Anda di halaman 1dari 51

perpustakaan.uns.ac.

id

digilib.uns.ac.id

BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

2.1 Pengertian Penerjemahan


Ada banyak pendapat dari para ahli mengenai konsep penerjemahan,

salah satu

diantaranya adalah Catford (1965:20) yang mendefinisikan penerjemahan sebagai The


repalcement of textiual material in one language (SL) by equivalent textual material in another
language (TL). Di sini Catford belum menyentuh tataran makna melainkan hanya menekankan
pada proses pengalihan pesan tertulis dari satu bahasa ke bahasa lain. Hal senada juga
diungkapkan oleh Newmark (1981: 7). Hal lain dari bahasa sumber yang perlu diperhatikan
namun belum diungkapkan kedua ahli tersebut adalah

gaya

dan

juga

budaya

yang

menyertainya.
Pendapat berikutnya yang sudah mencakup hal-hal tersebut berasal dari Nida dan dan
Taber (1982:12) yang menyatakan bahwa "Translation consists in reproducing in the
receptor language closest natural equivalent of source language message, first in terms of
meaning and secondly in terms of style". Larson (1989: 1) dan Brislin (1976: 1) juga
mengungkapkan hal yang senada.

Ketiga ahli penerjemahan tersebut menggaris bawahi

bahwasanya penerjemahan adalah pengungkapan kembali pesan dari bahasa sumber ke


dalam bahasa sasaran dengan mengutamakan isi pesan dan kemudian gaya bahasa yang
digunakan. Sementara itu Mason dalam Munday (2001: 1) menyatakan bahwa penerjemahan
adalah an act of communication which attempts to relay, across cultural and linguistic
boundaries, another act of communication (which may have been intended for different purposes
and different readers/hearers).

commit to user
15

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa penerjemahan


bukan hanya sebuah kegiatan untuk mengalihkan teks bahasa sumber ke dalam bahasa
sasaran, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek lain seperti makna, jenis teks, gaya
bahasa dan budaya yang melingkupi teks tersebut.
2.1.1 Penerjemahan Video Game
Sebuah game yang berjudul Zero Wing telah menjadi ikon penerjemahan videogame
sepanjang masa karena kesalahan gramatika dalam penerjemahannya. Kesalahan yang dimaksud
adalah pada tulisan all your base are belong to us. Saking tenarnya kesalahan ini sampai-sampai
kalimat itu secara tidak resmi diakronimkan menjadi frasa dalam bahasa Inggris, AYBABTU,
yang merujuk kepada kesalahan dalam penerjemahan sebuah video game. Kesalahan ikonik ini
juga telah menginspirasi Harold Goldberg untuk menulis buku yang membahas pentingnya
posisi video game dalam budaya populer dengan judul All Your Base Are Belong to Us: How
Fifty Years of Videogames Conquered Pop Culture.

Gambar 2.1 Kesalahan penerjemahan yang ikonik dari Zero Wing


commit to user
16

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Tidak hanya Zero Wing yang menderita dari kesalahan penerjemahan. Terdapat beberapa video
games lainnya yang memiliki kesalahan penerjemahan yang sama atau lebih parah daripada
terjemahannya Zero Wing. Metal Gear, sebelum menjadi franchise besar seperti sekarang,
pernah memiliki kesalahan dalam penerjemahan. Kesalahannya terletak pada penggunaan
ekspresi yang biasanya diucapkan oleh orang barat saat mengantuk yaitu I feel sleepy.
Penerjemahnya salah menerjemahkan menjadi I feel asleep.

Gambar 2.1 Kesalahan penerjemahan dalam Metal Gear


Walaupun secara gramatika benar, terjemahan di atas salah dalam pengalihan pesan budayanya.
Kesalahan lainnya adalah pada videogame Zelda II: The Adventures of Link. Pada game ini,
Link, sang tokoh utama, sebenarnya ingin mengakui kesalahannya dengan mengatakan I am

commit to user
17

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

wrong tetapi penerjemahnya salah dalam memilih diksi yang tepat. Bukannya memilih wrong,
penerjemahnya memilih kata error sehingga dialognya menjadi I am Error.

Gambar 2.2 Kesalahan penerjemahan dalam Zelda II


Selain kesalahan yang berhubungan dengan tata bahasa dan kosa kata, terdapat kesalahan lain
yang berhubungan dengan logika. Salah satu contohnya adalah terjemahan pada game Resident
Evil. Di dalam game ini terdapat dialog yang berbunyi Jill, why dont you, the master of
unlocking, take this lock pick. Walaupun secara gramatika tidak ada yang salah, dialog ini bisa
dikatakan salah jika dikaitkan dengan penggunaannya di dunia nyata. Di dunia nyata, kalimat yang
memiliki banyak anak kalimat yang dipisahkan oleh koma seperti dialog di atas tidak realistis.
Karena video game adalah refleksi dunia nyata, asumsi umum yang diambil adalah bahwa segi
realistisnya tidak hanya direpresentasikan lewat grafik yang realistis namun juga dialog yang
realistis.
Dari sudut pandang penerjemah yang tidak pernah main game atau belum pernah
menerjemahkan sebuah videogame, kesalahan ini mungkin akan dipandang sebagai suatu bukti
commit to user
18

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

akan buruknya kualitas sang penerjemah. Namun, dari sudut pandang penerjemah yang sudah
pernah menerjemahkan sebuah game, kesalahan ini mungkin akan dipandang sebagai sesuatu yang
bisa dimaklumi. Alasannya adalah bahwa menerjemahkan videogame memiliki tingkat kesulitan
yang berbeda dari menerjemahkan produk lainnya. Seorang penerjemah videogame (untuk game
shoot em up seperti Zero Wing) biasanya diminta untuk menyelesaikan seluruh proses lokalisasi
(yang di dalamnya terdapat proses penerjemahan) dalam waktu 48 jam (Translate Media, 2011).
Game shoot em up adalah genre game yang bertemakan tembak menembak; pemain harus
tangkas dan jeli dalam menembak untuk menghancurkan musuh yang menghadang.
Batas waktu yang sempit untuk game shoot em up biasanya dikarenakan penerbitnya
berkeinginan untuk meluncurkan game-nya yang versi asli dan terjemahan secara serentak. Jenis
penerjemahan yang tergantung dengan strategi semacam ini disebut dengan sim-ship (OHagan,
2005). Salah satu contoh videogame yang penerbitannya menggunakan model sim-ship ini
adalah Street Fighter IV. Keuntungan dari model ini adalah:
1) Menghemat waktu
Menghemat waktu karena proses penerjemahannya dilakukan sejalan dengan proses
pembuatan gamenya.
2) Menghemat ongkos produksi
Menghemat ongkos produksi karena biasanya game yang sim-ship hanya diterjemahkan
dalam bentuk subtitle bukan dalam bentuk dubbing atau voice over.
3) Mudah di-porting ke mesin game yang lain
Karena sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, pemindahan (porting) dari satu
mesin game ke mesin game yang lain hanya akan mengurusi masalah penjualan saja.
4) Profit lebih besar

commit to user
19

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Karena diluncurkan secara serentak, game yang diluncurkan tersebut terkadang dibeli
oleh gamer dengan tanpa melihat ulasan (review) mengenai game tersebut yang mungkin
akan memberikan penilaian yang buruk terhadap game tersebut.
(Chris dengan modifikasi, 2010).
Walaupun memiliki keuntungan, sim-ship juga memiliki kelemahan. Kelemahan simship adalah:
1. Waktu yang terbatas semakin memperbesar kemungkinan kesalahan dalam
penerjemahan
2. Game multi linear, game dengan ending lebih dari satu, seperti RPG (Role Playing
Video Game) akan sulit dipahami konteks ceritanya karena waktu yang terbatas
(OHagan, 2005)
3. Penerjemah tidak bisa mencoba memainkan game yang akan diterjemahkan karena
alasan kerahasiaan dan keamanan sehingga penerjemah kurang bisa maksimal dalam
memahami game yang akan diterjemahkan.
Selain sim-ship, terdapat pula non simultaneous shipment (non sim-ship), dan international atau
final mix. Jika sim-ship, versi asli dan terjemahan diterbitkan secara serentak, non-sim ship
memiliki jeda waktu sampai bulanan antara versi asli dan terjemahannya. Sedangkan
international adalah versi tambahan yang disiapkan jika video game-nya laku keras (OHagan,
2005). Selain waktu yang terbatas, permasalahan yang timbul dari penerjemahan videogames
baik itu dilakukan dalam model sim-ship, non sim-ship, ataupun international adalah bahwa
penerjemahan videogames harus dikerjakan dalam lingkup lokalisasi.

commit to user
20

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Hoft dalam Thayer dan Kolko berkata bahwa lokalisasi adalah proses menciptakan atau
mengadaptasi sebuah produk yang ditujukan kepada negara atau konsumen tertentu (2004).
Karena ditujukan untuk konsumen tertentu, produk hasil lokalisasi, sesuai implikasi dari nama
lokalisasi, akan memiliki nuansa lokal. Proses untuk melokalkan nuansa sebuah produk ini
mencakup semua elemen yang terdapat di dalam produk yang dilokalisasi tersebut. Dalam
lingkup videogames, tidak hanya elemen di dalam cerita yang dilokalisasi namun juga elemen
operasional. Elemen cerita yang dilokalisasi biasanya berkutat pada nama karakter, nama barang
(item), terkadang juga alur ceritanya serta judul game-nya.

