I.
DEFINISI
Abses bartolini didefinisikan sebagai kantong berisi nanah yang terdapat
pada glandula bartolini sebagai akibat adanya inflamasi pada kelenjar bartolini
yang menyebabkan penutupan dari duktus kelenjar tersebut. Inflamasi terjadi
akibat dari infeksi polimikrobial baik itu flora aerobik maupun anaerobik (spesies
bacteroides dan koloni bakteri vagina lainnya). C. trachomatis dan N.
gonorrhoeae adalah yang paling sering ditemukan.1,2
Selain itu, abses bartolini juga dapat terjadi pada kista yang mengalami
infeksi. Kista bartoloni sendiri merupakan pembesaran berisi cairan yang terjadi
akibat sumbatan pada salah satu duktus sehingga mukus yang dihasilkan tidak
dapat disekresi. 1,2
II. EPIDEMIOLOGI
Kista dan abses bartolini adalah masalah terbanyak ditemukan pada
perempuan usia reproduktif. Frekuensi tersering timbulnya kista dan abses
bartolini terutama umur 20-29 tahun, yang merupakan insidens tertinggi. Abses
hampir 3 kali lebih sering dibandingkan kista bartolini.1,3
Pada suatu penelitian kasus, perbandingan abses dan kista adalah 2,9 : 1.
Pada penelitian lain, ditemukan bahwa perempuan kulit hitam dan putih lebih
mudah terkena kista atau abses dibandingkan dengan perempuan hispanik, dan
pada perempuan yang sering melahirkan mempunyai resiko yang lebih rendah.
Peningkatan involusi pada kelenjar bartolini terjadi sampai wanita mencapai usia
30 tahun. Hal ini menjelaskan bahwa terjadi peningkatan kejadian dari kista
bartolini dan abses bartolini pada usia reproduktif, terutama pada usia 20-29
tahun.1,3
ETIOPATOGENESIS
2
Obstruki dari duktus bartolini dapat memicu terjadinya kista. Kista dapat
terinfeksi, dan sekret purulen menjadi hasil dari terjadinya abses. Obstruksi distal
saluran Bartolini bisa mengakibatkan retensi cairan, dengan dihasilkannya dilatasi
dari duktus dan pembentukan abses atau kista. Kista dapat terinfeksi, dan abses
dapat berkembang dalam kelenjar. Kista Bartolini tidak selalu harus terjadi
sebelum abses kelenjar. Abses kelenjar Bartolini adalah abses polimikrobial.
Operasi vulvovaginal adalah penyebab tidak umum yang dapat memicu terjadinya
kista dan abses tersebut.4,6,7
Abses Bartolini dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri. Ini termasuk
organisme yang menyebabkan penyakit menular seksual seperti Klamidia dan
Gonore (Neisseria Gonorrhea) serta bakteri yang biasanya ditemukan di saluran
pencernaan, seperti Escherichia coli. Meskipun Neisseria gonorrhoeae adalah
mikroorganisme
aerobik
yang
dominan
mengisolasi,
bakteri
anaerob
adalah patogen yang paling umum. Chlamydia trachomatis juga mungkin menjadi
organisme kausatif. 7
V. MANIFESTASI KLINIS
Keluhan pasien pada umumnya adalah demam, malaise, benjolan, nyeri,
dan dispareunia. Penyakit ini bisa menjadi ringan sampai sering terjadi rekurens.
Adapun jika kista terinfeksi maka dapat berkembang menjadi abses Bartholini
dengan gejala klinik berupa:1,6
VI.
DIAGNOSIS
Anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik sangat mendukung suatu
lebih dari 40 tahun, kegagalan penyembuhan dengan pengobatan yang teratur, ada
riwayat menderita keganasan labial dan kronik dan atau tidak nyeri sama sekali.1
VII.
DIAGNOSA BANDING
Diagnosa banding dari kista dan abses bartolini ini meliputi lesi kistik dan
Kista sebaseus
Kista sebaseus pada vulva menyerupai kista pada daerah lain. Kista ini
terdapat pada epidermis dan sering asimtomatik.
Kista Epidermal
Merupakan pembesaran jinak, dapat digerakkan, tidak nyeri, dapat
disebabkan oleh trauma atau sumbatan pada duktus pilosebaseus.
Lokasi tersering adalah labium mayora, tetapi dapat pula mengenai
labium minora. Kista ini dapat mincul sporadik, sebagai kelainan yang
5
Lipoma
Lipoma dapat muncul pada labia mayora atau klitoris dan dapat
menjadi sangat besar. merupakan tumor jinak yang berkembang
lambat, sesil ( tidak bertangkai) atau pedunkulus (bertangkai).
