id
digilib.uns.ac.id
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
salah satu
gaya
dan
juga
budaya
yang
menyertainya.
Pendapat berikutnya yang sudah mencakup hal-hal tersebut berasal dari Nida dan dan
Taber (1982:12) yang menyatakan bahwa "Translation consists in reproducing in the
receptor language closest natural equivalent of source language message, first in terms of
meaning and secondly in terms of style". Larson (1989: 1) dan Brislin (1976: 1) juga
mengungkapkan hal yang senada.
commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tidak hanya Zero Wing yang menderita dari kesalahan penerjemahan. Terdapat beberapa video
games lainnya yang memiliki kesalahan penerjemahan yang sama atau lebih parah daripada
terjemahannya Zero Wing. Metal Gear, sebelum menjadi franchise besar seperti sekarang,
pernah memiliki kesalahan dalam penerjemahan. Kesalahannya terletak pada penggunaan
ekspresi yang biasanya diucapkan oleh orang barat saat mengantuk yaitu I feel sleepy.
Penerjemahnya salah menerjemahkan menjadi I feel asleep.
commit to user
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
wrong tetapi penerjemahnya salah dalam memilih diksi yang tepat. Bukannya memilih wrong,
penerjemahnya memilih kata error sehingga dialognya menjadi I am Error.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
akan buruknya kualitas sang penerjemah. Namun, dari sudut pandang penerjemah yang sudah
pernah menerjemahkan sebuah game, kesalahan ini mungkin akan dipandang sebagai sesuatu yang
bisa dimaklumi. Alasannya adalah bahwa menerjemahkan videogame memiliki tingkat kesulitan
yang berbeda dari menerjemahkan produk lainnya. Seorang penerjemah videogame (untuk game
shoot em up seperti Zero Wing) biasanya diminta untuk menyelesaikan seluruh proses lokalisasi
(yang di dalamnya terdapat proses penerjemahan) dalam waktu 48 jam (Translate Media, 2011).
Game shoot em up adalah genre game yang bertemakan tembak menembak; pemain harus
tangkas dan jeli dalam menembak untuk menghancurkan musuh yang menghadang.
Batas waktu yang sempit untuk game shoot em up biasanya dikarenakan penerbitnya
berkeinginan untuk meluncurkan game-nya yang versi asli dan terjemahan secara serentak. Jenis
penerjemahan yang tergantung dengan strategi semacam ini disebut dengan sim-ship (OHagan,
2005). Salah satu contoh videogame yang penerbitannya menggunakan model sim-ship ini
adalah Street Fighter IV. Keuntungan dari model ini adalah:
1) Menghemat waktu
Menghemat waktu karena proses penerjemahannya dilakukan sejalan dengan proses
pembuatan gamenya.
2) Menghemat ongkos produksi
Menghemat ongkos produksi karena biasanya game yang sim-ship hanya diterjemahkan
dalam bentuk subtitle bukan dalam bentuk dubbing atau voice over.
3) Mudah di-porting ke mesin game yang lain
Karena sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, pemindahan (porting) dari satu
mesin game ke mesin game yang lain hanya akan mengurusi masalah penjualan saja.
4) Profit lebih besar
commit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karena diluncurkan secara serentak, game yang diluncurkan tersebut terkadang dibeli
oleh gamer dengan tanpa melihat ulasan (review) mengenai game tersebut yang mungkin
akan memberikan penilaian yang buruk terhadap game tersebut.
(Chris dengan modifikasi, 2010).
Walaupun memiliki keuntungan, sim-ship juga memiliki kelemahan. Kelemahan simship adalah:
1. Waktu yang terbatas semakin memperbesar kemungkinan kesalahan dalam
penerjemahan
2. Game multi linear, game dengan ending lebih dari satu, seperti RPG (Role Playing
Video Game) akan sulit dipahami konteks ceritanya karena waktu yang terbatas
(OHagan, 2005)
3. Penerjemah tidak bisa mencoba memainkan game yang akan diterjemahkan karena
alasan kerahasiaan dan keamanan sehingga penerjemah kurang bisa maksimal dalam
memahami game yang akan diterjemahkan.
Selain sim-ship, terdapat pula non simultaneous shipment (non sim-ship), dan international atau
final mix. Jika sim-ship, versi asli dan terjemahan diterbitkan secara serentak, non-sim ship
memiliki jeda waktu sampai bulanan antara versi asli dan terjemahannya. Sedangkan
international adalah versi tambahan yang disiapkan jika video game-nya laku keras (OHagan,
2005). Selain waktu yang terbatas, permasalahan yang timbul dari penerjemahan videogames
baik itu dilakukan dalam model sim-ship, non sim-ship, ataupun international adalah bahwa
penerjemahan videogames harus dikerjakan dalam lingkup lokalisasi.
commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hoft dalam Thayer dan Kolko berkata bahwa lokalisasi adalah proses menciptakan atau
mengadaptasi sebuah produk yang ditujukan kepada negara atau konsumen tertentu (2004).
Karena ditujukan untuk konsumen tertentu, produk hasil lokalisasi, sesuai implikasi dari nama
lokalisasi, akan memiliki nuansa lokal. Proses untuk melokalkan nuansa sebuah produk ini
mencakup semua elemen yang terdapat di dalam produk yang dilokalisasi tersebut. Dalam
lingkup videogames, tidak hanya elemen di dalam cerita yang dilokalisasi namun juga elemen
operasional. Elemen cerita yang dilokalisasi biasanya berkutat pada nama karakter, nama barang
(item), terkadang juga alur ceritanya serta judul game-nya.
Gambar 2.3 Zidane dari Final Fantasy IX adalah salah satu contoh yang mengalami
lokalisasi pada nama
Gambar di atas adalah Zidane Tribal, tokoh utama Final Fantasy IX. Saat game-nya dilokalisasi
ke Eropa, namanya harus dirubah menjadi Yitan untuk gamer Spanyol, Gidan untuk Italia, dan
Djidane untuk Perancis. Perubahan ini dimaksudkan untuk menghindari kemiripan nama dengan
Zinedine Zidane seorang bintang sepak bola Eropa (Translate Media, 2011). Selain nama tokoh,
commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nama barang (item) juga seringkali mengalami lokalisasi. Contohnya adalah nama-nama
perlengkapan yang dimiliki oleh karakter utama Final Fantasy IV, Cecil Harvey, yang pada versi
bahasa Jepangnya hampir semuanya berawalan dengan Shadow (kage) dan Black (kuro).
