) hidrokarbon alifatis dan aromatis terdapat di
seluruh estuari, daerah pantai, dan lingkungan samudera dengan kadar tertinggi di daerah estuari
dan habitat intertidal.
Sumber Limbah Solvent Acidity
Untuk mendukung kelancaran operasi kilang, baik BBM, non BBM, maupun kilang
paraxylene, tidak lepas dari sarana-sarana penunjang. Sarana tersebut antara lain adalah
Laboratorium Kilang yang telah mendapatkan sertifikat SNI 19-17025 berfungsi sebagai
pengontrol spesifikasi dan kualitas bahan baku serta produk antara maupun produk akhir.
Keberadaan fasilitas ini amat menentukan suatu keberhasilan perusahaan, terlebih pada era
perdagangan bebas. Karena itu laboratorium dilengkapi dengan fasilitas penelitian dan
pengembangan, sehingga produk yang dihasilkan terjaga kualitasnya, agar tetap mampu bersaing
di pasaran. Laboratorium Kilang Pertamina UP IV Cilacap yang bertugas sebagai pengontrol
spesifikasi dan kualitas produk Pertamina mempunyai tiga seksi laboratorium, salah satunya
adalah Laboratorium Lindungan Lingkungan dan Riset yang mempunyai tugas antara lain
memeriksa keasaman pada sampel pelumas, minyak bumi dan sebagian fraksi-fraksinya. Dari
pemeriksaan keasaman ini timbul limbah acidity yang tergolong pada limbah B3 cair sebanyak
220 ml untuk setiap sampel/contoh (Susilo, 2006).
Pemeriksaan Keasaman (Conshohocken, 1999)
Pemeriksaan keasaman ini mencakup penentuan zat-zat yang bersifat asam didalam minyak
bumi dan pelumas, baik yang larut maupun agak larut dalam campuran toluene dan isopropyl
alcohol. Untuk menentukan keasaman, contoh dilarutkan dalam solvent acidity yang terdiri dari
campuran toluene 50 %, isopropyl alcohol 49,5 %, dan air 0,5 %. Pada larutan homogen yang
terbentuk dititrasi pada suhu kamar dengan larutan standard basa dalam alcohol, sampai titik akhir
yang ditandai dengan perubahan warna larutan p-naphtholbenzein yang ditambahkan (warnanya
orange dalam suasana asam dan hijau dalam suasana basa).
Arti dan Kegunaan
Hasil-hasil minyak bumi yang baru maupun bekas kemungkinan mengandung zat-zat basa
atau asam yang berada sebagai additive atau hasil degradasi yang terbentuk selama
penggunaannya, misalnya hasil oksidasi. Jumlah relatif dari zat-zat ini dapat ditentukan dengan
titrasi menggunakan asam atau basa. Angka keasaman adalah ukuran dari jumlah zat yang bersifat
asam dalam minyak, dalam kondisi pengujian. Angka ini sebagai pengendalian kualitas dalam
minyak mentah maupun pembuatan pelumas. Juga seringkali digunakan sebagai ukuran degradasi
pelumas dalam penggunaanya.
2.3 Dampak Pencemaran Limbah Minyak Bumi
Akibat-akibat jangka pendek dari pencemaran minyak bumi sudah banyak dilaporkan (Connel
dkk, 1981). Molekul-molekul hidrokarbon minyak bumi dapat merusak membran sel yang
berakibat pada keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel. Ikan-ikan
yang hidup di lingkungan yang tercemar oleh minyak dan senyawa hidrokarbon akan mengalami
berbagai gangguan struktur dan fungsi tubuh. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan
berbau minyak, sehingga berkurang mutunya (Soesanto, 1973). Secara langsung minyak dapat
menimbulkan kematian pada ikan. Hal ini disebabkan oleh kekurangan oksigen, keracunan
karbondioksida dan keracunan langsung oleh bahan beracun yang terdapat dalam minyak.
Akibat jangka panjang dari pencemaran minyak ternyata dapat pula menimbulkan beberapa
masalah yang serius terutama bagi biota yang masih muda (Sumadhiharga, 1995). Satu kasus yang
menarik adalah usaha perikanan di Santa Barbara, California, yang mengalami penurunan hasil
perikanan setiap bulannya dari tahun 1965-1969. Penurunan yang paling rendah terjadi ketika
pelabuhan Santa Barbara dicemari oleh minyak buangan. Kasus limbah minyak yang
menyebabkan bau ikan tidak enak terjadi pada ikan-ikan yang diolah di pelabuhan Osaka. Hal ini
juga terjadi pada ikan-ikan belanak yang berasal dari suatu tambak yang diisi air yang mengandung
limbah minyak dari lapangan terbang Iwakuni. Ikan belut dan ikan sebelah yang ditangkap
beberapa kilometer dari pelabuhan Yokkaichi juga berbau minyak karena masuknya limbah
minyak dari pabrik minyak. Hasil penelitian terhadap kedua jenis ikan tersebut dapat diketahui
bahwa batas toleransi minyak pada air laut berada antara 0,001-0,01 ppm. Apabila batas tertinggi
kadar tersebut sudah terlewati maka bau minyak mulai timbul (Nitta, 1970). Di beberapa tempat
di Australia telah ditemukan bahwa zat hidrokarbon dari minyak tanah terdapat pada ikan belanak
yang diduga berasal dari air limbah pabrik penggilingan minyak yang dibuang ke laut (Sidhu,
1970).
Seperti yang diungkapkan di atas bahwa senyawa hidrokarbon aromatik ini bersifat racun,
salah satunya adalah PAH yakni senyawa aromatik dengan dua atau lebih cincin benzen. PAH
yang larut pada konsentrasi 0,1-0,5 ppm dapat menyebabkan keracunan pada makhluk hidup(
Connel dan Miller, 1981), sedangkan PAH dalam kadar rendah dapat menurunkan laju
pertumbuhan, perkembangan, dan makan makhluk perairan (Neff, 1979). Keadaan ini telah
diungkapkan oleh Connel dan Miller (1981) untuk ikan, hewan berkulit keras dan moluska. Selain
itu hidrokarbon minyak bumi yang terserap ke dalam tubuh biota menimbulkan rasa yang
menyengat dan memerlukan waktu tertentu untuk dapat hilang.
Minyak Menyebabkan Munculnya Gangguan Kesehatan Serius
Seperti halnya dengan bahan-bahan kimia, gangguan-gangguan kesehatan yang disebabkan
minyak mungkin sulit dibuktikan karena memang butuh waktu yang panjang untuk menimbulkan
dampak kesehatan warga.Tetapi, sebagian besar warga yang tinggal di dekat lokasi pengeboran
minyak dan kilang sudah terbiasa dengan polusi udara dan air dari minyak.Mengebor untuk
mendapatkan minyak, memprosesnya, dan membakar minyak sebagai bahan bakar, semua
kegiatan ini akan mendatangkan masalah-masalah kesehatan serius.
Dampak Kesehatan Jangka Panjang
a. Minyak menyebabkan munculnya gangguan reproduksi

Menghirup uap atau menelan makanan atau cairan yang terkontaminasi minyak dan gas dapat
menyebabkan munculnya problem kesehatan reproduksi seperti siklus haid yang tidak teratur,
keguguran, meninggal dalam kandungan, dan cacat lahir. Masalah-masalah ini mungkin punya
tanda-tanda peringatan dini seperti nyeri lambung atau haid yang tidak teratur.
b. Minyak menyebabkan kanker

