Kognisi
Komponen
kognitif
mencakup
3
tipe skill belajar
yang
umum,
yang mengacu
pada
strategi
kognitif,
strategi
pemecahan masalah, dan strategi berpikir kritis. Strategi kognitif
mencakup berbagai taktik individual yang digunakan untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran. Salah satu contohnya adalah mengajukan
pertanyaan umum kepada siswa saat pembelajaran dimulai untuk
menarik perhatian siswa (Chinn & Brown, 2002; Kahle & Boone, 2000).
Contoh kedua adalah penggunaan strategi active learning dengan grafik
dan tabel (House, 2002). Penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa
pelajar yang telah mencapai tingkat self-regulated menggunakan berbagai
strategi belajar kognitif dangan cara yang fleksibel (Pressley & WhartonMcDonald, 1997).
Strategi pemecahan masalah lebih kompleks daripada strategi kognitif.
Instruksi dalam strategi ini biasanya terfokus pada pengembangan
strategi pemecahan masalah yang umum atau pada praktik penggunaan
strategi tersebut. Salah satu contohnya adalah teknik predict-observe,
explain (POE) yang diteliti oleh Rickey dan Stacy (2000). Studi terkini
melaporkan bahwa pemecahan masalah dapat dibagi menjadi langkahlangkah individual yang dapat lebih kecil (Dhilton, 1998; Peterson &
Treagust, 1998). Pemecahan masalah yang eksplisit dapat membantu
siswa untuk membangun tingkatan pemahaman yang lebih dalam
dibandingkan siswa yang tidak pernah latihan memecahkan masalah
(Huffman, 1997).
Berpikir kritis melibatkan berbagai skill seperti skill siswa dalam
mengidentifikasi sumber informasi, analisis kredibilitas sumber,
merefleksikan informasi yang diperoleh apakah konsisten dengan
pengetahuannya sebelumnya, dan menarik kesimpulan yang didasarkan
pada kemampuan berpikir kritis (Linn, 2000). Penelitian tentang
argumentasi (Kuhn, 1999) dan berpikir kritis (Halpern, 1998)
mengindikasikan bahwa banyak siswa bahkan mahasiswa yang gagal
dalam memanfaatkan pemikiran mutakhir. Kemampuan berpikir kritis
dapat ditingkatkan melalui latihan yang terangkai dan berkelanjutan
(Baird & White, 1996; Chang, 1999; Huffman, 1997).
Metakognisi
Metakognisi mencakup 2 subkomponen utama, yaitu pengetahuan
terhadap kognisi, dan regulasi terhadap kognisi (Schraw & Moshman,
1995). Pengetahuan terhadap kognisi (knowledge of cognition) merujuk
kepada apa yang kita tahu dari aspek kognitif kita, dan dapat dibagi lagi
menjadi 3 bagian: 1) Pengetahuan deklaratif, termasuk pengetahuan
tentang diri sendiri sebagai pelajara dan apa saja faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja pembelajaran kita. Sebagai contoh, kebanyakan
orang dewasa tahu batasan memori mereka untuk bekerja. 2)
Pengetahuan prosedural, yaitu pengetahuan terhadap strategi dan
prosedur. Contohnya kebanyakan orang dewasa memiliki strategi seperti
mengambil catatan, memperlambat penjelasan untuk informasi penting,
mempercepat penjelasan informasi yang kurang penting, menyimpulkan
ide pokok, dan menguji diri sendiri secara periodik. 3) Pengetahuan
kondisional, mencakup pengetahuan akan mengapa dan kapan suatu
strategi digunakan. Individu dengan tingkat pengetahuan kondisional
yang tinggi mampu memahami strategi apa yang layak dipilih untuk suatu
situasi.
Penelitian mengungkapkan bahwa pengetahuan tentang kognisi
lambat dibangun (Alexander, Carr, & Schwanenflugel, 1995; Baird &
White, 1996). Orang dewasa cenderung mempunyai pengetahuan dan
kognisi yang lebih baik daripada anak-anak dan remaja. Namun,
kebanyakan orang dewasa tidak mampu menjelaskan pengetahuan
ataupun memahami strategi dan kinerjanya dan seringkali gagal dalam
menerapkannya dalam situasi yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa
pengetahuan metakognitif harus tidak lagi bersifat eksplisit namun
bersifat implisit dalam berbagai situasi (Butler & Winne, 1995).