Gambar 2.3 Zidane dari Final Fantasy IX adalah salah satu contoh yang mengalami
lokalisasi pada nama
Gambar di atas adalah Zidane Tribal, tokoh utama Final Fantasy IX. Saat game-nya dilokalisasi
ke Eropa, namanya harus dirubah menjadi Yitan untuk gamer Spanyol, Gidan untuk Italia, dan
Djidane untuk Perancis. Perubahan ini dimaksudkan untuk menghindari kemiripan nama dengan
Zinedine Zidane seorang bintang sepak bola Eropa (Translate Media, 2011). Selain nama tokoh,

commit to user
21

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

nama barang (item) juga seringkali mengalami lokalisasi. Contohnya adalah nama-nama
perlengkapan yang dimiliki oleh karakter utama Final Fantasy IV, Cecil Harvey, yang pada versi
bahasa Jepangnya hampir semuanya berawalan dengan Shadow (kage) dan Black (kuro).
Nama-nama ini agak berubah setelah game-nya dijual di Amerika. Dalam bahasa Inggrisya kage
dan kuro diganti dengan awalan Demon, Hades, dan Devil (Matrotee, 2012).

Gambar 2.4 Cecil Harvey sang Dark Knight


Cecil Harvey adalah seorang Dark Knight oleh karena itu untuk memperkuat kesan kegelapan
dari dalam dirinya, semua armor dan senjatanya berwarna hitam dan memiliki nama yang
berunsur kegelapan. Versi Inggrisnya tidak menggunakan nama kage dan kuro melainkan
menggunakan Hades, Demon, dan Devil dengan tujuan untuk menyelaraskan dengan

commit to user
22

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

keberterimaan lokal yang merepresentasikan kegelapan dengan nama dewa kegelapan dan nama
setan serta iblis. Asumsi ini diperoleh dengan munculnya beberapa tokoh fiksi dengan namanama tersebut di atas di Amerika seperti Hades, Dare Devil, Etrigan the Demon, dan masih
banyak yang lainnya.
Ketiganya memiliki kesamaan dengan Cecil Harvey dalam beberapa hal. Pertama, samasama memiliki kekuatan yang berhubungan dengan kegelapan. Kedua, sama-sama memiliki
masa lalu yang gelap. Ketiga, sama-sama kurang bisa diterima oleh masyarakat umum karena
kegelapannya tersebut. Perbedaan utamanya adalah bahwa Hades masuk kategori villain,
Daredevil adalah seorang yang buta, dan Etrigan bisa dikatakan memang seorang setan. Selain
nama barang (item), elemen cerita yang kadang kala mengalami lokalisasi adalah alur ceritanya.
Biasanya perbedaan alur cerita tidak merubah cerita secara keseluruhan. Alur cerita yang
berbeda biasanya disebabkan oleh sensor ketat terhadap game tersebut. Contohnya adalah kasus
Hot Coffee-nya Grand Theft Auto San Andreas. Di dalamnya terdapat alur cerita yang
menunjukkan hubungan seksual antara tokoh. Alur cerita ini karena mengandung visualisasi seks
yang eksplisit hanya bisa dibuka dengan kode tertentu. Walaupun disembunyikan, visualisasi ini
tidak mempengaruhi alur cerita secara keseluruhan.
Elemen cerita berikutnya yang seringkali mengalami lokalisasi adalah judul game.
Beberapa contohnya adalah Dewprism yang berubah menjadi Threads of Fate, Tales of Eternity
yang berubah menjadi Tales of Destiny II, Genso Suikoden yang berubah menjadi Suikoden,
Dragon Quest yang berubah menjadi Dragon Warrior dan lain sebagainya.
Perubahan judul games bentuknya bervariasi: berubah seluruhnya seperti pada kasus
Dewprism yang berubah menjadi Threads of Fate dan berubah sebagian seperti pada Tales

commit to user
23

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Eternia yang berubah menjadi Tales of Destiny II dan serial Genso Suikoden yang berubah
menjadi Suikoden. Dibalik perubahan judul tersebut, terdapat beberapa alasan yang
melatarbelakanginya. Alasan yang mendasari perubahan judul games biasanya adalah alasan
komersial, alasan budaya, dan alasan legalitas (Gustafsson, 2007). Judul Dewprism memiliki
tingkat keabstrakan yang tinggi yang ditakutkan tidak memiliki nilai komersial sehingga
dirubahlah menjadi Threads of Fate yang lebih merepresentasikan isi game-nya untuk konsumen
Amerika. Demikian juga dengan Tales of Destiny II yang dirubah dari Tales of Eternia. Judul
Tales of Destiny II merujuk kepada seri sebelumnya yaitu Tales of Destiny yang sukses secara
komersial. Karena ingin mempertahankan kesuksesannya tersebut, saat seri Tales yang lain
dilokalisasi, dirubahlah judulnya menjadi Tales of Destiny II. Serial Genso Suikoden memiliki
nama yang susah diucapkan oleh lidah orang yang berbahasa Inggris. Oleh karena masalah
budaya ini, judulnya dipotong menjadi Suikoden. Saat Dragon Quest masuk ke Amerika, di
Amerika sudah terdapat judul game yang sama sehingga Dragon Quest harus diganti dengan
Dragon Warrior untuk menghindari masalah legalitas (Nintendo Power, 2008).
Namun ada juga kasus dimana lokalisasi bukan berarti mengubah bahasa dan budaya
sebuah produk ke bahasa dan budaya sasaran, melainkan mengubah bahasa dan budaya sebuah
produk ke bahasa dan budaya sasaran dalam konteks game tersebut. Seperti diungkapkan
Huddleston bahwa beberapa game memiliki sequel atau prequel sehingga ketika melokalisasi
gametersebut harus ada konsistensi dalam menerjemahkan kata atau istilah yang muncul dalam
tiap seri game tersebut (2012). Sebagai contoh, dalam game Assasins Creed yang sekarang
sudah memasuki seri ke tiga, sang tokoh utama selalu memiliki senjata khusus yang disebut
hookblade. Ketika melokalisasikan game ini ke Portugis Huddleston tidak mengubahnya ke
bahasa Portugis menjadi lmina-gancho, tetapi tetap menggunakan nama Inggris dari senjata ini.

commit to user
24

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Hal ini dilakukan karena menurut pengamatan yang dia lakukan terhadap game ini dari forumforum gamer di Portugis, gamer disana menggunakan hookblade untuk mengacu ke senjata ini,
bukan versi Portugisnya. Hal ini terjadi karena dua seri game ini sebelumnya belum pernah
dilokalisasi ke bahasa Portugis sehingga gamer sudah terlanjur familiar dengan istilah dalam
bahasa Inggrisnya.

Gambar 2.6 Hookblade dalam game Assasin's Creed


Semua perubahan di atas adalah hasil dari proses lokalisasi yang bertujuan untuk
membuat sebuah produk asing diterima oleh target pengguna dari budaya lainnya. Dengan
melokalisasi sebuah produk, bisa dikatakan bahwa pembuat produk tersebut menghargai
konsumen yang akan memakainya karena membuat produknya tidak lagi berasa asing. Hal ini
selaras dengan pendapat Robert Gustafsson dalam Localization of Computer Games yang
mengatakan bahwa tujuan dari lokalisasi adalah membuat pengguna merasakan bahwa SKU

commit to user
25

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

(stock keeping units)/produk yang dilokalisasi adalah produk yang berasal dari budaya pengguna
(2007). Esselink menambahkan bahwa agar sebuah game bisa diterima secara internasional,
game tersebut haruslah bisa dilokalisasi di tempat manapun di dunia (dalam Gustafsson, 2007).
Untuk bisa dilokalisasi, seorang penerjemah videogames tidak hanya harus mampu
menerjemahkan melainkan juga:
1. Mampu meniadakan istilah budaya yang spesifik apapun dari bahasa sumbernya
2. Menguasai kemahiran dalam mengoperasikan binary file dan image yang
mempermudah pemisahan antara teks dan kode pada sebuah game
3. Mendesain keseluruhan bagian dari game yang dilokalisasi
(Gustafsson, 2007)
Ketiga kemampuan di atas yang harus dimiliki oleh penerjemah videogames ditambah dengan
terdapatnya keterbatasan waktu (dalam model sim-ship) dalam pengerjaan terkadang membuat
penerjemah videogames melakukan kesalahan dalam menerjemahkan videogames-nya. Untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih lanjut mengenai ketiga kemampuan di atas, di bawah ini
kemampuan-kemampuan tersebut akan dibahas satu per satu.
2.1.1.1

Kemampuan Meniadakan Istilah Budaya yang Spesifik Apapun dari Bahasa


Sumbernya
Budaya yang spesifik (culture-specific) menurut Storti dan Benhold adalah sekelompok

orang yang memiliki persamaan yang persamaan tersebut membedakan kelompoknya dengan
kelompok yang lain (1997). Karena berhubungan dengan budaya yang membedakan satu
kelompok dengan kelompok lainnya, saat budaya yang spesifik tersebut dibawa ke budaya lain
kemungkinan akan mengakibatkan munculnya penolakan. Jika dikaitkan dengan industri

commit to user
26

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

videogames, penolakan tersebut adalah ketidakberterimaan sebuah game yang diterjemahkan


untuk budaya sasaran. Contohnya adalah game Thousand Arms.
Salah satu faktor penjualan Thousand Arms tidak seperti yang diharapkan ketika dijual di
Amerika Serikat adalah bahwa lokalisasinya tidak menyentuh semua aspek dalam game. Satu
bagian yang tidak dilokalisasikan adalah bagian dating sim dan bagian OST (Original Sound
Track) yang masih berbahasa Jepang yaitu Depend on You dan Two Hearts dari Ayumi
Hamasaki. Dating sim adalah bagian dari game yang didalamnya pemain harus merayu karakter
perempuan

di

dalam

game

tersebut

untuk

mendapatkan

cinta

dan

ciumannya.

