Transisi 3b
Transisi 3b
Teori Sastra Transisi: Teori Sastra sangat berkaitan dengan Pengantar Ilmu Sastra. Karena
pengampu Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sastra belum tentu oleh dosen yang sama, maka
materi Teori Sastra perlu dilakukan penyesuaian dengan Pengantar Ilmu Sastra, supaya
tidak terjadi pendobelan (overlapping) maupun kerumpangan. Oleh karena itu perlu juga
dilihat silabus materi PIS.
MATERI TEORI SASTRA
1. Sastra dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman bersastra: apa itu sastra
menurut aku? Konkretnya? Apakah sastra dekat dengan kehidupanku?
Kapan aku mulai mengenal sastra? Sastra dalam hidup sehari-hari (Sastra
lama). Ambil contoh sastra yang baik dan menarik (dari pengalaman mereka:
dongeng, drama, film, cerpen). Dibaca bersama-sama, disharingkan &
didiskusikan.
2. Baca puisi Rendra seonggok Jagung di kamar. Bicara ttg kreativitas, majalah
Jejal. Tugas membaca/menikmati sastra yang menarik (puisi, cerita, drama).
3. Sastra menurut Wellek, Sartre.
4. Ragam Bahasa: kekhasan bahasa Sastra dibanding dengan bahasa lainnya:
contoh puisi Muh. Yamin, puisi Rendra, Chairil, Rintrik, Iwan Smtpang.
5. Sastra sebagai fiksi (contoh-contoh). Mengapa sastra sebagai fiksi berguna
bagi manusia? Keuntungan sastra sebagai fiksi?
6. Sastra sebagai seni. Apa itu seni? Keindahan dan sifat-sifatnya. Pengalaman
Estetis
7. Prosa, puisi dan drama
8. Sastra yang baik? Dulce et Utile dalam Sastra.
a. Sastra yang indah: apanya yang indah? Bahasa, ataukah isinya yang mampu
menyentuh hati? Atau imaginasinya? Contoh bahasa yang indah; contoh
imaginasi yang menarik: bulan di atas kuburan; sepotong senja; aku
ingin mencintaimu secara sederhana. Yang indah dalam sastra, tergantung
pada masing-masing genre: puisi, drama, fiksi.
b. Sastra yang bermanfaat. Sastra yang menyentuh hati, mengharukan, sastra
yang indah ataukah yang baik? Atau kedua-duanya?
9. Studi Sastra: teori, sejarah & kritik sastra berada di dalam wilayah ilmu
pengetahuan, namun yang menjadi objek pembicaraan adalah sastra
sebagai seni (karya sastra).
10. Munculnya aliran-aliran dan pendekatan dalam sastra.
11. Mengapa orang membaca sastra? Apa fungsi & peran sastra dalam
kehidupan sehari-hari?
hasilnya: karya seni. Sedang studi sastra adalah cabang ilmu pengetahuan. Seorang
penelaah sastra harus bisa menelaah sastra dalam bahasa ilmiah, dengan uraian yang jelas
dan rasional, meskipun bahan studinya
sedikit banyak mengandung unsur yang tidak rasional.
Sejumlah teoritikus menolak mentah-mentah bahwa telaah sastra adalah ilmu,
karena sastra itu sendiri adalah karya seni (Wellek, 1989: 3). Mereka masih mengaburkan
antara sastra dan telaah sastra. Telaah sastra dianggapnya juga sebagai bagian dari proses
kreatif yang tak terpisahkan dan tak terbedakan dengan kegiatan sastra itu sendiri.
Mereka belum sampai pada kesadaran bahwa telaah sastra bisa dilakukan secara ilmiah,
rasional dan obyektif.
Sejumlah teoritikus menolak bahwa telaah sastra sebagai ilmu. Mereka mengusulkan
telaah sastra sebagai penciptaan kedua . Seperti dilakukan oleh Walter Pater dan John
Addington Symonds.
a. Walter Pater menterjemahkan lukisan Mona Lisa (Leonardo da Vinci) dalam
bentuk tulisan.
b. John Addington Symonds mengulas karya sastra dengan gaya bahasa sastra yang
berbunga-bunga.
Teoretikus lain juga mengambil kesimpulan yang sama skeptisnya. Menurut mereka,
sastra tidak bisa ditelaah sama sekali. Sastra hanya untuk dibaca, dinikmati, dan
diapresiasi. Selebihnya yang bisa dilakukan adalah mengumpulkan berbagai macam
informasi mengenai karya sastra. Justru sikap2 skeptis inilah yang menyebar dan
berkembang ke masyarakat.
Masalahnya adalah bagaimana secara intelektual, mendekati seni, khususnya seni
sastra. Bisakah itu dilakukan? Dan bagaimana bisa dilakukan? Salah satu
jawaban adalah hal itu bisa dilakukan dengan metode2 yang dikembangkan
oleh ilmu-ilmu alam, yang hanya perlu ditransfer ke dalam studi sastra.
Beberapa transfer semacam itu bisa dibedakan (Terj. Prapta).
1. Salah satunya adalah mencoba menyamakan cita2 ideal dari ilmu pengetahuan
umumnya mengenai objektivitas, impersonalitas (bersifat umum), dan
kepastian.
2. Yang lain adalah mencoba meniru metode-metode ilmu alam melalui studi sebabakibat dan studi sumber; metode genetik ini pada prakteknya membenarkan
penelusuran segala macam hubungan selama masih kronologis.
Diterapkan secara lebih ketat, kausalitas ilmu pengetahuan untuk menjelaskan
fenomena sastra, dengan tugas menentukan sebab2nya pada bidang ekonomi, sosial,
dan politik. Lagi, ada introduksi mengenai metode2 kuantitatif yang hampir digunakan
dalam ilmu2 seperti statistik, peta, grafik. Dan akhirnya ada usaha menggunakan konsep
biologis dalam menelusuri evolusi sastra.
Hubungan sebab-akibat, kausalitas ilmiah digunakan untuk menjelaskan
fenomena sastra: mengacu kondisi ekonomi, sosial, dan politik sebagai faktor-faktor
penyebab.
Ada wilayah di mana dua metodologi (IPA & Pasti >< Ilmu
Kemanusiaan/Humaniora) bertumpang tindih, yaitu dengan menggunakan metode dasar
induksi, deduksi, analisis, sintesis dan perbandingan.
Ada pemecahan lain yang muncul: studi sastra memiliki metode2 yang absah dan
ilmiah, walau tidak selalu sama dengan metode ilmu pengetahuan alam.
METODE ILMU ALAM
SEJARAH
1. Ilmuwan melihat penyebab peristiwa 1. Sejarawan mencoba memahami
(Dilthey)
maknanya. Proses pemahaman: individual
& subjektif.
2. Berlaku hukum yang umum (Wilhem 2.Setiap fakta itu unik.
Windelband)
Ilmu budaya melihat hal yang konkret dan
invidual (Heinrich Rickert).
3. IPA pelajari fakta2 yang berulang 3. Sejarah mengkaji fakta-fakta yang silih
(Xenopol)
berganti. Ahli sastra mencari kekhususan,
ciri2 khas dan kualitas tertentu.
Singkatnya ada 2 jalan keluar ekstrem:
1. Mengikuti metode2 ilmiah dengan menyusun hukum-hukum umum.
2. Menekankan subjektivitas dan individualitas serta keunikan karya sastra.
Jalan tengah:
Setiap karya sastra pada dasarnya bersifat umum, sekalligus khusus; individual sekaligus
umum.
Kritik Sastra dan Sejarah Sastra mempelajari ciri khas sebuah karya sastra,
sedangkan Teori Sastra berusaha menemukan hukum umum.
Seperti setiap manusia - memiliki kesamaan dengan umat manusia pada
umumnya, dengan sesama jenisnya, dengan bangsanya, dengan kelasnya, dengan rekan2
seprofesinya - setiap karya sastra memiliki sifat2 yang sama dengan karya seni lainnya,
tetapi juga memiliki ciri2 khas.
1. SASTRA & STUDI SASTRA
Teori Sastra berada dalam wilayah ilmu, tetapi yang menjadi objek dari Teori Sastra
adalah sastra sebagai seni.
2. Sifat-sifat Sastra Menurut Wellek
a. Tertulis atau tercetak.
Salah satu batasan sastra, segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Oleh karena
itu wilayah studi sastra segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan.
Bahkan menurut teori Greenland, studi sastra identik dengan sejarah kebudayaan.
Etimologi Sastra (Sastra dan ilmu Sastra, 1984. Teeuw, a, hlm. 22-24).
BARAT
H u r u f - l e t e r
YUNANI
LATIN
PERANCIS
gramma
littera
lettre
SASTRA - LITERATURE
Grammatika
Litteratura
Litterature
T u l i s a
INGGRIS
letter
JERMAN
Literature
Literatur
TIMUR
SASTRA
SANSKERTA
INDONESIA
Sas-: mengarahkan, mengajar, mberi Sastra: tulisan
petunjuk; tra: alat untuk
Sastra: alat untuk mengajar; buku
petunjuk.
Kamasastra (buku petunjuk tentang
seni
cinta),
silpasastra
(buku
arsistektur).
JAWA (Kuno?)
Sastra: tulisan
b. Mahakarya
BARAT
TIMUR
Inggris
Belanda
belles-lettres:
Bellettrie:
sastra yang baik sastra yang baik
Jawa (Kuno?)
Susastra: sastra
yang baik
Kriteria: segi estetis (indah) & nilai ilmiah (berbobot). Buku ilmiah Inggris yang
dianggap layak: karya Thomas Huxley yang bersifat populer.
BAHASA SASTRA
Perasaan
Konotatif, asosiatif
Ambigu, homonim
Ekspresif sikap pembicara > pmbca
BAHASA SEHARI-HARI
BAHASA SASTRA
Tidak Seragam: percakapan,
Lebih sistematis; ada kesatuan,
perdagangan, keagamaan, bhs
kesengajaan
resmi, slank
Fungsi Ekspresif
Penuh konsep irasional
Bertujuan mencapai sesuatu
Mempengaruhi sikap & tindakan
Perbedaan Pragmatik
Pengaruhi secara langsung
Pengaruhi secara substil
Dalam dunia nyata
Di luar dunia nyata
Aspek Referensial
Dunia realita
Dunia imaginatif
untuk bertanya kepada penulis, 'Apakah tujuan anda menulis? Apa yang anda
lakukan untuk melibatkan diri? Apakah anda memiliki sesuatu untuk
dikomunikasikan?'
Apabila anda mengatakan perilaku seseorang, anda menyingkapnya kepadanya; ia
melihat diri sendiri. Ia menerima dimensi baru. Dengan berbicara, saya menyingkap
keadaan dengan maksud untuk merubahnya. Saya menyingkapnya pada diri sendiri dan
kepada orang lain untuk merubahnya.
Oleh karenanya kita bisa bertanya kepada penulis, 'Aspek mana dari dunia yang
hendak anda singkap? Perubahan apa yang hendak anda bawakan kepada dunia dengan
penyingkapan ini?' Bagi penulis yang terlibat, kata-kata adalah aksi. Menyingkap sama
dengan merubah. Manusia adalah makluk terhadapnya makluk lain tidak bisa tidak
terlibat. Bahkan juga Tuhan tidak. Karena Tuhan, apabila Ia ada, seperti telah dilihat
kaum mistikus, akan berguna dalam hubungannya dengan manusia. Tuhan adalah juga
keberadaan yang tidak bisa melihat suatu situasi tanpa merubahnya.
Kegunaan penulis adalah bertindak sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun
bisa tidak peduli akan dunia dan tak seorang pun bisa berkata bahwa ia inosen terhadap
apa pun juga. Oleh karenanya, penulis harus berbicara mengenai sesuatu. Ia harus
bermaksud mengirimkan pesan-pesan kepada pembaca. Penulis harus bertanggung jawab
sepenuhnya dalam karyanya.
Penulis menyingkap dunia, terutama orang-orangnya, kepada orang lain
(pembaca). Penulis prosa adalah orang yang memilih metode tertentu untuk tindakan
penyingkapan. Ia tidak bisa lagi tidak memihak. Ia mau tidak mau harus memihak pada
masyarakat dan kondisi manusia di sekitarnya. Di dalam karyanya penulis harus
mengajak pembaca untuk terlibat/melibatkan diri sendiri secara penuh kepada dunia,
lingkungannya.
Inilah tema sentral dari buku What is Literature? Penulis hendaknya mengajukan
dalam setiap karyanya, suatu kebebasan konkret atas dasar situasi yang spesifik. Sastra,
menurut dia, bisa merupakan sarana yang baik untuk membebaskan pembaca dari
alienasi/keterasingan yang berkembang di dalam situasi tertentu. Lewat proses sastra
penulis juga membebaskan dirinya sendiri dan mengatasi keterasingannya sendiri. Ia
memperlihatkan bahwa sastra terasing ketika sastra melupakan dan tidak peduli akan
otonominya dan tempatnya sendiri. Tugas penulislah menjauhkan manusia dari
ketidakberdayaan, ketidaktahuan, prasangka dan emosi yang salah.
Kesimpulan: Konsep Sartre mengenai kebebasan ini secara logis menuntut
perlunya komitmen penulis. Maka sastra yang baik adalah apa yang disebut 'sastra
terlibat', litterature engagee. Sartre menyatakan bahwa penulis tak bisa tidak harus
terlibat. Tidak bisa tidak, ia terlibat dalam jamannya sendiri. Sastra harus membantu
pembaca untuk menjadi manusia yang penuh dan bebas di dalam dan melalui sejarah.
Sastra seharusnya tidak bersifat membius melainkan harus membangkitkan manusia
mengubah dunia dan dengan demikian mengubah diri sendiri. Ia menyebut sastra sebagai
bentuk aksi penyingkapan. Sastra harus bersifat praksis: mengubah dan membebaskan
pembaca, dunia, diri sendiri. Buku-buku bukannya kuburan sastra; Buku sastra tidak
hanya untuk ditulis saja, melainkan terutama untuk dibaca. Pena harus bisa berfungsi
sebagai pedang. Alat penulis mempengaruhi pembaca dan dunia.
10
BAHASA SASTRA
Perasaan
Konotatif, asosiatif
Ambigu, homonim
Ekspresif sikap pembicara > pmbca
BAHASA SEHARI-HARI
BAHASA SASTRA
Tidak Seragam: percakapan,
Lebih sistematis; ada kesatuan,
perdagangan, keagamaan, bhs
kesengajaan
resmi, slank
Fungsi Ekspresif
Penuh konsep irasional
Bertujuan mencapai sesuatu
Mempengaruhi sikap & tindakan
Perbedaan Pragmatik
Pengaruhi secara langsung
Pengaruhi secara substil
Dalam dunia nyata
Di luar dunia nyata
Aspek Referensial
Dunia realita
Dunia imaginatif
RAGAM BAHASA MENURUT SLAMET SOEWANDI
RAGAM ILMU
RAGAM SASTRA
Mengungkapkan hal-hal
yang bersifat ilmiah:
pengutaraan konsepkonsep dan prinsipprinsip. Oleh karena itu
sifat umum dari ragam
ini adalah pemakaian
unsur-unsur bahasa
selengkap dan sebaku
mungkin
Mengungkapkan
kehidupan manusia
secara utuh: harapan,
kerinduan, keinginan,
kegembiraan, kebencian,
kegalauan, pikiran, anganangan, cita-cita, dan
realistis, dengan cara
yang estetis: menyentuh
manusia.
11
RAGAM
JURNALISTIK
Mengungkapkan hal-hal
yang dialami, diketahui
dan dipikirkan oleh
sebagian besar
masyarakat. Hal2 itu
berupa fakta (berita),
opini, pemberitahuan,
dsb. Sifat umum dari
ragam ini adalah
penggunaan unsur-unsur
bahasa seefektifefektifnya mengingat
keterbatasan ruang dan
waktu.
Oleh Wellek, sastra dikatakan bersifat tertulis (menggunakan bahasa: tulis, lisan),
mahakarya, imaginative atau konotatif, menggunakan bahasa yang khas.
Bahasa Sastra dibanding dengan bahasa ilmiah, bahasa sehari-hari, dan bahasa
jurnalistik, memiliki kekhususan, yaitu afektif- emosional (menonjolkan unsur
perasaan), estetis, ambigu, konotatif, simbolis, dan memiliki daya kejut. Bahasa
sastra dikatakan sebagai bahasa bergaya.
Sastra sebagai seni memiliki sifat-sifat yang kreatif. Kreatif artinya mampu
menciptakan sesuatu yang baru, sesuatu yang belum ada menjadi ada. Orang yang kreatif
harus selalu tidak puas dengan yang ada. Selalu mencari yang baru. Mencari sesuatu yang
lain daripada yang sudah ada. Dia harus berani lain daripada yang lain. Kalau perlu
Menyimpang dari yang sudah ada. Yang penting bagaimana dia bisa menciptakan suatu
keindahan.
Puisinya Moh. Yamin merupakan contoh sebagai ekspresi perasaan kagum
terhadap tanah air Indonesia. Di samping itu pada jamannya puisi Moh. Yamin ini
merupakan sesuatu yang baru dibanding puisi umumnya (pantun, syair, gurindam,
seloka, dsb)
12
13
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
Rendra
UNDANGAN
Dengan segala hormat
Kami harapkan kedatangan tuan nyonya dan nona
untuk menghadiri kami dikawinkan .
Bahan roti dalam adonan
Tepung dan ragi disatukan
Pohonan bertunas dan berbuah
Benih tersebar dan berkembang biak
Di seluruh muka bumi.
Tempat:
Di gereja St. Yosef, Bintaran, Yogyakarta .
Rumah Tuhan yang tua
Pangkuan yang aman Bapa Tercinta.
Segala kejadian
Mesti bermula di suatu tempat
Pohon yang kuat
Berakar di bumi keramat.
Waktu:
Selasa, tempat 31 Maret 1959
Jam 10 pagi, waktu di Jawa ..
Hari baru terbuka
14
15
16
RANGKUMAN:
Seni: Karya Kreatif Yang Dihasilkan Oleh Bakat & Ketrampilan Manusia, Yang Memiliki
Bentuk & Keindahan: Seni Lukis, Patung, arsitektur, musik, sastra, drama, tari, dsb.
Kamus
1. Suatu kualitas yang memberi kesenangan pada indera.
2. Wanita yang tampak sangat menawan dan menggoda.
Kesimpulan
Keindahan: anugerah maupun sifat khusus yang luar biasa, yang memberi kesenangan
pada indera, intelek & batin manusia.
