Anda di halaman 1dari 35

Mempromosikan Regulasi Diri (Self-Regulation)

dalam Pendidikan Sains: Metakognisi sebagai


Bagian dari Perspektif Yang Luas dalam
Pembelajaran
Gregory Schraw, Kent J. Crippen and Kendall Hartley
University of Nevada
Abstrak
Tujuan artikel ini adalah untuk mereview penelitian terkini tentang selfregulated learning dan untuk mendiskusikan implikasi penelitian ini
terhadap pendidikan sains. Peneliti mengambil beberapa contoh selfregulated learning dari
berbagai literatur kependidikan sains untuk
menyimpulkan dan mengilustrasikan metode instruksional yang efektif
dan pengembangan pemikiran metakognitif. (Gunstone, 1999a; Rickey &
Stacy, 2000; White & Mitchell, 1994). Peneliti juga fokus kepada peran
krusial yang dimainkan oleh kemampuan metakognisi dalam Regulasi Diri
(Self-Regulation) (Baird & White, 1996; Nichols, Tippins & Wieseman,
1997; White, 1998).
Peneliti membagi diskusi Peneliti ke dalam dua bagian utama. Bagian
pertama fokus membahas 3 komponen self-regulated learning, termasuk
kognisi, metakognisi, dan motivasi. Peneliti menghubungkan aspek-aspek
dari Regulasi Diri (Self-Regulation) ini terhadap praktiknya yang terkini
dalam pendidikan sains. Bagian kedua fokus membahas 6 Instruksi
strategi umum dalam meningkatkan Regulasi Diri (Self-Regulation) dalam
kelas sains. Peneliti fokus terhadap kegunaan dari inquiry based learning,
peranan bantuan kolaboratif, strategi dan pemecahan masalah,
membangun mental model, kegunaan teknologi dalam membantu
pembelajaran, dan peranan keyakinan tiap individu seperti efikasi diri dan
pandangan hidup. Instruksi strategi ini dipilih karena dapat merefleksikan
berbagai penelitian komprehensif sejak dekade terakhir dalam lingkup
literatur pendidikan sains, dan sangat diperlukan dalam memahami
metakognisi dan Regulasi Diri (Self-Regulation) (Butler & Winne, 1995;
Gunstone, 1999b)

Teori Self-Regulated Learning: Peranan Kognisi, Metakognisi, dan


Motivasi

Self-regulated learning merujuk kepada kemampuan kita untuk


mengerti dan mengontrol kebiasaan belajar kita. Untuk dapat berbuat
demikian, kita harus menetapkan tujuan, memilih strategi yang dapat
membantu kita dalam mencapai tujuan tersebut, menerapkan strategi
tersebut, dan memantau usaha kita dalam mencapai tujuan tersebut
(Schuk, 1996). Beberapa siswa telah mempunyai aturan dan standar
untuk dirinya masing-masing, namun mereka yang memiliki skill yang
lebih baik dalam mengatur dirinya akan cenderung belajar dengan usaha
yang lebih efisien dan memperoleh kepuasan belajar yang tinggi (Pintrich,
2000; Zimmerman, 2000).
Teori
tentang
self-regulated
learning
telah
menunjukkan
keistimewaannya dibandingkan teori lain dalam sejarah psikolofi kognitif,
yang bermula dari teori Albert Bandura tentang social-cognitive learning.
Teori ini pada intinya mengemukakan bahwa pembelajaran adalah hasil
dari faktor-faktor personal, lingkungan, dan kebiasaan (tingkah laku) yang
saling berkaitan satu sama lain. Faktor personal mencakup keyakinan diri
masing-masing pelajar dan sikap yang mempengaruhi pembelajaran dan
tingkah laku. Faktor lingkungan meliputi kualitas pengajaran, umpan balik
dari guru, akses terhadap informasi, dan bantuan dari teman sejawat dan
orang tua. Faktor kebiasaan meliputi efek dari pengaruh faktor personal
dan lingkungan.
Sejak 2 dekade terakhir, para peneliti telah mengaplikasikan teori
sosial-kognitif Bandura pada berbagai situasi, termasuk pada
pembelajaran di sekolah. Hal ini menyebabkan terjadinya pengembangan
teori self-regulated learning yang menyatakan bahwa pembelajaran
berlangsung karena berbagai komponen kognitif, metakognitif, dan
motivasi yang saling berinteraksi (Butler & Winne, 1995; Zimmerman,
2000). Perspektif sosial-kognitif dari self-regulated learning menyimpulkan
bahwa tiap individu belajar untuk dapat mengatur dirinya (mencapai level
self-regulated) dengan melalui 4 tahap/level: observasi, imitasi, selfcontrolled (individu yang dapat mengontrol dirinya), dan self-regulated
(Schunk, 1996; Zimmerman, 2000). Pembelajaran pada level observasi
terfokus kepada mencari teladan/model, sedangkan pembelajaran pada
level imitasi terfokus kepada arahan dan umpan balik dari model. Kedua
level ini menekankan pada faktor-faktor sosial eksternal. Pada level selfcontrolled, siswa membangun standar internal untuk dirinya dan
menguatkan diri dengan cara dialog dan umpan balik dengan diri sendiri.

Pada level self-regulated, individu telah mempunyai keyakinan efikasi diri


yang kuat.
Self-regulated learning terdiri dari tiga komponen utama: kognisi,
metakognisi, dan motivasi. Kognisi mencakup skill-skill yang diperlukan
dalam menyandi dan mengingat informasi. Metakognisi meliputi skill-skill
yang membuat pelajar mengerti dan memantau proses kognitifnya.
Sedangkan motivasi mencakup keyakinan dan sikap yang mempengaruhi
penggunaan dan pengembangan skill kognitif dan metakognitif. Setiap
komponen ini sangatlah penting, namun tidak dapat dipisahkan. Sebagai
contoh, seseorang yang memiliki skill kognitif namun tidak memiliki
motivasi untuk menggunakannya tidak sama tingkatannya dengan
seseorang yang memiliki skill dan termotivasi untuk menggunakannya
(Zimmerman, 2000). Sama pula halnya dengan seseorang yang memiliki
motivasi tinggi namun tidak mempunyai skill kognitif dan metakognitif,
sering gagal dalam mencapai tingkatan tinggi dalam Regulasi Diri (SelfRegulation).
Ketiga komponenan utama ini dapat dibagi lebih jauh menjadi sub-sub
komponen sebagaimana diperlihatkan dalam gambar 1.

Kognisi
Komponen
kognitif
mencakup
3
tipe skill belajar
yang
umum,
yang mengacu
pada
strategi
kognitif,
strategi
pemecahan masalah, dan strategi berpikir kritis. Strategi kognitif
mencakup berbagai taktik individual yang digunakan untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran. Salah satu contohnya adalah mengajukan
pertanyaan umum kepada siswa saat pembelajaran dimulai untuk
menarik perhatian siswa (Chinn & Brown, 2002; Kahle & Boone, 2000).
Contoh kedua adalah penggunaan strategi active learning dengan grafik
dan tabel (House, 2002). Penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa
pelajar yang telah mencapai tingkat self-regulated menggunakan berbagai

strategi belajar kognitif dangan cara yang fleksibel (Pressley & WhartonMcDonald, 1997).
Strategi pemecahan masalah lebih kompleks daripada strategi kognitif.
Instruksi dalam strategi ini biasanya terfokus pada pengembangan
strategi pemecahan masalah yang umum atau pada praktik penggunaan
strategi tersebut. Salah satu contohnya adalah teknik predict-observe,
explain (POE) yang diteliti oleh Rickey dan Stacy (2000). Studi terkini
melaporkan bahwa pemecahan masalah dapat dibagi menjadi langkahlangkah individual yang dapat lebih kecil (Dhilton, 1998; Peterson &
Treagust, 1998). Pemecahan masalah yang eksplisit dapat membantu
siswa untuk membangun tingkatan pemahaman yang lebih dalam
dibandingkan siswa yang tidak pernah latihan memecahkan masalah
(Huffman, 1997).
Berpikir kritis melibatkan berbagai skill seperti skill siswa dalam
mengidentifikasi sumber informasi, analisis kredibilitas sumber,
merefleksikan informasi yang diperoleh apakah konsisten dengan
pengetahuannya sebelumnya, dan menarik kesimpulan yang didasarkan
pada kemampuan berpikir kritis (Linn, 2000). Penelitian tentang
argumentasi (Kuhn, 1999) dan berpikir kritis (Halpern, 1998)
mengindikasikan bahwa banyak siswa bahkan mahasiswa yang gagal
dalam memanfaatkan pemikiran mutakhir. Kemampuan berpikir kritis
dapat ditingkatkan melalui latihan yang terangkai dan berkelanjutan
(Baird & White, 1996; Chang, 1999; Huffman, 1997).

Metakognisi
Metakognisi mencakup 2 subkomponen utama, yaitu pengetahuan
terhadap kognisi, dan regulasi terhadap kognisi (Schraw & Moshman,
1995). Pengetahuan terhadap kognisi (knowledge of cognition) merujuk
kepada apa yang kita tahu dari aspek kognitif kita, dan dapat dibagi lagi
menjadi 3 bagian: 1) Pengetahuan deklaratif, termasuk pengetahuan
tentang diri sendiri sebagai pelajara dan apa saja faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja pembelajaran kita. Sebagai contoh, kebanyakan
orang dewasa tahu batasan memori mereka untuk bekerja. 2)
Pengetahuan prosedural, yaitu pengetahuan terhadap strategi dan
prosedur. Contohnya kebanyakan orang dewasa memiliki strategi seperti
mengambil catatan, memperlambat penjelasan untuk informasi penting,
mempercepat penjelasan informasi yang kurang penting, menyimpulkan
ide pokok, dan menguji diri sendiri secara periodik. 3) Pengetahuan
kondisional, mencakup pengetahuan akan mengapa dan kapan suatu
strategi digunakan. Individu dengan tingkat pengetahuan kondisional

yang tinggi mampu memahami strategi apa yang layak dipilih untuk suatu
situasi.
Penelitian mengungkapkan bahwa pengetahuan tentang kognisi
lambat dibangun (Alexander, Carr, & Schwanenflugel, 1995; Baird &
White, 1996). Orang dewasa cenderung mempunyai pengetahuan dan
kognisi yang lebih baik daripada anak-anak dan remaja. Namun,
kebanyakan orang dewasa tidak mampu menjelaskan pengetahuan
ataupun memahami strategi dan kinerjanya dan seringkali gagal dalam
menerapkannya dalam situasi yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa
pengetahuan metakognitif harus tidak lagi bersifat eksplisit namun
bersifat implisit dalam berbagai situasi (Butler & Winne, 1995).
Regulasi terhadap kognisi (regulation of cognition) mencakup tiga
komponen, planning, monitoring, dan evaluasi (Schraw & Mohsman,
1995). Tahap planning melibatkan pemilihan strategi dan alokasi
sumber/waktu. Tahap planning mencakup penetapan tujuan, mencari
pengetahuan yang relevan, dan menetapkan waktu. Penelitian
sebelumnya mensugestikan bahwa kebanyakan para ahli lebih mampu
mengatur dirinya dibandingkan para pemula dikarenakan perencanaan
yang efektif, terutama perencanaan umum sebelum melakukan sebuah
pekerjaan. Tahap monitoring mencakup skill individu untuk menguji
dirinya (self-testing skills) yang dibutuhkan untuk mengontrol
pembelajarannya. Orang dewasa mampu memantau hal yang bersifat
lokal maupun global. Tahap evaluasi merujuk kepada penilaian terhadap
hasil dan proses pembelajaran. Evaluasi juga mencakup merevisi tujuan
pembelajaran dan prediksi hasil yang mungkin dicapai.
Beberapa peneliti (Butler & Winne, 1995; Pressley, Borkowski, &
Schneider, 1989) mensugestikan bahwa proses pengaturan diri (selfregulatory), termasuk planning, monitoring, dan evaluasi tidaklah eksplisit
dalam kebanyakan situasi pembelajaran. Salah satu alasannya adalah
kebanyakan proses ini berjalan secara otomatis, setidaknya pada orang
dewasa. Alasan kedua adalah karena proses ini mungkin dibangun tanpa
disengaja serta kejadian tersebut sulit dikemukakan. Sebagai tambahan,
beberapa peneliti yakin bahwa pembelajaran sains seharusnya
mengurangi jumlah waktu yang dialokasikan untuk pemahaman
konseptual dan meningkatkan jumlah waktu yang dialokasika nuntuk
pemahaman prosedural (Duggan & Gott, 2002). Alasan rasional dari hal
tersebut adalah bahwa kompetensi prosedural sangat diperlukan dalam
pemecahan masalah dan berpikir kritis serta pada tingkatan yang lebih
tinggi dalam pembelajaran sains.

