Cerita rakyat sebagai salah satu sumber sejarah perlu dikaji ditimba maknanya dan
diberikan interpretasi. Legenda tentang kedatangan Sang Bima di pulau Satonda,
barangkali dapat memberikan jawaban rasa ingin tahu tentang nama Mbojo.
Disebutkan dalam kitab BO bahwa Sang Bima di pulau Satonda bertemu pandang
dengan seekor naga bersisik emas. Sang naga itu melahirkan seorang putri yang
rupawan, puteri Tasi Sari Naga namanya. puteri Tasi Sari Naga dikawini dan
melahirkan dua orang putera yang bernama Indra Zamrud dan Indra Komala. Kedua
orang putera Sang Bima tersebut kelak menjadi cikal bakal keturunan raja-raja
Bima.
Perkawinan Sang Bima dengan puteri Tasi Sari Naga melambangkan persatuan
antara pendatang dengan penduduk setempat dengan penuh perdamaian. Melalui
perkawinan dan pertimbangan lain Dari mbojo sepakat untuk mengangkat Sang
Bima sebagai raja mereka. Kesepakatan itu disampaikan oleh Ncuhi Dara dan
didampingi Ncuhi Padolo.
Pengangkatan itu diterima baik oleh Sang Bima, namun tidak segera mengambil
kekuasaan atas federasi ncuhi. Pekerjaan sehari-hari tetap dilakukan oleh Dari
Mbojo dengan pimpinan Ncuhi Dara. Jabatan tersebut dipangkunya sampai kedua
putera Sang Bima kembali ke Bima. Sejak kejadian itu, federasi ncuhi berubah
statusnya menjadi kerajaan Bima dan Sang Bima selaku raja pertama yang terjadi
pada abad 11 M
Pada abad 12 M kedua anak dari seorang raja Bima, yaitu Ma Waa Bilmana dan
Manggapo Donggo dikirim ke Goa untuk belajar dan menambah pengetahuan. Tata
pemeri ntahan Gowa dipelajari dan didalami. Tidak heran kelak setelah mereka
pulang kembali ke Bima sistem pemerintahan yang ada disesuaikan seperlunya,
seperti menggunakan istilah Bicara untuk menggantikan istilah Tureli Nggapo,
gelarang untuk kepala desa, Gelarang NaE untuk menggantikan istilah Ncuhi.
Pengalaman baru diperoleh yaitu cara bercocok tanam dengan sistem irigasi,
belajar pula tentang pencetakan sawah, serta cara membuat bendungan dengan
saluran pengairan. Demikian pula tentang penggunaan bajak dan menanam padi di
sawah. Pengetahuan dan pengalaman baru tersebut sangat bermanfaat dalam
upaya pengembangan dan peningkatan taraf hidup masyarakat yang pada waktu
itu masih berada pada tingkat yang amat sederhana.
Hutan belantara yang berada di dataran rendah dibabat dan dijadikan sawah.
Bendungan dengan saluran irigasi sederhana dibangun. Seluruh rakyat yang berada
di sekitar lokasi dilibatkan dalam pencetakan sawah. Membajak dan menanam padi
di sawah diperkenalkan kepada rakyat.
Sawah-sawah yang dicetak dengan gotong-royong tersebut kemudian dibagibagikan. Sebagian untuk rakyat sekaligus menjadi hak miliknya; sedangkan
sebagian lagi untuk kerajaan. Yang kemudian dikenal dengan nama sawah hadat.
Dengan tanah tersebut pejabat hadat digaji agar jalannya roda pemerintahan
berdaya guna dan berhasil guna.
Bagi rakyat yang tidak mendapatkan pembagian, mereka diperkenankan utnk
mencetak sawah untuk miliknya sendiri. Hutan dan tanah datar yang berbukit-bukit
yang tidak bisa dijadikan sebagai sawah ditetapkan sebagi ruhu. Ruhu adalah tanah
datar lereng gunung yang hanya diperuntukkan tempat berburu raja-raja, yang
pada jaman sekarang dapat disamakan dengan hutan lindung.
