Anda di halaman 1dari 29

1. Jelaskan dan berikan gambaran anatomi kelenjar saliva dan duktus biliaris.

Anatomi Kelenjar Salivari

Terdapat 3 pasangan kelenjar saliva mayor yang mensekresi air liur : Kelenjar
parotid, submandibular, dan kelenjar sublingua.

600-1,000 minor salivary glands terdapat hamper di semua bagian cavitas oral
dan orofaring, berkontribusi menghasilkan sebagian kecil air liur.

Parotid Gland
Kelenjar parotis merupakan kelenjar saliva yang terbesar, terletak di region
preaurikula dan berada dalam jaringan subkutis. Kelenjar ini memproduksi sekret
yang sebagian besar berasal dari sel-sel asini. Kelenjar parotis terbagi oleh nervus
fasialis menjadi kelenjar supraneural dan kelenjar infraneural. Kelenjar
supraneural ukurannya lebih besar daripada kelenjar infraneural. Kelenjar parotis
terletak pada daerah triangular yang selain kelenjar parotis, terdapat pula
pembuluh darah, saraf, serta kelenjar limfatik. Produk dari kelenjar saliva
disalurkan melalui duktus Stensen yang keluar dari sebelah anterior kelenjar
parotis, yaitu sekitar 1,5 cm di bawah zigoma. Duktus ini memiliki panjang
sekitar 4-6 cm dan berjalan ke anterior menyilang muskulus maseter, berputar ke
medial dan menembus muskulus businator dan berakhir dalam rongga mulut di
seberang molar kedua atas. Duktus ini berjalan bersama dengan nervus fasialis
cabang bukal.

Gambar 1. Struktur di sekitar kelenjar saliva

Submandibular gland
Kelenjar submandibula merupakan kelenjar saliva terbesar kedua setelah kelenjar
parotis. Kelenjar ini menghasilkan sekret mukoid maupun serosa, berada di
segitiga submandibula yang pada bagian anterior dan posterior dibentuk oleh
muskulus digastrikus dan inferior oleh mandibula. Kelenjar ini berada di medial
dan inferior ramus mandibula dan berada di sekeliling muskulus milohioid,
membentuk huruf C serta membentuk lobus superfisial dan profunda.
Lobus superfisial kelenjar submandibula berada di ruang sublingual lateral. Lobus
profunda berada di sebelah inferior muskulus milohioid dan merupakan bagian
yang terbesar dari kelenjar. Kelenjar ini dilapisi oleh fasia leher dalam bagian
superfisial. Sekret dialirkan melalui duktus Wharton yang keluar dari permukaan
medial kelenjar dan berjalan di antara muskulus milohioid. Dan muskulus
hioglosus menuju muskulus genioglosus. Duktus ini memiliki panjang kurang
lebih 5 cm, berjalan bersama dengan nervus hipoglosus di sebelah
Sublingual gland
Kelenjar sublingual merupakan kelenjar saliva mayor yang paling kecil. Kelenjar
ini berada di dalam mukosa di dasar mulut, dan terdiri dari sel-sel asini yang
mensekresi mukus. Kelenjar ini berbatasan dengan mandibula dan muskulus
genioglosus di bagian lateral, sedangkan di bagian inferior dibatasi oleh
muskulus milohioid. Drainase dari duktus ini keluar dari beberapa duktus kecil
yang disebut the ducts of rivinnus.

Gambar 2. Anatomi Kelenjar Saliva

Anatomi Kandung Empedu dan Duktus Biliaris

Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir, yang terletak
pada permukaan inferior dari hati pada garis yang memisahkan lobus kanan dan
kiri, yang disebut dengan fossa kandung empedu. Ukuran kandung empedu pada
orang dewasa adalah 7cm hingga 10 cm dengan kapasitas lebih kurang 30mL.
Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat longgar , yang
mengandung vena dan saluran limfatik yang menghubungkan kandung empedu
dengan hati. Kandung empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus,
korpus, infundibulum, dan kolum (Avunduk, 2002).
Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit, yang kemudian menuju ke
duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan
kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta hepatis.
Ketika duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan duktus hepatikus
komunis, maka terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis
secara umum memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati
duodenum menuju pangkal pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri
(Avunduk, 2002).
Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang berasal
dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi pada tiap tiap
orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan (Debas, 2004).
Aliran vena pada kandung empedu biasanya melalui hubungan antara vena vena
kecil. Vena-vena ini melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati dan
bergabung dengan vena kolateral dari saluran empedu bersama dan akhirnya
menuju vena portal. Aliran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran
venanya. Cairan limfa mengalir dari kandung empedu ke hati dan menuju duktus
sistika dan masuk ke sebuah nodus atau sekelompok nodus. Dari nodus ini cairan
limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada vena portal. Kandung empedu
diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati
pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf
postganglionik simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama
dengan arteri hepatik dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf
parasimpatetik berasal dari cabang nervus vagus (Welling & Simeone, 2009).