Pemaparan secara periodik dengan gas dan minyak menyebabkan kanker.Anak-anak yang
tinggal di sekitar kilang lebih mungkin mendapatkan kanker darah (leukemia) dari pada mereka
yang tinggal jauh dari fasilitas tersebut.Orang-orang yang tinggal di kawasan pengeboran minyak
lebih mungkin mendapatkan kanker usus, kantong kemih, paru-paru daripada mereka yang tinggal
jauh dari lokasi pengeboran.Para pekerja di kilang-kilang minyak punya resiko tinggi mengidap
kanker mulut, usus, ulu hati, pankreas, jaringan sel, prostat, mata, otak, dan darah.
Ketika Texaco mulai mengebor untuk mencari minyak di Ekuador, kanker tidak dikenal di
kawasan ini.Empat puluh tahun kemudian, pada 2 daerah minyak yang paling sering dieksploitasi
di Amazon, para penggerak kesehatan komunitas mensurvei 80 komunitas. Mereka menemukan
bahwa 1 dari 3 orang menderita sejenis kanker.
Tumpahan Minyak
Di mana ada minyak, di situ pasti ada tumpahan. Kapal-kapal dan truk bisa kecelakaan, dan
jalur pipa bisa bocor.Perusahaan bertanggung jawab untuk mencegah tumpahan dan
membersihkannya jika hal ini terjadi.
Ada pepatah: “Minyak dan air tidak mungkin bercampur.” Tetapi, ketika minyak tumpah ke
air, bahan-bahan kimia yang berasal dari minyak tersebut pasti bercampur dengan air dan
menggenang didalam air untuk beberapa waktu.Lapisan minyak yang lebih tebal menyebar di
seluruh permukaan dan mencegah masuknya udara ke dalam air.Ikan, khewan, dan tumbuh-
tumbuhan yang hidup di air tidak bisa bernafas.Ketika minyak tumpah ke dalam air, bahan-bahan
kimianya yang tertinggal di sana bisa membuat air tersebut tidak aman diminum, bahkan setelah
minyak yang kasat mata dikeluarkan.
Ketika minyak tumpah ke tanah, ia akan menghancurkan lapisan tanah dengan mendesak
udara keluar dan membunuh makhluk-makhluk hidup yang membuat lapisan tanah menjadi sehat.
Hal yang hampir serupa terjadi jika minyak mengenai kulit kita atau kulit khewan. Minyak akan
menutupi kulit dan menghalangi udara masuk. Racun-racun yang berasal dari minyak juga
meresap ke dalam tubuh melalui kulit, dan menimbulkan penyakit.
Dampak di Laut
Akibat yang ditimbulkan dari terjadinya pencemaran minyak bumi di laut adalah:
Rusaknya estetika pantai akibat bau dari material minyak. Residu berwarna gelap yang terdampar
di pantai akan menutupi batuan, pasir, tumbuhan dan hewan. Gumpalan tar yang terbentuk dalam
proses pelapukan minyak akan hanyut dan terdampar di pantai.
Kerusakan biologis, bisa merupakan efek letal dan efek subletal. Efek letal yaitu reaksi yang
terjadi saat zat-zat fisika dan kimia mengganggu proses sel ataupun subsel pada makhluk hidup
hingga kemungkinan terjadinya kematian. Efek subletal yaitu mepengaruhi kerusakan fisiologis
dan perilaku namun tidak mengakibatkan kematian secara langsung. Terumbu karang akan
mengalami efek letal dan subletal dimana pemulihannya memakan waktu lama dikarenakan
kompleksitas dari komunitasnya.
Pertumbuhan fitoplankton laut akan terhambat akibat keberadaan senyawa beracun dalam
komponen minyak bumi, juga senyawa beracun yang terbentuk dari proses biodegradasi. Jika
jumlah pitoplankton menurun, maka populasi ikan, udang, dan kerang juga akan menurun. Padahal
hewan-hewan tersebut dibutuhkan manusia karena memiliki nilai ekonomi dan kandungan protein
yang tinggi.
Penurunan populasi alga dan protozoa akibat kontak dengan racun slick (lapisan minyak di
permukaan air). Selain itu, terjadi kematian burung-burung laut. Hal ini dikarenakan slick
membuat permukaan laut lebih tenang dan menarik burung untuk hinggap di atasnya ataupun
menyelam mencari makanan. Saat kontak dengan minyak, terjadi peresapan minyak ke dalam bulu
dan merusak sistem kekedapan air dan isolasi, sehingga burung akan kedinginan yang pada
akhirnya mati.
Dampak Limbah Solvent Acidity Terhadap Kesehatan
Limbah solvent acidity berasal dari buangan proses pemeriksaan keasaman, merupakan
limbah kimia cair yang terdiri dari campuran isopropyl alcohol, toluene dan sample, berwarna
gelap yang sangat berbahaya terhadap kesehatan (Imamkhasani, 1998). Bahaya isopropyl alcohol
terhadap kesehatan adalah :

 Efek jangka pendek (akut) antara lain pada penghirupan konsentrasi 400 ppm dapat
menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan bagian atas.
 Penghirupan lebih besar akan menyebabkan pusing dan mengganggu keseimbangan tubuh.
 Kontak dengan mata dapat menyebabkan iritasi, tetapi tidak pada kulit.
 Bila terminum dapat menyebabkan muntah, diare dan hilang kesadaran.
 Efek jangka panjang (kronis) antara lain bila terkena kulit dapat menyebabkan kulit kering
dan pecah-pecah. Nilai Ambang Batas : 200 ppm (500 mg/m3)-kulit; STEL = 250 ppm;
Toksisitas : LD50 (tikus, oral) = 1870-6500 mg/kg.

2.4 Pengolahan Limbah Minyak Bumi


Pengolahan limbah minyak bumi dilakukan secara fisika, kimia dan biologi. Pengolahan
secara fisika dilakukan untuk pengolahan awal yaitu dengan cara melokalisasi tumpahan minyak
menggunakan pelampung pembatas (oil booms), yang kemudian akan ditransfer dengan perangkat
pemompa ( oil skimmers) ke sebuah fasilitas penerima “reservoar” baik dalam bentuk tangki
ataupun balon dan dilanjutkan dengan pengolahan secara kimia, namun biayanya mahal dan dapat
menimbulkan pencemar baru. Pengolahan limbah secara biologi merupakan alternatif yang efektif
dari segi biaya dan aman bagi lingkungan. Pengolahan dengan metode biologis disebut juga
bioremediasi, yaitu biotek-nologi yang memanfaatkan makhluk hidup khususnya mikroorganisme
untuk menurunkan konsentrasi atau daya racun bahan pencemar (Lasari, 2010).
Secara umum beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak yang menjadi limbah
diantaranya in-situ burning, penyisihan secara mekanis, bioremediasi, penggunaan sorbent,
penggunaan bahan kimia dispersan, dan washing oil (Anonim, 1994).
a. In-situ burning adalah pembakaran minyak pada permukaan laut, sehingga mengatasi
kesulitan pemompaan minyak dari permukaan laut, penyimpanan dan pewadahan minyak
serta air laut yang terasosiasi. Teknik ini membutuhkan booms (pembatas untuk mencegah
penyebaran minyak) atau barrier yang tahan api. Namun, pada peristiwa tumpahan minyak
dalam jumlah besar sulit untuk mengumpulkan minyak yang dibakar. Selain itu, penyebaran
api sering tidak terkontrol.
b. Penyisihan minyak secara mekanis melalui 2 tahap, yaitu melokalisir tumpahan dengan
menggunakan booms dan melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah dengan
menggunakan peralatan mekanis yang disebut skimmer.
c. Bioremediasi yaitu proses pendaurulangan seluruh material organik. Bakteri pengurai spesifik
dapat diisolasi dengan menebarkannya pada daerah yang terkontaminasi. Selain itu, teknik
bioremediasi dapat menambahkannutrisi dan oksigen, sehingga mempercepat penurunan
polutan.
d. Penggunaan sorbent dilakukan dengan menyisihkan minyak melalui mekanisme adsorpsi
(penempelan minyak pad permukaan sorbent) danabsorpsi (penyerapan minyak ke dalam
sorbent). Sorbent ini berfungsi mengubah fasa minyak dari cair menjadi padat, sehingga
mudah dikumpulkan dan disisihkan. Sorbent harus memiliki karakteristik hidrofobik,
oleofobik, mudah disebarkan di permukaan minyak, dapat diambil kembali dan digunakan
ulang. Ada 3 jenis sorbent yaitu organik alami (kapas, jerami, rumput kering, serbuk gergaji),
anorganik alami (lempung, vermiculite, pasir) dan sintetis (busa poliuretan, polietilen,
polipropilen dan serat nilon).
e. Dispersan kimiawi merupakan teknik memecah lapisan minyak menjadi tetesan kecil
(droplet), sehingga mengurangi kemungkinan terperangkapnya hewan ke dalam tumpahan
minyak. Dispersan kimiawi adalah bahan kimia dengan zat aktif yang disebut surfaktan.
f. Washing oil yaitu kegiatan membersihkan minyak dari pantai.

Ø Peralatan
Alat-alat yang digunakan untuk membersihkan tumpahan minyak:

 Booms merupakan alat untuk menghambat perluasan hambatan minyak.


 Skimmers yaitu kapal yang mengangkat minyak dari permukaan air.
 Sorbent merupakan spons besar yang digunakan untuk menyerap minyak.
 Vacuums yang khusus untuk mengangkat minyak berlumpur dari pantai atau permukaan laut.
 Sekop yang khusus digunakan untuk memindahkan pasir dan kerikil dari minyak di pantai.