Motivatisi
Komponen motivasi sebagaimana tercantum dalam gambar 1
mencakup 2 subkomponen penting, yaitu efikasi diri dan keyakinan
epistemologi. Efikasi diri merujuk pada derajat yang diperoleh individu
saat dia meyakini bahwa dia dapat mengerjakan suatu pekerjaan atau
mencapai sebuah tujuan (Bandura, 1997). Efikasi diri sangatlah penting
dalam self-regulated learning karena dapat mempengaruhi seberapa
banyak pelajar yang terus bersikeras mengerjakan tugas yang
menantang. Siswa dengan tingkat efikasi diri yang tinggi cenderung ingin
mengerjakan tugas yang lebih sulit (Pajares, 1996). Tingkat efikasi diri
yang lebih tinggi sangat berhubungan positif dengan prestasi dan
penghormatan di sekolah. Penelitian mengungkapkan bahwa siswa
dengan efikasi diri yang tinggi mendapat respek yang tinggi bahkan dari
guru dan sekolahnya. Guru dengan tingkat efikasi diri tinggi menetapkan
tujuan dan standar yang tinggi, memberikan otonomi kepada siswanya,
dan membantu siswanya mencapai level prestasi yang lebih tinggi
dibandingkan guru dengan tingkat efikasi diri yang rendah (Goddard, Hoy,
& Hoy, 2000). Beberapa studi juga mengindikasikan bahwa guru dan
siswa yang memiliki efikiasi diri tinggi memainkan peranan penting dalam
pembelajaran sains (Cannon & Scharmann, 1996; Schoon & Boone, 1998).
Efikasi diri mempengaruhi sejumlah variabel, terutama dalam
pembelajaran melalui model dan menjadi model (modeling). Pembelajaran
melalui model terjadi ketika seseorang belajar dengan cara mengamati
orang lain menunjukkan kemampuannya atau mendiskusikan suatu topik.
Pembelajaran melalui model berguna bagi pelajar karena mereka tidak
terbebani untuk mengerjakan suatu pekerjaan sehingga terhindar dari
rasa gelisah, dan karena mereka hanya terfokus pada objek yang
diamatinya. Pembelajaran dengan menjadi model (modeling) terjadi ketika
pelajar belajar dengna intensitas tertentu dari individu yang lain seperti
guru dan siswa lain. Umumnya dalam kegiatan modelingterdapat kegiatan
guru yang membagi tugas yang kompleks menjadi bagian-bagian yang
dapat dikerjakan dan meminta siswa untuk mendemonstrasikan tiap
bagian secara terpisah dan berurutan. Bandura (1997) mengatakan
bahwa modeling ini efektif karena dapat meningkatkan ekspektasi bahwa
strategi baru dapat diperoleh dalam rangka memberikan banyak
pengetahuan baru tentang keterampilan dirinya. Peer to peer teaching
biasanya sangat efektif dikarenakan sangat familiar dengan pelajar.
Tentunya pelajar cenderung meningkatkan efikasi dirinya ketika
mengamati model yang familiar atau memiliki level penampilan skill yang
sama (Schunk, 1996).

Ada 2 cara utama untuk meningkatkan efikasi diri siswa. Yang pertama
adalah dengan cara menggunakan model ahli (seperti guru) dan pemula
(seperti siswa). Dengan modeling dapat meningkatkan strategi kognitif
dan efikasi diri. Cara kedua adalah dengan memberikan sebanyak
mungkin umpan balik informasi dengan siswa. Umpan balik tidak hanya
mengindikasikan bahwa skill telah ditampilkan dengan baik, namun juga
memberikan informasi sebanyak mungkin tentang bagaimana cara
meningkatkan kinerja. Dengan diberikannya umpan balik informasi yang
mendetail, kinerja/performa dan efikasi diri dapat meningkat bahkan bagi
siswa yang sulit untuk menampilkan skillnya.
Keyakinan epistemologik adalah keyakinan terhadap asal usul
pengetahuan. Para peneliti telah terfokus pada 2 aspek dalam keyakinan
epistemologik ini dalam 1 dekade terakhir. Satu aspek memberi perhatian
pada perbedaan keyakinan. Schommer (1994) membuat taksonomi
tentang 4 keyakinan tersebut, yaitu (a) quick learning (sesuatu dapat
dipelajari dengan segera); (b) innate ability (belajar membutuhkan
kemampuan belajar yang alami); (c) simple knowledge (ide pokok yang
penting dari suatu pengetahuan adalah dimulai dari hal yang paling
sederhana); (d) certain knowledge (beberapa hal penting dalam
pengetahuan tidak akan berubah sepanjang waktu). Schommer-Aikins
(2002) berargumen bahwa tiap keyakinan tersebut mengakibatkan
terbentuknya pemecahan masalah dan berpkir kritis. Hal tersebut juga
didukung oleh Kardash dan Scholes (1996) yang menemukan bahwa
keyakinan epistemologik ini berhubungan dengan analisis kritis terhadap
tulisan ilmiah tentang penyebaran AIDS. Neber dan Schommer-Aikins
(2002) juga menemukan hubungan antara keyakinan epistemologik
dengan pemecahan masalah secara saintifik.
Para peneliti yang lainnya juga telah terfokus pada perbedaan
pandangan hidup (Hammer & Elby, 2002; Kuhn, 1991). Kuhn dan
Weinstock (2002) membandingkan pandangan para penganut paham
absolutisme dengan pandangan para penganut paham multiplisme,
berargumen bahwa multiplis mengadopsi situasi pandangan hidup yang
menghasilkan refleksi kritis dan pemahaman mendalam. Lebih dari itu,
sudah diketahui secara umum bahwa siswa dan guru memiliki perbedaan
dalam pandangan hidup dan hal itu menyebabkan cara belajar siswa yang
satu berbeda dengan siswa lainnya. (Roth & Tobin, 2001; Schraw &
Olafson, 2002; Tsai, 2002).

Kesimpulan

Self-regulated learning mengacu pada kemampuan pelajar untuk


memahami dan mengontrol lingkungan pembelajarannya. Self-regulated
learning melibatkan kombinasi antara strategi kognitif, kontrol
metakognitif, dan motivasi. Strategi kognitif dimulai dari mengambil
contoh dari yang sederhana, memecahkan masalah, dan strategi berpikir
kritis. Proses metakognitif mengacu pada pengetahuan dan kontrol
terhadap kemampuan kognitif, dan biasanya terdiri dari planning,
monitoring, dan evaluasi pembelajaran. Terakhir, komponen motivasi
mengacu pada keyakinan siswa terhadap kapasitasnya untuk belajar.
Motivasi terdapat dalam berbagai bentuk seperti efikasi diri dan keyakinan
epistemologik dari tiap individu. Setiap komponen ini sangat penting dan
tidak dapat dipisahkan. Peneliti yakin bahwa peranan komponen
metakognitif adalah yang paling penting karena komponen ini dapat
membuat seseorang memantau perkembangan pengetahuan dan
keterampilannya, merencanakan dan mengalokasikan sumber belajar
yang terbatas agar optimal, dan mengevaluasi keadaan atau gaya
belajarnya. Sejumlah peneliti telah berargumen bahwa hanya strategi
kognitif dan motivasi yang tinggi
saja tidaklah cukup untuk dapat
mempunyai kemampuan untuk mengatur diri (Butler & Winne, 1995;
White & Mitchell, 1994). Peneliti yakin bahwa terdapat beberapa cara
untuk meningkatkan Regulasi Diri (Self-Regulation) pada sebuah kelas
sains. Selain itu juga terdapat berbagai cara untuk meningkatkan
kemampuan metakognisi (Baird & White, 1996; Beeth, 1998; Gunstone &
Mitchell, 1998; Mason, 1994). Di bawah ini akan dideskripsikan mengenai
berbagai cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan regulasi diri
dalam sebuah kelas sains.

Pengajaran tentang Metakognisi dan Regulasi Diri (Self-Regulation)


dalam Pendidikan Sains

Dalam satu dekade terakhir ini terdapat banyak penelitian yang


muncul pada jurnal pendidikan sains yang memberi perhatian pada 2
ranah, yaitu pergantian kurikulum dan penggunaan berbagai strategi
untuk meningkatkan kualitas pembelajaran (Hurd, 2002; Kelly & Anderson,
2000). Pada bagian ini akan dibahas mengenai 6 Instruksi strategi untuk
meningkatkan regulasi diri (Self-Regulation) dan kualitas pembelajaran.
Telah disepakati oleh tenaga pendidik bahwa menggunakan pendekatan
berganda dalam pembelajaran yang ternyata dibutuhkan untuk
meningkatkan prestasi belajar rata-rata (Anderson & Hogan, 2000). Dalam
hal ini juga termasuk praktik instruksional, dukungan kolaboratif dari
komintas pelajar, dan kegunaan teknologi untuk memperkaya lingkungan

pembelajaran. Strategi belajar yang efektif harusnya tidak hanya


meningkatkan kualitas pembelajaran, namun juga dapat membantu siswa
mengembangkan kemampuan metakognitifnya yang dibutuhkan untuk
dapat memahami tingkatan pengetahuan yang lebih tinggi, dan untuk
membangun kembali konsep pengetahuan dan strategi prosedural saat
dibutuhkan. Selain itu, strategi yang efektif seharusnya dapat membantu
siswa dan guru menjadi sadar akan pandangan yang ia anut yang dapat
mempengaruhi keputusan pedagogik mereka.
Berdasarkan review dari beberapa jurnal pendidikan sains selama 1
dekade terakhir peneliti telah mengidentifikasi 6 ranah Instruksi strategi
yang umum untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Peneliti
merumuskan penelitian untuk tiap ranah strategi ini dan mendiskusikan
bagaimana hubungan intervensi instruksional dengan metakognisi dan
regulasi diri. Keenam ranah tersebut adalah, (a) inquiry based learning,
(b) peranan dukungan kolaboratif, (c) instruksi strategi untuk
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah dan berpikir kritis, (d)
strategi dalam membantu siswa membangun mental model (e) kegunaan
teknologi, (f) dampak keyakinan siswa dan guru. Dikarenakan sangat
luasnya pembahasan keenam ranah ini, dalam tulisan ini tidak akan
dibahas secara mendalam namun peneliti bertujuan untuk merumuskan
penelitian tentang keenam ranah ini dari perspektif pendidikan sains dan
memberikan rujukan terkini bagi pembaca yang ingin meneruskan
pembahasan ini. Keenam aspek ini telah dibuktikan dapat meningkatkan
kesadaran metakognitif dan regulasi diri.