Ketidakberterimaan love sims ini adalah karena cara kencan yang masih bernuansa budaya timur
yaitu pergi ke suatu tempat dan hanya berujung pada ciuman tidak pada hubungan seksual.
Faktor kedua yaitu OST yang tidak diterjemahkan membawa ketidakberterimaan sendiri.
Keputusan untuk tidak menerjemahkan ini adalah sesuatu yang jarang ditemui dalam kasus
lokalisasi dari Jepang ke Amerika karena hampir semua game Jepang yang berlirik Jepang
diterjemahkan ke Amerika dan terjemahan lagunya menjadi nilai tambah tersendiri. Contohnya
adalah OST Final Fantasy VIII yang berjudul Eyes on Me yang dinyanyikan oleh Faye Wong
dan ditulis oleh Nobuo Uematsu. OST ini begitu populernya sampai menjadi lagu wajib yang
harus ada pada konser OST game oleh The Black Mages misalnya.
Kencan dan lagu memiliki culture-specific yang berbeda di setiap budaya. Oleh karena
itu, dalam lingkup lokalisasi videogames yang didalamnya terdapat bagian penerjemahan,
seorang penerjemah harus mampu memahami ini. Game dengan dating sim dan isi yang hampir
mirip dengan Thousand Arms yang diterima baik oleh masyarakat Amerika adalah Record of
Agarest War. Agar bisa diterima dengan baik oleh gamer Amerika, sistem dating dalam Record

commit to user
27

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

of Agarest War ditampilkan secara lebih berani. Emosi seksual yang ditampilkan tidak hanya
berkutat pada ciuman tetapi juga tidur bersama, mandi bersama, dan hubungan seksual.
Walaupun tidak ditampilkan secara eksplisit, ilustrasinya mampu merepresentasikan semua
emosi yang muncul dalam sebuah hubungan seksual.
Game ini karena suksesnya di Amerika sampai Microsoft selaku pemilik XBOX 360,
konsol yang digunakan untuk memainkan game ini mengeluarkan mesin konsol XBOX 360
bergambar tokoh-tokoh dalam Record of Agarest War dalam edisi khusus The Really Naughty
Edition. Bukti kesuksesannya yang lain adalah terdapatnya sekuel game ini yaitu Record of
Agarest War 2, Record of Agarest War Zero dan Record of Agarest War Z.
Yang menarik dari kesuksesan Record of Agarest War ini adalah bahwa ternyata kasus
OST yang masih berbahasa Jepang seperti pada Thousand Arms tidak berlaku untuk game
keluaran Aksys ini. Record of Agarest War, sama halnya dengan Thousand Arms, memiliki OST
dalam bahasa Jepang. Uniknya, walaupun tidak diterjemahkan, tidak mempengaruhi secara
signifikan keberterimaan game ini oleh gamer Amerika. Jika dianalisis lebih lanjut, akan
ditemukan dua kemungkinan penyebab. Pertama, budaya yang menjadi perhatian dari gamer
Amerika bukan pada OST-nya melainkan pada dating system-nya. Dengan menyesuaikannya
dengan budaya kencan gamer Amerika, dating system-nya Record of Agarest War diterima oleh
gamer Amerika dan berujung kepada diterimanya game-nya. Oleh karena dating system-nya
sudah sesuai dengan budaya kencan Amerika, gamer tidak begitu perhatian dengan OST-nya
yang masih berbahasa Jepang. Kemungkinan kedua adalah bahwa sudah diterimanya budaya
Jepang dengan baik oleh gamer Amerika yang didalamnya berkenaan juga dengan OST.
Sebelum pertengahan 1990an, hampir game-game buatan Jepang jika masuk ke Amerika
dilokalisasi sampai tahapan melokalisasi gambar sampul (box art)-nya.
commit to user
28

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Gambar 2.7 Sebelah kiri adalah box art Suikoden untuk gamer Jepang sedangkan yang
kanan untuk gamer Amerika

Contoh di atas adalah box art Suikoden. Seperti yang terlihat, walaupun merupakan satu
game yang sama, keduanya memiliki box art yang berbeda. Saat Genso Suikoden dipasarkan ke
Amerika, bukan hanya judulnya yang disesuaikan dengan budaya Amerika, menjadi Suikoden
saja, melainkan juga ilustrasi box art-nya yang mengikuti gaya Amerika yang lebih realis. Gaya
ilustrasi game versi Jepangnya adalah ilustrasi untuk manga (komik) dan anime (film kartun)
dengan teknik big eye-nya Tezuka Osamu sedangkan gaya ilustrasi Amerika mengikuti gaya
ilustrasi komik-komik tentang pahlawan super Amerika yang lebih realis. Perubahan ini penting
untuk meningkatkan tingkat keberterimaan Suikoden karena pada masa itu, budaya populer
Jepang seperti manga dan anime belum begitu meledak seperti akhir 1990an dan awal 2000.
Penyesuaian budaya seperti yang dicontohkan di atas adalah sesuatu yang oleh penerjemah harus
kuasai. Hal ini senada dengan pendapat Miguel A. Bernal-Merino dalam Challenges in Video
Game Translation. Dia berkata bahwa sangatlah disarankan untuk penerjemah memeiliki
commit to user
29

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

pemahaman atas genre game sebelum dia terjun dalam proses penerjemahan dan untuk
melakukannya langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengeksplorasi pasar lokal (budaya
sasaran) atas produk yang sama (2007). Contoh kasus perbandingan antara Thousand Arms dan
Record of Agarest War adalah perbandingan tingkatan pengeksplorasian pasar lokal yang dalam
hal ini merujuk ke budaya spesifik yang menjadi konten dalam game yaitu dating sim.
2.1.1.2 Kemampuan dalam mengoperasikan binary file dan image yang mempermudah
pemisahan antara teks dan kode pada sebuah game
Binary file adalah sebuah file yang isinya harus diterjemahkan oleh sebuah program atau
piranti lunak tertentu (Speirs, 2005). Dalam konteks videogames yang diterjemahkan adalah
bahasa komputer menjadi bahasa yang dapat dipahami oleh manusia. File ini berformat .bin.
Beberapa program tersedia untuk membuka file .bin ini. Salah satunya adalah Hex Workshop.
Jika file .bin tersebut dimasukkan ke Hex Workshop, penerjemah bisa dengan mudah mencari
letak file yang berisi bahasa manusia yang akan diterjemahkan.
Minako OHagan dan Mangiron menyebut penerjemahan videogames sebagai restricted
translation karena penerjemah dihadapkan dengan terbatasanya jumlah karakter yang bisa
digunakan (2006). Contohnya adalah jika penerjemah menemukan kalimat you cannot escape
di dalam ASCII/Unicode String-nya berarti penerjemah harus menerjemahkan you cannot
escape (20 karakter) dengan jumlah karakter yang sama atau kurang. Jika diterjemahkan
menjadi kamu tidak bisa melarikan diri (28 karakater), hasil terjemahannya yang berwujud
subtitle tidak akan keluar atau kalau keluar subtitle-nya akan keluar dari kotak dialog yang
tersedia.

commit to user
30

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Gambar 2.8 Contoh menerjemahkan game King of Fighters 99

Gambar 2.9 Hasil terjemahan GAME START


Permasalahan yang timbul adalah jika penerjemah dihadapkan dengan ketiadaan karakter
sisa ataupun karakter sisanya juga tidak memenuhi untuk diterjemahkan ke dalam bahasa
sasaran. Contohnya adalah sebagai berikut:

commit to user
31

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Gambar 2.10 Menerjemahkan TEAM PLAY


Jika hal yang demikian terjadi, hasil di dalam game-nya pun akan menjorok ke teks yang lain
sehingga mengakibatkan tidak bisa terbaca. Tampilannya adalah sebagai berikut:

Gambar 2.11 Hasil terjemahan yang tidak terbaca

Hasilnya akan bisa terbaca jika penerjemah memperhatikan jumlah karakter yang
terdapat pada kata TEAM PLAY seperti yang terlihat berikut ini:

commit to user
32

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Gambar 2.12 Hasil terjemahan yang terbaca