Pada awal abad XVI, Bima berhasil mencapai kesejahteraan masyarakat yang
meningkat pesat dan keamanan terjamin. Sejak itu Bima sudah dapat menyediakan
beras kebutuhan rakyat dan daerah lain. Pada tahap permulaan, Bima mengadakan
hubungan tradisional dengan Gowa. Melalui pelabuhan dagang Gowa, pedagang
Bima memperdagangkan beras dan hasil hutan kesana. Jalur perdagangan Bima
dan Gowa mulai ramai. Sejak itu Bima mulai dikenal dan membuka hubungan
dengan daerah lain di Indonesia. Komoditas dagang Bima berupa beras, hasil hutan,
kain tenun, diperdagangkan di berbagai pelabuhan di Indonesia.
Kerajaan Bima telah mempunyai hubungan yang erat dengan Gowa, hubungan
yang saling menguntungkan, bahkan pada tahun 1616 Kerajaan Bima resmi berada
dalam pengawasan Gowa. Kerajaan Gowa pada saat itu sudah menerima dan
memeluk agama Islam, sehingga hubungan yang telah terjalin tidak hanya dalam
bidang perdagangan tetapi juga dalam bidang pengembangan agama Islam di
Kerajaan Bima. Raja Bima yang bernama Ma Ntau Asi Sawo telah membuat suatu
perjanjian dengan kerajaan Gowa dalam masalah penyebaran agama Islam di Bima.
Majelis Hadat yang terdiri dari Tureli, Jeneli, dan Bumi Nae
Tureli, Jeneli, dan Bumi NaE dipilih langsung oleh rakyat dari kalangan Dari atau
kepala suku melalui pemilihan bertingkat. Pemilihan dimulai pada tingkat
desa/kampung untuk memilih kepala kampung atau gelarang kepala yang
jumlahnya tiga orang yang meliputi daerah Ncuhi dahulu, yaitu Bolo, Belo, dan
Sape.
Kesultanan Bima
Dari transkrip kitab BO dapat diketahui bahwa agama Islam masuk di Bima melalui
pelabuhan Sape pada tahun 1028 H bertepatan dengan tahun 1617. Misi Islam
Sultan Gowa penuh kedamaian dengan melalui jalur perdagangan dan keluarga.
Pada tanggal 15 Rabiul awal 1050 H atau 1640 M, Abdul Kahir (La Kai) dinobatkan
menjadi Raja Bima dengan gelar Rumata Ma Bata Wadu sekaligus menjadi Sultan
pertama (mengakhiri masa kerajaan menjadi masa kesultanan) dalam era Islam.
Sultan Abdul Kahir merupakan pusat kekuasaan kerajaan. Disamping itu sultan
menempatkan dirinya sebagai pendamping dan pelindung mubaliq Islam. Sultan
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya dan didukung oleh fasilitas yang
memadai guna keberhasilan penyiaran agama Islam ke seluruh negeri. Langkah
pertama yang ditempuh adalah meng-Islam-kan kalangan keluarga istana dan
pejabat hadat.
a. Majelis Tureli atau Majelis Sara, yaitu suatu dewan pemerintahan yang komposisi
dan jumlah anggotanya tetap sebagaimana sebelumnya.
b. Majelis Hadat atau Majelis Sara Tua semacam suatu dewan perwakilan yang
beranggotakan para pejabat Hadat dalam istana dibawah pimpinan Bumi Luma
RasanaE dan Bumi Luma Bolo masing-masing sebagai ketua dan wakil ketua
majelis.
Majelis Paruga Suba dibagi menjadi Majelis Tureli (Majelis Sara), Majelis Hadat
(Majelis Sara Tua) dan Majelis Syariyyah (Majelis Hukum). Majelis Syariyyah
sebagai pengemban hukum Islam dalam Majelis Paruga Suba yang dipimpin oleh
seorang Qadi. Majelis hukum dalam Majelis Paruga Suba dapat pula menjelmakan
dirinya sebagai lembaga arbitrasi yang akan menetapkan syah atau tidaknya suatu
keputusan majelis menurut hukum Islam. Apabila keputusan tersebut tidak sesuai
dengan Hukum Islam, maka keputusan itu ditolak atau ditangguhkan dalam waktu
yang tak terbatas.
Sultan dan dan perangkan Hadat melaksanakan pemerintahan atas dasar hukum
dan Hadat. Moto sebagai alat motivasi dan pengawasan yang digunakan adalah
Maja Labo Dahu yang mengandung makna :
1.
2.
Patuh dan taat kepada peraturan pemerintah serta norma yang berlaku dalam
masyarakat
3.
Memahami apa yang disuara kan dalam bicara, tidak asal bunyi.
4.
5.
6.
7. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah artinya lebih baik memberi
daripada meminta.
Santabe