Inquiry Based Learning


Inquiry based learning and teaching dipandang sebagai tanda
dimulainya pendidikan sains. Anderson (2002) menarik perbedaan antara
3 tipe inquiry. Inquiry saintifik adalah proses umum dalam merumuskan
hipotesis terhadap suatu masalah dan menguji hipotesis tersebut melalui
proses yang sistematik. Pembelajaran inquiry adalah proses menarik
perhatian siswa dalam pembelajaran sehingga mereka dapat mengajukan
pertanyaan dan memberikan solusi dari pertanyaan tersebut; dengan
demikian mereka dapat membangun konsepnya masing-masing sebagai
hasil dari pengalaman belajar (Gunstone & Mitchell, 1998). Pengajaran
inquiry mengacu kepada usaha guru menciptakan lingkungan belajar
dimana siswa dapat mengajukan pertanyaan, menemukan solusi, dan
menguji solusi tersebut. Pengajaran inquiry menghadirkan regulasi diri
(self-regulation) melalui dua cara, yaitu dengan menstimulasi keaktifan
siswa untuk memantau pemahamannya dan dengan meningkatkan
motivasi siswa menggunakan strategi modeling active investigation

seperti predict-observe-explain (POE) (Windschitl, 2002) atau tanya-jawab


(Chinn & Brown, 2002).
Tidak semua kelas sains berbasis inquiry, dan tidak semua inquiry
bersifat otentik. Chinn dan Malhorta (2002) membedakan aktivitas inquiry
sederhana dengan aktivitas inquiry otentik. Aktivitas inquiry sederhana
dan otentik memiliki perbedaan dalam hubungannya dengan berbagai
dimensi kognitif dan epistemologik. Sebagai contoh, inquiry otentik
dicirikan
dengan
mengajukan
pertanyaan,
pemilihan
variabel,
penggunaan kontrol eksperimen, menjadi sadar dan menolak perspektif
yang bertentangan, analisis dan interpretasi data menggunakan kerangka
teoritis yang logis, dan penjelasan mendetail mengenai hal-hal yang dapat
menyebabkan penyimpangan dari teoritis. Inquiry sederhana tidak
mempunyai standar seperti di atas. Sebagai contoh, Chinn dan Malhorta
(2002) mengemukakan bahwa inquiry sederhana merupakan observasi
sederhana yang dicirikan merumuskan pertanyaan yang diberikan kepada
siswa, kurangnya kontrol eksperimen, tidak ditolaknya perspektif yang
bertentangan,
membangun
argumen
sederhana,
dan
kegiatan
menyimpulkan yang tidak mengacu pada kerangka teoritis yang logis.
Inquiry otentik dalam praktiknya memakan waktu hingga 1 tahun dan
sulit untuk dicapai kebanyakan kelas sains dalam waktu yang singkat
(Anderson, 2002; Bell & Linn, 2002; Kuhn, 1989). Walaupun demikian,
pengajaran inquiry sangat mungkin dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran dibandingkan inquiry sederhana. Anderson (2002) telah
menyimpulkan komponen-komponen kunci dalam pengajaran inquiry.
Guru berperan untuk memfasilitasi siswa untuk berpikir melalui kerangka
yang terstruktur, reflektif, dan eksplisit. Lebih spesial dan penting lagi
guru tersebut harus dapat mendemonstrasikan kegunaan dari model
teoritis dalam rangka membangun dan menguji argumen sains siswa
(Kuhn, 1989). Siswa diarahkan untuk berperan aktif dalam pembelajaran
mereka untuk menyusun hipotesis dan bekerja secara kolaboratif untuk
menguji hipotesisnya dan menginterpretasikan penemuannya. Selain itu,
siswa harus diarahkan untuk menjelaskan secara verbal atau tertulis
tentang strategi yang digunakan untuk memecahkkan suatu masalah.
Dengan melakukan hal tersebut maka akan memunculkan refleksi diri,
suatu komponen esensial dalam pemahaman metakognitif dan regulasi
diri (Baird & White, 1996; Davis, 2003). Aktivitas di atas bergantung pada
sejumlah proses metakognitif yang telah dideskripsikan pada tulisan ini,
termasuk planning, monitoring, refleksi, dan evaluasi diri.
Chinn dan Malhorta (2002) membandingkan perbedaan epistemologis
antara lingkungan belajar inquiry otentik dengan inquiry sederhana. Para
ilmuwan yang terlibat dalam inquiry sederhana mencatat apa yang

mereka lihat. Tujuan dari inquiry otentik adalah untuk membangun dan
menguji model teoritis dan menjelaskan mekanisme dari suatu kejadian
yang belum diobservasi. Berbeda dengan hal tersebut, tujuan inquiry
sederhana adalah untuk mengobservasi objek dengan maksud untuk
mendeskripsikan perilakunya. Inquiry otentik membutuhkan korelasi
antara teori dengan data dimana data tersebut digunakan untuk
mengevaluasi sebuah teori, walaupun dalam beberapa kasus ditemukan
beberapa penyimpangan pada kumpulan data. Kesimpulan yang diajukan
oleh siswa yang berhubungan sebab-akibat dengan hipoteis sangat
berperan dalam proses ini. (Gilbert & Reiner, 2000).
Timbul sejumlah masalah ataupun pertanyaan saat pengajaran
berbasis inquiry ini dibahas. Masalah pertama adalah tentang cara
mengimplementasikan pengajaran berbasis inquiry ini dalam kurikulum.
Pada umumnya para peneliti yakin bahwa pengajaran dan pembelajaran
berbasis inquiry harusnya berbasis pada sebuah proyek. Ketiga jenis
aktivitas inquiry sangatlah esensial (Chinn & Hmelo-Silver, 2002),
termasuk desain eksperimen yang terstruktur (Khishfe & Fouad, 2002),
mendiskusikan hasil (Halpern, 1998; Kuhn, 1999), dan merefleksikan
proses inquiry (Toth, Suthers, & Lesgold, 2002; Van See, 2000). Sejumlah
fakta mengemukakan bahwa instruksi ekspilit, terutama untuk siswa
tingkat dasar dapat memfasilitasi desain eksperimen berbasis inquiry.
Selain itu, terdapat fakta bahwa siswa yang menerapkan inquiry otentik
lebih kapabel untuk menerapkan strategi pengajaran otentik di kelasnya
(Windschitl, 2002). Inquiry otentik menghadirkan refleksi aktif terhadap
masalah, sebagaimana dibangunnya pemahaman konsep ekspilisit
terhadap masalah. Inquiry otentik menghadirkan metakognisi dan regulasi
diri karena ada baiknya siswa mampu memantau kegiatan belajar mereka
dan mengevaluasi kesalahan dalam pemikiran atau pemahaman
konseptual mereka.
Kelompok kedua menaruh perhatian mereka pada efektivitas
intervensi instruksional yang didasarkan pada pengajaran berbasis inquiry.
Review literatur terkini oleh Anderson (2002) mengindikasikan adanya
raihan yang positif dan sederhana dalam instruksi berbasis inquiry.
Memasukkan pengajaran inquiry dalam kurikulum dapat memberikan
keuntungan berupa sikap ilmiah, keyakinan epistemologik, dan aspek
motivasi dari self-regulated learning, lebih dari proses kognitif. Pengajaran
berbasis inquiry hadir untuk meningkatkan komponen motivasi dari selfregulation yang mungkin dikarenakan pengajaran inquiry dapat
menimbulkan pemahaman konseptual yang lebih jelas. Namun, beberapa
tipe aktivitas kognitif seperti pemecahan masalah memberikan
keuntungan secara menyeluruh. Terdapat tiga alasan mengapa instruksi
berbasis inquiry digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Pertama, inquiry sering menimbulkan komunikasi dengan para ahli


dengan berbagi tentang strategi dan keterampilan pemecahan masalah.
Kedua, inquiry dapat meningkatkan motivasi karena para siswa memiliki
wewenangnya sendiri dalam memecahkan masalah. Ketiga, inquiry
menghadirkan refleksi diri, suatu komponen kunci dalam metakognisi
(Davis, 2003).
Selain itu dalam rangka menghasilkan output yang positif, beberapa
kendala dalam pengajaran inquiry telah teridentifikasi. Salah satunya
adalah masalah dalam melatih guru agar mampu menerapkan
pembelajaran inquiry yang efektif (Windschitl, 2002). Kendala yang kedua
adalah kurangnya persetujuan antara guru-guru yang berpartisipasi
dengan perwakilan orang tua dalam penggunaan strategi inquiry ini.
Beberapa tujuan pembelajaran inquiry pada saat ini masih diragukan
untuk dapat diterapkan pada skala yang lebih luas. Kendala yang ketiga
adalah pada saat ini ada banyak hal yang lebih dibutuhkan dalam
mengembangkan kurikulum dibandingkan pengajaran inquiry. Kendalakendala ini dapat menyebabkan beberapa masalah bagi para pendidik
untuk menerapkannya.

Kolaborasi antara Siswa dengan Guru


Kolaborasi dalam bagaimanapun bentuknya merupakan bagian
penting dan esensial dalam kependidikan. Selama satu dekade terakhir,
model pembelajaran sosiokultural seperti situated learning (Lave &
Wegner, 1991), masa belajar kognitif (Collins, Brown, & Newman, 1989),
telah memainkan peranan yang menonjol dalam penelitian dan praktik
kependidikan. Dalam konteks Instruksi strategi, kolaborasi dapat
dipandang sebagai alat untuk mendukung pendekatan yang mendorong
orientasi inquiry, penggunaan strategi, pengembangan mental model, dan
memunculkan keyakinan diri tiap individu.
Kolaborasi dalam bentuk bantuan dari guru dan siswa dapat
memfasilitasi kegiatan pembelajaran dan self-regulated learning karena
beberapa alasan. Pertama, guru dan siswa menjadi model dalam
memberikan contoh eksplisit dari bagaimana cara melakukan suatu
pekerjaan dan memberikan umpan balik yang eksplisit (Schunk, 1996;
Webb & Palincsar, 1996). Kedua, dukungan kolaboratif seperti tutor, peer
teaching, atau grup kecil menghadirkan kemungkinan untuk berdiskusi
secara eksplisit tentang konsep-konsep sains dan
refleksi yang
menghadirkan metakognisi dan regulasi diri. Sebagai contoh, diskusi
eksplisit menghadirkan perencanaan dan evaluasi apakah siswa telah
mencapai tujuan pembelajaran atau belum (Davis, 2003). Kolaborasi

antara siswa dengan tingkat prestasi yang sama lebih efektif


dibandingkan dengan kolaborasi guru-siswa karena lebih memungkinkan
untuk mendiskusikan strategi pada tingkatan yang lebih ringan (Feldman,
Campbell & Lai, 1999). Ketiga, komunitas pelajar memiliki sumber
pengetahuan yang lebih baik daripada individual. Pada akhirnya, interaksi
sosial dapat terjadi antar jenis kelamin, tingkat ekonomi, dan etnis yang
berbeda yang akan menyebabkan terjadinya keseteraaan sosial di dalam
kelas, yang dapat meningkatkan motivasi dan kesadaran epistemologik
(Bell & Linn, 2002; Hogan, 1999).
Kolaborasi di dalam kelas dapat terjadi antarsiswa, antarguru, ataupun
antara guru dan siswa (Hogan, 1999, 2002). Kolaborasi antarsiswa
biasanya berupa tutor atau grup kecil. Peneliti mengemukakan bahwa
pembelajaran melalui tutor sejawat yang memiliki kemampuan setara
dengan temannya dapat meningkatkan pengetahuan deklaratif dan
prosedural serta efikasi diri dari siswa tersebut (Pajares, 1996). Seringkali
siswa dipasangkan dengan mentor yang telah ahli, yang disebut dengan
masa belajar kognitif (magang). Hubungan ini dapat membantu siswa
pemula untuk mengembangkan keahliannya dengan cepat dan
memberikan
kesempatan
untuk
membangun
pemahaman
metakognitifnya. Penelitian sebelumnya mengemukakan bahwa tutor dan
magang dapat membantu para pemula untuk meraih tingkatan yang lebih
tinggi dalam pembelajaran yang lebih mendalam (Ramaswamy, Harris, &
Tschirner, 2001).
Salah satu bentuk umum dari kolaborasi adalah grup pembelajaran
kooperatif. Hogan (1999) mengembangkan program Thinking Aloud
Together (TAT) yang bertujuan untuk menghadirkan kemampuan
metakognitif dan regulasi diri dalam suatu kelompok kecil. Siswa dalam
program TAT mendemonstrasikan kesadaran metakognitif yang baik
terhadap cara belajarnya daripada siswa biasanya. Kolaborasi kelompok
kecil akan semakin efektif saat para siswa terlibat dalam diskusi masalah
berbasis inquiry (Meyer & Woodruff, 1997) dan saat para siswa diberikan
latihan eksplisit tentang bagaimana cara bekerja secara efektif dalam
suatu kelompok kecil (Bianchini, 1997). Namun satu masalah potensial
dalam bentuk ini adalah sulitnya mengatur kelompok kooperatif ini.
Program Peer Instruction yang dikembangkan di Harvard University oleh
Eric Mazur (http://galileo.harvard.edu/galileo/lgm/pi) adalah contoh model
kolaborasi siswa yang baik untuk skala pembelajaran sains yang lebih
besar. Garis pedoman untuk suatu kelompok juga telah dirumuskan oleh
Webb dan Palincsar (1996)
Kolaborasi antara guru juga sangat penting. Dua langkah untuk
menimbulkan kolaborasi ini adalah dengan cara pembinaan antarlevel dan