Keindahan indera meliputi aspek yang berkaitan dengan penglihatan (alam,
lukisan, manusia; warna, bentuk bundar, lonjong), pendengaran (alam, musik), perabaan
(halus, lembut), pencecapan (enak, lezat), penciuman (wangi, harum, sedap).
Keindahan batin: cinta, baik,
Beda Seni dan keindahan? Keindahan lebih dimiliki oleh alam? Bersifat alami, sedang
seni sudah merupakan campur tangan dari kreativitas & rekayasa manusia?
Batasan estetika cukup beraneka ragam. Hal-hal yang biasanya dibicarakan dalam
estetika (hlm. 21).
1. Keindahan
2. Keindahan dalam alam dan seni
3. Keindahan khusus pada seni
4. Keindahan dan Seni
5. Seni (segi penciptaan dan kritik seni serta hubungan dan peranan seni)
6. Citarasa
7. Ukuran nilai baku
8. Keindahan dan kejelekan
9. Nilai non-moral (nilai estetis)
10. Benda estetis
11. Pengalaman estetis.
17
Jack Marritain
Proses penghayatan estetis bersumber pada persepsi alamiah-faktual lewat daya2
indera. Ketika kita di sore hari . Atau di puncak gunung menyaksikan fajar menyibak
di ufuk Timur. Dalam suasana hening, kita merasakan keindahan yang memukau.
Berhadapan dng keindahan:
a. Terpesona; rasakan keindahan memukau; kenikmatan rohani; larut dalam
kontemplasi; mengagumi keindahan alam; terbawa kekuatan alam. Hilang
kesadaran.
b. Merasa diri kecil, tersedot oleh kekuatan alam. Lenyap perbedaan antara
Subjek dengan Objek. Lebur antara dunia besar (makro kosmos, alam)
dengan dunia kecil (mikro kosmos, aku). Aku terangkat ke dalam sesuatu
yang agung. Berbagai daya kekuatan dalam diriku melebur, menyatu
sempurna sbg manusia.
c. Orang tsb ingin sekali mengabadikan pengalaman tsb. Kemudian ia
ingin mengungkapkan pengalaman yang mencengkam itu lewat kanvas,
tarian, lagu, bahasa. Lahirlah karya itu. Bila pengungkapan itu tercapai,
hilanglah perasaan tercengkam/tertekan itu. Dia lega dan puas, berhasil
membebaskan ketercekaman yang menindihnya. Maka lahirnya hasil
sastra itu merupakan katharsis bagi pengarang.
Dalam pengalaman estetis, lenyaplah perbedaan antara subyek (aku yang
mengamati alam) dan obyek (alam). Aku seolah meluluh dengan alam sekitar, aku merasa
terangkat dalam sesuatu yang lebih besar dan agung daripada aku. Sekaligus lenyaplah
(untuk sementara) perbedaan antara berbagai daya kekuatan dalam diriku sendiri,
misalnya perbedaan antara jiwa dan tubuh, perbedaan antara akal budi, kemauan, emosi
dan lain2. Tercapailah dalam diriku suatu keseimbangan, suatu peleburan dan keutuhan
sempurna sebagai manusia.
Terjadi semacam interpenetrasi (saling menerobos) antara alam dan manusia.
Kedua belah pihak saling meluluh tanpa kehilangan identitasnya masing2. Manusia yang
merasakan getaran keindahan alam mengadakan semacam identifikasi spiritual dengan
alam itu, bahkan alam memasuki kalbunya. Sebaliknya manusia memasuki alam
(Maritain). Para ahli menganalisa pengalaman tentang keindahan timbul dari perjumpaan
dengan alam.
PENGALAMAN ESTETIS (Barat)
Proses penghayatan pengarang berpangkal dari pengalaman yang bersumber pada
persepsi alamiah-faktual lewat daya2 indera. Ketika kita di sore hari entah di sebuah desa
maupun di pantai, menghadap ke barat, kita terpesona oleh keindahan bola mentari yang
mau tenggelam. Atau di puncak gunung menyaksikan fajar menyibak di ufuk Timur.
Dalam suasana hening, kita merasakan keindahan yang memukau. Dalam sekejap kita
akan merasakan kenikmatan rohani. Kita akan larut dalam kontemplasi sejenak,
mengagumi keindahan alam. Terdiam. Orang merasa terbawa oleh kekuatan alam. Orang
merasa lebur dalam alam. Merasa diri kecil. Kesadaran seolah terhisap oleh sebuah
kekuatan.
18
Keadaan tsb berlangsung dalam sesaat. Beberapa detik, atau menit. Orang tsb
ingin sekali mengabadikan pengalaman tsb. Kemudian ia ingin mengungkapkan
pengalaman yang mencengkam itu lewat kanvas, tarian, lagu, bahasa. Lahirlah karya itu.
Bila pengungkapan itu tercapai, hilanglah perasaan tercengkam/tertekan itu. Dia lega dan
puas, berhasil membebaskan ketercekaman yang menindihnya. Maka lahirnya hasil sastra
itu merupakan katarsis bagi pengarang. Itulah proses penciptaan karya sastra:
penghayatan poetik. (Bandingkan dengan "pengalaman estetik" dari Dick Hartoko).
Lenyaplah perbedaan antara subyek (aku yang mengamati alam) dan obyek
(alam). Aku seolah meluluh dengan alam sekitar, aku merasa terangkat dalam sesuatu
yang lebih besar dan agung daripada aku.
Sekaligus lenyaplah (untuk sementara) perbedaan antara berbagai daya kekuatan
dalam diriku sendiri, seperti misalnya perbedaan antara jiwa dan tubuh, perbedaan antara
akal budi, kemauan, emosi dan lain2. Tercapailah dalam diriku suatu keseimbangan,
suatu peleburan dan keutuhan sempurna sebagai manusia. Terjadi semacam interpenetrasi
(saling menerobos) antara alam dan manusia. Kedua belah pihak saling meluluh tanpa
kehilangan identitasnya masing2. Manusia yang merasakan getaran keindahan alam
mengadakan semacam identifikasi spiritual dengan alam itu, bahkan alam memasuki
kalbunya. Sebaliknya manusia memasuki alam (Maritain).
Para ahli menganalisa pengalaman tentang keindahan timbul dari perjumpaan
dengan alam.
Monroe C. Beardsley mengungkapkan bahwa pengalaman estetis menentramkan
dan menggembirakan manusia.
Plotinos mendekatkan pengalaman estetis dengan pengalaman religius, bahkan
puncak perkembangan estetis itu sendiri adalah pengalaman religius yang disebut
pengalaman mistik.
Cuplikan sepenggal kisah Affandi melukis di pantai Bali untuk beri contoh
inspirasi seni dan pengalaman estetis; atau hubungan antara alam dengan seni.
Edgard Allan Poe mengatakan, sastra berfungsi sekaligus mengajarkan sesuatu.
Horatius menyatakan bahwa puisi itu indah dan berguna, dulce et utile. Seni yang
mampu mengartikulasikan perenungan itu memberikan rasa senang. Pengalaman
mengikuti artikulasi itu memberikan rasa lega. Kedua segi itu bukan hanya harus ada,
melainkan harus saling mengisi. Kesenangan yang diperoleh dari seni bukan hanya
kesenangan fisik, melainkan kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kontemplasi yang tidak
mencari keuntungan. Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk membuktikan bahwa
manfaat sastra terletak pada segi pengetahuan yang disampaikannya. Sekarang hendak
dibuktikan bahwa sastra memberikan pengetahuan dan filsafat. Salah satu nilai kognitif
drama dan novel adalah segi psikologisnya. Novelist dapat mengajarkan lebih banyak
tentang sifat-sifat manusia daripada psikolog. Karen Horney menunjuk Dostoyevsk,
Shakespeare, Ibsen, dan Balzac sebagai sumber studi psikologi. E.M. Forster dalam
Aspect of the novel mengatakan, novel sangat berjasa mengungkapkan kehidupan batin
tokoh-tokohnya. Novel-novel besar barangkali bisa menjadi buku sumber bagi para
psikolog (Oediphus complex).
Fungsi sastra, menurut sejumlah teoritikus, adalah untuk membebaskan pembaca
maupun penulisnya dari tekanan emosi. Mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri
dari emosi itu. Goethe konon terbebas dari Weltschmerz dengan menciptakan karyanya,
19
The Sorrows of Werther. Seorang pembaca novel maupun penonton drama-tragedi juga
mengalami perasaan lega. Apakah sejumlah karya sastra membangkitkan emosi?
SENI (Ernst Cassirer)
Bahasa dan seni terus menerus bergerak di antara 2 kutub yang bertentangan, yaitu kutub
objektif dan kutub subjektif. Fungsi utama keduanya adalah fungsi mimetis. Bahasa
dikatakan imitasi bunyi-bunyi, sedang seni adalah imitasi benda-benda lahiriah. Imitasi
merupakan naluri fundamental. Kata Aristoteles, Imitasi merupakan hal yang wajar bagi
manusia sejak kanak-kanak. Manusia ialah binatang paling suka meniru dibanding
binatang lain. Manusia belajar lewat cara meniru.
Musik pun merupakan gambaran dari benda-benda. Permainan seruling, taritarian tak lain adalah peniruan. Pemain seruling dan penari, melalui irama-irama, lagu,
gerak menirukan apa yang dilakukan dan dialami manusia. Tindakan dan watak manusia.
Horatius mengatakan, Ut pictura poesis (puisi bagaikan lukisan). Simonides berkata,
lukisan adalah puisi diam, dan puisi adalah lukisan kata-kata. Puisi dan lukisan berbeda
hanya dalam cara dan sarananya, bukan karena fungsi utamanya.
Namun teori-teori imitasi tidak membatasi karya seni hanya pada reproduksi
realitas secara mekanis saja. Terbuka bagi kreativitas dan spontanitas seniman.
Aristoteles mengatakan, bahwa kemustahilan yang menyakinkan lebih disukai daripada
ketidakmustahilan yang tidak menyakinkan.
Para Neoklasik pada abad XVI hingga Abbe Batteux berpendapat, bahwa seni
tidak mereproduksi alam secara umum tanpa pilih-pilih, melainkan hanya alam yang
molek saja (la belle nature).
Teori imitasi ini bisa bertahan hingga paruh pertama abad XVI. Rousseau
menolak teori klasik maupun neoklasik. Menurutnya, seni bukanlah deskripsi maupun
reproduksi dunia empiris, melainkan luapan emosi perasaan (Nouvelle Heloise). Di
Jerman, paham Rousseau ini diikuti oleh Herder dan Goethe. Sejak itu teori keindahan
memperoleh bentuk baru. Menurut Goethe, seni kreatif lahir, karena manusia tergoda
untuk memperindah dunia sekitar. Maka seni karakteristik (unik, individual, muncul
dari dalam, orisinal, mandiri) merupakan seni sejati.
Seni karakteristik atau seni ekspresif merupakan luapan spontan daya-daya
perasaan. Seni bersifat reproduktif, meskipun bukan reproduksi benda-benda atau
objek fisik, melainkan reproduksi hidup batiniah, afeksi-afeksi dan emosi-emosi.
Art Meaning and Definition internet
1. Kemahiran; ketrampilan; keahlian
2. Penerapan ketrampilan menghasilkan sesuatu yang indah dengan tiruan maupun
rancangan, misalnya seperti lukisan, pahatan.
3. Hasil dari kreativitas manusia; karya seni secara kolektif.
4. Kreasi dari hal-hal yang penting dan indah.
5. Ketrampilan khusus yang bisa dipelajari dengan studi dan latihan maupun
pengamatan.
20
21
dapat berkomunikasi dengan penciptanya sendiri setelah ada bentuk yang diberikan oleh
imaginasi. Apa yang ditangkap oleh imaginasi sebagai keindahan adalah kebenaran.
Keats mengatakan, sesuatu yang indah memberi perasaan suka cita yang dalam,
dan daya tariknya selalu bertambah. Dengan demikian, sesuatu yang indah adalah
abadi. Karya Dante (126-1321), Beethoven (1770 - 1827), Michaelangelo (1745-1864),
Basuki Abdullah, Affandi, yang tidak pernah dilupakan orang adalah indah, dan karena
itu abadi. Dari jaman ke jaman orang selalu menikmatinya, dan setiapkali orang
menikmatinya, daya tarik karya selalu bertambah. Lukisan "Monalisa" sampai
sekarang menjadi legenda yang tak pernah padam. Bahkan sampai dilagukan.
Dalam sikap estetis, digunakan istilah-istilah detachment (tak terpengaruh),
disinterested (tanpa pamrih), impartially (netral, tak memihak), aesthetic distance
(Mudji Sutrisno, 1993: 16). Keindahan dalam arti terluas merupakan pengertian semula
dari bangsa Yunani dulu yang di dalamnya tercakup pula ide kebaikan. Plato misalnya
menyebut tentang watak yang indah dan hukum yang indah.
Menurut Plato, yang indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling
sederhana. Kesederhanaan sebagai ciri khas dari keindahan, baik dalam alam maupun
dalam karya seni. Di samping itu kepaduan juga merupakan ciri keindahan. Yang paling
indah adalah idea. Karya seni bagi Plato merupakan tiruan dari tiruan, yang jauh dari
kebenaran sejati.
Sedang Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang selain baik juga
menyenangkan. Menurut Aristoteles, keindahan menyangkut keseimbangan dan
keteraturan ukuran material. Katharsis adalah puncak dan tujuan karya seni drama dalam
bentuk tragedi. Menurut Aristoteles, segala peristiwa, pertemuan, wawancara,
permenungan, keberhasilan, kegagalan dan kekecewaan, harus disusun dan dipentaskan
sedemikian rupa sehingga pada suatu saat secara serentak semuanya tampak "logis" tetapi
juga seolah-olah "tak terduga". Katharsis sebagai pembebasan batin dari segala
pengalaman penderitaan. Memiliki makna terapeutis dari segi kejiwaan. Ada unsur
perubahan sikap batin menuju ke kebaikan.
Plotinos menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Orang
Yunani dulu berbicara pula mengenai buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang
indah (414). Menurut Plotinos, keindahan terbentuk apabila ada persatuan antara pelbagai
bagian yang berbeda satu sama lain. Persatuan hanya bisa terjadi jika ada heteroginitas.
Dalam lingkungan Stoa, seni dikaitkan dengan keteraturan dan simetri, karena
itu mendukung dan menimbulkan ketentraman jiwa. Tetapi bangsa Yunani juga mengenal
pengertian keindahan dalam arti estetis yang disebutnya 'symmetria' untuk keindahan
berdasarkan penglihatan (misalnya pada karya pahat dan arsitektur) dan 'harmonia'
untuk keindahan pendengaran (musik).
Pengertian keindahan yang seluas-luasnya meliputi: keindahan alam, seni,
moral dan intelektual (hlm. 35).
Kualitas yang paling sering disebut adalah unity (kesatuan), harmony
(keselarasan), symmetry (kesetangkupan), balance (keseimbangan) dan contrast
(pertentangan) 416. Teori agung tentang keindahan menjelaskan bahwa: "keindahan
terdiri dari perimbangan dari bagian2, lebih tepat perimbangan dan susunan dari bagian2,
atau lebih tepat lagi terdiri dari ukuran, persamaan dan jumlah dari bagian2 serta
hubungan2 satu sama lain (5. 22).
22
De Witt H. Parker menulis dalam bukunya The Analysis of Art mengenai ciri2
dari bentuk estetis. Buku yang lain, The Priciples of Aesthetics (1920) menyebut ciri2
umum dari bentuk estetika menjadi 6 asas, yaitu asas kesatuan utuh, asas tema, asas
variasi menurut tema, asas keseimbangan, asas perkembangan, dan asas hierarki
(5.32).
Monroe Beardsley dalam Aesthetics: problems in the Philosophy of Criticism)
yang menjelaskan adanya 3 ciri keindahan, a. Kesatuan; b. Kompleksitas; c. intensitas
(5.33).
Agustinus juga menghubungkan keindahan dengan keselarasan, keseimbangan,
keteraturan. Bagi Thomas Aquinas, keindahan harus mencakup 3 kualitas: integritas,
proporsi atau keselarasan yang benar dan kecemerlangan.
PUISI
Monolog
PROSA
Campuran
monolog &
dialog
Pola kalimat
yang
23
DRAMA
Dialog
Pola kalimat
bait
3
4
Padat
Versifikasi:
tipografi bunyi,
ritme, diksi,
gaya, citraan
5 Bersifat lirik,
epik
6. Dibawakan,
dideklamasikan
membentuk
alinea
Cair
Diksi & gaya
Cair Dramatik
Retorik
Bersifat
naratif (alur)
Dibaca
Retorikdramatik
Dilakonkan
24
Cerita selalu menarik. Orang selalu ingin mendengar cerita, sesuatu yang baru. Orang
selalu ingin tahu. Juga karena cerita memberi kemungkinan orang berimaginasi. Cerita
membawa orang ke dunia tersendiri, yang lain dengan dunia nyata yang hanya terbatas
pada peristiwa-peristiwa konkret yang terbatas pada waktu, tempat dan fisik. Dunia
dongeng, cerita bisa menyajikan sesuatu yang tidak mungkin dialami oleh dunia
sehari-hari; sesuatu yang ruarr biasa! Orang bebas berfantasi. Contoh: Harry Porter
yang menghipnotis banyak orang.
Salah satu nafsu manusia yang berguna adalah rasa ingin tahu. Manusia berakalbudi. Pada dasarnya semua orang senang mendengar berita, sesuatu yang baru untuk
menambah wawasan. Sesuatu yang baru selalu menarik. Kita lihat setiap pagi orang
mencari koran, mendengarkan warta berita, berita dalam dunia, sekilas info, dst.
Bagaimana kita sehari tanpa berita? Apabila tivi kita rusak, koran tidak terbit, kita sudah
bingung. Pagi-pagi kita berebut koran. Ibu-ibu juga sibuk jual-beli berita. Ngrumpi, bikin
gosip. Dalam tivi ada acara KIS, BETIS, BIBIR plus, KABAR-KABARI, INTIP, CEK
& RICEK, NGOBRAS, KLISE, POSTER, ... dll yang menjual berita mengenai para
selibritis. Majalah, koran mendapatkan banyak untung karena gosip. Gosip bisa
dibisniskan. Para selebritis, bintang film, artis, banyak dikejar-kejar wartawan.
Berita-berita koran, majalah sengaja dibuat sensasional. Entah tentang politik, bintang
film, dunia dhemit, dsb.
Cerita lain dengan berita. Berita menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi dan
benar-benar terjadi, sedang cerita adalah sebuah rekaan mengenai peristiwa-peristiwa.
Dalam cerita orang bisa merancang, merekayasa, mengurutkan, memilih peristiwa agar
menarik orang lain. Dalam cerita, orang membuat dan menciptakan alur atau jalan cerita.