Gambar 3. Gambaran sistem duktus hepatobilier dan pancreas.


2. Jenis-jenis pemeriksaan radiologis pencitraan duktus biliaris.
Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP merupakan prosedur diagnosis dan intervensional menggunakan endoskopi
dan fluoroskopi dengan tujuan pemeriksaan dan juga sekligus dapat dilakukan
intervensi duktus biliaris dan pankreas. Hal ini biasanya dilakukan oleh dokter
yang memiliki lisensi untuk melakukan endoskopi, seperti ahli bedah umum, dari
pada oleh ahli radiologis.
Prosedur ini meliputi dimasukkannya endoskopi hingga duodenum desenden dan
kemudian dilakukan kanulasi terhadap ampula vateri, setelah hal tersebut
dilakukan, kontras akan disuntikkan sehingga saluran duktus biliaris normal akan
terisi oleh kontrasi, selain itu, berbagai prosedur lain terhadap duktus biliaris
dapat langsung dilakukan dengan ERCP.
Dalam hal pemeriksaan duktus bilier yang hanya dilakukan untuk kepentingan
diagnosis saja, belakangan ini pemeriksaan CT intravenous cholangiograms dan
MRCPs menjadi lebih popular dibandingkan ERCP, hal ini disebabkan

komplikasi dari prosedur ERCP jauh lebih besar. Pneumobilia merupakan


komplikasi umum yang terjadi setelah dilakukannya prosedur ERCP. (terutama
apabila telah dilakukannya sphincterotomy). Komplikasi lainnya meliputi :
Pankreatitis, perdarahan, perforasi yang menyebabkan pneumoperitoneum dan
infeksi. Pemeriksaan ini diindikasikan pada kecurigaan adanya batu saluran
empedu atau pada duktus pankreatikus, evaluasi dari kecurigaan adanya
keganasan pada pankreas, evaluasi adanya pancreatitis idiopatik, evaluasi sfingter
oddi, ataupun untuk melakukan suatu prosedur seperti pemasangan stent atau
ballon untuk dilatasi striktur duktus biliaris atau pankreatikus. Kontraindikasi
meliputi : Sensitif terhadap media kontras, Pyloric stenosis menghalangi
endoskopi, Acute pancreatitis.

Gambar 4. Posisi endoskopi pada prosedur ERCP.


PERSIAPAN ALAT
Pesawat sinar-x dan fluoroskopi
Fiber optic endoscope : satu bendel glass fibre disatukan dan xenon light

illuminator ditengah alat ini ada saluran untuk masuk kateter untuk memasukkan
media kontras.
Kaset dan film
Apron
Gonad shield
Kateter
Media kontras
Obat dan peralatan emergensi
PERSIAPAN PASIEN
Tanyakan apakah pasien hamil atau tidak.
Tanyakan apakah pasien mempunyai riwayat asma atau tidak.
Pasien diminta menginformasikan tentang obat-obatan yang dikonsumsi.
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan 1-2 hari sebelumnya.
Pasien puasa 5-6 jam sebelum pemeriksaan dimulai.
Bila diperlukan, pasien dapat diberikan antibiotik.
Penandatanganan informed consent.
Plain foto abdomen.
Premidikasi ameltocaine lozenge 30 mg.
Media kontras : untuk panceatic duct diberikan angiografin 65% atau sejenisnya
dan untuk billiary duct diberikan Conray 280 atau sejenisnya.
TEKNIK RADIOGRAFI
Pasien miring disisi kiri pada meja pemeriksaan.
Endoskop dimasukan melalui mulut kedalam oesophagus selanjutnya melewati
gaster melalui duodenum.
Endoskopi diposisikan pada bagian tengah duodenum dan papilla vateri.
Poly kateter diisi media kontras (berada dipertengahan endoskopi).
Biasanya pancreatic duct diisi media kontras selanjutnya billiary duct.
Dibuat spot foto dipandu dengan fluoroscopy.