Kegiatan hulu dan hilir industri minyak bumi tidak terlepas dari kemungkinan pencemaran
minyak di ke lingkungan, khususnya perairan dan sedimen. Salah satu metode pengolahan limbah
secara yang saat ini terus dikembangkan adalah bioremediasi yang merupakan teknologi ramah
lingkungan, cukup efektif dan efisien serta ekonomis (Yani et al., 2007).
Terdapat tiga cara untuk mengatasi masalah lahan tercemar minyak yang dapat dipilih
berdasarkan jenis minyak pencemar, konsentrasi minyak pencemar dan lokasi pencemaran, yakni
dibakar, diberi disperser dan kemudian dihisap kembali dengan skimmer untuk diolah di kilang
minyak, dan didegradasi dengan memanfaatkan mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon.
Bioremediasi, pengelolaan yang mengandalkan degradasi dengan memanfaatkan mikroorganisme
pendegradasi hidrokarbon, merupakan cara yang paling ekonomis dan dapat diterima lingkungan.
Bioremediasi dapat digunakan untuk mengatasi masalah lahan tercemar minyak baik secara in situ
maupun ex situ. Biostimulation dan bioaugmentation merupakan contoh pelaksanaan bioremediasi
secara in situ, sedangkan landfarming, biopile, dan composting merupakan contoh pelaksanaan
bioremediasi secara ex situ (Arifin et al., 2004).
Dalam pelaksanaan bioremediasi, baik secara in situ maupun ex situ, perlu dilakukan
pemantauan terhadap proses pengolahan dan hasil akhir pengolahan. Hal itu perlu dipantau adalah
kandungan minyak bumi dan/atau kandungan total hidrokarbon minyak bumi. Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup no. 128 tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis
Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi secara Biologis
mensyaratkan kandungan total hidrokarbon minyak bumi yang tidak lebih dan 15 % di awal proses
bioremediasi. Selama proses bioremediasi, kandungan total hidrokarbon minyak bumi perlu
dipantau setidaknya setiap 2 minggu. Pemantauan kandungan bensena, toluene, etil-bensena,
silena, dan hidrokarbon polisilkik aromatic perlu dilakukan di akhir proses bioremediasi.
Kandungan total hidrokarbon minyak bumi di akhir proses bioremediasi disyaratkan di bawah 1
%. Di akhir proses bioremediasi, kandungan toluene, etil-bensena, silena, dan hidrokarbon
polisilkik aromatik disyaratkan masing-masing berada di bawah 10 ppm, sedangkan kandungan
bensena disyaratkan berada di bawah 10 ppm.
Limbah industri minyak bumi (Oil sludge) yang berupa cairan dan padatan merupakan obyek
dalam makalah ini, limbah tersebut merupakan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).
Detoksifikasi dan degradasi limbah tersebut dapat dilakukan secara biologis yang aman dan ramah
lingkungan dengan menggunakan 3 jenis bakteri dan tumbuhan yang dikenal dengan
Fitoremediasi. Penggunaan eceng gondok untuk limbah cair dan sengon bermikoriza untuk
pengolahan dan penurunan zat organik dalam limbah padat diharapkan dapat menunjang
pengelelolaan limbah secara terpadu dan berkelanjutan di lingkungan industri minyak pada
khususnya dan umumnya bagi seluruh perindustrian (Rossiana et al., 2007).
Fitoremediasi adalah pemanfaatan tumbuhan, mikroorganisme untuk meminimalisasi dan
mendetoksifkasi polutan, karena tanaman mempunyai kemampuan menyerap logam dan mineral
yang tinggi atau sebagai fitoakumulator dan fitochelator. Konsep pemanfaatan tumbuhan dan
mikroorganisme untuk meremediasi tanah yang terkontaminasi polutan adalah pengembangan
terbaru dalam teknik pengolahan limbah. Fitoremediasi dapat diaplikasikan pada limbah organik
maupun anorganik dalam bentuk padat, cair, dan gas (Salt et al., 1998).
Menurut Corseuil & Moreno (2000), mekanisme tumbuhan dalam menghadapi toksikan
adalah:

 Penghindaran (escape) fenologis. Apabila pengaruh yang terjadi pada tanaman musiman,
tanaman dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada musim yang cocok.
 Ekslusi. Tanaman dapat mengenal ion yang bersifat toksik dan mencegah penyerapan
sehingga tidak mengalami keracunan.
 Penanggulangan (ameliorasi). Tanaman mengabsorpsi ion tersebut, tetapi berusaha untuk
meminimumkan pengaruhnya. Jenisnya meliputi pembentukkan kelat (chelation),
pengenceran, lokalisasi atau bahkan ekskresi.
 Toleransi. Tanaman dapat mengembangkan sistem metabolit yang dapat berfungsi pada
konsentrasi toksik tertentu dengan bantuan enzim.

Tanaman meremediasi polutan organik melalui tiga cara, yaitu menyerap secara langsung
bahan kontaminan, mengakumulasi metabolisme non fitotoksik ke sel-sel tanaman, dan
melepaskan eksudat dan enzim yang dapat menstimulasi aktivitas mikroba, serta menyerap
mineral pada daerah rizosfer. Tanaman juga dapat menguapkan sejumlah uap air. Penguapan ini
dapat mengakibatkan migrasi bahan kimia ( Schnoor et al., 1995 ).
Tanaman melepaskan eksudatnya yang dapat membantu bioremediasi bahan organik oleh
mikroba agar bahan organik tersebut dapat diserap dan dimetabolisme dalam tubuh tanaman.
Penyerapan polutan berupa bahan organik dibatasi oleh mekanisme penyerapan oleh tanaman dan
jenis tanaman ( Schnoor, 2000).
Tanaman dapat memperluas daerah perakaran menuju ke daerah yang terkena polutan (EPA,
2000). Beberapa bahan kimia dimineralisasi oleh tanaman dengan bantuan air dan CO2. Tanaman
mengeluarkan sekret melalui akar eksudat akar sebesar 10 – 20% dari hasil fotosintesis melalui
eksudat akar. Hal ini dapat membantu proses pertumbuhan dan metabolisme mikroba maupun
fungi yang hidup disekitar rizosfer. Beberapa senyawa organik yang dikeluarkan melalui eksudat
akar (misalnya phenolik, asam organik, alkohol, protein) dapat menjadi sumber karbon dan
nitrogen sebagai sumber pertumbuhan mikroba yang dapat membantu proses degradasi senyawa
organic. Sekret berupa senyawa organik dapat membantu pertumbuhan dan meningkatkan
aktivitas mikroba rhizosfer ( Salt et al., 1998 ).
Tumbuhan mempunyai kemampuan untuk menahan substansi toksik dengan cara biokimia dan
fisiologisnya serta menahan substansi non nutritif organik yang dilakukan pada permukaan akar.
Bahan pencemar tersebut akan dimetabolisme atau diimobilisasi melalui sejumlah proses termasuk
reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisa enzimatis (Khan et al., 2000).
Eichhornia crassipes (Mart). Solms merupakan tumbuhan air yang dapat menyerap hara dan
logam berat dalam jumlah yang cukup signifikan. Zat hara yang terserap oleh akar tanaman akan
ditranslokasikan di dalam tubuh tanaman. Hasil penelitian yang telah dilakukan di bak percobaan
menunjukkan bahwa penggunaan eceng gondok dengan penutupan 50% dari luas area percobaan
pengolahan limbah cair tahu dapat menurunkan residu tersuspensi 75,74 – 85,5 % dan COD 55,52
– 76,83 % (Dhahiyat, 1990).
Eichhornia crassipes ( Mart ). Solms dapat tumbuh dengan sangat cepat, yaitu mencapai 10 g
m-2 per hari. Hal ini berpengaruh terhadap penyerapan unsur hara, seperti nitrat ( NO3–) dan
orthofosfat ( PO43-) Eichhornia crassipes ( Mart ). Solms dapat menyerap nitrogen secara
langsung sebesar 5850 kg/ha per tahun dan dapat menyerap fosfor sebesar 350 – 1125 kg/ ha per
tahun. Hal ini dapat mengurangi konsentrasi kontaminan pada limbah perairan (McEldowney et
al., 1993 ).
Tanaman sengon merupakan tanaman Leguminosae, sering digunakan sebagai tanaman untuk
reboisasi karena bersifat fast growing trees. Selain mempunyai dua nama latin yakni Albizia
falcataria (L) Forberg dan Paraserianthes falcataria (L) Nielsen, sengon mempunyai nama daerah
yang bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat dengan adanya program pemerintah berupa proyek
“Sengonisasi” bagi daerah-daerah kritis yang rawan bencara erosi (National Academy of Sciences,
1979). Manfaat penting dari penggunaan mikoriza adalah asosiasi jamur dan tanaman
berkemampuan sebagai biofertilizer, mendetoksifikasi dan mendegradasi senyawa yang sukar
diuraikan dalam tanah. Peranan mikoriza dalam rizosfer adalah memfasilitasi pergerakan mineral
tanah menuju tanaman.
Hasil penelitian yang telah dilakukan di laboratorium, rumah kaca dan terakhir dalam skala
lapangan selama 6 bulan menunjukkan bahwa fitoremediasi limbah lumpur minyak konsentrasi
20% dengan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) bermikoriza yang mediumnya
diinokulasi bakteri Pseudomonas mallei, Bacillus alvei dan Pseudomonas sphaericus potensial
untuk dikembangkan. Tanaman sengon mengalami pertumbuhan baik selama fitoremediasi. Hasil
analisis setelah fitoremediasi menunjukkan bahwa terjadi penurunan kandungan minyak sampai
51,23% dan kandungan logam berat Cd, Cr, Pb, Cu, Zn dan Ni.masing-masing sebesar 30,2%,
2,5%, 32,6%, 71,9%, 62,8% dan 47,09%. (Rossiana, 2005).
Saat ini pengetahuan mengenai mekanisme fisiologi fitoremediasi mulai digabungkan dengan
biologi dan teknik untuk mengoptimalkan fitoremediasi sehingga terbagi menjadi (Salt et al.,
1998):

 Fitoekstraksi : pemanfaatan tumbuhan pengakumulasi polutan untuk memindahkan logam


berat atau polutan organik dari tanah dengan cara mengakumulasikannya di bagian
tumbuhan yang dapat dipanen.
 Fitodegradasi : pemanfaatan tumbuhan dan asosiasi mikroorganisme untuk mendegradasi
polutan organik.
 Rhizofiltrasi : pemanfaatan akar tumbuhan untuk menyerap polutan, terutama logam berat,
dari air dan aliran limbah.
 Fitostabilisasi : pemanfaatan tumbuhan untuk mengurangi polutan dalam lingkungan.
 Fitovolatilisasi : pemanfaatan tumbuhan untuk menguapkan polutan. Pemanfaatan
tumbuhan untuk memindahkan polutan dari udara.