Regulasi terhadap kognisi (regulation of cognition) mencakup tiga
komponen, planning, monitoring, dan evaluasi (Schraw & Mohsman,
1995). Tahap planning melibatkan pemilihan strategi dan alokasi
sumber/waktu. Tahap planning mencakup penetapan tujuan, mencari
pengetahuan yang relevan, dan menetapkan waktu. Penelitian
sebelumnya mensugestikan bahwa kebanyakan para ahli lebih mampu
mengatur dirinya dibandingkan para pemula dikarenakan perencanaan
yang efektif, terutama perencanaan umum sebelum melakukan sebuah
pekerjaan. Tahap monitoring mencakup skill individu untuk menguji
dirinya (self-testing skills) yang dibutuhkan untuk mengontrol
pembelajarannya. Orang dewasa mampu memantau hal yang bersifat
lokal maupun global. Tahap evaluasi merujuk kepada penilaian terhadap
hasil dan proses pembelajaran. Evaluasi juga mencakup merevisi tujuan
pembelajaran dan prediksi hasil yang mungkin dicapai.
Beberapa peneliti (Butler & Winne, 1995; Pressley, Borkowski, &
Schneider, 1989) mensugestikan bahwa proses pengaturan diri (selfregulatory), termasuk planning, monitoring, dan evaluasi tidaklah eksplisit
dalam kebanyakan situasi pembelajaran. Salah satu alasannya adalah
kebanyakan proses ini berjalan secara otomatis, setidaknya pada orang
dewasa. Alasan kedua adalah karena proses ini mungkin dibangun tanpa
disengaja serta kejadian tersebut sulit dikemukakan. Sebagai tambahan,
beberapa peneliti yakin bahwa pembelajaran sains seharusnya
mengurangi jumlah waktu yang dialokasikan untuk pemahaman
konseptual dan meningkatkan jumlah waktu yang dialokasika nuntuk
pemahaman prosedural (Duggan & Gott, 2002). Alasan rasional dari hal
tersebut adalah bahwa kompetensi prosedural sangat diperlukan dalam
pemecahan masalah dan berpikir kritis serta pada tingkatan yang lebih
tinggi dalam pembelajaran sains.
Motivatisi
Komponen motivasi sebagaimana tercantum dalam gambar 1
mencakup 2 subkomponen penting, yaitu efikasi diri dan keyakinan
epistemologi. Efikasi diri merujuk pada derajat yang diperoleh individu
saat dia meyakini bahwa dia dapat mengerjakan suatu pekerjaan atau
mencapai sebuah tujuan (Bandura, 1997). Efikasi diri sangatlah penting
dalam self-regulated learning karena dapat mempengaruhi seberapa
banyak pelajar yang terus bersikeras mengerjakan tugas yang
menantang. Siswa dengan tingkat efikasi diri yang tinggi cenderung ingin
mengerjakan tugas yang lebih sulit (Pajares, 1996). Tingkat efikasi diri
yang lebih tinggi sangat berhubungan positif dengan prestasi dan
penghormatan di sekolah. Penelitian mengungkapkan bahwa siswa
dengan efikasi diri yang tinggi mendapat respek yang tinggi bahkan dari
guru dan sekolahnya. Guru dengan tingkat efikasi diri tinggi menetapkan
tujuan dan standar yang tinggi, memberikan otonomi kepada siswanya,
dan membantu siswanya mencapai level prestasi yang lebih tinggi
dibandingkan guru dengan tingkat efikasi diri yang rendah (Goddard, Hoy,
& Hoy, 2000). Beberapa studi juga mengindikasikan bahwa guru dan
siswa yang memiliki efikiasi diri tinggi memainkan peranan penting dalam
pembelajaran sains (Cannon & Scharmann, 1996; Schoon & Boone, 1998).
Efikasi diri mempengaruhi sejumlah variabel, terutama dalam
pembelajaran melalui model dan menjadi model (modeling). Pembelajaran
melalui model terjadi ketika seseorang belajar dengan cara mengamati
orang lain menunjukkan kemampuannya atau mendiskusikan suatu topik.