Nama-nama ini agak berubah setelah game-nya dijual di Amerika. Dalam bahasa Inggrisya kage
dan kuro diganti dengan awalan Demon, Hades, dan Devil (Matrotee, 2012).
commit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keberterimaan lokal yang merepresentasikan kegelapan dengan nama dewa kegelapan dan nama
setan serta iblis. Asumsi ini diperoleh dengan munculnya beberapa tokoh fiksi dengan namanama tersebut di atas di Amerika seperti Hades, Dare Devil, Etrigan the Demon, dan masih
banyak yang lainnya.
Ketiganya memiliki kesamaan dengan Cecil Harvey dalam beberapa hal. Pertama, samasama memiliki kekuatan yang berhubungan dengan kegelapan. Kedua, sama-sama memiliki
masa lalu yang gelap. Ketiga, sama-sama kurang bisa diterima oleh masyarakat umum karena
kegelapannya tersebut. Perbedaan utamanya adalah bahwa Hades masuk kategori villain,
Daredevil adalah seorang yang buta, dan Etrigan bisa dikatakan memang seorang setan. Selain
nama barang (item), elemen cerita yang kadang kala mengalami lokalisasi adalah alur ceritanya.
Biasanya perbedaan alur cerita tidak merubah cerita secara keseluruhan. Alur cerita yang
berbeda biasanya disebabkan oleh sensor ketat terhadap game tersebut. Contohnya adalah kasus
Hot Coffee-nya Grand Theft Auto San Andreas. Di dalamnya terdapat alur cerita yang
menunjukkan hubungan seksual antara tokoh. Alur cerita ini karena mengandung visualisasi seks
yang eksplisit hanya bisa dibuka dengan kode tertentu. Walaupun disembunyikan, visualisasi ini
tidak mempengaruhi alur cerita secara keseluruhan.
Elemen cerita berikutnya yang seringkali mengalami lokalisasi adalah judul game.
Beberapa contohnya adalah Dewprism yang berubah menjadi Threads of Fate, Tales of Eternity
yang berubah menjadi Tales of Destiny II, Genso Suikoden yang berubah menjadi Suikoden,
Dragon Quest yang berubah menjadi Dragon Warrior dan lain sebagainya.
Perubahan judul games bentuknya bervariasi: berubah seluruhnya seperti pada kasus
Dewprism yang berubah menjadi Threads of Fate dan berubah sebagian seperti pada Tales
commit to user
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Eternia yang berubah menjadi Tales of Destiny II dan serial Genso Suikoden yang berubah
menjadi Suikoden. Dibalik perubahan judul tersebut, terdapat beberapa alasan yang
melatarbelakanginya. Alasan yang mendasari perubahan judul games biasanya adalah alasan
komersial, alasan budaya, dan alasan legalitas (Gustafsson, 2007). Judul Dewprism memiliki
tingkat keabstrakan yang tinggi yang ditakutkan tidak memiliki nilai komersial sehingga
dirubahlah menjadi Threads of Fate yang lebih merepresentasikan isi game-nya untuk konsumen
Amerika. Demikian juga dengan Tales of Destiny II yang dirubah dari Tales of Eternia. Judul
Tales of Destiny II merujuk kepada seri sebelumnya yaitu Tales of Destiny yang sukses secara
komersial. Karena ingin mempertahankan kesuksesannya tersebut, saat seri Tales yang lain
dilokalisasi, dirubahlah judulnya menjadi Tales of Destiny II. Serial Genso Suikoden memiliki
nama yang susah diucapkan oleh lidah orang yang berbahasa Inggris. Oleh karena masalah
budaya ini, judulnya dipotong menjadi Suikoden. Saat Dragon Quest masuk ke Amerika, di
Amerika sudah terdapat judul game yang sama sehingga Dragon Quest harus diganti dengan
Dragon Warrior untuk menghindari masalah legalitas (Nintendo Power, 2008).
Namun ada juga kasus dimana lokalisasi bukan berarti mengubah bahasa dan budaya
sebuah produk ke bahasa dan budaya sasaran, melainkan mengubah bahasa dan budaya sebuah
produk ke bahasa dan budaya sasaran dalam konteks game tersebut. Seperti diungkapkan
Huddleston bahwa beberapa game memiliki sequel atau prequel sehingga ketika melokalisasi
gametersebut harus ada konsistensi dalam menerjemahkan kata atau istilah yang muncul dalam
tiap seri game tersebut (2012). Sebagai contoh, dalam game Assasins Creed yang sekarang
sudah memasuki seri ke tiga, sang tokoh utama selalu memiliki senjata khusus yang disebut
hookblade. Ketika melokalisasikan game ini ke Portugis Huddleston tidak mengubahnya ke
bahasa Portugis menjadi lmina-gancho, tetapi tetap menggunakan nama Inggris dari senjata ini.
commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hal ini dilakukan karena menurut pengamatan yang dia lakukan terhadap game ini dari forumforum gamer di Portugis, gamer disana menggunakan hookblade untuk mengacu ke senjata ini,
bukan versi Portugisnya. Hal ini terjadi karena dua seri game ini sebelumnya belum pernah
dilokalisasi ke bahasa Portugis sehingga gamer sudah terlanjur familiar dengan istilah dalam
bahasa Inggrisnya.
commit to user
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(stock keeping units)/produk yang dilokalisasi adalah produk yang berasal dari budaya pengguna
(2007). Esselink menambahkan bahwa agar sebuah game bisa diterima secara internasional,
game tersebut haruslah bisa dilokalisasi di tempat manapun di dunia (dalam Gustafsson, 2007).