Dalam fiksi cerita, diciptakan pelaku-pelaku dan tema-tema tertentu agar cerita itu
bermakna. Sebab dalam cerita itu pencerita mempunyai maksud, yaitu agar pendengar
tertarik, terharu, dan mengambil hikmah darinya. Pencerita mengirim pesan terselubung.
Pencerita berharap agar pembaca bisa membaca dan memaknai pesan yang dikirimnya
Setiap orang ingin mendengar cerita. Tentang sesuatu yang belum pernah
didengar. Sesuatu yang baru, yang memberi pelajaran hidup, menggugah hati,
meneguhkan, memberi inspirasi, mengejutkan, lain dari yang lain, sensasional.
Cerita merupakan salah satu genre karya sastra. Dalam cerita orang mengungkapkan
pengalaman hidupnya lewat bentuk narasi. Mengapa berita politik jaman Suharto
menarik? Ingin sesuatu lain terjadi. Mengharapkan kejutan. Dasar Suharto begitu cerdik
untuk memainkan politik. Suharto cerdik membuat 'berita', mengemudikan peristiwa
politik. Mengapa berita politik pada jaman Gus Dur tidak menarik? Gus Dur lebih banyak
ngomong daripada bertindak (membuat berita). Beritanya membuat orang bingung, tidak
ada kemajuan, hanya begitu-begitu saja, bisa ditebak yang diomongkan: bicara tentang
cara menggoyang dan mengganti presiden, Sidang Istimewa dari pihak anti-Gus Dur, dan
tentang pembelaan dari pihak yang pro.
Sesuatu yang terbungkus, mengandung misteri, selalu menarik. Kado dalam
bungkus, surat dalam amplop, menarik untuk dibuka. Wanita yang masih menyimpan
misteri, menarik laki-laki. Setiap hari orang cari berita untuk ungkap misteri. Cerita yang
mengandung misteri diburu orang. Cerita bisa menghibur orang (dongeng menjelang
tidur). Menimbulkan keprihatinan. Cerita bisa memberi inspirasi. Memberi peneguhan
dalam menjalani hidup ini (cerita tentang kebijaksanaan). Cerita bisa menyelamatkan,
mendidik orang: Bayan budiman. Kadang-kadang orang mengalami kesepian. Orang
25
butuh peneguhan. Cerita yang baik bisa menghibur, tetapi juga bisa memberi sesuatu
yang bermanfaat, kebijaksanaan, pendidikan, penyadaran, dsb. Cerita yang menarik
digunakan orang untuk membungkus sebuah pesan yang hendak disampaikan kepada
pendengar/pembaca sebagai sarana pendidikan. Tidak hanya cerita yang terjadi sekarang
saja yang menarik.
Cerita yang terjadi dahulu sering lebih menarik karena menceritakan tentang
kejadian-kejadian yang telah lalu, yang ajaib dan mengandung misteri: cerita tentang
terjadinya Gunung Tangkuban Perahu, Rawa Pening, Cerita Rara Jonggrang. Dari situ
muncul cerita-cerita mitos, legenda, dsb. Juga tidak hanya cerita nyata saja yang menarik,
tetapi cerita-cerita khayal, imaginatif, rekaan, buatan manusia. Sebaliknya ada orang yang
senang bercerita. Ada orang yang ingin mensharingkan pengalamannya kepada orang lain
untuk meneguhkan bahwa orang lain memiliki pengalaman yang tidak jauh berbeda pula.
Ada orang yang ingin agar ceritanya menarik. Bagaimana supaya cerita menarik? Agar
cerita itu menarik, diusahakan menggunakan bahasa yang baik dan indah, serta
teknik (pengaluran, penokohan, pelataran dan penceritaan) yang canggih. Alurnya
tidak terlalu sederhana, melainkan menantang. Temanya tidak hanya biasa-biasa
saja, melainkan menyentuh dan menggerakkan hati manusia. Mengandung moral
serta pendidikan, memberi inspirasi dan memberi peneguhan kepada manusia.
Bahasanya dikemas dengan bahasa lincah, bergaya dan bernilai seni tinggi. Sudut
pandang penceritaan (akuan, diaan), cara penceritaan (panorama, adegan) secara
seimbang. Yang penting diberi tekanan dengan cara adegan, dengan teknik akuan,
sedangkan yang hanya sekedar diketahui diceritakan secara panorama, dengan
teknik diaan.
Cerita yang baik memiliki plot yang mengandung teka-teki,
menyembunyikan sesuatu dan menggelitik rasa ingin tahu, sehingga orang
bertanya, "habis ini apa?". Tokohnya simpatik. Ada harapan, pertanyaan yang
mengandung harapan, bagaimana sang jagoanku? Semoga jagoanku menang atau
bebas dari ancaman. Semoga antagonisnya yang menimbulkan antipati itu kalah.
Semoga yang baik menang, yang jahat kalah.
Bagaimana cerita yang indah itu?
Yang mampu menyentuh hati manusia. Bagaimana cerita bisa menyentuh hati?
Cerita bisa menyentuh hati karena mengandung nilai-nilai kemanusiaan, mengandung
moral yang luhur. Biasanya mengandung tema human interest. Mengenai kesetiaan,
cinta sejati, kejujuran dan perjuangan yang berujung kepada kemenangan, kebahagiaan.
Cerita yang menarik mengandung gerak alur yang dinamis, berliku-liku, kompleks,
tegang, menuju kepada klimaks mengejutkan, memuaskan, melegakan. Memiliki tokoh
seorang ksatria tampan, membela kebaikan dan keadilan, berpihak pada orang kecil,
tertindas.
Keindahan di sini seperti keindahan menurut pandangan Plato/Aristoteles:
mengandung kebaikan. Indah artinya baik.
Menurut Plato, yang indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling
sederhana. Kesederhanaan sebagai ciri khas dari keindahan, baik dalam alam maupun
dalam karya seni. Di samping itu kepaduan juga merupakan ciri keindahan.
Sedang Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang selain baik juga
menyenangkan. Menurut Aristoteles, keindahan menyangkut keseimbangan dan
26
keteraturan ukuran material. Katharsis adalah puncak dan tujuan karya seni drama dalam
bentuk tragedi. Menurut Aristoteles, segala peristiwa, pertemuan, wawancara,
permenungan, keberhasilan, kegagalan dan kekecewaan, harus disusun dan dipentaskan
sedemikian rupa sehingga pada suatu saat secara serentak semuanya tampak "logis" tetapi
juga seolah-olah "tak terduga". Katharsis sebagai pembebasan batin dari segala
pengalaman penderitaan. Memiliki makna terapeutis dari segi kejiwaan. Ada unsur
perubahan sikap batin menuju ke kebaikan.
Cerita menarik antara lain karena alurnya.
4. SENI PENTAS: MENGAPA DRAMA MENARIK?
Antara lain karena tata pemanggungnya, diragakan, bahasa yang digunakan dramatis &
puitis, mengandung alur cerita. Sesuatu ajaran tidak membosankan apabila dibungkus
dengan seni pentas (drama, pantomim, tablo). Sebuah cerita akan menjadi hidup apabila
diragakan dalam pemanggungan. Drama tari maupun sendratari lebih menarik daripada
cerita yang hanya dibacakan saja. CONTOH-CONTOHNYA:
5. CERITA BERGAMBAR: Komik, film.
MORAL DALAM SASTRA
UTILE: SASTRA YANG BERGUNA
Kalau dulce lebih menyangkut bidang lahiriah, utile lebih menyangkut nilai batin.
Berguna di sini bukan dalam arti ekonomis-praktis.
NILAI-NILAI DALAM SASTRA
Orang bisa belajar banyak dari sebuah novel yang baik. Dari situ bisa digali berbagai
macam nilai-nilai kehidupan, misalnya nilai kejujuran, kesetiaan, nilai sosial, religius,
dst. Novel yang baik bisa memantulkan bermacam-macam dimensi kehidupan.
Menurut Hazel, novel yang baik memiliki lebih dari satu lapis makna. Ia
mengandung lebih daripada yang dinyatakannya (1984: 3). Dia mengambil contoh
Animal Farm karangan George Orwell. Pada tataran lapis pertama, ia bercerita mengenai
dunia binatang yang mengambil-alih Petani Jones. Anak-anak kecil pun bisa
membacanya sebagai cerita mengenai binatang yang berperilaku seperti manusia. Bisa
dibandingkan dengan cerita Kancil. Pada tataran kedua Animal Farm membuat
perbandingan historis dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi selama Revolusi Rusia.
Ia menggunakan apa yang disebut alegori. Dalam sastra Indonesia karya-karya sastra di
Jaman Jepang seperti "Tinjaulah Dunia Sana", atau sebuah drama Bebasari mengandung
maksud-maksud tertentu di samping yang tersurat. Karya-karya tersebut bersifat simbolis
maupun alegoris. Demikian pula novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari, Belenggu
karya Armijn Pane, Burung Manyar karangan Mangunwijaya, Ziarah karangan Iwan
Simatupang.
Di samping itu novel yang baik bisa dibaca-ulang secara menyenangkan, tidak
membosankan.
Novel yang baik memiliki sesuatu yang sangat penting dalam hubungan
manusiawi misalnya beberapa nilai kehidupan, seperti nilai sosial, religius, psikologis,
nilai sosial, religius, dsb.
27
Dan tentu saja, novel yang baik menggunakan bahasa yang baik dan benar
(Hazel, 1984: 5).
Menurut Sapardi Djoko Damono, sastra modern kita pun ternyata sudah sejak
awal perkembangannya merupakan arena untuk menggambarkan ketimpangan sosial, dan
lebih jauh lagi untuk menyampaikan kritik terhadap kepincangan itu. Novel-novel
pertama terbitan Balai Pustaka kebanyakan sekaligus merupakan propaganda dan protes
sosial. Sebagai badan penerbit pemerintah kolonial Belanda, sebanarnya adalah kantor
propaganda. Ia ditugasi untuk menyediakan bacaan bagi rakyat agar mereka menjadi
warga yang baik dalam lingkungan negeri jajahan. Dengan caranya masing-masing, Sitti
Nurbaya oleh Marah Rusli, Salah Asuhan oleh Abdul Muis, dan Layar Terkembang
oleh Takdir alisjahbana mencoba mengetengahkan dan sekaligus mengoreksi
ketidakberesan dalam masyarakat. Ketiganya menampilkan problem penyesuaian diri
manusia di tengah masyarakat yang berkembang. Juga novel-novel tersebut mengambil
posisi politis yang netral (Damono, 1983: 23).Masalah korupsi juga pernah disinggung
oleh Mochtar Lubis dalam novelnya Jalan Tak Ada Ujung (1952).
Pak Guru yang selama ini jujur mengalami krisis mental yang luar biasa ketika
untuk pertama kali ia mencuri alat-alat tulis di sekolahnya. Akhirnya ia melakunnya juga.
Selanjutnya peristiwa semacam itu menjadi biasa seperti sudah seharusnya saja. Di
samping kemiskinan, korupsi ternyata merupakan problem utama dalam masyarakat kita
yang juga mendapat perhatian sastrawan (Damono, 1983: 24). Novel bisa
memperlihatkan masalah psikologis seperti Belenggu, Layar Terkembang, Telegram
dan Stasiun. Oleh karenanya novel-novel tersebut menawarkan sesuatu baru kepada kita.
Novel-novel tersebut memperlihatkan suatu proses berpikir itu sendiri. Tokoh-tokoh
dalam novel tersebut senantiasa berpikir dan menyusun citra-citra (Damono, 1983: 14).
Tidak seperti novel-novel sebelumnya di mana tokoh-tokohnya tidak mengalami
perkembangan kejiwaan mulai dari awal sampai akhir cerita, karena kebanyakan tidak
berpikir sama sakali (Damono,1983: 8). Masalah sosial dan religius dimunculkan dalam
Kemarau-nya A.A. Navis. Cerita yang menampilkan masalah psikologis dan religius
dengan jelas misalnya Atheis, Di Bawah lindungan Kaabah. Bahkan Atheis
memunculkan ketiga aspek tersebut (masalah-masalah religius, psikologis dan sosial).
SASTRA SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN
Seperti telah disebut di atas, sastra yang baik memiliki sifat indah, menarik untuk dibaca,
tetapi juga bersifat mendidik. Dengan demikian novel sebagai karya sastra bisa sebagai
sarana pendidikan. Novel harus mampu menggugah minat orang untuk membaca, tetapi
juga memberi sesuatu kearifan hidup, sehingga mampu menggerakkan pembaca untuk
menjalani hidup yang lebih baik. Dengan demikian pembelajaran novel di sekolah sangat
menunjang pendidikan.
Menurut kurikulum 1994, tujuan umum pembelajaran sastra di SMU adalah siswa
mampu menikmati, menghayati, memahami dan memanfaatkan karya sastra untuk
mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan serta meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa (Depdikbud, 1995: 1). Memahami, menghayati,
serta menggali nilai-nilai bermanfaat bagi kehidupan, yaitu nilai-nilai religius, sosial,
moral, dan budaya (Depdikbud, 1995: 1). Penghayatan nilai-nilai itu meningkatkan
kualitas kepribadian yang pada gilirannya ikut mempengaruhi manusia dalam mencapai
kesejahteraan maupun kebahagiaan (Rahmanto, 1988: 16).
28
29
Sastra sebagai unsur kebudayaan, memberikan hidup yang lebih mulia kepada
manusia. Mengangkat dunia dan martabat manusia dengan mendasarkan diri pada nilainilai yang paling tinggi, indah, agung dan benar. Sastra menjadikan manusia lebih
menusiawi. Sastra yang baik memiliki sifat indah, menarik untuk dibaca, tetapi juga
bersifat mendidik. Dengan demikian novel sebagai karya sastra bisa sebagai sarana
Pendidikan. Novel harus mampu menggugah minat orang untuk membaca, tetapi juga
memberi sesuatu kearifan hidup, sehingga mampu menggerakkan pembaca untuk
menjalani hidup yang lebih baik.
Dengan pendidikan humaniora manusia tahu menilai yang baik dengan mata hati
yang bening, bisa memilih dengan bijak dan dengan tekad yang bulat melakukan yang
dianggapnya baik. Manusia humaniora mencintai keselarasan, yang dilihat dalam alam,
dirasai dalam dirinya.
HUMANIORA: mendidik manusia untuk menjadi manusia dewasa yang integral
dan peka (manusia terasah). Peka terhadap keindahan, peka budinya, peka hatinya.
Terasah akal-budinya, rasa-perasaannya, karya dan hatinya, sehingga manusia yang
berkembang maksimal dan berselera tinggi. Manusia bermartabat.
UTILE ET MOVERE
SASTRA SEBAGAI ILMU (ILMU SASTRA)
Ilmu Sastra?
Sastra merupakan seni dan kegiatan kreatif. Tetapi studi sastra sebagai cabang
ilmu, apa mungkin? Untuk menjawab itu perlu diperjelas apa itu sastra dan apa itu ilmu.
ASAL-USUL PENGETAHUAN, ILMU PENGETAHUAN, FILSAFAT
Mencari kebenaran & kebijaksanaan. Berhadapan dengan alam yang masih
misteri, timbul keinginan manusia untuk mengetahui rahasia alam. Untuk memahami
rahasia alam itu, manusia berusaha menafsirkannya lewat beberapa hal.
2. Mitologi: mencari keterangan tentang asal-usul alam semesta sendiri disebut mite
kosmogonis; mencari keterangan tentang asal-usul kejadian dalam alam semesta
disebut mite kosmologis. Bagaimana orang menjelaskan pelangi, petir, hujan,
gempa bumi, peredaran matahari. Bandingkan dengan timbulnya mitos Jawa
(Betara Kala, Nyai Lara Kidul, Cerita Asal-usul, dsb). Upacara2 maupun ritual
mitis merupakan wujud dari kepercayaan mitos (upacara bersih desa, mohon
hujan, jauh dari musibah, dsb)
3. Kesusastraan (Yunani): dipelopori oleh Homeros dengan karya besarnya berjudul
Eliade dan Odessea.
4. Dari mitos ke logos: Sejak abad ke-6 SM mulai berkembang suatu sikap rasional.
Orang mulai mencari jawaban2 rasional tentang problem2 yang diajukan oleh
alam semesta. Logos (akal budi, rasio) mengganti mythos. Mulailah filsafat &
ilmu pengetahuan. Filsafat Yunani hampir mempelajari seluruh ilmu pengetahuan.
Seorang filsuf sekaligus seorang ilmuwan. Aristoteles, pelajari logika, fisika,
ilmu hokum, politik, sastra, psikologi, etika, metafisika, dsb.
30
31
Pengetahuan: segala sesuatu yang diketahui manusia. Hasil tahu manusia mengenai
sesuatu.
Ilmu adalah pengetahuan yang terorganisasi serta tersusun secara sistematik menurut
kaidah umum, sehingga bisa disimpulkan dalil-dalil tertentu menurt kaidah-kaidah
umum (Nazir).
Ilmu muncul karena manusia merupakan makhluk yang punya akal budi
untuk berpikir. Karena itu manusia punya kodrat selalu ingin tahu. IP muncul
karena adanya pengetahuan yang dimiliki manusia. Pengetahuan yang tersusun
secara sistematik itu disebut ilmu. Ilmu muncul karena manusia berpikir dan
mengetahui.
Proses berpikir manusia untuk menghasilkan ilmu itu menurut Dewey sebagai
berikut.
1. Muncul masalah atau rasa sulit yang dialami dengan alam sekitar: adaptasi
terhadap alat, mengenali sifat-sifat lingkungan, menerangkan gejala alam,
dsb.
2. Masalah itu kemudian didefinisikan atau dirumuskan dalam bentuk
permasalahan.
3. Muncul kemungkinan pemecahannya yang berupa hipotesa, inferensi, atau
teori.
4. Ide-ide pemecahan diuraikan secara rasional dengan jalan mengumpulkan
bukti2 (data)
5. Mengolah bukti2 dan menyimpulkannya lewat percobaan2 maupun
penjelasan rasional.
ILMU PENGETAHUAN
Menurut Suriasumantri (1987: 4), ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang mempunyai
ciri-ciri tertentu yang membedakannya dari pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Ilmu adalah pengetahuan yang terorganisasi serta tersusun secara sistematik menurut
kaidah umum, sehingga bisa disimpulkan dalil-dalil tertentu menurt kaidah-kaidah
umum (Nazir).