Walaupun terlihat bisa dibaca, MAIN TIM tidaklah sesuai dengan kaidah bahasa
Indonesia. Terjemahan yang tepat seharusnya adalah PERMAINAN TIM tetapi karena
keterbatasan karakter, langkah yang harus ditempuh adalah dengan mengubahnya menjadi MAIN
TIM agar bisa ditampilkan di layar saat game-nya dimainkan. Jika diperhatikan dengan seksama
pada kata MAIN TIM sebelum dan sesudah kata tersebut terdapat tanda [ dan ]. Keberadaaan
tanda tersebut untuk mengawali dan mengakhiri sebuah karakter dalam sebuah teks. Saat masih
dalam kata TEAM PLAY tandany masih melekat dengan karakter awal dan akhir dari abjad pada
teks tersebut tetapi saat diterjemahkan menjadi MAIN TIM, yang melekat dengan abjad hanya
pada M dalam MAIN. Pada abjad M dalam TIM, tanda ] tidak menempel. Ini menandakan
hilangnya satu karakter yang dalam versi aslinya adalah Y dalam PLAY. Ini juga sekaligus
menandakan bahwa penerjemahan videogames memiliki ketergantungan dengan jumlah karakter
versi aslinya.
Menurut Huddleston keterbatasan jumlah karakter juga menegaskan bahwa dalam
melokalisasi sebuah game penrjemah harus memainkan game tersebut agar lebih memahami
kejadian atau momen yang ada dalam game sehingga hasil terjemahan tidak merusak nuansa
yang berusaha dibangun oleh developer dalam setiap momennya (2012). Skenario, musik, dan
atmosfer dalam game diciptakan untuk membuat karakter dan game lebih hidup, dan semuanya

commit to user
33

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

bisa rusak dalam sekejap jika keterbatasan karakter ini tidak diatasi dengan baik, misalkan hanya
dengan mengandalkan singkatan.
Keterbatasan seperti yang diuraikan di ataslah yang menjadikan penerjemahan
videogames menjadi semakin kompleks untuk dikerjakan. Karena kekompleksannya itulah yang
menjadikan salah satu faktor yang menjadikan penerjemahan videogames dalam bingkai
lokalisasi tidak hanya menjadi bagian dari industry videogames tetapi juga sesuatu yang penting
dalam penelitian penerjemahan yang berhubungan dengan budaya (Ying-Chia, 2011).
2.1.1.3 Kemampuan mendesain seluruh bagian game yang akan dilokalisasi
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa karena penerjemahan videogames
adalah bagian dari lokalisasi, menerjemahkan videogames-nya harus memperhatikan unsur
budaya sasaran; mampu mengetahui sesuatu yang bisa diterima dan sesuatu yang tidak. Ini
sebelumnya telah dicontohkan lewat box art yang berbeda antara versi asli dan versi
terjemahannya namun sebenarnya tidak hanya pada box art-nya saja, melainkan seluruh bagian
game yang akan dilokalisasi. Bagian atau elemen dari sebuah game tergantung dari genre game
tersebut namun secara keseluruhan semua genre games memiliki elemen konten game dan game
play.
Konten game adalah segala sesuatu yang terdapat pada sebuah game seperti karakter,
latar, music, efek visual dan efek suara. Konten game, karena merupakan inti dari sebuah game,
adalah yang paling banyak mengalami lokalisasi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya
bahwa nama karakter dan tampilannya juga seringkali mengalami perubahan dari versi asli ke
versi terjemahannya. Di dalam kontennya, perubahan karakter juga menyentuh perubahan pada
visualisasi karakternya.

commit to user
34

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Karakter di dalam videogames dibagi menjadi dua yaitu playable character dan non-playbale
character (NPC). Yang bisa dimainkan oleh pemain adalah playable character sedangkan NPC
digunakan untuk membantu petualangan playable character ataupun untuk menjadi bagian dari
cerita keseluruhannya. Karakter dalam videogames direalisasikan dalam bentuk sprite,
visualisasi karakter dalam format 2D, cell shading, visualisasi dalam format 2.5D dan juga dalam
bentuk motion capture, 3D.
Di dalam lingkup lokalisasi, visualisasi karakter ini adalah bagian yang sering mengalami
penyesuaian budaya. Contoh kasus perubahan sprite adalah game online MMO Tera. Di dalam
game-nya, terdapat karakter Elin yang versi aslinya, versi Korea, digambarkan mengenakan
celana dalam tetapi setelah dilokalisasi di Amerika dan Eropa, celana dalamnya dihilangkan dan
diganti dengan hotpants. En Masse dan Frogster, pemilik lisensi dari Amerika dan Eropa,
beralasan bahwa pergantian ini adalah untuk menghindari munculnya kasus fedofilia yang
mungkin muncul disebabkan oleh game tersebut (Yin-Poole, 2012).

Gambar 2.13 Elin versi Korea dan versi Amerika/Eropa


Jika Elin yang diganti hanya pakaiannya, lain halnya dengan kasusnya Poison dan Roxy,
karakter dalam game Final Fight. Pada saat Final Fight dilokalisasi di Amerika, muncul protes

commit to user
35

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

dari aktivis mengenai keberadaan Poison dan Roxy yang dianggap mengajarkan keburukan
karena menstigmatisasi perempuan sebagai biang kerusuhan dan objek kemesuman (Giantbomb,
2012). Oleh karena protes tersebut, Capcom sebagai pengembang dan penerbit melakukan
perubahan total pada sprite Poison dan Roxy dari perempuan menjadi laki-laki yang diberi nama
Billy dan Sid.

Gambar 2.14 Perubahan sprite dari Roxy dan Poison menjadi Billy dan Sid
Perubahan yang dialami Final Fight tidak hanya terjadi pada Poison dan Roxy, terdapat beberapa
perubahan lain yang merupakan hasil dari tuntutan akan penyesuaian terhadap budaya. Detil
perubahannya adalah sebagai berikut (Quitter dengan modifikasi, 2012):
1) Perubahan karena masalah budaya yang berhubungan dengan seksualitas

Gambar 1.15 Tampilan busana Jessica yang berbeda antara versi Jepang dan Amerikanya

commit to user
36

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Di atas adalah screen shot dari opening Final Fight yang menggambarkan Jessica, putri
walikota Haggar, sedang diculik. Versi Jepangnya menggambarkan Jessica dalam keadaan
setengah telanjang; hanya menggunakan BH. Setelah dilokalisasi ke Amerika, BH-nya
dihilangkan dan diganti gaun malam. Pergantian ini bukan hanya berdampak pada visualisasi
gambar tetapi juga asumsi cerita. Karena dirubah menjadi mengenakan gaun malam, Jessica
diasumsikan sedang berada pada suatu pesta atau pertemuan pada waktu malam hari dan diculik
oleh gang Mad Gear sedangkan detil latar belakang waktu kejadian tidak dijelaskan dengan detil
pada versi aslinya. Selain mengganti visualisasi bajunya, dalam versi Amerikanya, Jessica
digambarkan sedang menangis sedangkan di versi Jepangnya hanya terlihat sedih tanpa ada air
mata. Hal ini cukup beralasan karena wajah sedih pada versi Jepangnya cenderung bisa
dintepretasikan secara seksual karena tampilannya yang seperti di atas. Untuk menghindari
imajinasi yang berlebihan, gambaran air mata ditambahkan pada sprite-nya Jessica. Perubahan
sprite ini tidak hanya untuk karakter, tetapi juga untuk semua sprite yang kemungkinan akan
memberikan dampak negative terhadap penjualan game tersebut di budaya sasaran. Contoh lain
dari Final Fight adalah perubahan sprite untuk patung wanita seperti yang terlihat di bawah ini:

Gambar 2.16 Patung wanita setengah telanjang yang dilokalisasi di versi Amerikanya

commit to user
37

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Dalam versi aslinya, patung wanita seperti yang terlihat di atas digambarkan setengah telanjang.
Perubahan dilakukan saat dilokalisasi ke Amerika dengan membuat patungnya menutupi
dadanya dengan kain yang menutupi tubuhnya.
Selain seksualitas secara visual, sering kali dalam game terdapat seksualitas secara simbolik.
Seksualitas ini dimunculkan dari nama, logo, simbol, judul maupun perilaku dan seringkali
seksualitas yang tersembunyi ini berhubungan dengan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual,
Transgender). Contohnya adalah karakter bernama Birdo dalam game Mario Bros

Gambar 2.17 Birdo adalah karakter transgender


Birdo menurut manual Super Mario Bros 2 bergender laki-laki (Nintendo, 1988). Pernyataan ini
menimbulkan kontroversi karena penampilannya yang perempuan. Untuk menghilangkan
kontroversi ini Nintendo memberikan pernyataan resmi bahwa Birdo adalah perempuan. Di
dalam Final Fight ada karakter yang bernama Sodom. Karena merujuk kepada Sodom dan
Gomorrah, kaumnya Nabi Lut AS , yang suka dengan sesama jenis, nama Sodom diganti dengan
Katana.

commit to user
38

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Gambar 2.18 Sodom menjadi Katana


2) Perubahan karena masalah kekerasan
Final Fight adalah game side scrolling yang menggambarkan perkelahian antara pembela
kebenaran dengan anggota gang sehingga adegan tarung menjadi inti dari game ini. Versi aslinya
banyak menggambarkan adegan kekerasan yang berdarah-darah. Saat dilokalisasi di Amerika,
sprite cipratan darah tersebut dihilangkan.
Selain cipratan darah, bagian dari kekerasan lainnya yang menjadi perhatian karena tidak
sesuai dengan budaya sasaran adalah implikasi kesan dari gambar yang ditampilkan. Contohnya
adalah sebagai berikut:

Gambar 2.19 Kesan kekerasan dari versi aslinya (sebelah kiri)

commit to user
39

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Gambar profil Haggar sebelah kiri adalah yang ditunjukkan pada versi aslinya. Gambar ini
identik dengan kekerasan karena graffiti nama Haggar di dinding yang menimbulkan kesan
gangster dan profil yang menunjukkan tinggi, berat, dan usia yang mirip dengan profil yang
biasa disebutkan pada pertarungan tinju. Oleh karena berkesan keras dan menghindari implikasi
yang mungkin muncul dari gambar tersebut, saat dilokalisasi ke Amerika, profil Haggar berubah
menjadi seperti yang terlihat pada gambar di atas yang sebelah kanan.
Kesan keras juga diasumsikan muncul dari penggunaan nama-nama yang berbau
kekerasan sehingga ada nama NPC dari Final Fight yang diganti dengan harapan agar kesan
kerasnya tereduksi. Seperti yang terlihat pada screen shot di bawah, salah satu anggota gang Mad
Gear ada yang bernama Damnd pada versi aslinya. Karena Damnd merujuk kepada kata damned
(terkutuk) yang merupakan umpatan, saat dilokalisasi ke Amerika dirubah menjadi Thrasher.
Kata Thrasher masih meninggalkan kesan keras namun dengan level kesan keras yang lebih
rendah dan bisa ditolerir.