Gambar 5. Struktur duktus biliaris pada ERCP


Percutaneous transhepatic cholangiography (PTC)
Merupakan sebuah tehnik radiografi yang dilakukan untuk mendapatkan
visualisasi traktus biliaris, dan dapat digunakan sebgi langkah awal dalam
melakukan berbagai prosedur intervensi yang berkaitan dengan traktus
biliaris. (contoh: percutaneous transhepatic biliary stent placement)
Indications
PTC yang dilakukan hanya dengan tujuan diagnosis dilakukan apabila metode
visualisasi duktus biliari yang kurang invasive lain seperti MRCP, ERCP, atau CT
IVC telah dilakukan dan hasil yang didapatkan kurang memuaskan. Indikasi dari
PTC antara lain sebagai berikut :

ERCP gagal dilakukan / ERCP tidak mungkin dilakukan (e.g. pasien


dengan gastrojejunostomy)

Adanya kalkuli intra atau ekstrahepatik

identifikasi sebab jaundice obstruktif. Dan membedakannya dengan


etiologi lain.

evaluasi anatomi dari komplikasi ERCP

adanya gambaran kebocoran empedu.

Contraindications
kecendrungan perdarahan

ascites

Procedure
Preprocedural evaluation
Sebelum memulai prosedur, perlu dilakukannya evaluasi dari beberapa
pemeriksaan radiologis yang pernah dilakukan sebelumnya, untuk menilai apakah
perlu dilakukannya prosedur invasive ini. Hal lain yang perlu diperiksa ialah
pemeriksaan fungsi hepar, pemeriksaan darah lengkap, profil koagulasi, apabila
hasil pemeriksaan dari beberapa tes tersebut menunjukkan hasil yang abnormal,
maka perlu dilakukan usaha pengoreksian sebelum dilakukannya prosedur PTC.
Positioning / room set up
Prosedur biasanya dilakukan dengan anestesi local dengan atau tanpa sedasi,
tergantung dari tingkat kooperasi pasien dan perkiraan lamanya prosedur serta
seberapa invasifnya prosedur yang dilakukan.
Sebuah kanula IV harus terpasang untuk mempermudah akses ke pembuluh darah
selama dilakukannya prosedur. Diberikannya antibiotic spekrum luas sebelum
dilakukannya prosedur juga dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya infeksi
post prosedur PTC.
Peralatan

routine trolley pack

Chiba needle (22 G, 15 cm long)

connecting tube

water soluble iodinated contrast

Technique
Titik dimasukkannya jarum biasanya ditentukan dengan menggunakan bantuan
penunjuk dari USG. Fluoroscopy secara langsung masih sering digunakan.
Sebuah jarum yang memiliki dua bagian, (sekitar 15 cm) 22 G dimasukkan
dengan bantuan penunjuk dari ultrasound kedalam salah satu duktus perifer,
setelah melepas stylet jarum, dapat terlihat adanya refluks cairan empedu pada

ujung jarum atau dapat dilakukan injeksi sedikit kontras untuk mengonfirmasi
telah terpunksinya duktus dalam fluoroskopi. Setelah ditemukan posisi jarum
yang diinginkan, disuntukkan kontras secukupnya sehingga kontras dapat
mengisis saluran duktus biliaris dan menghasilkan visualisasi duktus biliaris
sehingga dapat diidentifikasikan keadaan patologi apa yang terjadi pada duktus
biliaris.
Postprocedural care
Apabila tidak ada tanda-tanda komplikasi terjadi, maka tidak ada perawatan postprosedur yang khusus, kecuali perlunya pemantauan kardiovaskular pasien.
Complications

peritonitis bilier

perdarahan

cholangitis

Gambar 6. Percutaneous Transhepatic Cholangyography

Gambar 7. Gambaran struktur duktus biliaris dalam pemeriksaan PTC.

T-tube cholangiograms
Merupakan

prosedur

pemeriksaan

dengan

fluoroskopi

dilakukan

untuk

mendiagnosis adanya kelaianan pada struktur hepatibilier.