Ilmu meneliti gejala alam yang bisa ditangkap oleh panca-indera manusia. Ilmu
bersifat material. Gejala alam mempunyai pola-pola hukum tertentu yang tetap dan
sama, yang berlaku bagi semua (universal) jenis dalam kelompok tertentu. Dikatakan,
jenis besi dipanasi memuai. Ini berlaku umum bagi semua jenis besi. Air mendidih pada
suhu 100 derajad Celcius. Ini juga berlaku bagi semua jenis air. Dengan kata lain, ilmu
memiliki ciri umum dan universal. Oleh karena sifat material tersebut, usaha pemahaman
obyek ilmu dilakukan dengan pendekatan empirik, berdasarkan pengalaman inderawi.
Mulanya ilmu pengetahuan alamlah yang disebut ilmu, sebab memiliki hukum
yang pasti, umum dan universal. Mengapa? Karena memiliki hukum-hukum yang lebih
konsisten dan mantab, yaitu alam; benda mati atau materi. Maka yang disebut ilmu
pengetahuan pada waktu itu adalah pengetahuan sistematis terhadap gejala alam. Dengan
kata lain ilmu pengetahuan alam, itulah ilmu yang sesungguhnya. Karena yang
menentukan sesuatu itu ilmu adalah obyeknya. Bukan subyek, manusia yang
mengamatinya. Maka yang berkembang jaman dahulu adalah pengetahuan yang bersifat
32
obyektif, empirik. Itulah pandangan kaum positifisme logis. Ilmu (pengetahuan alam)
pada waktu itu menggunakan metode eksperimen (laboratorium), satu-satunya.
Ilmu pengetahuan alam membatasi diri dengan hanya membahas gejala-gejala
alam yang bisa diamati. Tuntutan lebih lanjut bagi gejala alam yang lazim dibahas dalam
ilmu-ilmu alam adalah bahwa pengamatan gejala itu bisa diulangi orang lain
(reproducible).
Masing-masing gejala alam itu tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan dalam
suatu pola sebab akibat. "Jika A maka B, jika B maka C, jika C maka D dst."
Pengetahuan dan cara berpikir manusia semakin berkembang. Pengetahuan
manusia tidak hanya mengenai gejala-gejala alam saja yang memiliki hukum-hukum yg
pasti, tetap dan universal, tetapi juga mengenai makluk hidup.
Yang menjadi objek pengetahuan manusia tidak hanya gejala alam yang mati
(memililki sifat tetap dan pasti), melainkan juga makhluk hidup: binatang, manusia itu
sendiri. Hukum yang diperlakukan terhadap gejala-gejala alam itu ternyata berbeda
dengan gejala-gejala manusiawi yang memiliki jiwa kebebasan, dan kesadaran. Muncul
pertanyaan, bagaimana pengetahuan mengenai perilaku manusia (psikologi), mengenai
hubungan antara manusia dengan manusia (sosiologi), mengenai kelompok manusia
tertentu (etnografi), budaya manusia (anthropologi), dan akhirnya mengenai hasil karya
manusia yang disebut sastra? Dari pertanyaan dan pemikiran itu, muncul perkembangan
yang kemudian dinamakan ilmu sosial dan budaya.
Ternyata gejala sosial lebih kompleks dibandingkan dengan gejala-gejala alami
(Suriasumantri, 1987: 134). Ilmu-ilmu sosial-budaya mempelajari manusia baik selaku
perseorangan maupun selalu anggota dari suatu kelompok sosial yang semakin rumit dan
kompleks. Gejala sosial tidak hanya mencakup faktor-faktor fisik saja, melainkan
mencakup aspek-aspek psikologis, sosiologis, biologis, dan kombinasi dari aspek-aspek
tsb.
Gejala sosial-budaya banyak yang bersifat unik dan sukar diprediksi dan tidak
berulang kembali. Masalah sosial kerapkali bersifat spesifik dalam konteks historis
tertentu. Oleh karena itu kemunculan ilmu-ilmu sosial-budaya mendapat banyak kritik
dari kalangan ilmuwan (alam). Mereka meragukan ilmu sosial sebagai suatu ilmu.
Dipertanyakan status keilmuan dari ilmu-ilmu sosial-budaya. Hukum-hukum ilmu sosial,
jika ada, bersifat probabilistik (bersifat kemungkinan). Tidak mempunyai kepastian
(Suriasumantri, 1987: 140).
Apakah pendekatan empiris ini membawa kita lebih dekat kepada
kebenaran? Ternyata tidak, sebab gejala yang terdapat dalam pengalaman kita
baru mempunyai arti kalau kita memberikan tafsiran terhadap mereka. Fakta yang
ada sebagai dirinya sendiri, tidaklah mampu berkata apa-apa. Kitalah yang
memberi mereka sebuah arti, sebuah nama, tempat, atau apa saja (Jujun S.
Suriasumantri, 1981: 11).
PEMBAGIAN ILMU: Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Sosial-budaya
IPA: eksak/pasti, dapat dikontrol.
Ilmu Humaniora: proses dalam masyarakat tidak kaku, fleksibel, bisa berubah, lebih
kompleks
Peneliti/pengamat dalam IPA imparsial, di luar objek; sedangkan dalam
Humaniora tidak imparsial.
33
METODOLOGI
Berpikir secara nalar mempunyai 2 kriteria penting: unsur logis dan analitis.
Berpikir logis artinya berpikir menurut jalan pikiran yang runtut. Contoh:
a. Manusia akan mati. Andi manusia. Andi akan mati.
b. Makluk hidup harus makan. Binatang makluk hidup. Maka binatang harus
makan.
Berpikir analitis adalah berpikir dengan menjelaskan hubungan antara hal yang satu
dengan lainnya, dengan data dan bukti2.
Untuk bisa berpikir secara logis dan analitis, diperlukan rasio maupun pengalaman
sebagai sumber dari pengetahuan. Oleh karenanya ilmu pengetahuan bisa diperoleh
manausia baik lewat rasio (rasionalisme) maupun pengalaman (empirisme). Sesuai
dengan obyeknya, ilmu hanya bisa diperoleh dengan cara empirik dan rasional. Ilmuwan,
sebagai subyek pengetahuan harus mampu menempuh kedua cara itu. Kemampuan tsb
hanya bisa dimiliki apabila ia punya pancaindera dan rasio yang normal. Maka metode
ilmu adalah dialektika antara metode empirik dengan metode rasional.
Oleh karenanya ilmu pengetahuan pada dasarya mencakup kemampuan rasio
maupun pengalaman. Ilmu yang lebih mendasarkan pengalaman sebagai pijakan bernalar,
menggunakan metode induksi. Sedang cara berpikir yang lebih mendasarkan rasio
sebagai pijakan bernalar, menggunakan metode deduksi.
Oleh karena itu pencapaian ilmu bisa diperoleh lewat penalaran induksi
maupun deduksi.
A. Induksi: khusus - umum.
1. Pernyataan a posteriori: kebenaran didasarkan pengalaman/empiris. Dari gejala-gejala
yang khusus, individual, dari yang banyak lalu dicari kesamaannya, dan disimpulkan dari
kesamaannya itu untuk membuat teori yang umum.
2. Merupakan kumpulan dari bukti-bukti individual, yang sama, kemudian menjadi
kesimpulan yang merupakan teori.
B. Deduksi: Umum - khusus.
1. Bersifat a priori: tidak perlu dibuktikan dengan pengalaman, karena sudah menjadi
hukum umum dan pasti: semua logam dipanasi memuai. Mulai dari teori/rumus umum,
menuju ke gejala-gejala khusus, untuk membuktikan apakah gejala khusus itu juga
tercakup ke dalam teori yang umum itu. Di sini orang bertugas membuktikan bahwa
gejala khusus itu tercakup ke dalam teori umum.
2. Merupakan persetujuan bersama: 1 kg = 10 ons.
3. Pernyataan sistem tertutup: tidak perlu diperdebatkan maupun
disangsikan/diuji dengan fakta: pasti, matematis.
C. Abduksi: jalan tengah antara induksi dan deduksi.
Metode ini diusulkan oleh C.S. Pierce. Abduksi adalah suatu metode dalam menyusun
hipotesis setelah diawali dengan metode induksi. Tetapi dalam pengkajiannya tidak
menggunakan metode deduksi murni tertutup. Artinya dalam kita mengadakan
pengkajian tersebut masih terbuka bagi masuknya kritik, pertanyaan, perubahan dsb.
Bahkan Pierce menyatakan, bahwa metode yang paling penting dalam Ilmu Pengetahuan
34
adalah metode abduksi, karena masih membuka kemungkinan untuk menerima masukan.
Masukan justru penting untuk memperkuat hipotesis.
Ada pun tahap-tahap yang ditempuh oleh pengetahuan untuk menjadi suatu ilmu,
melalui beberapa tahapan:
a. Tahap spekulasi
Pada tahap ini peneliti sebenarnya sudah mempunyai dugaan kuat mengenai suatu
teori tertentu. Hanya saja, dugaan itu belum dibuktikan kebenarannya dengan data-data
yang akurat.
b. Tahap observasi dan klasifikasi
Tahap ini peneliti mulai mengadakan observasi, penelitian, servey yang cermat
dengan mengumpulkan data-data yang akurat. Data-data itu diklasifikasikan menurut
ukuran dan maksud tertentu.
c. Tahap perumusan teori
Dari data tersebut, dibandingkan, dikelompokkan dan dianalisis, kemudian
disintesiskan sehingga menghasilkan suatu teori.
Teori yang baik harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Tuntas: mencakup semua fakta; tak ada yang terlewatkan maupun
terkecualikan
2) Konsisten: tidak mengandung pernyataan-pernyataan yang saling
bertentangan
3) Sederhana: mengungkapkan secara lugas, tidak ambigu.
Sifat keilmiahan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Eksplisit: bahwa teori itu harus dirumuskan secara jelas.
b. Sistematis: metode yang dipergunakan harus rapi, menggunakan
sistem yang konsisten.
c. Obyektif:
- terbuka thd analisis
- kritis dengan "mencurigai" setiap hipotesa sampai
bisa dibuktikan secara memadai
- hati-hati terhadap prasangka.
- menggunakan prosedur standar yg ditentukan
Medan yang digunakan dalam Ilmu Pengetahuan meliputi tiga macam.
a. Penelitian laboratorium. Biasanya digunakan oleh Ilmu Pengetahuan Alam. Ilmu
Pasti menggunakan metode deduksi dan induksi.
b. Penelitian lapangan (wawancara, riset, angket). Metode ini biasanya lebih cocok
untuk Ilmu-ilmu Sosial.
c. Penelitian kapustakaan. Penelitian ini lebih banyak digunakan oleh Ilmu-ilmu
budaya.
Menurut Max Weber, untuk sampai pada suatu pengertian yang diperlukan dalam
ilmu-ilmu sosial-budaya, harus lewat pengertian yang mendalam tentangnya. Pengertian
yang mendalam itu disebut Verstehen. Menurut Weber dan teman-temannya, Verstehen
35
merupakan metode satu-satunya untuk mencapai tujuan tersebut. Khas bagi ilmu-ilmu
sosial-budaya karena sifat yang hakiki dari ilmu-ilmu tsb.
Verstehen merupakan metode baru: metode pemahaman. Memahami berarti
mengerti sungguh-sungguh sedalam-dalamnya. Tidak hanya sekedar mengerti saja.
Pemahaman sesuatu sedikit berbau subyektif-emosional. Dalam metode pemahaman,
perlu penafsiran. Hermeneutik merupakan cara menafsirkan atau menginterpretasi. Juga
merupakan proses perubahan dari tidak tahu menjadi tahu; dari tidak mengerti menjadi
mengerti (Sumaryono, l993: 24).
Manusia hidup di alam simbol: hakekatnya yang mengandung pengertian di
dalamnya. Mengandung nilai, perilaku, penafsiran. Maka harus selalu berkembang.
Selalu berubah dan baru. Ilmu selalu ada penemuan baru. Kreatif dan dinamis.
Bila seseorang mengerti, dia sebenarnya telah melakukan interpretasi. Mengerti
dan interpretasi merupakan 'lingkaran hermeneutik'. Emilio Betti menyatakan, bahwa
tugas orang yang melakukan interpretasi adalah menjernihkan persoalan mengerti.
Menurut Gadamer, penafsiran itu berlangsung berdasarkan adanya suatu arus
timbal-balik antara yang mengenal dengan yang dikenal, khususnya antara pembaca dan
pengarang (Verhaak, l989: 176).
STUDI SASTRA
STUDI SASTRA memiliki 3 bagian atau cabang, yaitu teori sastra, sejarah sastra dan
kritik sastra (Wellek, 1977: 27; Pradopo, 1994; 9).
ILMU SASTRA: TEORI SASTRA, SEJARAH SASTRA, KRITIK SASTRA
1.
Teori studi prinsip, kategori, dan kriteria. Teori sastra beroperasi dlm hal
hakekat sastra, dasar-dasar sastra, hal-hal yang berkaitan dengan gaya, teori
komposisi, jenis-jenis sastra (genre), teori penilaian, dsb.
2.
Sejarah sastra menyusun perkembangan sastra dari awal kemunculannya
hingga perkembangan mutakhir. Menurut Wellek, sejarah sastra melihat karyakarya sastra secara kronologis (Wellek, 1977: 38).
3.
Sedangkan kritik sastra mempelajari sastra secara khusus (Wellek, 1977: 38),
langsung dan konkret.
Ketiganya bisa dibedakan, tetapi tak terpisahkan satu sama lain di dalam studi sastra.
ALIRAN-ALIRAN SENI/SASTRA
Romantik (Dictionary of Literary Terms, Harry Shaw. Amerika Serikat: McGrawHill, 1972).
Istilah Romantik tak bisa tepat dikenakan pada keadaan maupun sifat yang khas, * sudut
pandang, maupun teknik sastra. Sebagai gerakan, ia muncul perlahan-lahan dalam
berbagai aspek yang sangat berlainan dalam berbagai tempat di Eropa, sehingga definisi
yang memuaskan tidak mungkin.
36
37
Realisme
1) Teori penulisan yang sangat familiar, aspek2 biasa dari kehidupan digambarkan
secara apa adanya, langsung, dirancang untuk merefleksikan kehidupan sebagai
adanya.
2) Penanganan dari pokok pembicaraan dengan cara menyajikan deskripsi secara
hati-hati mengenai kehidupan sehari-hari, kerapkali mengenai kehidupan kelas
menengah ke bawah.
Realisme yang mengacu baik isi maupun teknik kreasi sastra, sudah jelas dari awalnya.
Meskipun realisme selalu mengesankan keakuratan pengucapan dan rinci, seluruh
latar belakang informasi, dan berkepentingan dalam *verisemilitude, istilah mengambil
makna yang ditambahkan selama abad 19 dan awal 20-an di Kontinen dan di Inggris dan
Amerika Serikat: menekankan fotografi, detail, analisis penelitian dari hal-hal
senyatanya, frustrasi tokoh2-nya dalam atmosfir kebobrokan, kebusukan, kemaksiatan.
Realisme telah tetap agak elusive (sukar dipahami), istilah yang masih remang2, tetapi
terus-terang, berbagai aspek dari teknik dan pokok bahasan realistic tampak dalam
berbagai drama, puisi dan cerita pendek dari jaman modern maupun novel-novel dari
penulis2 seperti Daniel Defoe, Henry Fielding, Thackeray, Dickens, Balzac, Tolstoi,
Mark Twain, John OHara, Lihat juga determinisme, mimetik, naturalisme,
pragmatisme, versimilitude, dsb.
Realisme
Ekspresionisme
Istilah dengan beberapa pengertian yang secara bervariasi dikenakan pada bentuk yang
bermacam-macam, ekspresionisme mustahil didefinisikan secara tegas dan singkat.
Dalam seni murni (seni lukis, patung), ia melibatkan teknik di mana bentuk yang berasal
dari alam berlebihan maupun menyimpang dan
Absurd
Pragmatisme
Suatu gerakan filsafat yang menekankan konsekuensi praktis dan nilai. Pragmatisme
menekankan kegunaan dan kepraktisan (practicality). Dipelopori oleh psikolog dan filsof
Amerika, William James. James, John Dewey, dan tokoh pragmatik berpendapat, bahwa
hidup lebih penting daripada pikiran logis. Berpengaruh dalam perkembangan *realisme
dalam sastra modern seluruh dunia.
MENGAPA ORANG MEMBACA SASTRA?
(B. Rangkuti, Pramudya Anantatoer, 1963).
Sebagian besar masyarakat membaca sastra hanya sekedar mengisi waktu luang
(menunggu, sebelum tidur, nganggur, dsb), atau sebagai hiburan, sebagai pelarian rasa
jenuh dari kerutinan hidup, melupakan masalah yang dihadapinya, lari ke dunia khayal
38
untuk membius-diri (seperti candu, ekstasi). Graham Greene membagi buku2nya menjadi
roman dan hiburan.
Di Indonesia kita mengenal roman picisan dan roman serius. Buku hiburan ada
yang mematikan semangat dan menghidupkan semangat. Ada yang memberikan
kesegaran, ada yang mampu menyingkap rahasia aspek watak manusia.
Sebagian masyarakat membaca sastra tidak hanya sekedar hiburan dan untuk
melupakan persoalan yang dihadapi (escapism), melainkan sebagai inspirasi dalam
memecahkan persoalan. St. Takdir Alisyahbana dan St. Syahrir berpendapat, sastra
harus mendidik rakyat. Sanusi Pane mengatakan bahwa pengarang merupakan bagian
dari masyarakat dan alam. Sastra bisa dianggap meracuni, tapi bisa juga memberi
inspirasi (Pramudya Ananta Toer, pengarang fiksi ilmiah, wayang). Sastra: rekaan (imagi)
dibungkus, dikemas sedemikian rupa sehingga menarik untuk dibaca. Bandingkan
dengan vit.C sekarang, dikemas dalam bentuk permen manis dengan rasa dan gambar
jeruk. Diemut, hisap, memberi efek pada kesehatan. Karya sastra disajikan supaya dibaca,
dicerna, dimasukkan ke dalam renungan, refleksi, dan memberi pengalaman, kekuatan,
dorongan untuk berbuat sesuatu, berbuat baik > dewasa. Contoh orang nonton film yang
bagus dan menarik. Pulang nonton, merenung. Awalnya mungkin terkesan oleh bintang
film. Tapi lalu ceritanya, mengolahnya. Salah satu hakikat sastra adalah menggambarkan
manusia sebagai mana adanya.
Karya sastra yang baik mengajak pembaca melihat karya tsb sebagai cermin
dirinya sendiri, dengan jalan menimbulkan "pathos", yaitu simpati terhadap kehidupan,
dan merasa terlibat dalam peristiwa mental yang terjadi dalam karya. Sastra memiliki
fasilitas yang lebih luas untuk menggerakkan "pathos" pembaca, untuk ikut prihatin
terhadap masalah-masalah dunia (Budi Dharma). Seni yang adiluhung adalah seni yang
indah, yang bisa menyentuh perasaan dan nurani manusia untuk berbuat yang baik.