Pembelajaran melalui model berguna bagi pelajar karena mereka tidak
terbebani untuk mengerjakan suatu pekerjaan sehingga terhindar dari
rasa gelisah, dan karena mereka hanya terfokus pada objek yang
diamatinya. Pembelajaran dengan menjadi model (modeling) terjadi ketika
pelajar belajar dengna intensitas tertentu dari individu yang lain seperti
guru dan siswa lain. Umumnya dalam kegiatan modelingterdapat kegiatan
guru yang membagi tugas yang kompleks menjadi bagian-bagian yang
dapat dikerjakan dan meminta siswa untuk mendemonstrasikan tiap
bagian secara terpisah dan berurutan. Bandura (1997) mengatakan
bahwa modeling ini efektif karena dapat meningkatkan ekspektasi bahwa
strategi baru dapat diperoleh dalam rangka memberikan banyak
pengetahuan baru tentang keterampilan dirinya. Peer to peer teaching
biasanya sangat efektif dikarenakan sangat familiar dengan pelajar.
Tentunya pelajar cenderung meningkatkan efikasi dirinya ketika
mengamati model yang familiar atau memiliki level penampilan skill yang
sama (Schunk, 1996).
Ada 2 cara utama untuk meningkatkan efikasi diri siswa. Yang pertama
adalah dengan cara menggunakan model ahli (seperti guru) dan pemula
(seperti siswa). Dengan modeling dapat meningkatkan strategi kognitif
dan efikasi diri. Cara kedua adalah dengan memberikan sebanyak
mungkin umpan balik informasi dengan siswa. Umpan balik tidak hanya
mengindikasikan bahwa skill telah ditampilkan dengan baik, namun juga
memberikan informasi sebanyak mungkin tentang bagaimana cara
meningkatkan kinerja. Dengan diberikannya umpan balik informasi yang
mendetail, kinerja/performa dan efikasi diri dapat meningkat bahkan bagi
siswa yang sulit untuk menampilkan skillnya.
Keyakinan epistemologik adalah keyakinan terhadap asal usul
pengetahuan. Para peneliti telah terfokus pada 2 aspek dalam keyakinan
epistemologik ini dalam 1 dekade terakhir. Satu aspek memberi perhatian
pada perbedaan keyakinan. Schommer (1994) membuat taksonomi
tentang 4 keyakinan tersebut, yaitu (a) quick learning (sesuatu dapat
dipelajari dengan segera); (b) innate ability (belajar membutuhkan
kemampuan belajar yang alami); (c) simple knowledge (ide pokok yang
penting dari suatu pengetahuan adalah dimulai dari hal yang paling
sederhana); (d) certain knowledge (beberapa hal penting dalam
pengetahuan tidak akan berubah sepanjang waktu). Schommer-Aikins
(2002) berargumen bahwa tiap keyakinan tersebut mengakibatkan
terbentuknya pemecahan masalah dan berpkir kritis. Hal tersebut juga
didukung oleh Kardash dan Scholes (1996) yang menemukan bahwa
keyakinan epistemologik ini berhubungan dengan analisis kritis terhadap
tulisan ilmiah tentang penyebaran AIDS. Neber dan Schommer-Aikins
(2002) juga menemukan hubungan antara keyakinan epistemologik
dengan pemecahan masalah secara saintifik.
Para peneliti yang lainnya juga telah terfokus pada perbedaan
pandangan hidup (Hammer & Elby, 2002; Kuhn, 1991). Kuhn dan
Weinstock (2002) membandingkan pandangan para penganut paham
absolutisme dengan pandangan para penganut paham multiplisme,
berargumen bahwa multiplis mengadopsi situasi pandangan hidup yang
menghasilkan refleksi kritis dan pemahaman mendalam. Lebih dari itu,
sudah diketahui secara umum bahwa siswa dan guru memiliki perbedaan
dalam pandangan hidup dan hal itu menyebabkan cara belajar siswa yang
satu berbeda dengan siswa lainnya. (Roth & Tobin, 2001; Schraw &
Olafson, 2002; Tsai, 2002).
Kesimpulan
mereka lihat. Tujuan dari inquiry otentik adalah untuk membangun dan
menguji model teoritis dan menjelaskan mekanisme dari suatu kejadian
yang belum diobservasi. Berbeda dengan hal tersebut, tujuan inquiry
sederhana adalah untuk mengobservasi objek dengan maksud untuk
mendeskripsikan perilakunya. Inquiry otentik membutuhkan korelasi
antara teori dengan data dimana data tersebut digunakan untuk
mengevaluasi sebuah teori, walaupun dalam beberapa kasus ditemukan
beberapa penyimpangan pada kumpulan data. Kesimpulan yang diajukan
oleh siswa yang berhubungan sebab-akibat dengan hipoteis sangat
berperan dalam proses ini. (Gilbert & Reiner, 2000).