Untuk bisa dilokalisasi, seorang penerjemah videogames tidak hanya harus mampu
menerjemahkan melainkan juga:
1. Mampu meniadakan istilah budaya yang spesifik apapun dari bahasa sumbernya
2. Menguasai kemahiran dalam mengoperasikan binary file dan image yang
mempermudah pemisahan antara teks dan kode pada sebuah game
3. Mendesain keseluruhan bagian dari game yang dilokalisasi
(Gustafsson, 2007)
Ketiga kemampuan di atas yang harus dimiliki oleh penerjemah videogames ditambah dengan
terdapatnya keterbatasan waktu (dalam model sim-ship) dalam pengerjaan terkadang membuat
penerjemah videogames melakukan kesalahan dalam menerjemahkan videogames-nya. Untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih lanjut mengenai ketiga kemampuan di atas, di bawah ini
kemampuan-kemampuan tersebut akan dibahas satu per satu.
2.1.1.1
orang yang memiliki persamaan yang persamaan tersebut membedakan kelompoknya dengan
kelompok yang lain (1997). Karena berhubungan dengan budaya yang membedakan satu
kelompok dengan kelompok lainnya, saat budaya yang spesifik tersebut dibawa ke budaya lain
kemungkinan akan mengakibatkan munculnya penolakan. Jika dikaitkan dengan industri
commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
di
dalam
game
tersebut
untuk
mendapatkan
cinta
dan
ciumannya.
Ketidakberterimaan love sims ini adalah karena cara kencan yang masih bernuansa budaya timur
yaitu pergi ke suatu tempat dan hanya berujung pada ciuman tidak pada hubungan seksual.
Faktor kedua yaitu OST yang tidak diterjemahkan membawa ketidakberterimaan sendiri.
Keputusan untuk tidak menerjemahkan ini adalah sesuatu yang jarang ditemui dalam kasus
lokalisasi dari Jepang ke Amerika karena hampir semua game Jepang yang berlirik Jepang
diterjemahkan ke Amerika dan terjemahan lagunya menjadi nilai tambah tersendiri. Contohnya
adalah OST Final Fantasy VIII yang berjudul Eyes on Me yang dinyanyikan oleh Faye Wong
dan ditulis oleh Nobuo Uematsu. OST ini begitu populernya sampai menjadi lagu wajib yang
harus ada pada konser OST game oleh The Black Mages misalnya.
Kencan dan lagu memiliki culture-specific yang berbeda di setiap budaya. Oleh karena
itu, dalam lingkup lokalisasi videogames yang didalamnya terdapat bagian penerjemahan,
seorang penerjemah harus mampu memahami ini. Game dengan dating sim dan isi yang hampir
mirip dengan Thousand Arms yang diterima baik oleh masyarakat Amerika adalah Record of
Agarest War. Agar bisa diterima dengan baik oleh gamer Amerika, sistem dating dalam Record
commit to user
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
of Agarest War ditampilkan secara lebih berani. Emosi seksual yang ditampilkan tidak hanya
berkutat pada ciuman tetapi juga tidur bersama, mandi bersama, dan hubungan seksual.
Walaupun tidak ditampilkan secara eksplisit, ilustrasinya mampu merepresentasikan semua
emosi yang muncul dalam sebuah hubungan seksual.
Game ini karena suksesnya di Amerika sampai Microsoft selaku pemilik XBOX 360,
konsol yang digunakan untuk memainkan game ini mengeluarkan mesin konsol XBOX 360
bergambar tokoh-tokoh dalam Record of Agarest War dalam edisi khusus The Really Naughty
Edition. Bukti kesuksesannya yang lain adalah terdapatnya sekuel game ini yaitu Record of
Agarest War 2, Record of Agarest War Zero dan Record of Agarest War Z.
Yang menarik dari kesuksesan Record of Agarest War ini adalah bahwa ternyata kasus
OST yang masih berbahasa Jepang seperti pada Thousand Arms tidak berlaku untuk game
keluaran Aksys ini. Record of Agarest War, sama halnya dengan Thousand Arms, memiliki OST
dalam bahasa Jepang. Uniknya, walaupun tidak diterjemahkan, tidak mempengaruhi secara
signifikan keberterimaan game ini oleh gamer Amerika. Jika dianalisis lebih lanjut, akan
ditemukan dua kemungkinan penyebab. Pertama, budaya yang menjadi perhatian dari gamer
Amerika bukan pada OST-nya melainkan pada dating system-nya. Dengan menyesuaikannya
dengan budaya kencan gamer Amerika, dating system-nya Record of Agarest War diterima oleh
gamer Amerika dan berujung kepada diterimanya game-nya. Oleh karena dating system-nya
sudah sesuai dengan budaya kencan Amerika, gamer tidak begitu perhatian dengan OST-nya
yang masih berbahasa Jepang. Kemungkinan kedua adalah bahwa sudah diterimanya budaya
Jepang dengan baik oleh gamer Amerika yang didalamnya berkenaan juga dengan OST.
Sebelum pertengahan 1990an, hampir game-game buatan Jepang jika masuk ke Amerika
dilokalisasi sampai tahapan melokalisasi gambar sampul (box art)-nya.
commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.7 Sebelah kiri adalah box art Suikoden untuk gamer Jepang sedangkan yang
kanan untuk gamer Amerika
Contoh di atas adalah box art Suikoden. Seperti yang terlihat, walaupun merupakan satu
game yang sama, keduanya memiliki box art yang berbeda. Saat Genso Suikoden dipasarkan ke
Amerika, bukan hanya judulnya yang disesuaikan dengan budaya Amerika, menjadi Suikoden
saja, melainkan juga ilustrasi box art-nya yang mengikuti gaya Amerika yang lebih realis. Gaya
ilustrasi game versi Jepangnya adalah ilustrasi untuk manga (komik) dan anime (film kartun)
dengan teknik big eye-nya Tezuka Osamu sedangkan gaya ilustrasi Amerika mengikuti gaya
ilustrasi komik-komik tentang pahlawan super Amerika yang lebih realis. Perubahan ini penting
untuk meningkatkan tingkat keberterimaan Suikoden karena pada masa itu, budaya populer
Jepang seperti manga dan anime belum begitu meledak seperti akhir 1990an dan awal 2000.