Perjuangan untuk menciptakan keindahan belum tentu sejalan dengan
kepentingan moral. Apa yang mendorong pengarang untuk mengarang biasanya
ketidakpuasan akan apa yang seharusnya menurut moral tidak terjadi. Itulah sebabnya
karya sastra yang baik biasanya malah menggambarkan kepahitan hidup. Itulah sebabnya
pula nada protes dalam sastra sangat dominan, seperti ironi, sinisme, paradoks, dsb.
Matthew Arnold menyebut sastra sebagai kritik kehidupan. Tema adalah masalah hakiki
manusia, seperti cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, keterbatasan, penderitaan,
kesetiaan, dsb.
Ditambah dengan Manfaat Karya Sastra (Sumardjo, 1991: 8)
Manfaat Karya Sastra
1. Karya sastra yang baik memberi kesadaran kepada pembacanya tentang
kebenaran-kebenaran hidup ini. Dari padanya kita dapat memperoleh
pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang manusia, dunia dan
kehidupan.
2. Karya sastra memberikan kegembiraan dan kepuasan batin. Hiburan ini adalah
jenis hiburan intelektual dan spiritual. Hiburan yang lebih tinggi, lebih dalam
daripada hiburan karena menang lotere, memiliki mobil baru, misalnya.
3. Karya sastra besar itu abadi. Karya sastra seperti Mahabharata, Ramayana yang
ditulis 2500 tahun yang lampau tetap aktual untuk dibaca pada hari ini juga.
Demikian juga seperti Romeo & Yuliet, Oedipus, Macbeth, dsb. Karya sastra
39
DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Penerbit Angkasa Raya
Dick Hartoko. 19984. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Koesbyanto, J.A. Dhanu. & Firman Adi Yuwono. 1997. Pencerahan: Suatu
Pencarian Makna Hidup dalam Zen Buddhisme. Yogyakarta: Kanisius.
Luxemburg, Jan van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
----------------. 1987. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.
Sachari, Agus. 2002. Estetika. Bandung: ITB.
Sutrisno, Mudji & Christ Verhaak, SJ. 1993. Estetika Filsafat Keindahan.
40
Yogyakarta: Kanisius.
Sutrisno, Mudji.. 1999. Kisi-kisi Estetika. Yogyakarta: Kanisius.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
The Liang Gie. 1983. Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan). Yogyakarta:
Supersukses.
The Liang Gie. 1996. Filsafat Seni, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pusat Belajar
Ilmu Berguna.
Wellek & Austin Warren. 1977. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
(Terj. 1989).
41
seimbang. Kita dapat menyadari adanya irama, harmoni, kesatuan yang mempengaruhi
syaraf kita.
Menurut Aristoteles kita bisa menyuci dan membersihkan jiwa kita, bila kita
menyaksikan sebuah drama yang bagus. Kita menyaksikan suka dan duka manusia di atas
panggung dan hati kita turut tergetar dan emosi2 kita dilepaskan dari bobot materialnya
(Dick Hartoko dalam Pencerapan Estetis dalam Sastra Indonesia, BASIS Januari 1986:
12).
Menurut Langer, seni sungguh menghasilkan sesuatu yang lain sama sekali dari
realitas alamiah. Karya seni meskipun memiliki "kemiripan" dengan alam, namun sudah
tercerabut dalam kenyataan alamiah. Pada seni terdapat prinsip kelainan dari alam. Karya
seni sungguh-sungguh berdiri sendiri sebagai sebuah ciptaan.
SASTRA MERUPAKAN DUNIA ALTERNATIF, OTONOM
Sastra merupakan dunia tersendiri yang otonom. Dunia rekaan. Rekaan lebih
dekat dengan karangan (bunga). Bukan khayalan belaka. Artinya bertitik tolak dari
pengalaman kehidupan yang nyata, diolah menjadi sebuah cerita. Seperti orang
mengarang rangkaian bunga. Dia memilih dari bahan2 bunga yang tersedia, direka-reka
menjadi sebuah karangan yang menarik. Tidak setiap orang bisa merangkai bunga.
Masing2 orang merangkai bunga dengan cara yang berbeda2, dengan hasil yang berbeda2
pula, tergantung pada ketrampilan dan seni merangkai. Demikian pula orang membuat
menu makanan.
Di dalam karangan bunga, berbagai-macam bunga, dimungkinkan menjadi satu di
dalam pot. Hanya di dalam karangan bunga berbagai jenis bunga dengan berbagai sifat
menjadi sebuah alternatif baru, dunia baru. Namun tidak sembarang bunga menjadi satu
dengan bunga lainnya. Harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga karangan bunga
menjadi serasi dan indah. Apabila penyatuan di dalam karangan (pot) tidak serasi, akan
terasa janggal.
Fiksi: merupakan dunia tersendiri. Dunia imaginatif. Dunia rekaan bisa lebih luas
kemungkinannya, misalnya binatang bisa bicara, manusia bisa punya kesaktian, bisa
terbang, ambles di bumi. Dunia imaginasi bisa lebih leluasa dan bebas daripada dunia
kenyataan.
Bisa dibedakan antara bunga dari alam, hutan, kebun dengan bunga yang sudah
dirangkai dalam karangan bunga. Bunga yang masih di hutan, alam, kebun masih alami,
tumbuh secara alami. Sedangkan bunga dalam karangan sudah direkayasa oleh perangkai
bunga. Sudah dibentuk dengan sengaja sesuai dengan selera keindahan seni dari si
perangkai. Karangan bunga dibentuk dari bunga alam, hutan, kebun, dijadikan sebuah
karangan, rangkaian yang lebih indah. yang unsur-unsurnya diambil dari alam, dijadikan
satu di dalam karangan bunga sebagai suatu satuan tersendiri, bagus dan asri.
Fiksi dan kenyataan/fakta. Contoh biografi dan fiksi. Fiksi sejarah. Kasus Ki Panji
Kusmin dengan Langit makin Mendung.
Bandingkan contoh fiksi (Ki Panji Kusmin, cerita wayang) dengan biografi
(sejarah panggilan Rm. Yan), atau berita dari koran. Bandingkan antara hasil
rangkaian/karangan bunga dengan bunga alam di kebun, di halaman, hutan, taman.
Bandingkan antara batu di kali dan patung pahatan di Muntilan. Antara kehidupan nyata
dengan cerita fiksi. Antara yang spontan, asli, tidak
42
43
DUNIA IDE
DUNIA JASMANI
Realitas yang sebenarnya
Bukanlah realitas yang sebenarnya
Sempurna, abadi, langgeng, tetap, Plural, banyak, tidak sempurna,
satu.
berubah-ubah, fana
Model atau contoh
- gambaran tak sempurna, meniru
- partisipasi
- hadir dan menjadi nyata dalam
benda2 konkret
Menjadi sebab dari benda Yang jasmani tergantung yang Idea.
jasmani.
JIWA
Abadi
Prinsip yang menggerak badan
Mengenal Idea
BADAN/TUBUH
Fana
bernama Plato. Seni, bagi Plato memiliki nilai sekunder, hanya meniru kenyataan yang
ada di dunia ini. Kesenian hanyalah suatu imitasi dari kenyataan materiil. Padahal
kenyataan materiil hanyalah tiruan dari dunia forma. Dunia kita ini hanyalah
penampakan dari dunia abadi, dunia ide.
Wujud yang ideal tidak bisa terjelma langsung dalam karya seni. Namun seni
tidak kehilangan nilainya sama sekali. Sebab walaupun seni terikat pada tataran
yang lebih rendah dari kenyataan yang tampak, seni sungguh mencoba mengatasi
kenyataan sehari-hari. Seni yang baik harus truthful, benar; dan seniman harus bersifat
modest, rendah hati. Lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal, dari jauh dan
serba salah. Jadi, seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam
kenyataan yang tampak, terletak di bawah kenyataan itu sendiri. Tetapi seni yang terbaik
adalah lewat mimesis, peneladanan.
Untuk memahami pandangan Plato, mungkin perlu terlebih dahulu kita harus
tahu latar belakang pemikirannya tentang realitas, tentang manusia.
Plato
memikirkan realitas dunia ini semu, sebab tidak sempurna. Semuanya hanyalah
sementara saja. Kuncup bunga, mekar, layu, dibuang. Semuanya itu hanyalah
gambaran dari yang sempurna. Yang sempurna letaknya bukan di dunia realitas,
melainkan di dunia ide. Dunia ide adalah dunia kesempurnaan.
BAGAIMANAKAH SENI TERCIPTA?
MUSE, INSPIRASI SENI-nya Plato
Penyair muse > gila (suci) > ekstase > kualitas seni sejati. Bdk dng orang waras.
Muse: daya dorong buta; mata air membual; ilahi; ada pula inspirasi cinta, inspirasi
kebenaran.
Hubungan muse dengan mimesis: jiwa meniru dunia ide yang pernah
dipandangnya.
Dalam hubungannya dengan kepenyairan, Plato membicarakan juga tentang
inspirasi seni, yang disebut muse. Dalam Ion dikatakan, bahwa penyair yang dihinggapi
Muse menjadi gila, sehingga ia merasakan ekstase. Tetapi di sini gila bukan dalam arti
penyakit jiwa. Bagi Plato ada kegilaan suci untuk mengejar kebenaran. Ia hanya mau
menegaskan bahwa ekstase sangat perlu untuk mencapai kualitas seni sejati. "Apabila
orang yang tanpa kegilaan ilahi memasuki pintu kepenyairan, meskipun mengandalkan
ketrampilan, ia pasti akan gagal menjadi penyair. Sebab syair dari orang sehat akan kalah
di hadapan syair orang gila yang memperoleh inspirasi." Dalam Laws (hukum2) ia
mengatakan: "..... apabila seorang penyair dikuasai oleh inspirasi (muse), dia tak lagi
menguasai dirinya, melainkan menyerupai sebuah mata air yang membiarkan segala hal
mengalir dari budinya."
Dalam alam pikiran Yunani, inspirasi (Muse) adalah daya dorong yang buta yang
menggerakkan penyair atau seniman untuk berkarya. Dalam kesadaran yang rasional,
penyair malahan bisa kehilangan daya kreasinya. Maka dengan menyerahkan diri
seluruhnya pada dorongan inspirasi, sang penyair sebetulnya kehilangan akal sehatnya
karena ia memperlihatkan sesuatu hal yang tak terjangkau pikiran.
Dalam tradisi Yunani, dipercayai, bahwa inspirasi bersifat ilahi. Di lain pihak,
seperti dalam Phaedrus, inspirasi seni hanyalah salah satu dari berbagai macam inspirasi.
45
Di atas inspirasi seni masih ada inspirasi cinta akan keindahan abadi. Inilah inspirasi yang
mendorong para filsuf untuk mencari kebenaran.
Muse (inspirasi seni) adalah sesuatu yang baik karena memberi dorongan untuk
menghasilkan seni yang baik, menghindari penciptaan seni yang hanya berdasarkan
keahlian tehnis.
Hubungan antara muse dengan mimesis. Jiwa tidak hanya baka (tak mati), tetapi
juga kekal. Sebelum bersatu dengan badan, jiwa mengalami pra-eksistensi, memandang
Idea-idea. Mengenal sesuatu berarti mengingat akan Idea-idea. Dalam keadaan
kemasukan muse, jiwa penyair bersentuhan dengan dunia ilahi, dunia idea, dia mengingat
akan idea-idea. Maka dalam keadaan kemasukan muse, penyair hanya bisa
meneladan dunia idea. Meniru dunia Idea yang pernah dipandangnya.
Kreasio Aristoteles
Aristoteles, murid Plato menolak pandangan gurunya tentang filsafat Ide dan
mimesis. Menurut Aristoteles, penyair tidak meniru kenyataan, tidak mementaskan
manusia yang nyata atau peristiwa sebagaimana adanya. Seniman mencipta dunianya
sendiri, dengan probabilitas yang tak-terelakkan. Menurut Aristoteles, seniman lebih
tinggi nilai karyanya daripada seorang tukang. Karena di dalam mencipta itu seniman
membuat dunia yang baru. Karya seni adalah sesuatu yang pada hakekatnya baru, asli,
ciptaan dalam arti sesungguhnya. Teori ini selanjutnya lebih dikenal teori kreasio.
Dua pendekatan ekstrem mempengaruhi pandangan dan aliran sastra di Barat.
Bergerak dinamis dari paham yang satu ke paham lainnya.
Seni yang meneladani alam: Barat, Timur (India, China, Jepang, Melayu, Jawa:
Basuki Abdullah & Affandi). Abad Pertengahan: ut natura poesis (seni harus seperti
[meneladani] alam). Di dunia Arab, Cina, Jawa ada unio mystica (manunggaling kawulagusti lewat keindahan).
BERBAGAI PANDANGAN
ARISTOTELES
NO WILAYAH
Arab
Jawa Kuno
India
TENTANG
SENI
SETELAH
PLATO
46
&
Cina
47
Jauh sebelum Maritain, para kawi (penyair) di Jawa pada zaman Kediri dan
Majapahit melukiskan pengalaman itu dalam kakawin2 dengan istilah2 yang hampir
sama. Mereka berkelana ke pantai, mendaki lereng2 gunung untuk berjumpa dengan alam
dan menangkap getaran keindahannya, lalu merasa terhanyut di dalamnya. Mereka
seolah2 mengalami suatu ekstasis (harafiah: berdiri di luar dirinya sendiri), terangkat jauh
di atas kekerdilannya sendiri. Suara burung elang pada akhir musim kemarau mereka
umpamakan dengan rasa rindu seorang pemuda akan kekasihnya. Perasaan subyektif
mereka proyeksikan ke dalam alam, dan sebaliknya alam bercerita tentang manusia.
"Kalau kau nanti menjelma sebagai bunga asana, aku menjadi kumbangnya".
Saling penetrasi antara manusia dan alam kita jumpai dalam karya sastra klasik
dan oleh Van Peursen dilukiskan sebagai ciri khas alam pikiran mitis. Dan sang Profesor
dari Leiden mengingatkan kita, bahwa alam pikiran mitis tidak hanya terbatas pada
manusia dahulu kala tetapi dalam manusia modern pun kadang-kadang masih muncul,
yaitu pada saat-saat ia merasakan kebersatuannya dengan alam raya. Adapun suatu tanda
keterasingan, bila saat-saat itu makin jarang kita alami(hal.12). Kant dan banyak filsuf
lain menandaskan, bahwa pengalaman estetik itu bersifat "sepi ing pamrih", manusia
tidak mencari keuntungan, tidak terdorong oleh pertimbangan praktis. Bagi Kant dan para
filsuf dan seniman sebelumnya alamlah yang merupakan sumber utama bagi pengalaman
estetik. Pendapat itu dibantah oleh sementara filsuf modern. Bagi mereka obyek utama
pengalaman tentang keindahan adalah karya seni, bukan alam (hal.13-14). Menurut
pandangan klasik itu pula, maka terjadilah suatu karya seni berpangkal pada pengalaman
estetik yang timbul dari perjumpaan dengan alam. pada saat pengalaman setetik manusia
merasa bahagia, merasakan suatu "ekstatis". Tetapi pada saat itu mungkin hanya
berlangsung selama bebrapa detik, pasti tidak lama.
Lalu seniman ingin mengabadikan saat yang membahagiakan itu, dan terjadilah
karya seni.
Contoh seni sastra yang menarik & bermanfaat: TEMPAYAN RETAK
Tiga macam ukuran
- Gedung itu tinggi, batu itu besar - sektor matematik (fenomena)
- Rumah itu indah - sektor estetis (pengalaman estetis)
- Perbuatan itu jahat - sektor moral (pengalaman moral)
Kant, Windelband, Ricket: kehidupan manusia digerakkan oleh 4 nilai dasar:
kebaikan, kebenaran, keindahan dan ketuhanan. Mashab Skolastik pada Abad
Pertengahan: Segala sesuatu yang ada, sejauh itu ada, bersifat tunggal, benar, baik dan
indah.
Sikap estetis dibedakan dari:
- sikap praktis (untuk apa, hasilnya apa, untungnya apa?)
- usaha menggunakan demi tujuan tersembunyi
- sikap "ingin tahu", misalnya dalam melihat sebuah candi atau dalam mengagumi
pelangi.
48
Menurut Susanne Langer, (Manusia multi dimensional), ada 3 hal yang perlu
diperhatikan tentang seni.
1. Seni merupakan kreasi. Penciptaan sesuatu yang tadinya belum ada. Memang
sebelumnya sudah ada bahan-bahan tertentu yang dipersiapkan seperti cat, kuas,
kanvas. Tetapi lukisan itu merupakan ciptaan pelukis. Pelukis bukan hanya
melepotkan cat dalam secarik kain sehingga kain itu menjadi kotor berlepotan
cat, melainkan ia sungguh mencipta lukisan yang sesuai dengan konsepsi
seninya, sehingga lukisan itu belum pernah ada sebelumnya.
2. Seni bersifat simbolis. Transformasi dari pengalamannya. Universalisasi dari
pengalaman. Seniman itu sudah merenungkan dan merasakan pengalaman
langsung itu lalu membuatnya menjadi suatu pengalaman umum.
3. Pengalaman seniman dalam kreasi itu bukan berasal dari pikirannya, melainkan
dari perasaannya. Jadi merupakan pengalaman emosional.
ESTETIKA PERTENTANGAN DAN SENI MODERN (Manusia dan Seni, Dick
Hartoko, hlm. 43).
Seorang kolektor lukisan senior mengunjungi sebuah pameran lukisan modern
hendak melihat-lihat lukisan yang bisa dibawanya pulang untuk menambah koleksinya.
Tetapi sesampai di sana dia kecewa karena tak satu pun lukisan yang dia taksir. Menurut
dia, lukisan-lukisan di sana tidak indah. Tidak menerbitkan selera untuk mengoleksinya.
Dia mengeluh terhadap seni modern.
Seni modern rupanya sukar dimengerti, bahkan mengejutkan. Para seniman
modern tidak tertarik lagi oleh keindahan, keharmonisan, dan kesedapan, melainkan oleh
sesuatu yang menggemparkan dan merisaukan hati. Yang dalam kesenian tradisional
disinggung saja, atau disublimir, diabstrakkan atau dilapisi dengan cahaya keindahan,
kini ditonjolkan secara blak-blakan, kasar dan serba menantang.