Timbul sejumlah masalah ataupun pertanyaan saat pengajaran
berbasis inquiry ini dibahas. Masalah pertama adalah tentang cara
mengimplementasikan pengajaran berbasis inquiry ini dalam kurikulum.
Pada umumnya para peneliti yakin bahwa pengajaran dan pembelajaran
berbasis inquiry harusnya berbasis pada sebuah proyek. Ketiga jenis
aktivitas inquiry sangatlah esensial (Chinn & Hmelo-Silver, 2002),
termasuk desain eksperimen yang terstruktur (Khishfe & Fouad, 2002),
mendiskusikan hasil (Halpern, 1998; Kuhn, 1999), dan merefleksikan
proses inquiry (Toth, Suthers, & Lesgold, 2002; Van See, 2000). Sejumlah
fakta mengemukakan bahwa instruksi ekspilit, terutama untuk siswa
tingkat dasar dapat memfasilitasi desain eksperimen berbasis inquiry.
Selain itu, terdapat fakta bahwa siswa yang menerapkan inquiry otentik
lebih kapabel untuk menerapkan strategi pengajaran otentik di kelasnya
(Windschitl, 2002). Inquiry otentik menghadirkan refleksi aktif terhadap
masalah, sebagaimana dibangunnya pemahaman konsep ekspilisit
terhadap masalah. Inquiry otentik menghadirkan metakognisi dan regulasi
diri karena ada baiknya siswa mampu memantau kegiatan belajar mereka
dan mengevaluasi kesalahan dalam pemikiran atau pemahaman
konseptual mereka.
Kelompok kedua menaruh perhatian mereka pada efektivitas
intervensi instruksional yang didasarkan pada pengajaran berbasis inquiry.
Review literatur terkini oleh Anderson (2002) mengindikasikan adanya
raihan yang positif dan sederhana dalam instruksi berbasis inquiry.
Memasukkan pengajaran inquiry dalam kurikulum dapat memberikan
keuntungan berupa sikap ilmiah, keyakinan epistemologik, dan aspek
motivasi dari self-regulated learning, lebih dari proses kognitif. Pengajaran
berbasis inquiry hadir untuk meningkatkan komponen motivasi dari selfregulation yang mungkin dikarenakan pengajaran inquiry dapat
menimbulkan pemahaman konseptual yang lebih jelas. Namun, beberapa
tipe aktivitas kognitif seperti pemecahan masalah memberikan
keuntungan secara menyeluruh. Terdapat tiga alasan mengapa instruksi
berbasis inquiry digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Instruksi strategi
Para pendidik sains telah mulai tertarik kepada pentingnya Instruksi
strategi yang membantu siswa memfokuskan perhatiannya secara selektif
dan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dengan lebih baik.
Instruksi strategi ini mempunyai 2 fungsi penting. Fungsi pertama adalah
menawarkan kepada pelajar akan rutinitas prosedur yang spesifik untuk
memecahkan suatu masalah. Fungsi kedua adalah seringkali strategi ini
menghadirkan model konseptual yang luas tentang bagaimana cara
memecahkan suatu masalah. Linn (2000) mengajukan 4 tujuan
pendidikan sains, antara lain menjadikan sains dapat diakses, membuat
cara berpikir menjadi dapat dilihat, membantu siswa untuk belajar dari
siswa lainnya, dan memunculkan pembelajaran sains sepanjang hayat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Linn mengajukan kerangka Knowledge
Integration Environment (KIE). Pada intinya kerangka KIE merupakan
gagasan yang digunakan para pelajar untuk mendukung keterampilan
mereka dalam mengintegrasikan berbagai sumber informasi menjadi
kerangka yang padu. Instruksi strategi adalah cara untuk mencapai
keempat tujuan pendidikan sains yang dideskripsikan oleh Linn.