Biasanya, dilakukan pemasangan tube berbentuk T pada common bile duct pada
saat dilakukannya prosedur operasi (contoh pada saat dilakukan cholecystectomy)
hal ini dilakukan untuk mempermudah dilakukannya eksplorasi common bile dict
(choledochotomy) dan pengambilan batu pada saluran empedu. Hal ini juga
dilakukan untuk mempermudah dilakukannya evaluasi post-operasi yang
dilakukan pada duktus bilier, seperti memeriksa apakah masih ada obstruksi biler
yang tersisa pasca dilakukannya operasi, atau apakah ada kebocoran dari duktus
bilier. Hal ini biasanya dilakukan pada hari ke 7-10 pasca operasi.

Gambar 8. Gambaran T tube cholangiography post cholecystectomi.

Gambar 9. Gambaran striktur pada Common Bile Duct, T tube Cholangiography

Gambar 10. Gambaran choledocolitiasis, kontras tidak memenuhi duodenum.


Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP)
Merupakan prosedur untuk mendapatkan visualisasi duktus biliaris intra dan
ekstrahepatik yang bersifat tidak invasive. Hasil ketepatan diagnosis dengan
pemeriksaan MRCP sebanding dengan diagnosis yang didapat dengan
pemeriksaan ERCP, oleh karena itu, metode ini lebih banyak digemari karena
resiko komplikasinya yang lebih rendah disbanding pemeriksaan ERCP.
Indications
MRCP dapat dilakukan untuk mengevaluasi berbagai kondisi kelainan duktus
pankreatobiliaris. Contonya ialah :

Identifikasi kelainan congenital pada duktus sistikus dan hepatikus

Evaluasi Kompliasi anatomi duktus biliaris post operasi.

pancreas divisum

anomalous pancreaticobiliary junction

choledocholithiasis

biliary strictures

chronic pancreatitis

pancreatic cystic lesions

trauma to biliary system

Prinsip Fisika
Tehnik pemeriksaan ini memanfaatkan adanya cairan pada duktus biliaris dan
pankreatikus sebagai agen kontras denagn menghasulkan gambaran menggunakan
heavily T2 weighted sequences. Karen struktur yang terisi cairan dalam abdomen
memiliki waktu relaksasi T2 yang panjang dibandingkan dengan struktur jaringan
lunak sekitarnya, struktur ini akan tampak hyperintense dibandingkan dengan
jaringan sekitarnya, dan jaringan dalam sekuensi heavily T2 weighted dapat
dengan mudah dibedakan.
Technique and protocols
Tidak ada kontras yang diadministrasikan ke dalam tubuh.
Pasien dianjurkan berpuasa Selma 4 jam sebelum pemeriksaan dilakykan dan
diharuskan mengurangi sekresi gastroduodenal, mengurangi motilitas untuk
menyingkirkan artefak berupa gerakan dan memperjelas distensi kandung
empedu. MRCP dilakukan dalam sistem MRI dnegan kekuatan 1.5-T atau
diatasnya. Menggunakan sebuah phased-array body coil.
Semua protokol akan menghasilkan sekuensi T2 weighted. Sekuensi yang paling
umum didapatkan ialah :

RARE: rapid acquisition and relaxation enhancement

FRFSE: fast-recovery fast spin-echo coronal oblique 3D respiratory


triggered

HASTE: half-Fourier acquisition single shot turbo spin echo- Axial 2D


breath hold sequence yang menyajikan gambaran yang superior dan dapat
dihasilkan dengan sekali menahan nafas (<20 detik) dan merupakan
sekuens yang memiliki gambaran lemak yang sedikit.

Sekuens tambahan yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi dinding


duktus ialah fat suppressed T1 GRE sequence

Untuk visualisasi optimum dari duktus, gambar yang didaptkan kemudian


diformat ulang dalam bidang yang berbeda menggunakan multiplanar
reconstruction (MPR) dan maximum intensity projection (MIP).
Kelebihan dari FRFSE, sebagai tehnik 3D , ialah kemampuannya dalam
memungkinkan dilakukannya multiplanar reconstructions. Namun, walaupun
sekuensi ini sangatlah rentan dengan artifak akibat gerakan.
Technical modifications
Seiring evolusi tehnik MRCP, beberapa modifikasi tehnik akhirnya dilakukan.
Beberapa modifikasi tehnik yang biasanya dilkukan dalam pemeriksaan MRCP
ialah:

secretin stimulated MRCP

functional MRCP

negative oral contrast untuk menghilangkan gambaran duodenum


o

dapat dilakukan dengan menggunakan agen yang dijual secara


komersil

produk natural seperti jus anans yang kaya akan manganese dan
dapat memperpendek waktu relaksasi T2.