co-teaching. Pembinaan antarevel merupakan pembinaan yang dilakukan


oleh guru yang telah berpengalaman kepada guru yang kurang
berpengalaman, yang biasanya merupakan bagian dari suatu pelatihan
(Feldman, Campbell & Lai, 1999). Latihan tersebut biasanya terjadi antara
satu individu dengan individu yang lain dalam grup kecil yang fokus pada
pilihan kurikuler dan strategi pedagogik yang spesifik untuk meningkatkan
pembelajaran siswa. Sedangkan co-teaching merupakan kolaborasi antara
dua guru dengan tingkat pengalaman mengajar yang sama (Roth, 1998).
Salah satu manfaat dari co-teaching adalah dua orang guru tersebut
sama-sama dapat meningkatkan keahlian individual mereka. Manfaat
kedua adalah salah satu guru dapat mengalokasikan lebih banyak waktu
untuk berada dalam kelompok kecil di antara siswanya sedangkan guru
yang satunya melangsungkan kegiatan pembelajaran. Co-teaching
membantu memunculkan kegunaan strategi kognitif, pembinaan
metakognitif yang lebih baik, dan evaluasi, yang dapat meningkatkan
level regulasi diri siswa karena guru lebih mempunyai banyak waktu untuk
dicurahkan kepada setiap siswanya.

Instruksi strategi
Para pendidik sains telah mulai tertarik kepada pentingnya Instruksi
strategi yang membantu siswa memfokuskan perhatiannya secara selektif
dan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dengan lebih baik.
Instruksi strategi ini mempunyai 2 fungsi penting. Fungsi pertama adalah
menawarkan kepada pelajar akan rutinitas prosedur yang spesifik untuk
memecahkan suatu masalah. Fungsi kedua adalah seringkali strategi ini
menghadirkan model konseptual yang luas tentang bagaimana cara
memecahkan suatu masalah. Linn (2000) mengajukan 4 tujuan
pendidikan sains, antara lain menjadikan sains dapat diakses, membuat
cara berpikir menjadi dapat dilihat, membantu siswa untuk belajar dari
siswa lainnya, dan memunculkan pembelajaran sains sepanjang hayat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Linn mengajukan kerangka Knowledge
Integration Environment (KIE). Pada intinya kerangka KIE merupakan
gagasan yang digunakan para pelajar untuk mendukung keterampilan
mereka dalam mengintegrasikan berbagai sumber informasi menjadi
kerangka yang padu. Instruksi strategi adalah cara untuk mencapai
keempat tujuan pendidikan sains yang dideskripsikan oleh Linn.
Pada ulasan sebelumnya peneliti telah mengidentifikasi tiga tingkatan
dalam strategi instruksi. Strategi kognitif terfokus pada keterampilan
penggunaan taktik pembelajaran, strategi pemecahan masalah yang
mengintegrasikan berbagai strategi menjadi perencanaan yang padu
untuk mengkategorisasikan dan memecahkan masalah, dan strategi

berpikir kritis yang melibatkan kegiatan mengumpulkan, menganalisis,


mengevaluasi, dan mengintegrasikan informasi dengan tujuan untuk
menarik sebuah kesimpulan. Peneliti memandang tiga tipe strategi ini
sebagai tiga tingkatan. Strategi kognitif dibutuhkan untuk melangsungkan
sebuah pembelajaran. Strategi pemecahan masalah lebih dibutuhkan
untuk memahami sesuatu secara lebih mendalam. Strategi berpikir kritis
lebih kompleks lagi dan sangat penting dalam membuat sebuah
keputusan. Keterampilan berpikir kritis juga penting dalam rangka
memunculkan pemahaman metakognitif (Kuhn, 1999). Strategi kognitif
membuat siswa memilih strategi belajarnya dengan efektif. Sedangkan
strategi pemecahan masalah (problem solving) dan berpikir kritis (critical
thinking) membuat siswa untuk mengatur pembelajarannya melalui
keterampilan metakognitifnya, seperti memberikan berbagai solusi atas
suatu permasalahan, menguji, dan mengevaluasi solusi tersebut. Di
bawah ini kami merumuskan dan membandingkan ketiga tipe strategi ini

Strategi kognitif. Ada banyak jenis strategi kognitif yang diajarkan dalam
sebuah kelas sains. Salah satu strategi yang umum adalah dengan
menggunakan analogi untuk membantu siswa menghubungkan konsep
yang akan dipahami dengan konsep yang sebelumnya telah ia pahami
(Chinn & Brewer, 1993). Sejumlah studi telah menguji pengaruh penarikan
analogi antara sistem peredaran darah manusia dengan pipa saluran air
(Chinn & Malhorta, 2002). Pada umumnya, penggunaan analogi untuk
menghubungkan pemahaman siswa mempunyai pengaruh positif
terhadap kegiatan pembelajaran (Baker & Lawson, 2001; Beeth, 1998;
Harrison & Treagust, 1996; Peterson & Treagust, 1998; White & Mitchell,
1994). Contoh kedua dari strategi instruksi ini adalah penggunaan refleksi
yang lebih dianjurkan daripada penggunaan pertanyaan (Blank, 2000;
Chinn & Brown, 2002; Osman & Hannafin, 2001). King (1994) melaporkan
bahwa siswa yang mampu bertanya sebelum atau saat pembelajaran
berlangsung mempunyai pemahaman mendalam dalam rangka
menentukan ide pokok dari suatu hal. Pemecahan masalah melalui tulisan
juga dapat memperdalam pemahaman. Davis (2003) menemukan bahwa
siswa sekolah dasar dapat mengambil manfaat dari refleksi yang dapat
memfasilitasi pemantauan kemampuan metakognitif. Siswa yang cekatan
bekerja lebih efektif dengan siswa lainnya dan mampu membangun
pemahaman yang logis akan suatu konsep.
Sejumlah penulis telah mendiskusikan seberapa pentingnya strategi
pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman. Keefektifan penggunaan
strategi ini membutuhkan kemampuan metakognisi. Review komprehensif
oleh Hattie, Biggs, dan Purdie (1996) dan Rosenshine, Meister, dan

Chapman
(1996)
mengindikasikan
bahwa
tingkat
keberhasilan
penggunaan strategi instruksi ini sangat tinggi. Strategi instruksi sangat
berguna bagi siswa tingkat dasar dan sangat efektif ketika dikombinasikan
dengan beberapa strategi yang berhubungan. Berdasarkan analisis
tersebut, Hattie dkk (1996) mengemukakan beberapa kriteria dalam
strategi kognitif, yaitu: self-checking, menciptakan lingkungan belajar
yang baik, merencanakan dan menetapkan tujuan, mereview,
menyimpulkan, dan berdiskusi dengan guru atau teman sejawat. Dole,
Duffy, Roehler, dan Pearson (1991) merekomendasikan 5 kriteria dalam
strategi pembelajaran yang mencakup menentukan apa saja yang penting
untuk dipelajari, menyimpulkan, menarik adanya hubungan, membuat
pertanyaan sebelum dan sesudah pembelajaran, dan memantau
pemahaman terhadap suatu konsep. Selain itu, sejumlah tenaga pendidik
telah mengajukan berbagai bentuk strategi untuk meningkatkan
pembelajaran (Brooks & Crippen, 2001; Kahle & Boone, 2000) dan
kesadaran metakognitif (Beeth, 1997; Koch, 2001). Baird dan White (1996)
mengajukan empat komponen dari Project for Enhancing Effective
Learning (PEEL), seperti meningkatkan waktu belajar, kesempatan untuk
belajar, arahan dari guru, dan dukungan dari siswa lainnya. Arahan guru
bertujuan untuk mendemonstrasikan strategi kognitif dan pemecahan
masalah secara metakognitif. Dukungan dari siswa lainnya memberikan
kerangka kolaboratif dalam rangka membangun aktivitas inquiry.

Pemecahan masalah. Pemecahan masalah yang efektif bergantung


pada dua komponen kunci: pengetahuan yang mendalam yang
mendukung keterampilan metakognitif dan pemecahan masalah
(Gunstone, 1999b). Mengembangkan keahlian membutuhkan waktu
bertahu-tahun, walaupun beberapa siswa dapat mengembangkan
keahliannya dengan cepat melalui instruksi yang sistematis, pengalaman

laboratoris yang terstruktur, dan dukungan dari teman sejawat (Ericsson,


1996). Penggunaan strategi/algoritma pemecahan masalah yang
sistematis juga sangat penting. Gambar di atas menunjukkan suatu
strategi yang melibatkan keterampilan mengidentifikasi masalah,
menggambarkan masalah, memilih strategi dan solusi yang sesuai, dan
mengevaluasi solusi. Gambar di atas juga menunjukkan adanya umpan
balik yang berputar terus menerus. Satu putaran terjadi ketika para pakar
memiliki pengetahuan yang skematis yang membuat mereka memiliki
cara tertentu dalam mencari solusi dari suatu permasalahan. Dua putaran
lainnya terjadi ketika sebuah solusi terbukti gagal dan individu harus
menggambarkan permasalahan dan merumuskan solusi kembali.
Penelitian sebelumnya memberi kesan bahwa siswa dapat mengambil
manfaat yang banyak dari kegiatan pemecahan masalah. Pengajaran
melalui strategi umum seperti yang ditampilkan pada gambar di atas
kurang efektif dibandingkan pengajaran melalui pemecahan masalah
yang representatif pada situasi tertentu. Chang (1999) menemukan
bahwa latihan pemecahan masalah selain dapat meningkatkan
kemampuan problem solving juga dapat meningkatkan transfer
pengetahuan. Dhillon (1998) juga menemukan bahwa instruksi dan
pemodelan fase representasi pada problem solving sangatlah berguna.
Penelitian sebelumnya juga memberikan kesan bahwa setidaknya ada
tiga prinsip instruksional umum dalam meningkatkan kemampuan
memecahkan masalah (Chang, 1999; Huffman, 1997). Prinsip pertama
adalah memfasilitasi perolehan pengetahuan tingkat tinggi yang
membutuhkan strategi sedemikian rupa dan pandangan yang sesuai akan
pengetahuan. Agar hal tersebut dapat dilakukan, para siswa harus
memperoleh sebanyak mungkin pengetahuan tingkat tinggi dengan cara
yang seefisien mungkin melalui petunjuk yang terstruktur dari para pakar,
dan juga praktik yang reflektif atas arahan dari guru atau teman sejawat.
Prinsip kedua adalah mengembangkan kesadaran dalam strategi
pemecahan masalah yang sesuai dengan tipe permasalahan yang akan
dipecahkan. Salah satu caranya adalah melalui guru yang mencontohkan
metode pemecahan masalah yang sering digunakannya. Prinsip ketiga
adalah dengan menggunakan bentuk yang representatif dengan sedapat
mungkin mengeliminasi konsep-konsep yang kurang dibutuhkan.
Representasi ini dapat berbentuk tabel, diagram, diagram kausal,
kronologi, dsb. Salah satu hal yang cukup penting adalah mengubah
informasi dalam bentuk kata-kata menjadi model-model representasi
seperti yang disebutkan di atas (Gunston & Mitchell, 1998; Perkins, 1993).
Strategi pemecahan masalah ini dapat meningkatkan kemampuan
metakognitif dan regulasi diri karena membuat siswa mengalokasikan

sumber informasi yang terbatas untuk dapat memecahkan masalah


dengan lebih efisien (Butler & Winne, 1995; Kahle & Boone, 2000).