Pada ulasan sebelumnya peneliti telah mengidentifikasi tiga tingkatan
dalam strategi instruksi. Strategi kognitif terfokus pada keterampilan
penggunaan taktik pembelajaran, strategi pemecahan masalah yang
mengintegrasikan berbagai strategi menjadi perencanaan yang padu
untuk mengkategorisasikan dan memecahkan masalah, dan strategi
Strategi kognitif. Ada banyak jenis strategi kognitif yang diajarkan dalam
sebuah kelas sains. Salah satu strategi yang umum adalah dengan
menggunakan analogi untuk membantu siswa menghubungkan konsep
yang akan dipahami dengan konsep yang sebelumnya telah ia pahami
(Chinn & Brewer, 1993). Sejumlah studi telah menguji pengaruh penarikan
analogi antara sistem peredaran darah manusia dengan pipa saluran air
(Chinn & Malhorta, 2002). Pada umumnya, penggunaan analogi untuk
menghubungkan pemahaman siswa mempunyai pengaruh positif
terhadap kegiatan pembelajaran (Baker & Lawson, 2001; Beeth, 1998;
Harrison & Treagust, 1996; Peterson & Treagust, 1998; White & Mitchell,
1994). Contoh kedua dari strategi instruksi ini adalah penggunaan refleksi
yang lebih dianjurkan daripada penggunaan pertanyaan (Blank, 2000;
Chinn & Brown, 2002; Osman & Hannafin, 2001). King (1994) melaporkan
bahwa siswa yang mampu bertanya sebelum atau saat pembelajaran
berlangsung mempunyai pemahaman mendalam dalam rangka
menentukan ide pokok dari suatu hal. Pemecahan masalah melalui tulisan
juga dapat memperdalam pemahaman. Davis (2003) menemukan bahwa
siswa sekolah dasar dapat mengambil manfaat dari refleksi yang dapat
memfasilitasi pemantauan kemampuan metakognitif. Siswa yang cekatan
bekerja lebih efektif dengan siswa lainnya dan mampu membangun
pemahaman yang logis akan suatu konsep.
Sejumlah penulis telah mendiskusikan seberapa pentingnya strategi
pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman. Keefektifan penggunaan
strategi ini membutuhkan kemampuan metakognisi. Review komprehensif
oleh Hattie, Biggs, dan Purdie (1996) dan Rosenshine, Meister, dan
Chapman
(1996)
mengindikasikan
bahwa
tingkat
keberhasilan
penggunaan strategi instruksi ini sangat tinggi. Strategi instruksi sangat
berguna bagi siswa tingkat dasar dan sangat efektif ketika dikombinasikan
dengan beberapa strategi yang berhubungan. Berdasarkan analisis
tersebut, Hattie dkk (1996) mengemukakan beberapa kriteria dalam
strategi kognitif, yaitu: self-checking, menciptakan lingkungan belajar
yang baik, merencanakan dan menetapkan tujuan, mereview,
menyimpulkan, dan berdiskusi dengan guru atau teman sejawat. Dole,
Duffy, Roehler, dan Pearson (1991) merekomendasikan 5 kriteria dalam
strategi pembelajaran yang mencakup menentukan apa saja yang penting
untuk dipelajari, menyimpulkan, menarik adanya hubungan, membuat
pertanyaan sebelum dan sesudah pembelajaran, dan memantau
pemahaman terhadap suatu konsep. Selain itu, sejumlah tenaga pendidik
telah mengajukan berbagai bentuk strategi untuk meningkatkan
pembelajaran (Brooks & Crippen, 2001; Kahle & Boone, 2000) dan
kesadaran metakognitif (Beeth, 1997; Koch, 2001). Baird dan White (1996)
mengajukan empat komponen dari Project for Enhancing Effective
Learning (PEEL), seperti meningkatkan waktu belajar, kesempatan untuk
belajar, arahan dari guru, dan dukungan dari siswa lainnya. Arahan guru
bertujuan untuk mendemonstrasikan strategi kognitif dan pemecahan
masalah secara metakognitif. Dukungan dari siswa lainnya memberikan
kerangka kolaboratif dalam rangka membangun aktivitas inquiry.
Berpikir kritis.
Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam
kelas sains merupakan pekerjaan yang menantang. Halpern (1998) dan
Kuhn (1999) telah menyusun tulisan secara ekstensif tentang cara-cara
meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Keterampilan berpikir kritis
mencakup identifikasi informasi yang relevan, membangun argumen,
menguji kredibilitas informasi dan hipotesis, dan mengajukan kesimpulan
yang logis (Brunning dkk, 2003; Kuhn, 1991; Vosniadou, 1994). Adalah hal
yang sangat penting untuk membantu siswa mengembangkan
kemampuan metakognitifnya melalui refleksi eksplisit dan latihan
memantau cara belajarnya. Sebagai contoh, Delclos dan Harrington
(1991) menguji kemampuan siswa kelas 5 dan kelas 6 dalam mengatasi
masalah pada komputer. Sepertiga dari mereka memperoleh keterampilan
memecahkan masalah yang spesifik, sepertiga yang lain memperoleh
keterampilan problem solving beserta latihan pemantauan diri (selfmonitoring), sedangkan sepertiga yang lain tidak memperoleh
keterampilan
apa-apa.