Sifat umum yang dewasa ini sering nampak dalam kesenian dunia Barat tak lain
dan tak bukan ialah usaha untuk menimbulkan efek "shock", memperlihatkan rasa
frustasi dan kejemuan yang dirasakan oleh sang seniman .... sebagai masyarakat.
"Shock": menggoncangkan yang dulu dianggap mapan dan stabil, melemparkan
batu ke kaca-kaca yang melindungi harta nilai-nilai tradisional, dengan sengaja
menertawakan dan mencemoohkan apa yang oleh angkatan-angkatan dulu dianggap suci
dan keramat, memberontak terhadap tata tertib yang dulu tak pernah diragu-ragukan serta
membubuhkan tanda tanya di belakang setiap pernyataan atau ucapan.
Kita sering melihat sebuah lukisan yang rasanya 'tidak indah', mendengar musik
yang 'tidak enak didengar', tarian kontemporer yang 'tidak bisa dinikmati'. Dalam sastra
kita kenal 'puisi mbeling', puisi konkret, sastra kontemporer. Para seniman modern
sepertinya tidak tertarik lagi oleh keindahan, keharmonisan dan keserasian, melainkan
oleh sesuatu yang menggemparkan dan merisaukan hati. Seni modern menjungkirbalikkan tatanan lama yang dianggap mapan dan stabil, mencemoohkan apa yang oleh
angkatan lama disanjung-sanjung, dianggap keramat. Seni kontemporer memberontak
terhadap tata-tertib klasik.
Untuk menghadapi seni modern itu, Jurij Lotman mengajukan teorinya mengenai
estetika keselarasan dan estetika pertentangan. Estetika keselarasan untuk mewadhai seni
klasik maupun seni tradisional, sedang estetika pertentangan untuk mewadhai seni
49
modern. Tetapi kita bisa bertanya, benarkah bahwa semua seni modern menganut estetika
pertentangan, sedang semua seni tradional menganut estetika keselarasan? Mungkin juga
tidak bisa ditarik garis lurus demikian. Tidak sedikit kiranya seni modern yang indah, dan
seni tradisional yang mengejutkan (Hartoko, 45).
Menurut estetika klasik, yang indah itu membawa keselarasan dan
keteraturan; membawa ketenangan dan kebahagiaan, sedangkan seni modern
menggoncangkan, menyimpang dari tradisi.
Seni sejati tumbuh dari kewajaran dan kejujuran. Jujur menurut suara hatinya,
wajar menurut situasi diri dan lingkungannya (Bakat Alam dan Intelektualisme, Subagja
Sastrawardaja, 31).
Seni modern membawa corak dan norma2 penilaiannya sendiri. Seni lama telah
berabad-abad berkumandang dalam sanubari masyarakat, telah memperoleh penerimaan
dari masyarakat. Telah membentuk selera dan menentukan norma2 penilaian. Sudah
selayaknya merasa berhak memandang diri wajar dan "asli" dan berhak mendapatkan
nama "seni klasik". Kedatangan seni modern yang membawa ukuran2 penilaian sendiri
menimbulkan kekhawatiran akan menggoyahkan
selera dan penilaian yang telah mendarah-daging dalam masyarakat (Bakal Alam dan
Intelektualisme, 32-33). ... teruskan hlm. 33
Pendukung serta pemelihara seni lama amat cenderung memandang pertumbuhan
seni modern sebagai peniruan belaka dari seni asing yang berpokok pada kebudayaan
Barat.
Seni modern membawa ukuran-ukuran penilaian sendiri dan kedatangannya
menimbulkan kekwatiran akan menggoyahkan selera serta penilaian yang telah ada
(hal.33).
Sebaliknya seni modern mendasarkan kekuatannya pada "kemodernan"nya,
kepada kesanggupan mencerminkan semangat zamannya. Semangat zaman itu biasa
dinyatakan dalam kemauannya yang hendak "asli" selalu, bukan "asli" dalam arti asal dan
milik bangsa sendiri yang bertentangan dengan yang asing, seperti yang hendak dicitacitakan oleh pendukung lama, melainkan "asli" dalam arti mendukung orisinalitas, tidak
mengulang ungkapan penciptaan yang telah ada. tuduhan yang pokok yang dilontarkan
kepada seni lama adalah kecendrungannya mengulang-ulang berbagai anasir
pengungkapan seni bahkan sebagai dasar pikiran beserta perumusannya. Pengulangan itu
telah menumbuhkan ikatan tradisi berupa norma-norma-norma penciptaan seni yang beku
dan kaku, yang menurut persangkaan pendukung seni modern akan menghambat
pemikiran dan pemikiran seni yang "asli", yang orisinil. Pernyataan diri dalam seni lama
hanya berupa "klise" belaka, "jiplakan" atau "blangkon" (menurut istilah Jawa), yang tak
ada nilainya sebagai seni (hal. 33).
Kedua pandangan yang betentangan itu ada kebenarannya dan ada kelemahannya.
Kalau kita perhatikan dengan seksama, maka kedua-duanya mempergunakan rumusan
pandangan yang bersamaan: menghendaki yang "asli" dan menolak "peniruan", hanya
pandangan itu masing-masing memiliki titik tolak yang berbeda (hal. 33)
Seni lama mendasarkan nilai dan penilaian seni pada sifat "asli" yang sesuai
dengan tradisi bangsanya, sedang keaslian itu tidak hanya mengenai segi
pengungkapannya yang lahir belaka, melainkan harus sesuai juga dengan isi dan taraf
moral bangsa sendiri yang hendak diungkapkan. Peniruan kepada pengungkapan seni
50
bangsa yang asing dengan bayangan moral yang asli tidak direlakan di dalam kehidupan
seni.
Dapatkah berhadapan dengan ukuran penilaian demikian, seni modern berhak
melangsungkan hidupnya, kalau ia bertolak dari pandangan bahwa nilai seni asli
tergantung dari sifat "asli"nya, menolak tradisi pemikiran dan pengungkapan bangsanya,
yang tidak lagi dipandang sebagai "asli" dan tidak mengandung orisinilitas?
Dengan perkataan lain: Adakah perkembangan seni modern wajar di Indonesia?
SENI SASTRA
(Sastra dan Ilmu Sastra, Teeuw)
Seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam
kenyataan yang tampak, terletak di bawah kenyataan itu sendiri di dalam hirarki. Wujud
yang ideal tidak bisa terjelma langsung dalam karya seni. Namun seni tidak kehilangan
nilainya sama sekali. Sebab walaupun seni terikat pada tataran yang lebih rendah dari
kenyataan yang tampak, seni sungguh mencoba mengatasi kenyataan sehari2.
Di dunia Arab pun penyair bukan pencipta dalam arti yang mutlak. Penyair terikat
pada ciptaan Tuhan yang merupakan model yang sempurna. Dalam puitik Cina pun aspek
mimetik ditekankan. Seni, sastra harus meneladani tata semesta, kebenaran sejarah dan
kebenaran kemanusiaan.
Dalam puisi Jawa Kuno, khususnya dalam kakawin, aspek memetik, peneladanan
alam oleh penyair kuat sekali: penyair sebagian besar mencari ilham dalam keindahan
alam, dan dia biasa berkelana, lelangon, menelurusuri keindahan ini. Dalam puisi Jawa
Kuno, puisi disamakan dengan unio mystica, persatuan antara manusia dengan Tuhan
lewat keindahan: manunggaling kawula-gusti. Keindahan yang terwujud dalam berbagai
cara yang berbeda-beda selalu dianggap penjelmaan dari Yang Mutlak. Segala keindahan
pada hakekatnya satu dan sama (223-224).
Jauh sebelum Maritain, para kawi (penyair) di Jawa pada zaman Kediri dan
Majapahit melukiskan pengalaman itu dalam kakawin2 dengan istilah2 yang hampir
sama. Mereka berkelana ke pantai, mendaki lereng2 gunung untuk berjumpa dengan alam
dan menangkap getaran keindahannya, lalu merasa terhanyut di dalamnya. Mereka
seolah2 mengalami suatu ekstasis (harafiah: berdiri di luar dirinya sendiri), terangkat jauh
di atas kekerdilannya sendiri. Suara burung elang pada akhir musim kemarau mereka
umpamakan dengan rasa rindu seorang pemuda akan kekasihnya. Perasaan subyektif
mereka proyeksikan ke dalam alam, dan sebaliknya alam bercerita tentang manusia.
"Kalau kau nanti menjelma sebagai bunga asana, aku menjadi kumbangnya".
Kant dan banyak filsuf lain menandaskan, pengalaman estetis bersifat "sepi ing
pamrih", manusia tidak mencari keuntungan, tidak terdorong oleh pertimbangan praktis.
Tiga macam orang menyaksikan kuningnya padi.
Alamlah sumber utama bagi pengalaman estetik. Pengalaman estetik timbul dari
perjumpaan dengan alam. Pengalaman estetik hanya berlangsung beberapa detik/menit.
Lalu sang seniman ingin mengabadikan saat yang membahagiakan itu. Terjadilah karya
seni. Setiap kali ia memandang karyanya, teringat kembali akan saat yang indah itu, yang
bersifat simbolik. Sang seniman ingin meng-ungkapkan isi hati dan pengalaman spiritual
lewat lambang2, entah lambang visual (lukisan patung), auditif (bahasa, musik) entah
lambang jasmani (tari). Alamlah yang memberi ilham pertama kepada seorang seniman.
51
52
yaitu susunan perkataan yang terjadi karena perasaan-perasaan dalam hati pengarang
yang menimbulkan perasaan tertentu dalam diri pembaca.
Fiksi bisa berfungsi sebagai hiburan, pelipur lara, tetapi juga sarana yang baik
bagi pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan. Horatius mengatakan
sastra harus memiliki sifat-sifat indah (dulce) dan berguna (utile) (Teeuw, 1984: 51).
Demikian pula novel sebagai karya sastra harus bisa dinikmati pembaca tetapi harus juga
memiliki sesuatu yang bersifat mendidik. Novel yang menghibur saja tanpa bisa
mendidik, tidak banyak gunanya, bahkan bisa menjadi candu dan meracuni bangsa.
Sebaliknya novel yang hanya bersifat mendidik saja, tidak ubahnya sebagai buku
petunjuk pendidikan yang bersifat menggurui dan akan ditinggalkan anak karena
membosankan.
Vitamin maupun obat untuk anak kecil diberi rasa jeruk agar disenangi anak-anak.
Demikian pula novel sebagai karya sastra harus diolah sedemikian rupa sehingga orang
maupun anak tertarik untuk membaca dan menikmatinya, dengan demikian bisa
mendapatkan sesuatu yang berguna untuk hidupnya, terutama kehidupan spiritual.
Pembaca yang serius membaca cerita rekaan tidak hanya sebagai pengisi waktu
atau sebagai hiburan. Ia ingin memperoleh suatu pengalaman baru dari karya yang
dibacanya itu. Ia ingin memperkaya batinnya dengan memperoleh wawasan yang
menyebabkan ia lebih dapat memahami liku-liku hidup ini. Karya sastra yang baik dapat
membekali dirinya dengan kearifan hidup (Sudjiman, 1991: 12). Menurut Budi Darma,
kalau perlu karya sastra justru membuka kebobrokan untuk bisa menuju ke arah
pembinaan jiwa yang halus, manusiawi dan berbudaya (1984: 47). Seni, termasuk sastra,
filsafat dan agama pada hakekatnya adalah cara-cara yang berbeda dengan tujuan yang
sama, yaitu membentuk jiwa "humanitat".
Novel merupakan sarana yang baik untuk pendidikan di sekolah. Menurut
Driyarkara, pendidikan adalah memanusiakan manusia-muda. Humaniora
membentuk manusia pembangun yang bermoral dan bermental tinggi. Pendidikan
humaniora memperkembangkan segala unsur kepribadian manusia: budi, cipta, rasa,
dan karsa. Kepekaan rasa keindahan, rasa empan papan.
Orang bisa belajar banyak dari sebuah novel yang baik. Dari situ bisa digali
berbagai macam nilai-nilai kehidupan, misalnya nilai kejujuran, kesetiaan, nilai sosial,
religius, dst. Novel yang baik bisa memantulkan bermacam-macam dimensi kehidupan.
Lalu bagaimana novel disampaikan kepada siswa? Lewat pengajaran dan pembelajaran.
Karya sastra muncul dari pengalaman hidup manusia: pengalaman diri sendiri
(pencarian diri, pembrontakan diri dsb); pengalamannya di dalam berhubungan dengan
orang lain, di dalam keluarga, masyarakat; pengalaman iman dengan yang transendens
(ilahi) (Hartoko (ed.), 1985: 59). Menurut Rahmanto, ada 3 dorongan dalam diri
manusia yang menyebabkan munculnya penulisan sastra, yaitu dorongan religius,
dorongan sosial dan personal (1988: 13-14).
Ada hubungan yang sangat dialektik antara sastra dengan masyarakat.
Karya sastra dipengaruhi oleh keadaan masyarakat. Bahkan menurut Duvignaud, karya
sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya. Di pihak lain sastra diharapkan mampu
mempengaruhi masyarakat. Menurut Horatius, seniman bertugas untuk menghibur dan
mendidik, dan menggerakkan pembaca (movere) ke kegiatan yang bertanggung jawab
(Teeuw, 1984: 51).
53
Ada berbagai cara manusia menuliskan pengalamannya sebagai karya sastra. Pada
hakekatnya, karya-karya sastra selalu menghembuskan semangat jaman dan nafas
lingkungan tempat tumbuh dan berkembangnya. Semangat jaman dan nafas lingkungan
itu bisa sekedar hanya tersirat tetapi bisa juga secara terbuka dan jelas. Dengan demikian,
ia bisa berbentuk penghidangan utuh (representasi), penghidangan sebagian maupun
tersamar (imitasi), tanggapan (reaksi), maupun merupakan pengolahan pengalaman di
dalam perenungan yang dalam (refleksi). Sastra sanggup memuat berbagai medan
pengalaman yang sangat luas (Rahmanto, 1988: 25).
HUBUNGAN ANTARA FAKTA DAN FIKSI
Karya sastra atau fiksi terjadi karena manusia mengalami persentuhan dengan alam
kehidupan. Dia mengalami pengalaman estetis. Dari pengalaman estetis itu manusia ingin
mengabadikan pengalaman yang membahagiakan untuk diri sendiri dan juga untuk
membagikan kepada orang lain. Dengan demikian ia menjadi lega, menjadi plong. Dia
mengalami katharsis atau pengosongan. Pengungkapan pengalaman estetis itu bisa lewat
lukisan di kanvas, lewat kata-kata yang intens (puisi) maupun pengungkapan yang bebas
(cerita), lewat lagu, gerak (tari), maupun lewat bentuk (pahatan). Ia ingin menyajikannya
secara gamblang atau mengolah-nya menjadi sesuatu yang tersamar.
Maka tidak mengherankan apabila dalam karya sastra ada keserupaan dengan
dunia nyata. Perbedaan: sastra lebih leluasa. Hal yang tidak mungkin di dalam kehidupan
nyata bisa dimungkinkan di dalam dunia fiksi. Unsur kemungkinan sastra lebih besar
daripada dunia nyata yang terbatas. Unsur rekaan ini yang memungkinkan lebih leluasa.
Cerita ada yang dibuat berdasarkan fakta (mimesis). Tetapi ada unsur yang direkareka (kreasi). Cerita Rekaan bisa diarahkan, dibentuk sesuai dengan kemauan pencerita.
Bisa diberi tema ttt. Kadang lebih leluasa daripada cerita faktual. Cerita bisa mengenai
hal yang aneh2, dunia 'sana', filsafat, psikologis, dsb.
Bedanya cerita dengan laporan. Dalam laporan yang penting adalah
kesesuaiannya dengan data. Sedangkan dalam cerita yang penting adalah pesannya.
Temanya.
Cerita rekaan biasanya berangkat dari kenyataan. Ada kenyataan yang hanya
terbatas pada ukuran indera: kenyataan lahiriah. Ada kenyataan batin, yang di luar ukuran
indera.
Pengarang dalam mengolah realitas pengalaman hidup menggunakan proses
mencipta kembali lewat imaginasi dan renungannya. (Dari Mochtar Lubis hingga
Mangunwijaya, Rahayu Priyatmi, 9:)
Kenyataan tsb diolah dengan renungan, imajinasi dan teknik. Hasil olahan
menjadi 'kenyataan baru'. Schorer menyatakan, bahwa berbicara tentang teknik dapat
dikatakan berbicara tentang segalanya. Keberhasilan sebuah cerkan banyak bergantung
pada bagaimana teknik menampilkan tokoh, alur, latar, pusat pengisahan dan bahasa.
Iwan Simatupang menyimpulkan bahwa karya seni yang berhasil adalah yang
memberi sugesti tentang sekian dimensi lainnya yang masih tersembunyi yang
merangsang pembaca untuk terus-menerus mencari dan menemukannya.
Ada berbagai cara manusia menuliskan pengalamannya sebagai karya sastra:
54
55
realisasi dari suatu konsep filsafat yang agak abstrak. Fenomena yang konkret diangkat
ke tingkat yang abstrak, dinyatakan dalam sistem filosofi yang abstrak pula.
Secara filsafat Iwan melihat kehidupan sosio-budaya-politik Indonesia sebagai
kehidupan yang dikuasai oleh pemikiran irrasional. Suasana irrasional ini memang
menguasai setiap novel Iwan. Suasana irrasional, bukan unsur-unsur konkret, yang
terdapat dalam novel-novel Iwan.
Iwan dalam menulis novelnya telah mengadakan jarak terhadap fakta konkret. 1)
Ia telah mengadakan jarak waktu. Ia menunggu persoalan telah menjadi persoalan yang
kompleks, bukan hanya merupakan permukaan sebagai novel Korupsi-nya Pramudya. 2)
Ia juga mengadakan jarak emosional. Ia tidak merasa dirinya terlibat langsung dalam
fakta yang disaksikannya. 3) Iwan melihat fenomena sebagai manifestasi suatu konsep
yang bisa dihubungkan dengan suatu pemikiran filsafat. Fenomena konkret telah
diabstrakkannya menjadi fenomena filsafat.
Hal-hal tsb membuat novel lebih terasa sebagai suatu renungan, bukan lagi reaksi
spontan. Ini selanjutnya menyebabkan novel tsb tampak sebagai karya yang padat, padu
dan menyeluruh, saling berintegrasi unsur-unsurnya. Dengan menggunakan istilah
Goldmann novel itu memenuhi 2 syarat novel yang kuat, yaitu unity (kesatuan,
kepadatan) serta kompleksity (keragaman).