Gambar 2.20 Damnd menjadi Thrasher


Kekerasan tidak terlepas dari penggunaan minuman keras dan obat terlarang. Oleh karena
itu, terkadang simbol-simbol yang berhubungan dengan minuman keras dan obat terlarang

commit to user
40

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

cenderung ditiadakan juga. Dalam Final Fight versi aslinya, terdapat gambar botol whiskey
dengan tulisan WIS serta sebuah bar. Karena dianggap terlalu eksplisit, gambar botol tersebut
dirubah menjadi televisi dan bar dirubah menjadi club.

Gambar 2.21 Botol whiskey menjadi televisi

Gambar 2.22 Bar menjadi Club


3) Perubahan karena permasalahan rasial
Seringkali warna kulit secara tidak sengaja sebuah permasalahan di dalam semua produk
populer termasuk juga videogame. Salah satu contohnya adalah Resident Evil 5.

commit to user
41

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Gambar 2.23 Resident Evil 5 dianggap rasis karena berisi banyak adegan pembantaian
kulit hitam yang berubah menjadi zombie
Earl Hutchinson dan Lou Kesten beranggapan bahwa Capcom selaku pengembang dan penerbit
franchise Resident Evil merasakan ketidaknyamanan dengan gambaran-gambaran pembantaian
warga Afrika seperti yang nampak pada game-nya walaupun ceritanya tidak mengandung sebuah
pesan rasisme (Kennedy, 2006). Kasus Resident Evil 5 ini menjadi pelajaran berharga mengenai
kesensitifan pengembang dan penerbit lewat tim lokalisasinya dalam menganalisis permasalahan
budaya pengguna sasaran. Kasus yang sama juga muncul di game Final Fight.

Gambar 2.24 Karakter kulit hitam yang dijadikan objek kekerasan


commit to user
42

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Untuk menghindari protes yang berhubungan dengan rasisme, karakter NPC musuh yang
berkulit hitam warna hitamnya agak dikurangi sehingga tidak bisa lagi dikategorikan Afro
American.
Yang bisa disimpulkan dari tantangan penerjemahan di atas adalah bahwa karena
penerjemahan videogames adalah bagian dari lokalisasi, tantangan terbesar seorang penerjemah
videogames adalah harus memahami dengan betul budaya target baik itu budaya elit, populer,
maupun folk karena salah satu alasan dari diperlukannya lokalisasi adalah orientasinya pada
pengguna (Chroust, 2008). Dalam kaitannya dengan videogames, lokalisasi diperlukan untuk
memberikan pengalaman (lokal) kepada pemain (Hector dan Gomez, 2009)
2.2 Popular Culture dan Penerjemahan
2.2.1 Budaya dan Penerjemahan
Pentingnya faktor budaya dalam penerjemahan tidak terlepas dari eratnya keterkaitan
antara bahasa dan budaya. Galdstone (1987:111) menyatakan bahwa Language is at once an
outcome or a result of the culture as a whole and also a vehicle by which other facets of the
culture are shaped and communicated. Dari pernyataan tersebut dapat diungkapkan betapa
eratnya keterkaitna antara bahasa dan budaya karena bahasa selain sebagai hasil dari suatu
budaya juga merupakan sarana untuk membentuk dan mengkomunikasikan aspek-aspek lain
budaya tersebut.
Newmark dalam James (2005:1) mendefinisikan budaya sebagai the way of life and its
manifestations that are peculiar to a community that uses a particular language as its means of
expression". Definisi tersebut sekaligus menyatakan bahwa setiap bahasa memiliki unsur-unsur
budayanya sendiri. Mengingat eratnya kaitan antara bahasa dan budaya maka menerjemahkan
bukanlah sekedar mengalihkan pesan, tetapi juga mengalihkan budaya, dan itu bukanlah hal yang
commit to user
43

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

mudah. Begitu pentingnya faktor budaya ini membuat Nida dalam James (2005:1) menyatakan
bahwa perbedaan budaya akan menimbulkan masalah yang lebih rumit daripada hanya sekedar
perbedaan struktur bahasa. Mohanty dalam Dollerup dan Lindegaard (1993:28) menyatakan
bahwa in translation, two activities happens simultaneously; one of the source language and
one of familiarisation of the source culture into the target culture. Seringkali dalam
menerjemahkan penerjemah menemui budaya dalam bahasa sumber

yang berbeda dengan

bahasa sasaran sehingga sering menimbulkan masalah. Menurut Larson (1984:137) hal ini
disebabkan karena seringkali orang melihat segala sesuatu dengan perspektif budayanya masingmasing dan banyaknya kata-kata yang nampaknya equivalen namun ternyata tidak karena setiap
hal punya konotasi khusus. Sebagai contoh sederhana adalah kata dog yang di Indonesia dan
beberapa negara lainya memiliki konotasi negatif, namun dalam budaya barat memiliki konotasi
positif yang identik dengan kesetiaan. Ada banyak sekali kejadian di masyarakat yang
menunjukkan betapa setianya anjing terhadap majikanya seperti Fido di Italia, Theo di Inggris,
Greyfriars Bobby dan Heidi di Skotlandia, Capitan di Argentina, Hawkeye dari Amerika dan
banyak lagi lainya. Bahkan di Amerika anjing juga menjadi bagian dari keluarga yang ideal.
Sebuah keluarga yang idela adalah keluarga yang terdiri dari orang tua, anak-anak, dan hewan
peliharaan yang sebagian besar adalah anjing.
Dari contoh tersebut dapat dapat diketahui bahwa faktor budaya memiliki peran penting
karena dapat mengandung informasi tentang masyarakat pemilik budaya tersebut. Dengan
memahami budaya bahasa sumber maka makna sebenarnya dari bahasa tidak terkaburkan ketika
diterjemahkan ke bahasa sasaran yang juga memiliki budayanya sendiri.
Soemarno (2001:2-91) menyatakan bahwa masalah sosial budaya yang sering kali
menimbulkan permasalahan diantaranya adalah:
commit to user
44

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

a. Mental Set
Seperti diungkapkan Duff (1981:10) mengenai mental set:
Language, too, has its mental sets: it is through them that we picture
reality in words. These mental sets may overlap between one language
to another, but they rarely match exactly, and its the translators
difficult task to bring them as close as possible together.
Dari pernyataan tersebut nampak jelas bahwa setiap bahasa memiliki mental
set yang berbeda, dan merupakan tugas penerjemah untuk memberikan
padanan sedekat mungkin ketika menerjemahkanya ke bahasa sasaran sehingga
tidak terjadi pergeseran makna. Sebagai contoh konsep petani di Barat dan di
Indonesia sangat berbeda. Bagi masyarakat Barat farmer identik dengan orang
kaya dan lahan yang luas, sedangkan bagi masyarakat Indonesia petani identik
dengan orang yang memiliki tingkat ekonomi menengah.
b. Ketakterjemahan
Hal lain yang ditimbulkan oleh perbedaan budaya teks bahasa sumber dan teks
bahasa

sasaran

adalah

ketakterjemahan

budaya.

Newmark

(1988:94)

menyatakan where there is cultural focus, there is a translation problem due


to the cultural gap or distance between the source and target languages.
Gap tersebut bisa mengaju pada ketiadaan padanan antara konsep budaya
bahasa sumber dengan budaya bahasa sasaran. Catford dalam Kitamura
(2005:1) menyatakan bahwa cultural untranslatability muncul ketika a
situational feature, functionally relevant for the SL text, is completely absent in
the culture of which the TL is a part." Dengan kata lain ketika ada kondisi
dimana sebuah konsep budaya bahasa sumber dapat diungkapkan dalam bahasa
sasaran, namun konsep tersebut sama sekali tidak ada dalam budaya bahasa
commit to user
45

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

sasaran. Sebagai contoh konsep bancakan tidak memiliki padanan dalam


bahasa Inggris, dan konsep ini tidak dikenal dalam budaya penutur bahasa
Inggris. Begitu juga konsep thanksgiving dan hallowwn yang tidak ada padanan
konsepnya di Indonesia.
Mengingat berbagai kesulitan yang mungkin timbul dalam menerjemahkan konsep
budaya, Baker (1992:2642) memberikan strategi penerjemahan yang bisa digunakan
ketikamenemui kesulitan dalam menerjemahkan konsep-konsep budaya, yaitu:
a. Menerjemahkan dengan menggunakan unsur atasan atau kata trmum.
b. Menerjemabkan dengan menggunakan kata-kata yang netral atau kurang ekspresif,
c. Menerjemahkan

dengan

menggunakan penggantian

budaya.