VIII. PENATALAKSANAAN
Pengobatan untuk infeksi glandula bartolini bergantung pada gejala yang
dialami pasien. Wanita usia kurang dari 40 tahun tanpa gejala tidak memerlukan
pengobatan. Terapi simptomatik untuk selulitis, dengan atau tanpa abses, terdiri
dari antibiotik spektrum luas dan warm sitz bath. Pada kasus abses yang terisolir
tanpa adanya bukti dari selulitis, antibiotik tidak dianggap perlu. Ruptur spontan
dan drainase dari abses kadang terjadi. Pengobatan pasti mencakup operasi
drainase dengan word catheter, marsupilisasi, atau eksisi.2
Pilihan pengobatan untuk abses yang bergejala adalah word catheter, yang
mana memberikan hasil yang tepercaya dan sebagai metode yang memiliki tingkat
keberhasilan tinggi menciptakan fistula dari duktus sampai vestibula. Idealnya,
kateter harus tetap terpasang selama 4-6 minggu, dimana pembentukan sinus
epithelial masih akan berlangsung. Sitz bath dua sampai tiga kali sehari setelah
prosedur dapat membantu mengurangi rasa tidak nyaman, menjaga area tersebut
tetap bersih, dan mempercepat proses penyembuhan.2
Jika abses terlalu dalam, penggunaan word catheter tidak dapat dijalankan,
dan pilihan lain harus dipertimbangkan. Insisi sederhana dan drainase adalah
prosedur yang mudah tapi ditakutkan karena beresiko tinggi terjadinya abses yang
rekuren. Jika abses berulang, pengobatan pasti dalam bentuk marsupilisasi atau
eksisi komplit dari kelenjar mungkin diperlukan. Marsupilisasi merupakan
prosedur yang lebih kompleks, meliputi insisi dan drainase yang kemudian diikuti
dengan menjahit dinding kista pada kulit. Eksisi dari duktus dan glandula bartolini
adalah pilihan lain. Eksisi hanya dapat dilakukan jika tidak ditemukan infeksi
aktif.2
IX.
PROGNOSIS
Perbaikan yang sangat memuaskan ditunjukkan hanya 10% pada kejadian
abses yang rekuren pada masa akan datang. Sangat penting menangani penyebab
timbulnya abses seperti Gonorrhea, Chlamydia dan infeksi bakteri lainnya.1
Luka post operasi mengalami pemulihan dalam beberapa hari hingga 2
minggu. Hal ini tergantung dari ukuran abses atau kista dan jenis prosedur yang
digunakan. Kebanyakan prosedur operasi selain insisi dan drainase, efektif
mencegah infeksi berulang.1
DAFTAR PUSTAKA
2. Farage MA, Maibach HI. Benign Vulvar Nodules and Tumors In: The
Vulva natomy, physiology, and pathology. New York: Informa Healthcare
USA, Inc. 2006. p. 123-125.
3. Faller A, Schunke M. Schunke G. Vestibule (Vestibulum Vaginae), Labia
Majora and Minora, and Clitoris In: The Human Body. New York: Thieme.
2004. p.496.
4. Omole Folashade, Simmons JB. Management of Bartholins Duct Cyst and
Gland Abscess. American Family Physician. 2003. Vol 68. p.135-140.
5. Guyton AC, Hall JE. Female Physiology Before Pregnancy and Female
Hormones In: Guytons Textbook. Philadelphia, Pennsylvania: Elsivier Inc.
2006. 11th ed. p. 1023.
6. Burns T, Breathnach S, Cox N, et al. The Genital, Perianal, and Umbilical
Regions In: Rooks Textbook of Dermatology. Oxford, UK: Blackwell
Publishing Ltd. 2010. 8th ed. Vol 1. p.71.68.
7. Schorge JO, Schaffer JI, Malvorson LM, et al. Cystic Vulvar Tumors In:
Williams Gynecology. China: Mc-Graw Hills Companies. 2008. p. 17231727.
8. Hall J.C. Tumor of The Skin In: Sauers Manual of Skin Diseases. 9th
edition. Missoury: Lippincott Williams & Wilkins. 2006. p.
9. Lee Jh, Chung SM. Large Vulva Lipoma in an Adolescent. Journal of
Korean Medicine Science. 2008: 23 (4): 744-746