Begitulah renungan sebagai pengadaan jarak telah memungkinkan karya ini
menjadi karya yang berhasil. Karya yang lebih merupakan hasil renungan. Demikian pula
Belenggu-nya Armijn Pane sebagai suatu karya sastra yang kuat, yang sulit tertandingi
sebelum kedatangan novel-novel Iwan. Karya-karya yang tidak tenggelam pada
'propaganda' dan reaksi spontan yang menguasai novel-novel sebelum Perang Dunia II.
KEBUDAYAAN INDONESIA DAN KEPRIBADIAN BANGSA.
Pada suatu hari seorang kawan, orang Jawa, datang berkunjung dan mengamati
kedua lukisan itu. Segera saja kawan itu memberikan pendapatnya tentang kedua lukisan
itu. Dia tidak menyukai lukisan Popo karena lukisan itu "bukan lukisan Indonesia" dan
dengan demikian "tidak mencerminkan kepribadian Indonesia". Sedangkan lukisan gaya
Kamasan itu dia sukai karena menurutnya lukisan itu adalah "lukisan Indonesia" yang
mencerminkan "kepribadian Indonesia".
Kawan yang menyukai lukisan gaya Kamasan itu menyukai gaya itu karena dia
merasa akrab dengan tema lukisan itu. Dia tidak menyukai lukisan Popo karena dia
merasa asing dengan "pesan" yang dilukis pelukis itu. Atau setidaknya dia merasa asing
dengan cara Popo menggarap "pesan" itu.
Kawan itu merasa akrab dengan tema lukisan itu karena dia mengerti simbolsimbol yang disampaikan pelukis itu kepadanya. Yakni simbol-simbol yang ditimba dari
cerita pewayangan dari Mahabarata.
Jadi kita melihat bagaimana satu lukisan seperti lukisan gaya Kamasan itu
dilahirkan sebagai bagian dari dunia yang utuh. Satu jagad, satu kosmos. Lukisan itu
sama seperti wayang, relief, pura, lontar, gamelan mereka, adalah satu dari sekian media
komunikasi kebudayaan banjar itu. Fungsinya adalah untuk mengikat solidaritas
warganya, menyatakan kesetiaan warganya kepada komunitas, dalam hal ini banjar
Sangging itu. Maka setiap kali satu lukisan selesai dan dibeberkan di atas tanah atau
meja, orang-orang baik tua-muda, lai-perempuan maupun anak-anak akan datang
56
mengerumi dan mengagumi untuk kesekian kali tema-tema yang sudah dikenal dengan
akrabnya.
Dengan demikian Popo Iskandar adalah seorang pelukis individualistis, hampihampir soliter, kuat dan teguh dalam pengungkacapan identitasnya sendiri. sementara dia
memelihara identitasnya sebagai seorang cendikiawan Sunda Popo Iskandar muncul
sebagai pelukis dengan "cap"-nya sendiri. Satu "cap" yang dia kembangkan lewat satu
formal training yang banyak menimba pengaruh dari dunia Barat ditambah dengan
penghayatan sendiri.
Para pelukis Kamasan adalah pelukis komunitas yang ditempa oleh proses
sosialisasi nilai-nilai budaya dalam satu komunitas yang (relatif) masih merupakan satu
jagad agraris yang masih utuh. Kepribadian yang muncul dalam lukisan yang kemudian
dikenal sebagai Kamasan itu adalah cermin dari proses sosialisasi yang demikian itu.
Maka akan sangat sulitlah umpamanya untuk minta kepada seorang pelukis Kamasan
melukis dalam gaya yang berlainan bahkan melukis obyek-obyek yang menyimpang dari
tokoh-tokoh mitologi Bali ataupun Mahabarata dan Ramayana.
Sedangkan Popo Iskandar adalah seorang pelukis individual, perorangan, mandiri,
yang tumbuh dan dibesarkan dalam satu komunitas yang jauh lebih cair dari satu
komunitas sepeti banjar Sangging di Kamasan itu. Maka "budaya"-nya adalah budaya
yang muncul dari satu situasi yang cair dan sangat komunikatif dengan berbagai
pengaruh itu. Kepribadiannya menjadi anggota dari suatu kepribadian komunitas.
Lukisan Kamasan adalah lukisan Indonesia dengan kepribadian Indonesia. Tentu
saja. Dengan catatan ia akan terus tergarap dari titik pangkal nilai-nilai "masyarakat
lama" ke perubahan baru.Lukisan Popo Iskandar adalah lukisan Indonesia dengan
kepribadian Indonesia. Tentu saja. Dengan catatan ia akan terus digarap dari titik pangkal
dialog gencar dengan nilai-nilai budaya asing. Orang-orang Batak, Minang dan sukusuku "non-wayang" lainnya akan tidak paham lukisan Kamasan. Tentu saja.
Orang-orang yang jauh dari dialog nilai-nilai budaya asing akan tidak paham
lukisan Popo iskandar dan sebangsanya. Tentu saja. Dialog budaya di persada Indonesia
akan terus juga berjalan (Umar Kayam, hal.11-20)
PENGHAYATAN SENI DAN EKSPLORASI SENI
Dua wajah kehidupan kebudayaan kita
Di samping pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang menyangkut lukisan-lukisan,
dalam variasi yang agak lain tetapi dalam esensi yang sama bukankah agak sering juga
kita dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti apakah sajak-sajak dan teater
Rendra adalah "sajak-sajak dan teater Indonesia", novel Iwan Simatupang "novel
Indonesia", musik Amir Pasaribu "musik Indonesia" dan apa yang Kaucari Palupi?" Asrul
Sani "film Indonesia"?
Dalam berkonfrontasi itu dia tidak berhasil atau gagal mengenal dan menemui
hal-hal yang dia sudah merasa akrab sebelumnya. Dia merasa gelisah dan tidak enak serta
tidak comfortable pada waktu dia membaca "Nyanyia Angsa", serta melihat "Minikata"
Rendra. Juga pada waktu dia membaca Merahnya merah dan Ziarah Iwan Simatupang.
Asosiasi yang Ia dapat dalam percobaannya untuk menagnkap dan merangkai simbolsimbol yang ada dalam sajak, teater dan novel itu merupakan asosiasi yang jauh dari
mengenakkan perasaanya, bahkan mungkin sekali juga menyiksa dan merusak
imajinasinya.
57
Menurut dia "itulah lukisan indonesia yang asli". Ia mengolah "tema yang asli"
dan dilukis dalam "gaya yang asli". Memang, tanpa sesuatu kesulitan tamu saya itu seorang Jawa "asli" - mengnal tema itu. Yakni satu episode dari Arjuna Wiwaha, pada
waktu Arjuna duduk bersamadi digoda oleh tujuh bidadari Suralaya yang cantik jelita.
Dia merasa "enak" dan "senang" at ease dan comfortable- melihat lukisan itu karena dia
ikut membagi dengan pelukisnya simbol dan pengalaman yang sama. Ia memiliki
"kerangka fantasi" yang sama, setidak-tidaknya yang mirip dengan pelukisnya. Tidak
terlalu penting baginya untuk sedikit meragukan, apakah Arjuna Wiwaha itu satu cerita
yang "asli" betul atau cerita impor dari India...
Banyak tamu yang gelisah pada waktu ada acara deklamasi sajak-sajak Rendra
serta pementasan drama satu babak "Lawan Catur" adaptasi Rendra. Mereka gelisah dan
memberikan komentar yang lucu-lucu.
Sebaliknya, pada sedra tari Ramayana mereka bertemu kembali dengan idiom
yang telah mereka kenal dengan akrab dan mesra.Dan mereka telah terbiasa membaca
sajak-sajak gaya klasik melayu juga merasa tidak comfortable membaca Soneta Sanusi
Pane dan sajak-sajak Amir Hamzah.
W.S Rendra menempatkan dirinya sebagai seorang "urakan" tetapi sekaligus juga
seorang "tradisionalis". Kedengarannya aneh tetapi sesungguhnya bisa dimengerti. Dia
melihat dirinya sebagai urakan karena dia dengan sadar ingin memainkan peranannya
sebagai seorang seniman kreatif yang ingin sewaktu-waktu menggoncangkan kelazimankelaziman yang membeku. Orang yang memilih peranan yang demikian melihat
kelaziman yang sudah menjadi sleur,yang "secara reserve"lagi diterima oleh masyarakat
sebagai sesuatu "kebenaran" yang berlaku, berbahaya. Seniman-seniman yang memilih
tempat yang demikian selalu ingin melihat masyarakat sewaktu-waktu disegarkan oleh
pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat baru yang bisa merangsang masyarakat untuk
terus memelihara dinamikanya.
Rendra bukan orang pertama yang mengambil sikap demikian. Sutan Takdir
Alisjahbana dan Sudjojono pernah mengambil posisi demikian pada tahun tigapuluhan.
Kemudian Chairil Anwar dan kawan-kawannya yang berkumpul di sekitar "Gelanggang"
yang dikenal dengan sebutan Angkatan'45.
Orang-orang yang demikian, apakah dia seniman,sarjana, cendikiawan, seringkali
berdiri di luar jalur-waktu perjalanan di masyarakatnya. Orang-orang demikian sering
kali mempunyai kepekaan yang aneh yang dapat menerobos "jadwal normal"
lingkungannya. Mereka adalah penjelajah-penjelajah kemungkinan-kemungkinan.
Maka dengan setting masyarakat seperti kita punyai sekarang, dimana beberapa
segi wajah dan perjalanannya tadi telah sama-sama kita bahas, bagaimana dengan orangorang tadi? Orang-orang seperti Rendra dan para avant-gardist lainnya itu? Tidak selalu
lancar, hubungan itu. Salah-Tampa adalah ciri hubungan yang lebih sering terjadi
daripada harmoni antara seniman-seniman yang memilih modernitas ini dengan
masyarakat.
Mereka yang memilih peran menjadi peletak "suasana pembaruan", penunjuk
modern temper, bergerak tidak menurut jalur dua itu tetapi secara zig-zag menyerempeti
jalur-jalur itu. Mereka inilah yang merasa belum cocok dengan simbol-simbol dan
image-image yang ditawarkan oleh penjelajah-penjelajah kemungkinan baru itu (Umar
Kayam, hal. 22-36).
58
59
pendidikan Rm. Mangun mengajari orang bertanya. Tanya tanda ingin tahu. Orang yang
pasif: lulus sekolah menunggu orang memberi/menawari pekerjaan. Atau mungkin
melamar pekerjaan, menunggu. Tidak bisa mencipta pekerjaan.
Ambil contoh mengenai majalah anak jalanan "JEJAL". Mereka meskipun tak
terpelajar, bisa membuat majalah. Meskipun tulisan tangan, jadilah. Mereka miliki
kemauan dan keberanian. Itu yang penting.Contoh seri buku JEJAL. Anak tidak
terpelajar, tak tamat SD,SMP, sanggup menulis semacam majalah. Kere yang sukses
adalah ..., hlm 15; Cerita Feri, hlm. 10.
Salah satu kegunaan sastra adalah membuat orang kreatif. Kreativitas bisa
mengatasi masalah dalam hidup. Orang yang kreatif bisa menghadapi tantangan2
kehidupan. Bisa bertahan hidup bahkan hidup dengan sukses. Contoh dari kreativitas.
Orang yang kreatif: dagadu, pabrik kata2, Kreativitas itu penting dalam
kehidupan. Dengan kehendak gila dan kreativitas kita tidak akan mati kelaparan.
Sebaliknya bisa mengantar orang menjadi orang sukses. Nyoman Togog tidak lulus SD
tetapi karena kreativitas dan hoki, akhirnya dia menjadi seniman erkenal. Gagasannya
sebetulnya sederhana, yaitu membuat pahatan yang menyerupai uah-buahan: pisang,
jambu, apel, salak, alpokad, dsb. Dan ternyata gagasannya itu disenangi khalayak. Laku
jual.
Adiknya Jaya Suprana di Bali mencipta 'pabrik kata-kata'. Dia membuat sloganslogan, kata-kata plesetan yang menyebabkan orang tersenyum, entah dalam tulisan kaos,
dalam souvenir, dalam bahasa Inggris, Indonesia. Ungkapan-ungkapannya menarik minat
banyak orang. Para turis ingin membawa slogan-slogan itu ke tempat asal mereka. Maka
mereka membeli souvenir. Lakulah dagangannya dan digemari. Hampir setiap turis ingin
mampir ke pondok 'pabrik kata-kata'. Larislah dagangannya. Dia hanya berdagang ide.
Bisa dibandingkan dengan Dagadu Yogya. Kalau kaum muda, pelajar, mahasiswa luar
Yogya pergi ke Malioboro, yang diburu adalah kaos Dagadu. Ke Yogya belum membeli
paling tidak tas, dompet, maupun souvenir merk Dagadu, rasanya belum puas.
Orang yang kreatif itu bisa membuat barang yang tidak dipakai, bekas, maupun
sesuatu yang semestinya mengganggu, menjadi berguna. Misalnya lihat artikel majalah
ini: "Mengais rejeki lewat sampah enceng gondhok." Di sini dikatakan bahwa Enceng
Gondhok yang biasanya dianggap sebagai pengganggu, sebetulnya banyak yang bisa
dimanfaatkan. Banyak orang di sekitar Rawa Pening antara Ambarawa dengan Salatiga,
hidup dari mengais rejeki kotoran Enceng Gondhok. Lumpur, kotoran dari Enceng
dikumpulkan orang, dicampur sedikit kapur, jadilah pupuk hebat. Dijual ke Dieng untuk
pupuk jamur merang, dibungkus plastik per kilo dijual untuk pupuk taman. Beberapa
perusahaan menumpuk lumpur itu menjadi pegunungan dan setiap hari membawanya
bertruk-truk ke Dieng.
Lalu batang atau pelepah Enceng Gondhok itu juga dibudidayakan menjadi bahan
untuk tas, yang banyak digemari kaum muda. - Pemulung jadi jutawan berkat plastik
sampah - Menghias cangkok telur; pakaian dari bahan bekas.- Budi daya jangkrik makin
dilirik
Coba buat kreasi baru
Semangat manusia ke bulan; semangat Columbus; ide gila; penemuan pesawat, telephon,
tivi, berawal dari ide gila.
60
61
62
sebagai pathok tanah Jawa; orang Jepang sebagai putra matahari; orang Jawa
berasal dari dewa; raja2 Jawa sebagai titisan dewa; Suharto sebagai keturunan
raja2 Jawa, dsb. Cerita asal-usul biasanya untuk mencari legitimasi bahwa
suku, bangsa, atau keluarga, tokoh berasal dari keturunan raja atau dewa,
bukan orang sembarangan atau keturunan pidak-pedarakan. Seperti Suharto,
mengatakan bahwa dirinya itu masih keturunan raja2 Jawa (MajapahitMataram?).
17. Ketika Edhi minta Neneknya bercerita ttg bagaimana Ibu tercinta yang sudah
meninggal itu dijemput oleh malaekat2 (bidadari) ke surga, lalu bagaimana di
surga Ibu mendoakan anaknya agar dia tidak nakal, dia sedang menikmati
sastra.
Cerita binatang
Cerita Kancil paling populer. Tokoh binatang yang kecil tetapi cerdik. Bahkan bisa
mengalahkan atau menipu binatang2 hutan yang lebih besar. Misalnya Kancil berlomba
lari dengan Siput (keong). Kancil menjaga seruling, sabuk, gong, jenang nabi Sulaeman.
Kancil menipu Gajah. Kancil kalah dengan orang-orangan Pak Tani, tapi bisa menipu
Anjing. Binatang yang tak tahu balas budi: Buaya yang mau memakan Lembu yang baru
saja menolongnya dari tindihan pohon. Cerita binatang berasal dari India, karena
kepercayaan Hindu akan inkarnasi. Cerita binatang yang juga terkenal adalah
Sukasaptati. Terjemahan versi Melayu bernama Bayan Budiman.
Cerita Jenaka
Cerita Pelipur Lara
Epos India: Ramayana dan Mahabharata
Tugas: cari 5 cerita asal-usul; 5 cerita binatang; 5 cerita lucu.
Tugas 1:
1. Kumpulkan Cerita2 rakyat, dongeng menjelang tidur, terutama
yang saudara senangi. Buat ringkasan 5 cerita!
SASTRA DALAM HIDUP SEHARI-HARI: SINETRON, TELENOVELA, FILM,
DRAMA, KETOPRAK, LENONG, LAGU-LAGU, SENDRATARI, DSB
Sejak kecil kita sebenarnya sudah akrab dengan sastra. Ketika bayi, waktu mau tidur,
dilagukan lagu Ninabubuk; ketika manangis, ditembahkan lagu Tak lela lela lela ledung;
waktu masih balita, diajar nyanyi Keplok ame-ame, walang kupu-kupu. Ketika di TK,
menyanyi Pelangi-pelangi, Bintang Kecil, Menanam Jagung, Balonku Ada Lima. Lagulagu tanah air, perjuangan, kebangsaan lagu pop, bahkan lagu dangdut, dsb. Dongeng
sebelum tidur: Timun Emas, Buta Ijo, Bawang Merah, Cindelaras, Kancil Nyolong
Timun.
Lagu-lagu yang saban hari kita dengar dan kita gemari, dari lagu pop, campur
sari, hingga lagu dangdut, bukankah syair-syairnya berbentuk puisi? Hiburan-hiburan apa
yang kita saksikan di televisi? Cerita apa saja yang saya senangi? Ketoprak Humor,
Srimulat, Ludruk, pementasan Wayang Orang maupun Wayang Kulit, bukankah itu
merupakan bentuk teater? Acara-acara film dari Shinchan, Doraemon, Scoobidoo,
63
Sinetron Tersanjung, Maha Kasih, Mak Lampir, Dendam Nyi Pelet, hingga Telenovela,
film-film Hindia, film silat Cina sampai film-film Hollywood, bukankah itu cerita fiksi
yang diolah dari skenario yang bersifat sastra? Belum lagi cerita-cerita daerah, tulisantulisan di berbagai koran, majalah dalam bentuk Cerita pendek, Cerita bersambung, puisi,
dsb. Bisa dikatakan setiap saat kita sebenarnya bertemu dengan sastra.
Cerita kanak2 Harry Potter, cerita HC. Anderson. Mahabharata, Ramayana,
Bayan Budiman. Dalam acara tivi: cerita horor, ketoprak humor, kartoon, film cerita silat,
India, Mahabharata, detektif, spionase, dsb. Pengalaman pribadi: buat cerita (memetik
bulan dan matahari), cerpen "Sepotong Senja untuk Sang Pacar", cerber. Cerita lucu2.
Dalam seni gerak (Tari) pun biasanya terselip (cerita) sastra secara implisit
(Ramayana, Tari Merak, dsb). Demikian pula dalam lukisan2-pun terdapat cerita sastra
secara implisit. Ada cerita yang melatar-belakanginya.