Strategi ini

biasanya

digunakan jika berkaitan dengan ekspresi atau culture specific item.


d.

Menerjemahkan

dengan

menggunakan

kata

pinjaman

atau kata pinjaman dengan

penjelasan. Strategi ini umum digunakan apabila berhubungan dengan culture specific
items, konsep-konsep modern. Sebagai contoh, kata hotdog tetap diterjemahkan menjadi
hotdog.
e. Menerjematrkan dengan paraphrase yang berkaitan dengan kata tersebut.
f. Menerjemahkan dengan menggunakan paraphrase yang berbeda dengan kata tersebut.
g. Tidak diterjemahkan.

Stategi ini

digunakan

dengan

catatan

bahwa

hal ini

tidak

mengurangi pesan yang hendak disampaikan.


h. Menerjemahkan dengan menggunakan ilustrasi ataupun gambar.

commit to user
46

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

2.2.2 Teknik Penerjemahan


Teknik Penerjemahan menurut Molina dan Albir (2002) adalah procedures to analyze and
classify how translation equivalence works. Karakteristik teknik penerjemahan adalah: l)
mempengaruhi hasil terjemahan, 2) digolongkan dengan membandingkan teks sumber dan
teks sasaran, 3) mempengaruhi unit mikro pada teks, 4) bersifat dikursif dan kontekstual, dan
5) bersifat fungsional.
Berikut teknik penerjemahan yang diadaptasi dari Molina danAlbir:
a. Adaptasi (Adaptation) : Mengganti unsur budaya BSu dengan unsur budaya yang ada
dalam BSa Contoh : perubahan dari as white as snow menjadi seputih kapas dalam bahasa
Indonesia
b. Amplifikasi (Amplification) : Menambahkan detail yang tidak terumuskan dalam BSU
dengan cara meoambahkan informasi dan paraphrase. Contoh : Syahru Ramadhan (bahasa
Arab) menjadi Ramadhan the Muslim month of fasting (bahasa Inggrrs).
c. Peminjaman (Borrowing) : Menggunakan kata atau ungkapan dari bahasa lain (BSu) di
dalam bahasa sasanrn (BSa). Bonowing bisa berupa peminjaman murni (Pure borrowing),
yaitu peminjaman langsung tanpa melakukan perubahan apa pun, seperti pada kata
computer, ataupun berupa peminjaman alamiah (naturalized borrowing), dimana kata dari
bahasa sumber disesuaikan dengan ejaan bahasa sasaran seperti pada kata 'komputer'.
d. Calque: Teknik penerjemahan literal dari bahasa asing. Contoh : Private School
diterjemahkan menjadi Sekolah Swasta.

commit to user
47

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

e. Compensation: Penambahan unsur inforrrasi atau efek stilistik dalam BSu pada bagian
lain BSa karena tidak bisa direalisasikan pada bagian yang sitma dalam BSu.
f. Description : Mengganti bentuk atau istilah dengan cara memberikan garnbaran bentuk
ataupun firngsi dari istilah tersebut.
g. Discursive creation: Menggunakan padanan sementara yang bisa jadi jauh dari konteks
aslinya .
h. Established

equivalent:

menggunakan

istilah

atau

rrgkapan yang

sudah lazim

(berdasarkan kamus atau ungkapan sehari-hari).


i. Generalization: Menggunakan istilah yang sudah umum dan dikenal masyarakat luas.
j. Lingusitic Amplification: Menambahkan unsur-unsur liguistik dalam terjemahan. Teknik
ini sering digunakan dalarn dubbing ataupun interpreting.
k. Linguistic Compression: Dilakukan dengan mensintesis unsur kebahasaann dalam bahasa
sasaran. Teknik ini sering digunakan dalam stimultaneous interpreting dan subtitling.
l. Literal Translation : mengalihkan kata per kata dari BSu ke Bsa.
m. Modulation : teknik dimana penerjemah mengubah sudut pandang, fokus, atau aspek
kognitif yang ada dalam bahasasa sumber, baik secara leksikal ataupun structural.
n. Particularization: Menggunakan istilah yang lebih konkrit dan khusus. Teknik ini adalah
kebalikan dari teknik generalisasi.

commit to user
48

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

o. Reduction: Memadatkan informasi yang terdapat dalam BSu. Misal, The fasting month of
Ramadhan hanya diterjemahkan Ramadhan saja. Teknik ini adalah kebalikan dari teknik
amplifi kasi linguistik.
p. Substitution : Menggantikan elemen linguistik menjadi paralinguitik seperti intonasi dan
isyarat atau sebaliknya.
q. Transposition : teknik yang berkaitan dengan perubahan kategori gramatikal dalam BSu
ke dalam BSa
r. Variation : Mengganti elemen linguistik atau paralinguistik yang mempengaruhi variasi
linguistik. Misalnya perubahan textual tone, style, social dialect, dan geographical diolect.
2.2.3 Cultural presupposition dan Pendekatan Popular Culture
Seperti diungkapkan sebelumnya bahwa video game merupakan produk budaya populer.
Ketika menerjemahkan produk budaya populer diperlukan pendekatan budaya dan lebih spesifik
lagi budaya populer karena dalam setiap produk budaya populer terdapat nilai-nilai dan
keyakinan yang diterima dan diyakini sekelompok orang tertentu yang apabila hilang atau
berkurang dalam penerjemahanya akan mengurangi pesan, makna, dan keberterimaan dari
produk budaya populer tersebut. Berkaitan dengan budaya, dalam penerjemahan terdapat istilah
cultural presupposition yang mengacu pada kesadaran bersama atau kelompok yang dipengaruhi
oleh budaya sosial atau negara tertentu. Ke Ping dalam Mizani mengungkapkan bahwa cultural
presupposition mengacu pada asumsi mendasar, keyakinan, dan pemikiran-pemikiran yang
mengakar secara budaya dan tersebar luas (2008). Cukup tidak nya latar belakang budaya yang
diberikan seorang penerjemah kepada pembaca sasaran akan memberikan dampak dan efek yang
berbeda. Penerjemah yang akrab dengan konsep cultural presupposition akan mampu

commit to user
49

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

mengaplikasikanya secara bebas untuk mencapai tujuan sesuai dengan tujuan penerjemahannya.
(2008).
Sebagai contoh Daniel Stein , video game localizer di Jerman, mengungkapkan pernah
mengahadapi suatu kasus dalam sebuah game ketika harus melokalisasikan sebuah objek yang
bernama corndog, makanan sejenis hotdog, yang muncul pertama kali di Amerika tahun 1920 an
(http://localization.it/teaching-videogame-translation/). Dia dan

tim nya pada akhirnya

menerjemakan objek tersebut menjadi pear. Alasan yang diungkapkan adalah bahwa corndog
sama sekali tidak dikenal di Jerman, objek corndog dalam game ini bukan merupakan sesuatu
yang penting bagi alur cerita maupun game secara keseluruhan, bentuk grafis corndog dalam
game tersebut mirip dengan bentuk pear, benda tersebut harus bisa diidentifikasi dalam game,
ada keterbatasan karakter. Jika penerjemah tidak akrab dengan cultural presupposition mungkin
akan tetap menuliskan item tersebut sebagai corndog, atau akan menggatinya dengan hotdog
karena tidak perlu dan tidak memungkinkan untuk memberikan penjelasan tambahan mengenai
objek tersebut. Konsekuensinya adalah gamer Jerman yang tidak familiar dengan makanan itu
akan merasa aneh. Ketika diterjemahkan hotdog gamer juga akan merasa aneh karena bentuk
grafis objek tersebut tidak mirip dengan hotdog. Dengan demikian dalam menganalisis karya
terjemahan yang berkaitan dengan budaya, diperlukan pendekatan budaya.
Ray Browne dalam Nachbar dan Lause membagi budaya menjadi tiga yaitu, Folk Poplar,
dan Elite.
Folk

Popular

Elite

Culture

(Nachbar dan Lause, 1992: 16)

commit to user
50

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Folk Culture mengacu pada tradisi yang diteruskan secara turun temurun ke beberapa
generasi dalam sebuah masyarakat, sedangkan Elite Culture mengacu pada produk budaya yang
secara khusus diciptakan dan digunakan oleh sekelompok orang dengan minat, kemampuan, dan
pengetahuan khusus. Popular Culture, yang merupakan produk budaya yang memiliki nilai-nilai
dan keyakina yang diterima oleh masyarakat atau kelompok amsyarakat tertentu, berada di
tengah-tengah dan mengindikasikan porsinya yang lebih besar dalam masyarakat dibandingkan
dua lainya. Ilsutrasi sederhana tentang pemahaman ketiga jonsep budaya ini adalah dengan
melihat perkembangan sebuah permainan yang disebut Dungeons and Dragons. Pada awalnya
permainan ini sebuah permainan sederhana dengan beberapa aturan tertulis yang bisa diajarkan
dengan mudah ke pemain baru secara lisan. Dalam tahapan ini permainan ini masuk kategori
produk Folk Culture. Dalam perkembanganya permainan ini menjadi sangat kompleks dalam
aturan dan istilah-istilahnya. Untuk memainkannya orrang-orang harus meluangkan waktu untuk
mempelajari aturan-aturanya terlebih dahulu dan istilah atau kosakata khusus untuk permainan
ini. Dengan kata lain hanya orang-orang tertentu yang tertarik dan berminat untuk mempelajari
hal-hal tersebut yang dapat memainkannya. Dalam tahapan ini permainan ini menjadi Elite
Culture. Seiring dengan perkembangan teknologi, permainan ini direalisasikan ke dalam video
game dan diproduksi secara masal untuk tujuan komersil sehingga dibuat mudah untuk dipelajari
dan dimainkan. Dalam tahapan ini permainan ini menjadi Popular Culture.
Nachbar dan Lause menyebut semua

produk budaya populer sebagai artifacts dan

events. Artifacts mengacu pada semua objek/ikon dan manusia, sedangkan events mengacu pada
selain objek dan manusia yang bisa berupa ritual, dan lainya. Secara lebih terperinci mereka
membagi elemen-elemen budaya populer menjadi ikon, stereotip, heroes, ritual, dan formula
(1992).