Kelompok
kedua
dapat
memecahkan
permasalahan yang sulit lebih banyak daripada 2 kelompok lain dan juga
tidak membutuhkan waktu lama untuk mengatasinya.
Blank (2000) mengajukan model berpikir kritis dalam sains yang ia
sebut dengan siklus pembelajaran metakognitif, metacognitive learning
cycle (MLC). MLC menekankan kegunaan sistematis dari diskusi dan
refleksi untuk memunculkan pemahaman metakognitif dalam berpikir
kritis dan memecahkan masalah. MLC terdiri dari 4 langkah yang saling
berkaitan satu sama lain, mencakup pengenalan konsep, aplikasi konsep,
penilaian konsep, dan eksplorasi konsep. Para siswa diminta untuk
merefleksikan langkah mereka pada tiap-tiap tahap, baik secara individu
maupun dalam sebuah kelompok kecil. Dibandingkan dengan kelompok
yang tidak menggunakan refleksi selektif, MLC dapat memberikan
pengalaman yang lebih baik dalam memahami suatu materi.
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, banyak pendidik
percaya bahwa refleksi merupakan tahapan kognitif yang paling penting
dalam memunculkan kemampuan berpikir kritis dan metakognitif (Davis,
2003; Gunstone, 1999a; Zemba-Saul, Blumefend, & Krajcik, 2000).
Nichols, Tippins, dan Wieseman (1997) mengajukan ulasan komprehensif
mereka tentang refleksi dan peranan yang dimainkannya dalam berpikir
kritis dan regulasi diri (self-regulation). Refleksi kritis menekankan pada
penggunaan perspektif alternatif dan manfaat pengetahuan serta manfaat
berpikir. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelunya,
permasalahan ini telah dibahas oleh Posner, Strike, Hewson, dan Gertzog
(1982). Pengubahan konsep ini tidak mungkin terjadi tanpa melibatkan
adanya konflik intelektual. Kebanyakan model pengubahan konsep ini
mencakup rangkaian perubahan konsep mulai dari yang sederhana ke
konsep yang kompleks (Chinn & Brewer, 1993; Chinn & Malhorta, 2002).
Dilema yang dialami oleh guru tersebut adalah dalam memilih antara
membantu siswa menstruktur ulang pengetahuannya mulai dari konsep
yang paling sederhana atau langsung mengubah konsep yang kompleks
(Pintrich, Marx, & Boyle, 1993). Para pakar setuju bahwa tingkat
ketidakseimbangan kemampuan kognitif itu diperlukan, walaupun hal
tersebut tidak dapat mengatasi ketidakseimbangan tersebut (Chinn &
Brere, 1993; Gunstone & Mitchell, 1998; Pintrich dkk, 1993). Tingkatan
yang lebih tingi pada ketidakseimbangan kognitif tersebut dapat
memfasilitasi perubahan konsep, walaupun terdapat perbedaan yang
mendasar antara pelajar yang lebih tua dengan yang lebih muda. Salah
satu pendekatan yang umum digunakan adalah dengan meminta siswa
untuk memeragakan data yang menyimpang (Niaz, 2001; Nieswandt,
2001; Novak, 2002; Shepardson, 1999). Membangun model mental
berdasarkan data dari materi dan petunjuk laboratoris sangatlah berguna
karena dapat menimbulkan strategi penggunaan, refleksi, dan evaluasi
(Weaver, 1998).
Perubahan konsep yang murni melibatkan setidaknya tiga tingkatan
yang berbeda, antara lain mengungkapkan prakonsepsi siswa, membuat
konflik konsep, dan mendorong akomodasi kognitif. Penelitian sebelumnya
mengemukakan bahwa usaha guru dalam melangsungkan diskusi dan
kolaborasi bersama siswa merupakan salah satu cara untuk
mengungkapkan prakonsepsi siswa. Strategi lainnya adalah dengan cara
menggunakan kiasan untuk mengungkapkan prakonsepsi siswa (Tobins &
Tippins, 1996; Thomas & McRobbie, 1999, 2001; Vosniadou, 1994). Lalu
strategi ketiga adalah dengan menimbulkan kebutuhan akan perubahan
konsep melalui eksperimen-eksperimen yang gagal (Tabachnick &
Zeichner, 1999). Strategi tersebut sangat penting karena dapat
menimbulkan kesadaran metakognitif yang membuat
siswa dapat
mengatur cara belajarnya dalam suatu kelompok yang kooperatif (Hogan,
1999) maupun individual (Beeth, 1998; Gunstone & Mitchell, 1998).