Penggunaan metode dan proses biologi dalam menurunkan kadar polutan yang bersifat toksik
terhadap lingkungan akibat adanya xenobiotik/zat yang menyebabkan pencemaran, adalah nama
lain dari bioremediasi (Baker & Herson, 1994). Bioremediasi merupakan salah satu teknologi
inovatif untuk mengolah kontaminan, yaitu dengan memanfaatkan mikroba, tanaman, enzim
tanaman atau enzim mikroba (Gunalan, 1996).
Metode dan prinsip proses bioremediasi adalah biodegradasi yang dilakukan secara aerob,
oksigen dalam konsentrasi rendah akan mempengaruhi proses tersebut (Eweis, et al.,1998).
Pentingnya aerasi untuk memenuhi kekurangan oksigen berkaitan dengan kurang efektifnya kerja
enzim oksigenase dalam penguraian fraksi aromatik. Selain oksigen, rendahnya kandungan nutrisi
dalam medium akan membatasi pertumbuhan mikroorganisme untuk mendegradasi.
Faktor penghambat bioremediasi adalah bahan yang akan diremediasi mengandung klorin atau
logam berat. Kandungan logam berat baik dalam lumpur minyak maupun dalam medium pasca
bioremediasi akan mempengaruhi penguraian bahan organik, karena akan menghambat kerja
enzim dan populasi mikroorganisme yang selanjutnya akan menjadi kendala bagi pertumbuhan
tanaman (Garcia et al., 1995).
Selain itu perlu ada upaya menghilangkan terlebih dahulu logam berat yang terdapat dalam
limbah dengan menggunakan adsorben sebelum proses bioremediasi. Penggunaan pasir dan zeolit
sebagai campuran dan adsorben alam penyerap logam berat merupakan penanganan awal sebelum
dilakukan proses lebih lanjut, sehingga kemungkinan adanya proses inhibisi enzim oleh ion logam
dapat diatasi.
Dalam bioremediasi penggunaan mikrooorganisme indigenous (indigen) saja masih belum
maksimum sehingga diperlukan inokulasi mikroorganisme eksogenous (eksogen) yang merupakan
kultur campuran (konsorsium) beberapa jenis bakteri atau jamur yang potensial dalam
mendegradasi pencemar tersebut (Udiharto & Sudaryono, 1999).
Sedangkan pengolahan limbah cair minyak bumi dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1. Incineration

Incineration adalah salah satu cara untuk menguraikan liquid wastes, dan dengan cara dan alat
yang didesain baik dapat menghasilkan effluent/ limbah yang memenuhi peraturan pencemaran.
Liquid waste dari sisi combustion dapat dikelompokkan atas :

a. Combustible Liquids
b. Partially Combustible Liquids

Combustible liquids tidak dapat dikerjakan atau dibuang ke incinerator. Pada kelompok
pertama akan terdiri dari bahan-bahan yang mempunyai nilai yang cukup menunjang pembakaran
dalam combustor, burner, atau alat lain yang menghasilkan CO2 dan H2O bila dibakar. Kelompok
kedua akan meliputi bahan-bahan yang sulit terbakar tanpa penambahan bahan bakar. Bahan yang
partially combustible mungkin mengandung mateial yang terlarut dalam fase liquid, bila zat
inorganik akan membentuk inorganik oxida.
Dalam pelaksanaannya harus dialirkan udara secukupnya pada suhu diatas ignation point agar
terjadi pembakaran yang cepat dan menghasilkan CO2, N2 dan uap air. Karena pembakaran akan
lebih cepat dan lebih baik bila bahan dalam keadaan butir halus maka atomizer diperlukan untuk
menginjeksikan waste liquids ke incinerator bila viscositinya memungkinkan.
2. Dilution (Liquid Waste Dispersion)

Suatu cara lain membuang cairan limbah yang dapat diterima adalah kembali ke lingkungan
dengan pengenceran secukupnya hingga tidak menimbulkan bahaya atau peracunan terhadap
lingkungan. Dengan perancangan subsurface disfersion system yang baik, akan memungkinkan
wadah penerima dapat menampung buangan secara memadai. Beberapa peralatan yang dibutuhkan
antara lain mencakup open end pipes dengan nozzle atau diffuser system yang terdiri dari sederetan
pipa-pipa kecil dengan lubang-lubang atau celah. Limbah harus dapat dibuang pada sudut yang
baik terhadap aliran air agar terencerkan atau terdispersi secara sempurna. Pipa dispersi harus
ditempatkan sedemikian rupa agar discharge point cukup jauh dari garis pantai, dengan demikian
pabrik dan water intake akan terlindungi.
3. Deep Well Disposal

Cara ini dilakukan oleh industri yang banyak membuang limbah asam lemah dalam jumlah
besar. Limbah tersebut dipompakan ke dalam lapisan tanah sampai pada lapisan tanah yang cocok
untuk menampung limbah. Lapisan tanah dimana limbah ditampung harus lebih rendah dari
lapisan fresh water circulation, dan area tadi harus terisolasi oleh bahan yang kedap air.
Lapisan sandstones, limestones atau dolomite umumnya membentuk lapisan yang banyak
mengandung air asin, tetapi cukup baik sebagai tempat penampungan limbah cair. Sedangkan
lapisan yang mengandung minyak, gas, batubara dan belerang harus dijaga agar tidak tercemar
limbah. Lapisan yang kedap air harus berada diatas dan dibawah layer untuk mencegah vertical
escape dari buangan, atau dengan kata lain limbah harus ditempatkan pada kedalaman tertentu.
Penetapan area buangan harus ditetapkan sesuai dengan keadaan subsurface geology, dimana
daerah yang banyak batuan vulkanik dihindari karena memungkinkan limbah lolos kepermukaan
tanah atau badan air.
4. Secara Mikrobiologis
Limbah minyak bumi banyak mengandung unsur Hidrokarbon. Limbah Hidrokarbon cair
bersifat hidrofob dan mempunyai kerapatan lebih rendah dari air. Oleh sebab itu limbah ini selalu
terapung diatas air. Pembuangan limbah ke sungai akan menutupi permukaan air yang
mengakibatkan oksigen terlarut menurun, dan pada akhirnya tumbuh-tumbuhan air dan hewan air
dapat mati. Untuk penanganan limbah Hidrokarbon sebagai salah satu alternatif adaalah dengan
menggunakan mikroba.
Penanganan Limbah Hidrokarbon dimulai dengan pemisahan padatan dan pemisahan minyak
yang terdapat dalam limbah, dan selanjutnya dilakukan penanganan limbah secara mikrobiologi
untuk mendegradasikan Hidrokarbon dan senyawa organik lain. Efluent lebih lanjut diolah secara
kimiawi untuk menghilangkan senyawa fosfat dan nitrogen. Selanjutnya logam-logam dan
senyawa organik yang terlarut dipisahkan melalui proses filtrasi dan absorbsi oleh karbon aktif.
Efluent sebelum dibuang, diklorinasikan untuk mematikan mikroba patogen dan dinetralkan pH-
nya sehingga aman bagi lingkungan.
Pengolahan limbah Hidrokarbon secara mikrobiologis dilakukan dengan proses aerob. Oleh
sebab itu dalam kolam-kolam pengolahan limbah diperlukan aerasi yang cukup agar oksidasi
Hidrokarbon berlangsung. Aerasi yang dilakukan adalah memasukkan oksigen ke dalam limbah
melalui proses pengadukan. Gabungan aerasi dan pengadukan lebih cocok karena permukaan
limbah yang luas membuat kontak mikroba menjadi lebih besar dan degradasi lebih efektif.
Hidrokarbon tidak akan larut dalam air pada saat pengadukan. Untuk memperbesar distribusi
mikroba dalam limbah Hidrokarbon, maka perlu ditambah zat pengemulsi sehingga terjadi emulsi
Hidrokarbon, maka perlu ditambah zat pengemulsi sehingga terjadi emulsi Hidrokarbon dalam air.
Selama degradasi, maka temperatur harus diperhatikan. Temperatur akan naik dari suhu psikofilik
(4-20 ºC) sampai mesofilik (20-40 ºC). Namun hal ini tidak banyak mempengaruhi aktivitas
mikroba. pH limbah yang netral atau sedikit asam kurang mempengaruhi aktivitas mikroba.
Namun setelah dimetabolisme, maka pH efluent menjadi asam. Oleh sebab itu perlu dinetralkan
dengan kapur (gamping) setelah tahap klorinasi.
Menurut Sugiharto (1987), pengolahan limbah cair minyak bumi dilakukan dengan 2 cara
pengolahan pendahuluan (pre treatment), yaitu:

1. Pengambilan/ penyedotan minyak, dan menyaring kotoran atau sampah padat seperti daun-
daunan, plastic dan lain sebagainya.
2. Pengambilan pasir-pasir yang mengendap yang didapat dari proses pengolahan minyak
bumi yaitu lumpur/ sludge.

Proses pengambilan/ pengerukan pasir atau lumpur dilakukan setiap 3 bulan sekali dan pasir
atau lumpur yang telah dikeruk akan dibuang ke tempat khusus yang ada di sekitar lokasi
pengolahan limbah.
Pengendalian Sumber Limbah Cair Minyak Bumi
Program pengendalian pencemaran bahan buangan cair minyak bumi antara lain (Pertamina,
1986) :

1. Mengoperasikan dan memelihara oil catcher (perangkap minyak) baik di kilang maupun
pusat pengumpul produksi dengan sebaik-baiknya.
2. Pemantauan secara berkala jumlah dan jenis bahan buangan cair yang menuju ke perairan.
3. Melokalisir tumpahan dan bocoran minyak sebagai akibat dari kecelakaan dan atau
kerusakan yang terjadi pada alat-alat pengangkut, penimbun, pengisian, dan lain-lain.
4. Mengambil kembali tumpahan minyak.
5. Penyediaan sarana penanggulangan pencemaran berupa : oil sorbent, dispersant, oil
skimmer dan dispersant pump.
6. Membakar tumpahan minyak yang tidak mungkin diambil kembali atau dibersihkan.