commit to user
51

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Ikon populer adalah objek tiga dimensi (atau gambar dua dimensi dari objek tersebut) yang dapat
dilihat dan merupakan perwujudan nilai-nilai dan kepercayaan suatu masyarakat. Dapat
dikatakan bahwa ikon memberikan bentuk bagi pemikiran/gagasan yang tidak terlihat (1992).
Contoh dari ikon populer adalah skateboard dan mobil yang sama-sama merefleksikan nilai-nilai
kebebasan individu. Selain itu mobil juga merefleksikan nilai-nilai kesuksesan material.
Seandainya mobil itu hanyalah diciptakan untuk transportasi dan tidak memiliki arti lebih atau
merefleksikan nilai-nilai tertentu maka seharusnya semua mobil dibuat sama desainya,
difokuskan pada efisiensi bahan bakar, keamanan, dan daya tampung penumpang. Pada
kenyataanya orang-orang menginginkan mobil yang berbeda-beda, mulai dari desainya,
kecepatanya, mereknya, dan berbagai hal lainya.
Elemen budaya populer selanjutnya adalah stereotype yang bermakna penilaian secara
umum/penggeneralisasian terhadap sesorang atau sekelompok orang . Penilaian tersebut diterima
oleh sekelompok orang karena merefleksikan nilai-nilai dan kepercayaan mereka (Nachbar dan
Lause, 1992). Karena merupakan penilaian umum maka bisa jadi benar atau salah, meskipun
kecenderunganya adalah salah karena setiap orang memiliki karaktersitik kompleks. Namun
budaya populer tidak berkaitan dengan sesuatu yang benar atau salah akan tetapi sesuatu yang
dianggap benar dan diterima sebagai kebenaran oleh sekelompok orang tertentu.
Elemen berikutnya adalah heroes. Heroes mengacu pada orang nyata atau fiksi yang
merepresentasikan nilai-nilai dari sekelompok orang dari suatu budaya. Heroes masih dibagi
menjadi dua yaitu citizen-hero dan rogue-hero. Kategori yang pertama mengacu pada hero yang
membela kaum mayoritas, sedangkan kategori kedua mengacu pada hero yang membela kaum
minoritas atau sub-grup.

commit to user
52

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Untuk mengungkapan nilai hero yang dibawa oleh seorang hero dalam sebuah mythnarrative adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Nachbar-Lause.
Pertanyaan-pertanyaannya adalah sebagai berikut:
1) Apakah terdapat narasi mengenai hroes tersebut dan apakah narasi-narasi yang ada
memiliki tema dan pesan yang sama?
Narasi bisa memiliki bentuk beragam mulai dari yang berbasis media cetak seperti cerpen,
novella, novel, dan komik sampai yang berbasis media elektronik seperti film, drama CD, dan
video game. Keberadaaan sebuah narasi dalam sebuah bentuk tertentu memberikan pengaruh
terhadap cara anlisis yang akan diaplikasikan untuk mencari tahu nilai hero dari karakter utama.
Contohnya adalah sebagai berikut:

Gambar 2.25 Sampul komik dan video game DMC3


Gambar yang sebelah kiri adalah komik DevilMay Cry 3 sedangkan sebelah kanan adalah video
game-nya. Penggunaan media yang berbeda untuk menyampaikan satu hal yang sama akan
merujuk kepada pengaplikasian anlisis yang berbeda pula. Analisis di dalam komik akan
memperhatikan struktur panel sebagai sarana penyampaian narasi sedangkan anlisis di dalam

commit to user
53

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

film akan memperhatikan cutscene dan FMV (Full Motion Video) yang terdapat di dalam film.
Walaupun fungsi panel, cutscene, dan FMV sama, bentuknya yang berbeda membuatnya harus
diberikan perlakuan yang berbeda karena ketiganya memiliki makna yang berbeda.

Gambar 2.26 Panel Komik DMC 3


Panel di atas di dalam dunia komik ditujukan untuk pembaca laki-laki karena panel ceritanya
digambar dalam kotak-kotak dengan garis dan ukuran yang tegas. Dengan memahami makna
panel ini bisa didapatkan sebuah pemahaman awal bahwa komik dengan panel seperti di atas
ceritanya akan cenderung bersifat maskulin dengan stereotipe yang kental bahwa man rules over
woman. Berbeda dengan panel, cutscene dan FMV tidak memberikan makna maskulin atau
feminin di dalam bentuk penarasiannya. Perbedaan utama di antara keduanya lebih merujuk
kepada penekanan tingkatan kepentingan sebuah alaur cerita.

commit to user
54

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Gambar 2.27 Cutscenes dari DMC


Cutscene seperti di atas bertujuan untuk menunjukkan kepada gamer alur cerita. Cutscene
muncul setelah gamer berhasil memenuhi kondisi tertentu dalam tahap memainkan game-nya.
Cutscene berbeda dengan FMV dalam hal bahwa cutscene memiliki peranan yang lebih biasa
dalam alur cerita. Yang dimaksud dengan peranan yang lebih biasa adalah bahwa dalam event
yang digambarkan dengan cutscene tersebut dianggap oleh penulis cerita sebagai event yang
memiliki daya ketertarikan rendah secara visual. Karena alasan itu, grafis yang dimiliki oleh
cutscene biasanya lebih kasar daripada FMV seperti tampak pada gambar di atas.

Gambar 2.28 FMV DMC


Gambar di atas adalah contoh dari FMV. Seperti yang terlihat dari kualitas grafisnya, FMV
memiliki kualitas grafis yang lebih baik daripada cutscenes karena memang bertujuan untuk

commit to user
55

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

memberikan penekanan event yang secara visual lebih menarik dan secara alur cerita lebih
penting daripada alur yang ditunjukkan melalui cutscene. Pemahaman akan fungsi cutscene dan
FMV ini akan memberikan pemahaman lebih terhadap alur cerita yang lebih dianggap penting
dan yang tidak.
2) Apakah konteks budaya yang direfleksikan oleh hroes tersebut dan bagaimana hroes
tersebut merepresentasikan era mereka?
Konteks budaya bisa berwujud konteks budaya yang diperlihatkan secara realis, representatif,
dan fiktif. Konteks budaya secara realis merujuk kepada penggambaran produk-produk budaya
yang memang terdapat di dunia nyata yang dengannya pemahaman akan nilai budaya yang
diemban bisa diperoleh.

Gambar 2.29 Kota Boston pada masa koloni dalam Assassin's Creed 3
Gambar di atas adalah contoh dari visualisasi yang realistis dari tempat yang menjadi latar
belakang sebuah narasi yang diambil dari Assassins Creed 3. Produk-produk budaya yang
terlihat di atas, karena bersifat realistis dan sesuai dengan sejarah yang ada, mampu membantu
dalam memahami konteks budaya yang direfleksikan dari visualisasi tersebut. Berbeda dengan
produk budaya utamanya latar belakang tempat yang digambarkan secara representatif. Yang
dimaksud dengan digambarkan secara representatif adalah bahwa produk budaya yang terdapat

commit to user
56

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

di dalam sebuah judul video game sebenarnya terdapat di dunia nyata namun direpresentasikan
sedemikian rupa mulai dari penamaan ulang sebuah produk budaya sampai pemodifikasian
bagian-bagian tertentu agar tidak mirip dengan yang terdapat di dunia nyata. Contohnya adalah
sebagai berikut:

Gambar 2.30 Temen-Ni-Gru dalam DMC 3


Potongan gambar di atas adalah latar belakang dari DMC 3 yang merupakan representasi dari
Kota New York dengan Temen-Ni-Gru yang didesain untuk mewakili Empire State Building.
Produk budaya yang representatif ini membutuhkan anlisis yang lebih dari gamer untuk
memahami representasi asli yang terdapat di dunia nyata. Apabila telah diketemukan representasi
aslinya, anlisis mengenai konteks budaya yang melatarbelakangi seorang hero dan cara hero
tersebut merespon konteks budaya tersebut akan bisa diperoleh. Tingkatan yang lebih sulit untuk
dianalisis adalah jika konteks budayanya direfleksikan secara fiktif. Contohnya adalah sebagai
berikut:

commit to user
57

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Gambar 2.31 Hyrule dalam Legend of Zelda