Penyesuaian budaya seperti yang dicontohkan di atas adalah sesuatu yang oleh penerjemah harus
kuasai. Hal ini senada dengan pendapat Miguel A. Bernal-Merino dalam Challenges in Video
Game Translation. Dia berkata bahwa sangatlah disarankan untuk penerjemah memeiliki
commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemahaman atas genre game sebelum dia terjun dalam proses penerjemahan dan untuk
melakukannya langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengeksplorasi pasar lokal (budaya
sasaran) atas produk yang sama (2007). Contoh kasus perbandingan antara Thousand Arms dan
Record of Agarest War adalah perbandingan tingkatan pengeksplorasian pasar lokal yang dalam
hal ini merujuk ke budaya spesifik yang menjadi konten dalam game yaitu dating sim.
2.1.1.2 Kemampuan dalam mengoperasikan binary file dan image yang mempermudah
pemisahan antara teks dan kode pada sebuah game
Binary file adalah sebuah file yang isinya harus diterjemahkan oleh sebuah program atau
piranti lunak tertentu (Speirs, 2005). Dalam konteks videogames yang diterjemahkan adalah
bahasa komputer menjadi bahasa yang dapat dipahami oleh manusia. File ini berformat .bin.
Beberapa program tersedia untuk membuka file .bin ini. Salah satunya adalah Hex Workshop.
Jika file .bin tersebut dimasukkan ke Hex Workshop, penerjemah bisa dengan mudah mencari
letak file yang berisi bahasa manusia yang akan diterjemahkan.
Minako OHagan dan Mangiron menyebut penerjemahan videogames sebagai restricted
translation karena penerjemah dihadapkan dengan terbatasanya jumlah karakter yang bisa
digunakan (2006). Contohnya adalah jika penerjemah menemukan kalimat you cannot escape
di dalam ASCII/Unicode String-nya berarti penerjemah harus menerjemahkan you cannot
escape (20 karakter) dengan jumlah karakter yang sama atau kurang. Jika diterjemahkan
menjadi kamu tidak bisa melarikan diri (28 karakater), hasil terjemahannya yang berwujud
subtitle tidak akan keluar atau kalau keluar subtitle-nya akan keluar dari kotak dialog yang
tersedia.
commit to user
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hasilnya akan bisa terbaca jika penerjemah memperhatikan jumlah karakter yang
terdapat pada kata TEAM PLAY seperti yang terlihat berikut ini:
commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bisa rusak dalam sekejap jika keterbatasan karakter ini tidak diatasi dengan baik, misalkan hanya
dengan mengandalkan singkatan.
Keterbatasan seperti yang diuraikan di ataslah yang menjadikan penerjemahan
videogames menjadi semakin kompleks untuk dikerjakan. Karena kekompleksannya itulah yang
menjadikan salah satu faktor yang menjadikan penerjemahan videogames dalam bingkai
lokalisasi tidak hanya menjadi bagian dari industry videogames tetapi juga sesuatu yang penting
dalam penelitian penerjemahan yang berhubungan dengan budaya (Ying-Chia, 2011).
2.1.1.3 Kemampuan mendesain seluruh bagian game yang akan dilokalisasi
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa karena penerjemahan videogames
adalah bagian dari lokalisasi, menerjemahkan videogames-nya harus memperhatikan unsur
budaya sasaran; mampu mengetahui sesuatu yang bisa diterima dan sesuatu yang tidak. Ini
sebelumnya telah dicontohkan lewat box art yang berbeda antara versi asli dan versi
terjemahannya namun sebenarnya tidak hanya pada box art-nya saja, melainkan seluruh bagian
game yang akan dilokalisasi. Bagian atau elemen dari sebuah game tergantung dari genre game
tersebut namun secara keseluruhan semua genre games memiliki elemen konten game dan game
play.
Konten game adalah segala sesuatu yang terdapat pada sebuah game seperti karakter,
latar, music, efek visual dan efek suara. Konten game, karena merupakan inti dari sebuah game,
adalah yang paling banyak mengalami lokalisasi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya
bahwa nama karakter dan tampilannya juga seringkali mengalami perubahan dari versi asli ke
versi terjemahannya. Di dalam kontennya, perubahan karakter juga menyentuh perubahan pada
visualisasi karakternya.
commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karakter di dalam videogames dibagi menjadi dua yaitu playable character dan non-playbale
character (NPC). Yang bisa dimainkan oleh pemain adalah playable character sedangkan NPC
digunakan untuk membantu petualangan playable character ataupun untuk menjadi bagian dari
cerita keseluruhannya. Karakter dalam videogames direalisasikan dalam bentuk sprite,
visualisasi karakter dalam format 2D, cell shading, visualisasi dalam format 2.5D dan juga dalam
bentuk motion capture, 3D.
Di dalam lingkup lokalisasi, visualisasi karakter ini adalah bagian yang sering mengalami
penyesuaian budaya. Contoh kasus perubahan sprite adalah game online MMO Tera. Di dalam
game-nya, terdapat karakter Elin yang versi aslinya, versi Korea, digambarkan mengenakan
celana dalam tetapi setelah dilokalisasi di Amerika dan Eropa, celana dalamnya dihilangkan dan
diganti dengan hotpants. En Masse dan Frogster, pemilik lisensi dari Amerika dan Eropa,
beralasan bahwa pergantian ini adalah untuk menghindari munculnya kasus fedofilia yang
mungkin muncul disebabkan oleh game tersebut (Yin-Poole, 2012).
commit to user
35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari aktivis mengenai keberadaan Poison dan Roxy yang dianggap mengajarkan keburukan
karena menstigmatisasi perempuan sebagai biang kerusuhan dan objek kemesuman (Giantbomb,
2012). Oleh karena protes tersebut, Capcom sebagai pengembang dan penerbit melakukan
perubahan total pada sprite Poison dan Roxy dari perempuan menjadi laki-laki yang diberi nama
Billy dan Sid.