Limbah Padat Minyak Bumi


Pada umumnya limbah padat yang dihasilkan adalah sludge (lumpur) yang terdiri dari Arsen,
Barium, Boron, Chromium, Cadmium, Mercury, Timbal dan Seng. Sludge yang didapatkan dari
pembersihan tangki akan diolah ke dalam suatu bak untuk pengolahan lebih lanjut.
Limbah Gas Minyak Bumi
Upaya pengelolaan lingkungan yang dilakukan untuk mengurangi dampak kualitas udara
ambient yang berupa gas diantaranya :
1. Melewatkan gas H2S kedalam larutan NaOH atau Ca(OH)2 sehingga gas yang keluar
merupakan sisa yang tidak tertangkap oleh larutan NaOH atau Ca(OH)2.
2. Melakukan pendinginan dan penangkapan gas yang keluar telah sesuai dengan udara luar.
3. Penanaman tanaman pelindung di sekeliling lokasi Stasiun Pengumpul/ Stasiun
Kompresor.
4. Melakukan perawatan cerobong.

Aplikasi Pengolahan Limbah Minyak Bumi


Percobaan skala lapang dilakukan di lagoon area pengolahan limbah lumpur minyak bumi
Pertamina unit VI Balongan Indramayu. Pengolahan limbah cair dilakukan pada 6 kolam
percobaan ukuran 25 X 20 meter. Tipe aliran air permukaan merupakan tipe aliran yang ada di
daerah berawa dengan air diam pada permukaan dengan kedalaman 0,5 – 1 meter. Pada aliran air
dibawah permukaan, aliran limbah cair mengalir pada zona perakaran tumbuhan air dipermukaan.
Kedalaman airnya dapat mencapai 0,5 – 1,5 meter. Pada tipe aliran dalam, air diperoleh dari bagian
permukaan yang kemudian mengalir ke bagian bawah dan terserap oleh akar tanaman.
Sedangkan pengolahan limbah padat percobaan dilakukan pada 4 plot berukuran 6 x 6 x 0,50
meter terbagi menjadi 3 x 3 x 4 ulangan. Faktor tunggal adalah konsentrasi limbah yang
ditempatkan dalam 12 plot tempat medium pengomposan lumpur minyak masing-masing
konsentrasi yaitu 20%, 30% dan 40% dari total volume yang dicampur dengan zeolit 10%, pasir
dan tanah perbandingan 2:1. Sebagai nutrisi digunakan pupuk kascing Medium diaduk dengan
garu dan pacul dan disemprot dan disiram air setiap hari. Kultur mikroorganisme bakteri
Pseudomonas malei, Bacillus alvei, Bacillus sphaericus. diinokulasikan ke dalam medium
pengomposan masing-masing sebanyak 2000 ml dengan jumlah sel 108 sel /ml diinkubasikan
selama satu bulan, Kondisi medium dipertahankan yaitu pH 6-7, kelembaban 60-70 % dan
temperatur tanah sekitar 300C.
Penyiraman dan pengadukan dilakukan secara periodik untuk menjaga kelembaban dan aerasi
medium. Medium tanah bergerombol, dihaluskan dengan pacul supaya mudah untuk ditanam.
Sebelum dilakukan fitoremediasi, terlebih dulu biji sengon disemaikan dalam polibag. Setelah
berumur 2 minggu dipindahkan kedalam polibag baru dan disekitar akar ditambahkan 50 gram
mikoriza. Pertumbuhan sengon dipelihara sampai 3 bulan sampai ditanamkan pada medium hasil
pengomposan dengan jarak tanam 2 x 2 meter dan diamati setiap bulan selama 3 tahun.
Parameter pencemaran minyak bumi yang dianalisis setiap bulan adalah:

 Kadar minyak/lemak dan logam berat sebelum dan sesudah fitoremediasi


 Penentuan kadar hidrokarbon aromatik (PAH) sebelum dan sesudah proses fitoremediasi.
 Pemantauan jumlah mikroorganisme
 Pemantauan toksisitas medium dengan uji toksisitas Lc-50 terhadap Daphnia carinata King
 Pertumbuhan tanaman sengon, , pH dan kelembaban medium.
Karakteristik tumbuh dihitung dengan metode Coombs et al. (1985), yaitu:

 Laju Tumbuh Tanaman Rata-rata (LTT)


 Laju Asimilasi Bersih Rata-rata (LAB)
 Index Luas Daun Rata-rata (ILD)
Dalam rangka program pemerintah hal produksi bersih, penelitian ini dapat diaplikasikan
sebagai pemantauan terhadap pengelolaan lumpur minyak bumi secara bioremediasi.
Fitoremediasi merupakan bioremediasi yang memanfaatkan tumbuhan untuk memindahkan atau
mengurangi kerusakan karena pencemar. Sengon sebagai tanaman fast growing trees berasosiasi
dengan mikoriza yaitu sejenis jamur yang bersimbiosis dengan akar membantu menurunkan kadar
senyawa toksik dalam lumpur minyak bumi. Parameter keberhasilan fitoremediasi dapat dilihat
dari nilai penurunan kadar senyawa toksik apakah dalam standard bakumutu lingkungan
(Kementerian Lingkungan Hidup, 2003 dan Environmental Protection Agency, 2002)
Biomonitoring seperti Uji Lc-50, Uji LD-50 baik chronis maupun sub-akut serta biopatologi
terhadap hewan uji merupakan pemantauan biologi yang akan menyatakan bahwa hasil
fitoremediasi aman dan ramah lingkungan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan suatu upaya kegiatan pemulihan lingkungan
yang telah tercemar oleh minyak tersebut antara lain melalui pendekatan pemulihan secara biologis
atau dikenal dengan istilah bioremediasi. Keterbatasan bioremediasi adalah bahan yang akan
diremediasi mempunyai khlorin atau logam berat yang sukar didegradasi oleh mikroorganisme,
sehingga dalam medium hasil perlakuan masih meninggalkan sisa logam berat dengan konsentrasi
cukup tinggi. Adanya kandungan logam berat baik dalam lumpur minyak dan medium hasil
bioremediasi akan mempengaruhi penguraian bahan organik, karena akan menghambat kerja
enzim glukosidase, fosfatase, populasi mikroorganisme serta aktivitas enzim lainnya (Garcia et al,
1995) selain itu juga akan menjadi kendala bagi pertumbuhan tanaman. Sehubungan dengan itu
perlu ada upaya menghilangkan terlebih dahulu logam berat yang terdapat dalam limbah sebelum
proses bioremediasi dengan menggunakan adsoben. Oleh karena itu penggunaan zeolit sebagai
adsorben alam penyerap logam berat merupakan penanganan awal sebelum dilakukan proses lebih
lanjut (Prayitno,1999). Zeolit sebagai mineral berpori mempunyai daya serap tinggi karena
mempunyai sifat fisika dan kimia dalam pertukaran ion, sehingga digunakan dalam proses
pemisahan, pemurnian dalam pengolahan lingkungan seperti penyerap dan penyaring limbah
beracun, radioaktif dan logam berat (Manahan,1999). Sebelum digunakan, zeolit harus diberi
perlakuan secara kimia maupun fisika seperti pemanasan dan perendaman dengan asam untuk
memperluas pori sehingga dapat meningkatkan kemampuan daya adsorpsinya secara maksimal.
Pada saat ini telah banyak teknologi yang digunakan dalam pengolahan limbah minyak mulai dari
pengolahan secara mekanis dan kimia, namun masih meninggalkan permasalahan pada kadar
maksimum minyak. Sehingga teknologi ramah lingkungan untuk meminimasi kadar minyak
adalah dengan Solid Bioremediation yaitu secara pengomposan.
Dalam bioremediasi, proses berlangsung dengan memanfaatkan mikroorganisme indigenous
yaitu organisme yang telah ada di lingkungan tersebut. Apabila diperlukan dapat pula ditambahkan
mikroorganisme dari luar (eksogen) yang merupakan kultur (konsorsium) campuran dari berbagai
jenis bakteri, jamur yang potensial dalam mendegradasi pencemar tersebut. Mikroorganisme yang
ada distimulasi dengan berbagai cara agar kemampuannya meningkat, yaitu dengan peningkatan
atau pengaturan nutrien dan tekstur tanah seperti nitrogen, fosfor sedangkan pasir digunakan untuk
menambah porositas dan memperluas kontak dengan lumpur minyak. (Baker and Herson, 1994
;Udiharto dan Sudaryono, 1999). Pengujian tanah hasil bioremediasi diperlukan untuk melihat
seberapa besar pencemar minyak menghambat pertumbuhan tanaman.
Fitoremediasi merupakan konsep bioremediasi terbaru yang memanfaatkan tumbuhan untuk
meminimalisasi pencemar. Mekanisme fisiologi tumbuhan secara molekuler mulai dikembangkan
dengan teknik lingkungan untuk mengoptimalkan dan mengembangkan pengolahan limbah. Hasil
fitoremediasi harus dimonitor secara berkala sehingga area pengelolaan limbah disekitar industri
merupakan blue print aman lingkungan.
Ø Penanganan di laut
1. Pemantauan