Gambar 11. Gambaran MRCP menunjukkan adanya choledocolitiasis.

CT cholangiography
Merupakan sebuah tehnik pencitraan duktus biliaris menggunakan kontras yang
diekskresikan sistema hepatobiliaris. Merupakan sebuah metode yang dapat
menggambarkan anatomi sistem hepatobilier dengan baik.
Indications
Merupakan pemeriksaan lini ke 2 (setelah ultrasound) dalam menginvestigasi
kelainan dengan manifestasi berupa rasa sakit pada kuadran kanan atas,
obstructive LFTs, etc. dapat juga digunakan dalam keadaan post operasi (e.g. post
cholecystectomy) dimana dicurigai adanya kebocoran cairan empedu.
Technique
CT cholangiography dapat dilakukan dengan kontras yang dimasukkan secara IV
ataupun oral keduanya dilakukan dengan kontras positif.
Agents

meglumine iotroxate (BiliscopinTM): intravenous CT cholangiography


agent

Temuan

choledocholithiasis

biliary stricture

bile leak / biloma

penyebab obstruksi biliaris lain, e.g. pancreatic head tumours

Kontraindikasi

bilirubin harus < 30 mmol/

idealnya fungsi hepar harus normal atau mendekati normal.

Harus dipastikan tidak ada reaksi alergi terhadap kontras

Gambar 12. Gambran CT scan cholangiography, memperlihatkan batu pada


common bile duct.
Ultrasound
Merupakan tehnik yang paling sering digunakan dlam melakukan pemeriksaan
terhadap pasien dengan manifestasi klinis rasa sakit pada perut kuadran kanan
atas., abnormal LFTs, atau suspek massa pada hepar. Merupakan metode skrining
non-invasif yang sangat efisien.
Digunakna untuk mengevaluasi adanya obstruksi pada duktus biliaris dan adanya
batu empedu. Dan juga digunakan untuk membedakannya dengan massa kistik.
Pasien harus NPO (nothing-by-mouth) apabila akan melakukan pemeriksaan
penciraan duktus biliaris menggunakan ultrasound. Puasa akan mendistensikan
kandung empedu dan mengurangi udara dalam usus yang mungkin dapat
mengaburkan visualisasi porsi kandung empedu. Makanan meningkatkan
ketebalan dinding kandung empedu dan menyerupai penebalan dinding yang
bersifat patologis. 4 jam merupakan waktu yang cukup untuk melakukan puasa
pada anak kecil, waktu 6-8 jam diperlukan bagi anak berusia di atas 12 tahun dan
dewasa. Pasien harus diinformasikan untuk tidak merokok selama periode puasa,
karena rokok dapat menyebabkan duktus biliaris berkontraksi.
Tehnik Pemeriksaan

Mulai pemeriksaan dengan memposisikan pasien dengan posisi supinasi.


Pasien dapat digerakkan ke rah posterior oblique kiri, left decubitus atau
bahkan tegak.

Dapatkan panjang total daru kandung empedu dari vena porta ke fundus
(7-10cm) dan gambaran transverse (3cm) pada representative levels. Ukur
keteblan kandung mepedu (hingga 3mm) perpendicular dari dinding.
Lihat apakah ada gambaran batu ataupun dilatasi duktus.

Apabila terlihat adanya gambaran batu, evaluasi apakah batu tersebut


bersifat mobil atau impakta. Gerakkan pasien ke posisi tegak atau lateral
dekubitus untuk melihat pergerakan batu.

Rolling stone sign bergeraknya batu empedu pada perubahan posisi.

Gambar 13. Memperlihatkan perubahan posisi batu saluran empedu pada


gambaran USG.

Dapatkan panjang penuh dari common bile duct (CBD) atau sebanyak
mungkin, dan ukur diameter CBD (Normal hingga 6mm hingga usia 60
tahun dan meningkat 1 mm tiap bertambah usia 1 tahun).