Gambar 2.14 Perubahan sprite dari Roxy dan Poison menjadi Billy dan Sid
Perubahan yang dialami Final Fight tidak hanya terjadi pada Poison dan Roxy, terdapat beberapa
perubahan lain yang merupakan hasil dari tuntutan akan penyesuaian terhadap budaya. Detil
perubahannya adalah sebagai berikut (Quitter dengan modifikasi, 2012):
1) Perubahan karena masalah budaya yang berhubungan dengan seksualitas
Gambar 1.15 Tampilan busana Jessica yang berbeda antara versi Jepang dan Amerikanya
commit to user
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Di atas adalah screen shot dari opening Final Fight yang menggambarkan Jessica, putri
walikota Haggar, sedang diculik. Versi Jepangnya menggambarkan Jessica dalam keadaan
setengah telanjang; hanya menggunakan BH. Setelah dilokalisasi ke Amerika, BH-nya
dihilangkan dan diganti gaun malam. Pergantian ini bukan hanya berdampak pada visualisasi
gambar tetapi juga asumsi cerita. Karena dirubah menjadi mengenakan gaun malam, Jessica
diasumsikan sedang berada pada suatu pesta atau pertemuan pada waktu malam hari dan diculik
oleh gang Mad Gear sedangkan detil latar belakang waktu kejadian tidak dijelaskan dengan detil
pada versi aslinya. Selain mengganti visualisasi bajunya, dalam versi Amerikanya, Jessica
digambarkan sedang menangis sedangkan di versi Jepangnya hanya terlihat sedih tanpa ada air
mata. Hal ini cukup beralasan karena wajah sedih pada versi Jepangnya cenderung bisa
dintepretasikan secara seksual karena tampilannya yang seperti di atas. Untuk menghindari
imajinasi yang berlebihan, gambaran air mata ditambahkan pada sprite-nya Jessica. Perubahan
sprite ini tidak hanya untuk karakter, tetapi juga untuk semua sprite yang kemungkinan akan
memberikan dampak negative terhadap penjualan game tersebut di budaya sasaran. Contoh lain
dari Final Fight adalah perubahan sprite untuk patung wanita seperti yang terlihat di bawah ini:
Gambar 2.16 Patung wanita setengah telanjang yang dilokalisasi di versi Amerikanya
commit to user
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam versi aslinya, patung wanita seperti yang terlihat di atas digambarkan setengah telanjang.
Perubahan dilakukan saat dilokalisasi ke Amerika dengan membuat patungnya menutupi
dadanya dengan kain yang menutupi tubuhnya.
Selain seksualitas secara visual, sering kali dalam game terdapat seksualitas secara simbolik.
Seksualitas ini dimunculkan dari nama, logo, simbol, judul maupun perilaku dan seringkali
seksualitas yang tersembunyi ini berhubungan dengan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual,
Transgender). Contohnya adalah karakter bernama Birdo dalam game Mario Bros
commit to user
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar profil Haggar sebelah kiri adalah yang ditunjukkan pada versi aslinya. Gambar ini
identik dengan kekerasan karena graffiti nama Haggar di dinding yang menimbulkan kesan
gangster dan profil yang menunjukkan tinggi, berat, dan usia yang mirip dengan profil yang
biasa disebutkan pada pertarungan tinju. Oleh karena berkesan keras dan menghindari implikasi
yang mungkin muncul dari gambar tersebut, saat dilokalisasi ke Amerika, profil Haggar berubah
menjadi seperti yang terlihat pada gambar di atas yang sebelah kanan.
Kesan keras juga diasumsikan muncul dari penggunaan nama-nama yang berbau
kekerasan sehingga ada nama NPC dari Final Fight yang diganti dengan harapan agar kesan
kerasnya tereduksi. Seperti yang terlihat pada screen shot di bawah, salah satu anggota gang Mad
Gear ada yang bernama Damnd pada versi aslinya. Karena Damnd merujuk kepada kata damned
(terkutuk) yang merupakan umpatan, saat dilokalisasi ke Amerika dirubah menjadi Thrasher.
Kata Thrasher masih meninggalkan kesan keras namun dengan level kesan keras yang lebih
rendah dan bisa ditolerir.
commit to user
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
cenderung ditiadakan juga. Dalam Final Fight versi aslinya, terdapat gambar botol whiskey
dengan tulisan WIS serta sebuah bar. Karena dianggap terlalu eksplisit, gambar botol tersebut
dirubah menjadi televisi dan bar dirubah menjadi club.
commit to user
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.23 Resident Evil 5 dianggap rasis karena berisi banyak adegan pembantaian
kulit hitam yang berubah menjadi zombie
Earl Hutchinson dan Lou Kesten beranggapan bahwa Capcom selaku pengembang dan penerbit
franchise Resident Evil merasakan ketidaknyamanan dengan gambaran-gambaran pembantaian
warga Afrika seperti yang nampak pada game-nya walaupun ceritanya tidak mengandung sebuah
pesan rasisme (Kennedy, 2006). Kasus Resident Evil 5 ini menjadi pelajaran berharga mengenai
kesensitifan pengembang dan penerbit lewat tim lokalisasinya dalam menganalisis permasalahan
budaya pengguna sasaran. Kasus yang sama juga muncul di game Final Fight.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Untuk menghindari protes yang berhubungan dengan rasisme, karakter NPC musuh yang
berkulit hitam warna hitamnya agak dikurangi sehingga tidak bisa lagi dikategorikan Afro
American.
Yang bisa disimpulkan dari tantangan penerjemahan di atas adalah bahwa karena
penerjemahan videogames adalah bagian dari lokalisasi, tantangan terbesar seorang penerjemah
videogames adalah harus memahami dengan betul budaya target baik itu budaya elit, populer,
maupun folk karena salah satu alasan dari diperlukannya lokalisasi adalah orientasinya pada
pengguna (Chroust, 2008). Dalam kaitannya dengan videogames, lokalisasi diperlukan untuk
memberikan pengalaman (lokal) kepada pemain (Hector dan Gomez, 2009)
2.2 Popular Culture dan Penerjemahan
2.2.1 Budaya dan Penerjemahan
Pentingnya faktor budaya dalam penerjemahan tidak terlepas dari eratnya keterkaitan
antara bahasa dan budaya. Galdstone (1987:111) menyatakan bahwa Language is at once an
outcome or a result of the culture as a whole and also a vehicle by which other facets of the
culture are shaped and communicated. Dari pernyataan tersebut dapat diungkapkan betapa
eratnya keterkaitna antara bahasa dan budaya karena bahasa selain sebagai hasil dari suatu
budaya juga merupakan sarana untuk membentuk dan mengkomunikasikan aspek-aspek lain
budaya tersebut.