Penggunaan Teknologi
Teknologi memiliki potensi untuk mendukung self-regulated learning
dalam pendidikan sains melalui berbagai cara. Biasanya ini melibatkan
dukungan dari strategi instruksional lain. Contohnya, menggunakan
hardware dan software (dengan komputer ataupun yang lainya) dalam
siswa dan terbatasnya kemampuan kerja para pendidik (Brooks & Crippen,
2001).
Memecahkan masalah menggunakan analisis data, sarana visualisasi
dan organisasi seperti lembar kerja dan dynagram (dynamic diagram,
diagram dinamis), menjadikan siswa terfokus pada isu pemecahan
masalah yang lebih besar saat memperoleh informasi tertentu (hubungan,
prosedur, dan data) dan mengintegrasikannya pada mesin. Melalui cara
ini, siswa lebih mampu memfokuskan sumber kognitifnya dalam
memantau dan mengevaluasi kualitas solusi permasalahan yang diajukan
(Pea, 1993a). Contoh dari sarana tersebut adalah Simulator Dynagram
Optis 2-D yang dikembangkan untuk menyajikan representasi simbolik
dan skenario optis yang digunakan untuk menguji permasalahan, yang
dihubungkan dengan cahaya dan lensa (Pea, 1993b).
Dengan adanya siswa yang menggunakan teknologi untuk
menciptakan model statis dan dinamis merupakan cara untuk
memperluas dan memperkuat model mental mereka dan mendukung
kemampuan berpikir kritis mereka (Stratford, 1997). Pengintegrasian
hubungan fungsional dan kausal antara sistem yang dinamis dan
kompleks seperti iklim global, transpor elektron, atau piringan tektonik
membutuhkan keberadaan model mental yang berkualitas (Greca &
Moreira, 2000). Software pemodelan komputer menbuat siswa untuk
menciptakan model analisis fungsional mereka. Model ini dapat dibangun
sebagai representasi dari model mental atau representasi dari fenomena
fisik yang dapat diobservasi. Variabel dalam model ini dapat dimanipulasi
dan pola-pola temporal di dalamnya dapat dianalisis dan dibandingkan
dengan hipotesis. Sama halnya dengan representasi semantik dari
pemikiran siswa yang dapat dimutakhirkan menjadi representasi yang
lebih baik untuk pemahaman mereka, model dinamis dari fenomena fisik
dapat pula ditingkatkan terus-menerus selama fenomena tersebut
berubah. Membangun model menggunakan komputer harus dapat
menjadikan siswa mampu mengevaluasi kegiatan pembelajaran mereka
secara metakognitif.
Komunikasi elektronik dan sarana kolaborasi seperti e-mail, chat, dan
diskusi dalam bentuk thread mendukung regulasi diri dalam berbagai
cara. Salah satu sarana kolaborasi tersebut adalah Computer Supported
Intentional Learning Environment (CSILE) yang dikembangkan untuk
mendukung keterampilan inquiry siswa (Scardamalia & Bereiter, 1996),
CSILE (yang sekarang dinamakan forum pengetahuan) memberikan siswa
dan guru ruang untuk berbagi yang dapat digunakan untuk
mengorganisasikan konsep dari materi dan ide-ide siswa.
Kesimpulan
Proses
metakognitif
Inquiry
Memunculkan
Meningkatkan
kemampuan
perencanaan,
berpikir
kritis pemantauan, dan
melalui eksperimen evaluasi
secara
dan refleksi
eksplisit
Kolaboras Memperagakan
Memperagakan
i
strategi untuk para refleksi diri
pemula
Proses motivasi
Memberikan
pemodelan yang
cakap
Mendapatkan
dukungan sosial
dari
teman
sejawat
Membantu
siswa Meningkatkan
membangun
efikasi diri untuk
pengetahuan
belajar
kondisional
Memunculkan
Memunculkan
refleksi
dan penstrukturan
evaluasi
eksplisit ulang
dan
dari contoh yang perubahan
diajukan
terhadap konsep
Membantu
siswa Memberikan
dalam
menguji, sumber informasi
mengevaluasi, dan dan
dukungan
merevisi
sebuah kolaboratif
model
Strategi
Menggunakan
berbagai
jenis
strategi
Model
Mental
Memberikan model
yang eksplisit untuk
dianalisis
Teknologi
Mengilustrasikan
kemampuan
dengan umpan balik
Memberikan
contoh/model
dan
menstimulasikan
data
Meningkatkan
Memunculkan
Memunculkan
keterlibatan
dan perubahan konsep pemodelan
ketekunan siswa
dan refleksi
epistemologi dari
Keyakina
n
Personal
ilmuwan
pakar
dan
Daftar Rujukan
Alexander, J. M., Carr, M., & Schwanenflugel, P. J. (1995). Development of
metacognition in gifted children: Directions for future research.