Berpikir kritis.
Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam
kelas sains merupakan pekerjaan yang menantang. Halpern (1998) dan
Kuhn (1999) telah menyusun tulisan secara ekstensif tentang cara-cara
meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Keterampilan berpikir kritis
mencakup identifikasi informasi yang relevan, membangun argumen,
menguji kredibilitas informasi dan hipotesis, dan mengajukan kesimpulan
yang logis (Brunning dkk, 2003; Kuhn, 1991; Vosniadou, 1994). Adalah hal
yang sangat penting untuk membantu siswa mengembangkan
kemampuan metakognitifnya melalui refleksi eksplisit dan latihan
memantau cara belajarnya. Sebagai contoh, Delclos dan Harrington
(1991) menguji kemampuan siswa kelas 5 dan kelas 6 dalam mengatasi
masalah pada komputer. Sepertiga dari mereka memperoleh keterampilan
memecahkan masalah yang spesifik, sepertiga yang lain memperoleh
keterampilan problem solving beserta latihan pemantauan diri (selfmonitoring), sedangkan sepertiga yang lain tidak memperoleh
keterampilan
apa-apa.
Kelompok
kedua
dapat
memecahkan
permasalahan yang sulit lebih banyak daripada 2 kelompok lain dan juga
tidak membutuhkan waktu lama untuk mengatasinya.
Blank (2000) mengajukan model berpikir kritis dalam sains yang ia
sebut dengan siklus pembelajaran metakognitif, metacognitive learning
cycle (MLC). MLC menekankan kegunaan sistematis dari diskusi dan
refleksi untuk memunculkan pemahaman metakognitif dalam berpikir
kritis dan memecahkan masalah. MLC terdiri dari 4 langkah yang saling
berkaitan satu sama lain, mencakup pengenalan konsep, aplikasi konsep,
penilaian konsep, dan eksplorasi konsep. Para siswa diminta untuk
merefleksikan langkah mereka pada tiap-tiap tahap, baik secara individu
maupun dalam sebuah kelompok kecil. Dibandingkan dengan kelompok
yang tidak menggunakan refleksi selektif, MLC dapat memberikan
pengalaman yang lebih baik dalam memahami suatu materi.
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, banyak pendidik
percaya bahwa refleksi merupakan tahapan kognitif yang paling penting
dalam memunculkan kemampuan berpikir kritis dan metakognitif (Davis,
2003; Gunstone, 1999a; Zemba-Saul, Blumefend, & Krajcik, 2000).
Nichols, Tippins, dan Wieseman (1997) mengajukan ulasan komprehensif
mereka tentang refleksi dan peranan yang dimainkannya dalam berpikir
kritis dan regulasi diri (self-regulation). Refleksi kritis menekankan pada
penggunaan perspektif alternatif dan manfaat pengetahuan serta manfaat
berpikir. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelunya,

kolaborasi memainkan peranan penting dalam memunculkan perspektif


alternatif tersebut. Selain itu, Nichols dkk (1997) mengidentifikasi
sejumlah perangkat pembelajaran yang dapat memunculkan refleksi kritis
dan metakognisi di dalam kelas, termasuk portofolio, jurnal, dan studi
kasus.

Pengembangan Model Mental (Mental Model) dan Pengubahan Konsep


Salah satu cakupan yang mendalam dalam pendidikan sains dan
komponen kunci dalam inquiry otentik adalah memahami bagaimana cara
membantu siswa dan guru membangun model mental dari berbagai
fenomena sains dan peranan kemampuan metakognitif dalam proses
tersebut (Beeth, 1998; Gunstone & Mitchell, 1998). Hogan dan Thomas
(2001) berpendapat bahwa model mental dibutuhkan untuk dapat berpikir
metakognitif untuk sistem yang lebih kompleks. Tanpa model mental,
kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam merefleksikan fenomena
kompleks dan sebagai konsekuensinya mereka akan sulit memantau dan
mengatur cara belajarnya masing-masing.
Hogan dan Thomas (2001) mengemukakan adanya sejumlah
perbedaan antara pakar dengan pemula dalam membangun model
mental pada fenomena tertentu. Empat komponen dari proses konstruksi
model tersebut antara lain konstruksi model, kuantifikasi model,
interpretasi model, dan revisi model. Pada umumnya, para pakar yang
membangun model mental ini fokus pada keterkaitan komponen tersebut,
sedangkan para pemula hanya fokus pada salah satu komponen saja.
Perbedaan ini dapat terjadi karena hal yang oleh Hogan dan Thomas
disebut sebagai epistemologi pemodelan (keyakinan yang dianut
sesorang tentang kegunaan dan kredibilitas suatu model). Sayangnya,
penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa kebanyakan guru sains tidak
mempunyai keterampilan yang baik dalam menggunakan model mental
(Beeth, 1997; Kuhn, 1989; Van Driel & Verloop, 1999). Namun, teknologi
berperan penting sebagai media untuk mengkonkritkan model mental
sehingga dapat memberikan informasi tambahan kepada guru untuk
memberikan umpan balik yang terstruktur.
Memahami dan membangun model mental merupakan komponen
esensial dalam pembelajaran sains. Namun, mungkin saja seorang siswa
membangun model mental yang tidak sesuai yang gagal menarik
hubungan penting antarkomponen sehingga menyebabkan diambilnya
kesimpulan yang tidak akurat. Dalam beberapa kasus, para guru
mengalami dilema akan pengubahan konsep, yaitu bagaimana cara
mengubah pemahaman siswa ataupun guru lainnya. Kebanyakan

permasalahan ini telah dibahas oleh Posner, Strike, Hewson, dan Gertzog
(1982). Pengubahan konsep ini tidak mungkin terjadi tanpa melibatkan
adanya konflik intelektual. Kebanyakan model pengubahan konsep ini
mencakup rangkaian perubahan konsep mulai dari yang sederhana ke
konsep yang kompleks (Chinn & Brewer, 1993; Chinn & Malhorta, 2002).
Dilema yang dialami oleh guru tersebut adalah dalam memilih antara
membantu siswa menstruktur ulang pengetahuannya mulai dari konsep
yang paling sederhana atau langsung mengubah konsep yang kompleks
(Pintrich, Marx, & Boyle, 1993). Para pakar setuju bahwa tingkat
ketidakseimbangan kemampuan kognitif itu diperlukan, walaupun hal
tersebut tidak dapat mengatasi ketidakseimbangan tersebut (Chinn &
Brere, 1993; Gunstone & Mitchell, 1998; Pintrich dkk, 1993). Tingkatan
yang lebih tingi pada ketidakseimbangan kognitif tersebut dapat
memfasilitasi perubahan konsep, walaupun terdapat perbedaan yang
mendasar antara pelajar yang lebih tua dengan yang lebih muda. Salah
satu pendekatan yang umum digunakan adalah dengan meminta siswa
untuk memeragakan data yang menyimpang (Niaz, 2001; Nieswandt,
2001; Novak, 2002; Shepardson, 1999). Membangun model mental
berdasarkan data dari materi dan petunjuk laboratoris sangatlah berguna
karena dapat menimbulkan strategi penggunaan, refleksi, dan evaluasi
(Weaver, 1998).
Perubahan konsep yang murni melibatkan setidaknya tiga tingkatan
yang berbeda, antara lain mengungkapkan prakonsepsi siswa, membuat
konflik konsep, dan mendorong akomodasi kognitif. Penelitian sebelumnya
mengemukakan bahwa usaha guru dalam melangsungkan diskusi dan
kolaborasi bersama siswa merupakan salah satu cara untuk
mengungkapkan prakonsepsi siswa. Strategi lainnya adalah dengan cara
menggunakan kiasan untuk mengungkapkan prakonsepsi siswa (Tobins &
Tippins, 1996; Thomas & McRobbie, 1999, 2001; Vosniadou, 1994). Lalu
strategi ketiga adalah dengan menimbulkan kebutuhan akan perubahan
konsep melalui eksperimen-eksperimen yang gagal (Tabachnick &
Zeichner, 1999). Strategi tersebut sangat penting karena dapat
menimbulkan kesadaran metakognitif yang membuat
siswa dapat
mengatur cara belajarnya dalam suatu kelompok yang kooperatif (Hogan,
1999) maupun individual (Beeth, 1998; Gunstone & Mitchell, 1998).

Penggunaan Teknologi
Teknologi memiliki potensi untuk mendukung self-regulated learning
dalam pendidikan sains melalui berbagai cara. Biasanya ini melibatkan
dukungan dari strategi instruksional lain. Contohnya, menggunakan
hardware dan software (dengan komputer ataupun yang lainya) dalam

proses inquiry sebagai sarana konstruksi dan pembuatan mental model


sebagai media komunikasi kolaboratif untuk memperagakan teknik tingkat
tinggi dan untuk memberikan umpan balik dalam pemecahan masalah.
Dalam kapasitas ini, teknologi dapat mendukung regulasi diri dengan
berfungsi sebagai: alat representasi pengetahuan, kerangka kognitif,
mesin umpan balik, dan sarana komunikasi kolaboratif.
Pengembangan dan penggunaan strategi kognitif seperti pembuatan
representasi/model dapat difasilitasi dengan baik menggunakan teknologi
(Jonassen, Carr, & Yuch, 1998). Siswa dapat menggunakan software
jaringan semantik untuk mewakilkan pemahamannya terhadap fenomena
kompleks sebelumnya sebelum, saat, dan sesudah pengajaran. Dua
representasi dimensional ini mengilustrasikan pentingnya hubungan
antara konsep (pengetahuan yang terstruktur) dan dapat digunakan untuk
membantu siswa dalam memperagakan pemikirannya secara eksplisit
melalui media yang dapat diperbarui selama pemahaman siswa terus
berkembang. Selain itu, teknologi dapat digunakan untuk memunculkan
aktivitas metakognitif seperti planning dan monitoring (Puntambekar,
1995). Pntambekar dan duBoulay (1997) mengembangkan sebuah sistem
instruksional berbantuan komputer yang dinamakan Metacognition in
Studying from Texts (MIST) untuk melatih siswa dalam merefleksikan apa
yang mereka baca dan untuk memantau pemahaman mereka.
Teknologi dapat diimplementasikan sebagai perangkat kognitif untuk
pemula. Namun juga penggunaan teknologi dapat digunakan dalam
strategi pemecahan masalah tingkat tinggi dan umpan balik berkaitan
dengan performa tiap individu dapat digeneralisasikan. Dengan
melibatkan siswa dalam strategi belajar tingkat tinggi seperti pada contoh
ini dapat meningkatkan kemampuan metakognisi dan pemecahan
masalah siswa (Atkinson dkk, 2000). Contoh ini dapat digeneralisasikan
sepanjang siswa belajar melalui materi yang sama. Hal ini dapat
dipandang sebagai perwakilan pemodelan guru sebagai strategi
instruksional.
Sistem penilaian elektronik yang memberikan pengetahuan instan
tentang hasil dan kinerja beserta umpan balik kepada siswa terbukti
efektif untuk meningkatkan kinerja pembelajaran sains mereka (Dufresne
dkk, 2002; Penn, Nedeff, Gozdzik, 2000). Sistem ini dapat menyajikan
fungsi metakognitif bagi siswa yang menggunakannya sebagai feedback,
dan juga dapat mengelompokkan siswa berdasarkan pada pola respons
mereka, serta termasuk saran yang dapat membuat keterampilan kognitif
siswa terlihat jelas (Butler & Winne, 1995). Desain instruksional seperti di
atas kini menjadi perhatian serius karena implikasinya terhadap kinerja