Newmark dalam James (2005:1) mendefinisikan budaya sebagai the way of life and its
manifestations that are peculiar to a community that uses a particular language as its means of
expression". Definisi tersebut sekaligus menyatakan bahwa setiap bahasa memiliki unsur-unsur
budayanya sendiri. Mengingat eratnya kaitan antara bahasa dan budaya maka menerjemahkan
bukanlah sekedar mengalihkan pesan, tetapi juga mengalihkan budaya, dan itu bukanlah hal yang
commit to user
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mudah. Begitu pentingnya faktor budaya ini membuat Nida dalam James (2005:1) menyatakan
bahwa perbedaan budaya akan menimbulkan masalah yang lebih rumit daripada hanya sekedar
perbedaan struktur bahasa. Mohanty dalam Dollerup dan Lindegaard (1993:28) menyatakan
bahwa in translation, two activities happens simultaneously; one of the source language and
one of familiarisation of the source culture into the target culture. Seringkali dalam
menerjemahkan penerjemah menemui budaya dalam bahasa sumber
bahasa sasaran sehingga sering menimbulkan masalah. Menurut Larson (1984:137) hal ini
disebabkan karena seringkali orang melihat segala sesuatu dengan perspektif budayanya masingmasing dan banyaknya kata-kata yang nampaknya equivalen namun ternyata tidak karena setiap
hal punya konotasi khusus. Sebagai contoh sederhana adalah kata dog yang di Indonesia dan
beberapa negara lainya memiliki konotasi negatif, namun dalam budaya barat memiliki konotasi
positif yang identik dengan kesetiaan. Ada banyak sekali kejadian di masyarakat yang
menunjukkan betapa setianya anjing terhadap majikanya seperti Fido di Italia, Theo di Inggris,
Greyfriars Bobby dan Heidi di Skotlandia, Capitan di Argentina, Hawkeye dari Amerika dan
banyak lagi lainya. Bahkan di Amerika anjing juga menjadi bagian dari keluarga yang ideal.
Sebuah keluarga yang idela adalah keluarga yang terdiri dari orang tua, anak-anak, dan hewan
peliharaan yang sebagian besar adalah anjing.
Dari contoh tersebut dapat dapat diketahui bahwa faktor budaya memiliki peran penting
karena dapat mengandung informasi tentang masyarakat pemilik budaya tersebut. Dengan
memahami budaya bahasa sumber maka makna sebenarnya dari bahasa tidak terkaburkan ketika
diterjemahkan ke bahasa sasaran yang juga memiliki budayanya sendiri.
Soemarno (2001:2-91) menyatakan bahwa masalah sosial budaya yang sering kali
menimbulkan permasalahan diantaranya adalah:
commit to user
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Mental Set
Seperti diungkapkan Duff (1981:10) mengenai mental set:
Language, too, has its mental sets: it is through them that we picture
reality in words. These mental sets may overlap between one language
to another, but they rarely match exactly, and its the translators
difficult task to bring them as close as possible together.
Dari pernyataan tersebut nampak jelas bahwa setiap bahasa memiliki mental
set yang berbeda, dan merupakan tugas penerjemah untuk memberikan
padanan sedekat mungkin ketika menerjemahkanya ke bahasa sasaran sehingga
tidak terjadi pergeseran makna. Sebagai contoh konsep petani di Barat dan di
Indonesia sangat berbeda. Bagi masyarakat Barat farmer identik dengan orang
kaya dan lahan yang luas, sedangkan bagi masyarakat Indonesia petani identik
dengan orang yang memiliki tingkat ekonomi menengah.
b. Ketakterjemahan
Hal lain yang ditimbulkan oleh perbedaan budaya teks bahasa sumber dan teks
bahasa
sasaran
adalah
ketakterjemahan
budaya.
Newmark
(1988:94)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan
menggunakan penggantian
budaya.
Strategi ini
biasanya
Menerjemahkan
dengan
menggunakan
kata
pinjaman
penjelasan. Strategi ini umum digunakan apabila berhubungan dengan culture specific
items, konsep-konsep modern. Sebagai contoh, kata hotdog tetap diterjemahkan menjadi
hotdog.
e. Menerjematrkan dengan paraphrase yang berkaitan dengan kata tersebut.
f. Menerjemahkan dengan menggunakan paraphrase yang berbeda dengan kata tersebut.
g. Tidak diterjemahkan.
Stategi ini
digunakan
dengan
catatan
bahwa
hal ini
tidak
commit to user
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e. Compensation: Penambahan unsur inforrrasi atau efek stilistik dalam BSu pada bagian
lain BSa karena tidak bisa direalisasikan pada bagian yang sitma dalam BSu.
f. Description : Mengganti bentuk atau istilah dengan cara memberikan garnbaran bentuk
ataupun firngsi dari istilah tersebut.
g. Discursive creation: Menggunakan padanan sementara yang bisa jadi jauh dari konteks
aslinya .
h. Established
equivalent:
menggunakan
istilah
atau
rrgkapan yang
sudah lazim
commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
o. Reduction: Memadatkan informasi yang terdapat dalam BSu. Misal, The fasting month of
Ramadhan hanya diterjemahkan Ramadhan saja. Teknik ini adalah kebalikan dari teknik
amplifi kasi linguistik.
p. Substitution : Menggantikan elemen linguistik menjadi paralinguitik seperti intonasi dan
isyarat atau sebaliknya.
q. Transposition : teknik yang berkaitan dengan perubahan kategori gramatikal dalam BSu
ke dalam BSa
r. Variation : Mengganti elemen linguistik atau paralinguistik yang mempengaruhi variasi
linguistik. Misalnya perubahan textual tone, style, social dialect, dan geographical diolect.
2.2.3 Cultural presupposition dan Pendekatan Popular Culture
Seperti diungkapkan sebelumnya bahwa video game merupakan produk budaya populer.