Tindakan pertama yang dilakukan dalam mengatasi tumpahan minyak yaitu dengan melakukan
pemantauan banyaknya minyak yang mencemari laut dan kondisi tumpahan. Ada 2 jenis
pemantauan yang dilakukan yaitu dengan pengamatan secara visual dan penginderaan jauh
(remote sensing).
2. Pengamatan secara visual
Pengamatan secara visual merupakan pengamatan yang menggunakan pesawat. Teknik ini
melibatkan banyak pengamat, sehingga laporan yang diberikan sangat bervariasi. Pada umumnya,
pemantauan dengan teknik ini kurang dapat dipercaya. Sebagai contoh, pada tumpahan jenis
minyak yang ringan akan mengalami penyebaran (spreading), sehingga menjadi lapisan sangat
tipis di laut. Pada kondisi pencahayaan ideal akan terlihat warna terang. Namun, penampakan
lapisan ini sangat bervariasi tergantung jumlah cahaya matahari, sudut pengamatan dan permukaan
laut, sehingga laporannya tidak dapat dipercaya.
3. Pengamatan penginderaan jauh

Metode penginderaan jarak jauh dilakukan dengan berbagai macam teknik, seperti Side-
looking Airborne Radar (SLAR). SLAR dapat dioperasikan setiap waktu dan cuaca, sehingga
menjangkau wilayah yang lebih luas dengan hasil penginderaan lebih detail. Namun,teknik ini
hanya bisa mendeteksi lapisan minyak yang tebal. Teknik ini tidak bisa mendeteksi minyak yang
berada dibawah air dalam kondisi laut yang tenang. Selain SLAR digunakan juga teknik Micowave
Radiometer, Infrared-ultraviolet Line Scanner, dan Landsat Satellite System. Berbagai teknik ini
digunakan untuk menghasilkan informasi yang cepat dan akurat.
Ø Penanganan di darat
Pemulihan lahan tercemar oleh minyak bumi dapat dilakukan secara biologi dengan
menggunakan kapasitas kemampuan mikroorganisme. Fungsi dari mikroorganisme ini dapat
mendegradasi struktur hidrokarbon yang ada dalam tanah, sehingga minyak bumi menjadi
mineral-mineral yang lebih sederhana dan tidak membahayakan lingkungan. Teknik seperti ini
disebut bioremediasi. Teknik bioremediasi dapat dilaksanakan secara in-situ maupun cara ex-situ.
Pada umumnya, teknik bioremediasi in-situ diaplikasikan pada lokasi tercemar ringan, lokasi yang
tidak dapat dipindahkan, atau karakteristik kontaminan yang volatil.
Bioremediasi ex-situ merupakan teknik bioremediasi di mana lahan atau air yang
terkontaminasi diangkat, kemudian diolah dan diproses pada lahan khusus yang disiapkan untuk
proses bioremediasi.
Penanganan lahan yang tercemar minyak bumi dilakukan dengan cara memanfatkan
mikroorganisme untuk menurunkan konsentrasi atau daya racun bahan pencemar. Penanganan
semacam ini lebih aman terhadap lingkungan karena agen pendegradasi yang dipergunakan adalah
mikroorganisme yang dapat terurai secara alami. Ruang lingkup pelaksanaan proses bioremediasi
tanah yang terkontaminasi minyak bumi meliputi beberapa tahap yaitu:

1. Treatibility study merupakan studi pendahuluan terhadap kemampuan jenis


mikroorganisme pendegradasi dalam menguraikan minyak bumi yang terdapat di lokasi
tanah terkontaminasi.
2. Site characteristic merupakan studi untuk mengetahui kondisi lingkungan awal di lokasi
tanah yang terkontaminasi minyak bumi. Kondisi ini meliputi kualitas fisik, kimia, dan
biologi.
3. Persiapan proses bioremediasi yang meliputi persiapan alat, bahan, administrasi serta
tenaga manusia.
4. Proses bioremediasi yang meliputi serangkaian proses penggalian tanah tercemar,
pencampuran dengan tanah segar, penambahan bulking agent, penambahan inert material,
penambahan bakteri, nutrisi, dan proses pencampuran semua bahan.
5. Sampling dan monitoring meliputi pengambilan gambar tanah dan air selama proses
bioremediasi. Kemudian, gambar itu dibawa kelaboratorium independen untuk dianalisa
konsentrasi TPH dan TCLP.
6. Revegetasi yaitu pemerataan, penutupan kembali drainase dan perapihan lahan sehingga
lahan kembali seperti semula.

Reaktor Pemisah Minyak


Masalah pencemaran lingkungan merupakan masalah serius bagi manusia dan lingkungan.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa tidak semua limbah yang dihasilkan diolah dan tidak
semua limbah yang diolah telah memenuhi standar baku mutu lingkungan. Contohnya saja minyak
pelumas bekas pada bengkel motor dan mobil masih kurang dalam penanganannya. Untuk itu
diperlukan pengolahan atau pengelolaan yang baik pada buangan sebelum dibuang. Secara umum
tujuan utama dari setiap pengolahan air limbah adalah sebagai berikut :

 Mencegah serta mengurangi timbulnya pencemaran lingkungan.


 Mengubah dan mengkonversikan bahan-bahan yang terkandung di dalam limbah bengkel
menjadi bahan-bahan yang tidak berbahaya atau bahan berguna baik bagi manusia, hewan,
ataupun organisme yang lain melalui proses tertentu.
 Memusnahkan senyawa-senyawa beracun yang terdapat pada limbah bengkel.
Minyak pelumas merupakan salah satu sumber polutan yang dapat mengkontaminasi air tanah,
dan akan merusak kandungan air tanah, bahkan dapat membunuh mikro-organisme di dalam tanah
serta minyak pelumas dapat menghambat proses oksidasi biologi dari sistem lingkungan. Dengan
cara pemakaian reaktor pemisah minyak diharapkan limbah yang sudah tidak dipakai lagi dapat
diolah dengan baik.
Reaktor pemisah minyak pada prinsipnya berbentuk persegi panjang dengan ukuran relatif
kecil. Didalamnya memiliki 4 sekat yang terbuat dari kaca dan diletakkan dengan sudut
kemiringan 60º fungsinya agar terciptanya suatu proses dimana minyak akan menempel pada sekat
yang terbuat dari bahan kaca tersebut, pada proses ini limbah akan melewati sekat – sekat tersebut,
semakin banyak sekat yang dilalui limbah maka semakin banyak minyak yang akan menempel
sehingga kadar minyak dapat turun.
Minyak termasuk salah satu anggota golongan lipid yaitu merupakan lipid netral (Ketaren,
1986). Emulsi air dalam minyak terbentuk jika droplet-droplet air ditutupi oleh lapisan minyak
dimana sebagian besar emulsi minyak tersebut akan mengalami degradasi melalui foto oksidasi
spontan dan oksidasi oleh mikroorganisme. Jika pencemaran minyak terjadi dipantai maka proses
penghilangan minyak mungkin lebih cepat karena minyak akan melekat pada benda-benda padat
seperti batu dan pasir di pantai yang mengalami kontak dengan air yang tercemar tersebut.
(Srikandi, 1992). Suatu perairan yang terdapat minyak di dalamnya maka minyak akan selalu
berada di atas permukaan air hal ini dikarenakan minyak tidak larut dalam air dan berat jenis
minyak lebih kecil dari pada berat jenis air. Apabila minyak tidak diolah terlebih dahulu sebelum
dibuang ke badan air penerima, maka akan membentuk selaput. Minyak akan membentuk ester
dan alkohol atau gliserol dengan asam gemuk. Gliseril dari asam gemuk dalam fase padat maka
dikenal dengan nama lemak, sedangkan apabila dalam fase cair disebut minyak (Sugiharto, 1987).
Ada dua macam emulsi yang terbentuk antara minyak dan air, yaitu emulsi minyak dalam air dan
emulsi air dalam minyak. Emulsi minyak dalam air terjadi jika droplet-droplet minyak terdispersi
di dalam air dan distabilkan dengan interaksi kimia dimana air menutupi permukaan droplet-
droplet tersebut. Hal ini terjadi terutama di dalam air yang berombak, dan droplet minyak tersebut
tidak terdispersi pada permukaan air, melainkan menyebar di dalam air. Beberapa droplet minyak,
terutama yang berikatan dengan partikel mineral, menjadi lebih berat dan akan mengendap ke
bawah.
Emulsi air dalam minyak terbentuk jika droplet-droplet air ditutupi oleh lapisan minyak, dan
emulsi ini distabilkan oleh interaksi di antara droplet-droplet air yang tertutup. Emulsi semacam
ini terlihat sebagai lapisan yang mengapung pada permukaan air dan lekat, dan terkadang karena
kandungan air di dalam droplet-droplet minyak tersebut cukup tinggi maka total volumenya
menjadi lebih besar dibandingkan dengan minyak aslinya.
Sebagian besar emulsi minyak tersebut kemudian akan mengalami degradasi melalui foto
oksidasi spontan dan oksidasi oleh mikroorganisme. Mikroorganisme merupakan organisme yang
paling berperan dalam dekomposisi minyak di laut. Setelah kira-kira tiga bulan, hanya tinggal 15%
dari volume minyak yang mencemari air masih tetap terdapat di dalam air.
Lapisan minyak yang berada di permukaan air akan mengganggu kehidupan organisme di
dalam air hal ini dikarenakan :

 Lapisan minyak pada permukaan air akan menghalangi difusi oksigen dari udara ke dalam
air sehingga jumlah oksigen terlarut di dalam air akan menjadi berkurang. Berkurangnya
kandungan oksigen dalam air akan mengganggu kehidupan organisme yang berada di
perairan.
 Dengan adanya lapisan minyak pada permukaan air akan menghalangi masuknya sinar
matahari ke dalam air sehingga proses fotosintesis oleh tanaman air tidak dapat
berlangsung.
 Air yang telah tercemar oleh minyak tidak dapat dikonsumsi oleh manusia dikarenakan
pada air yang mengandung minyak tersebut dapat mengandung zat-zat yang beracun
seperti senyawa benzen dan toluen.