siswa dan terbatasnya kemampuan kerja para pendidik (Brooks & Crippen,
2001).
Memecahkan masalah menggunakan analisis data, sarana visualisasi
dan organisasi seperti lembar kerja dan dynagram (dynamic diagram,
diagram dinamis), menjadikan siswa terfokus pada isu pemecahan
masalah yang lebih besar saat memperoleh informasi tertentu (hubungan,
prosedur, dan data) dan mengintegrasikannya pada mesin. Melalui cara
ini, siswa lebih mampu memfokuskan sumber kognitifnya dalam
memantau dan mengevaluasi kualitas solusi permasalahan yang diajukan
(Pea, 1993a). Contoh dari sarana tersebut adalah Simulator Dynagram
Optis 2-D yang dikembangkan untuk menyajikan representasi simbolik
dan skenario optis yang digunakan untuk menguji permasalahan, yang
dihubungkan dengan cahaya dan lensa (Pea, 1993b).
Dengan adanya siswa yang menggunakan teknologi untuk
menciptakan model statis dan dinamis merupakan cara untuk
memperluas dan memperkuat model mental mereka dan mendukung
kemampuan berpikir kritis mereka (Stratford, 1997). Pengintegrasian
hubungan fungsional dan kausal antara sistem yang dinamis dan
kompleks seperti iklim global, transpor elektron, atau piringan tektonik
membutuhkan keberadaan model mental yang berkualitas (Greca &
Moreira, 2000). Software pemodelan komputer menbuat siswa untuk
menciptakan model analisis fungsional mereka. Model ini dapat dibangun
sebagai representasi dari model mental atau representasi dari fenomena
fisik yang dapat diobservasi. Variabel dalam model ini dapat dimanipulasi
dan pola-pola temporal di dalamnya dapat dianalisis dan dibandingkan
dengan hipotesis. Sama halnya dengan representasi semantik dari
pemikiran siswa yang dapat dimutakhirkan menjadi representasi yang
lebih baik untuk pemahaman mereka, model dinamis dari fenomena fisik
dapat pula ditingkatkan terus-menerus selama fenomena tersebut
berubah. Membangun model menggunakan komputer harus dapat
menjadikan siswa mampu mengevaluasi kegiatan pembelajaran mereka
secara metakognitif.
Komunikasi elektronik dan sarana kolaborasi seperti e-mail, chat, dan
diskusi dalam bentuk thread mendukung regulasi diri dalam berbagai
cara. Salah satu sarana kolaborasi tersebut adalah Computer Supported
Intentional Learning Environment (CSILE) yang dikembangkan untuk
mendukung keterampilan inquiry siswa (Scardamalia & Bereiter, 1996),
CSILE (yang sekarang dinamakan forum pengetahuan) memberikan siswa
dan guru ruang untuk berbagi yang dapat digunakan untuk
mengorganisasikan konsep dari materi dan ide-ide siswa.

Keyakinan Guru dan Siswa


Keyakinan memainkan peranan krusial dalam pembelajaran sains, baik
bagi guru maupun siswa (McRobbie & Thomas, 2000; Roth & Tobin, 2001).
Efikasi diri dan keyakinan epistemologik mempunyai tingkat kepentingan
tertentu. Efikasi diri merujuk pda tingkatan yang dicapai oleh individu saat
merasa mampu mengerjakan suatu tugas ataupun tujuan (Bandura,
1997). Efikasi diri pada tingkatan yang lebih tinggi menghasilkan
keterlibatan tinggi seseorang dalam menjalankan sebuah tugas yang sulit
dan ketekunan yang tinggi. Efikasi diri sangat penting karena pada
umumnya siswa kehilangan kepercayaan diri dan ketertarikan seiring
dengan meningkatnya usia (Pell & Jarvis, 2001). Instruksi yang efektif,
peer modeling, dan komunitas pembelajaran kooperatif, kesemuanya
bertujuan untuk meningkatkan efikasi diri siswa (Pajares, 1996). Umpan
balik informasi yang mendetail meningkatkan efikasi diri siswa, terutama
keterampilan mengatur diri (self-regulatory) dan metakognisi (Butler &
Winne, 1995; White, 1998).
Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi efikasi diri guru. Salah satu
di antaranya adalah keyakinan mengenai fenomena sains, seperti struktur
dan sistem tata surya (Schoon & Boone, 1998). Guru dengan tingkat
efikasi diri yang rendah memiliki lebih sedikit konsep alternatif yang
relevan terhadap suatu materi daripada guru dengan tingkat efikasi diri
tinggi. Akses menuju pengajaran berkualitas tinggi meningkatkan tingkat
efikasi diri guru (Ramey-Gassert, Shroyer, & Staver, 1998). Selain itu,
pengalaman kooperatif meningkatkan efikasi diri, terutama ketika guru
dengan efikasi diri rendah berpartisipasi bersama guru dengan efikasi diri
tinggi (Cannon & Scharmann, 1996). Bantuan dan dukungan dari sesama
guru dan tenaga administrasi sangat penting dan berpengaruh terhadap
efikasi diri. Melanjutkan pendidikan juga dapat mempengaruhi efikasi diri,
walaupun sampai saat ini belum diketahui apakah dengan melanjutkan
pendidikan dapat meningkatkan atau mengurangi efikasi diri.
Keyakinan epistemologik mengacu pada pandangan indiidual tentang
asal usul sebuah pengetahuan (Reiner & Gilbert, 2000). Para peneliti telah
membedakan antara pandangan hidup realisme dengan relativisme (Elby
& Hammer, 2001; Hammer & Elby, 2002). Paham realisme meyakini
bahwa pengetahuan bersifat sederhana, tetap, dan dapat diajarkan pada
tingkat pembelajaran yang lebih luas. Sedangkan paham relativisme
percaya bahwa pengetahuan tidak tetap, berubah-ubah, dan harus
dibeda-bedakan antara tiap individu.
Siswa dengan pandangan hidup realisme dicirikan dengan keyakinan
yang sederhana dan cenderung memiliki prestasi belajar yang lebih
sedikit daripada siswa dengan pandangan hidup relativisme (Hofer &

Pintrich, 1997; King & Kitchener, 1994; Schommer-Aikins, 2002). Jehng,


Johnson, dan Anderson (1993) menemukan bahwa keyakinan
epistemologik berbeda antara tiap tingkatan belajar, seperti antara
sarjana dengan mahasiswa yang belum sarjana. Siswa dengan disiplin
ilmu seperti kemanusiaan cenderung yakin bahwa pengetahuan bersifat
tidak tetap dibandingkan dengan siswa dengan disiplin ilmu fisika.
Dibandingkan dengan mahasiswa belum sarjana, seorang sarjana
cenderung yakin bahwa pengetahuan bersifat tidak tentu dan
berkembang tahap demi tahap (mereka tidak percaya adanya quick
learning). Bendixen, Schraw, dan Dunkle (1998) menumukan bahwa
keyakinan epistemologik berhubungan dan moral. Setiap individu
mengadopsi keyakinan yang kompleks, bahwa pengetahuan berkembang
secara bertahap pada tingkatan yang lebih tinggi. Kardash dan Scholes
(1996) melaporkan bahwa keyakinan akan pengetahuan yang tetap
berhubungan dengan perolehan skor yang rendah. Dengan demikian,
penemuan-penemuan di atas memberi kesan bahwa siswa dengan
keyakinan epistemologik yang lebih modern cenderung merefleksikan
suatu masalah dan mampu menyajikan kesimpulan yang modern.
Kuhn dkk (Kuhn, 1991; Kuhn, Cheney, & Weinstock, 2000) menemukan
bahwa keyakinan epistemologik berhubungan dengan kemampuan
seseorang untuk berargumen secara persuasif dan untuk menggunakan
keterampilan metakognitifnya dan pengetahuan tentang regulasi diri
dalam pembelajaran. Dalam studi di atas, individu diklasifikasikan menjadi
seorang yang absolutis (seseorang yang percaya bahwa pengetahuan
bersifat benar atau salah mutlak), multiplis (seseorang yang percaya
bahwa pengetahuan bergantung pada berbagai faktor), atau evaluatif
teoris (seseorang yang percaya bahwa pengetahuan bersifat relatif yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional) didasarkan pada keyakinan
mereka mengenai sifat kepastian pengetahuan. Evaluatif teoris cenderung
menerima fakta/bukti untuk mendukung sebuah argumen dibandingkan
dengan absolutis. Selain itu, dibandingkan dengan absolutis, evaluatif
teoris
menggeneralisasikan sejumlah teori alternatif yang logis dan
menampilkan argumen balik yang lebih baik.
Keyakinan epistemologik guru mempengaruhi keputusan pedagogik
mereka (Reybold, 2001 Roth & Tobin, 2001; Scraw & Olafson, 2002;
White, 2000). Sebagai contoh, guru dengan paham realis cenderung
mengandalkan buku teks dan kurikulum yang telah distandarisasi,
menggunakan teks konvensional, meminimalisir pengalaman dalam
lapangan, dan membatasi peranan pengujian hipotesis dan eksperimen
(Bell & Linn, 2002; Elby & Hammer, 2001; Hogan, 2000; Neber &
Schommer-Aikins, 2002; Reiner & Gilber, 2000; Tsai, 2001).

Guru dengan paham epistemologik yang sederhana jarang


mengadakan kegiatan yang menantang di kelasnya. Salah satu masalah
di dalam kelas yang diajarkan guru dengan paham ini adalah karena
mereka menyampaikan dan menggambarkan sains sebagai hal yang
statis, sehingga hanya dapat dicerna oleh beberapa siswa yang kapabel
(Bell & Linn, 2002). Guru dengan paham realis juga menghabiskan waktu
yang lebih lama dalam melangsungkan pembelajaran dengan direct
instruction dan memiliki waktu yang sedikit dalam berpikir inquiry, yang
menurut mereka merupakan landasan dalam investigasi saintifik. Lebih
jauh lagi, guru dengan paham realis cenderung tidak mampu untuk
memperagakan argumentasinya di kelasnya (Kuhn, 1999). Sebaliknya,
guru dengan paham epistemologik modern memunculkan inquiry dan
argumentasi, menggunakan strategi yang spesifik seperti debat,
mengajukan dan mengkritik argumen, group based project yang
memfasilitasi sintesis gagasan-gagasan (Bell & Linn, 2002; Roth,
McRobbie,
Lucas,
&
Boutonne,
1997).
Penelitian
sebelumnya
mengindikasikan bahwa guru sains yang telah ahli dapat memunculkan
keterampilan berargumentasi melalui co-teaching (Roth, Tobin, &
Zimmermann, 2002).
Secara keseluruhan, efikasi diri dan paham epistemologik membantu
dalam memotivasi siswa dan guru (Elby & Hammer, 2001; Neber &
Schommer-Aikins, 2002). Siswa dengan tingkat efikasi diri yang tinggi
memiliki regulasi diri yang baik dalam rangka menggunakan pengetahuan
dan keterampilan metakognitifnya (Baird & White, 1996; Blank, 2000).
Pemodelan membantu siswa meningkatkan efikasi dirinya (Pajares, 1996)
dan keterampilan metakognitif (Kuhn, 1999). Instruksi strategi juga
meningkatkan efikasi diri (Pressley dkk, 1989), self-regulated learning
(Butler & Winne, 1995), dan kesadaran metakognitif (Alexander dkk, 1995;
Schraw & Moshman, 1995).