Ketika menerjemahkan produk budaya populer diperlukan pendekatan budaya dan lebih spesifik
lagi budaya populer karena dalam setiap produk budaya populer terdapat nilai-nilai dan
keyakinan yang diterima dan diyakini sekelompok orang tertentu yang apabila hilang atau
berkurang dalam penerjemahanya akan mengurangi pesan, makna, dan keberterimaan dari
produk budaya populer tersebut. Berkaitan dengan budaya, dalam penerjemahan terdapat istilah
cultural presupposition yang mengacu pada kesadaran bersama atau kelompok yang dipengaruhi
oleh budaya sosial atau negara tertentu. Ke Ping dalam Mizani mengungkapkan bahwa cultural
presupposition mengacu pada asumsi mendasar, keyakinan, dan pemikiran-pemikiran yang
mengakar secara budaya dan tersebar luas (2008). Cukup tidak nya latar belakang budaya yang
diberikan seorang penerjemah kepada pembaca sasaran akan memberikan dampak dan efek yang
berbeda. Penerjemah yang akrab dengan konsep cultural presupposition akan mampu
commit to user
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengaplikasikanya secara bebas untuk mencapai tujuan sesuai dengan tujuan penerjemahannya.
(2008).
Sebagai contoh Daniel Stein , video game localizer di Jerman, mengungkapkan pernah
mengahadapi suatu kasus dalam sebuah game ketika harus melokalisasikan sebuah objek yang
bernama corndog, makanan sejenis hotdog, yang muncul pertama kali di Amerika tahun 1920 an
(http://localization.it/teaching-videogame-translation/). Dia dan
menerjemakan objek tersebut menjadi pear. Alasan yang diungkapkan adalah bahwa corndog
sama sekali tidak dikenal di Jerman, objek corndog dalam game ini bukan merupakan sesuatu
yang penting bagi alur cerita maupun game secara keseluruhan, bentuk grafis corndog dalam
game tersebut mirip dengan bentuk pear, benda tersebut harus bisa diidentifikasi dalam game,
ada keterbatasan karakter. Jika penerjemah tidak akrab dengan cultural presupposition mungkin
akan tetap menuliskan item tersebut sebagai corndog, atau akan menggatinya dengan hotdog
karena tidak perlu dan tidak memungkinkan untuk memberikan penjelasan tambahan mengenai
objek tersebut. Konsekuensinya adalah gamer Jerman yang tidak familiar dengan makanan itu
akan merasa aneh. Ketika diterjemahkan hotdog gamer juga akan merasa aneh karena bentuk
grafis objek tersebut tidak mirip dengan hotdog. Dengan demikian dalam menganalisis karya
terjemahan yang berkaitan dengan budaya, diperlukan pendekatan budaya.
Ray Browne dalam Nachbar dan Lause membagi budaya menjadi tiga yaitu, Folk Poplar,
dan Elite.
Folk
Popular
Elite
Culture
commit to user
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Folk Culture mengacu pada tradisi yang diteruskan secara turun temurun ke beberapa
generasi dalam sebuah masyarakat, sedangkan Elite Culture mengacu pada produk budaya yang
secara khusus diciptakan dan digunakan oleh sekelompok orang dengan minat, kemampuan, dan
pengetahuan khusus. Popular Culture, yang merupakan produk budaya yang memiliki nilai-nilai
dan keyakina yang diterima oleh masyarakat atau kelompok amsyarakat tertentu, berada di
tengah-tengah dan mengindikasikan porsinya yang lebih besar dalam masyarakat dibandingkan
dua lainya. Ilsutrasi sederhana tentang pemahaman ketiga jonsep budaya ini adalah dengan
melihat perkembangan sebuah permainan yang disebut Dungeons and Dragons. Pada awalnya
permainan ini sebuah permainan sederhana dengan beberapa aturan tertulis yang bisa diajarkan
dengan mudah ke pemain baru secara lisan. Dalam tahapan ini permainan ini masuk kategori
produk Folk Culture. Dalam perkembanganya permainan ini menjadi sangat kompleks dalam
aturan dan istilah-istilahnya. Untuk memainkannya orrang-orang harus meluangkan waktu untuk
mempelajari aturan-aturanya terlebih dahulu dan istilah atau kosakata khusus untuk permainan
ini. Dengan kata lain hanya orang-orang tertentu yang tertarik dan berminat untuk mempelajari
hal-hal tersebut yang dapat memainkannya. Dalam tahapan ini permainan ini menjadi Elite
Culture. Seiring dengan perkembangan teknologi, permainan ini direalisasikan ke dalam video
game dan diproduksi secara masal untuk tujuan komersil sehingga dibuat mudah untuk dipelajari
dan dimainkan. Dalam tahapan ini permainan ini menjadi Popular Culture.
Nachbar dan Lause menyebut semua
events. Artifacts mengacu pada semua objek/ikon dan manusia, sedangkan events mengacu pada
selain objek dan manusia yang bisa berupa ritual, dan lainya. Secara lebih terperinci mereka
membagi elemen-elemen budaya populer menjadi ikon, stereotip, heroes, ritual, dan formula
(1992).
commit to user
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ikon populer adalah objek tiga dimensi (atau gambar dua dimensi dari objek tersebut) yang dapat
dilihat dan merupakan perwujudan nilai-nilai dan kepercayaan suatu masyarakat. Dapat
dikatakan bahwa ikon memberikan bentuk bagi pemikiran/gagasan yang tidak terlihat (1992).
Contoh dari ikon populer adalah skateboard dan mobil yang sama-sama merefleksikan nilai-nilai
kebebasan individu. Selain itu mobil juga merefleksikan nilai-nilai kesuksesan material.
Seandainya mobil itu hanyalah diciptakan untuk transportasi dan tidak memiliki arti lebih atau
merefleksikan nilai-nilai tertentu maka seharusnya semua mobil dibuat sama desainya,
difokuskan pada efisiensi bahan bakar, keamanan, dan daya tampung penumpang. Pada
kenyataanya orang-orang menginginkan mobil yang berbeda-beda, mulai dari desainya,
kecepatanya, mereknya, dan berbagai hal lainya.