Gambar di atas diambil dari Legend of Zelda: Skyward Sword. Ceritanya berlatar belakang
sebuah kerajaan yang bernama Hyrule. Semua produk budaya yang terdapat di dalam kerajaan
tersebut tidak memiliki representasi dunia nyata sehingga untuk menganalisisnya diperlukan
pemahaman secara simbolis terhadap produk budaya yang ada atau dengan melihatnya dari
perspektif sebagai bagian dari cerita tersebut.
3) Apakah terdapat perkataan hroes yang terkenal dan apakah perkataannya tersebut
memiliki makna?
Heroes baik di dunia nyata maupun di dunia fiksi memiliki kata-kata yang khas yang melekat
pada dirinya (catchphrase). Kata-kata ini jika diucapkan oleh orang lain pun, yang mendengar
akan teringat pada wajah orang yang dengannya kata-kata tersebut melekat. Obama memiliki
Yes, we can! Catchphrase dari Obama ini merupakan refleksi dari perjuangan Obama dalam
menghadapi segala ketidakmungkinan bagi warga kulit hitam untuk menjadi seorang presiden
AS dan ketidakmungkinan bagi seorang warga kulit hitam untuk membawa perubahan yang
lebih baik dari pemerintahan yang dipimpin oleh warga kulit putih. Dante di dalam DMC
memiliki catchphrase This partys getting crazy! Lets rock! Dante mengucapkan kata-kata
tersebut setiap kali dia mau berkelahi dengan siapapun dengan tujuan untuk menunjukkan

commit to user
58

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

ketidaktakutan dan unjuk gigi. Kata-kata tersebut jika dikaitkan dengan kehidupan Dante
merefleksikan nilai spirit anak muda yang meledak-ledak dan tidak mau dikekang oleh peraturan
macam apapun. Pemilihan kata, cara pengucapan, dan susunan kata akan merefleksikan nilai
yang dibawa oleh seorang hero.
4) Apakah terdapat kelompok yang mengidolakan hroes tersebut dan bagaimana kelompok
tersebut merepresentasikan nilai-nilai yang direfleksikan oleh idolanya tersebut?
Seorang hero baru bisa dikatakan sebagai seorang hero jika memiliki kelompok penggemar
yang secara aktif merepresentasikan nilai-nilai hero idolanya. Kelompok-kelompok semacam ini
biasanya merepresentasikan nilai hero idolanya dengan jalan merepresentasikannya secara visual
naratif, dan ideologis. Representasi secara visual merujuk kepada pengejawantahan hero yang
diidolakan secara fisik dari diri seorang penggemar. Salah satu sarananya adalah dengan
Costume Playing (Cosplay). Contohnya adalah sebagai berikut:

Gambar 2.32 Dante cosplay


Gambar di atas adalah cosplay yang dilakukan oleh Abbesinier yang bertujuan untuk
merepresentasikan nilai yang dibawa oleh Dante secara visual. Para pelaku cosplay atau yang
disebut dengan cosplayer biasanya mempertunjukkan visualisasi representasi hero idolanya di
ajang-ajang ekspo komik, video game, dan film agar bisa dilihat secara publik. Selain secara
commit to user
59

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

visual, kelompok-kelompok penggemar hero tertentu merepresentasikan nilai hero-nya lewat


sesuatu yang bersifat naratif. Contohnya adalah sebagai berikut:

Gambar 2.33 Wiki yang didedikasikan untuk DMC


Potongan gambar di atas adalah penggalan laman wiki yang disebut dengan wikia untuk DMC.
Wikia bertujuan untuk menjembatani para penggemar atau simpatisan sesuatu atau seseorang
dalam memperkenalkan sesuatu atau seseorang tersebut dengan derajat kedetilan sesuai dengan
pemahaman penggemar tersebut. Di dalam wikia semua orang bisa menulis dan mengedit konten
yang ada karena sifatnya yang kolaboratif. Di dalam wikia biasanya memuat dengan rinci
deskripsi dari sesuatu atau seseorang yang diidolakan tersebut. Selain melalui wikia yang berupa
deskripsi detil mengenai yang diidolakan, penggemar juga merepresentasikan nilai hero yang
diidolakan lewat fanfic (fan fiction). Contohnya adalah sebagai berikut:

commit to user
60

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Gambar 2.34 Fanfic DMC


Gambar di atas diambil dari situs fanfic http://www.fanfiction.net/s/8885735/1/spiegel. Fanfic di
atas ditujukan untuk DMC menceritakan tentang versi alternatif dari pertarungan Dante dengan
Vergil, kakaknya, yang berbeda dari versi video game-nya. Keberadaan fanfic semacam ini
mengindikasikan keberadaan sebuah komunitas yang mendukung dan merepresentasikan nilainilai yang dibawa oleh hero. Keberadaan cosplay, wikia, dan fanfic memberikan indikasi bahwa
pelakunya mungkin mengaplikasikan nilai-nilai tersebut secara ideologis di dunia nyata.
5) Bagaimana hroes tersebut direpresentasikan secara visual?
Representasi hro secara visual berperan dalam perefleksian nilai-nilai yang dibawa oleh
seorang hero. Secara visual berarti mencakup segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh mata
yang tercermin dari hero tersebut. Contohnya adalah Dante.

commit to user
61

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Gambar 2.35 Visualisasi Dante


Semua visualisasi dari diri Dante mencerminkan nilai kebebasan dan showmanship dari seorang
pemuda. Jaketnya yang berwarna mencolok seakan ingin menunjukkan semangat api yang
berkobar dari dalam diri Dante. Jaket merah ini juga merepresentasikan diri Dante yang terus
menumpahkan darah setan-setan yang menjadi buruannya. Ketiadaan baju menunjukkan sifatnya
yang anti kemapanan dan sifatnya yang showmanship. Celana kulit dan sepatu boot kulitnya
melambangkan keberaniannya untuk melangkah dalam rangkan menunjukkan eksistensi diri.
Rambutnya yang putih melambangkan nilai kebebasan yang tidak mengenal hitam dan abu-abu.
6) Apakah terdapat ikon yang identik dengan hroes tersebut dan apakah makna yang
terkandung dari ikon tersebut?
Ikon, seperti halnya catchphrase, juga bisa merefleksikan nilai yang dibawa oleh seorang hero.
Wolverine dengan cakarnya, Superman dengan logo S-nya, dan Dante dengan pedang
Rebellionnya.

commit to user
62

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Gambar 2.36 Rebellion


Pedang Dante di atas bernama Rebellion yang darinya refleksi nilai kebebasan dan sifat anti
kemapanan seorang permuda terefleksi. Bagian gagangnya yang berbentuk tengkorak semakin
menambah kesan pemberontak dari dalam diri Dante. Mata pedangnya selai memiliki dua sisi
tajam juga memiliki lekukan di bagian ujung pedang. Dengan bentuk seperti ini Rebellion bisa
digunakan untuk menebas maupun menusuk. Bentuk yang tidak konsisten ini menyiratkan
kondisi anak muda yang cenderung labil dan tidak menuruti norma yang ada.
7) Bagaimanakah sang hroes menunjukkan bahwa mereka lebih dari kita namun bagian
dari kita?
Hero sebenarnya adalah manusia biasa yang memiliki kebutuhan hidup selayaknya
manusia yang lain. Yang membuatnya berbeda adalah bahwa dia memiliki kemampuan yang
melebihi manusia biasa dan dengannya memiliki kehidupan yang agak tidak biasa. Dante
selayaknya manusia yang lain juga butuh kerja agar bisa makan, minum, tidur, menikmati
hiburan, dan lain sebagainya. Hanya saja Dante memiliki kemampuan lebih dari manusia pada

commit to user
63

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

umumnya yaitu bahwa dia adalah setengah setan setengah manusia yang memiliki kemampuan
untuk membasmi setan.

Gambar 2.37 Dante makan Strawberry Sundae


8) Apakah hroes tersebut memiliki musuh bebuyutan dan apakah makna yang bisa
ditemukan dari keberadaan musuh bebuyutan tersebut?
Setiap hero memiliki villain atau musuh bebuyutan yang memiliki nilai yang kontras dari
hero. Kekontrasan nilai yang dibawa oleh musuh bebuyutan tersebut malah semakin memperkuat
nilai yang dibawa oleh sang hero. Contohnya adalah Dante. Musuh bebuyutannya adalah
kakaknya sendiri yaitu Vergil.

Gambar 2.38 Musuh bebuyutan dante, Vergil


commit to user
64

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Nilai-nilai yang tampak dari Vergil seperti yang terlihat antara lain adalah kemapanan,
kepatuhan, dan keteraturan. Nilai-nilai ini berbeda sekali dengan nilai-nilai yang dibawa oleh
Dante namun dengan adanya perbedaan ini, keyakinan bahwa nilai-nilai yang dibawa oleh Dante
yaitu kebebasan menjadi semakin kuat.
9) Apakah nilai yang dibawa hroes tersebut masih relevan di era sekarang?
Universalitas sebuah nilai selalu tercermin dari hero macam apapun dan pada masa
apapun karena keuniversalitasan itulah yang membuat penikmat bersedia menerima dan menolak
karakter ataupun plot tertentu di dalam cerita. Nilai yang dibawa Dante selamanya akan
dipahami sebagai sesuatu yang benar walaupun telah terlampaui beberapa zaman dari masa
Dante diciptakan. Nilai kebebasan, showmanship, keberanian, dan pemberontakan akan selalu
menjadi cerminan dari pemuda dalam budaya manapun pada masa apapun.

commit to user
65

Anda mungkin juga menyukai