Prospek: kalau sekarang mau belajar, nanti siapa tahu jadi pengarang. Contoh dari
Kompas, seorang berumur 86 tahun yang berani pecahkan rekord Guinnes Book.
Drama, cerita film: merupakan cerita dalam gerak dan kata.
Dalam bentuk tontonan, seni pertunjukan.
Tradisi lisan dan tradisi tulis dalam masyarakat dulu. Tradisi lisan dan tradisi tulis dalam
masyarakat kita sekarang. Suka ngobrol, ngegosip, bikin isu, provokator, tidak suka baca,
tidak suka ke perpust. Kita sebagai mahasiswa berada dalam transisi, menuju ke tradisi
tulis sebagai calon cendekiawan, biasakan ke perpust. Tapi jangan kebablasan, 64maginat
(latah). Mentang mahasiswa lalu nulis di meja2 kuliah, tembok, tempat2 umum, WC, dsb.
Tugas 2
Perhatikan acara di tivi. Acara apa yang saudara senangi?
1. Manakah yang saudara senangi: menonton film di bioskop, vcd, membaca komik,
cerita, nonton sinetron, telenovela, film kartun, film cerita, menyaksikan/mendengarkan
pagelaran wayang, ketoprak, drama/teater, dsb? Mengapa?
6. Sebutkan jenis atau judul (bisa pilih salah satu atau keduanya) cerita, lagu apa
yang saudara senangi?
7. Mengapa saudara menyenangi cerita atau acara tsb?
8. Masalah apa muncul dalam fiksi tsb (64magin, religius, psiko logi,pendidikan)?
Terangkan!
9. Manakah cerita/film yang senangi: cerita/film asing (terjemahan) atau cerita
Indonesia.
10. Apakah saudara puas menikmati cerita2 sinetron, film tsb? Ungkapkan kritik
saudara!
Ternyata cerita fiksi itu sudah merupakan bagian dari kehidupan kita, sangat digemari
oleh masyarakat kita. Ternyata yang kita gemari selama ini adalah cerita karya fiksi.
Mengapa kita tak berpikir, aku bisa membuat cerita2 itu. Kita punya peluang. Tidak kalah
dengan mereka. Kita lihat sinetron2 itu. Kelemahannya. Kurang logis, didramatisir,
dilebih-lebihkan, tidak wajar. Tema: monoton: cinta, perselingkuhan; perang/perkelaian
begitu2 saja, gunakan tenaga dalam. Mengapa kita tidak mencoba?
64
CONTOH perbedaan antara tulisan sastra, ilmiah dan jurnalistik, bahasa sehari-hari
(diskusi). Berbedaan dalam hal bahasa, isi, sudut pandang, suasana, dsb.
Dengan demikian sastra berarti segala sesuatu yang tertulis yang bersifat rekaan
yang memiliki nilai estetik (Teuuw, 1984: 22). Dalam praktek tidak hanya meliputi
sesuatu yang tertulis tetapi juga yang lisan. Yang pasti, sastra menggunakan medium
bahasa. Maka sastra bisa dikatakan penggunaan media bahasa (baik tulis maupun lisan)
yang bersifat rekaan (65maginative) dan estetis. Rekaan di sini bukan merupakan lawan
kenyataan, melainkan memberitahukan sesuatu mengenai kenyataan. Dalam sastra,
sastrawan memberi makna lewat kenyataan yang bisa diciptakannya. Dunia yang
diciptakannya adalah dunia alternatif (Teuuw, 1984: 248).
Menurut Aristoteles, sastra berurusan dengan kebenaran universal (Teeuw, 1983:
22). Horatius mencanangkan pedoman untuk penciptaan sastra: dulce dan utile; indah dan
berguna. Sastra harus memiliki estetika tinggi dan bermanfaat bagi pembentukan pribadi
manusia yang baik. Maka sastra sebagai pendidikan humaniora memusatkan perhatian
pada nilai-nilai yang paling tinggi bagi umat manusia (Hartoko, 1985: 52-53).
TEMPAYAN RETAK
Seorang tukang air memiliki dua tempayan besar, Masing-masing bergantung
pada kedua ujung sebuah pikulan, yang dibawa menyilang pada bahunya. Satu dari
tempayan itu retak, sedangkan tempayan yang satunya lagi tidak. Jika tempayan yang
tidak retak itu selalu dapat membawa air penuh setelah perjalanan panjang dari mata air
ke rumah majikannya, tempayan retak itu hanya dapat membawa air setengah penuh.
Selama dua tahun, hal ini terjadi setiap hari. Si tukang air hanya dapat membawa satu
setengah tempayan air kerumah majikannya. Tentu saja si tempayan yang tidak retak
merasa bangga akan prestasinya, karena dapat menunaikan tugasnya dengan sempurna.
Namun si tempayan retak yang malang itu merasa malu sekali akan ketidak
sempurnaannya, dan merasa sedih sebab ia hanya dapat memberikan setengah dari porsi
yang seharusnya dapat diberikannnya. Setelah dua tahun tertekan oleh kegagalan pahit
ini, tempayan retak itu berkata kepada si tukang air, "Saya sungguh malu pada diri saya
sendiri, dan saya ingin mohon maaf kepadamu. "Kenapa?" tanya si tukang air, "Kenapa
kamu merasa malu?" "Saya hanya mampu, selama dua tahun ini, membawa setengah
porsi air dari yang seharusnya dapat saya bawa,karena adanya retakan pada sisisnya telah
membuat air yang saya bawa bocor sepanjang jalan menuju rumah majikan kita. Karena
cacatku itu, saya telah membuatmu rugi." kata tempayan itu.
Si tukang air merasa kasihan pada sitempayan retak, Dan dalam
belaskasihannya, ia berkata,"Jika kita kembali ke rumah majikan
besok, aku ingin kamu memperhatikan bunga-bunga indah di sepanjang jalan."
Benar, ketika mereka naik ke bukit, si tempayan retak memperhatikan dan baru
menyadari bahwa ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan, dan itu membuatnya
sedikit terhibur. Namun pada akhir perjalanan, ia kembali sedih karena separuh air yang
dibawanya telah bocor, dan kembali tempayan retak itu meminta maaf pada si tukang air
atas kegagalannya.
Si tukang air berkata kepada tempayan itu, "Apakah kamu memperhatikan
adanya bunga-bunga di sepanjang jalan si sisimu tapi tidak ada bunga di sepanjang jalan
65
di sisi tempayan yang lain yang tidak retak itu ? Itu karena aku selalu menyadari akan
cacatmu, dan aku memanfaatkannya. Aku telah menanam benih-benih bunga di
sepanjang jalan di sisimu, dan setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air, kamu
mengairi benih-benih itu. Selama dua tahun ini aku telah dapat memetik bunga-bunga
indah itu untuk menghias meja majikan kita. Tanpa kamu sebagaimana kamu ada,
majikan kita tak akan dapat menghias rumahnya seindah sekarang."
Setiap dari kita memiliki cacat dan kekurangan kita sendiri. Kita semua adalah
tempayan retak. Namun jika kita mau, Allah akan menggunakan kekurangan kita untuk
menghias-Nya. Di mata Allah, tak ada yang terbuang percuma. Jangan takut akan
kekuranganmu. Kenalilah kelemahanmu dan kamu pun dapat menjadi sarana keindahan
Allah. Ketahuilah, di dalam kelemahan kita, kita menemukan kekuatan kita.
66
67
Sesuatu yang luar biasa itu menarik perhatian dan lewat persepsi indera
membangkitkan berahi, rasa tertarik pada yang indah (Hikayat Inderaputera). Kekuatan
daya tarik keindahan itu tergantung pada kemampuannya untuk mempengaruhi beberapa
indera sekaligus. Dalam sastra Melayu lukisan mengenai sesuatu yang indah memuat
unsur-unsur penglihatan, pendengaran dan penciuman. Ketertarikan pada yang indah atau
berahi itu menimbulkan heran dalam jiwa, begitu menyita segenap indera, hingga
lemahlah daya kontrol pikiran atas jiwa dan kacaulah hirarki "kemampuan-kemampuan"
jiwa, yang mengakibatkan hilang akal, merca, lupa dan seterusnya Hikayat Isma Yatim,
Hikaya Inderaputera).Akibat keindahan yang demikian itu berbahaya bagi orang yang
tidak mampu menguasai atau menyalurkannya.
Mengatasi daya tarik keindahan itu merupakan kemenangan yang setara dengan
kemenangan pahlawan dalam pertempuran atau percintaan. Berhadapan dengan
keindahan, sang pemandang tetap teringat, tetap menguasai dirinya. Akal, budi orang
yang arif bijaksana mengatasi bahasa maut keindahan (Hikayat Inderaputera).
Bila daya tarik yang kuat dari keindahan itu diatasi, maka timbullah efek
penyembuh dari yang indah. Yang indah merupakan penglipur atau penghibur hati
(Hikayat Pandawa Jaya). Jadi yang indah dalam aspek psikologisnya membangkitkan
berahi akan keindahan dan menimbulkan heran. Bila berahi dan heran itu begitu kuat,
hingga akal hilang dayanya, maka timbullah kegoncangan jiwa, lupa dan merca. Tetapi
bila orang dapat menguasai jiwanya atau bijaksana, maka yang indah menjadi
penglihatan dan penghibur hati.
ESTETIKA DALAM KAKAWIN JAWA KUNA
Seperti dalam sastra Melayu, estetik dalam kakawin Jawa Kuno hanya bisa dirumuskan
berdasarkan ucapan-ucapan sang kawi, yang terdapat dalam kakawin, khususnya dalam
manggala dan penutup. Tidak terdapat teks khusus mengenai teori keindahan dan poetika.
Pokok2 estetis dalam kakawin Jawa Kuna dapat dirumuskan sebagai berikut:
Sang kawi memulai karyanya dengan menyembah dewa pilihannya (istadewata),
yang dipujanya sebagai dewa keindahan. Bagi sang kawi dewa itu baik menjadi asal dan
tujuan segala yang indah, maupun menjelma di dalam segala sesuatu yang indah (lango).
Sang kawi mohon pertolongan dewa jujaannya dengan mempersatukan diri dengannya
(dewasraya).
Persatuan dengan dewa keindahan itu merupakan sarana dan tujuan. Sarana:
persatuan itu membuat sang kawi "bertunas keindahan" (alung lango); dengan begitu ia
berhasil menciptakan karya keindahan (kalangwan), yakni kakawin. Tujuan: dengan
persatuan dengan dewa keindahan serta penciptaan karya keindahan itu sang kawi
berharap akan mencapai kelepasan (moksa). Kakawin menjadi candi, tempat semayam
dewa keindahan, dan silunglung, bekal kematian sang kawi. Persatuan dengan dewa
keindahan dan penciptaan kakawin merupakan yoga yang khas bagi sang kawi, yakni
yoga keindahan dan yoga sastra. Dewa keindahan, sebagai Yang Mutlak dalam alam
niskala, berkat samadi sang kawi, berkenan turun dan bersemayam di dalam sakalaniskala, yakin jiwa atau hati sang kawi (jnana, hidep, tutur).
Keadaan itu membuat sang kawi dapat berhubungan dengan dewa yang nampak
dalam alam sakala, dalam Segala sesuatu yang indah. Dengan menyadari kesatuannya
68
dengan dewa di dalam aneka ragam pernyataannya itu, sang kawi pun menyadari
kesatuannya dengan dewa di alam niskala, yang menjadi tujuan akhir dari yoga.
Untuk menemukan dewa keindahan, yang menjelma dalam alam sakala itu, sang
kawi mengembara, menjelajah gunung (awukiran) dan pantai, hutan dan petirtaan
(atirtha), sambil berlaku tapa (abrata). Sang kawi rindu akan keindahan alam dan ingin
menjelmakannya dalam kakawin. Alam pun rindu untuk ditangkap keindahannya oleh
sang kawi dan dijelmakan dalam kakawin.
Keindahan yang ditemukan oleh sang kawi dalam alam juga terbayang di manamana, khususnya dalam pertempuran, kecantikan wanita dan percintaan. Pertempuran
kerap kali dilukiskan dengan gambaran2 dari alam. Begitu pula kecantikan wanita.
Bahkan wanita yang sangat cantik dikatakan: kecantikannya melebihi keindahan alam.
Berhadapan dengan wanita dalam percintaan menimblkan rasa, seperti yang dialami, bila
orang berhadapan dengan keindahan alam dan terlibat dalam pertempuran.
Alam dan manusia menyatu dalam keindahan. Berhadapan dengan alam, yang
begitu menarik dan "mempeseona" (alango), sang kawi, pencinta keindahan (mango),
"terpesona (alango), terserap seluruhnya dan tenggelam dalam obyek yang dipandangnya
(lengeng, lengleng), hingga segala sesuatu yang lain lenyap dan terlupakan. Semua
kegiatan budi berhenti. Persepsi obyek sendiri menjadi samar-samar dan dalam
pengalaman kesatuan, yang mengaburkan pemisahan subjek dengan obyek itu, kesadaran
diri pun lenyap pula. Itulah pengalaman ekstatis, yang merangkum pengalaman estetis
dan mistis/religius.
Pengalaman estetis sang kawi itu bukan melulu ketertengggelaman dalam
keindahan alam, yang sensual dan fenomental belaka, belainkan ketertenggalaman dalam
Yang Mutlak, di mana sang kawi mengatasi segala macam nafsu dan godaan. Diterapkan
dalam hubungan kakawin dengan pembaca atau pendengarnya, dapat dikatakan, bahwa
kakawin menimbulkan pada pembaca atau pendengarnya pengalaman sang kawi itu:
tenggelam dalam alam fenomenal, tembus sampai ke hakekatnya, bertemu dengan "Sang
Keindahan" sendiri.
Berdasarkan pokok2 estetik di atas, dapat dikatakan bahwa istilah lango, lengeng,
lengleng merupakan konsep sentral dalam estetik pada kawi. Aspek2nya dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Aspek Ontologis dari lango memiliki 3 taraf:
Taraf imaterial/transenden: dewa, "Sang Keindahan", sebagai Yang Mutlak (alam
niskala).
Taraf imaterial-material/transenden-imanen: dewa, "Sang Keindahan", yang
bersemayam dalam hati sang kawi dan dipuja dalam samadi (alam sakala-niskala).
Taraf material/imanen: dewa "Sang Keindahan" yang menjelama dalam segala
sesuatu yang nampak, terindera dan dijelmakan kembali oleh sang kawi dalam kakawin
(alam sakala).
Sesuai dengan aspek ontologis itu, aspek psikologis dari lango, yang sekaligus
juga merupakan aspek religius -seperti dalam yoga - memuat tiga tahap:
Tahap konsentrasi (dhyana): jiwa sang kawi terpusat pada obyek (alam
fenomenal). Tahap meditasi (dharana): jiwa sang kawi terpenuhi "bayangan" dewa,
sehingga aneka ragam rupa obyek lenyap.
69
Tahap unifikasi (samadhi): kesadaran diri lenyap, sang kawi tenggelam dalam
persatuan dengan Yang Mutlak. Aspek psikologis lango pada sang kawi itu mutatis
mutandis juga merupakan aspek psikologis pada pembaca atau pendengar, bila
berhadapan dengan obyek, kalangwan, 'karya keindahan', yakni kakawin.
Mengingat aspek ontologis dan psikologis-religius itu, dapat dikatakan, bahwa
dalam kakawin fungsi estetis berpadu dengan fungsi religius. Dengan demikian dapat
dipahami, bahwa kerap kali dalam kakawin terdapat bagian-bagian, yang memuat ajaran
etis-religius (niti, tutur).Mengingat aspek2 itu pula, nampaklah bahwa dalam estetik para
kawi termuat ciri2 idealis dan materialis.
Dari uraian di atas nampaklah bahwa ada persamaan dan perbedaan dalam estetik
sastra Melayu Klasik dan kakawin Jawa Kuna. Namun demikian, yang diutarakan dalam
tulisan ini berulah pokok2-nya saja. Perumusan teoritis beserta dengan segala nuansanya
masih perlu dikerjakan. Jika bahasa itu terungkap dalam tulisan yang bermakna,
berbobot, mengesankan, maka kita masuk ke dalam dunia sastra. Jadi sastra pada dasar
filsafahnya adalah primer: suatu pewahyaan ada (en offenbar werden des Seins). Dan
baru secara sekunder atau tersier berciri pewahyaan secara indah, menarik, kolosal, penuh
hikmah, simbolisasi, impresionistik, surrealistik, magis-realistik, absurd, mitologis,
religius (Y.B. Mangunwijaya, dan Basis, Januari 1986, XXXV, 1, berjudul Sastra dan
Bentuk Hidup).
REPETISI
1. Bagaimana etimologi Barat maupun etimologi Timur tentang sastra?
2. Pendapat Sartre tentang sastra dipengaruhi oleh pendapatnya tentang
keberadaan. Bagaimana pendapat Sartre tentang keberadaan? Apa
pendapat Sartre tentang sastra?
3. Apa yang dimaksud dengan sastra terlibat?
Soal Sisipan untuk Teori Sastra
1. Tunjukkan bahwa sastra itu dekat kehidupan kita sehari-hari!
2. Sebutkan dan jelaskan yang menjadi sifat-sifat sastra menurut Wellek?
3. Bagaimana pandangan Sartre mengenai sastra? Apa yang dimaksudkan dengan
sastra terlibat? Jelaskan!
ttg
2.
Yang
dirasakan
keindahan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
saat
alami
MITOS GUA
Untuk menjelaskan tataran pengetahuan manusia, Plato dalam Republic VII
memberi gambaran yang dikenal dengan mitos tentang gua.
Orang I yang tidak mempunyai pengetahuan mengenai kenyataan adalah
seperti tahanan yang dirantai lehernya dalam sebuah gua. Ia tidak bisa melihat apa-apa
kecuali dinding gua dan bayang-bayang yang terpantul padanya. Ia hanya mampu
melihat apa yang oleh Plato disebut angan-angan atau ilusi (eikasia).
Orang II: Apabila orang ini dibebaskan dan boleh menghadap ke mulut gua, ia
akan lebih mendekati kenyataan dengan melihat api dan orang yang hilir mudik di sana.
Orang III: Akan tetapi, ia akan lebih bebas, apabila dikeluarkan dari gua sama
sekali dan melihat kenyataan di luar gua. Pengetahuan sejati tercapai bila ia sampai
menengadah ke atas dan melihat matahari.
Mitos Gua: 1. Orang tahanan dalam gua (eikasia). 2. Orang bebas dalam
gua (api). 3. Orang bebas di luar gua (matahari).
71
72