Dapatkan gmbran kaput pankreas secara transversal dan longitudinal.

3. Kelainan sistem bilier dan gambaran radiologinya


Pemeriksaan pencitraan sangat berharga untuk mendiagnosis penyaki
tinfiltrative dank olestatik. USG abdomen, CT Scan, MRI sering bisa
menemukan metastasis dan penyakit fokal pada hati (Lesmana, 2008).

Gambar 14. Gambaran USG Hepatitis Akut :Starry Sky Pattern pada
hepatitis akut

Gambar 15.a.Abses amebik, pada USG menunjukkan lesi yang


hipoekoik. b. Abses bakterial, pada USGmenunjukkan adanya lesi yang
hipoekoik pada bagian anterior dengan dindingyang menebal

Gambar 16. a) Wanita 61 tahun dengan metastase


hepatoselularkarsinoma. Dari USG menunjukkan massa hyperechoic
dengan kapsul yang Hypoechoic (anak panah) di bagian lobus kanan hati.
Dan terlihat juga echogenic needle ; b) Laki-laki 50 tahun dengan riwayat
sirosis dan hepatitis B dan C. USG-nya menunjukkan gambaran
massahipoekoik pada lobus kanan hepar; c) Pada USG terlihat adanya lesi
encapsulated yang hiperecoik kontur dari liver yang irreguler

Gambar 17.Gambaran USG kandung empedu disertai dengan batu dan


acoustic shadow (kolelitiasis)

Kista koledokal
Dilatasi kongenital pada duktus biliaris ekstrahepatik.
Klasifikasi Todani :
Tipe V : tidak terlihat pada bagian kiri yaitu Caroli disease.
Tipe I adalah kista koledokal sejati dengan dilatasi fokal pada duktus
ekstrahepatik. Yang paling sering (90-95%)
Tipe IV adalah kista koledikal sejati dengan dilatasi seluruh duktus ekstrahepatik
dengan pengembangan pada bagian duktus intrahepatik.
Tipe II dan III sangat jarang dan didebatkan sebagai kista koledokal palsu
Tipe II adalah adanya divertikulum pada duktus ekstrahepatik dan tidak terkait
anomali pancreatico-biliary junction.
Tipe III adalah koledokokel, dilatasi pada bagian distal duktus biliaris.

Recurrent Pyogenic Cholangitis (RPC)


Adanya pigmen batu intrahepatik dan infeksi rekuren. Adanya dilatasi fokal pada
duktus biliaris pada lobus kiri dengan adanya batu

Recurrent pyogenic cholangitis of the left lobe with intrahepatic stones


Kolangitis Sklerosis Primer
Dilatasi duktus biliaris intrahepatik dan diatasi sedang.

Primary sclerosing cholangitis: MRCP and ERCP

Tanda utamanya adalah striktur tetapi pada awal penyakit sulit dideteksi, selain itu
juga ditemukan fibrosis

Primary sclerosing cholangitis.Cholangiographic findings


Pada kolangiografi ditemukan Beading (bentuk striktur dan normal dilatasi
duktus), Pruned-tree (duktus biliaris distal menyempit dan sulit dilihat),
uregularitas mural (tepi lumen irreguler), dan divertikula

Kolangiokarsinoma

Hiar Cholagiocarcinoma. Notice the superiority of ERCP to MRCP. The image on


the right nicely demonstrates the shouldering at the hilum and the multiple
strictures.

Klatskin Tumor Klasifikasi bismuth

Bismuth-Corlette type I tumor with abrupt stricture and shouldering below the
confluens

Bismuth-Corlette type II tumor with extention into the origin of the right and left
hepatic duct.

Bismuth-Corlette type III Klatskin-tumor.IIIa tumor menjalar ke bagian kanan


dan IIIb tumor menjalar ke duktus hepatikus sinistra

Bismuth-Corlette type IIIa Klatskin-tumor. Pada gambaran PTC adanya ekstensi


pada duktus hepatikus dekstra

Bismuth-Corlette type IV Klatskin-tumor. Pada sebelah kiri merupakan ilustrasi


ERCP dengan ekstensi pada duktus hepatikus dekstra dan sinistra

Koledokolithiasis
Pada MRCP terdapat filling defect pada sistem bilier

Kolangiolithiasis pada kolangiogram T-tube

Anda mungkin juga menyukai