Elemen budaya populer selanjutnya adalah stereotype yang bermakna penilaian secara
umum/penggeneralisasian terhadap sesorang atau sekelompok orang . Penilaian tersebut diterima
oleh sekelompok orang karena merefleksikan nilai-nilai dan kepercayaan mereka (Nachbar dan
Lause, 1992). Karena merupakan penilaian umum maka bisa jadi benar atau salah, meskipun
kecenderunganya adalah salah karena setiap orang memiliki karaktersitik kompleks. Namun
budaya populer tidak berkaitan dengan sesuatu yang benar atau salah akan tetapi sesuatu yang
dianggap benar dan diterima sebagai kebenaran oleh sekelompok orang tertentu.
Elemen berikutnya adalah heroes. Heroes mengacu pada orang nyata atau fiksi yang
merepresentasikan nilai-nilai dari sekelompok orang dari suatu budaya. Heroes masih dibagi
menjadi dua yaitu citizen-hero dan rogue-hero. Kategori yang pertama mengacu pada hero yang
membela kaum mayoritas, sedangkan kategori kedua mengacu pada hero yang membela kaum
minoritas atau sub-grup.
commit to user
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Untuk mengungkapan nilai hero yang dibawa oleh seorang hero dalam sebuah mythnarrative adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Nachbar-Lause.
Pertanyaan-pertanyaannya adalah sebagai berikut:
1) Apakah terdapat narasi mengenai hroes tersebut dan apakah narasi-narasi yang ada
memiliki tema dan pesan yang sama?
Narasi bisa memiliki bentuk beragam mulai dari yang berbasis media cetak seperti cerpen,
novella, novel, dan komik sampai yang berbasis media elektronik seperti film, drama CD, dan
video game. Keberadaaan sebuah narasi dalam sebuah bentuk tertentu memberikan pengaruh
terhadap cara anlisis yang akan diaplikasikan untuk mencari tahu nilai hero dari karakter utama.
Contohnya adalah sebagai berikut:
commit to user
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
film akan memperhatikan cutscene dan FMV (Full Motion Video) yang terdapat di dalam film.
Walaupun fungsi panel, cutscene, dan FMV sama, bentuknya yang berbeda membuatnya harus
diberikan perlakuan yang berbeda karena ketiganya memiliki makna yang berbeda.
commit to user
54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memberikan penekanan event yang secara visual lebih menarik dan secara alur cerita lebih
penting daripada alur yang ditunjukkan melalui cutscene. Pemahaman akan fungsi cutscene dan
FMV ini akan memberikan pemahaman lebih terhadap alur cerita yang lebih dianggap penting
dan yang tidak.
2) Apakah konteks budaya yang direfleksikan oleh hroes tersebut dan bagaimana hroes
tersebut merepresentasikan era mereka?
Konteks budaya bisa berwujud konteks budaya yang diperlihatkan secara realis, representatif,
dan fiktif. Konteks budaya secara realis merujuk kepada penggambaran produk-produk budaya
yang memang terdapat di dunia nyata yang dengannya pemahaman akan nilai budaya yang
diemban bisa diperoleh.
Gambar 2.29 Kota Boston pada masa koloni dalam Assassin's Creed 3
Gambar di atas adalah contoh dari visualisasi yang realistis dari tempat yang menjadi latar
belakang sebuah narasi yang diambil dari Assassins Creed 3. Produk-produk budaya yang
terlihat di atas, karena bersifat realistis dan sesuai dengan sejarah yang ada, mampu membantu
dalam memahami konteks budaya yang direfleksikan dari visualisasi tersebut. Berbeda dengan
produk budaya utamanya latar belakang tempat yang digambarkan secara representatif. Yang
dimaksud dengan digambarkan secara representatif adalah bahwa produk budaya yang terdapat
commit to user
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
di dalam sebuah judul video game sebenarnya terdapat di dunia nyata namun direpresentasikan
sedemikian rupa mulai dari penamaan ulang sebuah produk budaya sampai pemodifikasian
bagian-bagian tertentu agar tidak mirip dengan yang terdapat di dunia nyata. Contohnya adalah
sebagai berikut:
commit to user
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ketidaktakutan dan unjuk gigi. Kata-kata tersebut jika dikaitkan dengan kehidupan Dante
merefleksikan nilai spirit anak muda yang meledak-ledak dan tidak mau dikekang oleh peraturan
macam apapun. Pemilihan kata, cara pengucapan, dan susunan kata akan merefleksikan nilai
yang dibawa oleh seorang hero.
4) Apakah terdapat kelompok yang mengidolakan hroes tersebut dan bagaimana kelompok
tersebut merepresentasikan nilai-nilai yang direfleksikan oleh idolanya tersebut?
Seorang hero baru bisa dikatakan sebagai seorang hero jika memiliki kelompok penggemar
yang secara aktif merepresentasikan nilai-nilai hero idolanya. Kelompok-kelompok semacam ini
biasanya merepresentasikan nilai hero idolanya dengan jalan merepresentasikannya secara visual
naratif, dan ideologis. Representasi secara visual merujuk kepada pengejawantahan hero yang
diidolakan secara fisik dari diri seorang penggemar. Salah satu sarananya adalah dengan
Costume Playing (Cosplay). Contohnya adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
umumnya yaitu bahwa dia adalah setengah setan setengah manusia yang memiliki kemampuan
untuk membasmi setan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nilai-nilai yang tampak dari Vergil seperti yang terlihat antara lain adalah kemapanan,
kepatuhan, dan keteraturan. Nilai-nilai ini berbeda sekali dengan nilai-nilai yang dibawa oleh
Dante namun dengan adanya perbedaan ini, keyakinan bahwa nilai-nilai yang dibawa oleh Dante
yaitu kebebasan menjadi semakin kuat.
9) Apakah nilai yang dibawa hroes tersebut masih relevan di era sekarang?
Universalitas sebuah nilai selalu tercermin dari hero macam apapun dan pada masa
apapun karena keuniversalitasan itulah yang membuat penikmat bersedia menerima dan menolak
karakter ataupun plot tertentu di dalam cerita. Nilai yang dibawa Dante selamanya akan
dipahami sebagai sesuatu yang benar walaupun telah terlampaui beberapa zaman dari masa
Dante diciptakan. Nilai kebebasan, showmanship, keberanian, dan pemberontakan akan selalu
menjadi cerminan dari pemuda dalam budaya manapun pada masa apapun.
commit to user
65