Kesimpulan

Teori self-regulated learning diturunkan dari teori Bandura (1997)


tentang
social-cognitive
learning.
Teori
self-regulated
learning
kontemporer fokus pada transisi dari pelajar yang dependen menjadi
pelajar yang independen/otonom. Beberapa topik muncul dari penelitian
ini. Topik pertama adalah bahwa pelajar yang self-regulated
mengandalkan perpaduan integrasi kemampuan kognitif, metakognitif,
dan motivasi. Topik kedua, pelajar yang self-regulated menggunakan
keterampilan
ini
untuk
merencanakan,
menetapkan
tujuan,

mengimplementasi dan memantau strategi yang digunakan, dan


mengevaluasi tujuan pembelajarannya. Topik ketiga, pelajar yang selfregulated
menggunakan
berbagai
strategi
secara
fleksibel,
memperbanyak strategi tersebut dengan berbagai keyakinan motivasional
yang adaptif seperti efikasi diri dan pandangan hidup epistemologis.
Ulasan ini meringkas tentang enam strategi instruksional yang dapat
memunculkan regulasi diri (self-regulation) dengan cara membantu siswa
mengintegrasikan kemampuan kognitif, kesadaran metakognitif, dan
keyakinan epistemologisnya. Ada banyak cara untuk meningkatkan
kemampuan kognitif, metakognitif, dan motivasi ini. Tabel di bawah
memberikan ringkasan tentang keenam strategi instruksional tersebut
dalam rangka meningkatkan kemampuan kognitif, metakognitif, dan
motivasi
Proses kognitif

Proses
metakognitif
Inquiry
Memunculkan
Meningkatkan
kemampuan
perencanaan,
berpikir
kritis pemantauan, dan
melalui eksperimen evaluasi
secara
dan refleksi
eksplisit
Kolaboras Memperagakan
Memperagakan
i
strategi untuk para refleksi diri
pemula

Proses motivasi
Memberikan
pemodelan yang
cakap

Mendapatkan
dukungan sosial
dari
teman
sejawat
Membantu
siswa Meningkatkan
membangun
efikasi diri untuk
pengetahuan
belajar
kondisional
Memunculkan
Memunculkan
refleksi
dan penstrukturan
evaluasi
eksplisit ulang
dan
dari contoh yang perubahan
diajukan
terhadap konsep
Membantu
siswa Memberikan
dalam
menguji, sumber informasi
mengevaluasi, dan dan
dukungan
merevisi
sebuah kolaboratif
model

Strategi

Menggunakan
berbagai
jenis
strategi

Model
Mental

Memberikan model
yang eksplisit untuk
dianalisis

Teknologi

Mengilustrasikan
kemampuan
dengan umpan balik
Memberikan
contoh/model
dan
menstimulasikan
data
Meningkatkan
Memunculkan
Memunculkan
keterlibatan
dan perubahan konsep pemodelan
ketekunan siswa
dan refleksi
epistemologi dari

Keyakina
n
Personal

ilmuwan
pakar

dan

Ulasan ini mengungkapkan bahwa terdapat beberapa penelitian yang


telah membahas tentang metakognisi dan regulasi diri (self-regulation).
Kami berpendapat bahwa self-regulation merupakan hal yang sangat
penting untuk semua pelajar dan pada umumnya literatur pendidikan
mendukung pendapat kami. Sekolah perlu mempersiapkan siswanya
untuk menjadi pelajar sepanjang hayat dan mencapai domain akademik
lainnya sebaik mungkin. Kami merasakan adanya banyak pekerjaan yang
harus dilakukan oleh guru saat ini dan pada masa yang akan datang untuk
memunculkan self-regulation dan penelitian sebelumnya tentang
metakognisi memberikan sejenis ajang untuk mulai mempromosikan dan
meneliti tentang self-regulated learning. Penelitian sebelumnya
mengemukakan ketika strategi instruksional ini telah diimplementasikan,
kualitas pembelajaran sains dan prestasi belajar akan meningkat. Kami
harap ulasan kami mendorong para pendidik dan peneliti untuk berpikir
lebih cermat tentang strategi yang akan digunakan pada sebuah
pembelajaran.

Korespondensi: G. Schraw, University of Nevada, Las Vegas, 4505


Maryland Parkway, Box 453003, Las Vegas, NV 89154-3003, USA

Daftar Rujukan
Alexander, J. M., Carr, M., & Schwanenflugel, P. J. (1995). Development of
metacognition in gifted children: Directions for future research.
Developmental Review, 15(1), 137.
Anderson, R. D. (2002). Reforming science teaching: What research says
about inquiry. Journal of Science Teacher Education, 13(1), 112.
Anderson, C. W., & Hogan, K. (2000). Preface: Designing programs for
science learning. Journal of Research in Science Teaching, 37(7), 627
628.
Atkinson, R. K., Derry, S. J., Renkl, A., & Wortham, D. (2000). Learning from
examples: Instructional principles from the worked examples
research. Review of Educational Research, 70(2), 181214.
Baird, J. R., & White, R. T. (1996). Metacognitive strategies in the
classroom. In D. F. Treagust, R. Duit, & B. J. Fraser (Eds.), Improving
teaching and learning in science and mathematics (pp. 190200).
New York: Teachers College Press.
Baker, W. P., & Lawson, A. E. (2001). Complex instructional analogies and
theoretical concept acquisition in college genetics. Science
Education, 85(6), 665683.

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York:


Freeman.
Beeth, M. E. (1997). Teaching for conceptual change: Using status as a
metacognitive toolkit. Science Education, 82(1), 343356.
Beeth, M. E. (1998). Facilitating conceptual change learning: The need for
teachers to support metacognition. Journal of Science Teacher
Education, 9(1), 4961.
Bell, P., & Linn, M. C. (2002). Beliefs about science: How does science
instruction contribute? In B. Hofer & P. R. Pintrich (Eds.), Personal
epistemology: The psychology of beliefs about knowledge and
knowing (pp. 321346). Mahwah, NJ: Erlbaum.
Bendixen, L. D., Schraw, G., & Dunkle, M. E. (1998). Epistemic beliefs and
moral reasoning. The Journal of Psychology, 13(3), 187200.
Bianchini, J. A. (1997). Where knowledge construction, equity, and context
intersect: Student learning of science in small groups. Journal of
Research in Science Teaching, 34(10), 10391065.
Blank, L. M. (2000). A metacognitive learning cycle: A better warranty for
student understanding. Science Education, 84(4), 486506.
Brooks, D. W., & Crippen, K. J. (2001). Learning difficult content using the
web: Strategies make a difference. Journal of Science Education and
Technology, 10(4), 283285.
Bruning, R. H., Schraw, G. J., Norby, M. M., & Ronning, R. R. (2003).
Cognitive psychology and instruction (4th ed.). Columbus, OH:
Prentice-Hall.
Butler, D. L., & Winne, P. H. (1995). Feedback and self-regulated learning:
A theoretical synthesis. Review of Educational Research, 65(3), 245
281.
Cannon, J. R., & Scharmann, L. C. (1996). Influence of cooperative early
field experience on preservice elementary teachers science selfefficacy. Science Education, 80(4), 419436.
Chang, C. (1999). The use of problem-solving based instructional model in
initiating change in students achievement and alternative
frameworks. International Journal of Science Education, 21(4), 373
388.
Chinn, C. A., & Brewer, W. F. (1993). The role of anomalous data in
knowledge acquisition: A theoretical framework and implications for
science instruction. Review of Educational Research, 63(1), 149.
Chinn, C., & Brown, D. A. (2002). Student-generated questions: A
meaningful aspect of learning in science. International Journal of
Science Education, 24(5), 521549.
Chinn, C. A., & Hmelo-Silver, C. E. (2002). Authentic inquiry: Introduction
to the special section. Science Education, 86(1), 171174.
Chinn, C. A., & Malhorta, B. A. (2002). Epistemologically authentic inquiry
in the schools: A theoretical framework for evaluating inquiry tasks.
Science Education, 86(2), 175218.
Collins, A., Brown, J. S., & Newman, S. E. (1989). Cognitive apprenticeship:
Teaching the crafts of reading, writing, and mathematics. In L. B.
Resnick (Ed.), Knowing, learning, and instruction: Essays in honor of
Robert Glaser (pp. 453494). Hillsdale, NJ: Erlbaum.

Davis, E. A. (2003). Prompting middle school science students for


productive reflection: Generic and directed prompts. The Journal of
the Learning Sciences, 12(1), 91142.
Delclos, V. R., & Harrington, C. (1991). Effects of strategy monitoring and
proactive instruction on childrens problem-solving performance.
Journal of Educational Psychology, 83(1), 3542.
Dhillon, A. S. (1998). Individual differences with problem-solving strategies
used in physics. Science Education, 82(3), 379405.
Dole, J. A., Duffy, G. G., Roehler, L. R., & Pearson, P. D. (1991). Moving from
the old to the new: Research on reading comprehension instruction.
Review of Educational Research, 61(3), 239264.
Dufresne, R., Mestre, J., Hart, D. M., & Rath, K. A. (2002). The effect ofWebbased homework on test performance in large enrollment
introductory physics courses. Journal of Computers in Mathematics
and Science Teaching, 21(3), 229251.
Duggan, S., & Gott, R. (2002). What sort of science education do we really
need? International Journal of Science Education, 24(7), 661679.
Elby, A., & Hammer, D. (2001). On the substance of a sophisticated
epistemology. Science Education, 85(5), 554567.
Ericsson, K. A. (1996). The acquisition of expert performance. In K. A.
Ericsson (Ed.), The road to excellence: The acquisition of expert
performance in the arts, sciences, sports, and games (pp. 150).
Mahwah, NJ: Erlbaum.
Feldman, A. I., Campbell, R. L., & Lai, M. K. (1999). Improving elementary
school science teaching by cross-level mentoring. Journal of Science
Teacher Education, 10(1), 5567.
Gilbert, J. K., & Reiner, M. (2000). Thought experiments in science
education: Potential and current realization. International Journal of
Science Education, 22(3), 265283.
Goddard, R. D., Hoy, W. K., & Hoy, A. W. (2000). Collective teacher
efficacy: Its meaning, measure and impact on student achievement.
American Educational Research Journal, 37(2), 479508.
Greca, I. M., & Moreira, M. A. (2000). Mental models, conceptual models,
and modeling. International Journal of Science Education, 22(1), 111.
Gunstone, R. (1999a). Content knowledge, a reflection, and their
intertwining: A response to the paper set. Science Education, 83(3),
393396.
Gunstone, R. (1999b). The importance of specific science content in the
enhancement of metacognition. In P. J. Fensham, R. F. Gunstone, & R.
T. White (Eds.), The content of science: A constructivist approach to
its teaching and learning (pp. 131146). London, England: The Falmer
Press.
Gunstone, R., & Mitchell, I. J. (1998). Metacognition and conceptual
change. In J. L. Mintzes, J. H. Wandersee, & J. D. Noval (Eds.),
Teaching for science education: A human constructivist view (pp.
133163). San Diego, CA: Academic Press.
Halpern, D. F. (1998). Teaching critical thinking for transfer across
domains. American Psychologist, 53(9), 449455.

Hammer, D., & Elby, A. (2002). On the form of a personal epistemology. In


B. Hofer & P. R. Pintrich (Eds.), Personal epistemology: The
psychology of beliefs about knowledge and knowing (pp. 169190).
Mahwah, NJ: Erlbaum.
Harrison, A. G., & Treagust, D. F. (1996). Secondary students mental
models of atoms and molecules: Implications for teaching chemistry.
Science Education, 80(5), 509534.
Hattie, J., Biggs, J., & Purdie, N. (1996). Effects of learning skills
interventions on student learning: A meta-analysis. Review of
Educational Research, 66(2), 99136.
Hofer, B. K., & Pintrich, P. R. (1997). The development of epistemological
theories: Beliefs about knowledge and knowing and their relation to
learning. Review of Educational Research, 67(1), 88140.
Hogan, K. (1999). Sociocognitive roles in science group discourse.
International Journal of Science Education, 21(8), 855882.
Hogan, K. (2000). Exploring a process view of students knowledge about
the nature of science. Science Education, 84(1), 5170.
Hogan, K. (2002). Small groups ecological reasoning while making an
environmental management decision. Journal of Research in Science
Teaching, 39(4), 341368.
Hogan, K., & Thomas, D. (2001). Cognitive comparisons of students
systems modeling in ecology. Journal of Science Education and
Technology, 10(4), 319345.
House, D. J. (2002). The motivational effects of specific teaching activities
and computer use for science learning: Findings from the third
international mathematics and science study (TIMSS). International
Journal of Instructional Media, 29(4), 423440.
Huffman, D. (1997). Effect of explicit problem solving instruction on high
school students problem-solving performance and conceptual
understanding of physics. Journal of Research in Science Teaching,
34(6), 551570.
Hurd, P. D. (2002). Modernizing science education. Journal of Research in
Science Teaching, 39(1), 39.
Jehng, J. J., Johnson, S. D., & Anderson, R. C. (1993). Schooling and
students epistemological beliefs about learning. Contemporary
Educational Psychology, 18(1), 2335.
Jonassen, D. H., Carr, C., & Yueh, H. P. (1998). Computers as mind tools for
engaging learners in critical thinking. TechTrends, 43(2), 2432.
Kahle, J. B., & Boone,W. (2000). Strategies to improve student science
learning: Implications for science teacher education. Journal of
Science Teacher Education, 11(2), 93107.
Kardash, C. M., & Scholes, R. J. (1996). Effects of preexisting beliefs,
epistemological beliefs, and need for cognition on interpretation of
controversial issues. Journal of Educational Psychology, 88(2), 260
271.
Kelly, G. J., & Anderson, C. W. (2000). Learning with understanding. Journal
of Research in Science Teaching, 37(8), 757759.