Minyak berasal dari kandungan lemak, dimana lemak sendiri adalah fungsi atau sifat
Prostaglandin yang dapat terbentuk dengan proses pelingkaran dan peroksigenan dari asam lemak
tak jenuh dengan banyak ikatan C = C yang menyebabkan mudah terbakar dan menimbulkan nilai
kalor tertentu. Minyak terdiri dari 3 macam, yaitu :

 Minyak mineral, dalam minyak ini terkandung senyawa-senyawa Hidrokarbon.


 Minyak essensial (minyak asiri).
 Minyak fixed, yaitu tidak mudah menguap (Trigilliserida).
Tujuan pengolahan menggunakan reaktor pemisah minyak untuk menurunkan atau
mengurangi konsentrasi Minyak pada limbah yang berasal dari bengkel motor dan mobil di
Yogyakarta. Proses yang dilakukan adalah mengalirkan limbah ke dalam reaktor pemisah minyak,
limbah akan melewati sekat-sekat yang berada dalam reaktor. Pada saat melewati sekat-sekat
tersebut disinilah terjadi proses pemisahan minyak, minyak akan menempel pada sekat yang
terbuat dari bahan kaca. Pada kolom pertama konsentrasi minyak masih tinggi karena hanya
melewati satu sekat saja. Pada kolom kedua limbah akan melewati sekat lagi, dikolom kedua ini
konsentrasi minyak telah berkurang tidak pekat seperti pada kolom pertama. Konsentrasi minyak
akan terus berkurang setelah limbah melewati kolom ketiga dan keempat. Setelah melewati proses
pemisahan, untuk menurunkan kadar minyak maka digunakan dua varian, yaitu zeolit dan karbon
aktif. Limbah akan dialirkan ke reaktor zeolit dan reaktor karbon aktif. pada zeolit dan karbon aktif
limbah yang masih mengandung minyak akan mengalami adsorbsi sehingga kandungan minyak
akan semakin turun.
Limbah akan diolah menggunakan reaktor pemisah minyak, sebelum limbah dialirkan ke
reaktor pemisah minyak, dilakukan penambahan air sebanyak 20 % dari total volume limbah
bengkel. Penambahan air ini dimaksudkan agar minyak yang terlarut dalam air dapat terurai dan
terpisah, serta untuk mempermudah minyak membentuk suatu lapisan minyak atau mempercepat
bergabungnya antar molekul minyak yang memiliki berat jenis yang sama yaitu 0,85. Sehingga
konsentrasi minyak yang larut dalam air dapat berkurang dan minyak yang terapung akan menjadi
lebih banyak, serta untuk mengurangi sifat limbah bengkel yang pekat agar dapat dialirkan ke
reaktor pemisah minyak.
Pengolahan limbah bengkel menggunakan reaktor pemisah minyak ini adalah pengolahan
secara fisika, serta berdasar pada prinsip gravitasi dan berat jenis molekul. Dimana limbah
ditampung pada reservoar lalu dialirkan menuju reaktor pemisah minyak. Dalam reaktor pemisah
minyak terdapat empat ruang sekat yang disusun dengan kemiringan 60°, yang berfungsi
menambah luas penampang lintang dari aliran atau mengurangi lintasan butiran partikel minyak
ke permukaan, dan pembentukan lapisan minyak dapat terjadi lebih cepat serta untuk menciptakan
suatu aliran yang laminer. Limbah yang masuk ke dalam reaktor akan melewati sekat-sekat yang
terbuat dari kaca. Disinilah terjadi proses fisika pemisahan antara minyak dan air. Karena minyak
akan melekat pada benda-benda padat dan karena minyak memiliki viskositas yang cukup kental
serta sekat yang terbuat dari bahan kaca memiliki permukaan yang kasat maka minyak yang
melewati sekat kaca ini akan menempel pada kaca sehingga konsentrasi minyak akan berkurang
dan akan terus berkurang setelah melewati sekat yang lainnya. Berdasarkan prinsip gravitasi
dimana minyak memiliki berat jenis yang lebih kecil yaitu 0,85 dari pada berat jenis air yaitu 1,
maka minyak akan terapung diatas air. Pada saat penelitian, setelah limbah masuk pada reaktor
terjadi pembentukan droplet-droplet minyak, dikarenakan sekat dengan kemiringan 60° sehingga
terciptanya aliran yang laminer pada reaktor, pada saat aliran laminer inilah minyak akan terpisah
dari air, minyak terapung dan dikeluarkan melalui pipa pembuangan minyak yang berada pada
reaktor pemisah minyak.
Limbah yang terdapat dalam reaktor akan terjadi emulsi, yaitu emulsi air dalam minyak.
Emulsi air dalam minyak terbentuk droplet-droplet air ditutupi oleh lapisan minyak, dan emulsi
ini distabilkan oleh interaksi di antara droplet-droplet air yang tertutup. Emulsi ini terlihat sebagai
lapisan yang mengapung pada permukaan air dan lekat sehingga minyak akan menempel pada
kaca. Seperti pada penelitian sebelumnya dalam melakukan pemisahan minyak , bahan yang
digunakan sebagai penangkap minyak yaitu bahan yang terbuat dari viber plastik yang disusun
berlapis-lapis. Pada penelitian ini melakukan proses pemisahan kadar minyak yang terdapat pada
limbah bengkel, dimana limbah pada bengkel berasal dari proses pencucian karburator motor,
pembersihan mesin, dan sisa-sisa oli pada proses penggantian oli mesin. Untuk proses pemisahan
minyak menggunakan reaktor pemisah minyak, dengan menggunakan reaktor yang bermedia
zeolit dan karbon aktif. Faktor waktu detensi atau waktu tinggal juga mempengaruhi pada proses
pemisahan minyak, menurut (Ondrey, 2006) waktu tinggal yang diperlukan hanya sekitar 30
menit, maka droplets minyak akan terpisah dari air. Pada penelitian ini kondisi aliran laminer,
sebagai akibat adanya sekat-sekat yang mengurangi lajunya aliran yang masuk ke dalam reaktor
pemisah minyak.
Prinsip Pemisahan Minyak Pada Oil trap
Sebuah studi telah dilakukan untuk mengolah air yang terkontaminasi oleh minyak dengan
menggunakan kolam perangkap minyak (Oil Trap). Pengolahan yang diterapkan untuk pemisahan
minyak yang tercampur dalam air buangan adalah pengolahan secara fisika, yakni melalui prinsip
gravitasi berdasarkan perbedaan massa jenis antara air dan minyak. Partikel yang tersuspensi
dalam larutan akan tenggelam atau naik/terapung. Hal ini tergantung dari perbedaan berat jenis
tersebut. Sedimen kasar akan mengendap di dasar kolam perangkap dan minyak akan mengapung,
sedangkan air yang telah berpisah dengan minyak tersebut dibuang ke outlet.
Pada pemisahan minyak dan air, kecepatan naiknya butir minyak akan mencapai konstan bila
gaya dorong ke atas akibat adanya perbedaan berat jenis sama dengan tahanan gerak fluida saat
bergerak. Hal ini tergantung dari berat jenis, viskositas fluida dan ukuran butiran minyak.
Perbandingan Proses Reaktor Pemisah Minyak dengan Kolam Perangkap Minyak (Oil
Trap)
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa teknologi oil trap merupakan pengolahan pemisahan
minyak-air secara fisika, menggunakan prinsip gravitasi. Sama hal nya dengan reakor pemisah
minyak pemisahan dilakukan secara fisika dalam proses pemisahan minyak, dan menggunakan
prinsip gravitasi, serta berdasarkan pada berat jenis molekul antara air dan minyak. Tetapi oil trap
hanya berupa kolam atau kompartemen yang di dalamnya hanya ruang kosong, sedangkan pada
reaktor pemisah minyak di dalamnya terdapat sekat-sekat sebagai alat penangkap minyak. Proses
terjadinya pemisahan minyak pada oil trap yaitu setelah ruang yang terdapat di dalam kolam terisi
penuh, dimana alirannya horizontal yang rendah dan laminer akan memberikan waktu tinggal bagi
butir-butir minyak untuk terpisah bergabung membentuk lapisan minyak (oil layer) yang akan
mengapung. Maka antara minyak dan air dapat dipisahkan, minyak memiliki berat jenis yang lebih
kecil dari pada air sehingga posisi minyak akan berada di atas air dan minyak akan di buang
melalui outlet.
Pada reaktor pemisah minyak, minyak akan menempel pada sekat-sekat yang terdapat dalam
reaktor pemisah minyak. Sekat ini berfungsi mengurangi lintasan butiran partikel minyak ke
permukaan sehingga butiran minyak yang telah terkumpul dibawah sekat dapat mengumpul lebih
lanjut ke atas permukaan air, dan minyak yang terkumpul pada permukaan akan dibuang melalui
pipa penangkap minyak.
Pada penelitian menggunakan oil trap, pengukuran konsentrasi minyak dalam air diperoleh
data dan efisiensi selama penelitian yaitu pada inlet sebesar 230 ppm, dengan oulet sebesar 28
ppm. Menurut KEP – 51 / MENLH / 10 / 1995 Golongan 2 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi
Kegiatan Industri sebesar 50 ppm. Dan rata-rata prosentase 99,57 % (Wahyuni, 2006). Sedangkan
prosentase pada reaktor pemisah minyak rata-rata sebesar 45,10 %. Dimana limbah yang diolah
menggunakan oil trap, minyak yang larut dalam air kurang dari 10 ppm, kebanyakan terpisah dan
mengapung dipermukaan air. Pada oil trap juga memiliki waktu detensi yang lama yaitu 2 jam.
Limbah yang diolah pada oil trap tidak hanya limbah nikel saja, tetapi limbah dari hasil pencucian
bengkel-bengkel pabrik, ceceran oli pada bengkel, serta limbah dari hasil pencucian kendaraan.
Sehingga prosentase efisiensinya mencapai 99,57 %. Pada reaktor pemisah minyak memiliki kadar
inlet 49 mg/l. Dimana pada limbah bengkel sebagian besar minyak larut dalam air dan hanya
sebagian kecil saja yang terapung di atas permukaan air, dan sulit untuk dipisahkan sehingga
efisiensi penurunan reaktor pemisah minyak hanya 45,10 %, dibandingkan dengan oil trap yang
sebagian besar minyaknya terpisah dan terapung di permukaan air dan mudah untuk dipisahkan.
Sehingga digunakan media karbon aktif dan zeolit untuk memisahkan atau menyerap minyak yang
terlarut dalam air, sehingga prosentase dari efisiensi reaktor pemisah minyak hanya 45,10 %.
Untuk prosentase efisiensi pada reaktor zeolit sebesar 57,09 %, prosentase ifisiensi pada reaktor
karbon aktif sebesar 61,17 %.
Dari data dan hasil perbandingan diatas, kedua teknologi tersebut memiliki kemampuan yang
efektif dalam pemisahan antara minyak dan air. Pada reaktor pemisah minyak memiliki media
tambahan yaitu karbon aktif dan zeolit sebagai adsorbennya.