Developmental Review, 15(1), 137.
Anderson, R. D. (2002). Reforming science teaching: What research says
about inquiry. Journal of Science Teacher Education, 13(1), 112.
Anderson, C. W., & Hogan, K. (2000). Preface: Designing programs for
science learning. Journal of Research in Science Teaching, 37(7), 627
628.
Atkinson, R. K., Derry, S. J., Renkl, A., & Wortham, D. (2000). Learning from
examples: Instructional principles from the worked examples
research. Review of Educational Research, 70(2), 181214.
Baird, J. R., & White, R. T. (1996). Metacognitive strategies in the
classroom. In D. F. Treagust, R. Duit, & B. J. Fraser (Eds.), Improving
teaching and learning in science and mathematics (pp. 190200).
New York: Teachers College Press.
Baker, W. P., & Lawson, A. E. (2001). Complex instructional analogies and
theoretical concept acquisition in college genetics. Science
Education, 85(6), 665683.
Khishfe, R., & Fouad, A. (2002). Influence of explicit and reflective versus
implicit inquiry-oriented instruction on sixth graders views of nature
of science. Journal of Research in Science Teaching, 39(7), 551578.
King, P. M., & Kitchener, K. S. (1994). Developing reflective judgment. San
Francisco: Jossey-Bass.
King, A. (1994). Guiding knowledge construction in the classroom: Effects
of teaching children how to question and how to explain. American
Educational Research Journal, 31(2), 338368.
Koch, A. (2001). Training in metacognition and comprehension of physics
texts. Science Education, 85(6), 758768.
Kuhn, D. (1989). Children and adults as intuitive scientists. Psychological
Review, 96(4), 674689.
Kuhn, D. (1991). The skills of argument. Cambridge: Cambridge University
Press.
Kuhn, D. (1999). A developmental model of critical thinking. Educational
Researcher, 28(1), 1626.
Kuhn, D., & Weinstock, M. (2002). What is epistemological thinking and
why does it matter? In B. Hofer & P. R. Pintrich (Eds.), Personal
epistemology: The psychology of beliefs about knowledge and
knowing (pp. 103177). Mahwah, NJ: Erlbaum.
Kuhn, D., Cheney, R., & Weinstock, M. (2000). The developmental of
epistemological understanding. Cognitive Development, 15(3), 309
328.
Lave, J., & Wegner, E. (1991). Situated learning: Legitimate peripheral
participation. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Linn, M. C. (2000). Designing the knowledge integration environment.
International Journal of Science Education, 22(8), 781796.
Mason, L. (1994). Cognitive and metacognitive aspects in conceptual
change by analogy. Instructional Science, 22(2), 157187.
McRobbie, C. J., & Thomas, G. P. (2000). Changing the learning
environment to enhance explaining and understanding in a year 12
chemistry classroom. Learning Environments Research, 3(3), 209
227.
Meyer, K., & Woodruff, E. (1997). Consensually driven explanation in
science teaching. Science Education, 81(2), 173192.
Neber, H., & Schommer-Aikins, M. (2002). Self-regulated science learning
with highly gifted students: The role of cognitive, motivational,
epistemological, and environmental variables. High Ability Studies,
13(1), 5974.
Niaz, M. (2001). Response to contradiction: Conflict resolution strategies
used by students in problem solving of chemical equilibrium. Journal
of Science Education and Technology, 10(2), 205211.
Nichols, S. E., Tippins, D., & Wieseman, K. (1997). A toolkit for developing
critically reflective science teachers. Research in Science Education,
27(2), 175194.
Nieswandt, M. (2001). Problems and possibilities for learning in an
introductory chemistry course from a conceptual change perspective.
Science Education, 85(2), 158179.