Khishfe, R., & Fouad, A. (2002). Influence of explicit and reflective versus
implicit inquiry-oriented instruction on sixth graders views of nature
of science. Journal of Research in Science Teaching, 39(7), 551578.
King, P. M., & Kitchener, K. S. (1994). Developing reflective judgment. San
Francisco: Jossey-Bass.
King, A. (1994). Guiding knowledge construction in the classroom: Effects
of teaching children how to question and how to explain. American
Educational Research Journal, 31(2), 338368.
Koch, A. (2001). Training in metacognition and comprehension of physics
texts. Science Education, 85(6), 758768.
Kuhn, D. (1989). Children and adults as intuitive scientists. Psychological
Review, 96(4), 674689.
Kuhn, D. (1991). The skills of argument. Cambridge: Cambridge University
Press.
Kuhn, D. (1999). A developmental model of critical thinking. Educational
Researcher, 28(1), 1626.
Kuhn, D., & Weinstock, M. (2002). What is epistemological thinking and
why does it matter? In B. Hofer & P. R. Pintrich (Eds.), Personal
epistemology: The psychology of beliefs about knowledge and
knowing (pp. 103177). Mahwah, NJ: Erlbaum.
Kuhn, D., Cheney, R., & Weinstock, M. (2000). The developmental of
epistemological understanding. Cognitive Development, 15(3), 309
328.
Lave, J., & Wegner, E. (1991). Situated learning: Legitimate peripheral
participation. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Linn, M. C. (2000). Designing the knowledge integration environment.
International Journal of Science Education, 22(8), 781796.
Mason, L. (1994). Cognitive and metacognitive aspects in conceptual
change by analogy. Instructional Science, 22(2), 157187.
McRobbie, C. J., & Thomas, G. P. (2000). Changing the learning
environment to enhance explaining and understanding in a year 12
chemistry classroom. Learning Environments Research, 3(3), 209
227.
Meyer, K., & Woodruff, E. (1997). Consensually driven explanation in
science teaching. Science Education, 81(2), 173192.
Neber, H., & Schommer-Aikins, M. (2002). Self-regulated science learning
with highly gifted students: The role of cognitive, motivational,
epistemological, and environmental variables. High Ability Studies,
13(1), 5974.
Niaz, M. (2001). Response to contradiction: Conflict resolution strategies
used by students in problem solving of chemical equilibrium. Journal
of Science Education and Technology, 10(2), 205211.
Nichols, S. E., Tippins, D., & Wieseman, K. (1997). A toolkit for developing
critically reflective science teachers. Research in Science Education,
27(2), 175194.
Nieswandt, M. (2001). Problems and possibilities for learning in an
introductory chemistry course from a conceptual change perspective.
Science Education, 85(2), 158179.

Novak, J. D. (2002).Meaningful learning: The essential factor for


conceptual change in limited or inappropriate prepositional
hierarchies leading to the empowerment of learners. Science
Education, 86(4), 548571.
Osman, M. E., & Hannafin, M. J. (2001). Effects of advance questioning and
prior knowledge on science learning. Journal of Educational Research,
52(1), 513. Pajares, F. (1996). Self-efficacy beliefs in academic
settings. Review of Educational Research, 66(4), 543578.
Pea, R. D. (1993a). Practices of distributed intelligence and designs for
education.
In G. Salomon (Ed.), Distributed cognitions: Psychological and educational
considerations (pp. 4787). New York: Cambridge University Press.
Pea, R. D. (1993b). Learning scientific concepts through material and
social activities: Conversational analysis meets conceptual change.
Educational Psychologist, 28(3), 265277.
Pell, T., & Jarvis, T. (2001). Developing attitude to science scales for use
with children of ages five to eleven years. International Journal of
Science Education, 23(8), 847862.
Penn, J. H., Nedeff, V. M., & Gozdzik, G. (2000). Organic chemistry and the
Internet: A web-based approach to homework and testing using the
WE_LEARN system. Journal of Chemical Education, 77(2), 227231.
Perkins, D. N. (1993). Person-plus: A distributed view of thinking and
learning. In G. Salomon (Ed.), Distributed cognitions: Psychological
and educational considerations (pp. 88110). New York: Cambridge
University Press.
Peterson, R. F., & Treagust, D. F. (1998). Learning to teach primary science
through problem-based learning. Science Education, 82(2), 215237.
Pintrich, P. (2000). The role of goal orientation in self-regulated learning. In
M. Boekaerts, P. Pintrich, & M. Zeidner (Eds.), Handbook of selfregulation (pp. 452501). San Diego, CA: Academic Press.
Pintrich, P. R., Marx, R.W., & Boyle, R. A. (1993). Beyond cold conceptual
change: The role of motivational beliefs and classroom contextual in
the process of conceptual change. Review of Educational Research,
63(1), 167199.
Posner, G. J., Strike, K. A., Hewson, P. W., & Gertzog, W. A. (1982).
Accommodation of a scientific conception: Toward a theory of
conceptual change. Science Education, 66(2), 211227.
Pressley, M., Borkowski, J., & Schneider, W. (1989). Good information
processing: What is it and what education can do to promote it.
Journal of Experimental Child Psychology, 43(2), 194211.
Pressley, M., & Ghatala, E. S. (1990). Self-regulated learning: Monitoring
learning from text. Educational Psychologist, 25(1), 1933.
Pressley, M., & Wharton-McDonald, R. (1997). Skilled comprehension and
its development through instruction. School Psychology Review,
26(4), 448466.
Puntambekar, S. (1995). Helping students learn how to learn from texts:
Towards and ITS for developing metacognition. Instructional Science,
23(13), 163182.

Puntambekar, S., & duBoulay, B. (1997). Design and development of MIST:


A system to help students develop metacognition. Journal of
Educational Computing Research, 16(1), 135
Ramaswamy, S., Harris, I., & Tschirner, U. (2001). Student peer teaching:
An innovative approach to instruction in science and engineering
education. Journal of Science Education and Technology, 10(2), 165
171.
Ramey-Gassert, L., Shroyer, M. G., & Staver, J. R. (1998). A qualitative
study of factors influencing science teaching self-efficacy of
elementary level teachers. Science Education, 80(3), 283315.
Reiner, M., & Gilbert, J. (2000). Epistemological resource for thought
experimentation in science learning. International Journal of Science
Education, 22(5), 489505.
Reybold, L. E. (2001). Encouraging the transformation of personal
epistemology. Qualitative Studies in Education, 14(3), 413428.
Rickey, D., & Stacy, A. M. (2000). The role of metacognition in learning
chemistry. Journal of Chemical Education, 77(7), 915919.
Rosenshine, B., Meister, C., & Chapman, S. (1996). Teaching students to
generate questions: A review of the intervention studies. Review of
Educational Research, 66(2), 181221.
Roth, W. (1998). Science teaching as knowledgability: A case study of
knowing and learning during coteaching. Science Education, 82(3),
357377.
Roth, W., & Tobin, K. (2001). The implications of coteaching/cogenerative
dialogue for teacher evaluation: Learning from multiple perspectives
of everyday practice. Journal of Personnel Evaluation in Education,
15(1), 729.
Roth, W., McRobbie, C. J., Lucas, B., & Boutonne, S. (1997). Why may
students fail to learn from demonstrations? A social practice
perspective on learning in physics. Journal of Research in Science
Teaching, 34(5), 509533.
Roth, W., Tobin, K., & Zimmermann, A. (2002). Coteaching/cogenerative
dialoguing: Learning environments research as classroom praxis.
Learning Environments Research, 5(1), 118.
Scardamalia, M., & Bereiter, C. (1996). Computer support for knowledgebuilding communities. In T. Koschmann (Ed.), CSCL: Theory and
practice of an emerging paradigm (pp. 249268). Mahwah, NJ:
Erlbaum.
Schommer, M. (1994). Synthesizing epistemological belief research:
Tentative understandings and provocative confusions. Educational
Psychology Review, 6(4), 293320.
Schommer-Aikins, M. (2002). An evolving theoretical framework for an
epistemological beliefs system. In B. Hofer & P. R. Pintrich (Eds.),
Personal epistemology: The psychology of beliefs about knowledge
and knowing (pp. 103177).Mahwah, NJ: Erlbaum.
Schoon, K. J., & Boone, W. J. (1998). Self-efficacy and alternative
conceptions of science of preservice elementary teachers. Science
Education, 82(5), 553568.

Schraw, G., & Moshman, D. (1995). Metacognitive theories. Educational


Psychology Review, 7(4), 351371.
Schraw, G., & Olafson, L. J. (2002). Teachers epistemological world views
and educational practices. Issues in Education, 8(2), 99148.
Schunk, D. (1996). Goal and self-evaluative influences during childrens
cognitive skill learning. American Educational Research Journal, 33(2),
359382.
Shepardson, D. P. (1999). The role of anomalous data in restructuring
fourth graders frameworks for understanding electric circuits. Journal
of Science Education, 21(1), 7794.
Stratford, S. J. (1997). A review of computer-based model research in
precollege science classrooms. Journal of Computers in Mathematics
and Science Teaching, 16(1), 323.
Tabachnick, B. R., & Zeichner, K. M. (1999). Idea and action: Action
research and the development of conceptual change teaching of
science. Science Education, 83(3), 309322.
Thomas, G. P., & McRobbie, C. J. (1999). Using metaphors to probe
students conceptions of chemistry learning. International Journal of
Science Education, 21(6), 667685.
Thomas, G. P., & McRobbie, C. J. (2001). Using a metaphor for learning to
improve students metacognition in the chemistry classroom. Journal
of Research in Science Teaching, 38(2), 222259.
Tobin, K., & Tippins, D. J. (1996). Metaphors as seeds for conceptual
change and the improvement of science teaching. Science Education,
80(6), 711730.
Toth, E. E., Suthers, D. D., & Lesgold, A. M. (2002). The effects of
representational guidance and reflective assessment on scientific
inquiry. Science Education, 86(2), 264286.
Tsai, C. (2001). Collaboratively developing instructional activities of
conceptual change through the Internet: Science teachers
perspective. British Journal of Educational Technology, 32(5), 619
622.
Tsai, C. (2002). Collaboratively developing instructional activities of
conceptual change through the Internet: Science teachers
perspective. British Journal of Educational Technology, 32(5), 619
622.
Van Driel, J. H., & Verloop, N. (1999). Teachers knowledge of models and
modeling in science. International Journal of Science Education,
21(11), 11411153.
Van See, E. H. (2000). Analysis of a student-generated discussion. Journal
of Science Education, 22(2), 115142.
Vosniadou, S. (1994). Capturing and modeling the process of conceptual
change. Learning and Instruction, 4(1), 4569.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher
psychological processes (M. Cole, V. John-Steiner, S. Scribner, & E.
Souberman, Eds. and Trans.). Cambridge, MA: Harvard University
Press.
Weaver, G. C. (1998). Strategies in K-12 science instruction to promote
conceptual change. Science Education, 82(4), 455472.

Webb, N. W., & Palincsar, A. S. (1996). Group processes in the classroom.


In D. C. Berliner & R. C. Calfee (Eds.), The handbook of educational
psychology (pp. 841873). New York: Macmillan.
White, B. C. (2000). Pre-service teachers epistemology viewed through
perspectives on problematic classroom situations. Journal of
Education for Teaching, 26(3), 279305.

Anda mungkin juga menyukai