DAFTAR PUSTAKA
Anonym. Oil, Water and Chocolate Mousse.(1994). Ottawa, Ontario: Environment Canada. Pages
22-24.
Annual Book ASTM Standard, American Society for Testing and Materials, 1999. Volume 05.01
Petroleum Product and Lubricants (1), West Conshohocken, P.A.
Assegaf, 1993. Nilai Normal Faal Paru Orang Indonesia Pada Usia Sekolah dan Pekerja Dewasa
Berdasarkan Rekomendasi American Thoracic Society (ATS) 1987, Airlangga University
Press. Surabaya.
Baker, K.H & D. S. Herson. 1994. Bioremediation. USA : McGraw-Hill, Inc. 1-5, 12-30, 180-181,
211-224.
BAPEDAL, 2001. Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.Badan Pengendali Dampak
Lingkungan. Jakarta.
Connel, D.W. & G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta. UI Press.
Corseuil, H.X & F.N. Moreno. 2000. Phytoremediation Potential Of Willow Trees For Aquifers
Contaminated With Ethanol-Blended Gasoline. Pergamon Press. Elsevier Science Ltd.
Damanhuri, E. (1993/1994). Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun. Bandung: Teknik
Lingkungan-ITB, Bandung.
Dhahiyat, Y. 1990. Kandungan Limbah Cair pabrik tahu dan pengolahannya dengan eceng gondok
(Eichhornia crassipes (Mart) Solms). Jurnal Lingkungan & Pembangunan (Environment &
Development) Volume 11, Nomor 1. Pusat Studi Lingkungan Perguruan Tinggi seluruh
Indinesia. Jakarta.
D.W. Connel, G.J. Miller, CRC Crit. Rev. Environ. Control 11 (1981)105.
Eweis, J.B., S.J. Ergas., D.P.Y. Chang & E.D. Schroeder. 1998. Bioremediation Principles.
Singapore. WCB McGraw-Hill.
Garcia, C., J. L. Moreno, T. Hernandez & F. Costa. 1995. Effect Composting Sewage Sludges
Contaminated With Heavy Metals. J. Bioresource Technology, 53:13-19.
Gunalan. 1996. Penerapan Bioremediasi pada Pengelohan Limbah dan Pemulihan Lingkungan
Tercemar Hidrokarbon Petroleum. Majalah Sriwijaya. UNSRI. Vol 32, No 1.
G.J. Miller,J. Apll. Toxicol 2 (1982) 88.
G.S. Sidhu, Nature and effect of a kerosene like toint in mullet (Mugil cephalus), FAO Rome,
FIR:MP/70/E-39, 1970, p.99.
Imamkhasani, S. 1998. Lembar Data Keselamatan Bahan, Volume I, Puslitbang Kimia Terapan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bandung.
J. Bagg, J.D. Smith, W.A. Maher, Aust.J.Mar. Fresh-water Res. 32 (1981) 65.
J.M. Neff, Polycyclic Aromatic Hydrocarbons in the Aquatic Environment, Applied Science
Publisher, London, 1979.
J.W. Farrington, P.A. Meyers, In: G. Eglinton (Ed.). Environment Chemistry Vol.1, The Chemical
Society, London, 1975, p.109.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2003. Pengelolaan limbah minyak bumi secara biologi. Badan
Pengendali Dampak Lingkungan, Jakarta.
Kementrian KLH, Keputusan Menteri Nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut,
Kementrian KLH, Jakarta, 2004.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UII Press. Jakarta.
Khan, A.G., C. Kuek., Chaudrhry., C.S. Khoo & W.J. Hayes. 2000. Role of Plant, Mycorrhizae
and Phytochelator in Heavy Metal Contaminated Land Remediation. Chemosphere 41:197
– 207.
K. Sumadhiharga, Lingkungan & Pembangunan 15 (1995) 376.
Lasari, D.P., 2010. Bakteri, Pengolah Limbah Minyak Bumi yang Ramah Lingkungan, Fakultas
Sains & Teknik Universitas Soedirman.
Marsaoli, M., 2004. Kandungan Bahan Organik, N-Alkana, Aromatik Dan Total Hidrokarbon
Dalam Sedimen Di Perairan Raha Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, Makara, Sains,
Vol. 8, No. 3.
M. Mulyono, Makalah Kursus Pencemaran Laut P3O-LIPI, Jakarta, 1988.
Ondrey, G. 2006. Improved oil-water separation. Journal of Chemical Engineering. University of
New South Wales. Australia. Vol. 113, Iss. 1; pg. 16, 1 pgs.
PERTAMINA (2001). Pedoman Pengelolaan Limbah Sludge Minyak Pada Kegiatan Operasi
Pertamina. Jakarta: Pertamina.
Peter, Max. And Clous D. Timeraus, 1989. Plant Design and Economic For Chemical Engeener,
International Edition, Singapore.
Prijambada, I.D., Jaka, W., 2006. MITIGASI DAN BIOREMEDIASI LAHAN TAMBANG
MINYAK, Seminar Nasional PKRLT Fakultas Pertanian UGM, Sabtu 11 Feb 2006.
R.C. Clark Jr., W.D. Macleod Jr., In: D.C. Malins (Ed.), Effects of petroleum on arctic and
subarctic marine environments and organisms, vol. I, Academic Press, New York, 1977.
Rossiana, N. 2005. Penggunaan zeolit, kultur bakteri dan mikoriza dalam fitoremediasi Lumpur
minyak bumi dengan tanaman sengon ( Paraserianthes falcataria L. Nielsen Laporan
Penelitian RUT XI 2004.
Rossiana, N., Supriatun, T., Dhahiyat, Y., 2007. Fitoremediasi Limbah Cair Dengan Eceng
Gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms) Dan Limbah Padat Industri Minyak Bumi
Dengan Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) Bermikoriza, Laporan Penelitian
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran.
Salt, D.E., R.D. Smith & I. Raskin. 1998. Annual Review Plant Physiology and Plant Molecular
Biology : Phytoremediation. Annual Reviews. USA. 501–662.
Setiani, O. 2005. Kesehatan Lingkungan Industri, Program Magister Kesehatan Lingkungan
Universitas Diponegoro, Semarang.
Srikandi, F. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.
Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. UI Press. Jakarta.
Susilo, 2006. Studi Penanganan Limbah Solvent Sisa Analisis Acidity Untuk Pengendalian
Pencemaran Lingkungan Di Pertamina UP IV Cilacap, Tesis Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro Semarang.
Udiharto, M., dan Sudaryono. 1999. Bioremediasi Terhadap Tanah Tercemar Minyak Bumi
Parafinik dan Aspak. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah dan
Pemulihan Kerusakan Lingkungan-BPPT, Jakarta. 121-132.
V. Soesanto, Water Pollution, Corespondence-course Central, Jakarta, 1973, 1.
W.A. Maher, J. Bagg, D.J. Smith, Int. J. Environ. Anal. Chem. 7 (1979) 1.
Yani, M., Agung, D.S., Fitria, R.E., Nastiti, S.I., 2007. Pengembangan Bioremendasi Dengan
Teknik Slurry Bioreaktor Untuk Pengolahan Sludge I Sedimen Tercemar Minyak Bumi,
Seminar Nasional Perhimpunan Perikanan dan IImu Kelautan Indonesia Bogor.

Anda mungkin juga menyukai